You are on page 1of 19

Hubungan antara politik dan hukum sangatlah erat kaitanya.

Antara politik
dan hukum terdapat hubungan bahwa hukum yang ada itu adalah putusan politik.
Undang- Undang Dasar di Indonesia di buat oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyatyang merupakan lembaga politik , demikian juga dengan peraturan- peraturan
yang lainnya di buat berdasarkan putusan politik. Dalam kenyataan sehari-hari apa
yang telah di atur secara formal atau secara hukum itu tidak selalu di ikuti, naun
terkadang juga banyak di langgar oleh para pembuat hukum itu sendiri sebagaimbana
sering terlihat pada waktu seseorang atau satu golongan/kelompok memksakan
kekuasaannya dengan jalan kekerasan tanpa mengindahkan peraturan permainan
politik. Padahal seharusnya hukum positif itu adalah merupakan outputdari suatu
system politik yang berlaku dengan mengkonversiinput yang masuk atau tersedia
melalui proses politik. Input itu berupa aspirasi masyarakat berupa tuntutan dan
dukungan. Bila kita melihat perkembangan sejarah politik di Indonesia maka akan
Nampak jelas bagaimana hukum di bentuk atas persetujuan politik oleh para
penguasa. Hukum akan mengikuti bagi siapa saja yang berkuasa. Di Indonesia, yang
paling menonjol terdapat tiga golongan sejarah politik hukum di Indonesia yakni pada
era politik Soekarno (masa orde lama), era politik Soeharto (masa orde baru), dan era
reformasi (dari setelah orde lama hingga sekarang). Berikut ini akan di bahas
mengenai ringkasan sejarah singkat politik hukum di Indonesia beserta perbandingan
di antara ketiga era politik tersebut.

1. Era Politik Soekarno

Pada era politik soekarno politik hukum yang berkembang di Indonesia dapat
dirasakan, mulainya ada perubahan semua pemerintahan berada di tangan presiden
yang dapat kita ketahui bahwa Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama
membawa bangsa Indonesiaberada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter
dengan berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur

1
pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat
terhadap pemerintah daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat
mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang
otoriter sebagai esensi feodalisme. presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959
mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan
dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No.
69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi
UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante
melaksanakan tugasnya.  Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi
terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959
dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS
1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan”
sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan
struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem
“Trial and Error” yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh
berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang
cepat berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat
ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-
masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung
pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara
normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan sebagai
suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”.
Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive”
(berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara berlebihan)
seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung
(verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi
(gekwalificeerde democratie).

2
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai
politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung
hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam
fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar
yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke
sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa
harus kita bayar tingggi berupa:
(1). Gerakan separatis pada tahun 1957;
(2). Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga
terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah
mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah
Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang
kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang
Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis
Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat
diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak
dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965,
yang sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun
1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus
kita bayar dengan biaya tinggi.
Di sini terlihat bahwa Indonesia sebagai Negara hukum . namun dalam masa
periode tahun 1945 sampai dengan tahun 1959 belum mampu memperlihatkan
konsistennya dengan menerapkan konstitusi ketatanegaraan sesuai dengan maksud
dan tujuannya . sehingga dalam prakteknya sering terjadi kesalahan dalam
menafsirkan ketentuan konstitusi yang telah di sepakati bersama , dan pada akhirnya
tujuan unruk menciptakan kesejahteraan dan keadilan dalam masyarakat belum dapat
di wujudkan. Selanjutnya apabila di lihat karakterproduk hukum di hasilkan bersifat

3
responsive . sebagaiman halnya Undang-undang No 7 tahun 1953 yang mengatur
tentang pemilihan umum. Prosesnya memang di dorong oleh arus kehendak rakyat
dan di bahas secara fair dalam badan perwakilan rakyat , di sini terlihat adanya
partisipasi masyarakat sehingga materi muatan tersebut juga mencerminkan
keberpihakan kepada rakyat secara berkeseluruhan. Jelas bahwa di keluarkannya
undang-undang seperti ini menunjukkan bingkai Negara hukum yang senantiasa
memperlihatkan kehendak dan aspirasi masyarakat serta dalam implementasinya
memang benar-benar memperhatikan hak-hak masyarakat sesuai dengan tujuan dari
undang-undang tersebut. Baik juga dengan undang-undang lainnya yang bersifat
responsive seperti undang-undang no 1 tahun 1945 tentang pemerintahan daerah,
yang pada undang-undang ini masih dapat kita lihat bersifat desentralisasi yang
kemudian di sempernakan dengan undang-undang no 22 tahun 1948 sehingga
menjadi pemerintahan yang sentralistik., dan masih banyak lagi produk hukum
lainnya.
Maka, dapat kita lihat berbagai produk hukum yang di keluarkan pada masa
ini sangat bersifat bersifat konservatif dengan pemerintahan yang otoriter. Meskipun
ada juga beberapa produk hukum yang bersifat responsive, namun kecenderungan
pada masa ini bersifat konservatif.

2. Era Politik Soeharto

Era politik Soeharto atau yang lebih di kenal dengan orde baru, di mulai sejak
tanggal 12 maret 1966 bersamaan dengan pembubaran partai komunis Indonesia,
sehari setelah keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Pemerintahan
orde baru bertekad untuk mengkoreksi penyimpangan politik orde lama Orde Baru
dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966.
diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar
dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul

4
PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI
ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau
Buru.  Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional
dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu
diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam
konsensus nasional, yaitu :

1.      Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk


melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus
pertama ini disebut juga dengan konsensus utama.
2.      Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara
melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari
konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua
lahir antara pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.
            Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan
konsensus nasional antara lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi massa.
Konsensus ini kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No. XX/1966, sejak itu
konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh rakyat
Indonesia. Beberapa hasil konsensus tersebut antara lain penyederhanaan partai
politik dan keikutsertaan TNI/Polri dalam keanggotaan MPR/DPR. Berdasarkan
semangat konsensus nasional itu pemerintah Orde Baru dapat melakukan tekanan-
tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas. Terlebih
kepada PNI yang nota bene partai besar dan dinilai memiliki kedekatan dengan rezim
terdahulu. Pemerintah orde baru juga melakukan tekanan terhadap partai-partai
dengan basis massa Islam. Satu contoh ketika para tokoh Masyumi ingin
menghidupkan kembali partainya yang telah dibekukan pemerintah Orde Lama,
pemerintah memberi izin dengan dua syarat. Pertama, tokoh-tokoh lama tidak boleh
duduk dalam kepengurusan partai. Kedua, masyumi harus mengganti nama sehingga
terkesan sebagai partai baru. Pada Pemilu 1971 partai-partai politik disaring melalui

5
verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk
menjadi peserta pemilu. Dalam pemilu kali ini didapati Golongan Karya (Golkar)
menjadi peserta pemilu. Pada mulanya Golkar merupakan gabungan dari berbagai
macam organisasi fungsional dan kekaryaan, yang kemudian pula pada 20 Oktober
1984 mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Tujuannya
antara lain memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok fungsional dan
mengkoordinir mereka dalam front nasional. Sekber Golkar ini merupakan organisasi
besar yang dikonsolidasikan dalam kelompok-kelompok induk organisasi seperti
SOKSI, KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai “Political Battle Unit “ rezim orde
baru.
Pasca pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai yang
dilandasi penilaian hal tersebut harus dilakukan karena partai politik selalu menjadi
sumber yang mengganggu stabilitas, gagasan ini menimbulkan sikap Pro dan Kontra
karena dianggap membatasi atau mengekang aspirasi politik dan membentuk partai-
partai hanya kedalam golongan nasional, spiritual dan karya.
Pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah dapat
diterima oleh partai-partai yang ada dan dikukuhkan melalui Undang-Undang No.
3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan, sistem fusi ini berlangsung hingga lima
kali Pemilu selama pemerintahan orde baru (1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997)

Selain itu dari segi yang lainnya, di lihat di dalam GBHN bahwa Orde Baru
memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan
menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer
namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. kedudukan perwakilan
masyarakat seperti DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan
seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan
Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat.
Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya
harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat

6
dan daerah. Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar
Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo.
Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya
stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan
ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital
internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan
politik yang tinggi. Eksploitasi sumber daya Selama masa pemerintahannya,
kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-
besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di
Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada
tahun 1970-an dan 1980-an. Dan juga warga tionghoa keberadaannya di Indonesia
sangat di kekang, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia
dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga
menghapus hak-hak asasi mereka.dan juga seluruh kebudayaan serta adat tionghoa
yang ada di Indonesia di bekukan oleh pemerintah Indonesia sehingga Mereka pergi
hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi
izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan
untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.

Bila kita melihat produk lainnya yakni UUPA sebenarnya bersifat responsive,
tetapi pemerintah orde baru menginterpretasikannya dalam berbagai bentuk peraturan
perundang-undngan secara parsial untuk keperluan pragmatis dalam rangka
pelaksanaan program-program pembnagunan sehingga memperlihatkan watak yang
konservatif. Demikian juga halnya dengan Kepres nomor 55 tahun 1993 tentang
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum ,
meskipun membawa sedikit kemajuan , namun bentuk peraturannya tetap tidak
proporsional. Materinya yang prinsip seharusnya mnejadi materi undnag-undang ,
yang sebenarnya tidak dapat di buat sepihak oleh eksekutif. Pemerintahan orde baru
terlihat lebih mementingkan kelompok atau golongan tertentu tanpa mem[erhatikan

7
nasib rakyat. Sehingga undang-undang yang responsive di buat menjadi konservatif
sebagaimana halnya UUPA tersebut. Dengan demikian dalam pelaksanaannya sering
terjadi permasalahan-permasalahan dan pertikaian-pertikaian , terutama dalam
masalah pembebasan tanah yang nyata-nyata tidak proporsional dan merugikan
rakyat.

Selain itu juga,bila kita mengikuti perkembangan yang terjadi selama 32 tahun
pemerintahan Soeharto, kita dapat mengetahui dari sisi Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN). Pembangunan nasional dalam era orba masih memiliki tujuan
jangka panjang yang tertuang dalam “Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)”,
dan Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Panca Sila tetap sebagai doels-actie, sedangkan reform-actie tertuang dalam buku
Repelita, yaitu Rencana Pembangunan Lima Tahun sebagai realisasi dari GBHN. Juli
1997 mulai terjadi krisis moneter yang diiringi dengan krisis ekonomi dan krisis di
semua bidang yang menjatuhkan Presiden Suharto.

Apabila di lihat dari keseluruhan roda pemerintahan yang di lkasanakan pada


masa orde baru, memang benar-benar telah melanggar asas dan sendi Negara hukum.
Sebagaimana di tuangkan dalam pembukaan dan penjelasan undang-undang dasar
1945.

3. Era Reformasi (masa pemerintahan Habibie, Gus dur, Megawati, dan


SBY)
Pada masa Habibie terdapat perubahan perubahan bila kita lihat melalui GBHN
RI. Tahun 1999 Tentang Pembangunan Hukum Untuk mengetahui sampai dimana
dan pikiran political-paradigmatic berupa haluan negara mengenai “pembangunan di

8
bidang hukum”, ada baiknya ditelusuri kembali muatan GBHN RI. Tahun 1999
mengenai arah kebijakannya. Pada masa ini dapat kita telusuri bahwa:
1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya
kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya
negara hukum.

2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui
dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui Perundang-
undangan warisan kolonial dan hukum adat serta memperbaharui Perunang-undangan
warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidak-adilan
gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntuan reformasi melalui program legislasi.

3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum,


keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia.

4. Melanjutkan ratifikasi konvensi Internasional, terutama yang berkait dengan hak


asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk
Undang-Undang.

5. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat, penegak hukum,


termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk menumbuhkan kepercayaan
masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana
hukum, pendidikan, serta pengaawasan yang efektif.

6. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa
dan pihak manapun.

7. Mengembangkan Peraturan Pertundang-undangan yang mendukung kegiatan


perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan
kepentingan nasional.

9
8. Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka, serta
bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan
dan kebenaran.

9. Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan,


penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia dalamseluruh aspek kehidupan.

10. Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak
asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas.

Dalam bidang ekonomi, pemerintahan Habibie berusaha keras untuk melakukan


perbaikan. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie untuk
meperbaiki perekonomian Indonesia antaranya :

• Merekapitulasi perbankan
• Merekonstruksi perekonomian Indonesia.
• Melikuidasi beberapa bank bermasalah.
• Manaikan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga di
bawah Rp.10.000,-
• Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF.

Meskipun tidak terlalu drastis perubahan yang di perbuat, namun telah


menandai terjadinya perubahan masa pemerintahan dari masa pemerintahan yang
diktator, sekarang lebih menjamin kepastian hukum. Kemudian di lanjutkan dengan
masa pemerintahan Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Pada masa ini seperti yang di
jelaskan di atas, pada masa orde baru warga tionghoa di kucilkan keberadaanya. Hal
ini yang akhirnya mampu mengangkat Gus Dur sebagai bapak bangsa karena ia telah
mampu di dalam mengangkat kembali dan menjamin kebebasan etnies warga
Tionghoa. Sehingga perubahan ini Nampak yang paling signifikan yang telah di
lakukan Gus Dur. Selain itu Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional,
adalah kabinet koalisi yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB,

10
Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI juga ada dalam
kabinet tersebut. Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi pemerintahan.
Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama
rezim Soeharto dalam menguasai media. Reformasi kedua adalah membubarkan
Departemen Sosial yang korup.

Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun referendum


ini menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur.
Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dengan
mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Pada 30
Desember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya. Selama
kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin
Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua. Ketika Gus Dur berkelana ke
Eropa pada bulan Februari, ia mulai meminta Jendral Wiranto mengundurkan diri
dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Gus Dur melihat
Wiranto sebagai halangan terhadap rencana reformasi militer dan juga karena
tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur terhadap Wiranto.

Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan negosiasi


dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah
menandatanganinota kesepahaman dengan GAM hingga awal tahun 2001, saat kedua
penandatangan akan melanggar persetujuan. Gus Dur juga mengusulkan agar TAP
MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut. Ia juga
berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang menyebabkan kemarahan pada
kelompok Muslim Indonesia.

Dalam usaha mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-
politik, Gus Dur menemukan sekutu, yaitu Agus Wirahadikusumah, yang
diangkatnya menjadi Panglima Kostrad pada bulan Maret. Pada Juli 2000, Agus
mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma Putra, yayasan yang memiliki
hubungan dengan Kostrad. Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk

11
ketika Laskar Jihad tiba di Maluku dan dipersenjatai oleh TNI. Pada September, Gus
Dur menyatakan darurat militer di Maluku karena kondisi di sana semakin
memburuk. Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik yang kecewa dengan
Abdurrahman Wahid. Orang yang paling menunjukan kekecewaannya adalah Amien.
Ia menyatakan kecewa mendukung Gus Dur sebagai presiden tahun lalu. Amien juga
berusaha mengumpulkan oposisi dengan meyakinkan Megawati dan Gus Dur untuk
merenggangkan otot politik mereka. Megawati melindungi Gus Dur, sementara
Akbar menunggu pemilihan umum legislatif tahun 2004. Pada akhir November, 151
DPR menandatangani petisi yang meminta pemakzulan Gus Dur. Akhirnya pada 20
Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23
Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang
menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan. [57]. Gus Dur
kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran
MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat
pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar[58] sebagai bentuk
perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak
memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur
dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.

Selama pemerintahan Megawati ada beberapa yang menjadi sasaran utama


yang tertuang di dalam PROPENAS Tujuan dan sasaran pembangunan nasional
didasarkan pada visi dan misi yang diamanatkan oleh GBHN 1999-2004. Visi
GBHN 1999-2004 merupakan tujuan pembangunan nasional, sedangkan misi
GBHN 1999-2004 merupakan sasaran pembangunan nasional. GBHN 1999-2004
memberikan visi yang merupakan tujuan yang ingin dicapai, yaitu terwujudnya
masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan

sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh
manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta
tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan

12
teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi dan berdisiplin. Untuk mewujudkan
visi bangsa Indonesia masa depan, GBHN 1999-2004 menetapkan misi yang menjadi
sasaran sebagai berikut :
1. Terwujudnya pengamalan Pancasila secara konsisten dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Terwujudnya penegakan kedaulatan rakyat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Terwujudnya pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari untuk
mewujudkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam
kehidupan dan mantapnya persaudaraan umat beragama yang berakhlak mulia,
toleran, rukun, dan damai.
4. Terwujudnya kondisi aman, damai, tertib, dan ketentraman masyarakat.
5. Terwujudnya sistem hukum nasional yang mejamin tegaknya supremasi hukum
dan hak asasi manusia berlandaskan keadilan dan kebenaran.
6. Terwujudnya kehidupan sosial budaya yang berkepribadian, dinamis, kreatif dan
berdaya tahan terhadap pengaruh globalisasi
7. Terlaksananya pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional,
terutama pengusaha kecil, menengah, dan koperasi dengan mengembangkan sistem
ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan berbasis
pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju
berdaya saing, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan.
8. Terwujudnya otonomi daerah dalam rangka pembangunan daerah atau pemerataan
pertumbuhan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
9. Terwujudnya kesejahteraan rakyat yang ditandai oleh meningkatnya kualitas
kehidupan yang layak dan bermartabat serta memberi perhatian utama pada
tercukupinya kebutuhan dasar, yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan,
dan lapangan kerja.
10. Terwujudnya aparatur negara yang berfungsi melayani masyarakat, profesional,
berdaya guna, produktif, transparan, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

13
11. Terwujudnya sistem dan iklim nasional yang demokratis dan bermutu guna
memperteguhakhlak mulia, kreatif,inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat,
berdisiplin dan bertanggung jawab, berketerampilan, serta menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam rangka mengembangkan kualitas manusia
Indonesia.
12. Terwujudnya politik luar negeri yang berdaulat, bermartabat, bebas dan proaktif
bagi kepentingan nasional dalam menghadapi perkembangan global. Pelaksanaan
misi tersebut akan bermuara pada terbangunnya sistem politik yang demokratis
dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia, terwujudnya supremasi hukum
dan pemerintahan yang bersih, pulihnya ekonomi yang bertumpu pada sistem
ekonomi kerakyatan, meningkatkan kesejahteraan rakyat, kualitas kehidupan
beraragama dan ketahanan budaya, serta meningkatnya pembangunan daerah.
Bila kita telisik, hal ini tidak akna berjalan bila tidak di dukung dengan politik yang
baik. Maka dari itu penting pula pengaturan politik, yang dapat kita lihat dalam
PROPENAS yang mengacu pada GBHN.
9 Menurut Garis-garis Besar Haluan Negara 1999-2004 arah kebijakan pembangunan
politik adalah:
1. Politik Dalam Negeri
a. Memperkuat keberadaan dan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang bertumpu pada ke-bhinekatunggalika-an. Untuk menyelesaikan masalah-
masalah yang mendesak dalam kehidpan bermasyarakat, bernagsa, dan bernegara,
perlu upaya rekonsiliasi nasional yang diatur dengan undang-undang.
b. Menyempurnakan Undang-Undang Dasar 1945 sejalan dengan perkembangan
kebutuhan bangsa, dinamika dan tuntutan reformasi, dengan tetap memelihara
kesatuan dan persatuan bangsa, serta sesuai dengan jiwa dan semangat Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945.
c. Meningkatkan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya dengan menegaskan fungsi, wewenang,

14
dan tanggung jawab yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tata
hubungan yang jelas antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
d. Mengembangkan sistem politik nasional yang berkedaulatan rakyat, demokratis
dan terbuka, mengembangkan kehidupan kepartaian yang menghormati keberagaman
aspirasi politik, serta mengembangkan sistem dan penyelenggaraan pemilu yang
demokratis dengan menyempurnakan berbagai peraturan perundang-undangan di
bidang politik.
e. Meningkatkan kemandirian partai politik terutama dalam memperjuangkan aspirasi
dan kepentingan rakyat serta mengembangkan fungsi pengawasan secara efektif
terhadap kinerja lembaga-lembaga negara dan meningkatkan efektivitas, fungsi dan
partisipasi organisasi kemasyarakatan, kelompok profesi, dan lembaga swadaya
masyarakat dalam kehidupan bernegara.
f. Meningkatkan pendidikan politik secara intensif dan komprehensif kepada
masyarakat untuk mengembangkan budaya politik yang demokratis, menghormati
keberagaman aspirasi, dan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi
manusia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
g. Memasyarakatkan dan menerapkan prinsip persamaan dan anti-diskriminasi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
h. Menyelenggarakan pemilihan umum secara lebih berkualitas dengan partisipasi
rakyat seluas-luasnya atas dasar prinsip demokratis, langsung, umum, bebas, dan
rahasia, jujur, adil dan beradab yang dilaksanakan oleh badan penyelenggara
independen dan non-partisan selambat-lambatnya pada tahun 2004.
i. Membangun bangsa dan watak bangsa (nation and character building) menuju
bangsa dan masyarakat Indonesia yang maju, bersatu, rukun, damai, demokratis,
dinamis, toleran,
sejahtera, adil dan makmur.
j. Menindaklanjuti paradigma baru Tentara Nasional Indonesia dengan menegaskan
secara konsisten reposisi dan redefinisi Tentara Nasional Indonesia sebagai alat
negara dengan mengoreksi politik Tentara Nasional Indonesia dalam kehidupan

15
bernegara. Keikutsertaan Tentara Nasional Indonesia dalam merumuskan
kebijaksanaan nasional dilakukan melalui lembaga tertinggi negara Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Kemudian pada masa SBY dapat kita ketahui arah politik hukum yang ingin
di bawa melalui yang namanya RPJM dalam RPJM ini terdapat berbagai arah
kebijakan dan strategi mengenai pembangunan yang akan di lakukan oleh
pemerintahan SBY. Bila kita lihat, RPJM yang sekarang ini kurang sesuai dengan apa
yang terjadi secara nyata di Indonesia. Melihat kenyataan, banyak sekali program
dalam RPJM tidak terselesaikan akibat permasalahan intern bangsa Indonesia,
sehingga tergesernya sejumlah kepentingan di dalam RPJM untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang tengah terjadi di Indonesia. Hal yang demikian sebenarnya
biasa, namun seharusnya dapat di atasi dengan baik. Produk hukum yang di hasilkan
pada masa pemerintahan SBY dapat di katakana telah menunjukkan hal yang
demokratis karena di buat dan system pensosialisasiannya telah terbuka di media,
sehingga baru saja RUU masyarakat boleh berkomentar dan menyamopaikan
permasaalhannya terhadap draft RUU tersebut kepada Presiden tanpa takut
berpendapat. Salah satu produk hukum yang demokrtais tersebut misalakan saja
adalah pada UU pornografi dan pornoaksi, jadi tidak semua di berlakukan undang-
undang ini, namun berbeda pelaksanaannya di setiap daerah sesuai kebutuhan
masyarakatnya. Karena di dalam RPJM Demokrasi merupakan tujuan di bidang
politik yang paling utama dengan penyerapan seluruh informasi dari masyarakat
sehingga muncullah suatu peraturan melalui lembaga-lembaga politik yang ada.

Perbandingan Politik hukum antara Era Soekarno, Era Soeharto dan Era
rerormasi

Dengan melihat keseluruhan materi pembahasan sebelumnya dapat


disimpulkan bahwa politik hukum pada era Orde Lama dan Orde Baru memiliki
perbedaan. Pada era Orde Lama sejak Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang

16
membubarkan konstituante lewat rumusan sebuah panitia kecil yang terdiri dari:
Djuanda, A.H. Nasution, Moh. Yamin, Ruslan Abdul Gani dan Wirjono
Prodjodikoro, beranggapan bahwa dasar hukum dari dekrit ini berdasarkan doktrin
staatsnoodrecht dan noodstaatsrechts yaitu hak darurat yang dimiliki penguasa untuk
mengeluarkan produk hukum yang menyimpang dari asas perundang-undangan yang
baik karena adanya keadaan yang memaksa dan membahayakan keselamatan Negara.
Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945, serta mengingat bahwa lembaga-lembaga
Negara sebagaimana digariskan oleh UUD 1945. karakterproduk hukum di hasilkan
bersifat responsive . sebagaiman halnya Undang-undang No 7 tahun 1953 yang
mengatur tentang pemilihan umum. Prosesnya memang di dorong oleh arus kehendak
rakyat dan di bahas secara fair dalam badan perwakilan rakyat , di sini terlihat adanya
partisipasi masyarakat sehingga materi muatan tersebut juga mencerminkan
keberpihakan kepada rakyat secara berkeseluruhan. bersifat konservatif dengan
pemerintahan yang otoriter. Meskipun ada juga beberapa produk hukum yang bersifat
responsive, namun kecenderungan pada masa ini bersifat konservatif. Dan kurangnya
demokrasi karena semua terkonsentrasikan ke tangan presiden

Pada era Orde Baru semboyan untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen banyak dikemukakan  pemerintah Orde Baru Pimpinan Soeharto yang
lebih mengkonsentrasikan penyelenggaraan sistem pemerintahan dengan
menitikberatkan pada aspek kestabilan politik dalam rangka menunjang
pembangunan nasional.  Pada era ini pula mulai memasukkan hak-hak politik warga
Negara dan munculnya konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) yang
dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Undang-Undang No. 4 Tahun 1975 yang membatasi organisasi peserta Pemilu, serta
memberikan tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis
massa luas sekaligus penyaringan partai politik melalui verifikasi hingga tinggal
sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu
pada tahun 1971 hingga partai-partai hanya terbagi kedalam golongan partai yang

17
berbasis nasional, spiritual dan karya. Selain itu pemerintahan Orde Baru berusaha
menciptakan single majority lewat eksistensi partai Golongan Karya. Pada masa ini
politik yang di bnagun adalah politik non demokratis.dan kekuasaan yang totaliter
karena pemerintahan yang autokrasi dan masih tetap di konsentrasikan kekuasaan
kepada presiden.
Pada era reformasi terjadi empat kali pergantian presiden republic Indonesia.
Yakni oleh Habibie, Gus Dur, Megawati dan yang terakhir adalah SBY. Masing
masing pemerintahan mereka memiliki warna politik hukum yang berbeda-beda,
namun secara umum, di era reformasi ini kecenderungan politik hukumnya mengarah
kea rah yang lebih demokratis dan lebih berdasarkan atas kepentingan rakyat
Indonesia, karena masyarakat sendiri selain wakil-wakilnya mampu bersuara baik
melalui media maupun dengan sarana lainnya tanpa takut adanya penangkapan
terhadap yang bersuara. Di sini kebebasan mulai di tegakkan, sehingga pada masa ini
berbeda di antara dua masa sebelumnya di sini lebih bersifat demokratis , terbuka dan
mengarah kepada hukum yang sesuai dengan kehendak masyarakat. Meskipun ada
seperti undang-undang terorisme yang bersifat konservatif, namun hanya untuk
sementara waktu demi tidak adanya kekosongan hukum pada saat itu.

ARGUMEN:
Menurut pendapat saya, saya lebih setuju dengan politik hukum pada masa reformasi
ini tentunya, karena apa yang di perbuat dari masa ke masa sesuai dengan
perkembangan jaman, hukum itu hidup di masyarakat sehingga kita harus tahu apa
yang di inginkan masyarakat untuk terus berkembang. Politik hukum pada masa
reformasi cenderung menghasilkan hukum yang bersifat demokratis. Bila saya
telusuri, sebenarnya konfigurasi itu tidak berubha dari masa orde baru, namun karena
kepemimpinan berbeda menyebabkan system politiknya lebih demokratis lagi.
Pembuatan undang-undang pun dari tangan eksekuti ke tangan legislative bersama
eksekutif, hal demikian yang seharusnya di praktekkan sejak dulu. Karena yang akan

18
melaksanakan hukum tersebut adalah masyarakat bukannya presiden. Orde lama dan
orde baru saya rasa terlalu kaku, dan tunduk akan kekuasaan, semua tersentralisasi
kepada presiden, sehingga masyarakat hanya menuruti apa yang menjadi keputusan
presiden tanpa presiden itu tahu apa sebenarnya yang diinginkan oleh masyarakat
yang sesuai dengna realita kehidupan. Maka dari itubila terus di diamkan terjadilah
demonstrasi besar-besaran yang tentunya sebenarnya sangat merugikan bangsa
Indonesia sendir. Namun tidak ada yang sempurna, kalau saya lihat karakter orang-
orang Indonesia, terlalu bebas berpolitik, semuanya ingin mementingkan kepentingan
pribadi dan golongan, kenyataannya demokrasi tidak terwujud, banyaknya terjadi jual
beli pasal dalam pembuatan undang-undang. Apakah ini yang di namakan demokrasi?
Saya rasa tidak begitu, karena itu sama dengan pembodohan kepada masyarakat.
Maka dari itu sebaiknya masyarakat lebih jeli lagi di dalam memilih pemimpin serta
wakil-wakil yang dapat di percaya dan konsisten akan keinginannya membangun
bangsa Indonesia karena pada masa ini tergantung dari masyarakat sendiri semuanya
dari masyarakat itu dan untuk masyarakat karena sudah di berikan kesempatan untuk
menentukan jalannya sendiri, maka harus di laksanakan sebaik-baiknya.

Pertanyaan:
1. Apakah dengan menjalankan suatu politik hukum yang demokrasi dapat
menyelesaikan masalah-masalah yang ada di indosesia?
2. Bagaimana suatu produk hukum mampu di pengaruhi oleh politik hukum
yang sedang berkuasa?
3. Factor-faktor apa sajakah yang membawa masa orde baru di anggap tidak
mencerminkan Pancasila serta Undang-Undang dasar?

19

You might also like