You are on page 1of 11

1.

Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kedua setelah Brazil yang memiliki
keanekaragaman hayati terbesar. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara
kepulauan yang dilalui oleh garis khatulistiwa, sehingga memiliki iklim tropis.
Beragam ekosistem ada di Indonesia, salah satunya ekosistem gambut atau
dikenal dengan Black water ecosystem.
Kawasan Asia Tenggara memiliki luas areal gambut mencapai lebih dari
25 juta ha atau 69 % dari lahan gambut tropis di Dunia (Asean and Global
Environment Centre). Secara Nasional, luas lahan gambut lebih dari 20,6 juta ha.
Indonesia merupakan negara yang memiliki lahan gambut tropika terbesar di
dunia. Walaupun tidak seluruh lahan ini bisa dikembangkan, tetapi diperkirakan
masih mungkin untuk dimanfaatkan seluas 5,6 juta ha.
Lahan gambut merupakan salah satu tipe lahan basah yang unik.
Sayangnya walaupun memiliki potensi besar dalam mendukung kehidupan
manusia dan kestabilan iklim global, lahan gambut seringkali dianggap dan
diposisikan sebagai lahan marjinal dan kurang berguna, karena miskin akan unsur
hara. Penilaian tersebut tidak sepenuhnya benar, karena para ahli dapat
menunjukkan bahwa gambut juga ternyata memiliki fungsi dan manfaat lain yang
nilainya dalam jangka panjang memiliki keuntungan yang diperoleh dari kegiatan
pertanian. Bahkan, gambut juga sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan
pertanian jika saja dilaksanakan dengan prinsip-prinsip ekologi yang benar serta
sejalan dengan karakteristik gambut itu sendiri.
Ekosistem tanah gambut merupakan ekosistem yang unik. Kawasan ini
memiliki karakteristik yang berbeda dengan ekosistem lain baik secara fisik
maupun kimianya. Hal ini memungkinkan bahwa ekosistem ini dihuni oleh
spesies-spesies endemik, baik tumbuhan maupun hewan.

2. Gambaran umum
Gambut menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tanah yang lunak
dan basah terdiri atas lumut dan bahan tanaman lain yang membusuk (biasanya
terbentuk di daerah rawa atau danau yang dangkal). Tanah ini merupakan tanah
yang mudah terbakar, menghasilkan lebih banyak asap dan emisi karbon
dibandingkan dengan jenis tanah yang lain. Lahan gambut yang telah mengering
akan mengalami pelepasan senyawa oksidasi FeS (pirit) yang bersifat racun.
Menurut Polak (1952), tanah gambut merupakan tanah yang memiliki
kandungan bahan organik lebih dari 65% hingga kedalaman satu meter atau lebih.
Sedangkan berdasarkan klasifikasi taksonomi komprehensif (USDA 1975), tanah
gambut merupakan tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari 30%
dengan ketebalan kumulatif 40 cm atau lebih. Bahan organik ini terdiri atas
akumulasi sisa-sisa vegetasi yang telah mengalami humifikasi namun belum
mengalami mineralisasi. Gambut akan terbentuk jika humifikasi lebih besar
daripada mineralisasi (Darmawijaya 1997).
Secara keseluruhan, lahan gambut dikelompokkan menjadi dua kelompok
besar, lahan gambut tropika, dan lahan gambut temperate. Bahan pembentuk
gambut tropika umumnya berasal dari pohon-pohon berkayu yang memiliki kadar
lignin yang tinggi, sementara gambut di negara-negara temperate terbentuk dari
bahan yang lebih halus berupa rumput dan lumut yang memiliki kadar kandungan
selulosa dan hemiselulosa yang lebih tinggi. Adanya perbedaan bahan pembentuk
menyebabkan adanya perbedaan tingkat kandungan unsur hara, yang kemudian
berpengaruh terhadap tingkat kesuburannya. Gambut tropika cenderung kurang
subur dibandingkan gambut temperate karena kandungan lignin yang lebih tinggi.
Berdasarkan taksonomi tanah komprehensif USDA tahun 1975, tanah
gambut termasuk dalam ordo tanah histosol (berasal dari bahasa Yunani histos =
jaringan, tanah yang kaya akan bahan organik yang terdekomposisi sebagian).
Ordo histosol memiliki empat subordo, yaitu fibrist, folist, hemist, dan saprist
(FitzPatrick 1980).
Histosol fibrist merupakan tanah gambut (organik) yang sangat sedikit
atau baru mulai terdekomposisi. Tanah ini tersusun atas beragaman vegetasi. Jenis
ini cenderung memiliki kerapatan dan kandungan endapan yang rendah serta
memiliki kapasitas menahan air yang tinggi. Histosol folist merupakan tanah
organik yang tergenang dan sudah mulai terdekomposisi. Histosol hemist
merupakan tanah organik yang sudah mengalami dekomposisi sebagian.
Sedangkan histosol saprist merupakan tanah organik yang telah mengalami
dekomposisi sempurna. Tanah ini memiliki kerapatan yang relatif tinggi dan
memiliki kapasitas menahan air yang rendah. Histosol jenis fibrist dan hemist
akan melapuk menjadi saprist jika digenangi air.
Tanah jenis histosol (gambut) terletak pada horison H pada formasi tanah.
Horison H merupakan daerah yang terdiri dari bahan-bahan organik yang
dideposit ke atas permukaan. Jika tanah terus tergenang secara terus-menerus,
maka horison ini akan ada dalam kondisi anaerob (Buringh 1979).

Gambar 1 Profil Tanah Histosol (sumber www.nscss.org)

Gambut terbentuk dari akumulasi bahan organik yang berasal dari sisa-sisa
jaringan vegetasi alami pada masa lampau. Bahan organik tersebut tidak
sempurna terdekomposisi dikarenakan kondisi hutan rawa gambut yang selalu
digenangi oleh air. Ini disebabkan oleh sifat fisik tanah gambut yang berfungsi
sebagai spons yaitu menyerap air secara vertikal. Pada situasi yang anaerob bahan
organik yang tertimbun sulit untuk terdekomposisi karena bakteri pembusuk
tidak dapat hidup pada situasi yang tidak terdapat oksigen.
Tahapan pembentukan gambut (histosol) seperti terlihat pada Gambar 2.
Awalnya terdapat genangan air menyerupai danau atau kolam di suatu tempat.
Pada dasar kolam tersebut terjadi akumulasi senyawa organik dari tanaman-
tanaman yang tumbuh di kolam atau sekitar kolam tersebut. Semakin lama,
akumulasi bahan organik semakin tebal. Sehingga pada akhirnya membentuk
seperti kubah yang kemudian diatasnya tumbuh berbagai macam vegetasi.
Gambar2 Pembentukan Formasi Histosol (FitzPatrick
1980)
Faktor pembentukan gambut di Indonesia, menurut Darmawijaya (1997)
yang diacu dari Polak (1941) dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu gambut
ombrogen, gambut topogen, dan gambut pegunungan. Gambut ombrogen
merupakan gambut yang terbentuk karena pengaruh curah hujan yang airnya
tergenang. Gambut ini terbentuk dari sisa-sisa hutan yang membusuk menjadi
massa berwarna coklat berkerangka dahan dan batang dalam genangan air. Bahan
gambut bersifat sangat asam dengan pH 3,0 - 4,5. Biasanya gambut ombrogen
terjadi di daerah beriklim samudra dengan curah hujan tinggi sepanjang tahun,
tanpa perbedaan musim yang mencolok. Di Indonesia, gambut ini meliputi hampir
seperlima Sumatra, meluas sepanjang pantai Malaya, Kalimantan, dan Papua.
Ketebalan gambut ombrogen antara 0,5 sampai 16 meter.
Gambut topogen adalah gambut yang terbentuk dalam depresi topografik
di daerah rawa, baik dataran rendah maupun dataran tinggi. Vegetasi utama dari
gambut topogen adalah jenis rumput, paku, semak belukar, hingga pohon. Di
Indonesia, gambut topogen meluas di Rawa Lakbok, Pangandaran, Rawa Pening,
Jatiroto, Tanah Payau Deli, dan danau-danau di Kalimantan Selatan.
Gambut pegunungan merupakan gambut yang terbentuk karena depresi
atau plateu di puncak pegunungan api yang sudah mati yang tidak menjadi telaga,
namun hanya menjadi rawa-rawa. Diperlukan temperatur yang rendah dan udara
yang lembab untuk terbentuknya gambut jenis ini. Di Indonesia, gambut
pegunungan terdapat di plateu Dieng.
Menurut Soepardi (1983) yang diacu dari Buckman & Brady (1982),
berdasarkan batuan induk tanpa melihat tingkat dekomposisinya, gambut
diklasifikasikan ke dalam tiga kategori. Antara lain gambut endapan, gambut
berserat, dan gambut kayuan. Gambut endapan biasanya diakumulasikan di
perairan dalam dan biasanya pada lapisan bawah dari suatu profil organik dan
dibentuk dari bahan tanaman yang mudah dihumifikasi. Gambut jenis ini bersifat
sangat koloidal, padat namun elastis, dan kelembabannya tinggi (empat sampai
lima kali bobot keringnya) sehingga sangat sulit mengering. Gambut endapan ini
tidak baik untuk ditanami. Namun karena letaknya di bagian bawah profil
organik, hal ini tidak begitu berpengaruh.
Gambut berserat dominan oleh rumput-rumputan, Sphagnum, Hypnum,
Latifolia, Angustifolia, dan sebagainya. Gambut jenis ini mempunyai kapasitas
menahan air yang sangat tinggi. Berbeda dengan gambut endapan yang terletak di
bawah profil organik, gambut berserat biasanya terletak di atas permukaan
akumulasi organik.
Gambut kayuan ditemukan di atas permukaan akumulasi organik. Bila
dalam keadaan basah, gambut jenis ini berwarna coklat atau hitam bergantung
dari tingkat dekomposisinya. Kapasitas menahan air dari gambut berkayu lebih
rendah dari gambut berserat. Gambut berkayu didominasi oleh vegetasi dari
habitus pohon-pohonan yang umumnya homogen dan tumbuhan-tumbuhan
bawahnya.
Berdasarkan tingkat kesuburan alami, gambut dibagi dalam 3 kelompok
yakni eutrofik (kandungan mineral tinggi, reaksi gambut netral atau alkalin),
oligotrofik (kandungan mineral, terutama Ca rendah dan reaksi masam) dan
mesotrofik ( terletak diantara keduanya dengan pH sekitar 5, kandungan basa
sedang). Berdasarkan ketebalannya, luas sebaran gambut dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu sebaran gambut dengan ketebalan antara 1-3 m, 3-5 m, dan 5-7 m.
Ketebalan gambut rata-rata ialah ketebalan antara dua isopah yang dibagi menjadi
tiga bagian yaitu dua meter, empat meter, dan enam meter.
Endapan organik (gambut setebal 1-7,6 m) terbentuk paling akhir pada
dataran banjir. Pada bagian atas terdapat endapan gambut yang disisipi oleh
bagian tumbuhan seperti ranting, daun, dan cabang yang telah membusuk yang
kita sebut humus. Kondisi ini merupakan gejala yang umum dari endapan gambut.
Pada bagian bawah endapan, unsur organik bercampur dengan unsur-unsur
anorganik yaitu lempung (peatclay). Endapan dasar gambut umumnya terdiri dari
lempung dan slit dengan kandungan partikel organik.
Secara umum sifat kimia tanah gambut didominasi oleh asam-asam
organik yang merupakan suatu hasil akumulasi sisa-sisa tanaman. Asam organik
yang dihasilkan selama proses dekomposisi tersebut merupakan bahan yang
bersifat toksik bagi tanaman, sehingga mengganggu proses metabolisme tanaman
yang akan berakibat langsung terhadap produktifitasnya. Sementara itu secara
fisik tanah gambut bersifat lebih berpori dibandingkan tanah mineral sehingga
hal ini akan mengakibatkan cepatnya pergerakan air pada gambut yang belum
terdekomposisi dengan sempurna sehingga jumlah air yang tersedia bagi tanaman
sangat terbatas. Air gambut memiliki pH berkisar antara 3,7-4,7. Hal tersebut
menyebabkan air gambut berwarna coklat tua sehingga sering kali disebut ”black
water”.
Distribusi lahan gambut dunia didominasi oleh benua Amerika, yaitu
sebesar 2.050.746 km2; disusul Asia sebesar 1.523.287 km2; Eropa sebesar
515.000 km2, Afrika sebesar 58.534 km2; dan terakhir Australia, Selandia Baru,
Antartika, dan Asia Pasifik sebesar 8.009 km2 (www.peatlandsni.gov.uk).

Gambar
3 Distribusi Lahan Gambut Dunia (www.peatlandsni.gov.uk)
Di Indonesia, penyebaran lahan gambut secara dominan terdapat di pantai
timur pulau Sumatra, pantai barat dan selatan Kalimantan, dan pantai selatan dan
utara pulau Papua (Gambar 4). Luas lahan rawa yang terdiri dari tanah gambut
dan tanah mineral (non-gambut) di Indonesia diperkirakan seluas 39,4 – 39,5 juta
hektar, yakni kurang lebih seperlima (19,8%) luas daratan Indonesia. Dari luasan
tersebut, tanah gambut terdapat sekitar 13,5 – 18,4 juta hektar atau rata-rata 16,1
juta hektar (Chotimah 2002).

Gambar 4 Distribusi Lahan Gambut di Indonesia (www.balittra.net)


Pemanfaatan gambut dan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha
yang berkaitan dengan pertanian berkembang cukup pesat. Berbagai tanaman
semusim dan tanaman tahunan dapat dibudidayakan pada lahan gambut tetapi
yang paling berhasil atau menunjukkan harapan adalah tanaman sayuran, tanaman
buah-buahan (seperti nanas, pepaya dan rambutan) dan tanaman perkebunan
(terutama kelapa, kelapa sawit, kopi dan karet) (Chotimah 2002).

3. Peran dan Potensi


a) Peran dan potensi positif
Secara ekologis, lahan gambut berperan penting dalam tata air kawasan
seperti spon penyerap kelebihan air di musim hujan sehingga dapat mencegah
banjir. Lahan jenis ini memiliki kemampuan menyerap air sangat tinggi, dibantu
oleh akar dari pepohonan di atasnya. Sementara itu, di musim kemarau air yang
dimilikinya akan terlepas secara perlahan. Lahan gambut juga berperan penting
bagi seisi alam dalam kapasitasnya sebagai penyimpan karbon. Gangguan fungsi
tersebut dapat menyebabkan lepasnya karbon ke atmosfer dan mendorong laju
perubahan iklim. Sekitar 5% dari seluruh karbon bumi diperkirakan termasuk
kawasan gambut tropis.
Lahan gambut dapat digunakan sebagai lahan pertanian basah, seperti
persawahan dan pertanian pasang surut. Lahan gambut dengan ketebalan kurang
dari dua meter dapat digunakan sebagai lahan pertanian kering, seperti
perkebunan karet dan kelapa sawit. Daerah bergambut dengan ketebalan antara 2-
7 m dapat dipergunakan untuk bahan bakar tenaga uap dan diharapkan dapat
dimanfaatkan untuk memenuhi pembangkit tenaga listrik lokal, yang selama ini
memakai bahan minyak solar.
Selain itu, air pada lahan gambut juga dapat diminum namun diperlukan
proses pengolahan terlebih dahulu. Salah satu caranya adalah dengan
menggunakan proses overdose bahan koagulan dengan menggunakan sistem dan
alat pengolahan air secara konvensional yang banyak digunakan pada instalasi air
minum.

b) Peran dan Potensi Negatif


Hutan-hutan rawa gambut dalam kondisi alamiahnya tidak akan mudah
terbakar. Lahan gambut menjadi mudah terbakar karena adanya kegiatan
penebangan liar, pembukaan lahan untuk pertanian, industri dan permukiman.
Pembuatan parit atau kanal juga merupakan kegiatan yang kerap merusak lahan
gambut. Aktivitas tadi berdampak pada pengeringan gambut, amblasnya lahan,
dan intrusi air laut. Pengeringan lahan gambut yang berlebihan menyebabkan
koloid gambut menjadi rusak dan terjadinya gejala kering tidak balik (irreversible
drying). Hal ini menyebabkan gambut berubah sifat seperti arang sehingga tidak
mampu lagi menyerap hara dan menahan air. Kondisi tersebut membuat lahan
gambut mudah terbakar di musim kemarau dan tidak dapat menampung air di
musim hujan.
Kebakaran lahan gambut mempunyai ciri tersendiri berbeda dengan
kebakaran di areal mineral. Kebakaran lahan gambut tidak berada di atas
permukaan yang pemadamannya relatif lebih mudah untuk dikelola. Meskipun
sumber pertama api tetap dari permukaan melalui sistem pembukaan lahan dengan
cara membakar namun penyebaran api pada lahan gambut berada di bawah
permukaan (ground fire). Api membakar bahan organik pembentuk gambut
melalui pori-pori gambut secara tidak menyala (smoldering) sehingga yang
terlihat kepermukaan hanya kumpulan asap putih. Dengan karekteristik ini maka
pemadaman api akan sangat sulit karena harus dilakukan dari dalam gambut itu
sendiri dan dari atas, karena penyebaran api di lahan gambut bisa secara
horizontal dan vertikal ke atas.
Walaupun dikatakan pembukaan lahan gambut dengan melakukan
pembakaran dapat dilakukan untuk membebaskan garam-garam yang dapat larut
dan menaikkan pH, sehingga mendekati netral, namun cara ini ternyata sangat
merugikan. Selain dapat menimbulkan kebakaran hutan yang akhirnya dapat
menimbulkan kabut asap, pembakaran lahan gambut menyebabkan reaksi gambut
yang kaya akan kapur menjadi alkalis, hilangnya gambut sehingga tanah bawah
tersembul ke permukaan atas, lapisan bahan organik yang subur hilang terbakar,
permukaan gambut menjadi rendah sehingga menyulitkan drainase, garam-garam
yang basah akibat pembakaran akan dilarutkan dan dihanyutkan oleh air hujan,
dan saat musim kemarau tingkat kandungan garam dalam air tanah akan sangat
tinggi sehingga menghambat pertumbuhan tanaman (Darmawijaya 1997).

4.Biodiversitas Lahan Gambut


Dari segi keanekaragaman hayati (biodiversitas) hutan-hutan rawa gambut
sangat penting. Lahan gambut dapat dimanfaatkan untuk ditanami tanaman yang
bersifat ekonomis seperti cabai, rotan, meranti, kayu putih (Melaleuca
leucadendra), jagung, kacang tanah, kedelai, kapur naga (Callophilium soulatri),
kempas (Koompassia malcencis), ketiau (Ganua motleyana), mentibu
(Dactyloclades stenostachys), nyatoh (Palaquium scholaris), rambutan hutan
(Nephelium sp.) anggrek, punak (Tertamerista glabra), perepat (Combretocarpus
rotundatus), pulai rawa (Alstonia pneumatophora), terentang (Campnosperma
spp.), bungur (Logerstroengia speciosa), belangeran (Shorea balangeran),
meranti rawa (Shorea pauciflora), rengas (Melanorrhaoea walichii), palem merah
(Cyrtoctachys lakka), ara hantu (Ploikilospermum suavalens), palas (Licuala
paludosa), kantong semar (Nephentes mirabilis), liran (Pholidocarpus
sumatranus), Flagellaria indica, akar elang (Uncaria schlerophylla), putat
(Barringtonia racemosa), rasau (Pandanus helicopus), Pandanus atrocarpus,
bakung (Hanguana malayana), Utricularia spp, jelutung (Dyera costulata),
jelutung rawa (Dyera lowii), ramin (Gonystylus bancanus), dan gembor
(Alseodaphne umbeliflora). Banyak dari jenis-jenis pohon tersebut sudah mulai
langka seperti ramin dan gembor karena tingginya eksploitasi terhadap kedua
jenis ini.
Kayu putih dapat tumbuh di tanah tandus, tahan panas dan dapat bertunas
kembali setelah terjadi kebakaran. Tanaman ini dapat ditemukan dari dataran
rendah sampai 400 m dpi., dapat tumbuh di dekat pantai di belakang hutan bakau,
di tanah berawa atau membentuk hutan kecil di tanah kering sampai basah. Ada
beberapa varietas pohon kayu putih. Ada yang kayunya berwarna merah, dan ada
yang kayunya berwarna putih. Rumphius membedakan kayu putih dalam varietas
daun besar dan varietas daun kecil. Varietas yang berdaun kecil, yang digunakan
untuk membuat minyak kayu putih. Daunnya, melalui proses penyulingan, akan
menghasilkan minyak atsiri yang disebut minyak kayu putih, yang warnanya
kekuning-kuningan sampai kehijau-hijauan. Perbanyakan dengan biji atau tunas
akar (www.iptek.net).
Ramin memiliki kayu teras berwarna putih sampai putih kekuningan,
tekstur halus dan rata, berat jenis 540-750 kg/m3 (pada kadar air 15%). Kayu
sangat sesuai untuk vencer dan plywood, berupa bahan bernilai tinggi untuk
konstruksi ringan dan berbagai penggunaan, di mana kayu yang putih dan bersih
diperlukan. Kayu digunakan untuk almari berdekorasi, furniture, hiasan interior,
panel dinding, lantai, mainan anak, bubut, tangkai sapu, gagang berkekuatan
ringan, korden model Venesia, bahan sambungan, penggaris, bingkai lukisan, dan
meja gambar. Penggunaan konstruksi ringan meliputi rangka pintu dan jendela,
moulding, langit-langit, dan dinding pemisah ruangan Penggunaan lain meliputi
papan, bejana, dan papan kapal (www.dephut.go.id). Gembor biasanya hanya
diambil kulitnya untuk dijadikan untuk bahan baku obat nyamuk bakar sedangkan
jelutung diambil lateksnya untuk dijadikan bahan-bahan industri, permen karet,
dan bahan-bahan kosmetik (www.indobiogen.or.id)
Sejumlah satwa langka seperti buaya senyulong dan harimau sumatra
menjadikan lahan gambut sebagai tempat berlindung. Berbagai jenis fauna seperti
mamalia, burung, dan ikan juga menghuni kawasan ini.
DAFTAR PUSTAKA

Buckman HO, Brady NC. 1982. Ilmu Tanah. Jakarta : Bhratara Karya Aksara.
Buringh P. Introduction to the Study of Soils in Tropical and Subtropical Regions.
New Delhi : Oxford & IBH Publishing Co.
Chotimah HENC. 2002. Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Tanaman Pertanian.
Makalah Pengantar Falsafah Sains. Bogor.
Darmawijaya MI. 1997. Klasifikasi Tanah. Yogyakarta : UGM Press.
FitzPatrick EA. Soils : Their Formation, Classification, and Distribution. New
York : Longman, Inc.
Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor : Departemen Ilmu Tanah Faperta
IPB.

You might also like