You are on page 1of 27

Bagaimana Membuat Film Dokumenter

Diposkan oleh KHOIRUL NASIHIN

oleh Jennifer Steinberg

Sebagai kurator sebuah festival film dokumenter, saya sering ditanya tentang bagaimana
seharusnya seseorang membuat atau memproduksi film dokumenter. Sekarang ini, dengan
peralatan yang murah, setiap orang dapat membuat film. Bisa saja benar demikian, namun,
seberapa baik hasilnya? Adakah yang bersedia membayar untuk menontonnya?

Berikut adalah beberapa langkah penting yang sangat mendasar dalam membuat film
dokumenter:

1) Pastikan bahwa kita mempunyai ide yang orisinil. Telusuri daftar-daftar film di festival
internasional (khususnya Hot Docs, Silver Docs, Full Frame dan festival film dokumenter
lainnya), Internet Movie Database, Indiewire dan wadah film-film lainnya, untuk memastikan
bahwa belum ada film dengan topik yang sama pernah dibuat. Hampir semua film yang dibuat
oleh para pemula dapat menarik perhatian para distributor film dari keikutsertaanya dalam
festival film. Programer festival biasanya hanya mempunyai sedikit tempat untuk film
dokumenter. Pastikan bahwa film kita berbeda dari yang lain. Film-film tentang 9/11, Iraq, dan
AIDS adalah film-film yang sudah sangat umum.

2) Baca. Jika belum pernah sama sekali membuat film maka kita harus banyak belajar. Jangan
membuat kesalahan-kesalahan yang tidak penting dan akhirnya membuang-buang uang.
Luangkan waktu untuk membaca atau mencari cara untuk mendapatkan masukan dari para
profesional.

3) Tonton. Carilah tempat-tempat di mana kita bisa menyewa atau menonton film-film
dokumenter. Jika menggunakan TV kabel, beberapa saluran (channel) juga dapat menjadi
sumber yang baik. Diskusikan film dokumenter favorit bersama teman yang juga menyukai film.
Catat hasil diskusi yang penting.

4) Riset. Kita harus tahu bagaimana caranya membuat si subyek benar-benar 'hidup' dalam film.
Pikirkan itu pada saat membuat treatment? hingga ke tampilannya. Pastikan kita sudah
mendapatkan kesediaan dari para nara sumber juga izin lokasi di mana kita akan merekam
gambar.

5) Jika hal-hal yang dibutuhkan sudah terkumpul, mulailah menulis treatment. Ikuti format yang
sudah ditetapkan dalam menulis treatment?. Cari buku panduan jika membutuhkan bantuan.
Ingatlah bahwa karya kita bermula dari treatment.

6) Hitung dan kumpulkan anggaran. Perkirakan berapa wawancara yang akan dilakukan dalam
pembuatan film ini, berapa hari yang diperlukan, berapa tim yang akan ikut dalam produksi ini
(penata suara, penata kamera, sutradara, editor), perlu tidaknya menyewa alat. Belakangan ini,
kebanyakan film dokumenter berformat DVD or DigiBeta. Jangan lupa, izin atau biaya hak cipta
dari musik yang akan kita pakai dapat menambah biaya yang cukup lumayan.

7) Tambahkan 30% di rencana anggaran kita, sebagai anggaran tidak terduga.

8) Cari investor atau pen-donor. Para pemula biasanya mengajak teman atau keluarganya untuk
ambil bagian dalam filmnya. Kita bisa mengajukan proposal ke bermacam-macam yayasan yang
memberikan bantuan dana bagi pembuatan film dokumenter. Pada umumnya kita harus
menunggu 3-6 bulan dari awal pengajuan proposal untuk mendapatkan jawabannya. Jangan
memaksakan diri meminjam uang atau menggunakan kartu kredit untuk membuat film.

9) Atau kita bisa juga mempresentasikan treatment kita ke stasiun-stasiun TV yang mempunyai
program dokumenter.

10) Produksi film.

11) Putar film kita di kalangan yang mengapresiasi film dokumenter atau kelompok-kelompok
yang merupakan target penonton film kita. Evaluasi film kita melalui angket yang disebarkan
saat itu, yaitu meminta penonton untuk menuliskan pendapat mereka tentang film kita. Apakah
mereka mengerti, bagaimana suasananya dan pertanyan-pertanyaan lain yang kita anggap
penting.

12) Tilik kembali evaluasi-evaluasi yang kita dapatkan dan kemudian pikirkan kembali apakah
ada yang perlu diubah atau ditambahkan.

13) Ajukan film kita ke festival-festival film yang ada. Bisa dimulai dari festival-festival lokal
(daerah) dan nasional.

Sumber : http://paradiza.blogspot.com/2010/03/bagaimana-membuat-film-
dokumenter.html diakses tgl 3 maret 2011

PENYUTRADARAAN

Diposkan oleh KHOIRUL NASIHIN


Sutradara memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat. Di lapangan seorang
sutradara berperan sebagai manajer, kreator, dan sekaligus inspirator bagi anggota
tim produksi dan para pemeran. Peran yang sedemikian besar mengharuskan
sutradara memahami benar konsep cerita, memahami situasi lingkungan maupun
psikologis para pelibat produksi, dan juga harus memahami bagaimana menjalin
hubungan yang baik dengan semua pelibat produksi. Ibarat tubuh manusia,
sutradara adalah otaknya, dan yang lain adalah seluruh anggota badan. Otak
memerlukan anggota badan untuk mewujudkan gagasan, badan memerlukan otak
untuk mengendalikan.

1. Tugas Sutradara
Menurut sutradara berbakat, Harry Suharyadi, tugas seorang sutradara adalah
menerjemahkan atau menginterpretasikan sebuah skenario dalam bentuk
imaji/gambar hidup dan suara. Pada umumnya, seorang sutradara tidak merangkap
sebagai produser, meskipun di Amerika cukup banyak sutradara yang merangkap
produser seperti beberapa kali Kevin Costner merangkap sutradara sekaligus
produser.
Pada umumnya, apa pun bentuk produksi audio visual selalu terbagi menjadi tiga
tahap, yakni:
1) praproduksi,
2) produksi atau shooting,
3) pascaproduksi.

Tugas sutradara adalah pada tahap produksi. Namun bukan berarti sutradara tidak
perlu mengetahui aspek praproduksi dan pasca produksi. Pemahaman praproduksi
akan mencegah sikap arogan dan tutuntutan yang berlebih atas peralatan dan
aspek-aspek penunjang produksi yang notabene merupakan tugas tim praproduksi.
Misalnya, sutradara tidak terlalu menuntut disediakan pemeran yang honornya
mahal apabila ia menyadari bahwa tim budgeting tidak menganggarkan dana
berlebih untuk honor pemeran. Pemahaman pascaproduksi akan mencegah
sutradara menginstruksikan pengambilan gambar dengan komposisi atau enggel
yang penyambungannya mustahil dilakukan oleh editor.

2. Rumus 5-C
Sebelum seorang sutradara mengarahkan semua pemain dalam sebuah produksi,
ada baiknya sutradara memiliki kepekaan terhadap Rumus 5 –C, yakni close up
(pengambilan jarak dekat), camera angle (sudut pengambilan kamera), composition
(komposisi), cutting (pergantian gambar), dan continuity (persambungan gambar-
gambar) (Hartoko 1997: 17). Kelima unsur ini harus diperhatikan oleh sutradara
berkaitan dengan tugasnya nanti di lapangan.

Close Up
Unsur ini diartikan sebagai pengambilan jarak dekat. Sebelum produksi (shooting d I
lapangan) harus mempelajari dahulu skenario, lalu diuraikan dalam bentuk shooting
script, yakni keterangan rinci mengenai shot-shot yang harus dijalankan juru
kamera. Terhadap unsur close up, dia harus betul-betul memperhatikan, terutama
berkaitan dengan emosi tokohnya. Gejolak emosi, peradaban gundah sering harus
diwakili dalam shot-shot close up. Bagi seorang kritikus film, sering unsur menjadi
poin tersendiri ketika menilai sebuah film. Untuk itu, unsur ini harus menjadi
perhatian sutradara.

Camera Angle
Unsur ini sangat penting untuk memperlihatkan efek apa yang harus muncul dari
setiap scene (adegan). Jika unsur ini diabaikan bisa dipastikan film yang muncul
cenderung monoton dan membosankan sebab camera angle dan close up sebagai
unsur visualisasi yang menjadi bahan mentah dan harus diolah secermat mungkin.
Harry mencontohkan, untuk film-film opera sabun sering ada pembagian kerja
antara pengambilan gambar yang long shot d a n close up untuk kemudian diolah
dalam proses editingnya. Variasi pengambilan gambar dengan camera angle dapat
mengayakan unsur filmis sehingga film terasa menarik dan memaksa penonton
untuk mengikutinya terus.

Composition
Unsur ini berkaitan erat dengan bagaimana membagi ruang gambar dan
pengisiannya untuk mencapai keseimbangan dalam pandangan. Composition
merupakan unsur visualisasi yang akan memberikan makna keindahan terhadap
suatu film. Pandangan mata penonton sering harus dituntun oleh komposisi gambar
yang menarik. Tidak jarang para peresensi film memberikan penilaian terhadap
unsur ini karena unsur inilah yang akan menjadi pertaruhan mata penontonnya. Jika
aspek ini diabaikan, jangan harap penonton akan menilai film ini indah dan enak
ditonton. Seorang sutradara harus mampu mengendalikan aspek ini kepada juru
kamera agar tetap menjadi komposisi secara proporsional berdasarkan asas
komposisi.

Cutting
Diartikan sebagai pergantian gambar dari satu scene ke scene lainnya. Cutting
termasuk dalam aspek pikturisasi yang berkaitan dengan unsur penceritaan dalam
urutan gambar-gambar. Sutradara harus mampu memainkan imajinasinya ketika
menangani proses shooting. Imajinasi yang berjalan tentunya bagaimana nantinya
jika potongan-potongan scene ini diedit dan ditayangkan di monitor.

Continuity
Unsur terakhir yang harus diperhatikan sutradara adalah continuity, yakni unsure
persambungan gambar-gambar. Sejak awal, sutradara bisa memproyeksikan
pengadegan dari satu scene ke scene lainnya. Unsur ini tentunya sangat berkaitan
erat dengan materi cerita. Sering penonton merasa film yang ditontonnya loncat ke
sana atau ke mari tidak karuan sehingga membuat bingung. Terhadap kasus ini
karena sutradara tidak mampu memperhatikan aspek kontinuitas dari film yang
digarapnya.

3. Unsur Visual (visual element)


Selanjutnya masih dalam tahap persiapan penyutradaraan, seorang sutradara juga
harus memahami unsur-unsur visual (visual element) yang sangat penting dalam
mengarahkan seluruh krunya. Ada enam unsur visual yang harus diperhatikan,
sikap pose (posture), gerakan anggota badan untuk memperjelas (gesture),
perpindahan tempat (movement), tindakan/perbuatan tertentu (purpose action),
ekspresi wajah (facial expression), dan hubungan pandang (eye contact) (Hartoko,
1997:25).

Sikap/Pose
Jika anda mengarahkan para pemain dalam film yang anda buat, hal pertama yang
menjadi arahan adalah sikap/pose (posture) pemainnya. Ini sangat erat kaitannya
dengan penampilan pemain di depan kamera. Dengan monitor yang tersedia,
sutradara harus mampu memperhatikan pose pemainnya secara wajar dan
memenuhi kaidah dramaturgi. Sebelum pose sesuai dengan tuntutan skenario
usahakan sutradara jangan putus asa terus mencoba. Apalagi untuk kalangan indie
yang cenderung pemainnya masih baru atau belum pernah main sama sekali
(tetapi gratis).

Gerakan Anggota Badan


Sesuai dengan shooting script, tentunya seorang atau beberapa pemain harus
menggerakkan anggota tubuhnya. Namun, gesture yang mereka mainkan harus
betul-betul kontekstual. Artinya, harus betul-betul nyambung dengan gerakan
anggota tubuh sebelumnya. Misalnya, setelah seorang pemain minum air dari gelas
tentunya gerakan berikutnya mengembalikan gelas tersebut dengan baik. Jangan
sampai ada gerakan-gerakan tubuh yang secara filmis dapat menimbulkan
kejanggalan.

Perpindahan Tempat
Seorang Sutradara dengan jeli akan memperhatikan dan mengarahkan setiap
perpindahan
pemain pendukungnya. Perpindahan pemain ini tentunya dalam rangka mengikuti
shooting script yang dibuat sang sutradara sendiri. Di sini, sutradara yang baik
harus mampu mengarahkan pemainnya melakukan perpindahan secara wajar dan
tidak dibuat-buat. Perpindahan pemain harus alami sesuai dengan jalan cerita yang
telah tersusun. Improvisasi bagi pemain memang tidak jadi masalah, tetapi tetap
dalam perhatian sutradara. Untuk itu, menonton pertunjukan teater bagi seorang
sutradara dapat mengasah ketrampilan penyutradaraannya dan juga sering
memberikan penilaian terhadap akting pemain dalam sebuah film dapat
memperkaya kepiawaiannya dalam mengarahkan pemain.

Tindakan Tertentu
Aspek ini tentunya dikaitkan dengan casting yang diberikan kepada seseorang.
Casting di
sini diartikan peran yang dijalankan pemain film dalam menokohkan karakter
seseorang yang terlibat dalam cerita film tersebut. Selain ada casting ada juga yang
disebut cameo, yakni penampilan seseorang dalam sebuah film tetapi
membawakan dirinya sendiri (tidak menokohkan orang lain). Dalam hubungan
dengan casting, seorang pemain film harus diarahkan sang sutradara agar
melakukan tindakan sesuai dengan tuntunan skenario. Terkadang dalam proses
produksi ada pemain yang mencoba menawar kepada sutradara sehubungan
dengan akting yang harus dijalankan. Tidak semua sutradara mau meluluskan
keinginan kemauan pemain, tetapi juga tidak semua pemain mau meluluskan
kemauan sutradara. Pada kondisi seperti ini tinggal dua pilihan, pemain diganti atau
mengganti adegan. Mengapa casting dalam kegiatan produksi film cukup lama
karena karena persoalan tersebut? Saat film Boy’s Don’t Cry diproduksi, dilakukan
casting yang memakan waktu bertahun-tahun. Hal ini dilakukan agar siapa pun
yang menjadi pemain film tersebut sesuai dengan keinginan sutradara dan tuntutan
skenario.

Ekspresi Wajah
Unsur ini sering berkaitan dengan penjiwaan terhadap naskah. Wajah merupakan
cermin bagi jiwa seseorang. Konsep inilah yang mendasari aspek ini harus
diperhatikan betul oleh sutradara. Terutama untuk genre film drama, unsur ekspresi
wajah memegang peran penting. Banyak juga film action semacam Gladiator
menajamkan aspek ekspresi wajah. Shot-shot close up yang indah dan pas dapat
mewakili perasaan sang tokoh dalam sebuah film. Contoh kecil sering ditampilkan
dalam perfilman India. Jika seseorang sedang jatuh cinta ukuran gambar big close
up bergantian antara pria dan wanita. Namun sutradara juga
harus memperhatikan penempatannya serta waktu yang tepat. Jika tidak tepat,
komunikasi dalam film tersebut gagal. Di sini, ada pedoman time is key, waktu
adalah kunci.

Hubungan Pandang
Hampir sama dengan ekspresi wajah, hubungan pandang di sini diartikan adanya
kaitan psikologis antara penonton dan yang ditonton. Untuk membuat shot-shot-
nya, biasanya sutradara selalu memberikan arahan kepada pemain film agar
menganggap kamera sebagai mata penonton. Dengan cara seperti ini, biasanya
kaidah hubungan pandang ini akan tercapai. Dengan mengibaratkan kamera
sebagai mata penonton, berarti pemain harus berlakon sebaik mungkin untuk
berkomunikasi dengan penonton lewat lensa kamera. Dengan demikian, apa pun
yang akan dilakonkan pemain seolah-olah ada yang mengawasi, yakni kamera
sebagai representasi dari penonton.

Dengan menguasai Rumus 5 C dan Visual Element secara baik dan benar bisa
dipastikan seorang sutradara akan mampu membuat film menjadi tontonan
menarik dan munculnya situasi komunikatif antara tontonan dan penonton. Di
sinilah alasan mengapa sebuah film dianggap sebagai produk komunikasi massa
periodik.

Sumber : http://paradiza.blogspot.com/2009/08/penyutradaraan.html

Narasumber dalam Dokumenter

Diposkan oleh KHOIRUL NASIHIN


Narasumber dalam dokumenter adalah hal yang sangat penting, narasumber sebagai subyek
bukan sebagai obyek. Itulah uniknya dokumenter, memperlakukan manusia sebagai subyek.
Narasumber memiliki karakter yang berbeda, artinya lebih baik menggunakan pendekatan
subyektif ketimbang generalisasi. Ribet? Gak ah. Mari kita diskusikan……

Mengenali Narasumber

Tak kenal maka tak sayang, sebuah adagium klasik sederhana tapi masih relevan sampai saat ini.
Narasumber dalam dokumenter adalah hal terpenting setelah ide/gagasan serta bagaimana story
telling sang dokumentator. Banyak cara bagaimana menginisiasi calon narasumber kita, dan riset
merupakan langkah awal. Kenali calon narasumber dengan berbagai referensi. Jika narasumber
merupakan orang terkenal pasti tidak aka nada kesulitan untuk bahan referensi, tapi bagaimana
kalau narasumber kita adalah orang biasa-biasa saja?

Prepare Interview vs Casual Interview

Wawancara yang baik seharusnya dilakukan persiapan yang matang, di antaranya dengan
menginisiasi calon narasumber kita. Dan yang paling penting lagi adalah goal apa yang ingin
dicapai oleh dokumentator atas narasumber tersebut. Ketika goalnya sudah jelas, maka buatlah
list pertanyaan, buatlah pertanyaan yang mudah di urutan pertama. Hal ini dilakukan agar
narasumber “tidak kaget”, dan dengan demikian dokumentator bisa menginisiasi narasumber
ketika di lapangan. Bebrapa praktisi menyarankan untuk membuat semacam pre arrange
question, yakni pertanyaan pembuka yang bisa jadi nantinya tidak dipakai ketika proses editing
berjalan.

Berbeda dengan tehnik prepare interview, tehnik lainnya yakni casual interview memiliki
pendekatan agak sedikit berbeda. Ketika narsumber ditemui secara on the spot alias langsung di
lapangan, maka dokumentator harus memiliki kejelian. Pada waktu pembuatan dokumenter
bulan lalu di Aceh, penulis beberapa kali menemui narasumber on the spot. Aceh sebelum paska
tsunami dan perjanjian damai Henlinski memang sudah berbeda, namun bukan berarti trauma
pada masa Gerakan Aceh Merdeka/GAM serta pemberlakuan Daerah Operasi Militer/DOM sirna
begitu saja, traumatik itu masih ada. Ini tentu menyulitkan saya dan tim ketika mewawancarai
narasumber, apalagi yang ditanyakan seputar politik. Tanpa kehadiran kamera masih banyak
informasi yang bisa penulis eksplorasi, tapi ketika kamera dihadapkan pada mereka, freezeee…..
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh penulis dan tim? Pendekatan personal. Teori-teori dalam buku
jurnalistik investigasi yang sangat Amerika itu tidak berlaku, ini Aceh kawan! Banyak kejadian
unik di lapangan, jangankan rakyat biasa, untuk mewancarai mahasiswa yang notabene sangat
kritis saja diperlukan pendekatan khusus.

Dalam teori memang banyak dibahas bagaimana menggali narasumber agar bisa menyampaikan
informasi selengkap mungkin, tapi tidak dibicarakan bagaimana membuat narasumber nyaman.
Nyaman dalam arti personal, dan ini bukan generik. Secara umum ada dua kriteria interview
yang baik: yakni riset yang baik serta kemampuan mendengarkan yang baik. Butuh kesabaran
yang ekstra ketika kita menjadi pendengar, dengan demikian kita akan peka terhadap apa yang
disampaikan oleh narasumber. Tidak sedikit informasi baru akan kita gali ketika kita mendapat
tuturan sang narasumber, pertanyaan ke dua, ke tiga, atau bahkan ke empat atas jawaban pertama
tadi. Secara psikologis jelas bahwa lawn bicara kita akan merasa nyaman, merasa punya teman,
ketika mereka kita dengarkan dengan baik.

Sumber : http://paradiza.blogspot.com/2009/07/narasumber-dalam-
dokumenter.html

Editing Dokumenter

Diposkan oleh KHOIRUL NASIHIN


Ketika proses shooting selesai, maka tahap selanjutnya yakni editing sebagai bagian dari proses
paska produksi, merupakan tahapan yang sangat menarik dalam pembuatan dokumenter.
Kolaborasi atau kerjasama antar sutradara dengan editor sudah dimulai. Seperti halnya dalam
editing feature film, editing dokumenter melalui berbagai tahapan. Dan saat ini saya akan
mencoba sharing tentang apa dan bagaimana tahapan editing dokumenter.

Preview Hasil Shooting

Ratusan atau bisa jadi ribuan shot yang sudah dihasilkan oleh sutradara dan cameraman, namun
shot-shot tersebut tidak akan memiliki makna apa-apa ketika belum disusun oleh editor menjadi
satu kesatuan cerita. Karena itu peran seorang editor sangatlah penting. Sebelum melakukan
penyuntingan gambar, preview hasil shooting. Semua materi shot harus dilihat oleh editor. Dan
kalau memungkinkan ada baiknya pada proses melihat hasil shooting ini, sutrdara menemani
editor. Dengan demikian sutradara bisa berdiskusi dengan editor mengenai shot-shot yang sudah
dihasilkannya itu.

Logging

Terkadang buat sebagian editor ini merupakan proses yang membosankan. Logging secara
sederhana berarti pencatatan time code seluruh shot hasil shooting. Time code merupakan kode
waktu yang terdapat pada materi shot. Pencatatan time code awal serta akhir shot. Jadi logging
merupakan manajemen file, yang berfungsi untuk memudahkan ketika melakukan penyuntingan
gambar nantinya. Catatan logging tersebut dibuat ke dalam logging list atau logging sheet.
Logging sheet merupakan panduan untuk capture atau pemindahan materi tape ke dalam
komputer editing.

Paper Edit
Ada dua naskah dalam dokumenter, yang pertama adalah pre-shot script yakni script yang dibuat
oleh penulis naskah sebagai panduan dokumentator di lapangan. Dan yang ke dua, dinamakan
pro-shot script, yakni naskah yang dibuat setelah shooting selesai. Pro-shot script dinamakan
juga paper edit. Kenapa paper edit ini diperlukan oleh editor dokumenter? Ini salah satu yang
membedakan antara feature film dengan dokumenter. Ketika editor merasa bahwa pekerjaan
editing dokumenter terasa berat, maka transcript wawancara dituangkan ke dalam paper edit.
Makanya tidak heran, akan ditemukan banyak kertas coretan di meja editing dokumenter. Kertas
ini sangat membantu editor untuk membuat struktur cerita yang akan direkontruksi. Tidak ada
aturan baku dalam format paper edit, yang paling penting.

Editing Assembly

Tahap ini merupakan tahapan setelah logging dan capturing. Editing Assembly dilakukan untuk
melihat gambaran secara umum dokumenter tersebut. Untuk dokumenter berdurasi satu jam,
biasanya assembly edit sekitar 140 menit, atau empat puluh persen lebih banyak. Ini bukan
rumusan umum, tapi menurut pengalaman pribadi serta sharing dengan editor dokumenter
lainnya estimasi durasi di atas umum dilakukan. Dalam editing assembly, belum ada musik serta
voice over serta efek. Yang jelas, dalam assembly edit sudah terlihat cerita di dalamnya. Pada
hasil assembly edit memang belum bisa untuk presentasi, tapi sutrdara sudah bisa melihat
gambaran umumnya. Editor sudah bisa membayangkan tema apa yang bisa dibuang atau tidak
terpakai,

Rough Cut

Namanya simpel, rough cut alias motong kasar tapi ini merupakan tahapan sebenarnya dalam
editing. Editor sudah membuat kontruksi cerita sesuai dengan post-script yang sudah dibuat
sebelumnya. Penambahan draft narasi atau voice over (kalau pendekatannya essay) sudah bisa
dilakukan. Durasi hasil editing rough cut biasanya tidak lebih dari sepuluh persen dari durasi
film dokumenter yang sudah jadi nantinya. Hasil rough cut sudah bisa dipresentasikan pada klien
atau investor. Untuk menjajaki apakah film dokumenter tersebut sudah bagus secara editingnya,
ada baiknya film tersebut dipertontonkan pada penonton awam, atau bisa saja minta komentar
dari kawan anda.

Fine Cut

Ini merupakan proses editing akhir sebelum film dokumenter tersebut benar-benar akan
direlease. Pada tahapan ini editor sudah membuat struktur final dengan durasi hampir persis pada
durasi sebenarnya, menambahkan musik ilustrasi, serta efek. Pada tahap ini, hasil editing fine cut
sudah bisa dipresentasikan kembali. Untuk beberapa dokumenter terkadang harus
mempresentasikan di hadapan advisor. Ini biasanya menyangkut konten atau isi, misalnya seperti
dokumenter intruksional.

Picture Locked!

Tidak ada yang paling membahagiakan seorang editor ketika, semua pekerjaan sudah selesai, dan
ini yang namnaya picture lock. Tidak ada perubahan sama sekali dalam editing, karena begitu
gambar/video sudah dilock berarti selanjutnya adalah finalisasi graphik serta musik. Dan tentu
selanjutnya adalah mastering dan membuat copy release.

Sumber ; http://paradiza.blogspot.com/2009/07/editing-dokumenter.html

Bentuk - Bentuk Film Dokumenter

Diposkan oleh KHOIRUL NASIHIN

Kalau kita menggunakan pemahaman bahwa realita adalah kenyataan yang kita lihat di hadapan
kita, dan film dokumenter adalah upaya untuk mendokumentasikan (merekam) realita semacam
itu, maka usia film dokumenter sama tuanya dengan teknologi film itu sendiri.

Dikatakan demikian, karena sejak awal usaha manusia untuk mengembangkan teknologi yang
mampu merekam gambar hidup, apa yang dilakukan adalah dengan merekam aneka peristiwa
yang terjadi di hadapan mereka. Apa yang dilakukan Lumiere Bersaudara dalam persaingannya
dengan George Eastman di akhir abad ke-18 dalam mewujudkan teknologi kamera film dan
bioskop, mereka merekam bayi yang baru belajar berjalan, perjalanan kereta api, kapal laut
bersandar di pelabuhan serta buruh pabrik pulang dari tempat kerja mereka.

Namun, apakah ini yang disebut sebagai film dokumenter? Pada akhir abad ke-19, seorang
geolog yang dikontrak perusahaan minyak untuk melakukan explorasi di utara Benua Amerika,
mendokumentasikan kehidupan keluarga Eskimo selama lebih dari 15 tahun. Kumpulan
dokumentasi tersebut kemudian diedit menjadi sebuah film berjudul Nanook of the North, dan
geolog tersebut adalah Robert J. Flagherty yang kemudian menjadi bapak film dokumenter.
Apakah ini yang disebut film dokumenter masa kini? Sulit untuk mendapatkan jawaban yang
tepat karena para pembuat film dokumenter yang terinspirasi para perintis ini kemudian
mengembangkan beraneka pendekatan baru. Untuk apa? Semata karena mereka memerlukan
bentuk-bentuk yang lebih tepat dalam mengeskspresikan pendapat mereka terhadap kejadian-
kejadian di sekitar kehidupan manusia, bahkan di tempat-tempat yang tak terjangkau sebagian
besar orang—ke hadapan para penonton, agar mereka bisa memetik pelajaran yang berguna dari
realita tersebut.
Untuk ringkasnya, gaya atau bentuk film dokumenter dapat dibagi ke dalam 3 bagian besar.
Pembagian ini merupakan ringkasan dari aneka ragam bentuk film dokumenter yang
berkembang sepanjang sejarahnya. Mengapa kita perlu tahu ragam bentuk film dokumenter yang
ada? Karena mengenali bentuk-bentuk film dokumenter ini, serta memahami kelebihan,
kelemahan, keterbatasan dan keunggulannya akan bisa membantu usaha anda untuk
menyampaikan pesan-pesan yang mendorong anda untuk membuat film dokumenter.

Expository

Dokumenter dalam kategori ini, menampilkan pesannya kepada penonton secara langsung, baik
melalui presenter ataupun dalam bentuk narasi. Kedua bentuk tersebut tentunya akan berbicara
sebagai orang ketiga kepada penonton secara langsung (ada kesadaran bahwa mereka sedang
menghadapi penonton/banyak orang). Mereka juga cenderung terpisah dari cerita dalam film.
Mereka cenderung memberikan komentar terhadap apa yang sedang terjadi dalam adegan,
ketimbang menjadi bagian darinya. Itu sebabnya, pesan atau point of view dari expository
dielaborasi lebih pada sound track ketimbang visual. Jika pada film fiksi gambar disusun
berdasarkan kontinuitas waktu dan tempat yang berasaskan aturan tata gambar, maka pada
dokumenter yang berbentuk expository, gambar disusun sebagai penunjang argumentasi yang
disampaikan oleh narasi atau komentar presenter. Itu sebabnya, gambar disusun berdasarkan
narasi yang sudah dibuat dengan prioritas tertentu.

Salah satu orang yang berperan dalam kemunculan bentuk dokumenter ini adalah John Grierson,
yang menurutnya, pembuat dokumenter haruslah menempatkan dirinya sebagai seorang
propagandis, yang mengangkat tema-tema dramatis dari kehidupan yang dekat di sekeliling kita
sebagai sebuah kewajiban sosial atau kontribusi terhadap lingkungan dan budaya. Seorang
pembuat film dokumenter, katanya, “bukanlah cermin, tetapi sebuah gada (palu besi yang
besar)”. Hal ini memang tercermin dari film-film Grierson yang sering mengangkat persoalan
seputar kehidupan sosial orang-orang kebanyakan. Pada masa itu, film dokumenter adalah
barang baru, karena masyarakat masih menganggap layar lebar atau televisi adalah tempat artis,
celebritis dan tokoh masyarakat, bukan tempat kita menonton perilaku wong cilik. Itu sebabnya
film-film Grierson banyak bercerita tentang buruh, gelandangan, dll.

Pada perkembangannya, sewaktu peralatan kamera dan perekam suara portabel ditemukan,
expository juga menggunakan format wawancara yang memungkinkan orang—selain pembuat
film—bisa memberikan komentar, baik secara langsung atau sebagai voice over, demikian juga
penggunaan archival footage seperti foto, film footage, gambar, dll. Inilah yang kemudian
menjadi mainstream dokumenter di televisi.

Argumentasi yang dibangun dalam expository umumnya bersifat didaktik, bertendensi


memaparkan informasi secara langsung kepada penonton, bahkan mampu mempertanyakan baik-
buruk suatu fenomena berdasarkan pijakan moral tertentu dan umumnya mengarahkan penonton
pada satu kesimpulan secara langsung. Agaknya inilah yang membuat bentuk expository popular
di kalangan televisi, karena ia menghadirkan sebuah sudut pandang yang jelas (it presents its
point of view clearly) dan menutup kemungkinan adanya misinterpertasi.
Namun dari segala kelebihan tersebut, justru expository banyak mendapat kritikan karena
cenderung menjelaskan makna dari gambar yang ditampilkan. Seolah mereka tidak yakin kalau
gambar-gambar tersebut mampu menyampaikan pesannya sendiri. Bahkan, expository cenderung
menempatkan pemirsanya seolah tak memiliki kemampuan untuk membuat kesimpulan sendiri.
Dan tentu saja, kehadiran voice over cenderung membatasi bagaimana gambar harus dimaknai.
Selain itu, karena gambar disusun bukan bersarkan audio yang terdapat dalam gambar tersebut
(suara atmosfer yang terekam saat shooting atau dialog yang terdapat dalam gambar tersebut),
melainkan berdasarkan narasi yang sudah dibuat sebelumnya, ia menjadi kehilangan konteks.
Tak heran kalau susunan gambarnya tidak memiliki kontinuitas, serta koherensi. Coba anda
tonton tayangan seperti ini tanpa audio, pasti akan sulit sekali untuk menangkap makna film
tersebut.

Namun, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan penggunaan voice over (VO) atau narasi.
Dalam banyak kasus, kehadiran narasi atau VO sangat diperlukan. Misalnya apabila visual dirasa
kurang mampu atau tidak bisa memberikan informasi yang memadai tentang apa yang hendak
disampaikan. Atau tidak tersedia visual yang betul-betul kuat untuk mengungkap pesan yang
ingin disampaikan. Selama penggunaannya dilakukan secara cantik, efektif, dan informatif, VO
atau narasi akan sangat membantu. Seringkali pembuat film menggunakan VO atau narasi untuk
memancing rasa ingin tahu penonton, lalu membiarkan gambar berikutnya memberikan
penjelasannya. Kadang VO digunakan untuk mengkomentari visual secara ironis atau reflektif
(suara hati, misalnya) tanpa harus berkotbah. Namun intinya, anda tidak perlu mengatakan
sesuatu dan memperlihatkannya secara bersamaan. Atau jangan menjelaskan apa yang sudah
jelas terlihat dalam gambar.

Observatory/Direct Cinema

Aliran ini muncul sebagai bentuk ketidakpuasan para pembuat film dokumenter terhadap model
sebelumnya yang telah diuraikan diatas. Pendekatan yang bersifat observasi ini utamanya ingin
merekam kejadian secara spontan, natural dan tidak dibuat-buat. Itu sebabnya, pendekatan ini
menekankan pada kegiatan shooting yang informal tanpa tata lampu khusus ataupun persiapan-
persiapan yang telah dirancang sebelumnya. Kekuatan mereka adalah kesabaran untuk
menunggu kejadian-kejadian yang signifikan berlangsung di hadapan kamera.

Para penekun direct cinema berangkat dari keyakinan bahwa lewat pendekatan yang baik,
kehadiran pembuat film beserta kameranya, akan diterima sebagai bagian dari keseharian para
subjeknya. Bahkan pada kasus-kasus tertentu, kehadiran pembuat film dan kamera, sepertinya
sudah tidak dianggap ada oleh subjek beserta keluarganya. Pembuat film berusaha agar
kehadiran mereka sekecil mungkin memberikan pengaruh terhadap kehidupan keseharian dari
para subjeknya.

Tentunya hal ini mensyaratkan proses pendekatan terhadap subjek dibangun dalam jangka waktu
yang relatif panjang dan intens. Perkenalan yang baik di tahap awal memegang peranan penting
agar pembuat film dapat diterima. Pembuat film akan berusaha bergaul seakrab mungkin dengan
subjek sambil membangun kepercayaan. Hal ini biasa dilakukan di tahap riset. Dibutuhkan
waktu yang cukup panjang sebelum pembuat film kemudian membawa kamera dan melakukan
pengambilan gambar. Setelah pembuat film merasa kehadirannya di lingkungan subjek sudah
tidak lagi dirasa asing dan tidak lagi dipertanyakan, barulah pembuat film mulai
memperkenalkan kehadiran kamera. Proses shooting pun mengikuti rutinitas yang biasa
dilakukan oleh subjek sehari-hari. Hal ini dilakukan karena aliran ini cenderung tidak ingin
memberikan kesan bahwa para subjeknya sedang dalam kegiatan khusus untuk keperluan
pengambilan gambar. Pembuat film tidak ingin para subjeknya ber-acting di depan kamera dan
melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak biasa mereka lakukan sehari-hari. Oleh karenanya,
sebisa mungkin keberadaan kamera diusahakan tidak tampil menonjol.

Kemunculan aliran ini tidak lepas kaitannya dengan teknologi baru dalam dunia perfilman yang
menghadirkan peralatan-peralatan yang semakin kompak, kecil dan mudah dioperasikan serta
memiliki kemampuan mobilitas yang tinggi. Kehadiran wireless microphone serta directional
microphone dengan fokus yang sempit dan sensitif terhadap jarak, menjadi salah satu andalan.

Direct Cinema memang berhasil menghadirkan kesan intim antara subjek dengan penonton.
Subjek secara spontan menyampaikan persoalan yang mereka hadapi. Tidak saja melalui ucapan
langsung ke kamera, namun melalui tindakan, kegiatan serta percakapan yang dilakukan dengan
subjek-subjek lain secara aktual. Sehingga, penonton merasa dihadapkan pada realita yang
sesungguhnya.

Karena kamera mampu menangkap kegiatan serta percakapan-percakapan yang spontan, intim,
dan alami inilah, para penggiat aliran ini kemudian meninggalkan penggunaan narasi. Bahkan
kehadiran narasi jadi dianggap menggangu. Narasi menjadi elemen yang asing dalam susunan
gambar. Narasi dianggap mereduksi dan membatasi realita yang ditampilkan. Logika dalam
narasi juga dianggap bertendensi menjelas-jelaskan serta menggurui penonton. Wawancara yang
bersifat formal juga dihindari. Pembuat film lebih tertarik untuk mengikuti apa yang diperbuat
subjek ketimbang mendengarkan ocehan mereka, sehingga subjek tampil lebih sebagai individu
yang unik, bukan mewakili kategori-kategori tertentu. Hal ini dilakukan karena pembuat film
ingin memfilmkan pengalaman hidup ketimbang membuat kesimpulan atau pelaporan.

Konsekuensi lain dari direct cinema adalah, pembabakan dalam film ditata, utamanya
menggunakan semua elemen kejadian yang berhasil direkam. Itu sebabnya, pekerjaan mengedit
dalam aliran ini menjadi lebih berat lagi. Tanpa kehadiran narasi, susunan gambar harus tepat,
saling menjalin dalam struktur sebab-akibat yang jelas dan logis sehingga mampu menjelaskan
segala informasi yang dibutuhkan penonton. Apa yang telah dirancang berdasarkan hasil riset
yang telah dilakukan secara mendalam, belum tentu mampu berhasil di dapat pada tahap
perekaman. Karena pembuat film berusaha seminimal mungkin melakukan pengarahan seara
langsung kepada subjek-subjek filmnya. Penggunaan teknik handheld-pun menjadi lebih
dominan mengingat kecilnya kemungkinan pembuat film melakukan persiapan yang cukup
untuk melakukan penempatan kamera dengan tripod secara terencana. Penggunaan lensa wide
angle juga menjadi penting untuk memberikan kesan penonton hadir ditengah-tengah arena yang
sedang berlangsung.

Direct Cinema percaya bahwa film dokumenter bisa bertindak bak sebuah cermin bagi suatu
realitas. Itu sebabnya, mereka berusaha agar kehidupan yang mereka rekam menceritakan sendiri
persoalanya, dan pembuat film hanya menjadi alat bantu untuk merefleksikannya ke layar.
Sementara penonton diberi kebebasan untuk menginterpretasi susunan gambar. Berbagai
informasi yang signifikan diletakan oleh pembuat film dalam susunan yang tidak ketat dan
diusahana tidak mengalami reduksi, sehingga memberikan kesempatan kepada penonton untuk
menyusun logikanya sendiri.

Reflexive/Cinéma Vérité

Berbeda dengan kaum observer yang cenderung tidak mau melakukan intervensi dan cenderung
menunggu krisis terjadi, kalangan cinéma vérité justru secara aktif melakukan intervensi dan
menggunakan kamera sebagai alat pemicu untuk memunculkan krisis. Dalam aliran ini, pembuat
film cenderung secara sengaja memprovokasi untuk memunculkan kejadian-kejadian tak
terduga.

Cinéma vérité tidak percaya kalau kehadiran kamera tidak mempengaruhi penampilan keseharian
subjek, walaupun sudah diusahakan tidak tampil dominan. Menurut mereka, kehadiran pembuat
film dan kameranya pasti akan mengganggu keseharian subjek. Tidak mungkin subjek tidak
memperhitungkan adanya kehadiran orang lain dan kamera. Subjek pasti memiliki agenda-
agenda mereka sendiri terkait dengan keterlibatan mereka dalam proses pembuatan dokumenter
tersebut. Oleh karenanya, ketimbang berusaha membuat subjek lengah terhadap kehadiran
pembuat film dan kamera—yang menurut mereka tidak mungkin terjadi—pergunakan saja
kamera sebagai alat provokasi untuk memunculkan krisis atau ide-ide baru yang spontan dari
kepala subjek.

Pendekatan ini sangat menyadari adanya proses representasi yang terbangun antara pembuat film
dengan penonton seperti halnya pembuat film dengan subjeknya. Itu sebabnya, pembuat film
dalam aliran ini tidak berusaha bersembunyi, mereka justru tampil menempatkan diri sebagai
orang pertama, sebagai penyampai issue sehingga tidak jarang mereka tampil langsung di
kamera atau berbicara kepada subjek, kepada penonton ataupun kepada dirinya sendiri. Pembuat
film berbicara langsung ke kamera ataupun melalui voice over. Bahkan ada berapa pembuat film
yang merasa perlu menampilkan proses kegiatan perekaman-aktivitas kru in-frame langsung atau
melalui bayangan di cermin selama rekaman berlangsung—untuk mengingatkan penonton
bahwa kru film juga bagian dari proses komunikasi yang sedang mereka lakukan.

Sumber : http://paradiza.blogspot.com/2010/03/bentuk-bentuk-film-dokumenter.html

Persinggungan Antara Bentuk & Tipe Film


Posted: September 5, 2010 by saungsinema in Uncategorized

Ada pertanyaan yang kemudian muncul, yaitu bagaimana melihat persinggungan antara tipe film
dan bentuk film itu sendiri, sebab secara sepintas sulit menyatukan dua klasifikasi ini.
Walaupun tidak semuanya bisa dijelaskan, namun setidaknya cukup banyak yang bisa disatukan
dalam sebuah film. Untuk tipe fiksi dan bentuk naratif mungkin tidak perlu penjelasan panjang, sebab banyak sekali film fiksi-naratif yang diproduksi
di seluruh dunia terutama film-film yang diputar di bioskop-bioskop. Yang perlu menjadi catatan adalah sisa dari keterkaitan antara bentuk dan tipe.

1. Naratif dan Dokumenter.

Sub-tipe doku-drama merupakan titik temu antara dokumenter dengan naratif, dimana peristiwa,
tokoh, ruang dan waktunya diambil dari kehidupan nyata, namun pembuatnya harus
menginterpretasi ulang dan membuatnya tampak meyakinkan bagi penonton bahwa kejadian
sesungguh adalah seperti yang digambarkannya.
2. Naratif dan Animasi.

Film-film animasi kartun adalah salah satu pertemuan titik antara bentuk naratif dengan tipe
animasi. Dalam layar lebar banyak sekali film animasi kartun yang diproduksi seperti Fantasia,
Beauty And The Beast dan sebagainya, sedangkan di televisi kita mengenal film kartun seperti
Doraemon, Crayon Sinchan, Popeye, Scoby Doo dll.
3. Naratif dan Eksperimental.

Seringkali menjadi sulit mencari contoh dari film naratif dengan bungkusan eksperimental,
namun setidaknya ada beberapa contoh yang dapat digunakan seperti Un Chien Andalou (Luis
Bunuel), Pink Floyd : The Wall (Alan Parker), Parfumed Nightmare (Kidlat Tahimik) dsb.

Sedangkan titik temu antara bentuk non-naratif dengan tipe yang lain adalah seperti berikut :
4. Non-Naratif (Categorical) dan Fiksi.

Sub-tipe mockumentary adalah pertemuan antara categorical dengan fiksi, dimana peristiwa,
tokoh, ruang dan waktunya merupakan hal fikstif, namun pembuatannya menggunakan
pendekatan struktur serta aspek teknis dari dokumenter.
5. Non-Naratif (Categorical) dan Dokumenter.

Bentuk categorical memang awalnya ditujukan untuk dokumenter dan umumnya digunakan
untuk hampir seluruh jenis dokumenter seperti ilmu pengetahuan, perjalanan, sejarah,
instruksional dan lain sehingga.
6. Non-Naratif (Categorical) dan Animasi.

Sebenarnya titik temu awalnya sangatlah sulit dicari contohnya, namun setelah melihat Waltz
With Bashir (Ari Folman) maka animasi-categorical ini menjadi memungkinkan. Film ini
menceritakan sebuah penulusuran dari memori sang sutradara, namun dikemas dengan tipe
animasi sehingga terpaksa bentuk categorical-nya cenderung menguat.
7. Non-Naratif (Rethorical) dan Fiksi / Animasi.

Bentuk rethorical dan fiksi bergabung dalam film-film iklan (TVC) ataupun iklan layanan
masyarakat (PSA). Film-film tersebut cenderung melakukan persuasi yang kuat terhadap
masyarakat.
8. Non-Naratif (Rethorical) dan Dokumenter.

Bentuk rethorical dan dokumenter cenderung muncul pada dokumenter dengan pendekatan
propaganda, seperti yang terjadi dalam film Triumph of the Wheel (Leni Refensthal) dan Why
We Fight ? (Frank Cappra).
Baik bentuk categorical ataupun rethorical sangat sulit mencari titik temunya dengan eksperimental, karena kencenderungan wujudnya yang sangat absurd.

9. Non-Naratif (Abstract) dan Fiksi / Animasi / Eksperimental.

Bentuk abstract sebagian besar merupakan fiksi dan ketika pembuatannya menggunakan elemen
realis ataupun dengan teknik animasi maka akan cenderung menjadi film yang bersifat
eksperimental. Misalnya film Dot (Norman McLaren), Mothlight (Stan Brakhage), Berita Hari
Ini Tentang Dian Sastro (Faozan Rizal) dsb.

Dokumenter Dalam Klasifikasi Bentuk Film


Posted: September 5, 2010 by saungsinema in Uncategorized

Pada kategori bentuk film, Bordwell membaginya menjadi dua yaitu bentuk naratif (bercerita) dan bentuk non-naratif.

1. Bentuk Naratif

Bentuk naratif merupakan sebuah bentuk penceritaan yang peristiwanya memiliki hubungan
sebab akibat yang jelas dan terjadi dalam ruang serta waktu yang jelas pula. Dikarenakan
penceritaan dalam film didasari oleh bidang sastra dan drama.
Bagaimanapun juga selain adanya aspek ruang, waktu, peristiwa dan manusia, naratif juga tidak hanya melibatkan aspek cerita (story), akan tetapi nantinya
penceritaan itu akan terbagi lagi menjadi plot.
Ada beberapa pemahaman tentang plot ini sendiri, namun kalau mau gabungkan untuk memenuhi definisi di dalam film, yaitu segala unsur yang terlihat dan terdengar
oleh penonton di layar, di mana unsur-unsur tersebut merupakan penggalan-penggalan cerita yang dipilih oleh pembuatnya agar dapat dirangkai sehingga bisa
mewakili penceritaan. Artinya dari plot ini penonton akan merangkaikan seluruh aspek-aspeknya hingga terbentuk cerita (story) dibenaknya, dengan kata lain story
adalah konstruksi abstrak penonton dari penyusunan plot-plot di dalam kepalanya.

Selain itu, naratif di dalam film juga memiliki struktur yang tentu saja berbeda dengan sastra (roman) maupun drama (teater), walaupun ada kedekatan, namun struktur
di dalam film lebih banyak menyesuaikan dengan durasi maksimal yang umum ada atau dikenal oleh masyarakat, yaitu antara beberapa menit hingga 3 jam. Oleh
karena itu ada pembagian dua struktur besar, Struktur Hollywood Klasik yang dikenal di Indonesia dengan Struktur 3 Babak dan lawannya, Struktur Art Cinema
Naration.

2. Bentuk Non-Naratif.

Bentuk ini bukannya tidak bercerita, hanya saja cara menceritakannya berbeda dengan naratif
yang seperti orang mendongeng, artinya aspek story, plot, ruang, waktu, peristiwa dan manusia
tetap ada hanya saja cara menyampaikannya berbeda. Oleh karena itu, cara bercerita non-naratif
dalam buku David Bordwell ini sangat beragam dan setidaknya ada empat cara bercerita dalam
bentuk ini :

a. Categorical

Film dibuat kategori agar dapat dikumpulkan per sub-temanya. Bordwell mengibaratkan cara ini seperti
memasuki supermarket dimana setiap barang akan dikategorikan menurut jenisnya dan bukan merknya. Banyak film dokumenter yang masuk dalam wilayah ini,
terutama dokumenter yang umum ditayangkan seperti di televisi publik ataupun televisi berbayar.

b. Rethorical

Film ini memiliki persuasi yang kuat untuk mempengaruhi penontonsehingga kesan propaganda melekat erat dalam bentuk ini. Tipe film yang banyak
menggunakan metode ini adalah film iklan yang banyak ditayangkan di televisi dan dokumenter propaganda, seperti film Triumph of the Will (Leni Refensthal) dan
Why We Fight ? (Frank Cappra) .

c. Abstract

Penceritaan film ini mengikuti sebuah usaha untuk mengeluarkan suatu ekpresi paling dalam dari pembuatnya.
Umumnya sulit untuk dicerna oleh penonton, namun karena didasari oleh kebebasan berekspresi sehingga sering permasalahan penonton tidak lagi menjadi yang
utama. Film eksperimental, di tahun 1970-an dikenal dengan expanded cinema atau sekarang ini banyak seniman yang lebih mengenalnya sebagai video art adalah
contoh dari film dengan bentuk abstrak, seperti film-film dari Stan Brakhage, Tan Jun Paik, Norman McLaren, Hans Richter, Walter Ruttman, Luis Bunnuel dsb. Film
dalam sub-bentuk ini pada masa sekarang banyak dipakai pada video musik.

d. Associational

Film-film dalam bentuk ini sekilas mirip dengan bentuk abstrak, namun sesungguhnya sangatlah berbeda. Film
bentuk ini biasanya menggunakan gambar-gambar yang tidak memiliki hubungan ruang, waktu ataupun peristiwa, namun memiliki tujuan yang sama untuk mengarah
pada satu tema atau sub-tema penceritaan. Dokumenter dengan jenis association picture story menggunakan bentuk ini, seperti karya Man With A Movie Camera
(Dziga Vertov), Baraka (Ron Fricke) serta trilogi film Geodfrey Regio : Powwaqqatsi, Koyanisqatsi dan Naqoyqatsi.

Dokumenter Dalam Klasifikasi Tipe Film


Posted: September 3, 2010 by saungsinema in Uncategorized

Dalam buku Film Art : An Introduction, David Bordwell menuliskan adanya tipe-tipe film yang
dibedakan dari bentuknya. Bordwell menggunakan kata tipe dan bukan jenis, untuk
membedakannya dengan genre (jenis). Tipe-tipe tersebut adalah film fiksi, film dokumenter, film
animasi dan film eksperimental. Bila ditinjau lebih jauh, Bordwell mencoba menyederhanakan
tipe-tipe tersebut merupakan kategori dari film yang berkembang dan dibuat di seluruh dunia.
Adapun definisinya adalah :
1. Film Fiksi adalah film yang tokoh, peristiwa, ruang dan waktunya direkayasa. Kita tentu mengetahui bila film fiksi ini jauh lebih berkembang karena faktor
penceritaannya yang seperti dongeng. Lagipula film-film tipe ini cenderung lebih nyaman untuk dinikmati.

2. Film Dokumenter menjadi lawan dari fiksi, di mana tokoh, peristiwa, ruang dan waktunya tidak direkayasa atau otentik ada dan terjadi.

Anehnya untuk dua definisi terakhir, Bordwell justru merujuk pada penggunaan yang teknis atau personal yaitu :

3. Film Animasi adalah usaha ‘menghidupkan’ sesuatu non-manusia agar mendekati seperti kehidupan manusia itu sendiri. Secara tradisional, tekniknya sering
disebut dengan frame by frame technique, artinya pengambilan shot-nya adalah per gambar. Jadi bila akan membuat film yang panjangnya 1 detik saja maka harus
disediakan 24 gambar bila akan direkam dengan kamera film dan 25 gambar bila menggunakan kamera video. Sebenarnya teknik film animasi yang kemudian
berkembang juga menjadi semakin banyak, misalnya stop motion, clay animation, pixilation, animasi boneka, animasi tiga dimensi yang menggunakan computer-
generated imagery (CGI), animasi dua dimensi dan masih banyak lainnya.

4. Film Eksperimental merupakan film yang sangat menekankan ekspresi personal paling dalam dari pembuatnya. Karya-karya dalam film ini nyaris semuanya
abstrak, tentu saja hal ini berkaitan dengan kemunculannya yaitu oleh Hans Richter, Walter Ruttman, Luis Bunnuel, Salvador Dali dan para seniman lainnya yang
menjadi pita seluloid ini hanya sebagai pengganti kanvasnya. Seniman-seniman itu juga lebih banyak merupakan seniman dari aliran dadaisme, surrealisme ataupun
impresionisme. Sehingga film-film dari tipe pada waktu itu ini jarang sekali menjadi konsumsi publik karena sangat sulit dimengerti dan cenderung tidak bercerita.

Akan tetapi umumnya masyarakat pembuat film terutama dokumenter cenderung melawankan film dokumenter dengan film fiksi bila dilihat dari definisi keduanya.
Namun bagaimanapun juga karena film adalah sebuah media, pastinya akan ada singgungan antara dokumenter dengan fiksi yang akhirnya akan memunculkan
bentuk, pendekatan ataupun gaya tertentu.

Seringkali singgungan itu terjadi ketika pembuat filmnya secara serius ataupun main-main mencoba untuk mencampurkan antara fakta-fakta otentik dengan sesuatu
yang fiktif. Bisa juga film fiksi yang menggunakan gaya teknis dokumenter sehingga penonton menjadi tertipu karenanya.

Walaupun sangat terbuka untuk perdebatan, saya mencoba untuk memformulasi kemungkinan
percampuran antara dokumenter dengan fiksi. Secara sederhana kita dapat membaginya menjadi
3 tipe besar, yaitu :

1. Fiksi : Apabila kandungan fiktifnya 75 % hingga 100 % dari keseluruhan film.

2. Dokumenter : Apabila kandungan faktanya 75 % hingga 100 % dari keseluruhan film.

3. Semi-Dokumenter : bila kandungan fiktifnya dan faktanya berkisar antara 40 % hingga 60


% dari keseluruhan film ataupun bisa juga seimbang.
Tentu saja yang dapat menghitung prosentase tersebut adalah pembuat film itu sendiri serta
tujuan awal para pembuat film, apakah ingin membuat fiksi atau dokumenter dapat turut
menentukan tipe yang dipilihnya.

Namun dari dari tipe fiksi sendiri muncul beberapa sub-tipe lagi yang merupakan usaha dari
pembuat film ketika melakukan pendekatan terhadap filmnya, yaitu :

4. Doku-Drama : sub-tipe ini adalah sebuah interpretasi ulang terhadap peristiwa nyata sehingga
hampir seluruh film cenderung untuk direkonstruksi, misalnya tokoh dan ruang peristiwa tersebut akan dicari ataupun dibuat ulang agar dapat semirip mungkin
dengan aslinya. Contoh dari film sub-tipe ini adalah JFK (Oliver Stone), G30S/PKI (Arifin C. Noer), Johny Indo (Franky Rorimpandey), All The President’s Men
(Alan J. Pakula) dsb.

5. Mockumentary : sub-tipe ini biasanya mengadopsi gaya teknis yang umumnya digunakan film
dokumenter, misalnya hand-held camera dan available light (sinematografi), wawancara (mise en scene), cut-away (editing) dan narasi (suara) yang mampu
menipu penonton sehingga seringkali film dengan model seperti ini dikira dokumenter. Pendekatan dalam filmnya dibuat komedi ataupun satir dengan tujuan
menganalisa peristiwa dan isu yang sedang terjadi dengan memanfaatkan setting fiktif. Contoh dari film sub-tipe ini adalah This Is Spinal Tap (Rob Reiner) dan 24
Hours Party People (Michael Winterbottom).

Seringkali ada juga film fiksi yang menggunakan setting peristiwa nyata, sehingga pembuat
filmnya harus merekonstruksi peristiwa, ruang dan waktunya seperti yang dilakukan oleh doku-
drama, namun tokoh-tokoh yang dihadirkannya adalah tokoh fiktif. Contoh filmnya adalah
Titanic (James Cameron).

Perihal Dokumenter
Posted: September 3, 2010 by saungsinema in Uncategorized

A. MENYAMPAIKAN KEBENARAN

Sampai hari ini, masih banyak yang percaya bahwa film dokumenter berfungsi untuk
menyampaikan dan menampilkan kebenaran dalam kehidupan manusia, sehingga pembuat film
dokumenter dengan sekuat tenaga akan menggunakan seluruh sumber daya dan sarana yang ada
untuk mewujudkannya. Tentu saja apa yang disajikan oleh para pembuat film dokumenter
adalah footage dari masa kini ataupun masa lalu untuk mengeksplorasi subjek tertentu, termasuk
peristiwa sejarah dan peristiwa kekinian, juga fenomena alam, profil pesohor, seni–budaya serta
segala macam tema yang bisa dibayangkan.

B. GAYA DAN SUDUT PANDANG (POINT OF VIEW)

Film dokumenter secara signifikan akan selalu dibuat bervariasi terutama dalam aspek gaya dan
sudut pandangnya. Film dokumenter yang dibuat secara konvensional, seperti In Search of
Mozart, selalu menggunakan footage (gambar bergerak) dan foto (gambar diam) untuk
mengantarkan penonton masuk ke dalam subjeknya, yang dalam kasus ini adalah kehidupan dan
dunia musik Wolfgang Amadeus Mozart ketika muda.
Pada spektrum gaya yang lain, film dokumenter juga dibuat dengan pendekatan eksperimental,
contohnya dalam film Mayhem (1987) karya Abigail Child, di mana ekspresi pribadi sangatlah
kuat dengan menggunakan jukstaposisi gambar yang tak terduga.

Para pembuat film dokumenter panjang seperti Michael Moore dalam film Sicko (2007) juga
mengugunakan teknik jukstaposisi gambar dalam mengkonstruksi ceritanya, sedangkan Michael
Winterbottom dan Mat Whitecross dalam film Road To Guantanamo (2006) justru menggunakan
pendekatan fiksi (semi dokumenter) untuk menceritakan apa terjadi di sana ketika footage
aslinya tidak tersedia.

C. PROPAGANDA YANG KUAT

Film dokumenter yang kuat dapat mempengaruhi kehidupan sosial dan politik suatu masyarakat.
Dengan sangat halus, sutradara biasanya memiliki sudut pandang yang akhirnya menyatu dengan
nilai propaganda terhadap permasalahan yang disampaikannya. Oleh karena itu penonton harus
peka terhadap kemungkinan adanya bias itu.

Contoh itu ada dalam dokumenter klasik, Triumph of the Will (1935) karya Leni Reifenstahl
yang saat itu menjadi ‘tangan kanan’ Adolf Hitler dalam urusan media film. Di sisi lain, Amy
Berg nominasi piala Oscar dalam Deliver Us From Evil (2006), yang membeberkan pelecehan
anak oleh rohaniwan Katolik di Los Angeles yang menyebabkan Keuskupan Agung Los
Angeles menawarkan $ 660 juta kepada korban pelecehan untuk penyelesaian kasus tersebut
baru-baru ini.

D. KONFLIK KEPENTINGAN (CONFLICT OF INTEREST)

Saat menonton film dokumenter dengan kemungkinan biasnya sudut pandang sutradara, maka
salah satu kesadaran yang perlu diangkat adalah sumber pendanaan pembuatan film tersebut.
Misalnya ketika perusahaan rokok membiayai film yang menunjukkan rokok sebagai gaya hidup
ataupun ketika The Dixie Chicks merekrut Barbara Kopple menyutradari Shut Up & Sing
(2006) yang menceritakan kembalinya mereka ke tengah panggung, di mana mereka mengkritisi
Perang Irak yang dilancarkan George Walker Bush. Dikarenakan film ini menceritakan mereka
yang masuk ke industri musik kembali, maka membuat informasi dan pesan film tentang Perang
Irak seperti kurang dipercaya.
E. ETIKA DAN AKUNTABILITAS

Konflik kepentingan dan adanya kredibilitas yang dipertanyakan bukan satu-satunya standar
yang dipertimbangkan dalam film dokumenter. Unsur lain yang dipertimbangkan oleh pembuat
film adalah digunakannya subjek hidup dan merekamnya dengan akurasi tinggi. Dalam Tootie’s
Last Suit (2006), Lisa Katzman mengikuti Mardi Gras ‘India’ untuk menentukan kostum siapa
yang paling ‘bagus’. Film ini mengungkap persaingan antara Tootie dan putranya di mana kedua
subjek tersebut merasa merana saat menonton, tapi sang sutradara tidak bisa disalahkan karena
mengkhianati kepercayaan mereka.

F. EVOLUSI PEMBUATAN FILM DOKUMENTER


Pembuatan film dokumenter telah berkembang selama puluhan tahun. Film awal seperti Nanook
of the North (1930) karya Robert Flaherty saat itu memerlukan peralatan canggih untuk membuat
gambar menarik tetapi tidak sempurna. Teknologi digital saat ini memungkinkan para pembuat
film – professional dan amatir – menggunakan cara gerilya (seperti hanya perekaman yang dapat
mengungkapkan kebenaran tentang berbagai hal namun mereka sedang difilmkan tidak
menyadarinya).
G. SEKARANG SUDAH LEBIH POPULER

Film dokumenter menjadi semakin populer di masyarakat karena teknologinya membuat mereka
bisa menjangkau untuk masuk profesi tersebut. Penonton juga cenderung lebih percaya dan
tertarik terhadap sumber informasi para pembuat film pemula tersebut, dibandingkan dengan
film yang diproduksi oleh lembaga mainstream di mana informasinya sering dipotong–potong
untuk kepentingan berita mereka daripada untuk kepentingan substansi ceritanya.

NB : Tulisan ini merupakan terjemahan bebas dari sebuah situs di internet yang saya sudah lupa,
mohon maaf bagi yang situsnya diterjemahkan. Ini hanya untuk berbagi.

Ide Membuat Film Dokumenter


Posted: September 3, 2010 by saungsinema in Uncategorized

Ide Membuat Film Dari mana kita mendapatkan ide ? Dalam pelatihan-pelatihan pembuatan
film, seringkali muncul pertanyaan. Dari mana ide bisa didapat ? Kecenderungan jawaban yang
berkembang adalah dari mana saja. Keluarga, kawan, musik, baca buku dan lain sebagainya.

Memang pendapat ini tidaklah salah, sebab kita memang bisa mendapatkan ide dari manapun.
Namun kalau seorang pembuat film ditanya, dari mana dia mendapatkan idenya, maka ada
jawaban menarik dari beberapa pembuat filmnya, yaitu dari kesehariannya. Dikarenakan
permasalahan-permasalahan yang ada di dirinyalah yang dia pahami.

Benar sekali, bahwa dalam membuat film – terutama yang baru memulai – akan lebih baik
adalah sesuatu yang dekat dengan si pembuatnya, karena sesungguhnya ada tiga tigkatan dalam
memahami sesuatu :

1. Tahu

Ini adalah tingkatan yang paling rendah, sebab kita hanya sekedar mengetahui sesuatu dan
biasanya hanya permukaannya saja.

2. Kenal.

Tingkatan yang biasanya, sesuatu itu telah kita ketahui lebih dalam namun terkadang masih
banyak juga informasi yang belum diketahui.

3. Paham.
Sesuatu sudah kita ketahui sampai seluk-beluknya sehingga si pembuat sudah sangat dekat
dengan permasalahan tersebut.

Contohnya : Informasi tentang Gang Langgar.

1. Tahu

Bedul tahu letak Gang Langgar, misalnya dekat stasiun atau sebelah Bank Clurut.

2. Kenal

Bedul kenal letak Gang Langgar, misalnya dekat stasiun, banyak tukang becak mangkal, jalan
tersebut satu arah dan banyak anak-anak bermain.

3. Paham

Bedul paham letak Gang Langgar, misalnya dekat stasiun, banyak tukang becak mangkal, jalan
tersebut satu arah, banyak anak-anak bermain, kalau malam mesin motor yang lewat harus
dimatikan, gang paling aman di daerah itu, dibangun oleh H. Kubil dan lain sebagainya.

Intinya, bila ingin mulai membuat film – baik film cerita maupun film dokumenter – sebaiknya
mulailah mencari ide dari sesuatu yang dekat dengan pembuatnya. Hal yang paling mudah
adalah kamar, rumah, tetangga, lingkungan dst. Selain melatih kepekaan dalam menghadirkan
ceritanya, juga memudahkan kita dalam menyediakan dan memperlihatkan elemen-elemen
visualnya.

Lalu bagaimana bila kita ingin membuat film yang idenya hanya sesuatu yang menarik kita. Cara
satu-satunya adalah dengan melakukan riset terhadap ide tersebut. Riset ini tidak harus seperti
para peneliti, walalupun kalau kita melakukannya seperti peneliti juga akan lebih baik. Riset di
sini maksudnya adalah kita menggali informasi sebanyak dan sedalam mungkin sehingga
pembuatnya dapat memahami permasalahannya. Oleh karena itu bila ingin membuat film dari
ide yang kita tahu saja pastinya akan membutuhkan waktu yang jauh lebih lama dari perkiraan
kita.

Membedakan Dokumenter
Posted: September 1, 2010 by saungsinema in Uncategorized

Bagaimana membedakan film dokumenter dengan film atau tayangan audio-visual yang lain di
mana tayangan tersebut dianggap mirip atau bahkan dianggap sama. Misalnya beda dokumenter
dengan film dokumentasi dan jurnalistik televisi.

Banyak orang ketika mengucapkan sebuah pernyataan,”film kamu ini dokumentasi, bukan
dokumenter!” Lalu ketika ditanya perbedaannya, mereka ‘clegukan’ tidak bisa menjelaskan.
1. Persamaan

Persamaan antara dokumenter, dokumentasi dan jurnalistik televisi adalah objeknya. Artinya
bahwa apa yang menjadi pembahasan, perekaman dan pengamatannya adalah segala macam hal
yang bersifat faktual dan juga aktual.

2. Perbedaan

a. Film Dokumentasi adalah sebuah perekaman gambar dan suara yang hanya merekam kejadian
faktual dan aktual tanpa ada pretensi apapun terutama penceritaan. Intinya hanya sekedar
merekam belaka tanpa ada ‘embel-embel’ tertentu. Bahkan terkadang dokumentasi tidak melalui
proses editing, yang ada hanya melalui proses cutting (potong-sambung) yang tujuannya untuk
memperpendek durasi. Dengan kata lain, dokumentasi tidak memiliki ideologi yang ingin
disebarkan kepada penontonnya.

b. Junalistik Televisi adalah sebuah tayangan yang menggunakan perekaman gambar dan suara
yang faktual, namun biasanya tayangan tersebut sudah melalui unsur editing untuk disesuaikan
dengan naskah pemberitaan. Jadi dalam jurnalistik televisi sudah ada ideologi dan tujuannya,
artinya biasanya saat merekam sudah terjadi pemilihan / seleksi gambar dan suara, tentu saja
yang sesuai dengan ideologi dan tujuan tayangan tersebut.

c. Film Dokumenter adalah sebuah film yang menggunakan perekaman gambar dan suara yang
faktual dan aktual. Film tipe ini juga memiliki tujuan dan ideologi, sehingga seringkali dikaitkan
dengan jurnalistik. Namun apa yang membedakan antara dokumenter dengan tipe audio-visual
lainnya adalah story-telling (penceritaan) di mana jurnalistik dan dokumentasi tidak
memilikinya.

Dengan demikian, misalkan ada sebuah pernikahan seorang kawan, yang awalnya di benak kita
langsung menganggapnya akan menjadi dokumentasi, maka hal itu bisa saja menjadi film
dokumenter ataupun laporan jurnalistik televisi tergantung apakah hanya berhenti pada pelaporan
jurnlistik dengan tujuan tertentu atau ada penceritaannya yang mendalam sehingga menjadi
sebuah film dokumenter.

Definisi Dokumenter
Posted: September 1, 2010 by saungsinema in Uncategorized

I. Wacana

Banyak perdebatan tentang film, terutama dokumenter. Celakanya di Indonesia, perdebatan itu
masih di sekitar wilayah pemahaman dasar, padahal di negeri-negeri tempat dokumenter itu
berasal seperti Perancis, Russia, Inggris dan lain sebagainya, para pembuat dan teoritikusnya
bahkan hampir tidak lagi berbincang tentang masalah realitas dan fakta, namun sudah lebih dari
itu.
Satu dekade belakangan fenomena pembuatan film menjadi menguat terutama dikarenakan
adanya lompatan teknologi video yang harganya menjadi sangat terjangkau.Sudah tidak aneh
bila tiba-tiba saja ada orang yang mengaku sutradara, padahal di masa lalu hal seperti itu
sangatlah sulit diraih. Perkembangan teknologi ini juga kemudian menjadikan film tidak lagi
ekslusif, sehingga memungkinkan setiap orang yang bisa mengaksesnya untuk membuat film.

Sayangnya hal tersebut tidak dibarengi dengan pemahaman yang baik tentang produksi film itu
sendiri, bahkan pengadopsian istilah-istilah dari dunia perfilman di barat (Amerika Serikat)
menjadi sangat arbitrer. Contohnya saja ketika salah seorang pembuat film menggunakan
istilah independen, maka hampir semua orang yang berhubungan dengan film
menerjemahkannya dengan seenak pikirnya. Beberapa diskusi bahkan tidak mengetahui
darimana istilah independen berasal, sampai-sampai ada yang menggunakan kata indische untuk
mencari kata itu. Padahal kalau benar-benar membaca sejarah film terutama di Amerika Serikat,
istilah itu tidak sulit untuk ditemukan bahkan sampai ke sejarahnya.

Kembali lagi pada pemahaman dasar produksi film, banyak pembuat film di Indonesia ini
kemudian hanya tahu bahwa kalau membuat film itu ambil kamera, shoot dan masuk
editing. Dalam dunia dokumenter sendiri bila mau shooting yang mereka lakukan adalah
mendatangi narasumber dan wawancara. Setelah itu mereka tinggal mengambil gambar
sekedarnya untuk disesuaikan dengan isi wawancaranya. Sekarang ini bisa dilihat, banyak dari
para pembuat dokumenter itu tidak lagi memahami bagaimana cara bercerita yang baik ?
Bagaimana merencanakan film dokumenter ? Apa mise en scene yang harus direkam ? Apakah
suara penting dalam dokumenter ? Namun sebelum lebih jauh masuk ke permasalahan tersebut,
maka ada baiknya kita melihat dulu apa definisi dokumenter, sehingga dapat dengan
memudahkan atau membantu bagi yang ingin memulainya.

II. Definisi Dokumenter

1. Sesungguhnya kata ini muncul dari tulisan John Grierson ketika menanggapi film-film karya
Robert Flaherty, terutama sekali Nanook of the North. Film yang berdurasi kurang lebih 1,5 jam
itu tidak lagi ‘mendongeng’ ala Hollywood. Grierson kemudian menyampaikan pandangannya
bahwa apa yang dilakukan oleh Flaherty tersebut merupakan sebuah perlakuan kreatif terhadap
kejadian-kejadian actual yang ada (the creative treatment of actuality).

Walaupun definisi ini bertahan cukup lama, kemudian bermunculanlah orang-orang yang
mencoba mendefinisikan dengan caranya masing-masing (arbitrer) seperti yang coba
dikumpulkan berikut ini :

2. Paul Rotha :

Definisi Dokumenter bukan merujuk pada subyek atau sebuah gaya, namun dokumenter adalah
sebuah pendekatan. Pendekatan dalam dokumenter dalam film berbeda dari film cerita. Bukan
karena tidak dipedulikannya aspek kriya / kerajianan (craftsmanship) dalam pembuatannya,
tetapi dengan sengaja justru memperlihatkan bagaimana kriya tersebut digunakan.
3. Paul Wells :

Teks Non-Fiksi yang menggunakan footage–footage yang aktual, di mana termasuk di dalamnya
perekaman langsung dari peristiwa yang akan disajikan dan materi-materi riset yang
berhubungan dengan peristiwa itu, misalnya hasil wawancara, statistik, dlsb. Teks-teks seperti ini
biasanya disuguhkan dari sudut pandang tertentu dan memusatkan perhatiannya pada sebuah isu-
isu sosial tertentu yang sangat memungkinkan untuk dapat menarik perhatian penontonnya.

4. Steve Blandford, Barry Keith Grant dan Jim Hillier :

Pembuatan film yang subyeknya adalah masyarakat, peristiwa atau suatu situasi yang benar-
benar terjadi di dunia realita dan di luar dunia sinema.

(The Film Studies Dictionary, halaman 73).

5. Frank Beaver :

Sebuah film non-fiksi. Film Dokumenter biasanya di-shoot di sebuah lokasi nyata, tidak
menggunakan actor dan temanya terfokus pada subyek–subyek seperti sejarah, ilmu
pengetahuan, social atau lingkungan. Tujuan dasarnya adalah untuk memberi pencerahan,
member informasi, pendidikan, melakukan persuasi dan memberikan wawasan tentang dunia
yang kita tinggali.

(Dictionary of Film Terms, halaman 119)

6. Louis Giannetti :

Tidak seperti kebanyakan film-film fiksi, dokumenter berurusan dengan fakta-fakta, seperti
manusia, tempat dan peristiwa serta tidak dibuat . Para pembuat film dokumenter percaya
mereka ‘menciptakan’ dunia di dalam filmnya seperti apa adanya.

(Understanding Movies , Edisi Ke-7, halaman 339)

7. Timothy Corrigan :

Sebuah film non-fiksi tentang masyarakat dan peristiwanya, seringkali mengabaikan struktur
naratif yang tradisional.

(A Short Guide to Writing About Film, Edisi Ke-4, halaman 206).

8. Michael Rabinger :

Dokumenter harusnya dibuat dengan hati dan bukan hanya dengan pikiran kita saja. Film
dokumenter ada untuk mengubah cara kita merasakan sesuatu.

9. Ralph S. Singleton and James A. Conrad :


Film dari sebuah peristiwa yang aktual. Peristiwa-peristiwa tersebut didokumentasikan dengan
menggunakan orang-orang biasa dan bukan actor.

(Filmmaker’s Dictionary, Edisi Ke-2, halaman 94)

10. Edmund F. Penney :

Suatu jenis film yang melakukan interpretasi terhadap subyek dan latar belakang yang nyata.
Terkadang istilah ini digunakan secara luas untuk memperlihatkan aspek realistiknya
dibandingkan pada film-film cerita konvensional. Namun istilah ini juga telah menjadi sempit
karena seringkali hanya menyajikan rangkaian gambar dengan narasi dan soundtrack dari
kehidupan nyata.

(Facts on File Film and Broadcast Terms, halaman 73).

11. James Monaco :

Istilah dengan makna yang sangat luas, secara mendasar digunakan untuk merujuk pada film atau
program televisi yang tidak seluruhnya fiktif saat menyajikan alam.

(The Dictionary of New Media, halaman 94)

12. Ira Konigsberg :

Sebuah film yang berkaitan langsung dengan suatu fakta dan non-fiksi yang berusaha untuk
menyampaikan kenyataan dan bukan sebuah kenyataan yang direkayasa. Film-film seperti ini
peduli terhadap perilaku masyarakat, suatu tempat atau suatu aktivitas.

(The Complete Film Dictionary, Edisi Ke-2, halaman 103).

13. Gerald Mast dan Bruce F. Kawin

Sebuah film non-fiksi yang menata unsur-unsur faktual dan menyajikannya, dengan tujuan
tertentu.

(A Short History of the Movies, Edisi Ke-7, halaman 64).

14. David Bordwell dan Kristin Thompson

Justru yang menarik adalah apa yang dikatakan oleh David Bordwell dan Kristin
Thompson dalam Film Art: An Introduction, Edisi Ke-5. Menurutnya bahwa inti dari film
dokumenter adalah untuk menyajikan informasi yang faktual tentang dunia di luar film itu
sendiri. Bedanya dengan fiksi adalah dalam pembuatannya tidak ada rekayasa baik dari tokohnya
(manusia), ruang (tempat), waktu dan juga peristiwanya.

15. Misbach Yusabiran


Misbach Yusabiran melalui Penulis Skenario, Armantono pernah mengatakan bahwa
dokumenter adalah suatu dokumentasi yang diolah secara kreatif dan bertujuan untuk
mempengaruhi (mem-persuasi) penontonnya. Dengan definisi ini, film dokumenter seringkali
menjadi sangat dekat dengan film-film yang bernuansa propaganda.

Sumber : http://saungsinema.wordpress.com/

You might also like