You are on page 1of 9

Kasus Dugaan Penggelapan Pajak Gayus

Tambunan Mencurigakan
Selasa, 23 Maret 2010 | 21:36 WIB
Besar Kecil Normal

Gayus Tambunan

TEMPO Interaktif, Jakarta - Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum mencium adanya
indikasi ketidakberesan dalam kasus penggelapan pajak Gayus Tambunan senilai 24 miliar.
Sekretaris Satgas Antimafia Hukum, Denny Indrayana, mengaku heran duit sebanyak 24 miliar
milik pegawai negeri golongan III di Direktorat Jenderal Pajak itu tiba-tiba berkurang dratis.

"Kemana aliran dana sekitar Rp 24 miliar di rekening Gayus. Masa yang tersisa hanya Rp 442
juta. Ini patut dicurigai," kata Denny seusai bertemu dengan Jaksa Agung Hendarman Supandji
di Kejaksaan Agung, Selasa (23/3).

Atas dasar itu, kata Denny, Satgas telah melakukan koordinasi dengan pihak kejaksaan untuk
mendalami dan menelusuri kemana aliran duit itu mengalir. Sejak Komisaris Jenderal Susno
Duadji melaporkan kasus ini, Denny mengaku telah mengumpulkan sejumlah dokumen dari
pihak-pihak terkait dan meminta penjelasan dari narasumber yang kompeten.

Sumber-sumber yang ada, menurut Denny, semakin menguatkan adanya mafia hukum yang
terlibat dalam kasus penggelapan pajak tersebut. Informasi yang telah dikantongi Satgas
keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan dan bisa dipercaya. Namun, Denny enggan
menyebut siapa sumber yang memberikan informasi itu. "Jangan dibuka, nanti orangnya nggak
mau ngomong lagi. Sumber itu bisa dipastikan bagus," kata dia.

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/03/23/brk,20100323-
234965,id.html
Kasus Gayus Tambunan Bukan Penggelapan
Pajak
Kamis, 25 Maret 2010 | 21:16 WIB
Besar Kecil Normal

TEMPO Interaktif, Jakarta - Ahli Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Jakarta, Yenti
Ganarsih berpendapat bahwa kasus yang menjerat Gayus Tambunan, pegawai Direktorat
Jenderal Pajak, tidak dapat disebut sebagai kasus penggelapan pajak. "Saya melihat itu
merupakan kasus penyuapan yang kemudian berujung pada pencucian uang," katanya kepada
Tempo di Jakarta, Kamis (25/3).

Yenti menilai bahwa dana sebesar Rp 25 miliar yang masuk ke dalam rekening milik Gayus
merupakan bentuk suap. "Dana itu kemudian dialirkan entah kemana sebagai bentuk pencucian
uang, dan masih tersisa sekitar Rp 400 Juta. Itu semua harus betul-betul ditelusuri," kata dia.

Seharusnya, Yenti melanjutkan, ada penelusuran lebih lanjut terkait sumber dana itu sendiri.
"Bisa saja uang itu diberikan oleh orang atau perusahaan yang memiliki kepentingan
penggelapan pajak," kata dia.

Oleh karena itu, dia menekankan perlunya penyidikan lebih lanjut agar terkuak jumlah kerugian
negara yang sebenarnya dari penggelapan pajak yang diduga melibatkan Gayus Tambunan
tersebut. "Sangat mungkin jumlahnya lebih besar dari Rp 25 miliar," kata Yenti.

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/03/25/brk,20100325-
235654,id.html

Ada 10 Kejanggalan dalam Kasus Gayus Tambunan


Metro Hari Ini / Hukum & Kriminal / Selasa, 23 November 2010 17:26 WIB

Metrotvnews.com, Jakarta: Setidaknya ada 10 kejanggalan dalam pengungkapan kasus mafia


pajak Gayus Tambunan. Hal itu membuat pihak-pihak petinggi yang diduga terlibat dalam kasus
terseubut tak tersentuh hukum.

Hal itu diungkapkan Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption
Watch (ICW) Febri DiansyaH di Jakarta, Selasa (23/11).

Febri menduga kasus itu direkayasa sehingga tak menyeret pihatk-pihak yang berkuasa.
Menurutnya, kejanggalan paling mencolok terkait desain sistematis untuk membonsaikan kasus
itu.

Gayus justru dijerat kasus PT Surya Alam Tunggal dengan kerugian negara hanya Rp570 juta.
Kasus itu diperkirakan ICW digunakan untuk menutupi kasus penggelapan pajak yang lebih
besar. Padahal, kasus utamanya kepemilikan rekening Rp28 miliar. Polisi tidak mengusut asal
muasal rekening itu dan save deposit Rp75 miliar.

Kejanggalan lain polisi tak memproses secara hukum tiga perusahaan Grup Bakrie, yakni PT
Bumi Resources, Kaltim Prima Coal, dan Arutmin. Padahal, Gayus berulangkali mengakui tiga
perusahaan itu menyetorkan uang kepadanya dan beberapa orang lain.

Gayus mengaku menerima uang hingga tiga juta dolar Amerika Serikat untuk mengurusi
sejumlah masalah pajak.

Selain itu ada kasus mafia hukum, dimana Kompol Afarat dan AKP Sumartini divonis bersalah.
Sementara Gayus di persidangan tidak tersentuh. Polisi pun cenderung melokalisir kasus itu
hanya sampai ke level perwira menengah. Sementara atasan para perwira menengah itu tak
tersentuh sama sekali.

ICW juga menyoroti tidak adanya tersangka lain di kalangan pejabat Ditjen Pajak. ICW
meyakini dalam melakukan penggelapan pajak, Gayus tidak bekerja sendirian.

Selain itu, ICW juga menilai Ditjen Pajak harus melakukan penilaian ulang terhadap seluruh
wajib pajak yang ditangani Gayus Tambunan, karena diduga ikut berberan dalam praktik
penyuapan. Gayus sendiri menangani langsung 44 wajib pajak.

Febri pun menemukan kasus pelesiran Gayus ke Bali sebagai efek domino dari ketidakseriusan
polisi menuntaskan kasus itu. Menurutnya, kejanggala itu cukup seagai alasan penyerahan kasus
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).(RIE)

http://www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2010/11/23/117453/Ada-10-
Kejanggalan-dalam-Kasus-Gayus-Tambunan

Kasus Gayus Tambunan, Menguak Mafia Hukum di


Indonesia
Tim independen yang dibentuk Kepala Kepolisian RI telah mengantongi bukti-bukti untuk
mengungkap keberadaan mafia hukum dalam penanganan kasus Gayus Halomoan Tambunan.
"Semuanya adalah bukti penting dan strategis," kata Denny Indrayana, Sekretaris Satuan Tugas
Pemberantasan Mafia Hukum.

Denny mengungkapkan hal itu dalam konferensi pers di gedung Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan di Jalan Juanda, Jakarta, kemarin sore. Namun ia enggan menyampaikan
apa saja bukti penting tersebut.
Anggota Satuan Tugas lainnya, Yunus Husein, juga tak bersedia menjawab soal dugaan adanya
aliran uang dari Gayus kepada para penegak hukum. Sebab, dari pemeriksaan atas pegawai
Direktorat Jenderal Pajak itu sebelumnya, beredar kabar bahwa ada "guyuran" sejumlah uang
kepada polisi, jaksa, hingga hakim masing-masing Rp 5 miliar.
Diduga gara-gara itulah Gayus terbebas dari hukuman. Dalam sidang di Pengadilan Negeri
Tangerang, 12 Maret lalu, Gayus, yang hanya dituntut satu tahun percobaan, dijatuhi vonis
bebas. "Mengalirnya (uang) belum kelihatan ke aparat negara atau ke penegak hukum," kata
Yunus.

Yang pasti, kata Yunus, setoran uang yang masuk ke rekening Gayus Tambunan berasal dari
perusahaan dan perorangan. Total uang yang diduga sebagai hasil korupsi, penggelapan, serta
berkaitan dengan pencucian uang itu Rp 28 miliar, bukan Rp 25 miliar seperti banyak
diberitakan.

Tentang keberadaan Gayus, yang kini dideteksi telah kabur ke Singapura, anggota Satuan Tugas,
Mas Achmad Santosa, menyatakan optimismenya bahwa polisi akan bisa segera menangkapnya.
"Dalam waktu tak lama Polri akan bisa menghadirkan GT (Gayus Tambunan)," kata Mas
Achmad.

Selain itu, Mas Achmad mengklarifikasi berita yang menyebutkan adanya 10 pejabat di
Direktorat Jenderal Pajak yang terlibat mafia, sebagaimana diungkapkan Gayus. Yang benar,
kata Mas Achmad, Gayus mengaku bahwa praktek yang dilakukannya itu sudah menjadi
semacam kelaziman di kantornya. "Secara berseloroh, dia bilang ada 10-an-lah yang seperti
dirinya," ujarnya.

Dengan adanya fakta dan pengakuan itu, Satuan Tugas mendesak agar kasus Gayus ini diusut
tuntas. Sebab, kata Denny Indrayana, kasus ini dinilai bisa meruntuhkan kepercayaan masyarakat
terhadap sistem perpajakan. "Sekarang saja sudah mulai muncul pemikiran untuk tidak
membayar pajak," kata Denny.

Satuan Tugas pun yakin bahwa terungkapnya kasus Gayus ini bisa menjadi pintu masuk bagi
pembenahan sistem perpajakan dan penegakan hukum. Perbaikan di kantor pajak, kata Denny,
antara lain dengan memperketat pengawasan di kalangan internal.

Menurut penilaian Satuan Tugas, upaya reformasi birokrasi di kantor pajak sebenarnya sudah
cukup berhasil membuat ruang gerak orang-orang seperti Gayus makin sempit. Namun, dengan
kecilnya peluang itu, praktek mafia perpajakan masih juga terjadi.

10 kejangglan gayus: http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=7923&l=analisis-icw-inilah-


10-kejanggalan-penanganan-kasus-gayus

Kasus gayus perkara bersama : http://www.pontianakpost.com/index.php?


mib=berita.detail&id=43561
PERBANDINGAN SUBSTANSI ANTARA KEPPRES 55 TAHUN 1993, PERPRES
NOMOR 36 TAHUN 2005, DAN PERPRES 65 TAHUN 2006

Posted by agust hutabarat on Mei 8, 2009 · 1 Komentar

Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana telah
ditetapkan dengan keputusan presiden Nomor 55 tahun 1993 sudah tidak sesuai sebagai landasan
hukum dalam rangka melaksanakan pembanguna untuk kepentingan.

Selanjutnya, Untuk lebih meningkatkan prinsip penghormatan terhadap hak hak atas tanah yang
syah dan kepastian hukum dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan kepentingan
umum, dipandang perlu mengubah peraturan presiden nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, karena dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan
kehidupan masyarakat saat ini.

Dengan dikeluarkannya perpres nomor 65 tahun 2006 yang merubah pasal 1 angka 3 perpres
nomor 36 tahun 2005 sehingga bunyinya menjadi: “pengadaan tanah adalah setiap kegiatan
untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau
menyerahkan tanah bangunan tanaman dan benda benda yang berkaitan dengan tanah”. Juga
diubahnya pada pasal 2 ayat 1, sehinnga berbunyi;”pengadaan tanah bagi pelaksanaan
kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan
atau penyerahan hak atas tanah”.sehingga diubahnya juga pada ketentuan pasal 3 yang
bunyinya:”pelepasan ataau penyerahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal
2dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadaphak atas tanah”.

Terdapat perbedaan penetapan kategori Mengenai bidang-bidang pembangunan untuk


kepentingan umum, berdasarkan keppres 55 tahun 1993 pasal 5 antara lain sebagai berikut:

a) Jalan umum,saluran pembuangan air

b) Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi

c) Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat

d) Pelabuhan atau Bandar udara terminal

e) Peribadatan

f) Pendidikan atau sekolahan

g) Pasar umum atau pasar INPRES

h) Fasiltas pemakaman umum

i) Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir,
lahar dan lain lain bencana
j) Pos dan telekomunikasi

k) Sarana olahraga

l) Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya

m) Kantor pemerintah

n) Fasiltas ABRI

Karna perubahan pola kehidupan masyarakat sehingga mengenai bidang kepentingan umum
berubah berdasarkan keluarnya perpres nomor 36 tahun 2005 pasal 5 yaitu sebagai berikut:

a) Jalan umum,jalan tol,rel kereta api(diatas tanah,diruang atas tanah,ataupun diruang bawah
tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi

b) Waduk, bendungan, irigasi, dan bangunan perairan lainnya

c) Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat

d) Pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal

e) Peribadatan

f) Pendidikan atau sekolah

g) Pasar umum

h) Fasilitas pemakaman umum

i) Fasilitas keselamatan umum

j) Pos dan telekomunikasi

k) Sarana olahraga

l) Stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukung lainnya

m) Kantor pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan Negara asing,Perserikatan bangsa-


bangsa,dan/atau lembaga internasional dibawah naungan perserikatan bangsa-bangsa

n) Fasilitas TNI dan kepolisian Negara republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya

o) Lembaga permasyarakatan dan rumah tahanan


p) Rumah susun sederhana

q) Tempat pembuangan sampah

r) Cagar alam dan cagar budaya

s) Pertamanan

t) Panti social

u) Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik

Kemudian kesemuanya itu diganti dengan adanya perpres nomor 65 tahun 2006, meliputi bidang
bidang sebagai berikut:

a) Jalan umum,jalan tol,rel kereta api(diatas tanah,diruang atas tanah,ataupun diruang bawah
tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi

b) Waduk, bendungan, irigasi, dan bangunan perairan lainnya

c) Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat

d) Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir,
lahar dan lain lain bencana

e) Tempat pembuangan sampah

f) Cagar alam dan cagar budaya

g) Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik

Perbedaan mengenai cara pembentukan panitia pengadaan tanah, menurut keppres nomor 55
tahun 1993 pasal 6 bahwa panitia dibentuk oleh gubernur kepala daerah tingkat I, sedangkan
menurut perpres nomor 36 tahun 2005 pasal 6, panitia dibentuk oleh bupati/walikota,demikian
halnya dengan perpres nomor 65 tahun 2006 pasal 6 panitia juga dibentuk oleh bupati/walikota,
tapi kecuali panitia pengadaan tanah daerah khusus ibukota Jakarta dibentuk oleh gubernur.

Dalam keppres 55 tahun 1993 dijelaskan mengenai susunan kepanitiaan pengadaan tanah yang
terdapat dalam pasal 7, sedangkan dalam perpres nomor 36 tahun 2005 tidak di jelaskan,
kemudian dijelaskan kembali oleh perpres nomor 65 tahun 2006 pada pasal 6(5), yang terdiri
atas unsur perangkat daerah dan unsur badan pertanahan nasional.

Pada pasal 8 perpres nomor 36 tahun 2005 disebutkan ada 7 tugas dari panitia pengadaan tanah,
yang diubah menjadi ada 8 tugas dari panitia pengadaan tanah pada pasal 7 perpres nomor 36
tahun 2005, sedangkan dalam pasal 7 perpres nomor 65 tahun 2006 masih sama seperti yang
dijelaskan dalam perpres nomor 36 tahun2005, Cuma pada pasal 7 huruf C diganti “menetapkan
besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya dilepaskan atau diserahkan”,dan tambahan dalam
pasal 7A perpres nomor 65 tahun 2006 dijelaskan mengenai aturan biaya kepanitiaan pengadaan
tanah.

Tata cara mengenai penunjukan wakil atau penguasa dari pemegang hak tidak dijelaskan dalam
keppres nomor 55 tahun 1993, tapi itu dijelaskan dalam pasal 9(3) perpres nomor 36 tahun 2005,

Hal hal yang terjadi apabila suatu musyawarah yang dilakukan tidak ada kesepakatan dijelaskan
pada pasal 10 perpres nomor 36 tahun 2005, tidak dijelaskan pada keppres nomor 55 tahun
1993, tapi pada pasal 10 ayat 1 dan 2 di ubah pada perpres nomor 65 tahun 2006 pasal 10 ayat 1
dan 2 sehingga bunyinya sebagai berikut:

1. Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak


dapat dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ketempat atau
alokasi lain maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama
120 hari kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama
2. Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimaimana dimaksud pada ayat
1 tidak tercapai kesepakatan panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya
ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 huruf a dan menitipkan
ganti rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi
lokasi tanah yang bersangkutan.

Berkaitan dengan bentuk ganti rugi, dalam keppres nomor 55 tahun 1993 pasal 13 ada 5 bentuk
ganti rugi yaitu:

1. uang;
2. tanah pengganti;
3. pemukiman kembali;
4. gabungan dari dua atau lebih untuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c; dan
5. bentuk lain yang di setujui oleh pihak pihak yang bersangkutan

dengan dikeluarkannya perpres nomor 36 tahun 2005 maka ada 3 bentuk ganti rugi yaitu:

1. uang;
2. tanah pengganti;
3. pemukiman kembali;

kemudian diubah lagi dengan dikeluarkannya perpres nomor 65 tahun 2006, bentuk ganti rugi
yaitu:

1. uang;dan /atau
2. tanah pengganti;dan/atau
3. pemukiman kembali; dan/atau
4. gabungan dari dua atau lebih untuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c;
5. bentuk lain yang di setujui oleh pihak pihak yang bersangkutan
pada perpres nomor 36 tahun 2005 dijelaskan mengenai bila pemegang tidak menghendaki
bentuk ganti rugi, tidak dijelaskan dalam keppres nomor 55 tahun1993

ketentuan pada pasal huruf a keppres nomor 55 tahun 1993 di ubah dengan dikeluarkannya
perpres nomor 36 tahun 2005 yang berbunyi seperti yang dijelaskan pada pasal 15 huruf a
tersebut, kemudian diubah lagi dengan dikeluarkannya perpres nomor 65 tahun 2006
bunyinyaseperti yang dijelaskan pada pasal 25 huruf a perpres tersebut

Ditambahkannya pasal baru pada perpres 65 tahun 2006 antara pasal 18 dan pasal 19 dari
perpres 36 tahun 2005 menjadi 18A yang berbunyi sebagai berikut: “Apabila yang berhak atas
tanah atau benda benda yang ada diatas haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi
sebagaimana ditetapkan dalam keputusan presiden, karena dianggap jumlahnya kurang layak,
maka yang bersangkutan dapat meminta banding kepada pengadilan tinggi agar menetapkan
ganti rugi sesuai UU nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak hak atas tanah dan benda
benda yang ada diatasnya dan peraturan pemerintah nomor 39 tahun 1973 tentang acara
penetapan ganti kerugian oleh pengadilan tinggi sehubungan dengan pencabutan hak hak atas
tanah dan benda benda yang ada diatasnya”.

http://agusthutabarat.wordpress.com/2009/05/08/perbandingan-substansi-antara-keppres-
55-tahun-1993-perpres-nomor-36-tahun-2005-dan-perpres-65-tahun-2006/

You might also like