You are on page 1of 27

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah


Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua. Banyak
dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu
Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan
tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa
urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang
menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan
lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus,
adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari
solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN

I. Pengertian
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia
disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson
menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun
(peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal
ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :

”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”.


(Q.S. An-Nahl : 26)

Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut


Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu
adalah :
”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang
banyak”.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.
Sedangkan arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak
dipahami, yaitu :
”Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
(Q.S. At-Taubat : 122)
Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :
Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman
dalam agama.
Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’
yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau
cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur
beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.

II. Sejarah Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah


Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3
fase, yaitu :
1. Fase pertumbuhan dan pembentuka
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih.
Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarahhukumi
islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama
22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang
berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M,
dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab.
Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang
mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk
dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat
ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama
menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh.
Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi
Muhammad SAW.
Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :
• Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak
mengandung al-Mustasnayat
• Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena
kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu :
”pajak itu disertai imbalan jaminan”
”Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)”
Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai kaidah fiqh.
Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh,
karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh
karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu
situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan
mereka.
Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama
yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn
Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang
disusun adalah :
”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu
lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts),
apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang
hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang
dibentuknya, yaitu :
”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika
tidak terpaksa”
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang
dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu :
”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan
digadaikan”
2. Fase perkembangan dan kodifikasi
Dalah sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini,
sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam
mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar
kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.
Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh, karena
perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh terpenting dan
termasyhur abad ini adalah :
• Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
• Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
• Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W. 761
H)
• Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)
3. Fase kematangan dan penyempurnaan
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak
berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu
kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari
pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh
karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :
“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”

III. Pembagian Kaidah Fiqh


Cara membedakan sesuatu dapat dilakukan dibeberapa segi :
1. Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal.
Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan
yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat,
umpamanya :
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :
”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai
syarat”
”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih
atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’
2. Segi mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah yang
tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.
Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW.
Umpamanya adalah :
”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong
pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
3. Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
• Kaidah kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat
dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”
Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya
agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan
kemaslahatan.
• Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam.
Kaidah fiqh tersebut adalah :
”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
”Kesulitan mendatangkan kemudahan”
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
• Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ” majallah al-Ahkam
al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha usmaniah.
IV. Manfaat Kaidah Fiqh
Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
1. Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan
mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi
3. Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan
tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama,
pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-
Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung

Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)


1. Mempermudah dalam menguasai materi hokum
2. kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak
diperdebatkan
3. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk
memahami permasalahan-permasalahnan baru.
4. mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian
hokum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam
satu topic
5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hokum
dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat
yang lebih besar
6. Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah
cara memahami furu’ yang bermacam-macam

V. Urgensi Qawaidul Fiqhiyah


Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami
dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nashsh, ulama
dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan
2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah
dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat
dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian
hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah
mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata,
pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telh sempurna dengan adanya nash-nash yang
menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas
suatu cabang undang-undang.
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa
kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi
beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid
merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan
menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa
kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan
dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-
Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya
tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka
hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan
berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah
dipahami oleh pengikutnya.

VI. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah


Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah
menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh yang dijadikan
sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama
“sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
2. Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil
hukumyang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para
ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hokum mandiri.
Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil
mandiri.
Namun al_Hawani menolak pendapat Imam al-Haramayn al-juwayni. Menurutnya,
menurut al-Hawani, berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak dibolehkan. Al-Hawani
mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada umumnya, aglabiyat, atau aktsariyat. Oleh
karena itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian. Karena memiliki
pengecualian yang kita tidak mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian
tersebut, kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri merupakan jalan
keluar yang lebih bijak.
Kedudukan kaidah fiqh dalam kontek studi fiqh adalah simpul sederhana dari masalah-
masalah fiqhiyyat yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh Muhammad al-
Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau saja tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum
fiqh yang bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai berai.”
Dalam kontek studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syar’ah mencakup dua hal :
pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua bagian, yaitu ushul al-Fiqh yang
didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan; dan kaidah fiqhyang di
dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah dari
furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.

VII. Sistematika Qawaidul Fiqhiyah


Pada umumnya pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah
asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah kaidah yang
disepakati oleh Imam Mazhahib tanpa diperselisihkan kekuatannya, jumlah kaidah
asasiah ada 5 macam, yaitu :
1. Segala macam tindakan tergantung pada tujuannya
2. Kemudaratan itu harus dihilangkan
3. Kebiasaan itu dapat menjadi hukum
4. Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
5. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
Sebagian fuqaha’ menambah dengan kaidah “tiada pahala kecuali dengan niat.”
Sedangkan kaidah ghairu asasiah adalah kaidah yang merupakan pelengkap dari kaidah
asasiah, walaupun keabsahannya masih tetap diakui.

VIII. Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh


1. Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh
adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang
sama.
2. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul
setelah furu’.
3. Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam
berbagai macam dalil yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil
tersebut. Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang terhimpun di dalam
kaidah.
IX. Kaidah-kaidah Fiqh yang Asasi
1. Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-
Anam mengatakan bahwa seluruh syari’ah itu adalah muslahat, baik dengan cara
menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa
kepada kemaslahatan, adapula ynag menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu
diperintahkan oleh syari’ah dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh syari’ah.
2. Al-Qawaid al-Khamsah (lima kaidah asasi)
Kelima kaidah asasi tersebut sebagai berikut :
a. Kaidah asasi pertama
“segala perkara tergantung kepada niatnya”
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang,
apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan
melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena Allah,
tetapi agar disanjung orang lain.
b. Kaidah asasi kedua
“keyakinan tisak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”
c. Kaidah asasi ketiga
“kesulitan mendatangkan kemudahan”
Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya
menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka syari’ah meringankannya,
sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
d. Kaidah asasi keempat
“kemudhoratan harus dihilangkan”
Kaidah tersebut kembali kepada tujuan merealisasikan maqasid al-Syari’ah dengan
menolak yang mufsadat, dengan cara menghilangkan kemudhoratan atau setidak-
tidaknya meringankannya.
e. Kaidah asasi kelima
“adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum”
Adat yang dimaksudkan kaidah diatas mencakup hal yang penting, yaitu : di dalam adapt
ada unsure berulang-ulang dilakukan, yang dikenal sebagai sesuatu yang baik.
X. Kaidah-kaidah Fiqh yang umum
Kaidah-kaidah Fiqh yang umum terdiri dari 38 kaidah, namun disini kami hanya
menjelaskan sebagiannya saja, yaitu :
1. “ijthat yang telah lalu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihat yang baru”
Hail ini berdasarkan perkataan Umar bin Khattab :
“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan
sekarang”
2. “apa yang haram diambil haram pula diberikannya”
Atas dasar kaidah ini, maka haram memberikan uang hasil korupsi atau hasil suap. Sebab,
perbuatan demikian bisa diartikan tolong menolong dalam dosa.
3. “Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”
4. “Petunjuk sesuatu pada unsure-unsur yang tersembunyi mempunyai kekuatan sebagai
dalil”
Maksud kaidah ini adalah ada hal-hal yang sulit diketahui oleh umum, akan tetapi ada
tanda-tanda yang menunjukkan hal tadi. Contoh dari kaidah ini, seperti : Barang yang
dicuri ada pada si B, keadaan ini setidaknya bisa jadi petunjuk bahwa si B adalah
pencurinya, kecuali dia bisa membuktikan bahwa barang tersebut bukan hasil curian.

5. “Barang siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung


akibat tidak mendapat sesuatu tersebut”
Contah dari kaidah ini : Kita mempercepat berbuka pada saat kita puasa sebelum maghrib
tiba.
XI. Kaidah-kaidah Fiqh yang khusus
Banyak kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungan
lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang fioqh tertentu,
yaitu :
1. Kaidah fiqh yang khusus di bidang ibadah mahdah
“Setiap yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak sah pula digunakan shalat
fardhu”
2. Kaidah fiqh yang khusuh di bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah
Dalam hukum islam, hukum keluarga meliputi : pernikahan, waris, wasiat, waqaf dzurri
(keluarga) dan hibah di kalangan keluarga. Salah satu dari kaidah ini, yaitu
“Hukum asal pada masalah seks adalah haram”
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang
sebab-sebab yang jelasdan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan
adanya akad pernikahan.
3. Kaidah fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya”
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya
boleh, seperti : jual beli, sewa-menyewa, kerja sama. Kecuali yang tegas-tegas
diharamkan seperti yang mengakibatkan kemudharatan, penipuan, judi dan riba.
4. Kaidah fiqh yang khusus di bidang jinayah
Fiqh jinayah adalah hukum islam yang membahas tentang aturan berbagai kejahatan dan
sanksinya; membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya. Salah satu kaidah
khusus fiqh jinayah adalah :
“Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan syari’ah”
Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syari’ah adalah pencurian atau
perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syari’ah maka
diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat dari muzaki
yang sudah wajib mengeluarkan zakat.
5. Kaidah fiqh yang khusus di bidang siyasah
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus beorientasi kepada kemaslahatan
rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keluarganya maupun
golongannya.
6. Kaidah fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan hukum acara)
Lembaga peradilan saat ini berkembang dengan pesat, baik dalam bidangnya, seperti
mahkamah konstitusi maupun tingkatnya, yaitu dari daerah sampai mahkamah agung.
Dalam islam hal ini sah-sah saja, diantara kaidah fiqh dalam bidang ini yaitu :
“Perdamaian diantara kaum muslimin adalah boleh kecuali perdamaian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”
Perdamaian antara penggugat dan tergugat adalah baik dan diperbolehkan, kecuali
perdamaian yang berisi menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
1. Kaidah-kaidah fiqh ituterdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat
menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada
juz’iyatnya (bagian-bagiannya)
2. Salah satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip
umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dam kemudian
menjadi titik temu dari masalah-masalahfiqh.
3. Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu :
• Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan
dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
• Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri
sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
II. Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan
buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin
mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar setelah membaca makalah ini, membaca
sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.

DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, HA, 2006, Kaidah-kaidah fiqh, Jakarta : kencana


Mujib, Abdul, 1978, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Malang : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan
Ampel
Usman, Muslih, 1999, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta : Rajawali Pers
Effendi, Satria, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana
Mubarok, Jaih, 2002, Kaidah Fioqh, Jakarta : Rajawali Pers
Djazuli, HA, 2005, Ilmu Fiqh, Jakarta : Kencana
Asjmuni, A Rahman, 1976, Kaidah-kaidah Fiqh, Jakarta : Bulan Bintang
Ash-shiddiqie, Hasbi, 1999, Mabahits fi al-Qawaidul Fiqhiyah.
Al-Nadwi, Ali Ahmad, 1998, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Beirut : Dar al-Kalam
Faisal, Enceng Arif, 2004, Kaidah Fiqh Jinayah, Bandung : Pustaka Bani Quraisy
skip to main | skip to sidebar
LPPBI

Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Budaya Islam


Senin, 02 Februari 2009
Kedudukan al-Qawa'id al-Fiqhiyyah dalam Penetapan Hukum

Oleh : DR. Firdaus, M.Ag

Al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan kaidah yang bersifat umum meliputi sejumlah


masalah fiqh dan melaluinya dapat diketahui hukum masalah fiqh yang berada dalam
lingkupnya. Al-qawaid al-fiqhiyyah yang langsung didasarkan dan disandarkan pada
dalil-dalil dari Qur’an dan Sunnah (nash) dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan
hukum.

Pendahuluan
Sejak dahulu sampai saat ini tidak ada ulama yang mengingkari akan penting peranan al-
qawaid al-fiqhiyyah dalam kajian ilmu syariah. Para ulama menghimpun sejumlah
persoalan fiqh yang ditempatkan pada suatu al-qawaid al-fiqhiyyah. Apabila ada masalah
fiqh yang dapat dijangkau oleh suatu kaidah fiqh, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah
kaidah fiqh tersebut.
Melalui al-qawaid al-fiqhiyyah atau kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan
peluang bagi orang yang melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh
dengan lebih mudah dan tidak memakan waktu relatif lama. Dengan menguasai al-
qawaid al-fiqhiyyah secara baik tidak perlu dalam setiap persoalan merujuk kepada
uraian yang terdapat dalam berbagai kitab fiqh. Upaya merujuk terhadap kitab-kitab fiqh
menjadi penting untuk menguasai seluk beluk suatu persoalan ketika memang dibutuhkan
untuk mengetahui landasan filosofis dan rincian masalah agar pemahaman tentangnya
menjadi komprehensif.
Meskipun demikian, yang menjadi persoalan apakah al-qawaid al-fiqhiyyah dapat dipakai
sebagai dalil dalam mengistinbath hukum. Tulisan ini mencoba menjelaskan persoalan
tersebut dengan berupaya mencari terobosan baru terhadap pendapat ulama yang pernah
ada dalam memfungsikan al-qawaid fiqhiyyah dalam penetapan hukum.

Pengertian al-qawaid al-fiqhiyyah


Kata qawaid merupakan bentuk jama’ dari kata qaidah yang secara bahasa berarti asas
atau dasar, baik dalam bentuk inderawi maupun maknawi. Kata qaidah yang berarti dasar
dalam bentuk inderawi dapat diamati dalam ungkapan bahasa Arab, yaitu qawaid al-bait
yang berarti dasar atau pondasi rumah. Sementara kata qaidah yang berarti dasar dalam
bentuk maknawi dapat diamati dalam ungkapan qowa’id al-din yang berarti dasar atau
asas agama. Qaidah dengan makna ini dapat ditemukan dalam firman Allah berikut:

‫مّنا‬
ِ ‫ل‬ ْ ّ ‫ل َرب َّنا ت ََقب‬
ُ ‫عي‬ِ ‫ما‬َ ‫س‬ ِ ْ ‫ن ال ْب َي‬
ْ ِ ‫ت وَإ‬ َ ‫م‬
ِ َ ‫عد‬ َ ‫م ال َْق‬
ِ ‫وا‬ ِ ‫وَإ ِذ ْ ي َْرفَعُ إ ِب َْرا‬
ُ ‫هي‬
َ َ ‫إن‬
ُ ‫ميعُ ال ْعَِلي‬
‫م‬ ِ ‫س‬ّ ‫ت ال‬ َ ْ ‫ك أن‬ ِّ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail (seraya berdo`a): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami),
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (QS. 2: 127).

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Ibrahim dan Ismail diberi amanah oleh Allah untuk
meninggikan dan membina dasar-dasar (al-qawaid) atau pondasi baitullah.
Musthafâ Ahmad Zarqa’, dengan mengutip pendapat para ahli nahwu menegaskan bahwa
qawaid secara bahasa mengandung pengertian hukum yang dapat diterapkan pada semua
bagian-bagiannya.
Sementara kata fiqh secara etimologi berasal dari kata fiqhan ( ‫ )فقها‬yang merupakan
masdar dari fi’il madhi faqiha (‫ )فقه‬dan fi’il mudhori’nya yafqahu (‫)يفقه‬, berarti
paham. Ada ulama yang berpendapat bahwa kata fiqh berarti paham mendalam untuk
sampai kepadanya perlu mengerahkan pemikiran secara sungguh-sungguh. Kedua arti
fiqh ini dipakai para ulama dan masing-masingnya mempunyai alasan yang kuat. Kata
fiqh dengan arti paham atau memahami didukung firman Allah surat Hud, 11:91.
Kata fiqh juga digunakan untuk menunjukkan pemahaman terhadap sesuatu dengan baik
secara lahir maupun batin. Makna ini sejalan dengan firman Allah berikut:
“Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti
agar mereka memahaminya.” (QS.6:65)
Kata fiqh yang berkembang di kalangan ulama secara khusus berarti paham secara
mendalam. Orang yang memiliki pemahaman mendalam tentang fiqh disebut faqîh. Kata
faqaha atau yang seakar dengannya muncul dalam Qur’an sebanyak 20 kali yang
sebagian besarnya mengacu kepada makna pemahaman mendalam.
Pada periode awal Islam, para ulama (kalangan sahabat dan tabi’in) memahami fiqh
dengan pengetahuan atau pemahaman tentang agama Islam yang terdapat dalam Qur’an
dan Hadis. Pada masa selanjutnya, para ulama memahami fiqh sebagai pengetahuan
tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah. Dalam pengertian terakhir ini, Abd
al-Wahhab al-Khallaf mendefinisikan fiqh, yaitu mengetahui tentang hukum-hukum
syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dari dalil-dalil terperinci. Definisi ini
menggambarkan bahwa fiqh merupakan hasil ijtihad para ulama melalui pengkajian
terhadap dalil-dalil tentang suatu persoalan hukum yang terdapat dalam Qur’an dan
Sunnah. Ini mengisyaratkan fiqh bukan dihasilkan para ulama melalui taqlîd.
Dari pendekatan bahasa terhadap kata qaidah dan fiqh, dapat mempermudah dalam
memahami definisi al-qawaid fiqhiyyah secara terminologi. Dalam kaitan ini, ada
beberapa definisi kaidah fiqh secara terminologi yang dikemukakan para ulama. Ibn
Subki mengemukakan definisi kaidah fiqh seperti dikutip al-Nadawi yaitu:
‫المر الكلي الذي ينطبق عليه جزئيات كههثيرة تفهههم احكامههها‬
‫منها‬
Suatu kaidah kulli (bersifat umum) yang sesuai dengan juz’iyyah (bagian-bagian) yang
banyak, yang melaluinya diketahui hukum-hukum juz’iyyah.

Definisi ini menggambarkan ada beberapa unsur penting dalam definisi al-qawaid
fiqhiyyah, yaitu kaidahnya bersifat umum, kaidah umum itu dapat diterapkan pada
bagian-bagiannya, dan melalui kaidah umum itu dapat diketahui hukum-hukum
juz’iyyah.
Setelah mempelajari definisi al-qawaid fiqhiyyah yang dikemukakan para ahli fiqh,
Zarqa’ merumuskan definisi al-qawaid fiqhiyyah, yaitu kaidah fiqh yang bersifat umum,
tersusun dalam teks-teks (nash) yang singkat lagi mendasar mengandung hukum-hukum
syara’ yang bersifat umum tentang sejumlah peristiwa yang masuk dalam objeknya.
Melalui definisi itu Zarqa’ mengemukakan sejumlah unsur yang terdapat pada al-qawaid
fiqhiyyah yaitu, kaidahnya bersifat umum, tersusun dalam teks-teks singkat dan meliputi
sejumlah masalah fiqh yang menjadi objeknya atau berada di bawah lingkupnya.
Dengan demikian, al-qawaid fiqhiyyah adalah suatu kaidah yang bersifat umum meliputi
sejumlah masalah fiqh dan melaluinya dapat diketahui hukum sejumlah masalah yang
berada dalam lingkupnya.

Perbedaan al-qawâid al-fiqhiyyah dengan al-qawâid al-ushuliyyah


Dalam kajian keislaman, fiqh merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri, sebagaimana
ushul fiqh yang merupakan disiplin ilmu tersendiri. Kedua displin ilmu ini mempunyai
kaidah-kaidah tersendiri yang satu sama lain berbeda.
Menurut Ali al-Nadawi, imam Syihab al-Din al-Qarafi merupakan ulama yang pertama
kali membedakan antara kaidah ushuliyyah dan kaidah fiqhiyyah. Al-Qarafi menegaskan
bahwa syariah yang agung diberikan Allah kemuliaan dan ketinggian melalui ushul dan
furu’. Adapun ushul dari syariah tersebut ada dua macam. Pertama, ushul fiqh. Ushul fiqh
memuat kaidah-kaidah istinbath hukum yang diambil dari lafal-lafal berbahasa Arab.
Diantara yang dirumuskan dari lafal bahasa Arab itu kaidah tentang nasakh, tarjih,
kehendak lafal amar untuk wajib dan kehendak lafal nahi untuk menunjukkan haram, dan
sighat khusus untuk maksud umum. Kedua, al-qawaid fiqhiyyah yang bersifat kulli
(umum). Jumlah kaidah tersebut cukup banyak dan lapangannya luas yang mengandung
rahasia-rahasia dan hikmah syariat. Setiap kaidah diambil dari furu’ yang terdapat dalam
syariah yang tidak terbatas jumlahnya. Hal itu tidak disebutkan dalam kajian ushul fiqh,
meskipun secara umum mempunyai isyarat yang sama, tetapi berbeda secara
perinciannya.
Dalam penilaian Ibn Taimiyyah, ada perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah
dengan qawaid fiqhiyyah. Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil umum.
Sementara qawaid fiqhiyyah merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum
yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyyah membicarakan tentang dalil-dalil yang
bersifat umum, sedangkan qawaid fiqhiyyah membicarakan tentang hukum-hukum yang
bersifat umum.
Perbedaan al-qawaid fiqhiyyah dan kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas dapat
diamati dalam uraian di bawah ini.
1. Al-qawaid al-ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum) yang dapat
diterapkan pada semua bagian-bagian dan objeknya. Sementara al-qawaid fiqhiyyah
adalah himpunan hukum-hukum yang biasanya dapat diterapkan pada mayoritas bagian-
bagiannya. Namun, kadangkala ada pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum
tersebut.
2. Al-qawaid al-ushuliyyah atau ushul fiqh merupakan metode untuk mengistinbathkan
hukum secara benar dan terhindar dari kesalahan. Kedudukannya persis sama dengan
ilmu nahwu yang berfungsi melahirkan pembicaraan dan tulisan yang benar. Al-qawaid
al-ushuliyyah sebagai metode melahirkan hukum dari dalil-dalil terperinci sehingga objek
kajiannya selalu berkisar tentang dalil dan hukum. Misalnya, setiap amar atau perintah
menunjukkan wajib dan setiap larangan menunjukkan untuk hukum haram. Sementara al-
qawaid al-fiqhiyyah adalah ketentuan (hukum) yang bersifat kulli (umum) atau
kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian masalah fiqh. Objek kajian al-
qawaid al-fiqhiyyah selalu menyangkut perbuatan mukallaf.
3. Al-qawaid al-ushuliyyah sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum syara’ yang
bersifat amaliyyah. Sementara ¬al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan himpunan sejumlah
hukum-hukum fiqh yang serupa dengan ada satu illat (sifat) untuk menghimpunnya
secara bersamaan. Tujuan adanya qawaid fiqhiyyah untuk menghimpun dan
memudahkan memahami fiqh.
4. Al-qawaid al-ushuliyyah ada sebelum ada furu’ (fiqh). Sebab, al-qawaid al-ushuliyyah
digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum (furu’). Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah
muncul dan ada setelah ada furu’ (fiqh). Sebab, al-qawaid al-fiqhiyyah berasal dari
kumpulan sejumlah masalah fiqh yang serupa, ada hubungan dan sama substansinya.
5. Dari satu sisi al-qawaid al-fiqhiyyah memiliki persamaan dengan al-qawaid al-
ushuliyyah. Namun, dari sisi lain ada perbedaan antara keduanya. Adapun segi
persamaannya, keduanya sama-sama memiliki bagian-bagian yang berada di bawahnya.
Sementara perbedaannya, al-qawaid al-ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan
yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum.
Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi
hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata.

Signifikansi al-Qawaid al-Fiqhiyyah


Sebagai suatu kajian tersendiri bagi mereka yang menekuni dan melakukan studi
terhadap ilmu syariah, hukum Islam dan fiqh, keberadaan al-qawaid al-fiqhiyyah
mempunyai arti penting. Betapa pentingnya ilmu ini sehingga al-Qarâfî menggambarkan
bahwa al-qawaid fiqhiyyah memberikan manfaat besar terhadap fiqh. Dengan menguasai
kaidah fiqh dapat menambah pengetahuan ahli fiqh sehingga ia dapat memahami fiqh
dengan baik dan melalui al-qawaid fiqhiyyah akan tersingkap metode fatwa.
Abdul Mudjib dengan mengutip pendapat Izzuddin bin Abd al-Salam menyatakan bahwa
al-qawaid fiqhiyyah sebagai jalan untuk mendapatkan maslahah dan menolak mafsadah.
Isyarat ini ditegaskan Izzuddin Abd al-Salam dalam tujuan penulisan kitabnya Qawâid al-
Ahkâm fi Mashâlih al-Anam. Ulama ini menjelaskan tujuan penyusunan kitab tersebut
untuk menerangkan maslahat-maslahat ketaatan, muamalat dan seluruh tasyaruf untuk
pedoman usaha daya-upaya hamba dalam rangka menghasilkan maslahat-maslahat
tersebut, menerangkan maksud-maksud kemudharatan agar hamba berusaha untuk
menolaknya, dan menerangkan maslahat-maslahat ibadah agar para hamba berada dalam
kebaikan karenanya, dan menerangkan maslahat mana yang harus didahulukan dan
mafsadat mana yang harus dikemudiankan, serta menerangkan apa yang termasuk dalam
kemampuan usaha hamba, bukan hal-hal yang di luar kemampuannya yang tidak ada
jalan untuk menuju kepadanya.
Pernyataan hampir senada ditegaskan pula oleh imam Suyuthi dalam bukunya al-Asbâh
wa al-Nazhâir. Ia menegaskan bahwa ilmu al-Asbâh wa al-Nazhâir atau kaidah fiqh
merupakan ilmu yang agung. Melaluinya dapat diketahui hakikat fiqh, tempat
diperolehnya, tempat pengambilan dan rahasia-rahasianya. Dengan ilmu itu pula orang
akan lebih menonjol dalam pemahaman dan penghayatannya terhadap fiqh dan mampu
untuk menghubungkan dan mengeluarkan hukum-hukum dan mengetahui hukum
masalah-masalah yang tidak tertulis, hukum peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian
yang tidak habis-habisnya sepanjang masa. Oleh karena itu, sebagian ulama menyatakan
bahwa fiqh ialah mengetahui persamaan-persamaan atau bandingan-bandingan.
Hasbi Ash-Shiddieqy mengemukakan dalam bukunya “Pengantar Hukum Islam” bahwa
tidak diragukan lagi seeorang yang hendak melakukan ijtihad membutuhkan kaidah-
kaidah kulli (bersifat umum) atau al-qawaid fiqhiyyah yang menjadi pedomannya dalam
menetapkan hukum Islam.
Selain itu, arti penting al-qawaid al-fiqhiyyah secara lebih rinci dapat diamati dalam
uraian berikut:
1. Al-qawaid al-fiqhiyyah mempunyai kedudukan penting untuk mempermudah dalam
mempelajari fiqh. Melaluinya furû’(cabang) fiqh yang demikian banyak dapat dipisahkan
dalam kaidah fiqh tertentu. Apabila tidak ada al-qawaid al-fiqhiyyah, tentu persoalan
hukum yang demikian banyak tetap berserakan di berbagai kitab fiqh sehingga sulit untuk
dipelajari ahli fiqh dengan mudah dan baik.
2. Mempelajari al-qawaid al-fiqhiyyah dapat membantu untuk menguasai fiqh dengan
masalah-masalahnya yang demikian banyak. Sebab, al-qawaid al-fiqhiyyah sebagai
jembatan dan sarana melahirkan hukum-hukum.
3. Membantu kalangan yang melakukan studi fiqh untuk membahas bagian hukum dan
mengeluarkan hukum dari topik-topik yang berbeda dan meletakkannya pada satu topik
dengan tetap memelihara pengecualian (istisna’i) dari setiap kaidah. Hal ini akan
menghindarkan terjadi pertentangan hukum yang kelihatan sama.
4. Dengan mengikatkan hukum-hukum yang berserakan pada satu ikatan menunjukkan
bahwa hukum-hukum fiqh membawa misi untuk mewujudkan kemaslahatan yang sejalan
dengannya atau mewujudkan kemaslahatan yang lebih besar.
5. Mengetahui al-qawaid al-fiqhiyyah penting untuk memperkuat jalan mengetahui furû’
fiqh yang demikian banyak. Hal ini tergambar dalam al-qawaid fiqhiyyah yang
menegaskan bawa: “sesungguhnya ungkapan dalam suatu akad mengandung sejumlah
makna”. Penerapan kaidah ini dapat diamati dalam sejumlah kasus muamalah yang
berada dalam lingkupnya. Misalnya, akad al-bay’u atau jual beli adalah transaksi
pemindahan milik suatu benda dengan membayar nilai ganti benda itu. Sementara ijarah
adalah transaksi untuk mengambil manfaat suatu benda dengan disertai bayaran terhadap
pengambilan manfaat tersebut. Sedangkan hibah adalah akad untuk memiliki suatu benda
tanpa membayar gantinya.
Sejalan dengan itu, Zarqa’ mengakui arti penting dan manfaat al-qawaid fiqhiyyah
terhadap fiqh. Dengan mengetahui dan menguasai al-qawaid al-fiqhiyyah dapat
menambah kemampuan ahli fiqh dan memperjelas bagi mereka metode-metode
melahirkan fatwa. Orang yang berpegang kepada furu’ fiqh tanpa memperhatikan al-
qawaid al-fiqhiyyah akan menemukan pertentangan yang banyak dalam masalah furu’
fiqh. Hal ini menuntutnya untuk menguasai rincian persoalan fiqh yang banyak tersebut.
Ini tentu sulit dan menghabiskan waktu yang lama bagi orang tersebut.
Dari uraian di atas tampak bahwa al-qawaid fiqhiyyah mempunyai arti penting bagi fiqh
dan mempunyai peranan signifikan dalam bidang tasyri’. Dengan alasan ini pula para
ulama sejak dahulu dari semua mazhab fiqh memberikan perhatian besar dalam rangka
merumuskan dan menyusun kaidah-kaidah fiqh sehingga tersusun kitab-kitab khusus
yang membahas tentang kaidah-kaidah tersebut.
Bagi mereka yang mempelajari dan mengunakan al-qawaid fiqhiyyah dalam kajian
mereka perlu memperhatikan secara seksama, terutama terutama terhadap pengecualian-
pengecualian dari kaidah itu. Dalam konteks ini, diperlukan sikap teliti dan hati-hati
dalam penerapan kaidah fiqh tersebut. Hal ini penting agar terhindar dari kekeliruan dan
kesalahan dalam penerapan kaidah-kaidah fiqh.

Peran al-Qawaid al-Fiqhiyyah dalam Istinbath Hukum


Dalam memposisikan al-qawaid al-fiqhiyyah sebagai dalil istinbath hukum dapat diamati
dari berbagai pendapat ulama tentang masalah tersebut. Dalam kaitan ini, Alî al-Nadawî
memaparkan sejumlah pendapat ulama tentang masalah ini. Imam Haramain al-Juwaini
dalam kitabnya al-Ghayâtsî ketika menjelaskan tentang kaidah ibahah dan bara’ah
zimmah menegaskan bahwa ia tidak bermaksud menggunakan kedua kaidah tersebut
sebagai dalil. Ini isyarat dari imam Haramain untuk tidak menggunakan kaidah fiqh
sebagai dalil istinbath hukum. Al-Hamawî dengan ungkapan lebih tegas menyatakan
penetapan fatwa tidak boleh didasarkan kepada kaidah fiqh karena ia tidak bersifat kulli,
tetapi bersifat aqlabiyyah (kebanyakan). Isyarat serupa dikemukakan pula oleh Alî
Khaidar dalam syarah al-Majallah al-Adliyyah bahwa mereka yang berwenang
menetapkan hukum tidak boleh menetapkan hukum dengan semata-mata berpijak pada
al-qawaid al-fiqhiyyah.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa banyak ulama yang tidak
membolehkan pemakaian al-qawaid fiqhiyyah sebagai dalil-dalil dalam menetapkan
hukum. Sebab, tidak logis menjadikan sesuatu yang merupakan himpunan dari sejumlah
persoalan furû’ (fiqh) sebagai dalil dari dalil syara’. Namun, kesimpulan ini tidak dapat
diberlakukan secara umum, mengingat sebagian al-qawaid fiqhiyyah ada yang langsung
didasarkan dan disandarkan pada dalil-dalil dari Qur’an dan Sunnah (nash).
Ada beberapa al-qawaid fiqhiyyah yang dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.
Pertama, kaidah yang menegaskan bahwa sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihapus
oleh keraguan. Kaidah fiqh itu berbunyi:
‫اليقين ل يزول بالشك‬
Sesuatu yang yakin tidak dapat dihilangkan oleh keraguan

Kaidah ini menegaskan sesuatu yang meyakinkan tidak dapat dikalahkan oleh sesuatu
yang meragukan, kecuali yang meragukan meningkat menjadi meyakinkan. Ini
menunjukkan semua tindakan mesti berdasarkan pada yang diyakini. Yakin adalah
puncak pemahaman yang disertai dengan tetapnya hukum. Dalam penilaian Alî al-
Nadawî, yakin adalah ketetapan dan ketenangan tentang hakikat sesuatu sehingga tiada
lagi keragu-raguan. Menurut ibn Manzûr, yakin adalah mengetahui dengan pasti tentang
suatu persoalan sehingga menghilangkan adanya keraguan. Sedangkan syak secara
bahasa berarti sikap ragu antara ada atau tidak ada sesuatu dan ia merupakan lawan dari
yakin. Menurut ahli fiqh, syak adalah sikap ragu antara ada atau tidak adanya sesuatu,
baik sikap ragu itu sama atau ada salah satu dari keduanya yang lebih kuat. Sementara
ahli ushul fiqh mendefinisikan syak adalah adanya dua kemungkinan yang sama, apabila
ada salah satu yang lebih kuat disebut zhan (praduga) dan yang lain disebut wahm
(dugaan yang kurang kuat).
Kaidah fiqh di atas menghimpun sejumlah masalah fiqh. Melalui kaidah ini juga
tergambar kemudahan dan kelapangan dalam hukum Islam. Kaidah ini mendorong untuk
menghilangkan kesulitan selama didasarkan atas keyakinan. Ini penting karena keraguan
banyak muncul akibat penyakit was-was (bisikan setan), yang biasa terjadi dalam
masalah bersuci dan sholat. Kaidah fiqh tersebut didasarkan pada dalil yang kuat,
diantaranya hadis berikut:

‫م‬َ ّ ‫س هل‬
َ َ‫ه عَل َي ْههِ و‬ُ ‫صّلى الل ّه‬ َ ِ‫ل َالل ّه‬
ُ ‫سو‬ ُ ‫ل َر‬ َ ‫ل َقا‬ َ ‫ن أ َِبي هَُري َْرةَ َقا‬ ْ َ‫ع‬
َ
َ ‫ل عَل َي ْهِ أ‬َ َ ‫شك‬ َ ِ‫م ِفي ب َط ْن ِه‬ َ
ٌ‫يء‬ ْ ‫شه‬ َ ‫ه‬ُ ْ ‫من‬
ِ ‫ج‬ َ ‫خَر‬ ْ ‫شي ًْئا فَأ‬ ْ ُ ‫حد ُك‬َ ‫جد َ أ‬
َ َ‫ذا و‬ َ ِ‫إ‬
َ َ
‫حا‬ً ‫جد َ ِري‬
ِ َ ‫صوًْتا أوْ ي‬ َ َ ‫مع‬ َ ‫س‬ْ َ ‫حّتى ي‬َ ِ‫جد‬ِ ‫س‬ ْ ‫م‬َ ْ ‫ن ال‬
ْ ‫م‬ ِ ‫ن‬ّ ‫ج‬ َ ‫خُر‬ ْ َ ‫م َل فََل ي‬ ْ ‫أ‬
Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: apabila seorang dari kamu
mendapatkan sesuatu di dalam perutnya, kemudian ia ragu apakah telah keluar sesuatu
dari perutnya ataukah belum, maka janganlah ia keluar masjid sehingga mendengar suara
atau mendapatkan bau (memperoleh bukti telah batal wudhunya) (H.R. Muslim).

Hadis ini menginformasikan kepada muslim, apabila merasakan sesuatu dalam perutnya
sehingga ia ragu apakah telah keluar sesuatu dari perut yang menyebabkan batal wudhu
atau tidak ada yang keluar, ia tidak perlu keluar masjid untuk berwudhu sampai
mendengar secara pasti suara (kentut) atau merasakan bau.
Kaidah fiqh di atas juga didasarkan pada hadis Nabi berikut:

‫ك‬ّ ‫شه‬ َ ‫ذا‬ َ ‫ه قَهها‬


َ ِ‫ل إ‬ َ ّ ‫وقَد روي عَن النبي صّلى الل ّه عَل َيه وسل‬
ُ ‫م أن ّه‬َ َ َ ِ ْ ُ َ ّ ِّ ْ َ ِ ُ ْ َ
َ
‫ك فِههي‬ ّ ‫شه‬ َ ‫ذا‬ َ ِ ‫حد َةً وَإ‬ِ ‫ما َوا‬َ ُ‫جعَل ْه‬
ْ َ ‫ن فَل ْي‬ ِ ْ ‫حد َةِ َوالث ّن ْت َي‬ َ ْ ‫م ِفي ال‬
ِ ‫وا‬ ْ ُ ‫حد ُك‬ َ ‫أ‬
‫ن‬ ِ ْ ‫جد َت َي‬ْ ‫سه‬ َ ‫ك‬ َ ‫جد ْ فِههي ذ َل ِه‬ ُ ‫سه‬ ْ َ ‫ن وَي‬ ِ ْ ‫ما ث ِن ْت َي‬ َ ُ‫جعَل ْه‬ ْ َ ‫ث فَل ْي‬ ِ ‫ن َوالث َّل‬ِ ْ ‫الث ّن ْت َي‬
َ َ ‫قَب‬.
َ ّ ‫سل‬
‫م‬ َ ُ‫ن ي‬ ْ ‫لأ‬ ْ
Sungguh telah diriwayatkan dari Nabi SAW. bahwa beliau bersabda: apabila ragu salah
seorang kamu dalam sholat, apakah telah satu rakaat atau dua rakaat sholatnya, maka
hendaklah ia menetapkan satu rakaat sholat yang telah dilakukan. Dan apabila ia ragu
antara dua atau tiga rakaat sholat yang telah dilakukan, maka hendaklah ia menetapkan
dua rakaat yang telah dilakukan. Hendaklah ia melakukan dua kali sujud sebelum salam
(H.R. Tirmidzi).

Hadis ini mengisyaratkan orang yang ragu tentang bilangan rakaat sholat, antara dua dan
tiga, maka hendaklah yang bersangkutan memilih bilangan rakat sholat yang paling
sedikit karena itulah yang yakin atau pasti, sementara bilangan yang tertinggi dari rakaat
sholat itu yang dikeragui. Dalam kasus, ini orang yang ragu tentang bilangan rakaat
sholat diperintahkan (sunat) untuk melakukan sujud sahwi sebelum ia salam sebagai
penutup sholatnya.
Mengingat kaidah fiqh tentang “sesuatu yang yakin tidak dapat dihilangkan oleh
keraguan” langsung didasarkan pada nash, ia dapat dijadikan sebagai dalil dalam
menetapkan hukum.
Kedua, kaidah fiqh yang menegaskan kemudharatan harus dihilangkan dari kehidupan
manusia. Kaidah fiqh itu berbunyi: :

‫الضرر يزال‬
Kemudharatan itu harus dihilangkan

Kaidah ini mengisyaratkan bahwa kemudharatan selalu ada dan terjadi dalam kehidupan
manusia, baik pada saat sekarang maupun akan datang. Islam menginginkan agar
kemudharatan itu dihilangkan dari kehidupan manusia.
Kaidah ini dibangun atas dasar dan dalil yang cukup kuat, diantaranya firman Allah
berikut:

ُ َ ‫خي ٌْر ل‬ ِ ‫صَل‬ َ ‫دوا ِفي اْل‬ ِ ‫وََل ت ُْف‬


ْ ‫ن ك ُن ُْتهه‬
‫م‬ ْ ِ‫م إ‬
ْ ‫كهه‬ ْ ُ ‫حَها ذ َل ِك‬
َ ‫م‬ ْ ِ ‫ض ب َعْد َ إ‬
ِ ‫ر‬
ْ ُ ‫س‬
‫ن‬َ ‫مِني‬ ِ ْ ‫مؤ‬
ُ
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya.
Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman".
(QS.7:85)

Ayat ini melarang muslim berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah
memperbaikinya. Kemampuan mentaati ketentuan ini sebagai bukti kebenaran iman
seorang mukmin. Disamping itu, Allah menegaskan bahwa Ia tidak mencintai orang-
orang yang berbuat kerusakan, seperti pada firman-Nya berikut:

َ ‫وَل ت َب ْغ ال َْفساد َ ِفي اْل‬


‫ن‬
َ ‫دي‬
ِ ‫س‬ ُ ْ ‫ب ال‬
ِ ‫مْف‬ ِ ُ ‫ه َل ي‬
ّ ‫ح‬ َ ّ ‫ن الل‬
ّ ِ‫ض إ‬
ِ ‫ر‬
ْ َ ِ َ
Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS.28:77).

Kaidah fiqh di atas juga didasarkan pada hadis Nabi berikut:

َ
‫م‬َ ّ ‫سههل‬َ َ‫ه عَل َي ْهِ و‬
ُ ّ ‫صّلى الل‬َ ِ‫ل الل ّه‬
َ ‫سو‬
ُ ‫ن َر‬
ّ ‫تأ‬ِ ‫م‬
ِ ‫صا‬
ّ ‫ن ال‬
ِ ْ ‫ن عَُباد َةَ ب‬
ْ َ‫ع‬
َ
‫ضَراَر‬ ِ ‫ضَرَر وََل‬ َ ‫ن َل‬ ْ ‫ضى أ‬َ َ‫ق‬
Dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah SAW. menetapkan tidak boleh membuat
kemudharatan pada diri sendiri dan membuat kemudharatan pada orang lain (H.R. Ibn
Majah)

Kaidah fiqh ini mencakup banyak masalah fiqh dan dapat dijadikan sebagai dalil dalam
menetapkan hukum, baik bidang muamalat, munakahat, maupun jinayat. Dalam bidang
muamalat, kaidah fiqh ini dapat dijadikan dalil untuk mengembalikan barang yang dibeli
karena ada cacat dan memberlakukan khiyar dengan berbagai macamnya dalam suatu
transaksi jual beli karena terdapat beberapa sifat yang tidak sesuai dengan yang telah
disepakati. Begitu pula dapat dijadikan sebagai dalil untuk melarang mahjur alaih
membelanjakan harta kekayaannya, membatasi melakukan tindakan hukum bagi muflis
(orang yang jatuh pailit), safih (orang dungu) untuk melakukan transaksi dan hak syuf’ah.
Pertimbangan utama diberlakukan ketentuan-ketentuan ini untuk menghindarkan
semaksimal mungkin kemudharatan yang merugikan pihak-pihak yang terkait dengan
transaksi tersebut.
Selain itu, kaidah fiqh ini menjadi dalil pula dalam menetapkan hukum masalah jinayah.
Misalnya, Islam menetapkan adanya hukum qishash, hudud, kaffarat, mengganti rugi
kerusakan, mengangkat para penguasa untuk membasmi pemberontak dan memberikan
sanksi hukum terhadap pelaku kriminal. Disamping itu, kaidah fiqh tersebut meliputi
persoalan munakahah. Diantaranya, Islam membolehkan perceraian dalam situasi dan
kondisi kehidupan rumah tangga yang tidak berjalan mulus dan serasi, agar suami-istri
tidak selalu berada dalam tekanan batin, penderitaan dan tidak mungkin dapat
mewujudkan rumah tangga bahagia.
Ketiga, kaidah fiqh yang menegaskan bahwa adat kebiasaan dapat dijadikan hukum.
Kaidah itu berbunyi:
‫العادة محكمة‬
Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum

Dalam penilaian al-Râghib kata ‘urf yang seakar dengan kata ma’rûf merupakan nama
bagi suatu perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan agama. Makna ini dapat ditemukan
dalam diantaranya dalam Q.S. 3: 104. Kata ‘urf dan ma’rûf dalam Qur’an dipandang
sebagai bagian dari sikap ihsan. Isyarat ini dapat ditemukan dalam Q.S. 7:199. Menurut
Ibn al-Najar kata al-‘urf yang terdapat dalam ayat ini meliputi segala sesuatu yang
disenangi oleh jiwa manusia dan sejalan dengan nilai-nilai syarî’ah.
Secara istilah, menurut Al-Jurjânî ‘urf adalah semua yang telah tetap dalam jiwa,
didukung akal, dan dapat diterima tabiat. Sementara adat merupakan segala yang
dipraktekkan manusia secara terus menerus yang sejalan dengan akal sehat dan telah
menjadi kebiasaan mereka. Al-Jurjânî membedakan antara ‘urf dan adat. Sesuatu yang
disebut ‘urf bukan semata karena dapat diterima tabiat, tetapi juga harus sejalan dengan
akal manusia. Sementara sesuatu yang disebut adat bukan semata-mata sejalan dengan
akal sehat, tetapi juga telah dipraktekkan manusia secara terus menerus sehingga menjadi
tradisi di kalangan mereka.
Abû Zahrah membatasi ‘urf menyangkut kebiasaan manusia dalam kegiatan muamalah
mereka. Muamalah yang dimaksud ulama ini sebagai bandingan dari bagian hukum Islam
yang lain, yaitu aspek ibadah. Pembatasan ini tentu didasarkan pada pertimbangan bahwa
umumnya ‘urf terkait dengan kegiatan muamalah. Sebab, masalah muamalah cukup
banyak diatur dalan bentuk prinsip-prinsip dasar dalam Qur’an dan Hadis sehingga
berpeluang dimasuki unsur ‘urf di mana umat Islam berada. Sebaliknya, masalah ibadah
yang sudah dijelaskan secara rinci kecil kemungkinan dimasuki unsur ‘urf setelah sumber
hukum Islam, Qur’an dan Hadis lengkap diturunkan.
Mushthafâ Ahmad Zarqâ’ menyimpulkan bahwa ‘urf bersumber dari adat kebanyakan
kaum dalam bentuk perkataan atau perbuatan. Ia tampaknya tidak mensyaratkan sesuatu
yang disebut ‘urf dilakukan oleh semua orang, tetapi cukup dilakukan oleh mayoritas
kaum atau masyarakat. Dalam hal ini, ‘urf tidak hanya cukup dalam bentuk perbuatan,
dapat pula berupa perkataan.
Makna adat dalam kaidah fiqh di atas meliputi ‘urf dalam bentuk perkataan dan
perbuatan atau bersifat umum maupun khusus. Kaidah ini mengisyaratkan adat dapat
dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam ketika nash tidak ada. Adat atau
‘urf berbentuk umum dapat berlaku dari masa sahabat hingga masa kini yang diterima
oleh para mujtahid dan mereka beramal dengannya. Sementara ‘urf khusus hanya berlaku
pada lingkungan masyarakat tertentu yang terkait dengan ‘urf itu.
Menurut al-Suyûthî, banyak sekali masalah hukum Islam yang didasarkan pada kaidah
ini, diantaranya penentuan usia haid, lama masa suci dan haid, usia baligh, lama masa
nifas, batasan sedikit najis yang dapat dimaafkan, batasan berturut-turut (muwalat) dalam
wudhu, jarak waktu ijâb dan qabûl, jual beli salam, jual beli mu’âthah, merawat bumi
yang tidak bertuan (ihyâ’ al-mawât), masalah titipan, memanfaatkan harta sewaan,
masalah hidangan yang boleh dimakan ketika bertamu, keterpeliharaan harta di tempat
penyimpanan dalam masalah pencurian, dan menerima hadiah bagi hakim.
Kaidah fiqh tentang urf’ atau adat di atas dapat dijadikan sebagai dalil yang
mengkhususkan keumuman nash. Dalam nash dijelaskan tentang larangan melakukan
jual beli yang diiringi dengan syarat seperti yang ditegaskan Hadis berikut:

ِ‫ه عَل َي ْهه‬ُ ‫صّلى الل ّه‬ َ ِ‫ل الل ّه‬ ُ ‫سو‬ ُ ‫ل َر‬ َ ‫ل َقا‬ َ ‫رو َقا‬ ٍ ‫م‬
ْ َ‫ن ع‬ ّ
ِ ْ ‫ن عَب ْدِ اللهِ ب‬ ْ َ‫ع‬
‫م‬ْ ‫مهها َلهه‬َ ‫ح‬ ُ ْ ‫ن ِفي ب َي ٍْع وََل رِب‬ ِ ‫طا‬َ ‫شْر‬ َ ‫ف وَب َي ْعٌ وََل‬ ٌ َ ‫سل‬
َ ‫ل‬ ّ ‫ح‬ ِ َ ‫م َل ي‬
َ ّ ‫سل‬َ َ‫و‬
‫ )رواه احمد‬.‫ك‬ َ َ ‫عن ْد‬
ِ ‫س‬ َ ْ ‫ما ل َي‬َ ُ‫ن وََل ب َي ْع‬ْ ‫م‬َ ‫ض‬ْ ُ ‫)ي‬
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: tidak halal jual beli
salam, dua syarat dalam satu akad jual beli, mengambil keuntungan yang tidak disertai
jaminan, dan jual beli sesuatu yang tidak ada padamu. (H.R. Ahmad)

Larangan melakukan jual beli yang diiringi dengan syarat dalam Hadis ini bersifat umum
yang kemudian ditakhsis oleh ‘urf. Atas dasar ini, bay’ al-wafâ’, dimana merupakan jual
beli yang diiringi dengan syarat dibolehkan hukum Islam. Bagi mayoritas ulama mazhab
Hanafi pembolehan bay’ al-wafâ’ karena membawa manfaat yang banyak bagi kehidupan
masyarakat dalam kegiatan muamalah mereka. Jual beli ini sebagai jalan keluar
menghindarkan diri dari riba.
Praktek bay’ al-wafâ’ berasal dari tradisi masyarakat Bukhâra dan Balkh pada
pertengahan abad ke 5 H. Hal ini muncul karena para pemilik modal tidak mau memberi
hutang kepada mereka yang membutuhkan dana, apabila mereka tidak mendapat imbalan.
Situasi ini menyulitkan masyarakat yang membutuhkan dana. Untuk itu, mereka
menciptakan transaksi sehingga kebutuhan masyarakat terpenuhi dan keinginan orang
kaya pun tercapai. Ini alasan mereka membolehkan bay’ al-wafâ’.
Sejalan dengan penjelasan terdahulu, hakim dan mufti tidak boleh menetapkan putusan
dan fatwanya dengan semata-mata berpegang pada al-qawaid al-fiqhiyyah. Hakim dan
mufti tersebut boleh menggunakan al-qawaid al-fiqhiyyah dalam menjalankan tugasnya
apabila menemukan dalil (nash) fiqh yang dapat dijadikan sebagai sandaran dalam
menyelesaikan kasus yang dihadapinya.
Apabila suatu kasus tidak ditemukan nash fiqh sebagai dasarnya karena tidak diketahui
bahasan fuqaha tentang hal itu, tetapi ada kaidah fiqh yang dapat mencakup peristiwa
atau kasus itu, dalam situasi demikian dibenarkan melandaskan fatwa dan putusan hakim
di pengadilan menggunakan kaidah fiqh. Penerapan hal ini dapat diamati secara seksama
dari contoh kasus yang dikemukakan di bawah ini.
Dalam sebuah kaidah fiqh yang cukup populer ditegaskan bahwa situasi yang sulit
memberikan peluang bagi muslim memperoleh kelapangan dan kemudahan dalam
menjalankan urusannya. Hal itu diungkapkan kaidah fiqh berikut:
‫اذا ضاق المر اتسع‬
Suatu urusan apabila telah sempit ia akan lapang.

Dengan berpegang pada kaidah fiqh ini, imam Syafi’i memberikan solusi terbaik
terhadap persoalan yang dihadapi seorang wanita, dimana ketika tidak ada wali wanita
yang sedang melakukan perjalanan bersamanya, ia boleh mewakilkan walinya kepada
laki-laki yang dipercayai dan dipandangnya memiliki sifat amanah. Ketika imam Syafi’i
ditanya orang kenapa ia memberikan solusi yang demikian. Ulama ini menegaskan
bahwa apabila suatu urusan sempit, maka ia akan lapang.
Imam Abd al-Aziz bin Ahmad al-Kalawani, membolehkan praktek jual beli buah-buahan
yang sebagiannya telah tampak, sementara yang lain belum tampak. Dengan telah tampak
sebagian buah-buahan itu semakin mendekatkan kepada hasil buah-buahan itu apabila
telah matang nanti. Disamping itu, didasarkan pula pada pertimbangan berupa aturan
main seperti itu telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan masyarakat.
Secara faktual terbukti sebagian kaidah fiqh yang terdapat dalam al-qawaid al-fiqhiyyah
dipakai para ulama dalam menetapkan hukum dan melahirkan berbagai fatwa untuk
menyelesaikan berbagai persoalan hukum yang terjadi di masyarakat. Misalnya, para
ulama tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia Pusat (MUI) dalam menetapkan hukum
terhadap sejumlah kasus yang diajukan masyarakat seringkali merujuk pada kaidah fiqh
sebagai penguat pendapat mereka setelah mengemukakan sejumlah ayat Qur’an dan
hadis.

Kesimpulan
Al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan kaidah bersifat umum meliputi sejumlah masalah fiqh
dan melaluinya dapat diketahui hukum masalah fiqh yang berada dalam lingkupnya. Al-
qawaid al-fiqhiyyah yang dirumuskan para ulama yang tidak langsung terambil dan
berdasarkan nash tidak dapat dipakai sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.
Sebab, tidak logis menjadikan sesuatu yang merupakan himpunan dari sejumlah
persoalan furû’ (fiqh) sebagai dalil dari dalil syara’. Namun, apabila kaidah fiqh itu
langsung didasarkan dan disandarkan pada dalil-dalil dari Qur’an dan Sunnah (nash), ia
dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan hukum.

Diposkan oleh LPPBI di 00.31


0 komentar:

Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langgan: Poskan Komentar (Atom)

Tentang LPPBI :

LPPBI
Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Budaya Islam (LPPBI) merupakan lembaga
non struktural yang menjadi perpanjangan tangan fakultas Ilmu Budaya-Adab dalam
rangka pengembangan keilmuan, penelitian dan pengabdian masyarakat. LPPBI
bertujuan untuk melaksanakan berbagai kegiatan ilmiah seperti penelitian, diskusi, dan
seminar ilmiah bidang kebudayaan Islam serta mewadahi berbagai kegiatan seni dan
budaya Islam dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya Islam di tengah-
tengah masyarakat. LPPBI sekaligus menjadi wadah pengembangan konsorsium budaya
sastra, sejarah, seni dan informasi.

Lihat profil lengkapku


Halaman Muka :

* Fiba's Site

Makalah-Makalah

* ► 2010 (55)
o ► Desember (1)
+ Efektifitas Pelaksanaan Undang-undang No. 4 Tahun ...
o ► November (7)
+ Wanita dan Kemiskinan dalam Perspektif Sejarah Gen...
+ Surau Sebagai Skriptorium Naskah Minangkabau : St...
+ Membangun Citra Perpustakaan Perguruan Tinggi
+ Failure in Intercultural Communication : Pragmatic...
+ Mata Uang dalam Tinjauan Arkeologi : Upaya Rekonst...
+ Dinasti Muwahhidun (524-667 H./1130-1269 M.)
+ Kritikus Menurun, Sastrawan Mendaki
o ► Oktober (7)
+ Panggil Aku Kartini Saja
+ PERS BUMIPUTERA MASA PERGERAKAN NASIONAL 1927-1930...
+ Pengaruh Arsitektur Rumah Gadang Terhadap Masjid K...
+ Pemindahan Jambul Dalam Bintang Empat
+ Indrapura dan Brunei Darussalam
+ Islam Minangkabau Dalam Lingkaran Peradaban Dunia ...
+ Perkembangan Ilmu Geografi Dalam Tradisi Intelektu...
o ► September (3)
+ Pola Keberagamaan Pengikut Front Pembela Islam Dal...
+ Naskah Fakih Saghir ‘Alamiyah Tuanku Saming Syekh ...
+ "Mencurigai" Soeharto di Balik Gerakan 30 Septembe...
o ► Agustus (3)
+ Dasar Historis Lahirnya Kerajaan Mughal
+ Tuanku Rao @ Pongki Nangolngolan Sinambela : "Gene...
+ Kaligrafi Islam Kontemporer : Antara ‘Ijtihad’ dan...
o ► Juli (6)
+ The Taliban, Burqa and Fundamentalism
+ Ras, Etnik dan Sejarah
+ Modern Arab and Swahili Poetry : A Brief Compariso...
+ Digitalisasi dan Transliterasi Naskah Islam Mesjid...
+ Tuanku Nan Tuo dan Gerakan Keagamaan Islam Minangk...
+ Syekh Djalaluddin (lahir : 1882) : "Sang Apologeti...
o ► Juni (5)
+ Kontribusi Islam Dalam Sejarah
+ Dinasti Muwahhidun
+ Sains dan Teknologi di Era Dinasti Umaiyyah
+ Teori Sosial dan Epistimologi Keilmuan Islam
+ Teori Motivasi Dalam Pendekatan Sejarah Budaya
o ► Mei (10)
+ Menakar Nasionalisme BO dan SDI
+ Ruqyah sebagai Media Pengobatan Gangguan Jin Menu...
+ Epistimologi Sebuah Pendekatan Islam
+ Perkembangan Arsitektur Masjid di Dunia Islam
+ Khawarij : Fundamentalisme Awal Islam
+ Orisinalitas Al-Qur'an
+ Kitab Sifat Dua Puluh : Telaah Filologis Naskah Mi...
+ Dinasti-Dinasti Kecil Era Dinasti Abbasiyah
+ Surau Bintungan Tinggi : Tokoh, Tradisi dan Naskah...
+ Dinamika Kaligrafi di Sumatera Barat (Sebuah Penga...
o ► April (3)
+ Keadilan Hukum Waris Islam (Bagian Pertama)
+ Akar Kesadaran Nasionalisme Indonesia
+ Muslim Sebagai Penemu Amerika : Perspektif Sumber ...
o ► Maret (3)
+ Refleksi Sejarah Pergulatan Etnisitas di Pemerinta...
+ Snouck Hourgronje : Kolonialisme yang Berlindung D...
+ Islam dan Kebangsaan : Ideologi Politik PERMI
o ► Februari (5)
+ Kaligrafi Kontemporer Indonesia : Fenomena dan Rea...
+ Perkembangan Kaligrafi di Sumatera Barat
o ► Januari (2)

* ▼ 2009 (154)
o ► Desember (8)
o ► November (4)
o ► Oktober (13)
o ► September (1)
o ► Agustus (5)
o ► Juli (3)
o ► Juni (6)
o ► Mei (6)
o ► April (19)
o ► Maret (32)
o ▼ Februari (15)
+ Islam dan Kebudayaan
+ Agama Bangsa Arab Jahiliyah dalam Syiir
+ Hikayat Kalilah wa Dimnah
+ Koleksi dan Konservasi Naskah Pada Museum Daerah S...
+ Al-Nida' dalam Ayat-Ayat Do'a
+ Dampak Wirid Remaja Terhadap Perubahan Nilai-nilai...
+ Analisis Pemikiran Politik Islam dan Implementasin...
+ Lebanon : Kuntum Mawar dari Tuhan
+ Perang Salib dan Implikasinya Terhadap Budaya Timu...
+ Terorisme Islam di Indonesia : Sebuah Konspirasi B...
+ Kedudukan al-Qawa'id al-Fiqhiyyah dalam Penetapan ...
+ Kenalkan : Nama Saya Zainal bin Khaidir, Pekerjaan...
+ Membangun Pemerintahan yang Bersih : Perspektif Sy...
+ Hukum Pemanfaatan dan Jual Beli Jarahan
+ Hukum Etika Berpakaian Menurut Al-Qur'an
o ► Januari (42)

KATEGORI TULISAN

* Al-Qur'an-Hadits (3)
* Antropologi (14)
* Arkeologi (5)
* Bahasa Arab (6)
* Dokumentasi (1)
* Esei (2)
* Filologi (10)
* Filsafat Sejarah (1)
* Fiqh (2)
* Hukum Islam (1)
* Ilmu Informasi (5)
* Ilmu Kalam (2)
* Ilmu Komunikasi (4)
* Ilmu Tasauf (2)
* Kaligrafi (5)
* Lingkungan Hidup (1)
* Linguistik (7)
* Metode Penelitian (2)
* Minangkabau (17)
* Perpustakaan (11)
* Politik (10)
* Sastra Arab (9)
* Sastra Indonesia (6)
* Sejarah (42)
* Sejarah Islam (32)
* Sosio-Linguistik (4)
* Sosiologi (13)
* Tafsir (1)
* Tarbiyah (3)

Irhash's Cluster

* Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM)


* Sumatera Barat di Masa Pendudukan Jepang
* Menakar Nasionalisme BO dan SDI
* Refleksi Sejarah Pergulatan Etnisitas di Pemerintah Daerah Sumatera Barat (3) :
Gubernur Hasan Basri Durin (1987-1997)
* Refleksi Sejarah Pergulatan Etnisitas di Pemerintah Daerah Sumatera Barat (2) :
Gubernur Azwar Anas (1977-1987)

Muhammad Ilham BLOG

* Ketika Bola Begitu Merakyat


* Optimisme 2011 : "Keajaiban itu Hanya Berpihak pada Kaum yang Bertindak.
* "Ayam Gadang" Minangkabau
* Ketika Sejarah Berseragam
* Kisah Rahasia Sang Pemimpin Iran

Lihat Jurusan dan Prodi :

* BSA (S.1)
* SKI (S.1)
* BSI (S.1)
* IIP (S.1)
* PAD (D.3)
* SIK (D.2)

Lihat program lainnya :

* Jurnal Fikr wa Adab


* Jurnal TABUAH
* Perpustakaan
* Labor Bahasa
* Studio Sastra
* Labor Sejarah
* Labor Multimedia
* Sanggar Kaligrafi
* PSIF
* Alumni

Gallery Buku Karya Dosen FIB-Adab


Gallery Buku Karya Dosen FIB-Adab

Irhash A. Shamad

Irhash A. Shamad

Ahmad Busyrowi

Ahmad Busyrowi

Ahmad Busyrowi

H. Bakri Dusar

Firdaus

Firdaus

Firdaus

Firdaus

Herman/Mhd. Ilham

Chairusdi

Rusydi Ramli/Mhd. Ilham

A. Syafwan Nawawi

Muhapril Musri

Gusnar Zen

Saifullah SA/Mhd. Ilham

Herman/Mhd. Ilham

Saifullah SA
Tafiati

Saifullah SA

Yulizal Yunus

Firdaus Dt. Sutan Mamad

Tafiati

Yasmadi

Syafrinal

Yulizal Yunus

Yulizal Yunus

Yulizal Yunus

Yulizal Yunus

Hetti Waluati Triana

Rusydi Ramli

Yulizal Yunus

Gusnar Zen

A. Shafwan Nawawi

Gusnar Zen

Sismarni

Maksum

Yulizal Yunus

Lukmaul Hakim

Syamsir

Yulizal Yunus
Suhefri

Saharman

Syamsir Roust

Yulizal Yunus

Nurhayati Zein

Nurhayati Zein

Syamsir Roust

Desmaniar
Pengikut

Contact
Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Budaya Islam (LPPBI)
Fakultas Ilmu Budaya-Adab, IAIN Imam Bonjol,
Kampus Lubuk Lintah,
Padang, INDONESIA
Phone/Fax : (0751) 30071
e-mail : lppbi.fiba@gmail.com

You might also like