You are on page 1of 13

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemekaran suatu wilayah atau daerah yang dilaksanakan

idealnya adalah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat

atau memperpendek rentang kendali (span of control) sehingga lebih

mempermudah pemerintah untuk melayani masyarakat yang jauh dari

akses dan juga membuka keterisolasian suatu wilayah dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut.

Pemekaran wilayah pemerintahan merupakan suatu langkah

strategis yang ditempuh oleh Pemerintah untuk meningkatkan kualitas

pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan baik dalam rangka pelayanan,

pemberdayaan dan pembangunan menuju terwujudnya suatu tatanan

kehidupan masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera, adil dan

makmur. Dengan perkataan lain, hakikat pemekaran daerah otonom

lebih ditekankan pada aspek mendekatkan pelayanan pemerintahan

dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena

itu, pemekaran daerah merupakan cara atau pendekatan untuk

mempercepat akselerasi pembangunan daerah dan daerah otonom baru

yang terbentuk itu pada arasnya merupakan suatu entitas baik sebagai

kesatuan geografis, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Secara normatif pembentukan suatu daerah otonom baru dapat

diadakan oleh Pemerintah antara lain melalui pemekaran daerah

1
otonom. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam pasal 4 Undang

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang

secara teknis operasional berpedoman pada Peraturan Pemerintah

Nomor 129 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria

Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.

Dalam kehidupan berpemerintahan, disadari disatu pihak

tuntutan kebutuhan masyarakat makin lama semakin meningkat dan

kompleks, sementara pada sisi yang lain, kinerja Pemerintah untuk

memenuhi segala tuntutan kebutuhan masyarakat tersebut harus diakui

belum optimal oleh karena berbagai alasan baik alasan lokasional,

alasan keterbatasan sumber daya maupun teknis administratif dan

sebagainya.

Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam beberapa kurun waktu

yang lalu telah memekarkan 6 kabupaten baru yaitu Kabupaten

Lembata, Manggarai Barat, Rote Ndao, dan yang terakhir dimekarkan

yakni Sumba Barat Daya, Sumba Tengah dan Nagekeo, semuanya

merupakan aspirasi dan keinginan dari masyarakat masing-masing

kabupaten dengan cita-cita yang sangat mulia yaitu mendekatkan

pelayanan kepada masyarakat dan pemerataan pembangunan dalam

rangka mensejahterakan rakyat.

Namun yang seharusnya diperhatikan dalam pemekaran 3

kabupaten terdahulu (Kabupaten Lembata, Manggarai Barat dan Rote

2
Ndao) bukan hanya sekedar kemauan politik dari masyarakat

kabupaten tersebut untuk mempunyai pemerintahan sendiri tetapi

sebenarnya yang harus diperhatikan adalah mampu atau tidaknya

daerah tersebut mensejahterakan rakyatnya setelah mempunyai

pemerintahan sendiri? Hal inilah yang kemudian menimbulkan

kontroversi dari berbagai pihak.

Kontroversi yang disuarakan bukan hanya sekedar lips service

melainkan berdasarkan kenyataan yang ada, dimana ketiga kabupaten

yang telah dimekarkan terdahulu belum menunjukkan perubahan yang

signifikan dibandingkan dengan sebelum dimekarkan, malah

memunculkan banyak masalah baru, sebagai contoh yang pernah

terjadi di Kabupaten Lembata pada saat penerimaan CPNSD untuk

Kabupaten Lembata dimana pada saat itu sebagian besar yang lulus

bukan merupakan orang asli Lembata melainkan orang dari daerah

lain, hal ini mengakibatkan timbulnya reaksi massa terhadap hasil tes

yang diumumkan tersebut, masyarakat secara bersama melakukan

pengusiran terhadap semua pendatang untuk keluar dari Kabupaten

Lembata.

Kejadian yang terjadi di Kabupaten Lembata hanya merupakan

contoh kecil dari sekian banyak masalah yang merupakan dampak dari

pemekaran kabupaten di dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara

Timur, namun dari contoh kecil inilah menimbulkan banyak

3
pertanyaan seputar pemekaran, apakah perlu pemekaran tersebut

dilaksanakan?

Namun, kondisi yang demikian tidak menyurutkan semangat

masyarakat dari wilayah lain untuk menyuarakan pemekaran bagi

wilayah mereka, seperti masyarakat yang berada di Pulau Sabu dan

Raijua, mereka berkeinginan membentuk Kabupaten Sabu Raijua

begitupun juga masyarakat yang berada di Pulau Flores untuk

membentuk Provinsi Flores, namun berbeda dengan masyarakat Sabu,

masyarakat Flores terkesan tidak betul-betul menginginkan

pembentukan Provinsi Flores karena hasil terakhir dari Musyawarah

Besar Orang Flores yang dilaksanakan di Labuan Bajo, Kabupaten

Manggarai pada akhir Tahun 2003 diharapkan dapat menetapkan

calon ibukota Provinsi Flores akan tetapi tidak berhasil menetapkan

calon ibukota malah merekomendasikan 3 kabupaten sebagai calon

Ibukota Provinsi Flores, hal ini menggambarkan rendahnya visibilitas

politik diantara masyarakat Flores dan belum adanya kesepakatan

kolektif dri seluruh masyarakat Flores untuk membentuk wilayah

pemerintahan baru.

B. Rumusan Masalah

Dari semua masalah yang telah dijelaskan di atas, maka dapat

ditarik satu rumusan masalah yakni apakah pemekaran provinsi

ataupun kabupaten merupakan kebutuhan dari masyarakat untuk

4
menyelesaikan masalah pelayanan atau hanya sekedar keinginan dari

sekelompok orang yang menamakan diri mereka panitia perjuangan

pembentukan kabupaten atau provinsi?

II. PEMBAHASAN

Hal mendasar dilakukannya pemekaran wilayah adalah adanya

keinginan untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik dengan jalan

berotonomi. Selanjutnya mengenai konsep otonomi daerah, dapat

dikemukakan bahwa dari segi leksikografis, otonomi berati pengundangan

sendiri (zelfwetgeving). Akan tetapi untuk Indonesia, pengertian otonomi

selain berarti perundangan (regeling), juga berarti pemerintahan (bestuur).

Sebagai suatu konsep, menarik perhatian para ahli diantaranya Van Der Pot

berpendapat bahwa autonomie betekent anders dan het woord zou doen

vermoeden regeling en bestuur van eigen zaken, van wat dei grondwet

noemt eigen huishoulding sedangkan Schrieke mengemukakan bahwa

outonomie adalah eigen meesterchap, selfstandingheid bukan

onafthankelijkheid 1. Sejalan dengan pemikiran kedua ahli diatas, ada

pendapat yang mengatakan bahwa otonomi bermakna kebebasan atau

kemandirian (selfstandingheid) tetapi bukan kemerdekaan

(onafthankelijheid) 2.

1 Koesoemahatmadja, RDH,. 1979. Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Bina Cipta, Jakarta, 1979.

2 Syafruddin A., Pengaturan Koordinasi Pemerintahan Daerah, Tarsito, Bandung, 1976.

5
Menurut Muslimin bahwa Otonomi Daerah berarti pemerintahan

sendiri (Zelfregeling), (auto = sendiri, nomos = pemerintah)3. Sedangkan

Sarundajang menjelaskan bahwa “Otonomi adalah hak untuk mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri tanpa adanya campur tangan dan

intervensi pihak lain”4. Selanjutnya Manan menyatakan, “Otonomi

mengandung arti kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan (rumah

tangganya) sendiri” 5.

Berdasarkan pemikiran para ahli diatas maka pada hakikatnya budaya

otonomi daerah yang tertinggi adalah kemandirian. Kemandirian Daerah

harus menjadi penyangga bagi tetap terjaga dan terpeliharanya eksistensi

negara dan bangsa. Dengan kata lain, bagaimana mencari titik

keseimbangan antara kehendak politik “Centrifugal” yang melahirkan

politik desentralisasi dan menduduki posisi “Centripetal” yang melahirkan

sebagian sentral power untuk menjamin tetap terpeliharanya identitas dan

integrasi bangsa.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah

kebebasan dan atau kemandirian dari Daerah Otonom untuk mengatur dan

mengurus sebagian urusan pemerintahan berdasarkan prakarsa atas dasar

aspirasi masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat

dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun kenyataan yang

3 Muslimin Amrah., Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung. 1986.

4 Sarundayang S., Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002.

5 Manan, Bagir., Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.

6
terjadi pada tingkat lokal di era otonomi daerah ini yang mana melahirkan

banyak daerah otonom baru justeru makin menimbulkan banyak masalah,

apabila kita merujuk pada beberapa pendapat ahli di atas maka dapat

dijelaskan bahwa peristiwa pengusiran terhadap pegawai yang bukan orang

Lembata diakibatkan karena adanya kekurang pahaman masyarakat

terhadap makna dari otonomi daerah sehingga yang terbentuk dalam pikiran

dan benak mereka yakni otonomi daerah selain berarti semua urusan daerah

ditangani oleh daerah juga hanya putra daerah yang mempunyai hak di

daerah tersebut. Pemikiran-pemikiran seperti ini yang menimbulkan banyak

masalah pada daerah-daerah otonom baru maupun yang sudah lama ada,

sehingga apa yang dimaknai untuk menjaga integritas bangsa malah makin

merusaknya dengan peristiwa-peristiwa yang demikian.

Maka dari itu, ide yang dilontarkan oleh arus bawah berarti bahwa

konsepsi terkait secara langsung dimana prinsip dasar demokrasi dari, oleh

dan untuk rakyat akan memberikan pada setiap warga negara kemungkinan

untuk menaiki jenjang atas skala sosial dan dengan demikian menurut

hukum membuka jalan bagi hak-hak masyarakat untuk meniadakan semua

hak istimewa yang dibawa sejak lahir, serta menginginkan agar perjuangan

demi keunggulan dalam masyarakat ditentukan semata-mata bukan oleh

kemampuan seseorang 6.

6 Riwu Kaho, Josef., Prospek Otonomi Daerah di Negara Repiblik Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1998

7
Banyak pendapat dari para ahli yang telah menuliskan tentang makna

otonomi dan desentralisasi, namun semua itu tidak akan pernah terlaksana

apabila tidak dibarengi dengan kemauan dari semua komponen masyarakat

untuk bersama-sama menjalankan dan mengawasinya demi keberlanjutan

pembangunan di daerah masing-masing seperti apa yang pernah dicita-

citakan oleh para Founding Fathers kita yakni Nation and Characther

Building sehingga dapat menciptakan bangsa Indonesia yang mempunyai

sense terhadap keutuhan bangsa dan Negara.

Fenomena ini mengingatkan konsep involusi oleh antropolog

Goldenweiser (1936) dan Geertz (1963). Konsep ini menggambarkan

kebudayaan yang sudah mapan jika tidak mampu menstabilkan dan

mendinamiskan dirinya, ia akan mengalami kerumitan ke dalam (involutive)

dan melahirkan kemandekan, tesis Geertz memberi inspirasi untuk melihat

fenomena pemekaran wilayah di Indonesia. Involusi pertanian berhubungan

dengan hasrat petani meningkatkan produktivitas dengan basis ekologis-

materi, sedangkan pemekaran wilayah berhubungan dengan hasrat

pemerintah (legislatif dan eksekutif) untuk melayani masyarakat dengan

basis kekuasaan7.

Undang-undang tentang pemerintahan daerah merupakan senjata

ampuh untuk membuka peluang memainkan kekuasaan terhadap

masyarakat dengan alasan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat serta

7 Maring, Prudensius., Artikel, Involusi Kekuasaan,www.kompas.com, 2007

8
memperpendek rentang kendali ataupun alasan lain yang sering kita dengar

pada saat-saat mulai dilaksanakannya perjuangan pembentukan suatu

wilayah baru sebenarnya hanyalah slogan kosong yang sengaja ditiupkan

oleh kelompok-kelompok yang menamakan diri mereka sebagai kelompok

yang memperjuangkan aspirasi rakyat untuk membentuk daerah baru.

Apabila ditelaah lebih jauh dan dalam yang terjadi sebenarnya adalah

permainan kepentingan kekuasaan yang dilakoni oleh kelompok-kelompok

tertentu untuk kepentingan-kepentingan kelompok mereka semata, dengan

alasan yang sangat ampuh yaitu untuk mendekatkan pelayanan kepada

masyarakat, prasyarat administratif dan teknis dapat dimanipulasi demi

kelancaran dari maksud kelompok tersebut.

Perjuangan pembentukan wilayah baru biasanya diawali bersama-

sama antara elite politik dan masyarakat namun dalam perjalanannya

setelah terbentuknya wilayah para pejuang-pejuang tersebut mulai

termarginalkan oleh permainan para elite politik yang sarat akan

kepentingan-kepentingan mereka, dan tidak mungkin mereka akan

menciptakan konflik sosial baru apabila para pendukungnya mulai tidak

sepaham dengan mereka atau pembagian “jatah kekuasaan” kepada mereka

dirasa tidak sebanding dengan apa yang telah mereka lakukan. Kejadian

seperti ini, justeru melunturkan semangat awal dan makna dari pemekaran

wilayah karena aspek ekonomi, sosial dan budaya dikalahkan oleh

kepentingan-kepentingan kelompok.

9
Aspek ekonomi, sosial dan budaya merupakan aspek penting dalam

pelaksanaan pembangunan pada daerah baru yang harus dilaksanakan demi

terwujudnya kesejahteraan masyarakat pada daerah tersebut, karena makna

dasar dari pembentukan daerah otonom baru adalah peningkatan

kesejahteraan masyarakat dengan jalan mendekatkan pelayanan kepada

masyarakat sehingga adanya pemerataan pembangunan.

Pemekaran wilayah sebagai upaya rekayasa terhadap sistem

kehidupan dalam wilayah juga perlu mengakomodasi keragaman kondisi

lingkungan dan naungan sumberdaya alam yang tersedia untuk menjamin

sustainabilitas kehidupan di wilayah pemekaran. Sustainabilitas hanya akan

dapat dicapai jika dipenuhi kondisi optimum pada tiga hal mendasar, yaitu

pemanfaatan sumberdaya alam yang peduli pada keselamatan lingkungan

dalam rangka mencapai derajad perkembangan ekonomi tertentu yang

memperhatikan keadilan sosial di dalamnya. Dengan kata lain dalam

pemekaran wilayah perlu dipelihara keseimbangan antara kepentingan

ekonomi,ekologi dan keadilan sosial sekaligus. Dalam pemekaran wilayah

keseimbangan ketiga aspek di atas perlu dijaga dengan memperhitungkan

keragaman kondisi ekologi dan sumber daya alam wilayah beserta

konsekuensi dari setiap delineasi batas wilayah baru terhadap integritas

sistem ekologi secara menyeluruh8.

8 Rijanta, R., Makalah, Ruang dan Tempat dalam Studi Pemekaran Wilayah: Perspektif Teori dan Pengalaman Empirik

Kabupaten Kutai, Majalah Geografi Indonesia, Vol 20, No 2, September 2006

10
III. KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemekaran

wilayah (kabupaten ataupun provinsi) sebaiknya tidak perlu dilakukan

kalau memang hanya akan mendatangkan masalah baru seperti yang terjadi

di Kabupaten Lembata dan juga beberapa kabupaten lain, namun hal ini

tidak perlu terjadi apabila cita-cita luhur untuk memekarkan betul-betul

dilaksanakan tanpa harus dinodai oleh kepentingan-kepentingan kelompok

tertentu sehingga konflik sosial baru dalam tatanan kehidupan masyarakat

tidak perlu terjadi.

Dalam rangka mendekatkan pelayanan kepada masyarakat maka

dilaksanakan pemekaran wilayah guna memberikan pelayanan yang

maksimal kepada masyarakat, namun apabila pelayanan publik yang

menjadi tolok ukur sehingga dilakukannya pemekaran alangkah baiknya

bila yang dilakukan adalah pemekaran kecamatan atau desa untuk

menjawab masalah pelayanan dan pemerataan pembangunan kepada

masyarakat bukannya malah memekarkan kabupaten atau provinsi yang

justeru hanya akan menambah banyak masalah setelah terbentuknya daerah

otonom baru tersebut.

Kelompok-kelompok yang berkepentingan terhadap pemekaran

tersebut akan menggunakan segala macam cara agar mereka dapat

menggugah masyarakat sehingga mau memberikan dukungan politik

mereka terhadap proses pemekaran tersebut, namun pada kenyataannya

11
bukan kepentingan mereka yang disuarakan tetapi kepentingan-kepentingan

kelompok-kelompok yang menamkan diri mereka panitia perjuangan

pembentukan kabupaten atau provinsi, tanpa disadari masyarakat telah

menjadi korban permainan politik pada era otonomi daerah ini, urgensi dari

pemekaran yang seharusnya memberikan peluang bagi daerah-daerah baru

dan tentunya masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya dengan

adanya daerah baru malah menjadi korban dari perebutan kekuasaan pada

daerah yang baru dimekarkan tersebut.

12
DAFTAR PUSTAKA

Koesoemahatmadja, RDH,. Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan

Daerah di Indonesia, Bina Cipta, Jakarta, 1979.

Syafruddin A., Pengaturan Koordinasi Pemerintahan Daerah, Tarsito,

Bandung, 1976.

Muslimin Amrah., Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni,

Bandung. 1986.

Sarundayang S., Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, 2002.

Manan, Bagir., Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945,

Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.

Riwu Kaho, Josef., Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik

Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1998

Maring, Prudensius., Artikel, Involusi Kekuasaan,www.kompas.com, 2007

Rijanta, R., Makalah, Ruang dan Tempat dalam Studi Pemekaran

Wilayah: Perspektif Teori dan Pengalaman Empirik Kabupaten

Kutai, Majalah Geografi Indonesia, Vol 20, No 2, September 2006

13

You might also like