Berdasarkan Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas) Indonesia,
pada tahun 2005 terdapat 100 kabupaten rawan pangan yang tersebar di 23 propinsi, dengan rincian 30 kabupaten prioritas I, 30 kabupaten prioritas 2 dan 40 kabupaten prioritas 3. Kelompok rawan pangan prioritas 1,2 dan 3 menunjukkan kabupaten-kabupaten yang harus mendapatkan prioritas khusus dalam penanganan masalah kerawanan pangan. Sedangkan sisanya ( 165 kabupaten ) masuk dalam kelompok tahan pangan (prioritas 4,5 dan 6), dengan rincian 50 kabupaten prioritas 4, 50 kabupaten prioritas 5 dan 65 kabupaten prioritas 6. Dalam rangka penanganan kerawanan pangan dan kemiskinan tersebut dilaksanakan kegiatan Program Aksi Desa Mandiri Pangan, merupakan kegiatan yang dilaksanakan di Desa Rawan Pangan dengan fokus kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui 4 tahap, yaitu tahap persiapan, tahap penumbuhan, tahap pengembangan dan tahap kemandirian. Melalui Program Aksi Desa Mandiri Pangan diharapkan masyarakat desa rawan pangan akan kembali mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi, sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produktif setiap harinya. Upaya tersebut dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat untuk mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternative peluang dan pemecahan masalah serta mampu mengambil keputusan untuk memanfaatkan sumber daya alam secara efisien dan berkelanjutan, dan akhirnya tercapai kemandirian masyarakat. Tujuan Program Aksi Desa Mandiri Pangan adalah untuk meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi (mengurangi kerawanan pangan dan gizi) masyarakat melalui pendayagunaan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan. Sedangkan sasarannya adalah terwujudnya ketahanan pangan dan gizi tingkat desa yang ditandai dengan berkurangnya tingkat kerawanan pangan dan gizi. Dalam pelaksanaannya, Program Aksi Desa Mandiri Pangan akan difasilitasi dengan masukan antara lain: instruktur, pendamping dalam bidang manajemen kelompok dan usaha serta teknis, bantuan permodalan, sarana dan prasarana, tenaga kerja serta teknologi. Berbagai masukan tersebut akan digunakan untuk mendukung kegiatan- kegiatan yang akan dilaksanakan seperti pemberdayaan masyarakat (pendampingan, pelatihan, fasilitasi dan penguatan kelembagaan), harmonisasi system ketahanan pangan dan pengembangan keamanan pangan serta antisipasi maupun penanggulangan kerawanan pangan. Melalui berbagai kegiatan tersebut, diharapkan masyarakat desa mempunyai kemampuan dalam mengelola aspek ketersediaan dan distribusi pangan dengan gizi seimbang dan aman, dan mampu mengatasi masalah pangan serta mampu membentuk aliansi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melawan kelaparan dan kemiskinan, sehingga diharapkan dapat menurunkan kerawanan pangan dan gizi. Strategi yang digunakan dalam pelaksanaan program aksi mandiri pangan antara lain melalui : (a) penerapan prinsip pemberdayaan masyarakat, dengan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk menolong dirinya sendiri; (b) penguatan kelembagaan pedesaan dalam membangun ketahanan pangan dan gizi, peningkatan pendapatan, akses dan konsumsi pangan beragam dan bergizi seimbang, sanitasi lingkungan serta antisipasi situasi darurat; (c). optimalisasi pemanfaatan sumber daya dengan dukungan multi sektor dan multi disiplin; (d) sinergitas antar stakeholder yang diwujudkan melalui peningkatan kemampuan Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota dalam bekerjasama dengan stakeholder lain dan memfasilitasi Tim Pangan di tingkat desa. Pada tahun 2005 pelaksanaan Program Aksi Desa mandiri Pangan dilaksanakan di 9 propinsi sebagai pilot project, yaitu: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 2006, Pelaksanaan kegiatan Program Aksi Desa Mandiri Pangan (Proksi Mapan) merupakan tahap persiapan. Pelaksanaan kegiatan yang telah dilakukan oleh Pusat berupa sosialisasi Proksi Mapan kepada 30 propinsi, di Surabaya pada bulan April 2006. Selain itu telah dilaksanakan pelatihan penyusunan data base desa mandiri pangan di Surabaya dan Yogyakarta dengan instruktur dari Badan Pusat Statistik, Jakarta. Materi yang diberikan berupa survey pelaksanaan untuk penyusunan Data Dasar Rumahtangga (DDRT) untuk mengetahui jumlah rumah tangga miskin dan Survei Rumah Tangga (SRT) untuk mengetahui potensi. Kegiatan yang telah dilakukan identifikasi lokasi di 122 kabupaten di 30 propinsi. Masing-masing kabupaten ditetapkan 2 desa sebagai pelaksana Proksi Mapan, namun terdapat beberapa kabupaten lebih dari 2 desa. Identifikasi lokasi telah dilakukan oleh kabupaten pelaksana, sebanyak 250 desa (lokasi terlampir). Masing-masing desa terdiri dari 2 pendamping yang berasal dari aparat (penyuluh) dan non aparat (Perguruan Tinggi/Lembaga Swadaya Masyarakat). Tabel 1.11. Persentase Pelaksanaan Survei DDRT
Keterangan Jumlah Desa Persentase
Desa yang telah DDRT 191 76.40 Desa yang Belum 59 23.60 Total Desa 250 100
Untuk mendukung implementasi pelaksanaan kegiatan di lapangan
dilakukan pertemuan teknis yang terbagi dalam 6 region (Medan, Palembang, Kalimantan, Sulawesi, Bandung dan Surabaya). Peserta dalam pelatihan terdiri dari aparat propinsi dan kabupaten yang menangani Proksi Mapan, serta perwakilan tenaga pendamping. Materi yang disampaikan antara lain : Pengembangan Sistem Ketahanan Pangan, Program Aksi Desa Mandiri Pangan, Perencanaan Partisipatif, Rencana Pengembangan Kelompok, Rencana Pengembangan Desa, dan Monitoring dan Evaluasi. Lumbung di Desa Mandiri Pangan Departemen Pertanian mengembangkan 845 Desa Mandiri Pangan (DMP). Desa tersebut mendapatkan dana bantuan sosial (bansos) untuk mengembangkan lumbung pangan non komersial. Warga desa bisa meminjam pangan di lumbung desa tersebut. Ada tiga kegiatan yang bisa menggunakan dana bansos untuk Desa Mandiri Pangan. Pertama, jelas Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian Achmad Suryana. Desa Mandiri Pangan (DMP) adalah untuk simpan pinjam. Pinjaman yang didapatkan boleh untuk kegiatan apapun. Misalnya untuk pengobatan keluarga sakit, keperluan anak sekolah, maupun untuk mengembangkan pertanian di desa. Kedua, dana bansos tersebut bisa digunakan untuk kegiatan produktif usaha kecil/ pertanian. ”Ketiga, untuk pengembangan lumbung pangan masyarakat non komersial di desa,” tambah Achmad Suryana. Harapannya lumbung pangan desa itu bisa menciptakan kemandirian pangan masyarakat perdesaan. Masyarakat boleh pinjam pangan yang tersimpan di lumbung itu, bila ada paceklik atau tidak punya pangan. Karena meminjam, maka masyarakat harus mengembalikan setelah panen dengan tambahan yang disepakati. DESA MANDIRI PANGAN Riset “Kajian Pemodelan Desa Mandiri Pangan di Propinsi DIY” adalah kegiatan riset yang saat ini sedang dijalani oleh staf peneliti di PSPK UGM dengan bapak Prof Mochammad Maksum sebagai ketua timnya. Riset yang didanai dari dana DIPA UGM tahun Anggaran 2009 ini kegiatannya dimulai pada pertengahan bulan Maret 2009 saat ini telah memasuki tahap field work . Riset ini dilatarbelakangi oleh keadaan dimana pemerintah sedang menghadapi persoalan ekonomi termasuk persoalan ketahanan pangan. Meskipun pemerintah telah melakukan beberapa kebijakan yang mendukung ketahanan pangan seperti memperhatian pada dua unsur utama ketahanan pangan yaitu sisi permintaan dan sisi penawaran, mensosialisasikan keragaman pangan dan melakukan kampanye kepada masyarakat bahwa gizi seimbang merupakan tuntutan kebutuhan dasar, namun kondisi pangan pada tingkat rumah tangga dan komunitas belum bisa tercover karena adanya kebijakan-kebijakan tersebut di atas. Dari kondisi tersebut, memunculkan upaya pentingnya mengembangkan konsep Desa Mandiri pangan dengan latar belakang pemikiran bahwa desa merupakan unit pemerintahan yang paling dekat dengan kebutuhan rumah tangga. Lokasi yang diamati adalah desa yang mewakili karakteristik desa pesisir, desa lahan kering, desa dataran tinggi, desa hutan dan desa sawah. Selain data sekunder yang diperoleh dari revi ew berbagai kajian, sumber informasi utama yang relevan dengan studi ini diperoleh melalui data primer yang dikumpulkan pada field work melalui Rapid Rural Appraisal , wawancara mendalam dengan nara sumber, survai rumah tangga kepada 200 orang responden serta Participatory Rural Appraisal . Karakteristik Desa Datarang tinggi di Desa Wukirsari Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman menjadi lokasi pertama untuk diteliti. Setelah melakukan serangkaian persiapan lapangan pada awal bulan April ini, tim peneliti pada tanggal 20 April akan mulai melakukan survai dengan instrumen penelitian berupa kuisioner di desa tersebut. 1/4 Penelitian Program Peningkatan Ketahanan Ekonomi dan Pemahaman Terhadap Potensi Bencana Warga Masyarakat Korban Bencana Gempa di Klaten Selama 8 bulan kedepan yaitu sejak bulan April hingga bulan November 2009, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM bekerjasama dengan Yogya Central Java Community Assistance Program (YCAP) melakukan program pendampingan pada masyarakat korban bencana Gempa di Kabupaten Klaten. Program yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan ekonomi dan kesadaran terhadap potensi bencana warga masyarakat korban bencana gempa di daerah perdesaan tersebut akan dijabarkan dalam beberapa bentuk kegiatan, yaitu : Pertama, pembentukan lembaga keuangan mikro (LKM) di tingkat Rukun Warga (RW). Kegiatan ini akan akan dijabarkan dalam beberapa sub kegiatan antara lain fasilitasi pembentukan LKM, pembentukan pengurus LKM, penyusunan AD/ ART, pelatihan bagi pengurus LKM, penyediaan sarana penunjang, dan pengadaan modal LKM. Kegiatan ini dipilih atas dasar kenyataan bahwa hingga saat ini masih banyak warga masyarakat korban gempa yang belum mampu memulihkan sumber penghidupan mereka atau sudah mampu memulihkan sumber penghidupan mereka namun usaha tersebut belum mampu berkembang sesuai dengan harapan. Kendala utama yang dihadapi oleh warga masyarakat korban bencana gempa di daerah perdesaan untuk memulihkan kembali sumber penghidupan yang pernah ditekuni atau mengembangkan usaha yang ditekuni adalah keterbatasan modal usaha. Meskipun di sekitar mereka terdapat lembaga keuangan resmi (bank) yang memberikan fasilitas kredit, namun tidak semua warga masyarakat mampu untuk memanfaatkan fasilitas tersebut. Hal itu antara lain karena mereka tidak dapat memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh pihak bank. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka perlu adanya lembaga keuangan mikro (LKM) di desa yang mampu memberikan fasilitas kredit bagi warga masyarakat pedesaan secara cepat dan mudah. Pembentukan LKM di tingkat RW ini diharapkan akan dapat berjalan dengan lancar karena berdasarkan assesment yang telah dilakukan, sebagian besar RW di kedua desa calon penerima program telah memiliki pengalaman dalam melakukan pengelolaan dana bersama. Di setiap RW terdapat paguyuban RW yang memiliki kegiatan arisan dan simpan pinjam. Kedua, pendampingan usaha pengolahan makanan skala rumah tangga yang akan dijabarkan dalam beberapa sub kegiatan, yaitu pelatihan peningkatan kualitas produksi, penanganan pasca produksi, dan penguatan akses pasar. Kegiatan ini selain bertujuan untuk melanjutkan fasilitasi bagi para pengrajin rambak di desa Gesikan yang pada program YCAP I 2/4 Penelitian telah mendapat pendampingan untuk memulihkan usaha namun belum dapat berkembang secara maksimal akibat berbagai kendala yang masih dihadapi, juga bertujuan untuk memfasilitasi usaha pengolahan makanan skala rumah tangga di desa Ceporan yang juga telah bangkit dari keterpurukan akibat gempa namun belum dapat berkembang secara maksimal akibat berbagai kendala yang juga masih dihadapi. Beberapa usaha pengolahan makanan skala rumah tangga yang akan difasilitasi melalui program ini antara lain usaha pembuatan krupuk rambak, usaha pembuatan emping mlinjo, usaha pembuatan kripik sukun, usaha pembuatan roti / kue kering, dan usaha pembuatan kripik belut, dll. Ketiga, pembuatan peta rawan bencana desa dan sosialisasi peta rawan bencana beserta teknik penanggulangannya kepada seluruh warga masyarakat. Kegiatan ini didasari oleh kenyataan bahwa pada saat ini tingkat kewaspadaan warga masyarakat terhadap potensi bencana semakin menurun. Setelah lebih dari 2 (dua) tahun bencana gempa berlalu, kondisi psikologis warga masyarakat korban gempa telah pulih kembali. Kehidupan sosial masyarakat berjalan seperti pada saat sebelum bencana dan tingkat kewaspadaan warga masyarakat terhadap potensi bencana pun mulai menurun. Kondisi ini sangat berbahaya karena sewaktu-waktu bencana bisa terjadi kembali, dan tanpa adanya kewaspadaan warga masyarakat maka potensi jatuhnya korban niscaya akan sangat besar. Untuk mengatasi masalah tersebut maka perlu adanya upaya peningkatan pemahaman warga masyarakat akan potensi bencana yang ada di desa mereka melalui pembuatan peta rawan bencana desa secara partisipatif, yang dilanjutkan dengan sosialisasi secara intensif peta potensi bencana desa beserta teknik penanggulangannya kepada seluruh warga masyarakat. Setelah pelaksanaan proyek, diharapkan ketahanan ekonomi warga masyarakat korban bencana gempa di daerah perdesaan akan semakin meningkat, berkat pulih dan berkembangnya sumber penghidupan yang mereka tekuni. Disamping itu, diharapkan pula semakin rendahnya potensi jatuh korban saat terjadi bencana di masa yang akan datang berkat meningkatnya kesadaran warga masyarakat korban bencana gempa terhadap potensi bencana yang ada di sekitar mereka. Indikator yang disepakati untuk melihat keberhasilan proyek ini adalah adanya LKM di tingkat RW (19 LKM) yang mampu memberikan fasilitas kredit kepada warga masyarakat korban bencana gempa secara cepat dan mudah, terciptanya produk usaha pengolahan makanan yang berkualitas sehingga dapat menembus pasar modern, dan tersedianya 2 (dua) buah peta potensi bencana desa, yaitu peta potensi bencana desa Ceporan dan peta potensi bencana desa Gesikan, yang tersosialisasi dengan baik pada seluruh warga masyarakat. Lokasi proyek ini mencakup dua desa, yakni Desa Ceporan dan Desa Gesikan yang keduanya berada dalam wilayah administratif kecamatan yang sama, yakni Kecamatan Gantiwarno Kabupaten Klaten. Manfaat dari proyek yang dapat dirasakan oleh warga 3/4 Penelitian masyarakat korban bencana gempa di daerah perdesaan adalah peningkatan ketahanan ekonomi karena pulih dan berkembangnya sumber penghidupan mereka, berkat adanya kesempatan untuk memanfaatkan fasilitas kredit yang disediakan oleh LKM, berkembangnya usaha pengolahan makanan yang dijalankan oleh warga masyarakat berkat pendampingan usaha yang dilakukan baik dalam aspek produksi maupun pasca produksi, kesempat an kerja baru bagi warga masyarakat berkat terciptanya sumber penghidupan baru, dan adanya informasi tentang potensi bencana dan teknik penanggulangannya bagi warga masyarakat korban bencana gempa di daerah perdesaan. Berdasarkan assesment yang telah dilakukan pada saat penyusunan perencanaan program, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan maka masyarakat akan memberikan kontribusi terhadap proyek yang berupa waktu, tenaga dan pikiran. Berkaitan dengan waktu warga masyarakat penerima proyek akan menyediakan waktu yang dimiliki untuk mengikuti semua kegiatan yang akan dilaksanakan, misalnya pertemuan rutin, pelatihan, sosialisasi, dll. Berkaitan dengan tenaga warga masyarakat penerima proyek bersedia untuk menyumbangkan tenaga yang dimiliki untuk membantu kelancaran pelaksanaan proyek, misalnya ikut membantu menyiapkan tempat pertemuan, dll. Sedangkan berkaitan dengan pikiran warga masyarakat penerima proyek bersedia menyumbangkan pemikiran mereka untuk kelancaran pelaksanaan proyek, misalnya ikut aktif dalam mempersiapkan AD/ART LKM, pemetaan potensi bencana secara partisipatif, dll. DESA MANDIRI PANGAN
1. Pendahuluan
Terwujudnya ketahanan pangan secara mandiri bagi (masyarakat) desa,
mengandaikan kepada hal-hal berikut. Pertama, adanya sejumlah pemilikan dan ketersediaan lahan untuk kegiatan pertanian atau perkebunan yang menghasilkan bahan makanan pokok. Kedua, hasil kegiatan mengolah lahan dan perkebunan tadi, berlanjut pada kegiatan ekonomi (transaksi jual-beli) yang berjalan secara seimbang di antara petani, pedagang, dan konsumen. Ketiga, lewat interaksi dan resiprositi (tukar-menukar; transaksi jual beli) seperti itu, secara ekonomi pula petani harus memperoleh keuntungan yang signifikan. Keempat, hanya dalam kondisi seperti inilah, baru akan melahirkan perbaikan kehidupan di antara warga masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, petani memperoleh keuntungan, dan ketersediaan bahan makanan tersediakan secara berkelanjutan. Sementara pedagang memperoleh keuntungan tanpa harus mengeksploitasi petani, dan konsumen dimudahkan untuk memperoleh ketersediaan bahan pangan.
Secara teoritik, pengkondisian seperti itu akan mudah dijelaskan
berdasarkan pada pendekatan struktural fungsional di mana masing-masing orang menjadi bagian yang saling mengisi sesuai dengan peran dan tanggungjawabnya masing-masing. Tetapi di dalam realitas sosial, pendekatan struktural fungsional sangat sulit untuk diterapkan ketika di antara warga masyarakat itu sendiri berada dalam suasana kompetisi. Dalam masyarakat yang kompetitif, pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan masyarakat dalam kaitannya dengan masalah pemenuhan kebutuhan pangan, tidak bergerak dan digerakkan oleh kebersamaan dan penghargaan atau ketergantungan kepada (jasa) petani. Warga masyarakat nonpetani (baca: konsumen) sepertinya, tidak mau tahu bagaimana “membalas jasa kaum petani”. Mereka berdalih, “yang penting kami bisa membeli bahan- bahan makanan di toko atau di pasar. Syukur dengan harga murah”. Ini artinya, warga masyarakat tidak merasa tergantung lagi apakah di desanya itu masih tersedia lahan-lahan pertanian dan apakah pemilik lahan-lahan itu sendiri masih mau menanam tanam-tanaman atau tidak. Bahkan sebagian para petani sendiri mulai berfikir untuk menjual lahan pertaniannya untuk selanjutnya dibelikan kendaraan angkutan, untuk membuka toko, atau migrasi ke kota dan semacamnya. Fenomena demikian terjadi karena beberapa alasan. Di antaranya, pertama, hasil pertanian tidak memberi hasil yang menjanjikan. Kedua, transportasi desa – kota relatif mudah seiring dengan pembangunan sarana-prasarana desa-kota, sehingga kebutuhan penduduk desa akan bahan makanan mudah diperoleh di pasar, toko, minimarket bahkan supermarket yang mulai ada di kota kabupaten. Ketiga, secara sosial, menjadi petani tidak lagi prestiseus sehingga jika ada peluang usaha di luarnya, usaha pertanian cenderung ditinggalkan. Kondisi demikian, dalam satu segi menjadi tantangan bagi terutama pemerintah (dinas terkait) termasuk lembaga-lembaga desa untuk mengembalikan “minat” mencintai dunia pertanian sekaligus untuk menciptakan kemandirian pangan. Sedang pada segi yang lain yaitu dari segi kebutuhan akan jenis-jenis (bahan) makanan termasuk pola konsumsi terhadap makanan, terkait dengan masalah aspek budaya masyarakat seperti pengetahuan tradisional, kepercayaan, dan kebiasaan yang bisa jadi menghambat terhadap program-program peningkatan gizi dan kesehatan. Untuk itu, tulisan ini akan mengkaji bagaimana persepsi masyarakat terhadap (kecukupan) makanan dilihat dalam perspektif sosial budaya; bagaimana mempertimbangkan aspek sosial budaya yang ada dalam kaitannya dengan kecukupan pangan dan peningkatan gizi dan dengan kesehatan masyarakat; serta alternatif solusi yang bisa ditempuh untuk memaksimalisasi kemampuan sumber daya alam maupun SDM (Sumber Daya Manusia) dalam mencapai ketahanan pangan itu. 2. Persepsi Budaya tentang Makanan Setiap warga masyarakat memiliki apa yang disebut dengan pengetahuan budaya (cultural knowledge) yaitu keseluruhan pengetahuan yang diperoleh dari lingkungan (local knowledge). Pengetahuan budaya tersebut dijadikan sebagai salah satu pedoman penting untuk mengenali, memilih, dan menentukan sejumlah tindakan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar (fisikal), sosial, dan kebutuhan adab. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan-kebutuhan itu, masyarakat manusia mengusahakan tersedianya sejumlah bahan pahan secara bersama. Dengan demikian, terjadi relasi dan interaksi berdasarkan atas nilai-nilai, norma- norma dan kesepakatan-kesepakatan di antara warga masyarakat tersebut. Hal ini tercermin pada adanya pranata-pranata sosial yang berlaku dan diberlakukan di antara warga masyarakat dan di dalam lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan. Untuk dapat hidup sehat, manusia memang perlu makan. Tetapi tidak setiap jenis makanan yang tersediakan, dipilih atau diperbolehkan untuk dikonsumsi atau dimakan. Mengapa? Karena konsep “makan” tidak semata- mata sebagai aktivitas fisik manusia untuk pemenuhan instingtifnya (baca: melepaskan diri dari rasa lapar) tetapi juga di dalamnya dilekati oleh pengetahuan budaya. Lewat pengetahuan budaya itu, masyarakat manusia mengkategorikan makanan ke dalam dua istilah yaitu nutrimen (nutriment) dan makanan (food). Nutriment adalah suatu konsep biokimia, suatu zat yang mampu untuk memelihara dan menjaga kesehatan organisme yang menelannya terlepas dari apakah menu itu diperbolehkan atau dilarang dalam kaitannya dengan budaya. Sedang food, adalah suatu konsep budaya . Sebagai konsep budaya, maka di dalamnya terdapat penjelasan budaya mengenai kategori (bahan) makanan. Dalam pengetahuan-pengetahuan budaya masyarakat, terdapat system kategori ihwal makanan. Misalnya, kategori makanan anjuran lawan makanan tabu (larangan); makanan prestige lawan makanan rendah; makanan dingin lawan makanan panas, dan sebagainya. Anjuran atau larangan mengkonsumsi sejumlah makanan demikian itu didasarkan atas pengetahuan-pengetahuan dan kepercayaan-kepercayaan yang dianggap atau diyakini bersumber pada ajaran agama, budaya (tradisi), atau kelaziman sosial . Tentu persepsi dan ukuran-ukurannya tidak selamanya sesuai menurut ukuran ilmu medis atau ilmu gizi. Bahkan dalam beberapa kasus, ukurannya bisa berlawanan. Apa yang menurut pengetahuan medis modern, dikategorikan sebagai makanan anjuran, tetapi dalam pengetahuan budaya masyarakat justru dikategorikan sebagai makanan larangan (taboo food). Oleh karena itu, kalau terjadinya malnutrisi atau gizi rendah bagi sebagian penduduk, terutama anak-anak, bumil (ibu hamil) busui (ibu menyusui) dan kaum tua, penjelasannya tidak semata-mata karena kemiskinan (faktor ekonomi) semata. Ada penjelasan (faktor) lain yang bermuara pada penjelasan atau alasan-alasan budaya, di mana ada ketersediaan makanan tetapi terpaksa tidak dikonsumsi karena kepercayaan atau ketidaklaziman atau karena larangan agama . Adanya pengetahuan dan kepercayaan seperti itu menjadikan peranan orang tua, wong pinter, dan dukun (bayi) sering menjadi dan dijadikan preferensi dalam hal memilih dan mengkonsumsi makanan daripada para ahli gizi itu sendiri. Dalam konteks seperti ini, maka proses untuk memperkenalkan pola makanan yang dianggap bergizi dan sehat, termasuk anjuran untuk mulai mencukupi bahan pangan sendiri bagi masyarakat desa, perlu adanya strategi-strategi yang bisa mengubah cara berfikir masyarakat tanpa menimbulkan ketersinggungan atau penolakan. 3. Strategi Budaya Untuk melakukan serangkaian upaya memperbaiki kebiasaan dan mengajak bagaimana masyarakat desa memulai memperkuat diri pada ketersediaan pangan secara mandiri, langkah awal dari strategi berkomunikasi secara cultural dapat ditempuh dengan mengikuti jalan pikiran dan kebiasaan- kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat sasaran sambil mendialogkan pikiran-pikiran baru. Benyamin D. Paul dan Walter B. Miller (eds. 1955: 1) memberi saran sebagai berikut: “If you wish to help a community improve its health [nutrient/food, mth] you must learn to think like the people of that community. Before asking a group of people to assume new health [nutrient/food, mth] habits, it is wise to ascertain the existing habits, how these habits are linked to one another, what functions they perform, and what they mean to those who practice them” Saran di atas merupakan ciri umum dari model-model pembangunan parsipatori, di mana setiap pembangunan pada dasarnya mengarah pada perubahan kebudayaan, dan pada setiap perubahan kebudayaan itu warga masyarakat bukan saja perlu dilibatkan tetapi justru menjadi aktor-aktor utama sementara pemerintah dan pihak luar berperan sebagai fasilitatornya. Menjadi fasilitator dalam kaitannya dengan perencanaan percepatan perwujudan ketahanan pangan, adalah baru mungkin kalau dalam dirinya ada pengetahuan berbagai aspek yang saling mempengaruhi terhadap kebiasaan dan keputusan masyarakat dalam hal memilih, menyediakan, dan mengkomsumsi makanan. Lawenberg dkk (1970: 26) mendiagramkan factor-faktor itu sebagai berikut: Diagram: Praktek Pemanfaatan (Sumber) Makanan Pilihan terhadap jenis-jenis tanaman pangan termasuk mengkonsumsi sejumlah makanan dan selanjutnya munculnya pikiran untuk tersediakannya bahan-bahan pangan, ternyata – sebagaimana diagram di atas – memiliki banyak aspek yang dipertimbangkan. Dalam hal bercocok tanam, bukan saja apakah masih tersedia lahan (geography) yang cukup, iklim yang cocok (climate), pengetahuan dan ketrampilan (science, school, technology) yang mewadahi, tetapi juga secara sosial-budaya (tradition, culture, community, home & family) jenis-jenis tanaman pangan mendapat tempat secara baik. Jika dalam konteks kebudayaan itu positif, selanjutnya adalah apakah biaya yang disediakan untuk menanam jenis-jenis makanan dan hasil yang diperoleh (economics)nantinya, dinilai menguntungkan atau tidak. Jika menguntungkan secara ekonomi, tetapi apakah pilihannya itu cocok dengan kepercayaan (religion) dan diterima secara positif oleh komunitas (community) di mana mereka hidup dalam lingkungan sosialnya?. Aspek-aspek tersebut, seharusnya menjadi acuan pertimbangan dalam kaitannya dengan perencanaan “Desa Mandiri Pangan”. 4. Strategi Perencanaan Desa Mandiri Pangan Strategi untuk perencanaan “Desa Mandiri Pangan” karena itu bisa ditempuh ke dalam beberapa level. Pada level kultural, perlu adanya penjelasan secara berkesinambungan tentang arti pentingnya kecukupan pangan. Dalam konteks seperti ini, status kehormatan bagi petani dan pedagang tidak lagi dilihat sebagai kelas sosial yang rendah, melainkan mereka sama hormatnya dengan warga masyarakat lain yang telah memberi sumbangan bermakna bagi masyarakatnya. Dengan penghormatan seperti itu, mereka tidak lagi mengukur segala aktivitasnya hanya pada pertimbangan ekonomi. Jadi, perlu ada perubahan paradigmatik yaitu kehormatan manusia diukur dari sumbangsihnya bukan pada status sosialnya. Pada level kedua ialah level social, di mana suatu aktivitas yang bermakna, baru akan memperoleh hasil yang optimal kalau tercipta sinergi di antara potensi-potensi yang ada. Dalam konteks seperti ini, simpul-simpul sosial seperti para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh-tokoh di bidang profesinya masing-masing, perlu dijadikan aktor-aktor penting untuk menarik masuk warga untuk perlunya memulai memikirkan secara bersama bagaimana mewujudkan kecukupan pangan. Proses untuk melibatkan banyak pihak mengubah ide-ide personal menjadi ide kolektif. Ketika gagasan-gagasan tentang “kecukupan pangan” itu menjadi ide kolektif, maka prinsip yang harus menyertainya ialah “semuanya mendapat untung” sesuai dengan kuantitas dan kualitas sumbangan yang diberikan. Untuk mencapai pemahaman dan persetujuan, ide kolektif dan prinsip seperti itu, barulah rasional dan responsible kalau didasari oleh adanya trust, transparency, dan proportional. Pada level ketiga adalah level action. Pada level ini, tokoh-tokoh dan para aktivis desa diajak untuk membiasakan aktivitas dengan mengawali perencanaan yang matang sesuai dengan kemampuan bernalar (lintas sektoral), daya tahan mental (misalnya tahan kritik, mudah menerima masukan, dsb), dengan kerangka analisis SWOT misalnya. Jika umumnya warga telah sepakat bahwa “what you get depend on what you act”, maka untuk mewujudkan “ketahanan pangan”, sudah di depan pintu gerbang. Tinggal siapa yang harus lebih dahulu diberi tugas memasukkan bolanya.
5. Penutup
Desain perencanaan pembangunan, termasuk perencanaan desa mandiri
pangan, sudah tidak zamannya lagi kalau dikonstruksi dari atas (top-down). Paradigma pembangunan top-down demikian itu, menjadikan petani menjadi objek kebijakan bahkan seringkali menjadi ladang eksploitasi, baik bagi pedagang maupun penguasa. Pedagang memanfaatkan “keluguan” petani dengan cara membeli secara “ijon”, atau menekan harga serendah mungkin sementara dirinya mencari keuntungan sebesar mungkin. Penguasa membuat kebijakan-kebijakan yang tidak tepat sasaran, bahkan ada kalanya oknum penguasa yang bekerjasama dalam bentuk “kongkalikong” untuk mempermainkan harga dan ketersediaan pupuk yang dibutuhkan petani. Sementara para politisi, banyak yang berpura-pura bersimpati kepada petani tetapi sebetulnya, hanya sebagai komoditi. Kalau demikian keadaannya, kapan lalu petani bisa bangkit dan mandiri? Kemandirian Pangan a. Makro/Nasional : Kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman berdasarkan optimalisasi pemanfaatan SDM, SDA dan berbasis pada keragaman sumberdaya lokal. b. Mikro/Rumah Tangga (RT): Kemampuan RT memenuhi kebutuhan pangannya, dengan jumlah, mutu, keragaman, gizi, aman, dan halal; baik dari hasil produksi sendiri ataupun membeli dari pasar. Kemandirian pangan desa dibentuk oleh kemandirian pangan rumahtangga, kemandirian pangan wilayah dibentuk oleh kemandirian pangan desa, dan kemandirian pangan nasional dibentuk oleh kemandirian pangan wilayah. Pendekatan 1. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat diarahkan untuk merubah perilaku masyarakat desa agar dapat mengenali potensi dan sumberdaya yang dimiliki, sehingga mampu mengatasi masalahnya dan menolong dirinya sendiri. 2. Penguatan Kelembagaan Masyarakat Menumbuhkan dan mengembangkan kelembagaan masyarakat di pedesaan antara lain : Kelompok Afinitas yang berperan sebagai pelaku pengembangan usaha produktif, Tim Pangan Desa yang berperan sebagai penggerak dan pengendali pembangunan ketahanan pangan tingkat desa, dan Lembaga Keuangan Desa sebagai layanan usaha produktif pedesaan. 3. Penguatan Sistem Ketahanan Pangan Pengembangan Sub Sistem Ketersediaan, Sub Sistem Distribusi dan Sub sistem Konsumsi untuk meningkatkan akses fisik dan akses ekonomi masyarakat. Pedoman Umum Program Aksi Desa Mandiri Pangan Tahun 2009 10 C. Strategi 1. Strategi pencapaian tujuan (a). Mengintensifkan pemberdayaan untuk meningkatkan kapasitas dan kemandirian masyarakat. (b). Menjalin kemitraan yang seluas-luasnya dengan stake holder untuk bersama-sama meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan. (c). Mengembangkan kelembagaan masyarakat yang dipercaya, mengakar, dan akuntabel. (d). Menerapkan konsep pembangunan partisipatif secara konsisten dan dinamis serta berkelanjutan. (e). Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal. (f). Mengembangkan sinergitas antar stakeholder melalui Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. 2. Strategis keberlanjutan program ( Exit Strategis) (a). Kelompok afinitas akan menjadi kelompok mandiri dalam melakukan usaha produktif dan ketahanan pangan yang akan berkembang menjadi gabungan kelompok tani (gapoktan). (b). Tim Pangan Desa sebagai embrio yang akan menjadi lembaga koordinasi ketahanan pangan desa. (c). Lembaga Keuangan Desa sebagai embrio yang akan menjadi Badan Usaha Milik Desa. (d). Mengembangakan aksesbilitas (permodalan, pemasaran, informasi, teknologi, dll) dalam bentuk kemitraan usaha.