You are on page 1of 63

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia sebagai mahluk yang memiliki akal pikiran, tentunya akan selalu berupaya
menjadikan hidup dan kehidupannya menjadi lebih baik, lebih beradab, dan lebih
sejahtera dari sebelumnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah salah
satu bentuk kekuatan pikir manusia dalam menghadapi alam (lingkungan) di mana ia
berada, manusia bertindak/berbuat bukan sekadar untuk survive (bertahan hidup) tetapi
manusia terlahir sebagai sosok pembaharu bagi lingkungannya. Hal inilah yang
membedakan antara manusia dan mahluk lain di muka bumi ini, betapapun hebatnya
seekor Anjing dalam mengendus jejak kejahatan sebagaimana dilakukan oleh anjing
pelacak, ternyata ia tidak mampu menjadikan hidupnya lebih baik atau dalam kasus yang
lebih sederhana, tidak ada seekor anjing pun yang sadar mau berbagi dan bertukar
makanan dengan kawannya, anjing tetaplah anjing yang tidak memiliki pikiran dan
perasaan sebagaimana yang dimiliki manusia.
Dengan akal pikiran yang dimilikinya, manusia mampu melangsungkan dan
mengembangkan kehidupannya sesuai dengan waktu dan ruang yang ia tempati (hidup di
segala zaman). Dalam hal ini manusia secara kolektif meyakini adanya nilai-nilai,
budaya, doktrin dan kebenaran yang mesti dilestarikan dengan cara ditransfer kepada
generasi berikutya. Pada generasi yang lahir kemudian akan melakukan verifikasi dan
pengembangan ke arah yang lebih sesuai dengan kondisi zaman, tentunya dilakukan oleh
sebuah kelompok atau lembaga yang bernama pendidikan.
Sosok pendidikan sebagaimana juga manusia dapat dikatakan sangat kompleks,
karena terkait dengan berbagai aspek kehidupan dan kepentingan-kepentingan seperti
ideology, politik, sosial, budaya, agama, ekonomi, kemanusiaan, dan lain sebagainya. Di
sinilah terkadang kurikulum menjadi ajang berbagai kepentingan, ada sebagian kalangan
yang menginginkan pendidikan itu berbasis kepada agama, sehingga memunculkan
pendidikan yang berbasis atau bercorak agama tertentu, namun ada juga yang
mengharapkan pendidikan itu bersifat profan (keduniaan). Di lain sisi, pemerintah
2

sebagai manifest organisasi politik juga menginginkan pendidikan atau kurikulum yang
dapat menopang dan mendukung ideology-ideologi politiknya.
Oleh karena itu, karakter pendidikan pada hakikatnya merupakan pencerminan dari
kondisi Negara (karakter-karakter manusia yang ada di dalamnya) yang menggambarkan
ambisi-ambisi para pemimpin dan kekuatan-kekuatan social-politik yang sedang
berkuasa. Dengan sendirinya pendidikan juga merupakan refleksi dari orde penguasa
yang ada. Contohnya, dalam Negara yang bercorak demokratis yang warga negaranya
menghargai sifat-sifat unik dari setiap person, akan Nampak system pendidikannya yang
sangat memperhatikan dan mengembangkan keunikan masing-masing pribadi dan
kebebasannya. Di sisi lain, di Negara totaliter dengan pemerintahan yang menguasai
segala-galanya lewat kekuasaan absolutnya, pemerintah membatasi kebebasan individu
dengan memberikan pendidikan yang uniform bagi semua anak didik. System
pendidikannya Cuma satu, yaitu mencerminkan ide-ide politik untuk mendominir rakyat.
Kartini Kartono (1977:77-82).
Di samping itu, wujud pendidikan dapat dipahami sebagai lembaga atau institusi,
system, administrasi dan birokrasi, perilaku dan proses belajar-mengajar, bangunan
keilmuan, dan lain sebagainya. Ini semua mengindikasikan bahwa pendidikan itu tidak
dapat berdiri sendiri, dan mengandung makna yang bias secara fenomenal.
Pencarian terhadap esensi pendidikan seperti apa, bagaimana dan untuk apa
pendidikan itu sebenarnya diselenggarakan telah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu,
sampai saat ini, para ahli pendidikan memberikan kesimpulan terhadap unsure-unsur
dasar dalam pendidikan yaitu: 1) adanya pemberi, 2) penerima, 3) tujuan baik, 4) cara
yang baik dan 5) konteks yang positif. Dengan adanya lima unsure dasar ini, pendidikan
dapat dirumuskan sebagai aktivitas interaktif antara pemberi dan penerima untuk
mencapai tujuan dengan cara yang baik dalam konteks yang positif (Muhadjir, 2000: 1-8)

B. Rumusan Masalah
Dari rumusan masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
dalam makalah ini sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan filsafat Pendidikan?
2. Bagaimana perkembangan Filsafat Pendidikan?
3

C. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk meningkatkan pengetahuan tentang Filsafat Pendidikan.
2. Untuk mengetahui perkembangan Filsafat Pendidikan.

D. Manfaat
Adapun manfaat dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat meningkatkan pemahaman tentang Filsafat pendidikan.
2. Dapat mengembangkan pemikiran tentang perkembangan Filsafat Pendidikan.
3. Dapat dapat merilai dan menguji kebenaran tentang filsafat dan filsafat pendidikan.
4

BAB II
PENDIDIKAN

A. Pengertian Pendidikan
Pendidikan atau pedagogi itu adalah kegiatan membimbing anak manusia menuju
kepada kedewasaan dan kemandirian (Langeveld, dalam Widodo, 2007:15). Sementara
Kingsley mengemukakan bahwa pendidikan adalah proses yang memungkinkan
kekayaan budaya non fisik dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh anak-anak
atau mengajar orang-orang dewasa (Kingsley, 1965:4)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:232), pendidikan berasal dari kata
“didik’, lalu diberikan awalan kata “me” sehinggan menjadi “mendidik” yang artinya
memelihara dan memberi latihan. dalam memeliahara dan memberi latihan diperlukan
adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pemikiran.
Beberapa definisi pendidikan yang lain, diantaranya adalah sebagai berikut.

1. John Dewey.

Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara


intelektual, emosional ke arah alam dan sesama manusia

2. M.J. Longeveled

Pendidikan adalah usaha , pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada
anak agar tertuju kepada kedewasaannya, atau lebih tepatnya membantu anaka agar
cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.

3. Thompson

Pendidikan adalah pengaruh lingkungan terhadap individu untuk menghasilkan


perubahan-perubahan yang tetap dalam kebiasaan perilaku, pikiran dan sifatnya.

4. Frederick J. Mc Donald

Pendidikan adalah suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk merubah tabiat
(behavior) manusia.

5. H. Horne

Pendidikan adalah proses yang terus-menerus dari penyesuaian yang berkembang


secara fisik dan mental yang sadar dan bebas kepada Tuhan.
5

6. J.J. Russeau

Pendidikan adalah pembekalan yang tidak ada pada pada saat anak-anak, akan tetapi
dibutuhkan pada saat dewasa.

7. Ki Hajar Dewantara

Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani
anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak
yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

8. Ahmad D. Marimba

Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan


jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.

9. Insan Kamil

Pendidikan adalah usaha sadar yang sistematis dalam mengembangkan seluruh potensi
yang ada dalam diri manusia untuk menjadi manusia yang seutuhnya.

10. Ivan Illc

Pendidikan adalah pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan
sepanjang hidup.

11. Edgar Dalle

Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan
pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di
sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar
dapat mempermainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap untuk
masa yang akan datang.

12. Hartoto

Pendidikan adalah usaha sadar, terencana, sistematis, dan terus-menerus dalam upaya
memanusiakan manusia.

13. Ngalim Purwanto

Pendidikan adalah segala urusan orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak
untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan.
6

14. Driakara

Pendidikan adalah memanusiakan manusia muda atau pengangkatan manusia.

15. W.P. Napitulu

Pendidikan adalah kegiatan yang secara sadar, teratur, dan terencana dalam tujuan
mengubah tingkah laku ke arah yang diinginkan. Definisi Pendidikan menurut undang-
undang dan GBHN 16. UU No. 2 tahun 1989 Pendidikan adalah usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan pelatihan bagi
peranannya di masa yang akan datang.

17. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional

Pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan darinya, masyarakat,
bangsa, dan negara.

18. GBHN

Pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di


dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.

Dari beberapa definisi pendidikan di atas, pada dasarnya pengertian pendidikan yang
dikemukakan memiliki kesamaan yaitu usaha sadar, terencana, sistematis, berlangsung
terus-menerus, dan menuju kedewasaan.

B. Tujuan Pendidikan
Pendidikan, seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan
sifatnya sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak sebuah
batasanpun yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap.
Dibawah ini dikemukakan beberapa batasan tentang pendidikan yang bebeda berdasarkan
fungsinya.

1. Pendidikan sebagai Proses Transformasi Budaya

Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan


budaya dari suatu generasi ke generasi lainnya. Nilai-nilai kebudayaan tersebut
mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada 3 bentuk
7

transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran,
rasa tanggungjawab dan lain-lain, yang kurang cocok diperbaiki misalnya tata cara
perkawinan, dan tidak cocok diganti misalnya pendidikan seks yang dahulu ditabukan
diganti dengan pendidikan seks melalui pendidikan formal.
Disini tampak bahwa,proses pewarisan budaya tidak semata-mata mengekalkan
budaya secara estafet. Pendidikan justru mempunyai tugas kenyiapkan peserta didik
untuk hari esok.

2. Sebagai Proses Pembentukan Pribadi

Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai sutu kegiatan yang
sistematis dan sitemik dan terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik.

Proses pembentukan pribadi meliputi dua sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi
mereka yang belum dewasa oleh mereka yang belum dewasa, dan bagi mereka yang
sudah dewasa atas usaha sendiri. Yang terakhir disebut pendidikan diri sendiri.

3. Pendidikan sebagai Proses Penyiapan warga Negara

Pendidikan sebagai penyiapan warga negara diartikan sebagai suatu kegiatan yang
terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik.

4. Pendidikan sebagai Penyiapan Tenaga Kerja

Pendidkan sebagai penyiapan tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing


peserta didik sehingga memilki bekal dasar untuk bekerja. Pembekalan dasar berupa
pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja pada calon luaran.

5. Definisi Pendidikan Menurut GBHN


GBHN 1988 (BP 7 Pusat, 1990:105) memberikan batasan tentang pendidikan
nasional sebagai berikut: Pensisikan Nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa
Indonesia Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan
kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat
Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
8

6. Macam-macam tujuan pendidikan.

Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas,
benar, dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan pendidikan memiliki dua fungsi
yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang
ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.
Di dalam praktek pendidikan khususnya pada sistem persekolahan, di dalam
rentangan antara tujuan umum dan tujuan yang sangat khusus terdapat sejumlah tujuan
antara. Tujuan antara berfungsi untuk menjembatani pencapaian tujuan umum dari
sejumlah tujuan rincian khusus. Umumnya ada 4 jenjang tujuan di dalamnya terdapat
tujuan antara , yaitu tujuan umum, tujuan instruksional, tujuan kurikuler, dan tujuan
instruksional.

 Tujuan umum pendidikan nasional Indonesia adalah Pancasila.

 Tujuan institusional yaitu tujuan yang menjadi tugas dari lembaga pendidikan
tertentu untuk mencapainya.

 Tujuan kurikuler, yaitu tujuan bidang studi atau tujuan mata pelajaran.

 Tujuan instruksional , tujuan pokok bahasan dan sub pokok bahasan disebut
tujuan instruksional, yaitu penguasaan materi pokok bahasan/sub pokok bahasan.

C. Fungsi Pendidikan
Secara umum fungsi lingkungan pendidikan adalah membantu peserta didik
dalam interaksi dengan berbagai lingkungan sekitarnya, utamanaya berbagai sumber daya
pendidikan yang tersedia, agar dapat mencapai tujuan pendidikan yang optimal.
Dilihat dari segi anak didik, tampak bahwa anak didik secara tetap hidup di dalam
lingkungan masyarakat tertentu tempat ia mengalami pendidikan. Menurut Ki Hajar
Dewantara lingkungan tersebut meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah an
lingkungan masyarakat, yang disebut tripusat pendidikan.

1.     Keluarga
9

Keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal, yang


pertama dan utama dialamai oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat
kodrati orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi, dan
mendidik anak agar tumbuh adn berkembang dengan baik.

Pendidikan keluarga berfungsi:


Sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak
Menjamin kehidupan emosional anak
Menanamkan dasar pendidikan moral
Memberikan dasar pendidikan sosial.
Meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi anak-anak.

2.     Sekolah
Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam
keluarga, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam
keterampilan. Oleh karena itu dikirimkan anak ke sekolah.

Sekolah bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak selama mereka


diserahkan kepadanya. Karena itu sebagai sumbangan sekolah sebagai
lembaga terhadap pendidikan, diantaranya sebagai berikut;

 Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang baik


serta menanamkan budi pekerti yang baik.
 Sekolah memberikan pendidikan untuk kehidupan di dalam masyarakat
yang sukar atau tidak dapat diberikan di rumah.
 Sekolah melaqtih anak-anak memperoleh kecakapan-kecakapan seperti
membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain sifatnya
mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan.
 Di sekolah diberikan pelajaran etika, keagamaan, estetika, membenarkan
benar atau salah, dan sebagainya.

3.     Masyarakat
10

Dalam konteks pendidikan, masyarakat merupakan lingkungan lingkungan


keluarga dan sekolah. Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini, telah mulai
ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan
berada di luar dari pendidikan sekolah. Dengan demikian, berarti pengaruh
pendidikan tersebut tampaknya lebih luas.
Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat
banyak sekali, ini meliputi segala bidang, baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan,
pembentukan pengertia-pengertian (pengetahuan), sikap dan minat, maupun
pembentukan kesusilaan dan keagamaan.

D. Pendidikan Sebagai Suatu Sistem


1. Pengertian Sistem
a. Sistem adalah suatu kebulatan keseluruhan yang kompleks atau
terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang
membentuk suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks atau utuh.
b. Sistem meruapakan himpunan komponen yang saling berkaitan
yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.
c. Sistem  merupakan sehimpunan komponen atau subsistem yang
terorganisasikan dan berkaitan sesuai rencana untuk mencapai suatu tujuan
tertentu.
d. (Tatang Amirin, 1992:11)
 
2. Komponen dan Saling Hubungan antara Komponen dalam Sistem Pendidikan.
Pendidikan sebagai sebuah sistem terdiri dari sejumlah komponen. Komponen
tersebut antara lain: raw input (sistem baru), output(tamatan), instrumentalinput(guru,
kurikulum), environmental input(budaya, kependudukan, politik dan keamanan).
 
3. Hubungan Sistem Pendidikan dengan Sitem Lain dan Perubahan Kedudukan
dari Sistem
Sistem pendidikan dapat dilihat dalam ruang lingkup makro. Sebagai subsistem,
bidang ekonomi, pendidikan,dan politik masing-masing-masing sebagai sistem.
11

Pendidikan formal, nonformal, dan informal merupakan subsistem dari  bidang


pendidikan sebagai sistem dan seterusnya.

 
4. Pemecahan masalah pendidikan secara sistematik.

a. Cara memandang sistem


Perubahan cara memandang suatu status dari komponen menjadi sitem
ataupunsebaliknya suatu sitem menjadi komponen dari sitem yang lebih besar, tidak
lain daripada perubahan cara memandang ruang lingkup suatu sitem atau dengan
kata lain ruang lingkup suatu permasalahan.

b. Masalah berjenjang
Semua masalah tersebut satu sama lain saling berkaitan dalam hubungan sebab
akibat, alternatif maslah, dan latar belakang masalah.

c. Analisis sitem pendidikan


Penggunaan analisis sistem dalam pendidikan dimaksudkan untuk memaksimalkan
pencapaian tujuan pendidikan dengan cara yang efesien dan efektif. Prinsip utama
dari penggunaan analisis sistem ialah: bahwa kita dipersyaratkan untuk berpikir
secra sistmatik, artinya harus memperhitungkan segenap komponen yang terlibat
dalam maslah pendidikan yang akan dipecahkan.

d. Saling  hubungan antarkomponen


Komponen-komponen yang baik menunjang terbentuknya suatu sistem yang baik.
Tetapi komponen yang baik saja belum menjamin tercapainya tujuan sistem secara
optimal, manakala komponen tersebut tidak berhibungan secra fungsional dengan
komponen lain.

e. Hubungan sitem dengan suprasistem


Dalam ruang lingkup besar terlihat pula sistem yang satu saling berhubungan
dengan sistem yang lain. Hal ini wajar, oleh karena pada dasarnya setiap sistem itu
12

hanya merupakan satu aspek dari kehidupan. Sdangkan segenap segi kehidupan itu
kita butuhkan, sehingga semuanya memerlukan pembinaandan pengembangan.
 

5. Keterkaitan antara pengajaran dan pendidikan


Kesimpulan yang dapat ditarik dari persoalan pengajaran dan pendidikan adalah:
a. pengajaran dan pendidikan dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Masing-masing saling mengisi
b. Pembedaan dilakukan hanya untuk kepentingan analisis agar masing-masing
dapat dipahami lebih baik.
c. Pendidikan modern lebih cenderung mengutamakan pendidikan, sebab
pendidikan membentuk wadah, sedangkan pengajaran mengusahakan isinya.
Wadah harus menetap meskipun isi bervariasi dan berubah.
 
6. Pendidikan prajabatan (preservice education) dan pendidikan dalam jabatan
(inservice education) sebagai sebuah sistem.
Pendidikan prajabatan berfungsi memberikan bekal secara formal kepada calon
pekerja dalam bidang tertentu dalam periode waktu tertentu. Sedangkan pendidikan
dalam jabatan bermaksud memberikan bekal tambahan kepada oramg-orang yang telah
bekerja berupa penataran, kursus-kursus, dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan
prajabatan hanya memberikan bekal dasar, sedangkan bekal praktis yang siap pakai
diberikan oleh pendidikan dalam jabatan.
 
7. Pendidikan formal, non-formal, dan informal sebagai sebuah sistem.
Pendidikan formal yang sering disebut pendidikan persekolahan, berupa rangkaian
jenjang pedidikan yang telah baku, misalnya SD,SMP,SMA, dan PT. Pendidikan
nonformal lebih difokuskan pada pemberian keahlian atau skill guna terjun ke
masyarakat. Pendidikan informal adalah suatu fase pendidikan yang berada di samping
pendidikan formal dan nonformal.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal, nonformal, dan informal ketiganya
hanya dapat dibedakan tetapi sulit dipisah-pisahkan karena keberhasilan pendidikan
13

dalam arti terwujudnya keluaran pendidikan yang berupa sumberdaya manusia sangat
bergantung kepada sejauh mana ketiga sub-sistem tersebut berperanan.
14

BAB II
FILSAFAT PENDIDIKAN

A. Filsafat Pendidikan
Bila dirujuk dari akar kata pembentuknya, filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu
Philo yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Dengan
demikian, filsafat dapat diartikan sebagai “cinta kepada kebijaksanaan”. Berfilsafat
dengan demikian juga bertujuan hanya untuk mencari, mempertahankan dan
melaksanakan kebenaran/kebijaksanaan atau ditujukan untuk kebenaran itu sendiri,
berfilsafat tidak bertujuan untuk ketenaran, pujian, kekayaan, atau yang lainnya. Inilah
yang kemudian dikenal dengan tradisi pemikiran filosofis Yunani yaitu suatu pemahaman
atas “kebenaran-kebenaran pertama” (first truth), seperti baik, adil dan kebenaran itu
sendiri, serta penerapan dari kebenaran-kebenaran pertama ini dalam problema-problema
kehidupan. Namun dalam perkembangannya, pengertian ini banyak ditolak oleh filosof-
filosof yang lainnya dengan lebih meyakini filsafat sebagai pemikiran “teoretik” secara
keseluruhan daripada sekadar perhatian kepada petunjuk moral atau tingkah laku.
Untuk lebih membenantu memahami filsafat, tentunya dapat dilihat dari tugas
filsafat yang paling mendasar yaitu untuk menemukan konsep-konsep yang biasa kita
gunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam ilmu pengetahuan, lalu menganalisisnya
dan menentukan makna-makna yang tepat dan saling berhubungan. Artinya, pengetahuan
yang jelas dan akurat tentang sesuatu didahulukan atas hal-hal yang secara umum masih
kabur. Ketiadaan pengetahuan yang jelas tentang arti dan hubungan-hubungan dari
konsep-konsep yang kita gunakan, akan menjerumuskan kita kepada kekeliruan yang
fatal dalam menghadapi persoalan-persoalan (masalah) tertentu. Selain itu, filsafat juga
bertugas untuk membongkar secara kritis segala bentuk keyakinan-keyakinan yang kita
miliki secara radikal, universal, konseptual, sistematik, bebas dan bertanggung jawab.
Beberapa definisi filsafat yang dikemukakan oleh para filsuf berikut ini, mungkin
akan lebih membantu untuk menafsirkan dan menjelaskan mengapa filsafat pendidikan
dipelajari:
1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam
yang biasanya diterima secara tidak kritis. Definisi ini merupakan arti yang
15

informal tentang filsafat. Filsafat dianggap sebagai sikap atau kepercayaan yang
ia miliki.
2) Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap
yang sangat kita junjung tinggi. Pengertian filsafat ini merefleksikan bentuk atau
tugas dari filsafat kritik, khususnya dalam mengkritisi keyakinan-keyakinan
dalam kehidupan kita sehari-hari.
3) Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Inilah yang
menjadi tugas dari filsafat spekulatif dalam usahanya mentransendensikan
pengalaman-pengalaman dan ilmu pengetahuan dalam visi atau gambaran yang
komprehensif.
4) Filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata
dan konsep. Pengertian ini termasuk dalam kategori kerja filsafat kritik
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa filsafat mempunyai tugas
menganalisis konsep-konsep seperti substansi, gerak, waktu, dan sebagainya.
5) Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung yang mendapat
perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
Pengertian ini pada prinsipnya berada dalam pemikiran para filsuf dalam rangka
menjawab berbagai problematika kehidupan dan tentunya terus berlangsung tanpa
mengenal titik lelah (Widodo, 2007: 9)

Cabang-Cabang Filsafat
1) Ontologi
Ontologi atau sering juga disebut metafisika (meta = melampaui, fisik = dunia
nyata/fisik) adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat segala sesuatu
yang ada, atau membahas watak yang sangat mendasar (ultimate) dari benda atau realitas
yang berada di belakang pengalaman yang langsung (immediate experience).
Ontology berbicara tentang segala hal yang ada, pertanyaan-pertanyaan yang akan
dibongkarnya tidak terbatas, misalnya apakah hakikat ruang, waktu, gerak, materi, dan
perubahan itu? Apakah yang merupakan asal mula jagad raya ini? Dan lain sebagainya.
Kaitannya dengan pendidikan, ontologi ilmu pendidikan membahas tentang hakikat
substansi dan pola organisasi Ilmu pendidikan
16

2) Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-
metode, dan sahnya pengetahuan. Pertanyaan yang mendasar adalah: Apakah mengetahui
itu? Apakah yang merupakan asal mula pengetahuan kita? Bagaimana cara kita
mengetahui bila kita mempunyai pengetahuan? Bagaimanakah cara kita memperoleh
pengetahuan? Dan lain sebagainya. Dengan demikian, epistemologi membahas tentang
hakikat objek formal dan material ilmu pendidikan
3) Aksiologi
Aksiologi berbicara tentang nilai dan kegunaan dari segala sesuatu terkait dengan
kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu pengetahuan yang diperoleh. Aksiologi
ilmu pendidikan, membahas tentang hakikat nilai kegunaan teoretis dan praktis ilmu
pendidikan
4) Logika
Logika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang aturan-aturan
berpikir agar dengan aturan-aturan tersebut dapat diambil kesimpulan yang benar.
Dengan kata lain logika adalah pengkajian yang sistematis tentang aturan-aturan untuk
menguatkan premis-premis atau sebab-sebab mengenai konklusi aturan-aturan itu,
sehingga dapat kita pakai untuk membedakan argument yang baik dan yang tidak baik.
Logika dibagi dalam dua cabang utama, yaitu logika deduktif dan logika induktif.
Logika deduktif berusaha menemukan aturan-aturan yang dapat dipergunakan untuk
menarik kesimpulan-kesimpulan yang bersifat keharusan dari satu premis tertentu atau
lebih, sedangkan logika induktif mencoba menarik kesimpulan tidak dari susunan
proposisi-proposisi melainkan dari sifat-sifat seperangkat bahan yang diamati. Logika ini
mencoba untuk bergerak dari suatu perangkat fakta yang diamati secara khusus menuju
kepada pernyataan yang bersifat umum mengenai semua fakta yang bercorak demikian,
atau bergerak dari suatu perangkat akibat tertentu menuju kepada sebab atau sebab-sebab
dari akibat-akibat tersebut
17

Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi


Tahapan
Ontologi  Obyek apa yang telah ditelaah ilmu pendidikan?
(hakikat ilmu  Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
pendidikan)  Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya
tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera)
yang membuahkan pengetahuan?
 Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya
pengetahuan yang berupa ilmu pendidikan?
 Bagaimana prosedurnya?
Epistemologi  Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya
(Cara pengetahuan yang berupa ilmu pendidikan?
Mendapatkan  Bagaimana prosedurnya?
Pengetahuan)  Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan dengan benar?
 Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri?
 Apa kriterianya?
 Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu pendidikan?
Aksiologi  Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?
(Guna  Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
Pengetahuan) kaidah-kaidah moral?
 Bagaimana penetuan obyek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral?
 Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-
norma moral/profesional?
diadopsi dari Suryasumantri, 1993

Dari uraian di atas, Widodo (2007:9. Lihat juga Mudyahardjo, 2004:5) kemudian
mendefiniskan filsafat pendidikan sebagai suatu pendekatan dalam memahami dan
memecahkan persoalan-persoalan yang mendasar dalam pendidikan, seperti dalam
menentukan tujuan pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran, manusia, masyarakat,
dan kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan dari dunia pendidikan itu sendiri.
Pendidikan tidak dapat terlepas dari aliran filsafat yang melandasinya, sebagaimana
dilakukan oleh Amerika Serikat yang meletakkan filsafat pendidikan atas dasar
pengkajian beberapa aliran filsafat tertentu, seperti pragmatisme, realisme, idealisme, dan
eksistensialisme, lalu dikaji bagaimana konsekuensi dan implikasinya dalam dunia
18

pendidikan. Begitu juga dengan pendidikan Indonesia yang tidak bisa terlepas dari
filsafat Pancasila yang notabenenya merupakan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Mudyahardjo (2004:5) membedakan pendidikan dalam dua macam, yaitu (1)
praktek pendidikan dan (2) ilmu pendidikan sebagai salah satu bentuk teori pendidikan.
Yang selanjutnya, juga membedakan filsafat pendidikan ke dalam dua macam, yaitu (1)
filsafat praktek pendidikan, dan (2) filsafat ilmu pendidikan. Filsafat praktek pendidikan
adalah analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya pendidikan
diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Filsafat praktek pendidikan
dapat dibedakan menjadi: (1) filsafat proses pendidikan (biasanya disebut filsafat
pendidikan) dan (2) filsafat sosial pendidikan. Filsafat proses pendidikan adalah analisis
kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya kegiatan pendidikan dilaksanakan
dalam kehidupan manusia. Filsafat proses pendidikan biasanya membahas tiga masalah
pokok, yaitu (1) apakah sebenarnya pendidikan itu; (2) apakah tujuan pendidikan itu
sebenarnya; dan (3) dengan cara bagaimana tujuan pendidikan dapat dicapai. (Henderson,
1959, sebagaimana dikutip Mudyahardjo, 2004:5).
Sementara filsafat sosial pendidikan membahas hubungan antara penataan
masyarakat manusia dengan pendidikan. Atau dapat pula dikatakan bahwa filsafat sosial
pendidikan merupakan analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya
pendidikan diselenggarakan dalam mewujudkan tatanan masyarakat manusia idaman.
19

Bagan 01
Status Filsafat Ilmu Pendidikan Sebagai Filsafat

Ontologi

Kosmologi
Metafisika

Humanologi

Teologi
Filsafat Umum Epistemologi
Induksi
Logika
Deduksi

Aksiologi Etika

Estetika
Filsafat Proses Pendidikan

FILSAFAT Filsafat Praktek Pendidikan

Filsafat Sosial Pendidikan

Ontologi Ilmu Pendidikan


Filsafat Pendidikan

Filsafat Hukum Epistemologi Ilmu Pendidikan


Filsafat Khusus

Filsafat Sejarah Filsafat Ilmu Pendidikan

Metodologi Ilmu Pendidikan


Dan lain-lainnya

Aksiologi Ilmu Pendidikan


Sumber: Mudyahardjo (2004:7)
20

B. Epistemologi Ilmu Pendidikan


1) Objek Formal Ilmu Pendidikan
Objek formal ilmu pendidikan berkenaan dengan bidang yang menjadi
keseluruhan ruang lingkup garapan ilmu pendidikan. Sedangkan objek material
ilmu pendidikan berkenaan dengan aspek-aspek yang menjadi garapan
penelidikan langsung ilmu pendidikan.
Objek formal ilmu pendidikan menurut Mudyahardjo (2004:45) adalah
pendidikan, yang dapat diartikan secara maha luas, sempit dan luas terbatas.
Pendidikan dalam artian yang maha luas adalah segala situasi dalam hidup yang
mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Pendidikan adalah pengalaman belajar,
yang oleh karenanya pendidikan dapat pula didefinisikan sebagai keseluruhan
pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya.
Sedangkan dalam pengertian pendidikan dalam arti sempit adalah sekolah atau
persekolahan (schooling). Sekolah adalah lembaga pendidikan formal sebagai
salah satu hasil rekaya dari peradaban manusia, di samping keluarga, dunia kerja,
negara dan lembaga keagamaan. Oleh karena itu, pendidikan dalam arti sempit
adalah pengaruh yang diupayakan dan direkayasa sekolah terhadap anak dan
remaja yang diserahkan kepadanya agar mereka mempunyai kemampuan yang
sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas
sosial mereka.
Definisi maha luas tentang pendidikan, antara lain mengandung kelemahan tidak
dapat menggambarkan dengan tegas batas-batas pengaruh pendidikan dan bukan
pendidikan terhadap pertumbuhan individu. Sedangkan kekuatannya, antara lain
terletak pada menempatkan kegiatan atau pengalaman belajar sebagai inti dalam
proses pendidikan yang berlangsung di mana pun dalam lingkungan hidup, baik di
sekolah maupun di luar sekolah. Definisi pendidikan dalam arti sempit juga
memiliki kelemahan di antaranya terletak pada sangat kuatnya campur tangan
pendidikan dalam proses pendidikan sehingga proses pendidikan lebih merupakan
kegiatan mengajar daripada kegiatan belajar yang mengandung makna pendidik
mempunyai otoritas sangat kuat, dan pendidikan terasing dari kehidupan sehingga
lulusannya ditolak oleh masyarakat. Adapun kekuatannya, antara lain terletak
21

pada bentuk kegiatan pendidikannya yang dilaksanakan secara terprogram dan


sistematis.

Tabel 01: Perbandingan Konsep Pendidikan dalam arti Maha Luas, Sempit, dan Luas
Terbatas

Tertium
Maha Luas Sempit Luas Terbatas
Komparison
Definisi Pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah Pendidikan adalah usaha
Pendidikan adalah segala persekolahan. Pendidikan sadar yang dilakukan oleh
pengalaman belajar yang adalah pengajaran yang keluarga, masyarakat, dan
berlangsung dalam segala diselenggarakan oleh pemerintah, melalui
lingkungan hidup dan sekolah sebagai lembaga kegiatan bimbingan,
sepanjang hidup. pendidikan formal. pengajaran dan/atau
Pendidikan adalah segala Pendidikan adalah segala latihan, yang berlangsung
situasi hidup yang pengaruh yang diupayakan di sekolah dan di luar
mempengaruhi sekolah terhadap anak atau sekolah untuk
pertumbuhan seseorang remaja yang diserahkan mempersiapkan peserta
kepadanya, agar didik agar dapat
mempunyai kemampuan memainkan peranan secara
yang sempurna dan tepat dalam berbagai
kesadaran penuh lingkungan hidup.
hubungan-hubungan dan
tugas-tugas sosial.
Tujuan Tujuan pendidikan Tujuan pendidikan Tujuan pendidikan
terkandung dalam setiap ditentukan oleh pihak luar. merupakan perpaduan
pengalaman belajar, tidak Tujuan pendidikan terbatas antara perkembangan
ditentukan dari luar. pada pengembangan pribadi secara optimal dan
Tujuan pendidikan adalah kemampuan tertentu. tujuan sosial dapat
pertumbuhan. Tujuan Tujuan pendidikan adalah memainkan peranan sosial
pendidikan tidaklah mempersiapkan peserta secara tepat. Tujuan
terbatas. Tujuan didik untuk dapat hidup di pendidikan mencakup
pendidikan sama dengan masyarakat. tujuan-tujuan setiap bentuk
tujuan hidup kegiatan pendidikan
(bimbingan/pengajaran/
latihan) dan satuan-satuan
pendidikan (sekolah/luar
sekolah).
Tempat Pendidikan berlangsung Pendidikan berlangsung Pendidikan berlangsung
Pendidikan dalam segala bentuk dalam lembaga pendidikan dalam sebagian lingkungan
lingkungan hidup, baik formal atau sekolah dalam hidup. pendidikan tidak
khusus diciptakan untuk segala bentuk berlangsung dalam
kepentingan pendidikan lingkungan hidup yang
maupun lingkungan yang terselenggarakan dengan
ada dengan sendirinya. sendirinya. Pendidikan
berlangsung di sekolah dan
satuan pendidikan luar
sekolah.
Bentuk kegiatan Pendidikan terentang dari Isi pendidikan tersusun Kegiatan pendidikan dapat
pendidikan kegiatan yang mistis atau secara terprogram dalam berbentuk pendidikan
tidak sengaja sampai bentuk kurikulum. formal, non formal dan
dengan kegiatan Kegiatan pendidikan lebih informal. Kegiatan
22

pendidikan yang berorientasi pada pendidik pendidikan dapat


terprogram. Pendidikan (guru). Sehingga guru berbentuk bimbingan,
berbentuk segala macam mempunyai peranan yang pengajaran dan/atau
pengalaman belajar dalam sentral dan menentukan. latihan. Kegiatan
hidup. Pendidikan Kegiatan pendidikan pendidikan selalu
berlangsung dalam terjadwal dalam tenggang merupakan usaha sadar
beraneka ragam bentuk, waktu tertentu. yang tercakup di dalamnya
pola, dan lembaga. pengelolaan pendidikan
Pendidikan dapat terjadi di secara nasional dan
mana pun dalam hidup. pengelolaan dalam satuan-
Pendidikan lebih satuan pendidikan di
berorientasi pada peserta sekolah. Kegiatan
didik pendidikan berorientasi
pada komunikasi
pendidikan peserta didik
Masa Pendidikan berlangsung Pendidikan berlangsung Pendidikan berlangsung
Pendidikan seumur hidup dalam setiap dalam waktu terbatas, seumur hidup, yang
saat selama ada pengaruh yaitu pada masa anak-anak kegiatan-kegiatannya tidak
lingkungan terhadap dan remaja. Kegiatan berlangsung sembarang,
pertumbuhan seseorang. pendidikan terbatas pada tetapi terbatas pada adanya
Pendidikan berlangsung kegiatan bersekolah. usaha sadar.
sejak lahir hingga
meninggal dunia, dan
berlangsung sembarang.
Pendukung Kaum humanis, kaum Kaum behavioris, mereka Kaum realisme kritis,
humanis radikal cenderung cenderung pada mereka mengupayakan
tidak percaya pada pelaksanaan pendidikan perpaduan yang harmonis
pendidikan di sekolah. secara terprogram antara pendidikan sekolah
Kaum moderat cenderung dan pendidikan luar
memperbaiki pendidikan sekolah
sekolah
Sumber: Mudyahardjo (2004:62-63)

2) Objek Material Ilmu Pendidikan


Sebagaimana telah diungkap di atas, bahwa objek material ilmu pendidikan
adalah salah satu aspek pendidikan. Apabila dilihat dari segi ini, maka ilmu
pendidikan dibagi menjadi dua, yaitu 1) ilmu pendidikan makro, yaitu yang
menyelidiki keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan
yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan
nasional, dan 2) ilmu pendidikan mikro, atau ilmu pendidikan yang menyelidiki
satuan pendidikan atau kegiatan pendidikan secara keseluruhan atau hanya satu
satuan atau satu bentuk kegiatan pendidikan.
Bagan berikut, diharapkan dapat membantu kita untuk lebih memahami bagian
atau cabang-cabang dari ilmu pendidikan (objek material ilmu pendidikan).
23

Bagan 02
Klasifikasi Cabang-cabang Ilmu Pendidikan
Ilmu Pendidikan Administratif

Ilmu Pendidikan Komparatif

Ilmu Pendidikan Makro


Ilmu Pendidikan Historis

Ilmu Pendidikan Kependudukan

Pedagogik Teoretis
ILMU PENDIDIKAN

Ilmu Pendidikan Psikologis

Ilmu Mendidik Umum Ilmu Pendidikan Sosiologis

Ilmu Pendidikan Antropologis

Ilmu Pendidikan Ekonomik


Ilmu Pendidikan Mikro

Ilmu Persekolah

Ilmu Mendidik Khusus Ilmu Pendidikan Luar Sekolah

Ilmu Pendidikan Luar Biasa (Orthopedagogik

Mudyahardjo (2004: 87)

C. Aksiologi Ilmu Pendidikan


1) Aksiologi Ilmu Pendidikan (Nilai Kegunaan Teoretis)
24

Meskipun status ilmiahnya masih belum sejajar dengan ilmu-ilmu yang sudah
mapan, ilmu pendidikan dapat memberikan sumbangan teoretis terhadap
perkembangan ilmu-ilmu sosial (Social Sciences) atau ilmu-ilmu tingkah laku
(Behavioral Sciences). Sumbangan tersebut, antara lain berupa memperluas
konsep-konsep ilmiah yang berkenaan dengan kehidupan sosial atau pada tingkah
laku manusia. Ilmu pendidikan menghasilkan konsep-konsep ilmiah tentang pola
tingkah laku dalam proses belajar mengajar yang berlangsung di lingkungan
hidup manusia. Konsep tersebut menambah rekanan konsep-konsep aspek sosial-
budaya dalam kehidupan manusia.
2) Aksiologi Ilmu Pendidikan (Nilai Kegunaan Praktis)
Konsep-konsep yang dihasilkan oleh ilmu pendidikan dapat memberi pedoman
dasar kerja pendidikan/pengelola pendidikan dalam melaksanakan tugasnya.
Konsep-konsep yang dikembangkan ilmu pendidikan, berkenaan dengan
bagaimana proses pengelolaan dan pelaksanaan praktek pendidikan terselenggara.
Dengan demikian konsep-konsep tersebut merupakan prinsip-prinsip tentang
praktek-praktek pengelolaan dan kegiatan pendidikan (mendidik).
Hasil penelitian Arora Kamla sebagaimana dikutip Mudyahardjo (2004:196)
menyatakan bahwa karakteristik profesional yang sangat mempengaruhi
efektivitas guru mengajar adalah berkenaan dengan kemampuan-kemampuan: 1)
menerangkan dengan jelas topik-topik yang menjadi bahan ajaran, 2) menyajikan
dengan jelas tentang mata pelajaran, 3) mengorganisasikan secara sistematis
tentang mata pelajaran, 4) berekspresi, 5) membangkitkan minat dan dorongan
siswa untuk belajar, dan 6) menyusun rencana dan persiapan mengajar.
Penguasaan keenam kemampuan tersebut merupakan awal dan sangat
mempengaruhi efektivitas guru mengajar.
D. Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan
Persoalan bagaimana pendidikan akan diselenggarakan secara ideal/semestinya,
sangat tergantung dari cara pandang masyarakat terhadap nilai-nilai moral dan politik
yang kemudian melahirkan ideologi pendidikannya. Untuk itu perlu dipahami apa yang
melandasi praktek-praktek pendidikan dewasa ini, sehingga kita tidak terjebak ke dalam
25

penafsiran yang keliru mengenai pendidikan sebagai sebuah sistem dan sebagai manifes
dari kehidupan manusia itu sendiri.
Rasionalisme menganggap bahwa kecerdasan yang terlatih adalah penyedia cara
terbaik untuk hidup, pemikiran ini cenderung kearah pemerintahan yang terbuka dan
liberal, serta ke arah corak yang serupa dengan (dan mendukung) system-sistem
pemerintahan yang liberal. Sebaliknya, non-rasional menganggap bahwa kebanyakan
kebenaran yang punya arti penting hanya bisa diakses melalui cara-cara non-rasional;
misalnya lewat wahyu, iman, atau intuisi mistis, atau menganggap bahwa penalaran aktif,
kurang dapat dipercaya ketimbang pola-pola keyakinan dan perilaku social yang
konvensional. Orientasi-orientasi semacam itu hampir pasti memilih pula ‘pendidikan
yang keras’
Konservatisme pendidikan menganggap bahwa nalar adalah baik, namun nalar
mesti tetap menjadi subordinat atau bawahan dari pola-pola keyakinan dan perilaku
social yang lebih dulu dinalar (atau yang memiliki potensi kenalaran), yang muncul dari
penyesuaian-penyesuaian budaya terhadap keadaan-keadaan yang muncul sepanjang
sejarah sebuah masyarakat yang sebelumnya tidak dinalat (namun yang diprakirakan
berkualitas nalar).
Liberalisme, Liberasionisme dan Anarkisme (ketiga-tiganya) menganggap bahwa
kebaikan tertinggi adalah untuk hidup sedemikian rupa hingga memungkinkan
pengungkapan sepenuh-penuhnya dari kecerdasan terlatih, yakni pemikiran kritis yang
dipandang sebagai penerapan praktis dari proses-proses penyelesaian masalah personal
maupun social secara ilmiah. Ketiganya berbeda dalam hal bagaimana mereka
memandang kondisi-kondisi yang diperlukan bagi terjadinya pemikiran kritis semacam
itu.
Liberalisme menekankan pemikiran kritis individu sebagai asal-usul dan landasan
bagi semua perubahan social yang tercerahkan. Seorang liberalis meragukan ideology-
ideologi social yang tidak lahir dari temuan penyelidikan yang berdasarkan objektivitas
ilmiah. Dalam hal ini, ia memprioritaskan yang personal (individu) di atas yang social
(termasuk yang politis). Sementara itu, seorang liberasionis merasa bahwa pemikiran
kritis individual itu mustahil berlangsung dalam ketiadaan sebuah system politik yang
mendorong dan memelihara kondisi-kondisi social dan intelektual yang merupakan
26

prasyarat bagi kecerdasan umum yang sepenuhnya berkembang. Sebaliknya juga,


seorang anarkis merasa bahwa, bias dikatakan semua system politik dan pendidikan pasti
merupakan kekuatan yang mengasingkan dan menindas, dan berada di antara
kecenderungan alamiah individu ke arah perwujudan diri, dengan kecenderungan yang
juga sama alamiahnya untuk menjadi terlibat secara budaya (namun tidak secara social)
dalam semua corak pemikiran kritis yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan kehidupan
social yang dihidupkan oleh kecerdasan dan kerjasama.
Satu dari sekian problem yang berat dalam berbicara mengenai keterkaitan yang
ada antara pendidikan dengan sudut pandang filosofis yang melandasinya adalah
persoalan melacak pola yang relative jelas dan langsung mencerminkan hubungan antara
berbagai perbedaan fundamental di wailayah etika serta filosofi politik di satu sisi dan
berbagai perbedaan ideology pendidikan di sisi yang lain.
Secara umum, O’neill (2002:125-126) menguraikan adanya tiga pola keterkaitan
yang berlangsung antara posisi-posisi dasar dalam etika social serta teori pendidikan.
1. Keteraitan logis, yang terjadi di mana ada hubungan yang relative jelas dan
perlu, yang tersimpul di antara posisi-posisi moral dan politis; atau keterkaitan
yang jelas antara posisi-posisi itu (yang secara umum dipandang dalam
perpaduan, sebagai etika social) dengan ideology pendidikan. Ada umpamanya,
sebuah hubungan logis yang cukup jelas antara rasionalisme filosofis atau
teologis di ranah moral dengan sebuah komitmen politis dalam salah satu
bentuk meritokrasi, seperti juga ada hubungan yang cukup terbuka antara
meritokrasi politis dengan pemakaian sekolah-sekolah untuk mengembangkan
sebuah elit intelektual atau elit moral.
2. Keterkaitan psikologis yang terjadi di mana, seperti telah diungkapkan tadi,
mungkin tidak ada kepastian hubungan logis antara sebuah filosofi sosial
tertentu dengan pendirian tertentu di bidang pendidikan; namun ada hubungan
timbal-balik yang cukup jelas terlihat antara keduanya, yang muncul dengan
lebih dihubungkan dengan dinamika kejiwaan (psikodinamika) yang mengatur
pilihan atas keduanya (atau mungkin ditentukan oleh sesuatu yang lain sama
sekali, namun tetap bersifat penentu dari luar), ketimbang adanya hubungan
alamiah apa pun yang inheren antara keduanya.
27

3. Keterkaitan sosial adalah asosiasi yang nampak jelas yang ada di antara posisi
moral dan filosofis di dalam budaya tertentu di suatu saat tertentu dalam
sejarah. Posisi-posisi konservatif tertentu (seperti fundamentalisme secular dan
jenis-jenis konservatisme secular) khususnya merumuskan diri sendiri dalam
peristilahan ‘tradisi-tradisi budaya’ atau ‘pola-pola keyakinan dan perilaku yang
lestari’. Keduanya terkenal sulit dirumuskan dengan ketepatan dan ketegasan,
dan keduanya jelas sekali sangat dikondisikan oleh wajah budaya tertentu di
suatu saat tertentu. Sudut pandang semacam itu hanya bias didiskusikan secara
cerdas di dalam kerangka kerja batasan-batasan budaya dan sejarah yang
dirumuskan lebih dulu dengan tegas. Jadi, program tertentu yang diajukan oleh
banyak konservatifis social, dalam kaitannya dengan politik pendidikan,
cenderung untuk jauh berbeda dalam budaya yang berbeda dan dalam era yang
berbeda meski budaya pokoknya sama. Misalnya, seorang Amerika yang
berpandangan politik konservatif di tahun 1783 akan menjadi seorang individu
yang berlainan dengan seorang Amerika yang berpandangan konservatif di
tahun 1876 atau 1978.
Untuk itu kita perlu kembali kepada persoalan mendasar tentang pendidikan dan
manusia. Pendidikan tidak lain (kalau boleh dikatakan demikian) menurut pandangan di
atas, sebenarnya adalah proses perwujudan diri individu manusia untuk mencapai
kebaikan dan kebahagiaan yang hakiki melalui garis intelektualitas dan moralitas yang
dimilikinya.
Ada tiga dalil pokok mengenai nilai sebagai perwujudan diri manusia, yaitu:
1) Petunjuk-petunjuk moral hanya berlaku tentang hal-hal yang bagi manusia
adalah mungkin (untuk dilakukan atau tidak dilakukan, untuk menjadi atau
untuk tidak menjadi);
2) Seluruh kemungkinan merujuk pada potensi-potensi tertentu dalam diri
manusia, yang bisa dikenali, untuk bertindak atau untuk menjadi.
3) Dengan demikian, ‘hidup yang baik’ pada puncaknya bisa dirumuskan (meski
perumusan ini dilakukan pada tingkat generalisasi yang tinggi) sehubungan
dengan potensi-potensi manusia yang ada untuk disempurnakan atau
diwujudkan.
28

Dari tiga dalil pokok ini, kita dapat membedakan mana perilaku yang termasuk
mewujud (bermoral) yang dilakukan oleh seseorang dan mana yang tidak bermoral
(potensi-potensi pada diri individu tidak mewujud-imoral).
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mungkin manusia menjalani hidup yang
baik, atau hidup di mana dirinya mewujud. Secara umum, ada enam sudut pandang
fundamental tentang bagaimana caranya hidup secara baik, dan keenam sudut pandang
ini juga merupakan dasar dari pandangan filosofis bagi munculnya aliran-aliran filsafat
pendidikan (hal ini mendominasi kebudayaan Barat kontemporer), O’neill (2002:94-95):
1. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari ketaatan terhadap
berbagai tolok ukur (standar) intuitif dan/atau yang terungkap pada keyakinan
dan perilaku.
2. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari pencerahan filosofis
dan/atau keagamaan yang didasarkan pada penalaran spekulatif serta
kebijaksanaan metafisis.
3. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari ketaatan terhadap
berbagai tolok ukur yang mapan (konvensional) tentang keyakinan dan perilaku.
4. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari kecerdasan praktis
(yakni pemecahan masalah secara efektif)
5. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari pengembangan
lembaga-lembaga sosial yang baru dan lebih manusiawi (humanistik).
6. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari penghapusan
pembatasan-pembatasan kelembagaan, sebagai sebuah cara untuk memajukan
perwujudan kebebasan personal yang sepenuh-penuhnya.
Keenam filosofi moral di atas, kemudian dibagi lagi ke dalam ranah filosofi politik
dasar, tiga diantaranya merupakan ungkapan politis mendasar dari sudut pandang
Konservatif.
1) Konservatisme reaksioner (otoritarianisme anti-intelektual)
2) Konservatisme filosofis (otoritarianisme intelektual)
3) Konservatisme sosial (konvensionalisme otoritarian)
Di samping itu ada tiga ungkapan politis dari sudut pandang Liberal, yaitu:
1) Liberalisme politis
29

2) Liberasionisme politis
3) Anarkisme politis
Dasar-dasar filosofis bagi landasan pendidikan sebagaimana diungkap di atas, dapat
diringkas ke dalam bentuk bagan sebagaimana berikut.

BAGAN 1: DASAR-DASAR FILOSOFIS BAGI IDEOLOGI PENDIDIKAN

Kebahagiaan Personal
(perwujudan diri)

Dapat dicapai dengan mengikuti sebuah filosofi moral yang didasarkan pada

FILOSOFI MORAL

Ketaatan Terhadap Tolok Pencerahan filosofis Ketaatan Terhadap Tolok


Ukur Keyakinan dan dan/atau Religius Ukur Keyakinan dan
Perilaku yang Intuitif Berdasarkan Penalaran Perilaku Yang Sudah Mapan
dan/atau Diwahyukan Spekulatif dan
Kebijaksanaan Metafisis

Totalitarian Teleologis Plato Santo Agustinus


Nasionalisme Fundamentalis Aristoteles Aliran utama Kristen
Amerika St. Thomas Aquinas Protestan Berbasis
Populisme “Akal Sehat” Moses Maimonides Pembaharuan (Reformis)
Fundamentalisme Kristen St. Ignatius Loyola Thomas Hobbes
dan Tradisi-tradisi yang Rene Descartes Thomas Harrington
terkait Ralph Waldo Emerson John Adams
James Madison
John C. Calboun
Niccola Machiavelli
Herbert Spencer
Georg W.F. Hegel
Emile Durkheim
Winston Churchill
Charles de Gaulle
Milton Friedman
Ayn Rand

Yang mengungkapkan diri dalam tingkat politis sebagai


30

FILOSOFI POLITIK

Konservatisme Reaksioner Konservatisme Filosofis Konservatisme Sosial


(Otoritarianisme Anti- (Absolutisme Intelektual)
Intelektual)
Otoritarianisme Meritokrasi Intelektual Kapitalisme Demokratis
Nasionalistis atau Religius dan /atau Moral (Demokrasi Konstitusional
Tak Langsung, menekankan
pemerintahan berdasarkan
hukum, proses yang
ditentukan dan hak milik di
dalam sebuah ekonomi yang
relatif tidak dikendalikan
oleh negara

Yang pada gilirannya diterapkan pada pendidikan dalam bentuk

IDEOLOGI PENDIDIKAN

FUNDAMENTALISME INTELEKTUALISME KONSERVATISME


PENDIDIKAN PENDIDIKAN PENDIDIKAN

LANJUTAN…..1

Kecerdasan Praktis Pembangunan Lembaga- Penghapusan Pembatasan-


(Pemecahan Masalah Secara Lembaga Sosial yang Baru Pembatasan Kelembagaan
Efektif) dan Lebih Manusiawi untuk Menumbuh-
(Humanistik) kembangkan kebebasan
personal

John Dewey Jeremy Bentham William Godwin


William H. Kilpatrick Robert Owen Peter Kropotkin
Boyd Bode Henry Saint Simon Pierre Proudhon
Sidney Hook William Morris Henry David Thoreau
John Childs Karl Marx Leo Tolstoi
George Geiger Nicholai Lenin
John M. Keynes
Eugene Debs
Mao Ze Dong (Mao Tse
Tung)
Herbert Marcuse
Erich Fromm
31

Lanjutan….2

LIBERALISME LIBERASIONISME ANARKISME

Demokrasi Sosial Sosialisme Demokrasi Kerjasama Bebas yang Di-


(Demokrasi Perwakilan (Demokrasi Perwakilan Deinstitusionalisasikan
dalam sebuah sistem dalam Sebuah Ekonomi (Demokrasi Partisipasional
Ekonomi Campuran) yang dikendalikan oleh Langsung dalam Sebuah Era
Negara) Pasca-Sosialistis)

LANJUTAN….3

LIBERALISME LIBERASIONISME ANARKISME


PENDIDKKAN PENDIDIKAN PENDIDIKAN

1. Fundamentalisme Pendidikan
Fundamentalisme meliputi semua corak konservatisme politik yang pada dasarnya
anti-intelektual dalam arti bahwa mereka ingin meminimalkan pertimbangan-
pertimbangan filosofis dan/atau intelektual, serta cenderung untuk mendasarkan diri
mereka pada penerimaan yang relatif tanpa kritik terhadap kebenaran yang diwahyukan
atau konsensus sosial yang sudah mapan (yang biasanya diabsahkan sebagai ‘akal sehat’)
Dalam ungkapan politisnya, konservatisme reaksioner gagasan untuk kembali
kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan atau kebijakan-kebijakan masa silam, baik yang
benar-benar pernah ada ataupun yang sekadar dikhayalkan. Ada dua variasi dari sudut
pandang semacam itu jika diterapkan dalam pendidikan. Variasi pertama,
fundamentalisme pendidikan religius, yang tampak dalam pondok pesantren. Variasi
kedua fundamentalisme pendidikan sekular, berciri mengembangkan komitmen yang
sama tidak luwesnya dibanding yang disepakati, yang umumnya menjadi pandangan
dunia ‘orang biasa’.
Ideologi mendasar pendidikan fundamentalisme menurut O’neill (2002:249-253)
adalah sebagai berikut.
32

 Tujuan pendidikan secara menyeluruh


Tujuan utama pendidikan adalah untuk membangkitkan dan meneguhkan kembali
cara-cara lama yang lebih baik, untuk memapankan kembali tolok ukur keyakinan
dan perilaku tradisional.
 Tujuan-tujuan sekolah
Sekolah ada karena dua alasan mendasar: 1) untuk membantu membangun
kembali masyarakat dengan cara mendorong langkah kembali ke tujuan-tujuan
aslinya dan agar tetap konsisten dengan tujuan itu; 2) untuk menyalurkan
informasi dan keterampilan-keterampilan yang perlu agar berhasil dalam tatanan
sosial yang ada sekarang.
 Ciri-ciri umum
Fundamentalisme pendidikan dapat dikarakteristisasikan sebagai berikut.
1) Ia yakin bahwa pengetahuan terutama merupakan alat untuk membangun
kembali masyarakat dalam mengejar pola kesempurnaan moral yang pernah
ada di masa silam.
2) Ia menekankan bahwa manusia adalah agen moral, menekankan ketaatan
terhadap aturan moral yang jelas dan lengkap, dan menekankan nilai
patriotisme yang dirumuskan secara sempit.
3) Secara diam-diam ataupun terang-terangan anti-intelektual, menentang
pengujian kritis terhadap pola-pola keyakinan dan perilaku yang mereka pilih.
4) Pendidikan pertama-tama dipandang sebagai proses regenerasi moral.
5) Memusatkan perhatian pada tujuan asli tradisi-tradisi serta lembaga-lembaga
sosial yang ada, menekankan ‘kembali ke masa silam’ sebagai sebuah
orientasi-ulang yang bersifat korektif terhadap pandangan modern yang terlalu
menekankan masa kini dan masa depan.
6) Menekankan pengenalan kembali cara-cara lama yang sudah teruji oleh
waktu, kebutuhan untuk kembali kepada kebaikan-kebaikan nyata atau yang
dikhayalkan ada di era yang lalu.
7) Berdasarkan pada sistem sosial dan/atau keagamaan yang tertutup, yang
menjadi ciri era sebelumnya, membela gerakan kembali kepada kondisi-
kondisi yang lebih baik yang pernah berlangsung.
33

8) Berlandaskan prakiraan-prakiraan yang tersirat dan/atau yang tidak pernah


diuji kebenarannya tentang hakikat kenyataan, yang umumnya didasarkan
pada ‘akal sehat’ atau kepastian intuitif atau iman keagamaan.
9) Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi berada di tangan
komunitas orang-orang yang memiliki iman sejati (the true believers), bahwa
kebenaran ditentukan melalui sebuah kesepakatan di antara orang-orang yang
telah mencapai pencerahan moral.
 Anak-anak sebagai pelajar
Anak-anak condong ke arah kekeliruan dan kejahatan jika tidak ada bimbingan
yang kuat dan pengajaran yang baik.
Kesamaan-kesamaan individual lebih penting ketimbang perbedaan-perbedaan di
antara mereka, dan kesamaan-kesamaan ini secara tepat bersifat menentukan
dalam memapankan program-program pendidikan yang baik.
Anak-anak secara moral setara di sebuah jagat ketidaksetaraan kesempatan
objektif. Mereka musti memiliki kesempatan-kesempatan setara supaya bisa
berjuang untuk mendapatkan ganjaran yang terbatas yang tersedia, namun
keberhasilan musti dikondisikan pada prestasi personal dalam dunia yang
bercirikan persaingan keras bagi keberhasilan moral dan material.
Seorang anak pada intinya mampu menentukan nasibnya sendiri; ia memiliki
kehendak bebas yang personal, dalam arti tradisional dari istilah itu.
 Administrasi dan kontrol
Wewenang di bidang pendidikan harus diletakkan di tangan para manajer
akademik terlatih, yang tidak musti merupakan kaum intelek ataupun pendidikan
profesional.
Wewenang guru harus didasarkan pada profil moral yang lebih tinggi dalam diri
guru tersebut.
 Hakikat kurikulum
1) Sekolah harus menekankan karakter moral yang layak, melatih siswa untuk
menjadi pribadi yang baik diukur dengan tolok ukur-tolok ukur perilaku moral
tradisional.
34

2) Sekolah mesti memusatkan perhatian pada pembaharuan pola-pola budaya


lama; ia harus membantu siswa untuk menemukan kembali nilai-nilai yang
terkandung dalam tradisi-tradisi budaya mendasar.
3) Penekanan harus diberikan pada regenerasi moral, dalam hal membangun
kembali masyarakat menurut jalur-jalur pendekatan tradisional terhadap
keyakinan dan perilaku.
4) Lapangan studi harus dipilih untuk mengarahkan siswa.
5) Tekanan mesti diletakkan di penyesuaian moral (indoktrinasi moral) melebihi
pengetahuan akademik (yakni belajar tentang bagaimana caranya belajar, serta
menguasai jenis pengetahuan dan keterampilan teknis yang hanya secara tidak
langsung terkait dengan persoalan-persoalan manusia yang utama).
Indoktrinasi moral juga harus lebih dipentingkan ketimbang penyesuaian
praktis, yakni belajar tentang hal-hal yang segera berguna. Sekaligus
meminimalkan penyesuaian intelektual (yakni yang ideasional, berurusan
dengan teori penafsiran yang luas).
6) Sekolah musti menekankan latihan moral dan jenis keterampilan-keterampilan
akademik serta praktis yang diperlukan untuk membantu siswa untuk menjadi
anggota yang aktif dalam tatanan sosial yang diregenerasikan secara tepat:
keterampilan-keterampilan belajar yang mendasar, pelatihan pembentukan
karakter, pendidikan fisik (termasuk pelajaran kesehatan), sejarah nasional,
kesusasteraan nasional, pelajaran agama, dan seterusnya.
 Metode pengajaran dan penilaian hasil belajar
1) Penekanan harus diletakkan pada tatacara-tatacara pengajaran di dalam kelas
yang tradisional, seperti misalnya ceramah, hapalan, belajar dengan diawasi
dan dituntun, serta diskusi kelompok yang terstruktur secara ketat.
2) Ulangan/tes sesudah pelajaran diberikan, adalah cara terbaik untuk
memapankan kebiasaan yang tepat di kelas-kelas yang rendah, namun ia harus
dikembangkan supaya siswa lebih punya inisiatif sendiri dan dengan
pendekatan-pendekatan yang lebih bersifat mengarahkan diri sendiri, di
tingkat-tingkat pendidikan yang lebih tinggi; adalah perlu untuk melaksanakan
ulangan serta hapalan yang banyak.
35

3) Yang terbaik adalah pembelajaran yang ditentukan dan diarahkan oleh guru.
Sebab, siswa tidak cukup tercerahkan untuk mengarahkan proses
perkembangan intelektualnya sendiri.
4) Sang guru harus dipandang sebagai panutan dalam hal kesempurnaan moral
dan akademik.
5) Tes-tes untuk mengukur keterampilan dan informasi yang dimiliki siswa lebih
baik daripada tes-tes yang menekankan kemampuan analitis dan spekulasi
abstrak siswa.
6) Persaingan antar-personal untuk mendapatkan nilai terbaik (dalam ujian, tes,
kelakuan, dan sebagainya) dan peringkat nilai tertinggi di kelas antara para
siswa adalah hal yang dikehendaki dan perlu diadakan demi memupuk
kesempurnaan.
7) Penekanan harus diberikan pada yang kognitif (khususnya yang
informasional) dengan tekanan kedua pada yang afektif dan interpersonal.
8) Penekanan harus diletakkan pada pemulihan kembali prinsip-prinsip dan
praktik-praktik pendidikan tradisional (nasional dan/atau etnis).
9) Bimbingan dan penyuluhan pribadi serta terapi kejiwaan adalah fungsi-fungsi
keluarga dan/atau gereja, bukan sekolah.
 Pengendalian ruang kelas
Para siswa mesti menjadi warganegara yang baik dalam penyesuaian diri dengan
cita-cita masyarakat yang melakukan regenerasi moral.
Para guru secara umum harus bersikap ketat, non-permisif, dalam tatacara-
tatacara pengendalian situasi di ruang kelas, sedangkan para siswa diharapkan
menyesuaikan diri dengan wewenang yang telah ditetapkan.
Pendidikan moral (latihan pembentukan watak) adalah dasar dan tujuan
persekolahan.
2. Intelektualisme Pendidikan
Intelektualisme lahir dari ungkapan-ungkapan konservatisme politik yang didasarkan
pada sistem-sistem pemikiran filosofis atau religius yang pada dasarnya otoritarian.
Secara umum, konservatisme filosofis ingin mengubah praktik-praktik politik yang ada
(termasuk praktik-praktik pendidikan), demi menyesuaikannya secara lebih sempurna
36

dengan cita-cita intelektual atau rohaniah yang sudah mapan dan tidak bervariasi. Dalam
pendidikan kontemporer, konservatisme filosofis mengungkapkan diri sebagai
intelektualisme pendidikan, di mana ada dua variasi mendasar: intelektualisme
pendidikan, yang pada intinya bersifat sekular dan dapat diamati dalam pemikiran
beberapa orang teoretisi pendidikan kontemporer seperti misalnya Robert Maynard
Hutchins dan Mortimer Adler. Dan Intelektualisme teologis, yang memiliki orientasi
sebagaimana terpantul dalam tulisan-tulisan para filosof pendidikan Katolik Roma
kontemporer seperti William McGucken dan John Donahue.
Ideologi dasar intelektualisme pendidikan dirangkum O’neill (2002:287-290) berikut
ini.
 Tujuan Pendidikan Secara Meneyeluruh
Tujuan utama pendidikan adalah untuk mengenali, merumuskan, melestarikan dan
menyalurkan Kebenaran (yakni pengetahuan tentang makna dan nilai penting
kehidupan secara mendasar).
 Sasaran-sasaran Sekolah
Sekolah diadakan karena dua alasan mendasar: 1) Untuk mengajar siswa tentang
bagaimana cara menalar (bagaimana cara berpikir secara jernih dan tertata), dan
2) Untuk menyalurkan kebijaksanaan yang tahan lama dari masa silam.
 Ciri-ciri Umum Intelektualisme Pendidikan
1) Menganggap bahwa pengetahuan adalah sebuah tujuan dalam dirinya sendiri,
bahwa ‘tahu’ bukanlah sekadar cara meningkatkan keefektifan perilaku praktis
semata.
2) Menekankan manusia sebagai manusia, yakni bahwa manusia memiliki
hakikat universal yang melampaui keadaan-keadaan tertentu di suatu
saat/tempat.
3) Menekankan nilai-nilai intelektualisme tradisional, yakni pemupukan nalar
serta penerusan kebijaksanaan spekulatif (filosofis).
4) Memandang pendidikan sebagai sebuah orientasi ke arah kehidupan secara
umum, bukan sebagai hal penyesuaian situasional.
5) Berpusat pada sejarah intelektual manusia sebagaimana dirumuskan dengan
tradisi intelektual Barat yang dominan (klasikisme).
37

6) Menekankan stabilitas filosofis sebagai prioritas yang lebih tinggi ketimbang


kebutuhan akan perubahan, menekankan stabilitas intelektual dan
keberlanjutan (kontinuitas), apa yang biasa disebut ‘kebenaran-kebenaran
kekal’ (perenial) yang melampaui ruang dan waktu.
7) Berdasarkan pada sistem ideologis tertutup yang berisi kemutlakan-
kemutlakan filosofis.
8) Berdiri di atas landasan kebenaran-kebenaran yang terbukti dengan
sendirinya, yang inheren di dalam nalar dan/atau kenyataan itu sendiri.
9) Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi terletak pada kecerdasan
(intelek) itu sendiri, bahwa kebenaran dapat dipahami lewat cara penalaran
murni.
 Anak-anak sebagai Pelajar
Seorang anak condong ke arah kebijaksanaan dan kebaikan, karena secara hakiki
ia adalah mahluk yang rasional dan sosial.
Kesamaan-kesamaan individual lebih penting ketimbang perbedaan-perbedaan
individual, dan kesamaan-kesamaan itu secara tetap bersifat menentukan
(determinatif) dalam memapankan program-program pendidikan yang layak.
Anak-anak secara moral setara di dalam sebuah dunia ketidaksetaraan
kesempatan-kesempatan objektif; mereka harus memperoleh kesempatan yang
setara untuk mencapai keunggulan intelektual, meskipun kemampuan untuk
mencapai keunggulan intelektual tersebut tidaklah tersebar secara merata ke
seluruh populasi.
Seorang anak pada dasarnya bersifat menentukan nasib sendiri; ia memiliki
kehendak bebas yang personal dalam arti tradisional.
 Administrasi dan Kontrol
Wewenang pendidikan musti ditanamkan di tangan elit intelektual yang
berpendidikan tinggi.
Wewenang guru harus didasarkan kepada kebijaksanaan sang guru yang lebih
tinggi dibanding para siswa.
 Sifat-sifat Hakiki Kurikulum
38

1) Sekolah musti menekankan disiplin intelektual, melatih siswa supaya mampu


menalarkan secara jelas dan tertata.
2) Sekolah harus memusatkan diri pada penalaran serta kebijaksanaan spekulatif.
3) Penekanan harus memusatkan pada gagasan-gagasan serta teori-teori abstrak.
4) Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus menjadi hampir sepenuhnya
diarahkan atau mengikuti garis-garis yang telah ditetapkan.
5) Yang harus ditekankan adalah yang intelektual, (yakni yang bersifat
ideasional, berkaitan dengan teori penafsiran yang luas). Ketimbang yang
praktis, (yang segera berguna bagi siswa), ataupun yang akademis, (belajar
tentang bagaimana caranya belajar, dan menguasai jenis pengetahuan teknis
secara tidak langsung dengan persoalan-persoalan manusia yang nyata).
6) Sekolah harus menekankan filosofi dan/atau teologi, kesusastraan (khususnya
sastra dan inetelektual klasik yang sudah mapan di dunia Barat), serta tafsir
sejarah yang luas cakupannya, dalam tradisi Edward Gibbon, Oswald
Spengler, dan Arnold Toynbee.
 Metode-metode Pengajaran dan Penilaian Hasil Belajar
Tekanan harus diletakkan pada tatacara-tatacara ruang kelas tradisional, seperti
misalnya ceramah, hapalan, tes-tes Sokratik (diarahkan oleh guru), dan diskusi
kelompok yang sangat terstruktur.
Ulangan/latihan berdasarkan hapalan adalah cara terbaik untuk membiasakan
kebiasaan yang tepat di tingkat pendidikan yang lebih rendah, namun mesti
dikembangkan ke arah pendekatan-pendekatan yang lebih terbuka dan bersifat
intelektual, menampilkan penalaran formal (deduktif/dari yang umum menuju
khusus), selama tahap-tahap pendidikan lanjutan.
Pembelajaran yang ditentukan dan diarahkan oleh guru adalah yang terbaik,
namun sang guru musti selalu berusaha untuk bekerjasama dengan sifat-sifat yang
hakiki siswa yang secara alamiah rasional, daripada menuntun kepatuhan
membuta melalui tatacara-tatacara indoktrinasi.
Guru harus dipandang sebagai sosok panutan keunggulan intelektual serta seorang
‘wasit atau juru penengah’ kebenaran.
39

Tes-tes yang ditujukan untuk mengukur ketajaman intelektual (seperti ujian-ujian


bercorak esai) lebih disukai ketimbang yang menekankan isi faktual (seperti
dalam ujian-ujian yang bercorak ‘pilihan objektif’).
Lantaran kemampuan intelektual tersebar secara tidak merata, dan keunggulan
intelektual adalah sesuatu yang sulit dicapai, maka persaingan antar pribadi
hingga taraf tertentu bisa dikatakan tersirat dalam situasi akademis manapun yang
baik, dan persaingan dalam mengejar keunggulan intelektual dapat dimanfaatkan
untuk memajukan sasaran-sasaran intelektual yang absah.
Penekanan harus diletakkan pada yang kognitif, melebihi yang afektif dan yang
bersifat antarpribadi.
Penekanan harus pula diletakkan pada ketaatan terhadap prinsip-prinsip dan
praktik-praktik pendidikan yang dikenali dan dirumuskan oleh para pemikir besar
dari tradisi intelektual Barat.
Bimbingan dan penyuluhan personal serta terapi kejiwaan bukanlah hal-hal yang
diperhatikan oleh sekolah, dan seharusnya ditangani oleh agen-agen sosial lain
yang lebih cocok untuk menyediakan tuntunan serta terapi semacam itu.
 Kendali Ruang Kelas
Siswa-siswi harus menjadi warganegara yang baik dalam ranah berbagai tolok
ukur moral tertentu yang bersifat mutlak, dan mereka musti dianggap mampu
secara moral untuk bertanggungjawab atas perilaku mereka sendiri.
Para guru harus secara umum tidak bersikap ‘serba membolehkan’, (permisif),
dalam tatacara-tatacara memegang kendali ruang kelas, namun wewenang harus
selalu diabsahkan dan/atau bisa dibenarkan oleh nalar.
Pendidikan moral (pelatihan watak) adalah aspek yang penting dan terelakkan dari
persekolahan, namun sekolah musti memusatkan perhatiannya pada penjelasan
dan pembuktian landasan intelektual dari prinsip-prinsip moral yang pokok.

3. Konservatisme Pendidikan
Konservatisme pada dasarnya adalah posisi yang mendukung ketaatan terhadap
lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu (sudah cukup
tua atau dan mapan), didampingi dengan rasa hormat mendalam terhadap hukum dan
40

tatanan, sebagai landasan perubahan sosial yang konstruktif. Sejalan dengan itu, di
tingkat politis, orang-orang konservatif cukup mewakili dalam tulisan-tulisan para tokoh
seperti Edmund Burke, James Madison, dan para penulis The Federalis Paper.
Dalam dunia pendidikan seorang konservatif beranggapan bahwa sasaran utama
sekolah adalah pelestarian dan penerusan pola-pola sosial serta tradisi-tradisi yang sudah
mapan. Ada dua ungkapan dasar konservatif dalam pendidikan. Yang pertama adalah
konservatisme pendidikan religius, yang menekankan peran sentral pelatihan rohaniah
sebagai landasan pembangunan karakter moral yang tepat. Yang kedua adalah
konservatisme pendidikan sekular, yang memusatkan perhatiannya pada perlunya
melestarikan dan meneruskan keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik yang sudah ada,
sebagai cara untuk menjamin pertahanan hidup secara sosial serta efektivitas secara kuat
oleh orientasi pendidikan yang bersifat lebih Al-kitabiah dan Evangelis (mendakwahkan
agama) yang secara teologis jelas-jelas kurang liberal jika dibandingkan dengan berbagai
aliran utama.
Ideologi mendasar konservatisme pendidikan adalah (dengan tanpa membedakan
antara konservatisme sekular dan teologis):
 Tujuan Pendidikan Secara Keseluruhan
Tujuan utama pendidikan adalah untuk melestarikan dan menyalurkan pola-pola
perilaku sosial konvensional.
 Sasaran-sasaran Sekolah
Sekolah diadakan karena dua alasan:
1) Untuk mendorong tentang pemahaman dan penghargaan terhadap lembaga-
lembaga, tradisi-tradisi, proses-proses budaya yang telah teruji oleh waktu,
termasuk rasa hormat yang mendalam terhadap hukum dan tatanan.
2) Untuk menyalur dan menanamkan informasi serta keperluan informasi yang
diperlukan supaya berhasil di dalam tatanan sosial yang ada.
 Ciri-ciri umum Konservatisme Pendidikan
1) Menganggap bahwa nilai dasar pengetahuan ada pada kegunaan sosialnya,
bahwa pengetahuan adalah sebuah cara untuk mengajukan nilai-nilai sosial
yang mapan
41

2) Menekankan peran manusia sebagai warganegara; manusia dalam perannya


sebagai anggota sebuah negara yang mapan.
3) Menekankan penyesuaian diri yang bernalar; menyandarkan diri pada jawaban-
jawaban terbaik dari masa silam sebagai tuntunan yang paling bisa dipercaya
untuk memandu tindakan di masa kini.
4) Memandang pendidikan sebagai sebuah pembelajaran (sosialisasi) nilai-nilai
sistem yang mapan.
5) Memusatkan perhatian kepada tradisi-tradisi dan lembaga-lembaga sosial yang
ada, menekankan situasi sekarang (yang dipandang melalui sudut pandang
kesejarahan yang relatif dangkaldan berpusat pada etnisnya sendiri
(etnosentris).
6) Menekankan stabilitas budaya, melebihi kebutuhan akan
pembaharuan/perombakan budaya, hanya menerima perubahan-perubahan yang
pada dasarnya cocok dengan tatanan sosial yang sudah mapan.
7) Berdasarkan sebuah sistem budaya tertutup (etnosentrisme), menekankan
tradisi-tradisi sosial yang dominan, dan menekankan perubahan secara bertahap
di dalam situasi sosial yang secara umum stabil.
8) Mengakar pada kepastian-kepastian yang sudah teruji oleh waktu, dan meyakini
bahwa gagasan-gagasan serta praktik-praktik kemapanan lebih sahih dan
berhasil ketimbang gagasan-gagasan serta praktik-praktik yang lahir dari
spekulasi yang relatif tak terkendalikan.
9) Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi adalah budaya dominan
dengan segenap sistem keyakinan dan perilakunya yang mapan
 Anak sebagai Pelajar
Siswa memerlukan bimbingan yang ketat serta pengarahan yang jelas sebelum ia
menjadi terbelajarkan (tersosialisasikan) secara efektif sebagai seorang warga
negara yang bertanggung jawab.
Kesamaan-kesamaan individual lebih penting ketimbang perbedaan-perbedaannya.
Dan kesamaan-kesamaan itu menentukan dalam menetapkan program-program
pendidikan yang tepat.
42

Anak-anak secara moral setara di dalam sebuah dunia kesempatan-kesempatan di


dalam dunia objektif yang tak setara; mereka harus memiliki kesempatan setara
untuk mengejar sejumlah ganjaran terbatas yang tersedia. Namun keberhasilan
musti dikondisikan berdasarkan prestasi kebaikan personal.
Seorang anak pada intinya menentukan nasibnya sendiri; ia memiliki kehendak
bebas personal dalam arti yang tradisional.
 Administrasi dan Pengendalian
Wewenang pendidikan musti ditanamkan dalam diri para pendidikan profesional
yang matang serta bertanggung jawab yang memiliki rasa hormat yang mendalam
terhadap proses yang telah ditetapkan dalam yang cukup bijaksana untuk
menghindari perubahan-perubahan yang berlebih-lebihan dalam menanggapi
tuntutan masyarakat luas.
Wewenang guru mesti didasarkan pada peran dan status sosial yang dimilikinya.
 Hakikat Kurikulum
a) Sekolah mesti melakukan pembelajaran politis, melatih siswa untuk menjadi
warga negara yang baik.
b) Sekolah harus memperhatikan pada pengkondisian sosial membantu siswa untuk
mencapai pemenuhan nilai-nilai budaya konvensional.
c) Penekanan harus diletakkan pada keterampilan-keterampilan dasar, pengetahuan
praktis dan pelatihan watak.
d) Mata pelajaran apa saja yang akan diajarkan harus diarahkan sepenuhnya.
e) Penekanan mesti diletakkan pada yang akademik melebihi yang praktis dan yang
intelek.
f) Sekolah harus menekankan pelatihan yang dasar dalam hal keterempilan-
keterampilan belajar yang fundamental (the three R’s). sebuah tinjauan sepintas
mengenai ilmu-ilmu alam yang mendasar, pendidikan fisik (termasuk pelajaran
tentang kesehatan), serta pendekatan yang relatif bersifat akademis kepada ilmu-
ilmu pengetahuan sosial yang lebih konvensional (sejarah bangsa/negara,
lembaga politik negara, sejarah dunia, dan sebagainya).
43

 Metode-metode Pengajaran dan Penilaian Hasil Belajar


1) Harus ada penyesuaian praktis antara tatacara-tatacara di ruang kelas yang
tradisional dengan yang progresif, sang guru mesti menggunakan metode
apapun yang paling efektif dalam meningkatkan kegiatan belajar, namun ia
harus lebih cenderung ke arah menyesuaikan tatacara-tatacara taradisional
dengan cara-cara baru seperti misalnya peragaan, studi lapangan, penelitian di
laboratorium, dan sejenisnya. Ketimbang condong ke arah yang menjauhi
praktik-praktik pengajaran yang mapan (umpamanya sistem ‘sekolah bebas’,
pengajaran tanpa diarahkan ataupun pengajaran indivdiual).
2) Pendisiplinan jasmani dan mental (lewat baris-berbaris, berhitung di luar
kepala, menghapal, dan sebagainya) adalah cara terbaik untuk memapankan
kebiasaan yang tepat di tingkat-tingkat pendidikan yang lebih rendah; namun
harus dikembangkan ke arah pendekatan-pendekatan yang lebih terbuka dan
lebih intelektual (misalnya ceramah dan diskusi terarah) di tahap-tahap
pendidikan lanjut; hapalan dan belajar secara otomatis adalah perlu.
3) Yang terbaik adalah belajar dengan ditentukan dan diarahkan oleh guru. Namun
para siswa mesti diijinkan berperans serta dalam aspek-aspek yang kurang
penting dalam perencanaan pendidikan.
4) Sang guru harus dipandang sebagai seorang pakar ‘penyuntik’ pengetahuan
serta keterampilan-keterampilan khusus.
5) Tes-tes untuk mengukur keterampilan serta informasi yang dikuasai siswa lebih
baik ketimbang tes-tes yang diberikan untuk menguji kemampuan analitis atau
spekulatif abstrak.
6) Persaingan antarpersonal untuk mengejar peringkat antara siswa-siswai adalah
perlu sekaligus dikehendaki demi memupuk keunggulan.
7) Penekanan diletakkan kepada yang kognitif dengan penekanan kedua pada yang
efektif serta yang bersifat antarpribadi.
8) Penekanan mesti diletakkan pada pelestarian prinsip-prinsip dan praktik-praktik
pendidikan yang konvensional.
9) Bimbingan dan penyuluhan personal serta terapi kejiwaan harus dibatasi hanya
untuk siswa-siswi yang mengalami problem emosional yang berat, yang
44

mempengaruhi kemampuan mereka untuk belajar dalam situasi persekolahan


yang normal
 Kendali di Ruang Kelas
Siswa-siswi harus menjadi warga negara yang baik dalam ranah pandangan budaya
dominan mengenai kewarganegaraan yang baik dan perilaku yang baik.
Pada guru secara umum harus bersifat non-permisif, tidak membolehkan segala hal
dalam tatacara-tatacara memegang kendali di ruang kelas. Namun wewenang guru
mesti disisipi dengan penalaran.
Pendidikan moral (pelatihan watak) adalah satu dari aspek-aspek penting
persekolahan.

4. Liberalisme Pendidikan
Bagi seorang pendidik liberal, tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk
melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa
sebagaimana caranya menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupannya sendiri
secara efektif. Liberalisme pendidikan ini berbeda-beda dalam intensitasnya, dari yang
relatif lunak, yakni liberalisme metodis yang diajukan oleh teoretisi seperti Maria
Montessori, ke liberalisme direktif (liberalisme yang bersifat mengarahkan) yang
barangkali paling sarat dengan muatan filosofi John Dewey hingga ke liberalisme non-
direktif, atau ‘liberalisme laissez faire’ (liberalisme tanpa pengarahan) yang merupakan
sudut pandang A.S. Neill atau Carl Rogers.
Beberapa landasan pendidikan Liberal (O’neill, 2002:352-354) yaitu:
1) Seluruh kegiatan belajar bersifat relatif terhadap sifat-sifat dan isi pengalaman
personal. Pengalaman personal melahirkan pengetahuan personal, dan seluruh
pengetahuan personal dengan demikian merupakan keluaran dari
pengalaman/perilaku personal sehubungan dengan sejumlah kondisi objektif
tertentu. (inilah prinsip dasar relatifisme psikologis)
2) Begitu subjektivitas (yakni sebuah rasa kesadaran personal yang diniatkan, yang
semakin berkembang ke arah sebuah sistem diri yang mekar secara penuh, atau
disebut juga ‘kepribadian’) muncul dari proses-proses perkembangan personal,
seluruh tindakan belajar yang punya arti penting cenderung untuk bersifat
45

subjektif, dalam arti bahwa ia sebagian besar diatur oleh yang volisional, dan
karenanya merupakan perhatian yang bersifat pilih-pilih atau selektif. (landasan
subjektifisme).
3) Seluruh kegiatan belajar pada puncaknya mengakar pada keterlibatan dalam
pengertian-inderawi yang aktif. (ini adalah landasan berbagai prinsip filosofis
yang terkait dengan empirisme, behaviorisme, materialisme, dan empirisme
biogis).
4) Seluruh kegiatan belajar pada dasarnya merupakan proses pengujian gagasan-
gagasan, dalam situasi-situasi pemecahan masalah secara praktis. (prinsip dasar
pragmatisme dan instrumentalisme).
5) Cara terbaik untuk mempelajari sesuatu – dan, sebagai implikasinya, juga cara
terbaik untuk hidup, karena belajar secara efektif adalah kunci ke kehidupan yang
efektif – adalah dengan cara melakukan penyelidikan kritis yang diatur oleh
pengertian-pengertian eksperimental, yang mencirikan cara berpikir ilmiah.
(Landasan eksperimentalisme filosofis dan eksperimentalisme ilmiah).
6) Pengalaman kejiwaan yang paling dini – pengalaman yang dialami oleh orang
yang belajar (the learner) pada waktu ia masih kanak-kanak, termasuk latihan-
latihan emosional dan kognitif yang pertama-tama diterimanya – sangatlah
penting karena pengalaman itu berlangsung lebih dulu ketimbang pengalaman-
pengalaman logis dan psikologis lanjutannya. Pengalaman paling dini tadi
menjadi landasan pembentukan kemapanan sistem-diri yang kemudian ada (dan
pada gilirannya melahirkan subjektifitas), seperti juga menjadi dasar bagi proses-
proses kepribadian yang lebih jauh lagi, yang muncul di usia yang lebih tua.
(dasar sudut pandang psikologis developmentalisme).
7) Tindakan belajar dikendalikan oleh konsekuensi-konsekuensi emosional dari
perilaku personal – yakni prinsip penguatan (reinforcement). Jika hal-hal lain
setara, individu hanya mempelajari tindakan-tindakan yang menghasilkan
konsekuensi-konsekuensi hedonis (kenikmatan atau ketidaknikmatan), entah itu
yang bersifat fisik ataukah psikologis. Tindakan-tindakan netral yang sifatnya
afektif (hedonis) tidaklah dipelajari (demi segala tujuan praktis), sedangkan
perilaku yang dikuatkan secara negatif (artinya, ditolak) biasanya ditinggalkan
46

demi perilaku bercorak lain yang memunculkan (atau menjanjikan munculnya)


corak-corak pergaulan yang lebih positif. Prinsip kesenangan/kenikmatan
mengatur seluruh pengalaman manusia. Dalam kegiatan belajar, jika hal-hal lain
setara, pengalaman kenikmatan menentukan apa yang harus dipelajari selanjutnya,
dan penyelidikan eksperimental menjadi cara belajar yang efektif, dan karena itu
berguna untuk memaksimalkan pengalaman kenikmatan/kesenangan selama
mungkin. (landasan hedonisme psikologis).
8) Karena manusia adalah mahluk sosial yang bersandar pada orang-orang lain untuk
bertahan hidup selama masa bayi dan kanak-kanak, dan bergantung kepada
kondisi-kondisi budaya yang menjamin perilaku yang berhasil baik dalam
persaingan antar-spesies, maupun dalam persaingan antar-masyarakat dalam
spesies (manusia) itu sendiri, ataupun persaingan antar-individu dalam sebuah
masyarakat; maka kegiatan belajar secara personal selalu berlangsung dalam
konteks pengalaman sosial, dan hakikat serta isi pengalaman sosial itu, secara
logis maupun psikologis, mendahului pengalaman yang murni bersifat personal.
Dengan begitu, maka seluruh pengalaman personal sejalan dengan (atau cocok
dengan) rumusan sosial mengenai kenyataan (rumus itu sudah ada lebih dulu dan
sudah mendominasi). (Inilah landasan relatifisme budaya).
9) Penyelidikan eksperimental, seperti juga jenis persekolahan yang tersimpul di
dalam orientasi nilai semacam itu, hanya bisa ada di bawah kondisi-kondisi sosial
yang memungkinkan dilakukannya penyelidikan eksperimental sejati, khususnya
penerapan metode-metode penelitian ilmiah kepada berbagai persoalan personal
dan sosial – bukan hanya sekadar diterapkan di wilayah ilmu-ilmu pengetahuan
fisik yang bebas nilai saja. Singkatnya, sebuah proses penyelidikan personal yang
bersifat terbuka dan kritis, jika diangkat menjadi sebuah sasaran/tujuan kolektif
bagi masyarakat secara keseluruhan, menyiratkan adanya sejenis organisasi
budaya yang mampu menyediakan berbagai prasyarat sosial, ekonomi, dan politik
demi perwujudan pemikiran eksperimental. Penyelidikan personal apapun yang
terbuka dan kritis memerlukan sebuah masyarakat yang terbuka (yang
demokratis) yang berdiri di atas landasan pembagian kekuasaan ekonomis yang
relatif merata, dan menampilkan hak-hak politik yang rinci dan gamblang, dalam
47

wilayah kebebasan berbicara, kebebasan berserikat, dan seterusnya. (Landasan


cita-cita ‘demokrasi sosial’).
10) Berdasarkan kondisi-kondisi yang dipaparkan di atas, seorang anak dengan
potensi rata-rata dapat menjadi efektif secara personal sekaligus
bertanggungjawab secara sosial. Kecerdasan praktis terlatih, yang dipandang
sebagai tujuan sosial, dapat menjadi dasar bagi lingkaran sinergisme positif
sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, dan karena itu kecerdasan praktis
yang terlatih mengabsahkan adanya sikap optimistis sehubungan dengan
kemampuan manusia untuk mengatur dirinya sendiri secara cerdas.
Ideologi mendasar liberalisme pendidikan dengan demikian dapat diuraikan sebagai
berikut.
 Tujuan Pendidikan Secara Keseluruhan
Tujuan utama pendidikan adalah untuk mempromosikan perilaku personal yang
efektif.
 Sasaran-sasaran Sekolah
Sekolah ada lantaran dua alasan mendasar:
1) Menyediakan informasi dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan oleh
siswa untuk belajar secara efektif bagi dirinya sendiri.
2) Untuk mengajar para siswa bagaimana cara memecahkan masalah praktis
lewat penerapan tatacara-tatacara penyelesaian masalah secara individual
maupun kelompok yang didasarkan pada metode-metode ilmiah-rasional.
 Ciri-ciri Umum Liberalisme Pendidikan
1) Menganggap bahwa pengetahuan terutama berfungsi sebagai sebuah alat
untuk digunakan dalam pemecahan masalah secara praktis, bahwa
pengetahuan adalah sebuah jalan ke arah tujuan berupa perilaku efektif dalam
menangani situasi-situasi sehari-hari.
2) Menekankan kepribadian unik dalam diri tiap individu, atau ketunggalan
(singularitas) setiap pribadi sebagai sebuah pribadi.
3) Menekankan pemikiran efektif (kecerdasan praktis), mengarahkan perhatian
utamanya kepada kemampuan setiap individu untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan personalnya sendiri secara efektif.
48

4) Memandang pendidikan sebagai perkembangan dari keefektivan personal.


5) Memusatkan perhatian kepada tatacara-tatacara pemecahan masalah secara
individual maupun berkelompok, menekankan situasi sekarang dan masa
depan yang dekat sebagaimana dipahami berdasarkan kebutuhan-kebutuhan
serta problem-problem individual yang ada.
6) Menekankan perubahan sosial secara tidak langsung, melalui perkembangan
kemampuan tiap orang berperilaku praktis dan efektif, dalam mengejar
sasaran-sasaran personalnya sendiri, menekankan perubahan-perubahan
berskala kecil yang terus menerus/berkelanjutan, di dalam sebuah situasi yang
pada umumnya stabil.
7) Berdasarkan kepada sebuah sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka
(pembuktian pengetahuan secara ilmiah-rasional) dan/atau prakiraan-prakiraan
yang sesuai dengan sistem penyelidikan itu.
8) Dididirikan di atas tatacara-tatacara pembuktian secara ilmiah-rasional
9) Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi terletak pada pengetahuan
yang diperoleh dari pembuktian eksperimental dan/atau tatacara-tatacara
pengambilan keputusan secara demokratis.
 Anak Sebagai Pelajar
Seorang anak pada umumnya cenderung untuk menjadi baik (yakni, untuk
menginginkan/melakukan tindakan yang efektif dan tercerahkan) berdasarkan
konsekuensi-konsekuensi alamiah dari perilakunya sendiri yang terus
berkelanjutan.
Perbedaan-perbedaan individual lebih penting ketimbang persamaan-
persamaannya, dan perbedaan-perbedaan itu bersifat menentukan (determinatif)
dalam penetapan program-program pendidikan.
Anak-anak secara moral setara, dan mereka mesti memiliki kesetaraan
kesempatan untuk berjuang demi ganjaran-ganjaran sosial yang pada dasarnya
disetarakan (dibagikan merata).
Kedirian (kepribadian) tumbuh dari pengkondisian sosial, dan diri yang bersifat
sosial itu menjadi dasar bagi seluruh penentuan ‘diri’ selanjutnya: si anak adalah
‘bebas’ hanya di dalam konteks determinisme sosial dan psikologis.
49

 Administrasi dan Pengendalian Pendidikan


Wewenang pendidikan harus ditanamkan di tangan para pendidik yang telah
memperoleh latihan tingkat tinggi, yang memiliki komitmen terhadap proses
penyelidikan kritis dan yang mampu membuat perubahan-perubahan yang
diperlukan sehubungan dengan informasi baru yang relevan.
Wewenang guru harus didasarkan terutama pada keterampilan-keterampilan yang
dimilikinya dalam bidang pendidikan.
 Sifat-sifat Hakiki Kurikulum
1) Sekolah harus menekankan keefektifan pesonal, melatih anak untuk
menyesuaikan diri secara efektif dengan tuntutan-tuntutan situasinya sendiri
sebagaimana ia memahami situasi tersebut.
2) Sekolah mesti menekankan pemecahan masalah secara praktis
3) Penekanan harus diletakkan pada tatacara-tatacara penyelesaian masalah
secara praktis.
4) Pelajaran harus bersifat ditentukan lebih dulu/wajib sekaligus pilihan, dengan
penekanan yang kira-kira seimbang/sama besar.
5) Penekanan harus diletakkan pada yang bersifat intelektual dan praktis
melebihi yang akademik.
6) Sekolah harus menekankan penjelajahan yang terbuka dan kritis ke dalam
masalah-masalah dan isu-isu kontemporer, sebagaimana itu semua dipahami
sebagai hal-hal penting oleh para siswa sendiri. Penekanan utama mesti
diarahkan ke pendekatan-pendekatan pemecahan masalah yang berdasarkan
kegiatan kelompok serta bersifat antar-disiplin (keilmuan), melibatkan
pelatihan dalam area-area tertentu seperti misalnya logika praktis, metode
ilmiah, ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan behavioral, sejarah, dans sebagian
besar dari ilmu-ilmu alam serta humanistik.
 Metode-metode Pengajaran dan Penilaian Hasil Belajar
Guru harus menyandarkan diri terutama pada tatacara-tatacara pemecahan
masalah secara individual maupun kelompok yang diterapkan pada persoalan-
persoalan yang dikenali berdasarkan minat-minat personal para siswa sendiri,
50

penekanan harus diletakkan pada tatacara-tatacara di ruang kelas yang lebih


terbuka dan bersifat eksperimental.
Disiplin dan hapalan bisa bernilai jika ia diperlukan demi menguasai suatu
keterampilan yang pada puncaknya akan diperlukan untuk menangani problema
personal yang penting secara efektif. Namun kegiatan belajar cenderung untuk
menjadi sebuah dampak sampingan dari sebuah kegiatan yang bermakna; dan
disiplin serta hapalan harus ditekan hingga menjadi seminimal mungkin.
Kegiatan belajar yang diarahkan oleh siswa, seiring dengan perencanaan
pendidikan yang bersifat persekutuan (kolaboratif) antara guru dengan para siswa,
adalah kegiatan belajar yang lebih baik ketimbang yang ditentukan dan diarahkan
oleh guru.
Sang guru mesti dipandang sebagai pengorganisir dan penuntun kegiatan-kegiatan
dan pengalaman-pengalaman belajar. Ujian yang didasarkan pada peragaan aktif
(simulasi) yang bersifat praktis di kelas dalam situasi-situasi yang mirip dengan
kehidupan cenderung lebih baik ketimbang ujian biasa lewat kertas dan pensil.
Persaingan antar pribadi serta penjenjangan atau penyusunan peringkat nilai siswa
harus diminimalisir dan/atau dilenyapkan sama sekali karena yang seperti itu
menyuburkan sikap-sikap buruk dan melemahkan motivasi diri siswa.
Penekanan mesti diletakkan pada yang bersifat afektif (motivasi), yang
membentuk dasar bagi yang kognitif; landasan-landasan inderawi, daya tangkap
dan motorik-emosional juga penting artinya bagi kegiatan belajar.
Penekanan mesti diletakkan pada penyesuaian prinsip-prinsip dan praktik-praktik
yang ada sekarang dengan yang lebih baik. Bimbingan dan penyuluhan personal
serta terapi kejiwaan adalah aspek pusat persekolahan yang normal, sebab
keduanya menjamin kondisi-kondisi/syarat-syarat emosional yang diperlukan bagi
berlangsungnya kegiatan belajar yang efektif.
 Kendali Ruang Kelas
Para siswa harus dianggap bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka
sendiri dalam arti seketika, namun haruslah diakui bahwa pertanggungjawaban
siswa pada puncaknya tidak dapat dituntut dalam ranah konsep tradisional apapun
tentang ‘kehendak bebas’
51

Para guru secara umum harus bersifat demokratis dan objektif dalam menentukan
tolok ukur tingkah laku; ia harus meminta nasihat/usulan dan persetujuan siswa
dalam memapankan aturan-aturan tentang perilaku di dalam kelas.
Lantaran tindakan bermoral pada puncaknya adalah tindakan paling cerdas yang
tersedia dalam situasi khusus yang manapun juga, maka pendidikan moral
(pelatihan watak) pastilah merupakan keluaran sampingan dari tindakan guru
membantu siswa untuk mengembangkan kemampuannya untuk memecahkan
masalah secara efektif.
5. Liberasionisme Pendidikan
Liberasionisme adalah sebuah sudut pandang yang menganggap bahwa kita mesti
segera melakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan politik yang ada
sekarang, sebagai cara untuk memajukan kebebasan-kebebasan individu dan
mempromosikan perujudan potensi-potensi diri semaksimal mungkin. Liberasionisme
pendidikan mencakup sebuah spektrum pandangan yang luas, yang merentang dan
liberasionisme pembaharuan yang relatif bersifat konservatif, yang diajukan
dipertengahan 1960-an dalam berbagai protes menuntut hak-hak warga negara, ke
komitmen yang kuat dan mendesak terhadap liberasionisme revolusioner (seringkali
Marxis) dengan seruannya agar sistem pendidikan segera mengambil peran aktif dalam
menggulingkan tatanan politik yang ada sekarang.
Bagi pendidik liberasionis, sekolah haruslah bersifat obyektif (rasional-ilmiah),
namun tidak sentral. Sekolah memiliki fungsi ideologis: ia ada bukan hanya untuk
mengajarkan kepada siswa bagaimanakah cara berpikir yang efektif (secara rasional dan
ilmiah), melainkan juga untuk membantu siswa mengenai kebijaksanaan tertinggi yang
ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paling meyakinkan,
yang tersedia sehubungan dengan berbagai problema manusia yang terpenting. Dengan
kata lain, liberasionisme pendidikan dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang
terbuka, namun ia mencakup komitmen tertentu terhadap rangkaian tindakan apa pun
yang didukung oleh kesepakatan yang sarat pengetahuan dan bersifat obyektif dalam
komunitas intelektual di suatu saat tertentu. Pada puncaknya, liberasionisme pendidikan
adalah sebuah orientasi ‘berpusat pada problem atau tatacara’. Namun ia juga meliputi
komitmen kedua yang kuat terhadap jawaban-jawaban terbaik yang dibuat oleh
52

kecerdasan yang terlatih. Ia memandang bahwa sekolah secara moral berkewajiban untuk
mengenali dan mempromosikan program-program sosial konstruktif dan bukan hanya
melatih pikiran siswa. Sekolah pun harus memajukan pola tindakan yang paling
meyakinkan yang didukung oleh sebuah analisis obyektif berdasarkan fakta-fakta yang
ada.
Ideologi dasar liberasionisme pendidikan adalah sebagai berikut.
 Tujuan Pendidikan secara Menyeluruh
Tujuan utama pendidikan adalah untuk mendorong pembaharuan-pembaharuan
sosial yang perlu, dengan cara memaksimalkan kemerdekaan personal di dalam
sekolah, serta dengan cara membela kondisi-kondisi yang lebih manusiawi dan
memanusiakan di dalam masyarakat scara umum.
 Sasaran-sasaran Sekolah
Sekolah ada lantaran tiga alasan utama:
1) Untuk membantu para siswa mengenali dan menanggapi kebutuhan akan
pembaharuan/perombakan sosial
2) Untuk menyediakan informasi dan keterampilan-keterampilan yang
diperlukan siswa supaya bisa belajar secara efektif bagi dirinya sendiri.
3) Untuk mengajar para siswa tentang bagaimana caranya memecahkan
masalah-masalah praktis melalui penerapan teknik-teknik penyelesaian
masalah secara individual maupun kelompok yang didasari oleh metode-
metode ilmiah-rasional.
 Ciri-ciri Umum Libersionisme Pendidikan
1) Menganggap bahwa pengetahuan adalah alat yang diperlukan untuk
melakukan pembaharuan/perombakan sosial.
2) Menekankan manusia sebagai sebentuk keluaran budaya, budaya merupakan
penentu-sosial kedirian.
3) Menekankan analitis objektif (ilmiah-rasional) serta evaluasi/penilaian
terhadap kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik sosial yang ada.
4) Menganggap pendidikan sebagai perujudan yang paling utuh dari potensi-
potensi khas tiap orang sebagai mahluk manusia.
53

5) Memusatkan perhatian kepada kondisi-kondisi sosial yang menghalang-


halangi perujudan paling penuh dari potensi-potensi individu, menekankan
masa depan (yakni, perubahan-perubahan dalam sistem yang ada sekarang,
yang perlu untuk mendirikan masyarakat yang lebih manusiawi dan
memanusiakan).
6) Menekankan perubahan-perubahan ruang lingkup besar yang segera harus
dilakukan di dalam masyarakat yang ada sekarang, menekankan perubahan-
perubahan penting yang akan mempengaruhi sifat-sifat hakiki dan
pelaksanaan sistem sosial yang mapan.
7) Didasarkan pada sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka
(pembuktian pengetahuan secara ilmiah-rasional) dan/atau prakiraan-
prakiraan yang sesuai dengan sistem penyelidikan semacam itu.
8) Didirikan di atas landasan prakiraan-prakiraan Marxis atau Marxis baru
tentang seluruh kesadaran personal yang ditentukan oleh faktor sosial-
ekonomis
9) Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi ada di tangan mereka
yang memahami konsekuensi-konsekuensi patologis (bersifat
merusak/berpenyakit) dari kapitalisme kontemporer dan segenap sikap sosial
yang dihubungkan dengannya.
 Anak-anak Sebagai Pebelajar
Anak-anak condong untuk menjadi baik (yakni, ke arah tindakan yang efektif
dan tercerahkan) jika diasuh dalam sebuah masyarakat yang baik (yakni bersifat
rasional dan berkemanusiaan)
Perbedaan-perbedaan individual lebih penting ketimbang kesamaan-kesamaan
individual, dan perbedaan-perbedaan itu bersifat menentukan dalam penetapan
program-program pendidikan.
Anak-anak secara moral setara dan mereka mesti mendapatkan kesempatan yang
setara untuk berjuang demi ganjaran-ganjaran sosial dan intelektual yang lebih
luas, lebih mudah diakses, dan dibagikan secara lebih adil/merata.
54

Kedirian (kepribadian) tumbuh dari pengkondisian sosial, dan dari yang bersifat
sosial ini menjadi landasan bagi penentuan ‘diri’ lanjutan, anak hanya bebas di
dalam konteks determinisme sosial dan psikologis.
 Administrasi dan Pengendalian
Wewenang pendidikan mesti ditanamkan di tangan minoritas yang tercerahkan,
yang terdiri atas para intelektual yang bertanggung-jawab, yang sepenuhnya
sadar akan kebutuhan objektif bagi perubahan-perubahan sosial yang
konstruktif, dan yang mampu menanamkan perubahan-perubahan semacam itu
melalui sekolah-sekolah.
Wewenang guru mesti terutama didasari ketajaman intelektualnya serta
kesadaran sosialnya yang tercerahkan.
 Sifat-sifat Hakiki Kurikulum
1) Sekolah harus menekankan pembaharuan/perombakan sosio-ekonomis
2) Sekolah mesti memusatkan perhatian pada pemahaman diri serta tindakan
sosial sekaligus.
3) Penekanan mesti diletakkan pada tindakan yang cerdas dalam mengejar
keadilan sosial.
4) Mata pelajaran harus bersifat pilihan dalam batas-batas penentuan yang
umum.
5) Penekanan harus diletakkan pada penerapan praktis dari yang sifatnya
intelektual (praksis) melebihi apa yang secara sempit bersifat praktis ataupun
akademis.
6) Sekolah mesti menekankan problema-problema sosial yang kontroversial,
menekankan pengenalan dan analisis terhadap nilai-nilai dan prakiraan-
prakiraan dasar yang menggarisbawahi isu-isu sosial, dan memperagakan
kepedulian khusus terhadap penerapan apa yang dipelajari di dalam ruang
kelas kepada kegiatan-kegiatan yang punya arti penting secara sosial di luar
sekolah; sekolah mesti secara tipikal menampilkan pendekatan-pendekatan
antar-disiplin keilmuan yang berpusat pada problema, yang meliputi wilayah
kajian seperti filosofi, psikologi, kesusasteraan kontemporer, sejarah, dan
ilmu-ilmu behavioral dan sosial.
55

 Metode-metode Pengajaran serta Penilaian Hasil Belajar


Harus ada penekanan yang kurang lebih seimbang atau setara pada pemahaman
problema (pengenalan dan analisis terhadap problema-problema secara tepat)
serta pemecahan masalah.
Disiplin dan hapalan mungkin kadang-kadang perlu supaya bisa menguasai
sebuah keterampilan yang akan diperlukan demi manangani problema-problema
personal atau sosial yang penting secara efektif, namun kegiatan belajar pada
dasarnya adalah keluaran sampingan dari kegiatan yang bermakna, dan hapalan
harus diminimalisir dan/atau dihapus sama sekali jika mungkin.
Kegiatan belajar mengajar yang diarahkan oleh siswa dalam kerangka kerja
kurikulum yang ditentukan berdasarkan relevansi sosialnya adalah lebih
tinggi/lebih baik daripada belajar dengan ditentukan dan diarahkan oleh guru.
Sang guru dipandang sebagai panutan dalam hal komitmen intelektual serta
keterlibatan sosialnya.
Ujian yang didasarkan kepada perilaku para siswa yang tanpa
dilatih/dipesiapkan lebih dulu sebagai tanggapan atas persoalan-persoalan sosial
yang penting adalah lebih disukai ketimbang ujian yang dinilai berdasarkan tes-
tes biasa di ruang kelas.
Persaingan antarpribadi dan penyusunan peringkat nilai siswa secara tradisional
harus diminimalisir dan/atau dihapus sama sekali jika mungkin, sebab hal-hal
semacam itu menuntun siswa pada sikap-sikap buruk dan motivasi diri yang
merosot. Penekanan harus diletakkan pada perlunya lembaga-lembaga sosial
yang baru (termasuk lembaga pendidikan).
Bimbingan dan penyuluhan personal, serta terapi kejiwaan, sebagaimana ada di
luar sekolah di saat ini, umumnya berfungsi sebagai bentuk tersembunyi dari
kontrol sosial dan pelatihan penyesuaian diri anak, yang menghalangi kesadaran
anak akan kondisi-kondisi sosial yang melatarbelakanginya, yang melahirkan
problema-problema kejiwaan individual.
 Kendali di Ruang Kelas
Para siswa mesti dianggap bertanggungjawab atas tindakan-tindakan mereka
sendiri dalam arti seketika, namun mesti diakui bahwa pertanggungjawaban
56

siswa pada puncaknya tidak bisa dituntut dalam arti menurut konsep ‘kehendak
bebas’ tradisional.
Para guru harus bersifat demokratis dan objektif dalam menentukan tolok ukur
perilaku, dan tolok ukur semacam itu harus ditentukan secara bersama-sama
dengan para siswa, sebagai cara mengembangkan rasa tanggung-jawab moral
mereka.
Lantaran tindakan yang bermoral adalah tindakan yang paling cerdas, dalam
situasi apapun, maka peningkatan kecerdasan praktis adalah corak pendidikan
moral yang paling efektif. Di sisi lain, tindakan yang cerdas, sebagai sebuah
cita-cita atau corak ideal secara sosial yang dianjurkan, memerlukan adanya
masyarakat yang cerdas (yang objektif) di mana setiap orang diberi kesempatan
yang setara untuk membuat pilihan-pilihan tercerahkan berdasarkan
kesempatan-kesempatan pendidikan yang setara.

6. Anarkisme Pendidikan
Penganut anarkisme pada umumnya menerima sistem penyelidikan eksperimental
yang terbuka (pembuktian pengetahuan melalui penalaran ilmiah) sama halnya dengan
pendidik liberal dan liberasionis, atau menerima prakiraan-prakiraan yang dianggap
selaras dengan sistem pendidikan semacam itu. Perbedaannya terletak pada anggapan
pendidik anarkisme yang menganggap bahwa kita harus menekankan perlunya
meminimalkan dan atau menghapuskan pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap
perilaku personal, bahwa kita mesti, sejauh mungkin yang bisa kita lakukan
mendeinstitusinalisasikan masyarakat, membuat masyarakat bebas-lembaga. Bagi
mereka, pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang mengupayakan
untuk mempercepat perombakan humanistik berskala besar yang mendesak dalam
masyarakat, dengan cara menghapuskan sistem persekolahan. Pemikiran-pemikiran
semacam ini terpancar dalam pemikiran-pemikiran Ivan Illich dan Paul Goodman. Sudut
pandang anarkisme pendidikan meliputi berbagai posisi yang merentang dari anarkisme
taktis, yang ingin melebur sekolah-sekolah sebagai cara untuk membebaskan kekayaan
dan sumberdaya (yang terpakai di sana) untuk keperluan-keperluan sosial yang
57

mendesak, hingga ke anarkisme utopis, yang memimpikan terciptanya masyarakat yang


secara permanen terbebaskan dari segala pembatasan kelembagaan.
Dalam hal ini, ideologi dasar anarkisme pendidikan adalah:
 Tujuan Pendidikan Secara Keseluruhan
Tujuan utama pendidikan adalah untuk membawa pembaharuan/perombakan
berskala besar dan segera, di dalam masyarakat, dengan cara menghilangkan
persekolahan wajib.
 Tujuan-tujuan Sekolah
Sistem persekolahan formal yang ada sekarang harus dihapuskan sepenuhnya dan
digantikan dengan sebuah pola belajar sukarela serta mengarahkan diri sendiri;
akses yang bebas dan universal ke bahan-bahan pendidikan serta kesematan-
kesempatan belajar mesti disediakan, namun tanpa sistem pengajaran wajib.
 Ciri-ciri umum Anarkisme Pendidikan
1) Menganggap bahwa pengetahuan adalah sebuah keluaran-sampingan (by-
product) alamiah dari kehidupan sehari-hari.
2) Menganggap kepribadian individual sebagai sebuah nilai yang melampaui
tuntutan-tuntutan masyarakat manapun.
3) Menekankan pilihan bebas dan penentuan nasib sendiri dalam sebuah latar
belakang sosial yang waras dan humanistik (berorientasi pada pribadi).
4) Menganggap pendidikan sebagai sebuah fungsi alamiah dari kehidupan sehari-
hari di dalam lingkungan sosial yang rasional dan produktif.
5) Memuaskan perhatian kepada perkembangan sebuah ‘masyarakat pendidikan’
yang melenyapkan atau secara radikal meminimalisir keperluan akan adanya
sekolah-sekolah formal, juga seluruh kekangan terlembaga lainnya atau
perilaku personal. Menekankan masa depan paska-kesejarahan (posthistorical)
di mana orang akan mampu berfungsi sebagai mahluk-mahluk bermoral yang
mengatur diri sendiri.
6) Menekankan perubahan berkelanjutan serta pembaharuan diri di dalam sebauh
masyarakat yang secara lahir kembali, menekankan kebutuhan untuk
meminimalkan dan/ atau mengenyahkan kekangan-kekangan terlembaga atas
perilaku personal (deinstitusionalisasi).
58

7) Didasarkan pada sebauh sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka


(pembuktian pengetahuan secara ilmiah-rasional) dan/ atau berlandaskan
prakiraan-prakiraan yang sesuai dengan sistem penyelidikan semacam itu.
8) Berdiri di atas prakiraan-prakiraan anarkistis atau semu-anarkistis mengenai
bisa disempurnakannya moral manusia di bawah kondisi-kondisi sosial yang
paling puncak.
9) Menganggap bahwa wewenang intelektual secara tepat ada di tangan mereka
yang secara tepat telah mendiagnosis konflik dasar yang ada antara keperluan-
keperluan individual dengan tuntutan-tuntutan negara.
 Anak sebagai Pebelajar
Anak-anak cenderung menjadi baik (yakni, menginginkan tindakan yang efektif
dan tercerahkan) ketika anak-anak itu diasuh dalam sebuah masyarakat yang baik
(yakni rasional dan berkemanusiaan).
Perbedaan-perbedaan antar-individu bergerak menentang kebijaksanaan
meresepkan pengalaman-pengalaman pendidikan yang sama atau serupa bagi
setiap orang.
Anak-anak secara moral setara, dan mereka mesti mendapatkan kesempatan-
kesempatan untuk belajar apapun yang mereka pilih sendiri, demi memperoleh
tujuan apapun yang mereka anggap layak dikejar.
Kedirian (kepribadian) tumbuh dari pengkondisian sosial, dan diri yang bersifat
sosial ini menjadi landasan bagi seluruh penentuan ‘diri’ selanjutnya. Anak bebas
hanya dalam konteks determinisme sosial dan psikologis. Masyarakat dan negara
tidaklah sama artinya (tidak sinonim). Masyarakat adalah perlu bagi pemenuhan
diri. Tetapi negara menghalangi perujudan sepenuhnya masyarakat tersebut.
 Administrasi dan Pengendalian
Wewenang pendidikan mesti dikembalikan kepada rakyat dengan mengizinkan
setiap orang untuk mengendalikan hakikat dan pelaksanaan perkembangan dirinya
sendiri. Tidak perlu ada wewenang khusus yang diberikan pada guru sebagai guru
 Sifat-sifat Hakikat Kurikulum
1) Sekolah harus dihapuskan demi memperbesar pilihan personal yang bebas.
59

2) Pendidikan tidak sama dengan persekolahan; satu-satunya kegiatan belajar


yang sebenarnya hanyalah belajar yang ditentukan sendiri; dan ini hanya bisa
berlangsung secara efektif di dalam sebuah masyarakat yang ‘tanpa sekolah’
3) Penekanan harus diletakkan pada pemungkinan tiap individu untuk
menentukan tujuan-tujuan belajarnya sendiri.
4) Di dalam tuntutan-tuntutan yang dikenakan oleh sistem keberadaan sosial
manapun (yang mengisyaratkan perlunya pengalaman-pengalaman sosial
tertentu dan dengan demikian juga kegiatan belajar bersama/umum), seluruh
kegiatan belajar harus ditentukan sendiri oleh yang belajar.
5) Penekanan harus diletakkan pada apa yang relevan secara personal dengan
mengorbankan pembedaan tradisional antara apa yang akademis, yang
intelektual, dan yang praktis.
6) Setiap orang harus bebas untuk menentukan hakikat dan sejauhmana ia akan
belajar.
 Metode-metode Pengajaran dan Penilaian Hasil belajar
a) Siswa secara individual mesti menjadi penentu metode-metode pengajaran
mana yang paling sesuai dengan tujuan-tujuan dan rancangan-rancangan
pendidikannya sendiri.
b) Nilai disiplin dan hapalan serta lain-lainnya yang berkaitan dengan itu harus
diberikan menjadi ‘rahasia’ orang yang belajar itu sendiri; mereka yang
menghendaki pendekatan-pendekatan direktif atau otoritarian terhadap
kegiatan belajar mesti bebas untuk memilih pendekatan seperti itu dengan
dasar individual.
c) Peran-peran tradisional guru dan siswa yang diterapkan oleh lembaga harus
dihapuskan.
d) Guru adalah sebuah aspek yang bisa dihapus/dibuang (atau paling banter;
menjadi sebuah pilihan saja) dari proses pendidikan.
e) Penilaian/evaluasi yang terbaik adalah penilaian diri sendiri, yang harus
difungsikan hampir secara eksklusif untuk tujuan persaingan diri.
f) Secara alamiah manusia bersifat sosial dan mau bekerjasama. Dan sejalan
dengan itu, kegiatan belajar harus menekankan kerjasama meminimalkan
60

persaingan antarpribadi demi ganjaran-ganjaran. Lantaran individu secara


alamiah bersifat mengujudkan diri, maka ia secara intrinsik memiliki
persaingan-diri (bersaing dengan dirinya sendiri), serta tidak memerlukan
dorongan dari luar untuk belajar.
g) Pembedaan tradisional antara yang kognitif, afektif, dan interpersonal adalah
pembedaan palsu/artifisial dan tidak produktif dalam memandang proses
belajar yang sebenarnya bersifat total serta organis.
h) Bisa dikatakan bahwa seluruh lembaga sosial yang berkelanjutan dan
melestarikan diri sendiri (seperti sekolah-sekolah) harus dimusnahkan
seluruhnya.
i) Bimbingan dan penyuluhan individual, serta terapi kejiwaan, sebagaimana itu
dilaksanakan melalui sekolah-sekolah, hanyalah satu bagian dari sistem
pembatasan sosial yang dalam kenyataan menyebabkan timbulnya berbagai
problema kejiwaan yang mereka pura-pura sembuhkan.
 Kendali di ruang Kelas
Anak-anak haruslah secara fundamental menentukan diri sendiri, dan gagasan-
gagasan bahwa anak-anak sama dengan/sinonim dengan murid-murid adalah
pelanggaran tersirat atas anggapan ini. Hakikat serta isi pengalaman-pengalaman
sekolah (jika ada) harus ditentukan oleh individu-individu yang terlibat, dan tidak
didiktekan oleh agen-agen dari luar.
Hanya peran-peran tingkah laku yang tergantung situasi (situasional), yang
diperoleh melalui kerjasama antara seluruh peserta dalam kondisi-kondisi yang
ada, yang bisa diterima. Aturan-aturan umum yang diterapkan atas situasi-situasi
tertentu tidaklah terkait secara organis dengan tuntutan-tuntutan situasi-situasi itu;
dan dengan demikian salah dalam menampilkan jenis kendali yang dalam
kenyataan mungkin diperlukan.
Tindakan moral tak pelak lagi merupakan keluaran-sampingan dari kehidupan
moral dalam sebuah masyarakat moral. Sekolah-sekolah hanya memainkan satu
peranan insidental dalam menentukan tingkah laku bermoral.
61

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, maka penyusun menyimpulkan beberapa hal sebagai

berikut:

1. Filsafat pendidikan adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhdapa

kehidupan dan alam yang biasanya diteruma secara tidak kritis. Definisi ini

merupakan arti yang informal tentang filsafat. Filsafat fianggap sebagai sikap

atau kepercayaan yang ia miliki.

2. Filsafat pendidikan didefinisikan sebagai suatu pendekatan dalam memahamii

dan memecahkan persoalan-persoalan yang mendasar dalam pendidikan,

seperti dalam menentukan tujuan pendidikan, kurikulum, metode

pembelajaran, manusia, masyarakat, dan kebudayaan yang tidak dapat

dipisahkan dari dunia pendidikan itu sendiri.

3. Dalam perkembangannya filsafat pendidikan dibagi menjadi beberapa aliran

yakni berupa Rasionalisme, Konservatisme, Liberalisme, Liberasionisme, dan

Anarkisme.

B. Saran

Dari kesimpulan di atas, maka penyusun menyarankan beberapa hal sebagai

berikut:

1. Pentingnya meningkatkan pemahaman tentang pendidikan, filsafat dan

filsafat pendidikan sebelum melangkah labih jauh tentang proses pendidikan


62

utamanya seorang guru yang nantinya menjadi guru di sekolah dimana berada

sebagai acuan guna mendapat metode dan teknik yang lebih baik.

2. Perlunya mempelajari Filsafat Pendidikan dalam menyusun kurikulum,

metode pembelajaran dan teknik pembelajaran dan lainnya sebagai acuan dan

historisasi pembelajaran
63

DAFTAR PUSTAKA

Jalal, Fasli & Dedi Supriadi. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi
Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa

O’neil, William F. 2001. Ideologi-Ideologi Pendidikan, Alih Bahasa: Omi Intan Naomi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sidi, Indra Djati, 2001. Menuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru
Pendidikan. Jakarta: Paramadina.

Thut, I.N & Don Adams, 2005. Pola-Pola Pendidikan Dalam Masyarakat Kontemporer.
Penerjemah: SPA Teamwork. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tilaar, H.A.R. 1997. Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Era Globalisasi Visi,
Misi, dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020. Jakarta: PT.
Grasindo

-------,2002. Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R.
Tilaar, M.Sc.Ed. Jakarta: PT. Grasindo
Tirtahardja, Umar & Lasulo. 1994. Pengantar Pendidikan, Jakarta: Proyek Pembinaan
Tenaga Kependidikan Dirjen Dikti Depdikbud.

Widodo, Sembodo Ardi, 2007. Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam. Jakarta: PT.
Nimas Multima

You might also like