You are on page 1of 42

Islam dan Demokrasi

Oleh Drs. M. Zainuddin, MA


10/02/2002
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia,
partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini
kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality
(keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dst.

artikel Drs. M. Zainuddin, MA lainnya


16/02/2003
Haji dan Masyarakat Kita
Total 1 artikel
Lebih lengkap lihat biodata penulis
artikel baru
15/08/2007
Anick H.T.
Netral Agama
13/08/2007
Musharaf Berada Dalam Kepungan
30/07/2007
Spiritualisme Melintasi Identitas Keagamaan
30/07/2007
Novriantoni
Jilbab dan Kebab Turki
23/07/2007
Gelombang Ketiga Transmisi Islam Lebih Politis
artikel sebelumnya
24/01/2002
Daniel S. Lev
Islam Liberal; Menciptakan Kembali Indonesia
02/09/2001
Burhanuddin
Vocal Minority
26/08/2001
Burhanuddin
Membangun Pluralitas Alquran
03/02/2002
Cupet, Pandangan Amerika ke Dunia Luar
03/02/2002
Bahtiar Effendy
Mengaitkan Islam dengan Demokrasi
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia,
partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini
kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality
(keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dst.

Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya
menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi
pengendali yang bertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga
legislatif di dunia Barat menganggap sebagai pioner dan garda depan demokrasi.
Lembaga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat
yang aspiratif dan distributif. Keberadaan wakil rakyat didasarkan atas pertimbangan,
bahwa tidak mungkin semua rakyat dalam suatu negara mengambil keputusan karena
jumlahnya yang terlalu besar. Oleh sebab itu kemudian dibentuk dewan perwakilan. Di
sini lantas prinsip amanah dan tanggung jawab (credible and accountable) menjadi
keharusan bagi setiap anggota dewan. Sehingga jika ada tindakan pemerintah yang
cenderung mengabaikan hak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur.
Itulah perlunya perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol
pemerintah.

Secara normatif, Islam menekankan pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar
bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin
negara. Doktrin tersebut merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan
kapan saja, supaya terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.

Nah, bagaimanakah konsep demokrasi Islam itu sesungguhnya? Jika secara normatif
Islam memiliki konsep demokrasi yang tercermin dalam prinsip dan idiom-idiom
demokrasi, bagaimana realitas empirik politik Islam di negara-negara Muslim?
Bagaimana dengan pengalaman demokrasi di negara-negara Islam? Benarkah Samuel
Huntington dan F. Fukuyama, yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam
tidak compatible dengan demokrasi? Tulisan ini ingin mengkaji demokrasi dalam
perspektif Islam dari aspek elemen-elemen pokok yang dikategorikan sebagai bagian
terpenting dalam penegakan demokrasi, dan hubungannya dengan realitas demokrasi
dalam negara yang berbasis mayoritas Islam.

Jika dilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin (1993:30), agama dan demokrasi
memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari
pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya
sendiri. Namun begitu menurut Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk
berdampingan dengan demokrasi. Dalam perspektif Islam elemen-elemen demokrasi
meliputi: syura, musawah, adalah, amanah, masuliyyah dan hurriyyah, bagimana makna
masing-masing elemen tersebut?

Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara
eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan
Ali Imran:159 Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal
sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin.
Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau
khalifah (Madani, 1999: 12).
Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbanagan dan tanggung
jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka
setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab
bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan
terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan
bersama.

Kedua, al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk


rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan
bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam
sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara
lain dalam surat an-Nahl:90; QS. as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58 dst. Betapa
prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan yang
“ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir,
sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan)
Islam”. (lihat Madani, 1999:14).

Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi
dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa
memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran
ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas
rakyat.

Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang
dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan
dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu
pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada
Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat
dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini sebagai
konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang
sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya
cukup banyak antara lain tercakup dalam khutbah wada’ dan sabda Nabi kepada keluarga
Bani Hasyim (Tolchah, 199:26).

Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang


kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan
baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan
oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa
tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah
SWT dalam surat an-Nisa’:58.

Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta,
dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur
atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam.
Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa,
kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang
harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus
dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah
yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus
dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.

Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah (Madani, 1999:13), bahwa penguasa
merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat
manusia dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip pertanggung jawaban (al-
masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu
yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak
ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai
khadim al-ummah (pelayan umat). Dus dengan demikian, kemaslahatan umat wajib
senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para
penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.

Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga
masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang
hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan
dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi
penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya
kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial
bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka
kezaliman akan semakin merajalela.

Jika suatu negara konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen


demokrasi di atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dus dengan
demikian maka roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil.

Watak ajaran Islam sebagaimana banyak dipahami orang adalah inklusif dan demokratis.
Oleh sebab itu doktrin ajaran ini memerlukan aktualisasi dalam kehidupan kongkret di
masyarakat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana realitas demokrasi di dunia Islam
dalam sejarahnya?

Dalam realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan otoriter yang dibungkus dengan
baju Islam seperti pada praktek-praktek yang dilakukan oleh sebagian penguasa Bani
‘Abbasiyyah dan Umayyah. Tetapi itu bukan alasan untuk melegitimasi bahwa Islam
agama yang tidak demokratis. Karena sebelum itu juga ada eksperimen demokratisasi
dalam sejarah Islam, yaitu pada masa Nabi dan khulafaurrasyidin (lihat Mahasin,
1999:31).

Memang harus diakui, karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quo raja-raja
Islam, demokrasi sering dijadikan tumbal. Seperti pengamatan Mahasin (1999:31), bahwa
di beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah mengesankan pemerintahan
raja-raja yang korup dan otoriter. Tetapi realitas seperti itu ternyata juga dialami oleh
pemeluk agama lain. Gereja Katolik misalnya , bersikap acuh-tak acuh ketika terjadi
revolusi Perancis. Karena sikap tersebut kemudian Katolik disebut sebagai tidak
demokratis. Hal yang sama ternyata juga dialami oleh agama Kristen Protestan, diamana
pada awal munculnya, dengan reformasi Martin Luther Kristen memihak elit ekonomi,
sehingga merugikan posisi kaum tani dan buruh. Tak mengherankan kalau Kristen pun
disebut tidak demokratis.

Melihat kenyataan sejarah yang dialami oleh elit agama-agama di atas, maka tesis
Huntington dan Fukuyama yang mengatakan, “bahwa realitas empirik masyarakat Islam
tidak kompatibel dengan demokrasi” adalah tidak benar. Bahkan Huntington
mengidentikkan demokrasi dengan the Western Christian Connection (lihat Imam,
1999:x-xi, Hefner, 2000:4-5). Inilah memang, betapa sulitnya menegakkan demokrasi,
yang di dalamnya menyangkut soal: persamaan hak, pemberian kebebasan bersuara,
penegakan musyawarah, keadilan, amanah dan tanggung jawab. Sulitnya menegakkan
praktik demokratisasi dalam suatu negara oleh penguasa di atas, seiring dengan
kompleksitas problem dan tantangan yang dihadapinya, dan lebih dari itu adalah
menyangkut komitmen dan moralitas sang penguasa itu sendiri. Dengan demikian,
meperhatikan relasi antara agama dan demokrasi dalam sebuah komunitas sosial
menyangkut banyak variabel, termasuk variabel independen non-agama.

Zainal Abidin Bagir, MA dan Fathi Aris Omar:

Demokrasi adalah Cara Menerjemahkan Nilai-nilai


Islam
20/12/2004

Pertanyaanpun muncul: bagaimana kelangsungan hidup embrio demokrasi dan nasib


rezim otoriter yang masih bercokol di sejumlah negara muslim itu? Apakah memang
terdapat ketidaksesuaian yang substansial antara Islam dan sistem demokrasi? Itulah
sebagian pertanyaan yang mengemuka pada seminar International Center for Islam and
Pluralism (ICIP) bertajuk The Future of Islam, Democracy, and Authoritarianism in the
Muslim World.

Rontoknya sebagian rezim pemerintah otoriter dan kuatnya arus demokratisasi di


berbagai belahan dunia, ikut terasa auranya di sejumlah negara mayoritas berpenduduk
muslim. Pertanyaanpun muncul: bagaimana kelangsungan hidup embrio demokrasi dan
nasib rezim otoriter yang masih bercokol di sejumlah negara muslim itu? Apakah
memang terdapat ketidaksesuaian yang substansial antara Islam dan sistem demokrasi?
Itulah sebagian pertanyaan yang mengemuka pada seminar International Center for
Islam and Pluralism (ICIP) bertajuk The Future of Islam, Democracy, and
Authoritarianism in the Muslim World pada tanggal 6-7 Desember kemarin.
Guna mereview hasil seminar tersebut, Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal
mewawancarai salah seorang perumus hasil seminar, Zainal Abidin Bagir, MA (dosen
Studi Agama dan Lintas Budaya UGM) dan seorang intelektual Malaysia, Fathi Aris
Omar (kolumnis Malaysiakini.com). Berikut petikan wawancara yang berlangsung
Kamis (16/12) tersebut.

NOVRIANTONI: Bung Zainal, apa yang melatarbelakangi penyelenggaraan


seminar The Future of Islam, Democracy, and Authoritarianism in the Muslim World
kemarin?

ZAINAL ABIDIN BAGIR: Yang diperbincangkan selama dua hari itu adalah salah satu
masalah terpenting di dunia muslim saat ini, yaitu tentang Islam, demokrasi, dan
otoritarianisme. Di situ kita memperbincangkan pengalaman yang berbeda-beda dari
masing-masing wilayah negara muslim, baik dari Timur-Tengah maupun Asia. Dari acara
ini, kita dapat mendengarkan pengalaman yang berbeda-beda dari berbagai wilayah
tentang gagasan Islam dan demokrasi secara umum. Di situ dipertanyakan apakah Islam
compatible dengan demokrasi, dan pertanyaan-pertanyaan lain.

NOVRIANTONI: Apa yang bisa disimpulkan dari pertanyaan itu?

ZAB: Sayang, yang bisa disimpulkan tidak terlalu tegas, tapi cukup bertanggung jawab.
Kalau bicara pada level teks tentang apakah Islam sesuai dengan demokrasi atau tidak,
akan banyak sekali tafsiran yang bisa dikemukakan dari satu kitab yang sama. Dari
Alquran, orang bisa menunjukkan kesesuaian antara Islam dengan demokrasi. Dan dari
sana juga, orang bisa menilai bahwa terdapat sistem politik lain yang dianjurkan Islam.

Nah, salah satu persoalan terbesar ketika bicara soal sistem pemerintahan Islam yang
ideal, yaitu soal apa yang kita jadikan acuan. Apakah kita mengacu pada teks seperti
Alquran, hadis, tafsir klasik, dan lain sebagainya, atau melihat sikap pemeluk Islam, atau
bentuk pemerintahan yang berkembang di mayoritas negara-negara muslim. Kalau bicara
pada level teks, saya kira jawabannya sangat ambigu atau tidak bisa dipastikan. Jadi soal
apakah Alquran mendukung demokrasi atau tidak, akan tergantung pada kesimpulan
umat Islam sendiri. Artinya, itu bukan pertanyaan yang jawabannya tersedia begitu saja
dalam Alquran.

NOVRIANTONI: Artinya, masih tersedia ruang untuk kontestasi gagasan tentang


sistem politik apa yang paling ideal bagi dunia Islam?

ZAB: Saya kira, banyak sekali pemikir muslim kontemporer yang menganggap
demokrasi adalah sistem terbaik yang sulit dicarikan alternatifnya, sekalipun kita juga
melihat kekurangan-kekurangan sistem demokrasi. Mungkin inilah sistem yang terbaik
dari yang terburuk. Tapi di antara yang berkontestasi dalam soal sistem politik paling
ideal itu, juga terdapat mereka yang mendambakan sistem negara Islam, sistem khilafah,
dan juga model Iran, yaitu sistem Velayat-e-Faqih. Semuanya berusaha mencari
justifikasi Alquran, dan sumber-sumber Islam lainnya.
NOVRIANTONI: Bung Zainal, dalam seminar itu terlontar juga statemen bahwa
otoritarianisme dan demokrasi, secara umum tidak bisa dinilai baik-buruknya.
Dalam beberapa hal, sejumlah negara otoriter dapat dikatakan baik. Apa
maksudnya?

ZAB: Itu adalah pandangan Dr. Patricia Martinez, seorang pemikir dari Malaysia.
Pandangan itu tidak bisa diartikan bahwa dia mendukung negara yang ototiter. Dia hanya
ingin menegaskan bahwa otoritarianisme dan demokrasi itu bukan sesuatu yang dapat
dinilai baik dalam segala hal, atau buruk secara total. Menurutnya, dalam kasus-kasus
tertentu, sebentuk otoritarianisme mungkin diperlukan dalam sebuah negara yang secara
umum menerapkan demokrasi.

NOVRIANTONI: Seperti Singapura, Malaysia, atau Cina?

ZAB: Mungkin. Memang agak sulit menentukan seperti apa bentuk otoritarianisme yang
diperlukan itu. Tapi satu hal yang tidak bisa dipungkiri, pembangunan ekonomi tentunya
membutuhkan lebih banyak stabilitas. Untuk itu, kadang-kadang diperlukan sedikit
otoritariasme. Tapi hal penting lain yang disampaikan Dr. Martinez ketika itu juga,
sekarang bukan saatnya lagi berharap pada otoritarianisme. Artinya, sudah lewat masanya
ketika beberapa derajat otoritarianisme bisa diterima.

NOVRIANTONI: Bung Fathi, apa yang bisa Anda komentari dari pernyataan
seperti tadi itu?

FATHI ARIS OMAR: Saya tidak paham mengapa persoalan ini dibicarakan orang.
Mengapa harus dikontradiksikan antara kebebasan demokrasi dengan kemajuan ekonomi,
seperti dalam kasus Singapura atau Malaysia. Saya kira, seharusnya antara kebebasan
demokrasi dan kemajuan ekonomi berjalan seiring dan tidak perlu dipertentangkan.
Memang pada waktu-waktu tertentu seperti dalam kondisi darurat, kita menemukan
periode-periode yang sering memerlukan otoritarianisme. Tapi kita juga tahu, kejadian
seperti itu pada akhirnya menjadi antitesis atas perkembangan manusia yang saat ini
mengandalkan kemajuan ekonomi yang berasaskan pengetahuan. Di situlah kreativitas
manusia dan inovasi-inovasi baru menjadi unsur terpenting kemajuan dan kesejahteraan.
Itu semua membutuhkan lebih banyak kebebasan. Saya kira, demokrasi selalu memberi
ruang untuk kemajuan.

NOVRIANTONI: Bung Fathi, apakah Anda melihat peran signifikan NU dan


Muhammadiyah sebagai dua elemen civil society terbesar di Indonesia dalam
memuluskan langkah demokrasi elektoral di Indonesia pada pemilu kemarin? Dan,
apakah Malaysia punya institusi civil society yang cukup kuat mengimbangi
pemerintah berkuasa?

FAO: Saya kira Malaysia jauh lebih mundur dalam soal ini. Dalam tempo 6 tahun
terakhir, Indonesia jauh lebih maju. Malahan, ketika Orde Baru masih berjaya,
sebenarnya elemen-elemen civil society Islam di Indonesia sudah mengeluarkan wacana-
wacana yang manarik dan baru. Dan itu sebenarnya modal sosial yang sangat berharga
bagi Indonesia untuk melangkah ke depan. Di Malaysia, faktor yang paling serius
menghambat perkembangan masyarakat sipil atau civil society adalah suasana yang tidak
demokratis.

Suasana yang tidak demokratis itu ikut menghambat perkembangan wacana-wacana


Islam yang lebih plural sifatnya. Kesulitan lain, wacana Islam yang cenderung
fundamentalis tidak pernah mendukung demokrasi. Tulang punggung gerakan oposisi di
Malaysia, yaitu Partai Islam se-Malaysia (PAS), sama sekali tidak demokratis. Mereka
tidak memunculkan wacana baru soal HAM, demokrasi, feminisme, dan
multikulturalisme. Semua itu belum dibicarakan secara mendalam, baik oleh pihak
oposisi, apalagi pemerintah.

NOVRIANTONI: Bung Zainal, bagaimana Anda melihat peran NU dan


Muhammadiyah sebagai dua elemen civil society terbesar di Indonesia dalam
menopang proses demokratisasi?

ZAB: Peran keduanya sangat besar dalam menyebarkan pemahaman Islam yang bisa
menerima demokrasi, konsep HAM, keseteraan gender dan lainnya. Tapi selain
keduanya, yang tidak kalah penting adalah peran LSM-LSM yang lebih kecil, yang
bermunculan setelah zaman reformasi. Mereka inilah elemen-elemen masyarakat sipil
yang bisa masuk hingga ke level grassroot dan menyampaikan pemahaman tentang
konsep-konsep tersebut. Selain mereka, pemikiran-pemikiran para intelektual muslim
mutakhir, juga mampu menunjukkan bahwa demokrasi adalah salah satu pilihan sistem
politik terbaik untuk umat Islam saat ini. Salah satu contohnya adalah salah seorang
pembicara seminar ICIP kemarin, Prof. Dr. Khaled Abou El Fadl. Meskipun dia tidak
hadir secara fisik di tengah-tengah kita, tulisan-tulisannya telah mengilhami banyak
orang di Indonesia untuk memahami kaitan antara Islam dan demokrasi secara lebih baik.

NOVRIANTONI: Salah satu kesalahpahaman masyarakat Islam akan demokrasi


adalah kekhawatiran terseretnya ketentuan-ketentuan syariat yang sudah qath’i ke
ranah mekanisme voting. Apakah kehkawatiran ini cukup beralasan?

ZAB: Saya kira harus diakui, dalam setiap agama terdapat hal-hal yang tidak bisa
diganggu gugat atau mutlak, dan itu tidak bisa didemokratikkan. Tapi perlu diingat, kalau
bicara demokrasi, kita sesungguhnya bicara soal sistem politik; tentang sebuah sistem
kemasyarakatan. Pembicaraan soal itu saya kira sangat terbuka sesuai dengan apa yang
dianggap ideal oleh masyarakat Islam. Ini juga persoalan yang bersifat epistemologis,
menyangkut bagaimana cara kita membaca atau mendekati Alquran. Kita harus
menetapkan Alquran sebagai apa? Kalau kita menganggap Alquran adalah kitab moral,
berisi ajaran tentang nilai-nilai, maka kita mesti mencari nilai-nilai dari situ. Lalu dari
situlah kita wajib menggunakan akal untuk menerjemahkan nilai-nilai esensial tersebut ke
dalam sistem yang tepat untuk situasi saat ini. Hanya dengan cara itulah Islam akan
menjadi rahmat bagi semesta alam.

Jadi ketika bicara soal Islam dan demokrasi, tidak berarti kita hendak merelatifkan hal-
hal yang mutlak di dalam Islam, tapi lebih pada soal penerjemahan Islam itu sendiri.
Untuk bisa kreatif, di situ kita dituntut mengoptimalkan penggunaan akal. Inilah yang
mungkin bisa juga disebut jihad; menggunakan akal untuk menentukan sistem apa yang
terbaik sebagai penerjemahan nilai-nilai Alquran. []

Syariat Islam dan Keterbatasan Demokrasi

Oleh Saiful Mujani

05/08/2001

Demokrasi punya keterbatasan untuk menampung semua aspirasi primordial yang


antagonistik itu. Demokrasi tidak punya kekuatan yang cukup untuk mengakomodasi
kekuatan mayoritas primordial agar norma-norma primordialnya diberlakukan sebagai
kebijakan publik yang ditegakkan negara, misalnya lewat lembaga pengadilan dan
kepolisian.

Kita bisa memperdebatkan apa yang dimaksud dengan “syari’ah Islam.” Lepas dari
perdebatan ini, saya kira setiap Muslim punya sebuah kultur politik bahwa Nabi
Muhammad adalah pemimpin yang harus diteladani, dan masyarakat politik (polity) yang
dibangunnya, yakni Madinah, harus dijadikan acuan. Rasulullah bukn saja seorang
pemimpin spiritual umat tapi juga seorang pemimpin politik. Dalam diri Nabi, dua
kekuatan ini menyatu, dan Nabi dipercaya menjalankan kepemimpinan politiknya atas
dasar Syari’ah.

Dengan wafatnya Nabi, kepemimpinan politik model ini seharusnya juga berakhir, karena
memang tidak ada lagi Nabi setelahnya. Tapi para Sahabat sebagai pelanjut
kepemimpinan umat dari Nabi telah berusaha meneruskan pola kepemimpinan ini.
Sahabat bukan saja pemimpin politik tapi juga otoritas keagamaan setelah Nabi.

Dalam proses sejarah, peniruan atau pengidealan ke masa Nabi ini tidak mudah berkenan
dengan semakin kompleks dan besarnya umat. Pembagian otoritas ke dalam otoritas
politik kekuasaan dan otoritas kegamaan menjadi tak terhindarkan. Tapi Nabi dan
Madinah di bawah kepemimpinan Nabi tetap bernilai dan menjadi orientasi dan
legitimasi kekuasaan dalam perjalanan sejarah politik umat. Para pemikir Muslim yang
mendukung demokrasipun tetap harus merujuk kepada kepemimpinan Nabi dan politik di
bawah kepemimpinannya, misalnya dengan “mendemokrasikan” Madinah dan
“mendemokrat-kan” Nabi. Ini sah saja, sebagai suatu tafsiran. Demikan halnya bagi yang
menentang upaya ini. Kita umat Islam, sepertinya sudah ditakdirkan oleh sejarah supaya
terus bergumul dengan persoalan ini. Pergumulan ini begitu nyata. Kita punya contoh
nyata yang mencerminkan pergumulan ini: Saudi Arabia, Reublik Islam Iran, Politik
Islam di Sudan, dan Rezim Taliban di Afghanistan. Semua rezim ini dengan caranya
sendiri-sendiri mengklaim bertumpu pada syari’at Islam.

Tapi kita juga punya Turki, Indonesia Pasca-Suharto, Mali, Bangladesh, dan Jordania
yang telah mencoba bereksperimen dengan demokrasi. Tapi, eksperimen inipun bukan
perkara mudah. Tantangan besar di antaranya datang dari kelompok umat sendiri yang
berorientasi pada penerapan syari’at Islam dalam kehidupan publik di mana negara
bertanggungjawab atas pelaksanaannya. Tantangan ini sebagian menyumbang terhadap
instabilitas demokrasi di negara-negara Muslim. Kenapa?

Demokrasi itu sendiri membutuhkan kultur politik demokrasi, yakni kultur massa
mayoritas yang percaya bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik dibanding sistem
lain. Di dalamnya ada keyakinan terhadap pluralisme politik: keyakinan bahwa
keragamaan politik, teruatama yang berkaitan dengan politik yang bertumpu pada
kekuatan primordial seperti agama, merupakan keniscayaan. Karena itu, tidak boleh ada
kekuatan priomordial apapun untuk memaksakan dirinya menjadi dominan terhadap
kekuatan primordial lain dalam wilayah publik. Kalau kultur ini lemah, di mana kekuatan
primordial mayoritas menuntut menjadi kekuatan dominan dalam arena publik, maka
sistem politik yang cocok untuk ini adalah non-demokrasi, misalnya saja otoritarianisme
atau bahkan totalitarianisme.

Pluralisme ini terkait dengan unsur lain dari kultur demokrasi, yakni toleransi politik dan
saling percaya sesama warga (interpersonal trust) dalam sebuah negara-bangsa, lepas
apapun latar belakang primordialnya. Bila unsur-unsur ini lemah dalam masyarakat,
maka demokrasi tidak bisa hidup dengan baik. Di dalam masyarakat Islam, baik itu yang
sekarang ataupun yang menjelma dalam sejarah yang panjang, yang berkultur politik
demokrasi itu hanya satu varian dari umat. Mereka membangun kultur ini di antaranya
melalui penafsiran atas doktrin Islam dan melalui praktek politik umat.

Di samping itu, ada varian lain, yakni yang meyakini Syari’ah Islam, terutama yang
dipraktikkan Rasulullah dan para Sahabat, sebagai landasan sistem politik terbaik bagi
umat sekarang. Apa yang berlangsung di dalam umat Islam sendiri kemudian adalah
pertarungan tafsir dan pelembagaan terhadapnya untuk menjadikan masing-masing
tafsirnya dominan dalam sebuah masyarakat politik. Pertarungan ini memunculkan
konflik kultural yang bisa jadi sehat dalam kehidupan umat, tapi bisa juga berimplikasi
pada sikap dan prilaku yang tidak demokratis: kurang toleran dan kurang percaya
terhadap sesama, walapun sama-sama Muslim. Bila ini yang tumbuh, maka pada
gilirannya bisa berdampak pada sulitnya demokrasi terlembagakan sebagai sistem politik
terbaik bagi umat. Ini sebagian menjelaskan kenapa eksperimen demokrasi di negara-
negara Muslim yang telah lama berlangsung, seperti Turki dan Pakistan, tidak kunjung
stabil. Sumbernya adalah interpersonal distrust yang tumbuh dari pertentangan tadi.

Di tanah air, munculnya aspirasi untuk menerapkan syari’at Islam belakang ini, harus
dilihat dalam konteks demokrasi yang sedang diupayakan. Di mana-mana di dunia
Muslim, gerakan “politik syari’ah” ini pada dasarnya tidak menjadikan demokrasi
sebagai sarana dan tujuan politik. Seringkali politik syri’ah merupakan perlawanan
terhadap demokrasi. Kecenderungan ini logis saja adanya. Sebab, gerakan politik syari’ah
pada dasarnya menghendaki agar semua Muslim menjalankan syari’ah Islam seperti yang
difahami oleh satu versi tertentu. Misalnya, hukum rajam, hukum potong tangan,
pemberlakukan lembaga keuangan bebas bunga, dll., adalah bagian dari syari’ah.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan Muslim yang percaya bahwa hukum-hukum
semacam itu bukan bagian utama dari syari’ah, dan karena itu dapat diabaikan?

Sejauh aspirasi politik syari’ah ini terbatas pada kelompok-kelompok dalam masyarakat,
bukan sebagai bagian dari kebijakan publik, maka perbedaan pemahaman itu relatif
masih bisa diakomodasi asal tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku umum. Tapi
kalau sudah menjadi keputusan publik, lewat lembaga-lembaga negara, maka ia akan
mengikat semua Muslim. Kalau ini terjadi, demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang
berfungsi mewadahi pluralisme primordial, termasuk perbedaan pemahaman tentang
syari’ah, mulai terancam keberadaannya.

Demokrasi punya keterbatasan untuk menampung semua aspirasi primordial yang


antagonistik itu. Demokrasi tidak punya kekuatan yang cukup untuk mengakomodasi
kekuatan mayoritas primordial agar norma-norma primordialnya diberlakukan sebagai
kebijakan publik yang ditegakkan negara, misalnya lewat lembaga pengadilan dan
kepolisian.

Keterbatasan demokrasi ini harus disadari oleh kelompok demokrat dan kelompok politik
syari’ah yang memperjuangkan aspirasi politiknya di jalur demokrasi. Demokrasi tidak
akan mampu mewadahi kekuatan yang akan membunuh demokrasi itu sendiri. []
Jumat, 28 Mei 2004

www.pikiran rakyat.com

Demokrasi & Islam Bisa Sejalan

Ulil, ”Tak Perlu Dipertentangkan Bila Ada Perbedaan”

BANDUNG,(PR).-

Demokrasi politik Islam merupakan keniscayaan dan harus dilakukan. Demikian


disampaikan oleh Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Abshar Abdalla pada
diskusi panel bertajuk "Liberalisasi Politik Islam dan Pendidikan Demokrasi" di
Auditorium PKM UPI, belum lama ini.

Ia mengatakan, hingga saat ini memang masih banyak orang yang mempertentangkan
antara demokrasi dengan Islam, karena adanya pemikiran bahwa demokrasi berarti
pengakuan akan adanya kedaulatan rakyat (manusia), sedangkan di dalam Islam yang ada
hanyalah kedaulatan Tuhan. Menurut Ulil, Tuhan memang memiliki kedaulatan yang
mutlak, tapi kedaulatan Tuhan di bumi telah diwakilkan kepada manusia dan dengan
sendirinya manusia memiliki kedaulatan untuk menjalankan aturan dan hukum Tuhan di
bumi.

Lebih lanjut ia mengatakan, kenyataannya memang ada keunikan dan perbedaan antara
Islam dengan demokrasi yang lahir dari sistem sosial budaya barat. Namun dalam
beberapa level, baik demokrasi maupun Islam dapat sejalan. Namun, ujar Ulil,
sebenarnya tidak perlu dipertentangkan mengenai perbedaan itu dan lebih baik mencari
hal baik yang bisa dijalankan dan membuang hal-hal yang tidak baik.
"Mempertentangkan dua entitas yang sebetulnya tidak bertentangan itu mirip sekali
dengan pemikiran Samuel Huntington (sejarawan dan orientalis--red). Sikap saling hujat
dan mengkafirkan satu sama lain juga harus ditinggalkan, karena itu merupakan
kemunduran dalam berpikir," ujarnya.

Ulil mengatakan, ada hal yang bernilai universal baik dalam Islam maupun demokrasi.
Islam dapat diterima oleh berbagai bangsa di dunia karena memiliki nilai-nilai universal
itu, begitu juga yang terjadi dengan demokrasi. Pada hal-hal yang universal inilah dua
sistem tersebut dapat bertemu dan sejalan. "Bagi saya Islam dan demokrasi itu sejalan.
Memang ada hal-hal negatif di dalam demokrasi dan itu tidak perlu kita ambil. Islam pun
harus menerima juga bila ada kritik dari demokrasi," ujarnya.

Karena yakin Islam dan demokrasi sejalan, Ulil percaya bahwa dalam tataran ideal
syariah Islam harus ditegakan sebagai hukum negara. "Tapi pertanyaannya hukum Islam
yang mana? Karena interpretasi saya dengan anda tentu berbeda. Saya sendiri melihat
bahwa hukum Islam yang saat ini didorong untuk ditegakan bukan syariah tapi fiqih,
yang interpretasi di kalangan ulama pun masih berbeda-beda," ungkapnya.

"Karena itu dalam hal ini, seperti juga dalam prinsip demokrasi, yang harus dilakukan
adalah negosiasi dan kompromi untuk mencari cara yang terbaik. Dalam sejarah Islam
pun, khilafah ideal itu hanya ada pada zaman Rasulullah SAW dan sebagian masa
Khulafaur Rasyidin yang tidak lebih dari masa tiga puluh tahun. Setelah itu dalam masa
tujuh abad kejayaan Islam, motif yang ada adalah motif kekuasaan," imbuhnya.

Sementara itu, Andi Hakim dari Masyarakat Universitas Lintas Agama (Maula)
mengatakan, demokrasi oleh kalangan Islam di Indonesia dan di negara lain, telah
menjadi sistem yang diterima. Ia menjelaskan, dalam pemilu di kurun waktu 1999-2004
ada perubahan pilihan masyarakat, dari dasar sentimen perjuangan keagamaan yang
berbau daulah untuk menegakkan fiqih, kepada tema agama sebagai nilai universal.

Begitu juga dengan diterimanya pemilu legislatif dan pemilu presiden sebagai mekanisme
transformasi kekuasaan dengan cara demokratis, sadar atau tidak, dapat dikatakan sebagai
penerimaan kelompok Islam di Indonesia atas ide-ide liberal dan demokrasi, sebagai
solusi etika universal yang memang harus dijalankan untuk memperoleh legitimasi
pemilih. "Kalau anda menolak demokrasi, harus dipertanyakan kenapa ikut mencoblos
dalam pemilu," ujarnya.

Diskusi panel tersebut memang berlangsung cukup hangat, terutama dengan pertanyaan
dan pernyataan dari para mahasiswa aktivis Hizbut Tahrir, yang menyatakan tidak setuju
dengan demokrasi dan liberalisme. Para aktivis ini juga menyebarkan selebaran yang
mempertanyakan, mengapa panitia mengundang Ulil Abshar Abdalla --yang dicap
sebagai "antek" liberalisme Amerika Serikat-- di kampus UPI yang "religius". (A-
132)***
--------------

Demokrasi Chauvinistik

Oleh Saiful Mujani

24/03/2003

Demokrasi yang disanjung-sanjung dan dipuja sebagai sistem pemerintahan terbaik


ketika disatukan oleh Bush dengan mesin perang, ia kemudian menjadi hantu yang
menakutkan bagi bangsa lain. Kalau orang takut dengan kebangsaan chauvinisitik, maka
ketakutan itu sekarang ditambah dengan demokrasi khauvinistik, yakni penguasaan dan
penjajahan negara lain dengan kedok demokrasi. Hasilnya adalah sebuah demokrasi
tanpa bangsa, kecuali satu bangsa, yakni bangsa Amerika.

Ratusan ribu tentara Amerika dan sekutunya, dengan senjata pembunuh paling mutakhir
yang pernah dimiliki umat manusia, sekarang sedang memerangi Irak. Retorika
Washington dengan perang itu adalah pembebasan rakyat Irak dari tirani Saddam
Hessein. Setelah rezim Saddam jatuh, pada gilirannya Amerika akan membangun
demokrasi di sana. Demokrasi dibangun dengan perang dan pendudukan.

Tidak sedikit yang membenarkan retorika ini. Kasus Jerman dan Jepang dijadikan
pembenar terhadap perang sepihak terhadap Irak tersebut. Amerika dan sekutunya perang
melawan Jerman dan Jepang, dan kemudian Amerika dan sekutunya membantu kedua
negara itu untuk kembali pulih setelah hancur dan kalah perang, dan membangun politik
demokrasi di sana.d

Kasus Jepang dan Jerman tersebut tak terbandingkan dengan kasus Irak. Amerika dan
sekutunya dibenarkan melakukan perang terhadap Jepang dan Jerman tersebut. Nazisme
Jerman sudah bergerak menundukkan hampir semua daratan Eropa. Jepang sudah
menjajah hampir semua kawasan asia Timur dan Tenggara. Jepang bahkan telah memulai
memerangi Amerika dengan pengeboman Pearl Harbor yang terkenal itu.

Siapa pun tak ada yang meragukan bahwa Jepang dan Jerman merupakan ancaman nyata
terhadap kedaulatan negara-negara lain. Perlawanan dan kemudian menundukkan dua
negara ini dengan segala cara merupakan tindakan yang tak terhindarkan, dan karena itu
dibenarkan. Kata senator Larry Byrd dalam pidatonya di Senat Amerika sehari sebelum
perang Amerika terhadap Irak itu menjelma, perang semacam itu adalah keniscayaan, tak
bisa dihindari.
Sementara itu, perang terhadap Irak adalah perang karena pilihan, bukan karena
keniscayaan. Artinya, perang terhadap Irak itu bisa dihindari kalau Bush
menghendakinya. Masih ada jalan damai untuk melucuti senjata Irak, yang dipandang
mengancam itu. Juga masih ada jalan damai untuk membebaskan rakyat Irak dan untuk
membangun demokrasi di sana, kalau memang itu yang diiinginkan.

Irak bukan Jerman, dan bukan pula Jepang. Rezim Saddam lebih dekat kalau
dibandingkan, misalnya, dengan rezim Soeharto. Keduanya represif dan brutal terhadap
lawan politiknya, dan kejam terhadap gerakan separatis. Suku Kurdi di utara dan Islam
Syiah di selatan ditindas secara brutal, dan kalau ada kesempatan tidak ragu-ragu
melakukan invasi ke negara tetangga seperti kasus Kuwait dan perang dengan Iran.

Hal yang mirip dengan ini adalah tindakan brutal Soeharto terhadap lawan politiknya,
misalnya terhadap PKI, politik Islam, dan gerakan separatis di Aceh dan Irian. Kalau ada
kesempatan, ia tak segan-segan menduduki tetangganya, misalnya dalam kasus Timor
Timur. Bedanya, Saddam menggunakan senjata kimia, dan Soeharto tidak. Perbedaan ini
belum cukup untuk menjadikan serangan terhadap Irak sebagai suatu keniscayaan untuk
membangun demokrasi di sana, sebab proses perlucutan senjata kimia tersebut sedang
berlangsung dan menunjukan tanda-tanda kemajuan.

Walapun Saddam dan Soeharto kejam terhadap rakyatnya, rakyat kedua negara itulah
yang langsung merasakannya. Merekalah yang punya hak untuk melawan dan
menentukan bangsanya. Kalaupun mau demokrasi, merekalah yang harus melakukannya.
Kalau Amerika dan sekutunya yang kaya dan pintar-pintar itu mau membantu, bantulah
secara damai gerakan rakyat mereka menentang rezim itu.

Seperti dilaporkan CNN beberapa hari sebelum perang, rakyat Irak menginginkan
demokrasi tapi mereka ingin melakukannya sendiri, tidak dengan kekuatan senjata dari
luar seperti yang sekarang sedang dilakukan Bush. Rakyat Irak yang miskin dan tertindas
itu masih punya harga diri sebagai bangsa yang berdaulat.

Rakyat Irak mengerti apa artinya demokrasi. Membangun demokrasi dengan perang,
dengan pendudukan oleh kekuatan asing secara tidak sah, adalah antema, bertentangan
dalam dirinya sendiri. Rakyat Irak tahu bahwa demokrasi adalah rezim domestik yang
dibangun atas dasar keinginan rakyatnya untuk memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi secara damai, bukan rezim yang dibangun dengan perang dan pendudukan oleh
kekuatan asing secara tidak sah.

Kalau rakyat Irak ternyata sangat lemah dan tak mampu menumbangkan rezim Saddam
dan menggantinya dengan kekuatan yang dikehendaki rakyat Irak sendiri, itu urusan
mereka sendiri, bukan urusan orang Amerika –keculai mereka memang menghendaki
kekuatan militer Amerika hadir di sana. Orang Amerika mengira bahwa hanya mereka
yang punya harga diri dan kebanggaan terhadap bangsanya. Mereka mengabaikan
kenyataan bahwa rakyat Irak, seperti halnya rakyat Indonesia, punya harga diri, dan
merasa bangga menjadi bagian dari bangsanya. Walapun miskin dan bodoh, rasa
kebangsaan itu ada, dan pada akhirnya menentukan. Rasa kebangsaan itulah yang
mungkin tersisa setelah yang lainnya lenyap dan tak dapat diraih.

Demokrasi dibangun di atas kebanggaan terhadap bangsa itu, di mana pun di dunia,
kecuali orang Jepang dan Jerman yang sekarang unik, yang kurang bangga menjadi
bagian dari bangsanya. Mungkin karena sejarah pahit mereka. Menjadi orang Jepang atau
Jerman menjadi tidak penting karena dalam sejarahnya identitas ini menyengsarakan
mereka. Irak tidak punya pengalaman sejarah pahit seperti ini. Amerika mungkin
sekarang sedang membuat identitas bangsa Irak menjadi pahit bagi orang Irak, dan
sedang membuat warga Irak tidak bangga menjadi bangsanya. Apakah upaya ini akan
berhasil, sejarah nanti yang akan mencatat.

Kebanggaan kebangsaan yang berlebihan seperti dirasakan orang Amerika sekarang


memang bisa berdampak fatal. Keberlangsungan rezim Saddam sebagian dibangun
dengan memompa rasa kebanggaan terhadap bangsa Irak ini, sehingga rakyat Irak tak
mampu melihat bahwa Saddam dengan kedok kebangsaannya sedang menghancurkan
bangsa Irak sendiri.

Ini sama seperti mayoritas rakyat Amerika sekarang yang sudah terpaku dengan
kebesarannya, sehingga melihat kelakuan Bush seperti sekarang sebagai wujud dari
kebesaran Amerika itu. Tak mau melihat bahwa tindakan Bush setidaknya membuat
Amerika sebagai bangsa menjadi tidak populer dalam masyarakat dunia, menjadi bangsa
yang menakutkan bagi bangsa lain. Opini dan perasaan orang dan bangsa lain seperti ini
tidak penting bagi bangsa Amerika sekarang.
Demokrasi yang disanjung-sanjung dan dipuja sebagai sistem pemerintahan terbaik
ketika disatukan oleh Bush dengan mesin perang, ia kemudian menjadi hantu yang
menakutkan bagi bangsa lain. Kalau orang takut dengan kebangsaan chauvinisitik, maka
ketakutan itu sekarang ditambah dengan demokrasi khauvinistik, yakni penguasaan dan
penjajahan negara lain dengan kedok demokrasi. Hasilnya adalah sebuah demokrasi
tanpa bangsa, kecuali satu bangsa, yakni bangsa Amerika.

Islam dan Tantangan Demokratisasi

Semenjak awal abad ke-21, demokrasi menjadi tema umum yang menarik perhatian
banyak negara di seluruh dunia. Negara-negara bekas Uni Soviet, Eropa Timur, Timur
Tengah, Asia, dan Afrika mempunyai keinginan menyuarakan tentang
perlunya power sharing kekuasaan. Dalam power sharing kekuasaan yang menjadi bagian
penting demokrasi itu terdapat aspek partisipasi, representasi, dan perlindungan warga
negara. Pada demokrasi, juga meniscayakan adanya
akuntabilitas pemerintahan, aturan hukum, dan keadilan sosial.

Menurut John L Esposito (2003), dalam tatanan demokrasi, para aktivis NGO, partai
politik, asosiasi profesional, pendidikan, keuangan, pelayanan kesehatan, organisasi hak
asasi wanita dan manusia memungkinkan untuk terlibat. Soalnya, dalam sistem ini, pada
dasarnya kekuasaan adalah dari dan untuk rakyat. Oleh karenanya, semuanya berhak
untuk berpartisipasi, baik terlibat aktif maupun mengontrol kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah. Selain itu, tentu saja lembaga resmi pemerintah terdapat pemisahan
yang jelas antara unsur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Pada banyak negara dan masyarakat Islam, agama menduduki posisi yang signifikan
dalam perkembangan tatanan demokrasi ini. Peran agama menjadi penting, apakah ia
akan mendukung demokratisasi ataukah justru ia menjadi
penghalang bagi penciptaan sebuah masyarakat yang demokratis. Ditambah lagi, institusi
agama juga banyak yang menyediakan pelayan sosial, lembaga pendidikan, sarana
kesehatan, yang tentu sangat berpengaruh pada kondisi masyarakat (Modernizing Islam:
Religion in the Public Sphere in Europe and the Middle East, 2003). Maka kesesuaian
yang jelas dan titik temu pemahaman yang jernih antara Islam dan demokrasi sangat
memberikan kontribusi positif pada penciptaan negara dan masyarakat yang demokratis.

Kritik konsep khilafah


Dalam pandangan banyak masyarakat Islam, perdebatan apakah Islam cocok dengan
demokrasi atau tidak sudah menjadi polemik lama yang hingga sekarang belum tuntas.
Perdebatan ini menjadi penting untuk diangkat terus-menerus,
sebab situasi dalam negara Muslim dan pada umumnya negara di dunia senantiasa
berkembang dan berubah. Menurut para pakar hukum Islam, pada era abad lampau,
umumnya ada tiga hubungan antara Islam dan pemerintahan yang banyak mengemuka
pada masyarakat Muslim.
Pertama, sistem kuno, yaitu sistem negara yang alami, tidak beradab, anarkis, serta
bersifat tiranik. Hukum dalam sistem ini adalah sebagaimana hukum rimba, yaitu
bagaimana yang kuat memakan atau mengalahkan yang lemah.

Kedua, sistem kerajaan, yaitu adanya seorang raja atau pangeran yang mengatur semua
urusan negara. Sistem ini juga banyak menguntungkan hanya pada kelas penguasa dan
meminggirkan rakyat jelata, oleh karenanya sangat tiranik dan tidak mempunyai
legitimasi. Ketiga, adalah sistem kekhalifahan, yaitu adanya seorang pemimpin yang
mendasarkan aturan pemerintahan pada hukum syariah. Karena dianggap sebagai
pemerintahan berdasarkan syariah yang mempunyai otoritas dibandingkan manusia,
maka sistem ini menjadi kuat dibanding sistem lainnya (Khaled Abou El Fadl, Islam and
the Challenge of Democracy, 2003).

Berdasarkan anggapan seperti itu, maka sistem kekhalifahan saat ini juga masih banyak
yang menarik perhatian umat Islam. Mereka umumnya kembali menginginkan kejayaan
kekhalifahan Bani Umayyah, Abbasiyah, dan Fatimiyah, kembali muncul pada abad
sekarang. Hal ini tampak terlihat dari fenomena Hizbut Tahrir yang banyak
mengampanyekan khilafah Islamiyah sebagai solusi atas persoalan bangsa dan dunia.
Padahal, pasca-ambruknya kekhalifahan Abbasiyah oleh tentara Mongolia pada tahun
1258 Masehi dan berakhirnya kekuasaan Dinasti Mamluk di Turki yang diganti oleh
pemerintahan sekuler Mustafa Kemal Ataturk, sudah banyak masyarakat Muslim yang
lebih tertarik pada konsep negara kebangsaan (nation state).

Bila kita telusuri dan pikirkan lebih mendalam, pada dasarnya pada sistem khalifah
terhadap persoalan yang mendasar dan problematis. Karena ia mengaku sebagai
Khalifatullah war Rasul (wakil Tuhan dan Rasulullah), maka banyak khalifah yang tidak
merasa perlu atau penting mempertanggung-jawabkan kekuasaannya. Soalnya, dia
menganggap bahwa apa saja yang dikatakan atau diperintahkan, itulah wujud dari hukum
Tuhan. Dari sini, otoritanianisme dan absolutisme kekuasaan berawal muncul dan
menjadi tradisi yang dipelihara oleh banyak khalifah-khalifah di masa lalu. Padahal,
sebagaimana tugas nabi sendiri, pada dasarnya adalah untuk menyejahterakan dan
memberikan bimbingan pada manusia seluruhnya. Selain itu, dalam sistem kekhalifahan,
juga tidak ada pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Adanya kecenderungan romantisme masa lalu itulah maka kesesuaian antara Islam dan
demokrasi di masyarakat Islam menjadi persoalan yang rumit. Selain karena anggapan
awal bahwa demokrasi adalah ide Barat yang sekuler dan tidak mengakui Tuhan, mereka
juga mempertanyakan di mana meletakkan kedaulatan Tuhan di antara kedaulatan rakyat
dan aturan negara? Menurut Khaled Abou El Fadl (2003), pada dasarnya demokrasi
sangat mendukung kedaulatan Tuhan. Tapi, kedaulatan Tuhan itu sendiri sesungguhnya
bisa diketahui lewat kehendak masyarakat atau dengan memenuhi kedaulatan rakyat.
Sebab, pada dasarnya yang sering dikatakan sebagai hukum atau kehendak Tuhan oleh
sebagian masyarakat itu sesungguhnya adalah penafsiran manusia yang sangat beragam
dan tidak terdapat kebenaran tunggal. Oleh karenanya, visi etik Al Qur'an yang
mengajarkan tentang penegakan hukum, shuro', al-'adalah, dan al-musawah adalah pilar
bagi tatanan demokrasi itu sendiri.

Menuju praksis demokrasi


Olivier Roy dalam buku Globalised Islam: The Search for a New Ummah (2004)
menyatakan bahwa perdebatan pada istilah atau konsep Islam dan demokrasi pada saat ini
bukanlah menjadi persoalan yang terlampau penting. Yang lebih penting adalah
persoalan dukungan dan keterlibatan masyarakat untuk melakukan pembelajaran dan
praktik demokrasi. Tentu saja, ini berlaku pada sepanjang waktu, kalangan atas dan
bawah, serta dalam keadaan damai atau
konflik. Sebab, demokratisasi akan bisa ditegakkan pada masyarakat nyata, jadi bukan
pada hal atau visi abstrak yang diinginkan masyarakat.

Pada wilayah ini, maka para aktor demokrasi yang berbeda mesti memberikan
pemahaman internal tentang konsep yang selanjutnya ditransformasikan menjadi hal
yang praktis dan dipahami masyarakat. Jadi, bukan melulu melakukan permainan retorika
istilah atau definisi administratif yang membingungkan rakyat.

Pernyataan Olivier Roy itu memang sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Sebab, bila
demokrasi betul-betul bisa dilaksanakan secara prosedural dan substansial, maka
partisipasi publik yang luas untuk memutuskan apa yang
terbaik untuk rakyat bisa menjadi kenyataan. Jadi, persoalan pengertian dan cakupan
demokrasi memang sebenarnya sangat melindungi hak dan kedaulatan rakyat. Dan semua
aturan itu bisa dinegosiasikan lewat cara-cara yang beradab dan terbuka. Oleh karena itu,
yang diperlukan sekarang adalah
melakukan praksis demokrasi lewat aktor-aktor dan institusi yang bisa mendukungnya.

Para aktor demokrasi itu tidaklah harus berasal dari intelektual progresif yang
mempunyai ide-ide bagus sebagai komentator atau ahli politik Barat. Namun, hendaknya
mereka berasal dari negara atau masyarakat di mana demokrasi itu akan dikembangkan.
Tentu lebih bagus jika mereka juga mempunyai ikatan sosial dan jaringan tradisional
yang mengakar pada masyarakat. Dalam istilah yang sekarang banyak dipakai orang,
mereka itu adalah kompenen civil society. Civil society ini bisa terdiri dari aktivis NGO
dan partai politik yang dikombinasikan dengan masyarakat pers yang bebas, atau juga
dengan organisasi keagamaan dan tradisional.

Semua kekuatan itu, sebisa mungkin melakukan jaringan kebersamaan untuk menantang
dan melawan semua otoritarianisme dan hegemoni negara atau pasar dunia. Dengan
begitu, demokrasi nantinya tidak hanya menjadi ideologi atau wirid yang diucapkan tiap
hari, namun sebagai aturan permainan dan alternatif penyaluran politik yang terbaik
untuk kedaulatan rakyat. (Kompas, Sabtu, 26 Februari 2005

Syariat Islam dan Keterbatasan Demokrasi


Oleh Saiful Mujani
05/08/2001

Demokrasi punya keterbatasan untuk menampung semua aspirasi primordial yang


antagonistik itu. Demokrasi tidak punya kekuatan yang cukup untuk mengakomodasi
kekuatan mayoritas primordial agar norma-norma primordialnya diberlakukan sebagai
kebijakan publik yang ditegakkan negara, misalnya lewat lembaga pengadilan dan
kepolisian.

• artikel Saiful Mujani lainnya


• 01/05/2006
Pelajaran dari Parlemen Syariat
• 04/04/2004
Fenomena PKS
• 24/03/2003
Demokrasi Chauvinistik
• 31/07/2002
Politik Tujuh Kata
• Total 4 artikel
Lebih lengkap lihat biodata penulis

• artikel baru
• 15/08/2007
Anick H.T.
Netral Agama
• 13/08/2007
Musharaf Berada Dalam Kepungan
• 30/07/2007
Spiritualisme Melintasi Identitas Keagamaan
• 30/07/2007
Novriantoni
Jilbab dan Kebab Turki
• 23/07/2007
Gelombang Ketiga Transmisi Islam Lebih Politis

• artikel sebelumnya
• 29/07/2001
"Perempuan Boleh Memegang Posisi Politik Apapun"
• 29/07/2001
Nasaruddin Umar
Teologi Pembebasan Perempuan
• 22/07/2001
"Keadilan Dulu, Baru Potong Tangan"
• 22/07/2001
Zuhairi Misrawi
Tafsir Humanis Atas Syariat Islam
• 15/07/2001
Burhanuddin
Carut Marut Wajah Islam

Kita bisa memperdebatkan apa yang dimaksud dengan “syari’ah Islam.” Lepas dari
perdebatan ini, saya kira setiap Muslim punya sebuah kultur politik bahwa Nabi
Muhammad adalah pemimpin yang harus diteladani, dan masyarakat politik (polity) yang
dibangunnya, yakni Madinah, harus dijadikan acuan. Rasulullah bukn saja seorang
pemimpin spiritual umat tapi juga seorang pemimpin politik. Dalam diri Nabi, dua
kekuatan ini menyatu, dan Nabi dipercaya menjalankan kepemimpinan politiknya atas
dasar Syari’ah.

Dengan wafatnya Nabi, kepemimpinan politik model ini seharusnya juga berakhir, karena
memang tidak ada lagi Nabi setelahnya. Tapi para Sahabat sebagai pelanjut
kepemimpinan umat dari Nabi telah berusaha meneruskan pola kepemimpinan ini.
Sahabat bukan saja pemimpin politik tapi juga otoritas keagamaan setelah Nabi.

Dalam proses sejarah, peniruan atau pengidealan ke masa Nabi ini tidak mudah berkenan
dengan semakin kompleks dan besarnya umat. Pembagian otoritas ke dalam otoritas
politik kekuasaan dan otoritas kegamaan menjadi tak terhindarkan. Tapi Nabi dan
Madinah di bawah kepemimpinan Nabi tetap bernilai dan menjadi orientasi dan
legitimasi kekuasaan dalam perjalanan sejarah politik umat. Para pemikir Muslim yang
mendukung demokrasipun tetap harus merujuk kepada kepemimpinan Nabi dan politik di
bawah kepemimpinannya, misalnya dengan “mendemokrasikan” Madinah dan
“mendemokrat-kan” Nabi. Ini sah saja, sebagai suatu tafsiran. Demikan halnya bagi yang
menentang upaya ini. Kita umat Islam, sepertinya sudah ditakdirkan oleh sejarah supaya
terus bergumul dengan persoalan ini. Pergumulan ini begitu nyata. Kita punya contoh
nyata yang mencerminkan pergumulan ini: Saudi Arabia, Reublik Islam Iran, Politik
Islam di Sudan, dan Rezim Taliban di Afghanistan. Semua rezim ini dengan caranya
sendiri-sendiri mengklaim bertumpu pada syari’at Islam.

Tapi kita juga punya Turki, Indonesia Pasca-Suharto, Mali, Bangladesh, dan Jordania
yang telah mencoba bereksperimen dengan demokrasi. Tapi, eksperimen inipun bukan
perkara mudah. Tantangan besar di antaranya datang dari kelompok umat sendiri yang
berorientasi pada penerapan syari’at Islam dalam kehidupan publik di mana negara
bertanggungjawab atas pelaksanaannya. Tantangan ini sebagian menyumbang terhadap
instabilitas demokrasi di negara-negara Muslim. Kenapa?
Demokrasi itu sendiri membutuhkan kultur politik demokrasi, yakni kultur massa
mayoritas yang percaya bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik dibanding sistem
lain. Di dalamnya ada keyakinan terhadap pluralisme politik: keyakinan bahwa
keragamaan politik, teruatama yang berkaitan dengan politik yang bertumpu pada
kekuatan primordial seperti agama, merupakan keniscayaan. Karena itu, tidak boleh ada
kekuatan priomordial apapun untuk memaksakan dirinya menjadi dominan terhadap
kekuatan primordial lain dalam wilayah publik. Kalau kultur ini lemah, di mana kekuatan
primordial mayoritas menuntut menjadi kekuatan dominan dalam arena publik, maka
sistem politik yang cocok untuk ini adalah non-demokrasi, misalnya saja otoritarianisme
atau bahkan totalitarianisme.

Pluralisme ini terkait dengan unsur lain dari kultur demokrasi, yakni toleransi politik dan
saling percaya sesama warga (interpersonal trust) dalam sebuah negara-bangsa, lepas
apapun latar belakang primordialnya. Bila unsur-unsur ini lemah dalam masyarakat,
maka demokrasi tidak bisa hidup dengan baik. Di dalam masyarakat Islam, baik itu yang
sekarang ataupun yang menjelma dalam sejarah yang panjang, yang berkultur politik
demokrasi itu hanya satu varian dari umat. Mereka membangun kultur ini di antaranya
melalui penafsiran atas doktrin Islam dan melalui praktek politik umat.

Di samping itu, ada varian lain, yakni yang meyakini Syari’ah Islam, terutama yang
dipraktikkan Rasulullah dan para Sahabat, sebagai landasan sistem politik terbaik bagi
umat sekarang. Apa yang berlangsung di dalam umat Islam sendiri kemudian adalah
pertarungan tafsir dan pelembagaan terhadapnya untuk menjadikan masing-masing
tafsirnya dominan dalam sebuah masyarakat politik. Pertarungan ini memunculkan
konflik kultural yang bisa jadi sehat dalam kehidupan umat, tapi bisa juga berimplikasi
pada sikap dan prilaku yang tidak demokratis: kurang toleran dan kurang percaya
terhadap sesama, walapun sama-sama Muslim. Bila ini yang tumbuh, maka pada
gilirannya bisa berdampak pada sulitnya demokrasi terlembagakan sebagai sistem politik
terbaik bagi umat. Ini sebagian menjelaskan kenapa eksperimen demokrasi di negara-
negara Muslim yang telah lama berlangsung, seperti Turki dan Pakistan, tidak kunjung
stabil. Sumbernya adalah interpersonal distrust yang tumbuh dari pertentangan tadi.

Di tanah air, munculnya aspirasi untuk menerapkan syari’at Islam belakang ini, harus
dilihat dalam konteks demokrasi yang sedang diupayakan. Di mana-mana di dunia
Muslim, gerakan “politik syari’ah” ini pada dasarnya tidak menjadikan demokrasi
sebagai sarana dan tujuan politik. Seringkali politik syri’ah merupakan perlawanan
terhadap demokrasi. Kecenderungan ini logis saja adanya. Sebab, gerakan politik syari’ah
pada dasarnya menghendaki agar semua Muslim menjalankan syari’ah Islam seperti yang
difahami oleh satu versi tertentu. Misalnya, hukum rajam, hukum potong tangan,
pemberlakukan lembaga keuangan bebas bunga, dll., adalah bagian dari syari’ah.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan Muslim yang percaya bahwa hukum-hukum
semacam itu bukan bagian utama dari syari’ah, dan karena itu dapat diabaikan?

Sejauh aspirasi politik syari’ah ini terbatas pada kelompok-kelompok dalam masyarakat,
bukan sebagai bagian dari kebijakan publik, maka perbedaan pemahaman itu relatif
masih bisa diakomodasi asal tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku umum. Tapi
kalau sudah menjadi keputusan publik, lewat lembaga-lembaga negara, maka ia akan
mengikat semua Muslim. Kalau ini terjadi, demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang
berfungsi mewadahi pluralisme primordial, termasuk perbedaan pemahaman tentang
syari’ah, mulai terancam keberadaannya.

Demokrasi punya keterbatasan untuk menampung semua aspirasi primordial yang


antagonistik itu. Demokrasi tidak punya kekuatan yang cukup untuk mengakomodasi
kekuatan mayoritas primordial agar norma-norma primordialnya diberlakukan sebagai
kebijakan publik yang ditegakkan negara, misalnya lewat lembaga pengadilan dan
kepolisian.

Keterbatasan demokrasi ini harus disadari oleh kelompok demokrat dan kelompok politik
syari’ah yang memperjuangkan aspirasi politiknya di jalur demokrasi. Demokrasi tidak
akan mampu mewadahi kekuatan yang akan membunuh demokrasi itu sendiri. []

Politik Tujuh Kata


Oleh Saiful Mujani
31/07/2002

Sejumlah tokoh masyarakat dari berbagai ormas keagamaan besar seperti Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah beberapa hari yang lalu membuat kesepakatan amat penting
tentang masalah hubungan antara agama dan negara. Persisnya, permohonan agar MPR
tidak memasukan Tujuh Kata dari Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 UUD 45.
Sebagaimana diketahui umum, tujuh kata itu adalah "Kewajiban Menjalankan Syariat
Islam bagi Pemeluk-pemeluknya."

• artikel Saiful Mujani lainnya


• 01/05/2006
Pelajaran dari Parlemen Syariat
• 04/04/2004
Fenomena PKS
• 24/03/2003
Demokrasi Chauvinistik
• 05/08/2001
Syariat Islam dan Keterbatasan Demokrasi
• Total 4 artikel
Lebih lengkap lihat biodata penulis
• artikel baru
• 15/08/2007
Anick H.T.
Netral Agama
• 13/08/2007
Musharaf Berada Dalam Kepungan
• 30/07/2007
Spiritualisme Melintasi Identitas Keagamaan
• 30/07/2007
Novriantoni
Jilbab dan Kebab Turki
• 23/07/2007
Gelombang Ketiga Transmisi Islam Lebih Politis

• artikel sebelumnya
• 24/01/2002
Daniel S. Lev
Islam Liberal; Menciptakan Kembali Indonesia
• 02/09/2001
Burhanuddin
Vocal Minority
• 26/08/2001
Burhanuddin
Membangun Pluralitas Alquran
• 28/07/2002
Pendidikan Agama Harus Rasional dan Toleran
• 24/07/2002
Anisia Kumala Masyhadi
Dari Pembebasan Perempuan Menuju Pemberdayaan Perempuan Modern

Dari Koran Tempo, Rabu, 31 Juli 2002

Sejumlah tokoh masyarakat dari berbagai ormas keagamaan besar seperti Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah beberapa hari yang lalu membuat kesepakatan amat penting
tentang masalah hubungan antara agama dan negara. Persisnya, permohonan agar MPR
tidak memasukan Tujuh Kata dari Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 UUD 45.
Sebagaimana diketahui umum, tujuh kata itu adalah "Kewajiban Menjalankan Syariat
Islam bagi Pemeluk-pemeluknya."

Sebenarnya aspirasi dari tokoh-tokoh Ormas Islam besar seperti itu tidak baru. Tokoh-
tokoh ormas itu, seperti Kiai Hasyim Muzadi, Syafi'I Maarif, dan Nurcholish Madjid, dan
banyak tokoh agama lainnya, sudah lama menunjukan sikap seperti itu. Tapi, ngumpul
bersama, dan membuat pernyataan bersama untuk masalah yang penting dalam sejarah
politik umat Islam ini, adalah kejadian yang jarang. Mereka menegaskan sikap mereka
tersebut sebagai bentuk partisipasi politik agar pasal 29 UUD 45 substansinya tidak
berubah. Partsipasi dari mereka ini penting karena mereka kekuatan sosial-keagamaan
strategis untuk memberikan kekuatan MPR agar tidak ragu bersikap dalam masalah
hubungan agama dan politik ini. Di samping itu, partisipasi tersebut penting mengingat
masih ada kekuatan di MPR yang menghendaki Tujuh Kata itu dimasukkan, dan
kehendak yang terakhir ini ternyata telah dijadikan salah satu dalih kelompok yang
menolak Amandemen UUD 45 yang berkaitan dengan pasal-pasal lain yang telah
dihasilkan selama ini. Karena itu aspirasi untuk memasukan Tujuh Kata itu ke dalam
pasal 29 bisa menjadi pengganjal keseluruhan proses amandemen Konstitusi kita yang
sangat mendesak itu.

Kekuatan di MPR yang sampai hari ini tetap memperjuangkan dimasukannya Tujuah
Kata tersebut ke dalam pasa 29 UUD 45 adalah Fraksi Pesatuan Pembangunan dari Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan fraksi Bulan Bintang dari Partai Bulan Bintang
(PBB). Musyawarah lintas fraksi apakah itu secara resmi melalui FAH I maupun secara
tidak resmi melaui berbagai lobi untuk mencapai kata sepakat mengenai masalah tersebut
terus diupayakan. Kita berharap mereka sukses. Kalau tidak sukses, voting kemungkinan
besar akan menjadi pilihan. Kalau voting dilakukan, kemungkinan aspirasi seperti yang
dikehendaki tokoh-tokoh agama di atas akan berhasil mengingat lebih dari dua pertiga
suara di MPR kemungkinan besar menghendaki hal yang sama, atau mempertahankan isi
pasal 29 UUD 45 tersebut.

Proporsi kekuatan politik di parlemen ini merupakan perkembangan penting dalam


politik nasional kita. Tahun 50-an proporsi antara yang pro dan kontra atas dijadikannya
Islam sebagai dasar negara cukup seimbang sehingga berakhir dengan deadlock dalam
Konsituante. Dalam konteks politik kita jangka panjang, sikap PPP dan PBB tersebut
sebenarnya suatu hal yang wajar, sebab perubahan sikap elite politik untuk hal-hal yang
fundamental dalam bernegara membutuhkan waktu panjang. Sementara itu, penolakan
PKB dan PAN terhadap pemasukan Tujuh Kata pada UUD 45 itu adalah suatu kemajuan
kalau dilihat dari konteks konstitusi modern. Demikian juga sikap yang sama dari Golkar
sebab mayoritas elite Golkar dan pendukungnya diperkirakan berasal dari kalangan santri
yang pada tahun 50-an dulu mendukung Masyumi dan Partai NU yang merupakan tulang
punggung aspirasi asas Islam dalam politik tahun 50-an.

Dalam banyak hal sikap PKB, PAN, dan Golkar itu mencerminkan basis sosial
masyarakat politik kita, yakni Jama'ah Nahdliyin (NU), Muhammadiyah, dan kelompok-
kelompok Islam lain yang punya sikap politik yang sama. Kalau perhatian difokuskan ke
Golkar di mana alumni HMI merupakan komponen besar di dalamnya, maka sikap
Golkar dalam masalah Tujuh Kata itu juga mencerminkan dinamika dan perubahan kultur
politik yang telah berlangsung di kalangan alumni HMI ini. Kalau kepemimpinan
intelektual dipandang penting untuk penyemaian kultur politik baru yang lebih inklusif
ini, sebagaimana dipercayai banyak ilmuwan sosial, maka tokoh-tokoh seperti Gus Dur
(NU), Syafi'i Maarif (Muhammadiyah), dan Cak Nur (HMI) telah memberikan
sumbangan penting bagi perubahan politik kita sekarang. Mereka, lewat elaborasi-
elaborasi keislaman yang dilakukan selama ini, telah membantu para elite dan massa
politik umat untuk tidak merasa "berdosa" untuk membangun politik modern, yang
membedakan wilayah politik dari wilayah agama. Mereka dan para pembentuk kultur
politik modern lainnya di tanah air telah menanam dan menyebarkan kekuatan psikologis
di antara umat sehingga penolakan terhadap Tujuh Kata itu untuk dimasukan ke dalam
Konstitusi kita setidaknya dirasakan tidak bertentangan dengan Islam, atau malah
sebaliknya, suatu keharusan Islami kalau menggunakan perspektif dari tokoh-tokoh umat
seperti Cak Nur.

Kekuatan politik Pro Tujuh Kata itu sekarang bukan hanya harus berhadapan dengan
partai nasionalis seperti PDI-P dan partai-partai yang berbasis agama non-Islam, tapi juga
dengan partai-partai yang secara sosiologis berbasis Islam santri. Sebelum bertarung di
luar, mereka harus bertarung di dalam rumah sendiri, umat Islam Santri. Repotnya,
saudaranya yang serumah ini, mendapat dukungan dari kekuatan sosial umat yang
memiliki pabrik-pabrik besar, seperti NU dan Muhammadiyah, yang cukup produktif
memproduksi simbol-simbol keislaman sehingga mereka punya legitimasi kuat dalam
pertarungan memperebutkan makna keagamaan dalam konteks politik nasional kita.
Kekuatan sosial-politik dari dalam umat seperti ini tidak ada pada tahun 50-an.

Namun demikian, perjuangan PPP dan PBB untuk memasukan Tujuah Kata itu ke dalam
Konstitusi kita, bukanlah politik yang tidak masuk akal. Mereka percaya bahwa sentimen
massa umat terhadap Syariat Islam masih kuat walapun makna "syariat Islam" itu sendiri
sesungguhnya tidak jelas dalam hubungannya dengan sistem politik modern. Karena itu,
mereka melihat sentimen itu sebagai sumber daya politik untuk diolah sedemikian rupa
dalam mendulang suara pemilih nanti.

Di samping itu, bagi PPP dan PBB, meninggalkan isu Tujuh Kata itu secara politik bukan
langkah yang gampang, sebab konstituen mereka selama ini sudah mengenal partai
mereka sebagai partai Islam, sebagai partai yang punya agenda agar syariat Islam
ditegakan oleh negara. Tujuh Kata tersebut, karena itu, sudah menjadi semacam bagian
dari identitas partai. Sebagaimana diketahui membangun identitas partai bukanlah
perkara gampang. Bagi PPP yang sudah punya pendukung cukup besar (sekitar 12%)
mempertahankan identitas ini menjadi lebih penting.

Ceriteranya agak berbeda untuk PBB. Ia partai kecil, dengan jumlah pemilih sekitar 2%.
Mempertahankan identitas diri sebagai partai Islam, dan menjadikan Tujuh Kata agar
masuk ke dalam Konstitusi kita, kemungkinan akan membuat partai ini tetap sebesar itu.
Namun demikian, 2% adalah angka yang cukup lumayan dibanding puluhan, kalau bukan
ratusan, partai lain yang tak punya suara di DPR/MPR. Karena itu, mempertahankan 2%,
dengan tetap memertegas identitasnya sebagai pendukung Tujuah Kata itu, mungkin
dirasa lebih aman bagi elite partai ini. Melakukan lompatan besar, misalnya dengan
melupakan masalah Tujuh Kata tersebut, bisa memunculkan ketidakpastian lebih besar
untuk hasil pemilu 2004 nanti. PBB bisa ditinggalkan pendukungnya selama ini. Tapi ia
bisa juga mendapat dukungan dari pemilih yang dulu tidak memilihnya akibat dari
perubahan sikapnya terhadap Tujuh Kata tersebut. Dihadapkan dengan ketidakpastian
politik semacam ini, politisi biasanya bersikap konservatif, yakni mempertahankan pola
rekrutmen yang sudah dikenalnya. Dalam kasus PBB, dan apalagi PPP, mobilisasi
pemilih dengan isu keagamaan seperti masalah Tujuh Kata itu sudah akrab dengan
mereka, dan juga sesungguhnya lebih mudah karena menyangkut sentimen umat. Karena
menyangkut sentimen, kejernihan bagaimana sebuah isu akan diperjuangkan partai tidak
banyak diperlukan. Lebih dari itu, saya kira politis PBB, dan juga PPP, percaya bahwa
isu Islam, termasuk Tujuh Kata itu, dengan strategi kampanye yang lebih baik, akan
mendongkrak perolehan suara mereka.

Tapi, manipulasi atas agama pasti tidak akan menjadi monopoli PPP dan PBB, sebab
partai-partai lain yang berbasis santri juga akan dipaksa melakukan hal yang sama,
setidaknya untuk menetralisir sentimen massa dari pengaruh PPP dan PBB. Akibatnya,
pertarungan untuk sebuah makna syariat Islam dalam konteks politik Indonesia
diperkirakan akan tetap mewarnai kampanye pemilihan umum 2004 nanti.[]

Takrif Demokrasi

Para ilmuwan Muslim membahaskan masalah ini dengan panjang lebar. Ada berpendapat
menyatakan Islam tiada sama dengan demokrasi, ada juga yang berpendapat ia adalah
sama dengan demokrasi. Ada berpendapat, di sana ada persamaan dan juga
perbezaan.Fahmi Huwaidi dalam bukunya al-Islam wa al-Dimuqratiyah menjelaskan
bahawa dua keadaan yang menjadi kesalahan besar kepada Islam iaitu ketika seseorang
yang menyatakan Islam sama dengan demokrasi dan ketika ia menyatakan Islam
menentang demokrasi. Sesungguhnya perkara ini memerlukan kepada kebebasan dan
penjelasan yang mendalam.

Dr. Dyiauddin al-Ris dalam bukunya yang bertajuk Nazariah al-Siyasah al-Islamiah
menyebut:

i. Kalimat “bangsa” atau “rakyat” dalam sistem demokrasi hanya terhad dalam rakyat
negara tërsebut atau dikenali sebagai “Nasionalisme”.. Bangsa tersebut dibatasi oleh
sempadan geografi, yang hidup dalam satu iklim di mana individu-individu di dalamnya
terikat oleh ikatan darah, jenis, bahasa dan kebudayaan. Menurut Islam, “umat” tidak
harus terikat oleh sesuatu tempat, darah atau bahasa tetapi terikat dalam bentuk akidah..

ii. Matlamatnya adalah untuk material semata-mata manakala Islam meliputi kerohanian
dan kebendaan dengan memberi semua keperluan tersebut secara seimbang.

Menurut demokrasi Barat, kekuasaan rakyat adalah secara mutlak. Umat adalah
pemegang kekuasaan tertinggi. Umat boleh membuat dan membatalkan undang-undang
dan segala keputusan meskipun keputusan itu bertentangan dengan norma-norma susila
atau bertentangan dengan kepentingan manusia secara keseluruhan. Perkara ini berbeza
dengan Islam yang mana kekuasaan itu tertakluk kcpada undang-undang Islam.Umat
tidak boleh bertindak melebihi batas-batas yang ditetapkan dalam ajaran Islam.

Beliau juga menjelaskan bahawa Islam tidak dapat disamakan dengan sistem-sistem yang
lain sama ada faham autokrasi, teokrasi dan demokrasi dengan pengertian yang sempit.
Ini disebabkan kekuasaan tertinggi dalam Islam sangat utuh dan mantap yang berpadu
kepada umat dan syariat Islam. Oleh itu, umat dan syariat merupakan pemegang
kekuasaan penuh dalam negara Islam.

Meskipun demokrasi Barat memiliki kelebihan-kelebihan, tetapi ia tidak memiliki


sebarang prinsip yang membatasinya atau nilai-nilai yang menjadi landasan
kehidupannya seperti kebebasan mutlak, digunakan untuk membela kepentingan
sesetengah kelompok yang kuat dan meruntuhkan nilai-nilai murni termasuk nilai-nilai
murni demokrasi itu sendiri. Apabila perkara ini terjadi, maka sistem demokrasi yang
digambarkan sebagai terbaik menjadi lebih kejam daripada kediktatoran.

Demokrasi ialah kesepakatan rakyat untuk memilih sebahagian orang yang akan
memerintah dan mengatur urusan mereka.Dengan cara itu rakyat terhindar daripada
memilih seorang pemimpin yang tidak mereka kehendaki dan dari sistem yang menindas
mereka. Demokrasi boleh difahami sebagai satu sistem yng mempunyai undang-undang
berprosedur yang mengkhususkan siapa yang berwibawa untuk membuat sesuatu
keputusan secara kolektif dan melalui prosedur apakah yang harus digunakan untuk
membut keputusan.Demokrasi mengandungi prosedur-prosedur demi untuk mencapai
keputusan secara kolektif dalam suasana menjamin penyertaan secara maksima yang
boleh tercapai bagi mereka yang berkepentingan,termasuklah kepentingan ini ialah :

i. kepentingan hak untuk samarata

ii. kepentingan golongan majoriti yang memerintah dan jaminan kepada hak minoriti. Ini
adalah untuk memastikan keputusan kolektif dipersetujui oleh sebilangan suara yang
secukupnya untuk membuat keputusan tersebut.

iii. Prinsip undang-undang

iv. Jaminan berpelembagaan untuk kebebasan berkumpul dan luahan pendapat dan hak-
hak kebebasan lain-lain yang akan membantu menjamin siapa yang akan membuat
keputusan atau dipilih untuk buat keputusan supaya boleh memilih dari pilihan-pilihan
yang terbaik.

Demokrasi sebenarnya cara atau metode bagi menghalang sokongan yang memerintah
untuk terus menerus menyesuaikan kuasa yang ada padanya untuk kepentingan
matlamatnya sahaja. Atau dengan kata yang berbeza sedikit, politik demokrasi moden
ialah pemerintah di mana pemerintah dipertanggungjawabkan dalam tindakan mereka
dihadapan orang awam dari rakyat jelata yang bertindak secara tidak langsung melalui
wakil-wakil rakyat yang dipilih dalam satu suasana persaingan dan permuafakatan.

Bagi pemikir-pemikir politik Islam yang utama, definisi sedemikian yang difahami dari
demokrasi adalah amat sesuai dengan nilai-nilai syura yang diamalkan dalam ajaran
Islam. Walaupun demikian ada di kalangan pemikir Islam menganggap dengan penuh
keyakinan demokrasi tidak sesuai dengan Islam. Demokrasi juga bermaksud kuasa politik
dan segala hak politik diserahkan kepada rakyat. Demokrasi juga bukan sahaja bentuk
kerajaan tetapi juga satu bentuk masyarakat. Namun ada sebahagian pemikir Islam
mendesak supaya umat Islam tidak berfikir secara dikatomi demokrasi mahupun diktator
sahaja tanpa melihat elemen-elemen Islam seperti syura, keadilan, persamaan yang lebih
lengkap dan mantap sifatnya dalam ajaran Islam.

Kategori Penerimaan dan Penolakan terhadap Demokrasi

Dalam hal tersebut, terdapat tiga aliran pendapat mengenai demokrasi iaitu :

1. Golongan menolak demokrasi secara mutlak iaitu menanggapnya sebagai satu


peraturan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Antara pendukung pendapat ini ialah
Taqiyuddin al-Nabhani, Pengasas Hizbul Tahrir al-Islami dalam bukunya Nizam al-
Hukm fi al-Islam, 1989 yang menyebutkan bahawa demokrasi adalah bertentangan
dengan akidah Islamiah. Mereka mendakwa bahawa tidak ada apa-apa dalam tradisi
Islam yang serasi dengan kerajaan berperlembagaan dan perwakilan. Demokrasi juga
merupakan legasi imperialis Barat.

2. Golongan yang bersetuju dengan demokrasi secara mutlak. Antara golongan ini ialah
Syeikh Muhammad Husein dalam artikelnya Tanbih al-Ummah wa Tanziyah al-Millah
yang menyeru berpegang kepada demokrasi sebagai satu wasilah untuk menumbangkan
diktator. Menurutnya, diktator terbahagi kepada dua iaitu diktator politik dan diktator
agama dan diktator agama adalah yang paling sukar dihapuskan.

3. Golongan ini tidak menerima atau menolak secara mutlak.Mereka membezakan


demokrasi sebagai alat dengan demokrasi sebagai satu bentuk pegangan. Golongan ini
semakin mendapat tempat di kalangan umat Islam sekarang ini. Termasuk dalam
golongan ini seperti Muhammad Khatami, Presiden Iran, Muhmmad Mahdi Syamsuddin,
seorang ulamak syiah, Yusuf al-Qaradhawi, Rashid al-Ghannoushi., Taufiq al-Shawi dan
Hassan al-Turabi. Pendokong demokrasi Islamik menekankan konsep-konsep syura,
bai’ah, permuafakatan, ijtihad dan maslahah untuk menunjukkan bahawa Islam tidak
berkurangan dalam landasan-landasan asas yang secocok dengan tatacara dan matlamat
demokrasi.

Al-Afghani, Abduh dan Rashid Rida menyatakan antara faktor kemunduran umat Islam
ialah wujudnya pemimpin politik yag jahat.Pemerintahan yang kejam menyebabkan umat
Islam lupa terhadap perkara perundingan dan kesatuan.

Menurut Rashid al-Ghannoushi, demokrasi adalah hasil evolusi sejarah yang meluas dan
bukan sekadar buatan para teorist mahupun jurist atau pemikir-pemikir
politik.Kebanyakan daripada prinsipnya diceduk dari suasana zaman pertengahan Eropah
yang melalui perkembangan sehinggalah terbentuk bersama-sama sejarah yang panjang
ini satu sistem. Orang-orang Eropah banyak mengambil pengajaran dari tamadun Islam
untuk membantu mencipta satu masyarakat yang disinari dengan konsep-konsep nilai
sosial di mana dengan itu lahirnya demokrasi liberal. Perhubungan Eropah dengan Islam
telah membuka mata Eropah ketika itu dari kehinaan Feudalisme dan dari kongkongan
agama dan dari kediktatoran kepada elitis pihak pemerintah.

Taufiq al-Shawi berpendapat demokrasi sebenarnya adalah versi syura menurut Islam.
Menurutnya, banyak pemimpin-pemimpin Islam yang naik kuasa selepas Khulafa’ al-
Rasyidin membelakangkan syura sehingga zaman kita ini. Barat pula mendahului perkara
ini hari ini dalam mengamalkan nilai-nilai syura seperti kebebasan dan menjernihkan
kebebasan berpolitik. Negara Eropah berjaya mengasaskan sistem secara syura ini dalam
kerajaan mereka yang mereka namakan demokrasi. Dengan lain perkataan, syura yang
datang dari bumi Islam menjadi layu kerana tidak dipelihara dengan rapi rupa-rupanya
subur berkembang di bumi bukan Islam.

Hassan al-Turabi pula menjejaki titik tolak penukaran demokrasi moden bermula dari
amalan kontrak yang dikenali sebagai peristiwa bai’ah. Menurutnya, beberapa amalan
demokrasi mempelajarinya dari feqh siasah hasil perhubungan mereka dengan Islam.

Menurut Dr. Abdullah Ahmad Qaderi bahawa jika dibandingkan sistem demokrasi
dengan sistem diktator, maka sistem dcmokrasi lebih baik kerana ía memberi
kebebasansan bersuara. Apabila pemerintahan Islam hilang, maka di hadapannya ada dua
sistem, perlulah ia rnemilih sistem yang dapat memberi kebebasan dakwah, kebebasan
memilih pernimpin yang soleh yang kemungkinan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Ini berlainan dengan sistem diktator yang menjurus manusia ke arah hawa nafsu
dan tiada berpeluang untuk memilih pemimpin. Ini tidak bermakna harus orang mukmin
mengambil demokrasi apabila hilangnya pemerintahan Islam.

Sementara itu, Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Dustur al-Wihdah al-Thaqafah


Bayna al-Muslimun mengatakan bahawa demokrasi bukanlah agama yang diletakkan
dalam barisan Islam melainkan hanyalah sebuah sistem interaksi antara pemerintah
dengan rakyatnya. Kita perlu melihatnya kembali untuk memahami bagaimana demokrasi
memberikan penghormatan individu bagi pendukung dan pembangkang dengan
kedudukan yang sama. Dan bagaimana dia memberi dorongan kepada orang-orang yang
tidak sejalan dan sependapat untuk mengatakan “tidak”, tanpa rasa takut dipenjara atau
ditangkap. Sikap dan tindakan yang keterlaluan serta pemerintahan diktator merupakan
bencana yang memakan agama dan dunia kita.

Said Hawwa pada mulanya menolak demokrasi tetapi akhirnya menerima demokrasi
apabila berpendapat demokrasi adalah jalan terbaik untuk mendapat kejayaan di negara
umat Islam .Ahmad Shawqi al-Fanjari dalam bukunya Hurriyat al-Siyasah fi al-Islam
(Kebebasan Berpolitik dalam Islam) dan buku Kayfa Nahkum bi al-Islam fi Dawlah
'Asriah (Bagaimana Kita Memerintah dengan Islam dalam Negara Moden) mengatakan
setiap zaman mempunyai terminologi sendiri untuk merumuskan konsep demokrasi dan
kebebasan. Apa yang disebut oleh demokrasi adalah sama apa yang disebut dalam ajaran
Islam tentang keadilan ('adl), hak (haqq), perundingan (Shura) dan persamaan
(musawat).Ini kerana pemerintahan demokrasi memberi perhatian kepada elemen-elemen
keadilan dan kenenaran kepada rakyat dan rakyat berpitipasi dalam menentukan perkara
tersebut. Sebagai contoh bai’ah sama dengan hak memilih dan ijma’ itu sebagai satu
kehendak majoriti. Kalimah 'hurriyat al-siyasah' (kebebasan berpolitik) sememangnya
tidak ada disebut dalam al-Quran tetapi elemen-elemennya terdapat dalam al-Quran
selengkapnya.Ia hanya berbeza dari segi terminologi tetapi mempunyai matlamat yang
sama. Apa yang disebut sebagai 'hurriyat al-siyasah' adalah sama dengan apa yang
dilaungkan oleh Islam sejak 14 kurun yang lalu tentang al-Shura. Malah Islam memberi
penekanan terhadap suhulah al-Hijab antara pemimpin dan rakyat dan adanya sifat
rahmah dan tarahum.(rahmat dan kasih mengasihani) antara kedua-dua pihak.

Dalam pertemuan penulis dengan Rashid al-Ghannoushi, beliau menegaskan bahawa


Islam tidak bertentangan dengan demokrasi bahkan berkongsi beberapa ciri yang sama di
mana kepentingan bersama dapat bertukar antara satu sama lain. Beliau menyeru kepada
umat Islam supaya menerima demokrasi sebagai satu langkah untuk membebaskan
negara dari pemerintahan diktator yang menghalang kebebasan bersuara dan pilihanraya
umum. Beliau berkeyakinan melalui demokrasi yang bercirikan Islam merupakan jalan
untuk menobatkan Islam sebagai syariat tertinggi. Hujah al-Ghannoushi bahawa Islam
tidak bertentangan dengan demokrasi ialah kerana sistem autoriti sivil diwujudkan di
mana perlakuan politiknya diserahkan kepada rakyat. Dalam sistem demokrasi, beberapa
mekanisme demokrasi seperti kebebasan bersuara, sistem berparlimen, pilihanraya boleh
diwujudkan dan diinstitusikan dengan melaksanakan shura. Oleh itu, beliau menegaskan
bahawa demokrasi diperlukan kerana kebaikannya. Ia merupakan mekanisme bagi warga
muslim untuk memanfaatkan sebaik mungkin darinya bagi mewujudkan semula
pemerintahan moden berasaskan shura dan demokrasi Islami.

Di sini ada baiknya kita memerhatikan pandangaan Yusuf al-Qaradhawi mengenai Islam
dan demokrasi. Beliau menegaskan bahawa negara Islam menjalankan sistem-sistem
terbaik yang terdapat pada sistem demokrasi, tetapi itu tidak bererti bahawa negara Islam
merupakan salinan daripada sistem demokrasi Barat. Ia serupa dengan demokrasi Barat
dari segi memberi kebebasan, tanggungjawab pemimpin dan majlis perundingan. Namun
begitu demokrasi Barat tidak memiliki prinsip untuk membatasinya atau nilai-nilai yang
menjadi landasan kehidupannya. Hal ini membolehkan mereka melakukan apa sahaja
untuk menghapuskan nilai-nilai murni dan mengantikannya dengan kemungkaran. Di
samping itu, demokrasi juga sering digunakan untuk membela kepentingan sesetengah
kelompok yang kuat dan tidak memperjuangkan kesehjahteraan rakyat. Perkara ini
disebabkan demokrasi tidak pernah menjadikan kriteria moral dan akhlak sebagai
persyaratan utama bagi orang-orang yang terpilih ataupun orang –orang yang memilih.

Di sini letak keistimewaan sistem shura yang diperjuangkan oleh negara Islam. Shura
memiliki had-had dan batasan yang tidak boleh dilanggar. Di samping itu, ketetapan-
ketetapan Islam dalam perkara shura telah sampai kepada peringkat kesempurnaan yang
tidak pernah dicapai oleh sebarang sistem demokrasi moden bahkan dijangkakan sistem
ciptaan manusia itu tidak akan pernah mampu menyainginya di masa hadapan. Perkara
yang penting ialah mengambil manfaat yang baik daripada sistem demokrasi.

Dr. Taufik al-Shawi menjelaskan bahawa demokrasi iaitu sistem politik dan kenegaraan
tetapi konsep shura dalam Islam lebih meluas dari itu kerana ia merupakan bentuk proses
pendidikan akhlak bagi individu, rnasyarakat untuk beriltizam dengan perbincangan
dalam segala aspek. Shura merupakan pernbinaan akh1ak, perangai dan nilai-nilai
kemasyarakatan. Ia tidak terhad dalam sistem kenegaraan.Syariat Islam telah mendahului
sistem demokrasi dalam membuat dasar-dasar pemerintahan kerana ia menjadikan ahli al-
Hall wa al-’aqd sebagai wakil umat dalam memilih pemimpin dan mengawasinya. Selain
itu, prinsip pemisahan antara perundangan dan pemerintahan adalah perbezaan yang
substansial bagi sistem Islam, kerana ia berkaitan dengan kedaulatan syariat atas
pemerintah dam kemandiriannya dari para penguasa. Ini merupakan ciri khas yang
membedakan Shura Islamiah dan menjadikannya lebih progresif daripada sistem
demokrasi sekarang.

Bagi golongan yang menolak demokrasi dan menanggapnya sebagai satu kemungkaran
kerana mengamalkan konsep ‘hukum rakyat untuk rakyat’ yang bercanggah dengan
konsep ‘hukum hanya milik Allah’ adalah satu anggapan yang tidak boleh diterima
menurut al-Qaradhawi. Menurutnya, prinsip’hukum untuk rakyat’ dalam demokrasi sama
sekali tidak bercanggah dengan prinsip perundangan Islam. Malah prinsip demokrasi itu
bercanggah dengan ‘hukum individualisme’ yang menjadi asas kepada timbulnya
kediktatoran. Menurutnya, sistem demokrasi adalah menentang kuasa kediktatoran yang
menindas rakyat. Perkara terpenting bagi mereka yang memperjuangkan demokrasi ialah
mengusahakan agar rakyat memiliki kebebasan penuh untuk memilih para pemimpin
yang sesuai dengan kehendak mereka dan agar mereka memperhitungkan tindak–tanduk
orang yang memimpinnya, menolak perintahnya jika bercanggah dengan falsafah bangsa
atau menurunkannya jika terbukti menyeleweng serta enggan menerima nasihat dan
teguran rakyat.

Rashid al-Ghannoushi berpendapat bahawa sikap bermusuhan dengan doktrin demokrasi


adalah berpunca dari konsep hakimiyyah.Seandainya konsep hakimiyyah itu difahami
dengan baik ia adalah satu idea yang indah. Menurut al-Ghannoushi, menerima idea
hakimiyyah adalah melaksanakan satu hak bagi merealisasikan kebebasan
memilih.Justeru itu hakimiyyah tidak bermakna Tuhan secara berterusan campur tangan
dalam semua urusan kehidupan manusia di atas muka bumi.Hakimiyyah hanya
mengemukakan prinsip-prinsip umum untuk umat Islam membuat satu keputusan dengan
tepat.

Bagi Fahmi Huwaidi, sejarah hitam yang dilalui oleh umat Islam merupakan faktor utama
keraguan, kebimbangan tuduhan dan penolakan mereka terhadap demokrasi. Demokrasi
tidak dilihat sebagai sistem pemerintahan yang berlandaskan kepada kebebasan tetapi
dilihat sebagai rumusan konsep Barat yang ingin menghancurkan umat Islam. Demokrasi
dilihat sebagai konsep Barat yang lahir daripada kehinaan sistem penjajahan Barat. Di
samping itu, terdapat fatwa-fatwa ulamak yang mengharamkan mengambil sistem
demokrasi seperti fatwa Mufti kerajaan Uthmaniah Atahullah Afandi yang menetapkan
bahawa setiap penguasa yang memasukkan sistem-sistem kafir, maka dia tidak boleh
menjadi seorang raja. Akibatnya Sultan Salim III dijatuhkan pada tahun 1807 kerana
dituduh menerapkan sistem-sistem kafir.

Umat Islam secara umumnya telah menerima demokrasi sebagai mekanisme yang terbaik
untuk membangunkan negara. Dr. Fathi Osman menyatakan : “Demokrasi meskipun
banyak kekurangannya merupakan warisan kemanusiaan yang tidak ternilai harganya
yang sampai sekarang belum diketemukan alternatif yang lebih unggul untuknya.”

Al-Qaradhawi berkata : “saya termasuk salah seorang yang mendambakan demokrasi


dalam sifatnya sebagai sarana yang mudah dan mampan untuk merealisasikan matlamat
kita dalam kehidupan yang mulia dan membolehkan kita untuk menyeru manusia kepada
Islam. Sistem itulah yang membolehkan rakyat melakukan semua itu tanpa perlu
mengadakan sebarang revolusi berdarah.”

Menurutnya lagi, tidak ada sebarang dalil syariah yang mencegah kita daripada
mengambil pemikiran, teori ataupun penyelesaian pratikal yang berasal dari luar
Islam.Kita berhak untuk mengambil pemikiran, kaedah serta sistem-sistem luar yang
bermanfaat kepada kita selagi ia tidak bercanggah dengan nas yang jelas serta kaedah-
kaedah syariat yang baku. Pemikiran atau sistem yang kita ambil itu tentunya harus kita
tambahkan dengan nilai-nilai kerohanian daripada agama kita sehingga ia tampil dalam
bentuk yang islami. Begitulah caranya kita mengambil sistem demokrasi. Kita ambil
kaedah-kaedah dan sarana-sarananya. Kemudian, kita ubah dan luruskan sehingga sesuai
dengan ajaran agama dan kita tinggalkan sebahagian falsafahnya yang mungkin boleh
menghalalkan perkara haram atau mengharamkan perkara halal.

Sikap golongan Islamis terhadap Demokrasi

Senario politik muslim semenjak akhir tahun 1980-an menunjukkan satu siri anjakan oleh
kerajaan muslim yang berkuasa dengan aktivis Islam yang mencabarnya; yang satu ke
arah Islamisasi, yang satu lagi ke arah memperjuangkan demokrasi dan penglibatan
politik.respons daripada elit muslim dan pemerintah yang mengambil bentuk kombinasi
paksaan, bertolak ansur dan kooptasi telah pada ammnya berjaya mengawal cabaran
golongan Islamis terhadap keduduklan kuasanya.Sebahagian daripada respons ini, pihak
pemerintah telah melancarkan siri program Islamisasi untuk meningkatkan rekod
Islamnya. Gerakan-gerakan Islam telah menunjukkan tanda-tanda peralihan daripada
‘fasa fundamentalis radikal’ 1970an dan 1980an kepada ‘fasa penglibatan’ yng dicirikan
oleh kemiripan untuk bergerak dalam sistem yang sedia ada dan memulakan episod
meneliti semula peranan tradisional agama, kepimpinan, organisasi, keutamaan dan
tafsirannya.

Pemerintahan Muslim memulakan demokratik Islamik sebagai elemen terpenting dalam


pemerintahannya sebagai respons baru terhadap anjakan orientasi politik golongan
Islamis yang mencabar mereka. Golongan Islamis pada tahun 1990an semakin
memainkan peranan mengawal kecenderungan autoritariannisme pihak berkuasa. Pihak
Islamis dikatakan sebagai pembangkang yang yang berkesan dalam mengekang
pemerintahan autoritarian.

Pemimpin parti Islam berulang kali menyatakan kepercayaan mereka terhadap tatacara
dan jangkaan-jangkaan demokratik termasuk kebebasan individu dan kumpulan,
penyertaan universal dan tukar ganti pihak berkuasa melalui pilihanraya yang jujur dan
pembabitan mereka adalah satu pilihan jangka panjang yang definit dan bukannya satu
taktik jangka pendek. Mereka menolak ideologi sekularisme dan usaha mengaitkan
demokrasi dengan sekularisme.Mereka menuntut nilai-niali agama sebagai nilai-nilai asas
dalam pemerintahan. Mereka melihat kepelbagaian warisan dalam sejarah Islam dan
kebolehannya untuk diharmonikan dengan elemen-elemen demokrasi Islamik.
Pembabitan PAS dalam arena politik negara telah memberi kesan terhadap demokrasi
yang berlaku dan kemasukan golongan islamis dalam kerajaan. Namun eksperimen ini
dikatakan berjaya di Malaysia tetapi tidak di Negara Muslim yang lain seperti di Turki
dan Algeria akibat golongan Islamis tidak diberi peluang untuk menyuarakan hak
walaupun atas nama demokrasi.

Pengamalan Demokrasi Di Malaysia

Seharusnya difahami bahawa demokrasi mutlak adalah idealisme yang tidak mungkin
tercapai sepenuhnya. Bahkan demokrasi terkenal dengan sikap menabur dan
mengkhianati janji. Berlakunya jurang antara demokrasi yang ideal sebagaimana ianya
difahami dengan kenyataan yang berlaku dalam suasana demokrasi hari ini. Janji yang
tidak ditunaikan hari ini terbantut dengan wujudnya realiti-realiti seperti survival politik,
kewujudan elitis politik, kepentingan tertentu atas nama perwakilan rakyat, kurangnya
penyertaan rakyat dan kegagalan mendidik orang ramai tentang demokrasi dan hak
mereka. Di samping itu, kita melihat Barat cuba menafikan kemenangan beberapa parti
politik yang dikatakan Islami seperti parti Refah, FIS dan Nahdah di atas pentas
demokrasi. Ini menambahkan lagi kecurigaan terhadap demokrasi.

Ramai penganalisis yang menganggap Malaysia sebagai sebuah ‘rejim kacukan’ yang
tidak autoktratik tetapi tidak juga demokratik. Ia memiliki keperluan luaran sebagai
sebuah negara demokrasi, namum ia juga mempunyai peraturan-peraturan drakonian
yang membatasi pembangkangan dan yang memberi kuasa yang sangat luas kepada
eksekutif. Hujah pimpinan Umno dalam mempertahankan pembatasan demokrasi iaitu:

i. sensitiviti isu-isu etnik yang jika tidak dikawal perdebatan awam tentangannya akan
memudaratkan kestabilan sosial

ii. keutamaan meningkatkan taraf hidup rakyat

iii. perlu disesuaikan amalan demokrsi dengan pengalaman sejarah dan suasana objektif
tempatan.

Bagi Lim Kit Siang, pemerintahan Mahathir telah menyekat kebebasan dan Mahathir
tidak bersedia untuk berbuat demikian.Jauh daripada memperkenalkan pembaharuan
politik dan demokratik, malah melakukan keterlaluan-keterlaluan yang melampau dalam
pemerintahannya seperti penghinaan terhadap Yang Dipertun Agung, perlembangaan dan
parlimen, penangkapan dan pendakwaan pemimpin pembangkang, tiada kebebasan
akhbar dan media, kegunaan kuasa polis secara besar-besaran dan pencabulan sistem
kehakiman. Bagi Tun Suffian, trend autoritarian bukan sahaja menular dalam kerajaan
tetapi dalam Umno juga. Ada juga melihat Malaysia sebagai 'semi -demokrasi'.

Bagi Mahathir, pengamalan demokrasi di Malaysia mengikut acuannya sendiri.


Walaupun ia mengamalkan demokrasi tetapi dalam beberapa hal, ia tidak sama dengan
demokrasi Barat yng memberi kebebasan mutlak seratus peratus kepada rakyat sehingga
boleh melakukan apa saja atas nama demokrasi. Mahathir Mohamad dalam Konvesyen
UMNO sempena ulangtahun yang ke 50 (11 Mei 1996) menjelaskan : “ ramai yang
kononnya menerima demokrasi sebagai sistem politik tetapi kerana tidak faham apa ianya
demokrasi, mereka telah menjadi mangsa demokrasi tanpa sedikit pun memperolehi
manfaat. Harus diingat juga bahawa demokrasi bukan agama Tuhan. Demokrasi adalah
ciptaan manusia dan sudah tentu ia jauh daripada sempurna. Bangsa-bangsa Barat cuba
mendakwa bahawa demokrasi tidak cacat dan menanggapnya sebagai satu sistem yang
tidak siapa boleh mempertikaikan atau mengubahnya.Mereka menciptakan slogan Vox
populi, vox Dei iaitu suara ramai adalah suara Tuhan. Tetapi percayalah demokrasi bukan
suara Tuhan dan jauh daripada sempurna, bahkan ia penuh dengan kecacatan dan yang
boleh membinasakan pengamalnya dan menjadikan mereka mangsa kezaliman sistem
demokrasi yang tidak kurang buruknya daripada kezaliman sistem feudal atau pun sistem
diktator.”

Dalam Perasmian Perhimpunan Agung UMNO tahun 1997, Mahathir Mohamad sekali
lagi menjelaskan : “ Malaysia berjaya juga menggunakan sistem demokrasi, memilih
kerajaan dan mempunyai pentadbiran yang berkesan. Tetapi hanya dengan ini sahaja
tidak menjamin kita akan maju. Untuk mencapai kemajuan kita perlu ada ide-ide yang
baik, pendekatan yang boleh menjayakan ide-ide berkenaan dan pengurus-pengurus yang
berkebolehan.Majunya negara kita, terlaksananya rancangan-rancangan kita bermakna
faktor-faktor ini ada pada kita.”

Bagi Mahathir, kejayaan sesebuah negara bukan bergantung kepada sistem demokrasi
sahaja tetapi adalah ide-ide, wawasan, perancangan yang rapi dan pengurus yang terbaik
dalam melaksanakan pembangunan negara.Menurutnya, demokrasi mesti disesuai dan
diselaraskan dengan keadaan setiap negara dan budayanya. Beliau istilahkan sebagai
‘Demokrsi Asia’, ‘Nilai Asia Baru’ atau ‘Demokrasi ala Malaysia.’ yang mementing
disiplin dan mendahulukan kepentingan awam sebagai kunci untuk mencapai perpaduan
negara dan pertumbuhan ekonomi. Mahathir juga percaya untuk membawa keutuhan
sesebuah negara memerlukan demokrasi dan autoritariannisme wujud seiringan. Pindaan-
pindaan baru kepada perlembagaan Umno seperti undi bonus kepada mereka yang
dicalonkan untuk jawatan tinggi parti – meningkatkan kuasa kepimpinan parti dan
penguncupan tatacara demokratik dalam urusan dalamannya.

Ciri-Ciri Demokrasi

Antara ciri-ciri terpenting demokrasi adalah seperti berikut :

i. kedaulatan rakyat
ii. persamaan politik-satu rakyat satu undi
iii. mengambil kira pendapat umum- menilai pandangan umum tentang politik awam
(popular consultation)
iv. pengagungan kehendak majoriti

Ada elemen-elemen demokrasi yang yang diterima pakai dalam pemikiran politik Islam
dan boleh dimodifikasi. Antaranya :
1. pemilihan dipegang oleh umat
2. konsep persamaan di antara semua manusia
3. perundingan rakyat
4. pengiktirafan majoriti
5. kebebasan
6. pemisahan kuasa-kuasa eksekutif, perundangan dan kehakiman.
7. sistem pilihanraya dan parlimen

Elemen-elemen demokrasi yang ditolak ialah :

i. kedaulatan mutlak ditangan rakyat


ii. keputusan majoriti sebagai kayu ukur kebenaran
iii. kebebasan mutlak
iv. mengeluarkan hukum bersandarkan akal semata-mata.

Apapun perbahasan di atas, Malaysia boleh dikatakan contoh kepada “demokrasi Islam”
dengan syarat beberapa kelemahan-kelemahan demokrasi dihindarkan atau diperbaiki
dengan nilai-nilai yang Islami. Namun istilah itu, menurut Abdul Aziz Badri dalam buku
Hukm al-Islam fi al-Istirakiyyah tidak bersetuju sesuatu istilah politik moden yang
digunakan jika konsep yang ada di dalammnya tidak islamik dan menyimpang dari
kebenaran.

Power Sharing.

Beberapa sarjana Islam menggagaskan power sharing kepada umat Islam untuk
bekerjasama dengan pihak pemerintah. Gerakan Islam tidak harus terjebak dalam agenda
merebut kekuasaan sehingga hilang arah dan keutamaan bertindak dalam menyedarkan
masyarakat terhadap agama. Kekuasaan dakwah membuktikan penyedaran nilai-nilai
Islam berjaya dengan cemerlang hasil peranan ulama dakwah dan tokoh sufi. Pada abad
18 dan 19, umat Islam ditindas oleh penjajahan sama ada dari segi politik atau ekonomi.
Namun begitu agama Islam terus berkembang hasil aktiviti dakwah. Kekuatan dakwah
membuktikan bahawa Islam dapat mengalahkan kekuasaan jahiliah sepertimana Nabi
Musa yang dapat mengalahkan Fir’aun yang memiliki segala kekuatan ketenteraan,
kehebatan politik dan dakyah. Kalau Nabi Musa berfikir sebagai pemimpin siyasah sudah
tentu Nabi Musa tidak mampu untuk menentang Fir’aun. Tetapi atas dasar dakwah Nabi
Musa dapat menewaskannya. Abu Hassan al-Nadwi dalam bukunya Tarshid Sahwah al-
Islamiah (Panduan-Panduan Kebangkitan Islam) menjelaskan bahawa pendakwah
hendaklah lebih banyak bersifat positif dari bersifat negatif, mendahulukan prinsip
menyampaikan nilai-nilai iman kepada pemerintah dan membawa mereka kepada
naungan Islam serta melaksanakan peraturan Islam dalam kehidupan mereka dari
bergesa-gesa meletakkan ahli-ahli gerakan islah kepada tampuk pemerintahan. Dengan
kekuasaan dakwah, Islam tersebar di alam Melayu, Amerika Syarikat, United Kingdom,
Jerman dan negara-negara lain di Eropah.

Rashid al-Ghannaushi menegaskan betapa pentingnya gerakan Islam berkongsi kuasa


dengan pihak pemerintah walaupun ia adalah sekular mahupun komunis. Beliau
menganggap pergerakan Islam tidak perlu berkeras untuk memegang tampuk
pemerintahan dan berkuasa penuh apatah lagi perkara tersebut mengakibat perang
saudara dan pepecahan dan kekacauan yang parah.

Perkara yang menjadi masalah besar kepada umat Islam kini adalah perebutan kuasa
(sultah).Jalan keluar dari masalah ini ialah perkongsian kuasa (power sharing) walaupun
gerakan Islam tidak berada di hadapan. Memadai penyertaannya dalam kerajaan dengan
kadar yang dianggap tidak menggugat kepentingan-kepentingan besar negara. Apa yang
perlu ialah ruang yang membolehkan mereka bergerak dan bekerja terutama sekali dalam
rangka membangun masyarakat awam/madani (civil society). Antara pergerakan yang
telah mengadakan perkongsian kuasa ialah di Yaman, Jordan dan Bahrain.

Perkongsian kuasa bererti saling mengakui peranan satu sama lain, antara kerajaan dan
pelbagai pergerakan Islam dan pergerakan lain termasuk komunis. Yang penting semua
pihak mesti menghormati undang-undang dan mengelak menggunakan kekerasan untuk
mendapatkan kuasa. Semua pihak perlu membiarkan rakyat menentukan parti mana yang
mereka mahu dan memilih untuk memimpin negara. Perkongsian kuasa ini memberi jalan
tengah untuk mengelakkan krisis yang berpanjangan sesama umat Islam. Apa yang
terjadi ialah parti pemerintah ingin terus mempertahankan kuasa dan parti pembangkang
pula mesti menjatuhkan parti pemerintah untuk berkuasa. Akibatnya, umat terbelah dua
sehingga melarat kepada pertumpahan darah yang tragis seperti yang berlaku di Algeria
dan Syria.

Konflik di antara gerakan Islam dengan kerajaan dengan menggunakan kekerasan tidak
menguntungkan umat Islam sendiri. Secara pragmatik, gerakan Islam terus kecundang
dan tidak berjaya seperti berlaku di Syria. Gerakan Islam perlu menggunakan cara aman.
Ia mesti menolak sebarang aktiviti yang berunsur kekerasan atau gerakan revolusi.Sikap
keras Parti Refah di Turki telah menyebabkan kuasa yang diperolehinya dirampas
kembali oleh tentera. Ikhwan Muslimun Mesir berhadapan dengan tentangan yang hebat
dari pihak pemerintah, tetapi pemimpinnya menolak untuk terlibat dalam sebarang
bentuk kekerasan. Pemerintah memang mahukan supaya gerakan Islam Mesir masuk ke
gelangang pertarungan kerana mereka yakin bahawa mereka berkemampuan untuk
mengalahkan pergerakan Islam. Sebenarnya, arena pertarungan gerakan Islam ialah
pemikiran dan idea yang mampu memberi kesan besar kepada orang awam. Gerakan
Islam harus berusaha mengurangkan ketegangan dengan mencari titik-titik pertemuan
untuk bekerjasama supaya dapat mengelakkan sebarang konfrontasi sedapat mungkin.

Rashid al-Ghannaushi menasihatkan kepada pemimpin gerakan Islam di Malaysia


khususnya supaya tidak terlalu ghairah untuk mendapatkan kuasa politik penuh walaupun
mereka berhak untuk berbuat begitu. Ini bukan kerana kita perlu menjauhkan diri
daripada tampuk kekuasaan, tetapi suasana antarabangsa kini menyebabkan penguasaan
tampuk kekuasaan dengan kekuasaan yang penuh itu memungkinkan berlaku perang
saudara atau menyebabkan gerakan Islam langsung terpinggir atau dipukul hingga sukar
untuk bangun kembali seperti yang berlaku di Algeria dan Sudan. Di Sudan, gerakan
Islam telah mencapai kekuasaan penuh tetapi gagal apabila ia ditekan dan dihimpit oleh
pihak antarabangsa yang menyebabkan ia lemas da tidak dapat melakukan apa-apa.
Seterusnya beliau menyebutkan : “Gerakan Islam sepatutnya tidak menjadikan
penubuhan kerajaan sebagai keutamaan. Pengambilalihan kerajaan sepatutnya tidak
menjadi pencapaian terbesar gerakan Islam. Pencapaian yang lebih besar adalah apabila
masyarakat cintakan Islam dan pemimpinnya. Keseluruhan aktiviti kita seharusnya
berdasarkan kepada contoh negara Islam yang diasaskan oleh khalifah Umar Abdul Aziz
yang hanya memerintah selama dua tahun berbanding khalifah-khalifah sebelum beliau.
Walaupun pemerintahannya singkat tetapi beliau telah banyak melakukan perubahan.
Pemerintahan beliau meninggalkan kesan ke atas sanubari setiap muslim dan diingati
hingga sepanjang zaman. Isunya bukan selama mana seseorang itu memerintah tetapi
apakah sumbangan yang dilakukan oleh seseorang itu sepanjang pemerintahannya.”
(Risalah, Bil. 5, Oktober 2001, hal. 14)

Sebagai umat Islam, kita mesti yakin bahawa usaha ini merupakan usaha murni. Yakinlah
bahawa satu hari nanti perpaduan dan perkongsian kuasa yang lebih baik dari yang
sekarang akan berlaku. Perpaduan dan perkongsian kuasa ini menguntungkan umat Islam
dan rakyat Malaysia keseluruhannya.

Penutup

Masa depan demokrasi di Malaysia banyak bergantung kepada kekuatan golongan


islamis dalam mengawal aotoritarianisme dan demokrasi yang dijalankan oleh
pemerintahan agar ia serasi dengan nilai-nilai islami. Oleh itu, dalam mewujudkan
landasan baru politik muslim dan demokrasi Islam maka timbal balik antara golongan
Islamis dan pemerintah sangat diperlukan dan kerjasama yang itu akan menguntungkan
rakyat. Pada tahun 1990an, PAS juga mengubah perhatian kepada isu-isu keadilan sosial
dan reformasi demokratik dalam paradigma Islamik untuk dipersembahkan kepada rakyat
sebagai alternatif yang lebih baik daripada Umno untuk memimpin Malaysia. Pas tidak
lagi menggunakan pendekantan fiqhi yang simplistik tetapi ia seiring dengan kumpulan
protes yang lain untuk menyifatkan suasana politik selepas pemecatan Anwar sebagai
‘demokrasi sedang terancam’ malahan reformasi tahun 1998 berarak di jalan raya
menuntut reformasi demokrasi yang lebih telus bukan sebuah negara Islam. Sementara
Umno juga terus mengatur strategi untuk memastikan kerelevanan parti itu menghadapi
cabaran baru. Insiatif Islamisasi pemerintah akan pasti berterusan kerana ia adalah
survival parti pemerintah dan menyesuaikan diri dengan arus tuntutan demokrasi yang
lebih islami. Pertembungan kedua-dua pihak tentang perjalanan demokrasi menjanjikan
kemungkinan wujudnya sikap demokrasi Islami dalam pratik politik muslim dengan asas
norma sistem bersama yang autentik daripada sudut Islam dan demokrasi yang boleh
diterima oleh masyarakat majmuk Malaysia. Keberkesanan dan pelaksanaannya terletak
kepada tuntutan rakyat untuk menuntut demokrasi yang lebih telus. Demokrasi yang telus
lahir daripada rakyat yang demokratik dan pemimpin yang baik lahir dari umat yang
terbaik dan berkualiti. Ini kerana pemimpin adalah cerminan kualiti umat yang sebenar.
Pemimpin yang hampas adalah lahir daripada umat yang hampas.

ISLAM, NEGARA, dan DEMOKRASI


TEMPO 06/XXXI/08 - 14 April 2002
Tanggal dimuat: 24 Februari 2006

Saiful Mujani Peneliti pada Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta

FREEDOM House, sebuah lembaga riset tentang kebebasan di dunia, mengungkap bahwa di
zaman gelombang demokrasi di dunia sekarang ini, sebagian besar negara di dunia telah
mengalami perubahan rezim, dari non-demokrasi ke demokrasi. Namun hal ini tidak banyak
menembus kelompok negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dari 47 negara
muslim, hanya sekitar 25 persen yang telah mengalami demokrasi, di antaranya hanya dua
negara yang demokrasinya dianggap penuh (Mali dan Bangladesh), sedangkan sisanya hanya
semi-demokrasi.

Lebih dari itu, ada 11 negara di dunia yang dianggap paling otoritarian, 7 di antaranya
merupakan bagian dari dunia muslim. Rupanya, negara baru yang lahir dari runtuhan Uni
Soviet di Asia Tengah dan kaukasus yang mayoritas pen-duduknya beragama Islam—seperti
Uzbekistan, Kirgistan, Kazakstan, Turkmenistan, Azerbaijan—tidak mewujud menjadi negara
demokrasi baru. Berbeda dengan negara bekas Uni Soviet yang nonmuslim seperti Rusia,
Georgia, dan Armenia. Ketiga negara ini telah memiliki rezim yang lebih demokratis
(setidaknya semidemokrasi), walaupun belum stabil.

Begitu juga dua negara yang mayoritas penduduknya muslim di Eropa Timur yang lahir
setelah berakhirnya komunisme di sana. Albania dan Bosnia menjelma menjadi negara yang
demokrasinya paling buruk daripada negara Eropa Timur lain. Kita juga mengenal ada dua
Siprus, yakni Siprus Yunani dan Siprus Turki. Dalam hal berdemokrasi, Siprus Yunani ternyata
lebih baik daripada Siprus Turki.

Jarangnya demokrasi di dunia muslim dibandingkan dengan dunia nonmuslim merupakan


masalah yang menarik perhatian para ahli politik berbagai kawasan muslim di dunia untuk
berkumpul dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat (PIM) IAIN Jakarta tiga minggu lalu. Apakah Islam sebagai kultur politik
merupakan faktor penting yang membuat demokrasi begitu langka di dunia muslim? Kalau
bukan kultur Islam, lantas apa?

Tidak sedikit ahli politik perbandingan percaya bahwa Islam sebagaimana dipahami, diyakini,
disikapi, dan dipraktekkan oleh masyarakat muslim, berpengaruh terhadap bentuk politik yang
dibangunnya. Umat Islam di berbagai negara muslim di dunia dipercaya punya pandangan
bahwa politik harus berada dalam wilayah keyakinan keagamaan, bukan sebagai wilayah
terbuka bagi pertarungan pengaruh berbagai agama dan berbagai kepentingan. Politik, dan
lebih khusus lagi negara, harus disubordinasikan ke dalam agama Islam. Dipercaya bahwa
keyakinan akan kemenyatuan agama dan negara (din wa dawla) dalam umat Islam sangat
kuat, sehingga sekularisasi politik yang biasa ditemukan dalam demokrasi sulit berkembang di
dunia muslim. Kalaupun sekularisasi politik tersebut terjadi, biasanya berlangsung melalui
represi oleh segelintir elite, terutama tentara, seperti yang ditemukan di banyak negara
muslim. Akibatnya, sekularisasi menjadi berdampingan dengan otoritarianisme.
Ini menambah buruknya citra sekularisasi di mata umat Islam. Pada gilirannya, perlawanan
aktivis politik Islam terhadap rezim sekuler otoritarian ini mendapat amunisi tambahan dan
dukungan serta legitimasi seolah-olah perlawanan ini merupakan gerakan demokrasi melawan
rezim otoritarian. Dalam konteks ini, tidak heran kalau kekuatan politik sekuler (baik yang kiri
maupun kanan) dan kekuatan politik Islam dari masyarakat bisa bergandengan menghadapi
rezim otori-tarian, walaupun mereka punya agenda yang sangat berbeda. Agenda aktivis
politik Islam adalah mengislamkan negara, aktivis kiri menekankan urgensinya negara
demokrasi yang menekankan pemerataan pendapatan dan keadilan sosial, sedangkan aktivis
kanan menekankan negara demokrasi yang memberikan kebebasan lebih besar bagi sektor-
sektor swasta.

Karena itu, tidak sedikit pengamat dan aktivis yang melihat kekuatan politik Islam dari
masyarakat itu sebagai wujud dari kekuatan demokratis. Contoh klasik yang biasa diklaim
sebagai kekuatan demokratis dari aktivis politik Islam ini adalah kemenangan FIS dalam ronde
pertama pemilihan umum awal 90-an di Aljazair, atau kemenangan Partai Refah di Turki
pertengahan tahun 90-an. Keduanya dipercaya merupakan kekuatan demokratis yang berhasil
memperoleh suara dominan dalam kasus FIS dan cukup signifikan dalam kasus Refah melalui
prosedur demokrasi (pemilihan umum bebas). FIS tidak mendapat kesempatan untuk
membuktikan bahwa dirinya merupakan kekuatan demokratis kalau ia berada dalam
kekuasaan, bukan kekuatan fasis Nazi yang menang lewat prosedur demokrasi tapi kemudian
membunuh demokrasi itu sendiri.

Sementara itu, Refah, walaupun tidak berhasil menggaet suara mayoritas pemilih dan kursi di
parlemen, berkesempatan membuat pemerintahan koalisi (dengan partai sekuler). Karena
bukan kekuatan mayoritas mutlak, Refah sebenarnya tidak punya kekuatan menentukan
untuk mengubah Turki menjadi negara Islam. Tapi dugaan korupsi pemerintahan Refah ini,
dan kecurigaan tentara terhadap agenda Islam yang dibawanya, membuat pemerintahan
Refah dibubarkan oleh kekuatan militer.

Dalam politik Turki, Islam politik merupakan isu yang sangat sensitif, dan demokrasi Turki
beberapa kali terganggu karena isu ini. Di Turki tidak mungkin, misalnya, mengemukakan
secara terbuka di media atau dalam diskusi publik bahwa Islam harus diperjuangkan menjadi
sistem politik alternatif terhadap demokrasi sekuler. Sikap berlebihan militer terhadap politik
Islam dan naik-turunnya kekuatan Islam politik telah menyumbang terhadap tidak
terkonsolidasinya demokrasi di Turki sejak demokrasi mulai dipraktekkan pada 1946. Jadi,
Islam sebagaimana dipahami dan disikapi baik oleh tentara maupun oleh aktivis politik Islam
merupakan salah satu faktor penghambat bagi demokrasi di negeri ini.

Di samping itu, kekhawatiran sebagian pengamat dan aktivis terhadap politik Islam ketika itu
dikaitkan dengan partisipasi masyarakat (lewat pemilu atau protes dan demonstrasi)
mendapatkan pembenarannya dalam beberapa kasus lain. Misalnya, partisipasi massa dalam
revolusi Islam Iran yang melahirkan rezim Islam yang non-demokrasi. Kekuatan-kekuatan
liberal dan kiri yang sama-sama berpartisipasi menggulingkan rezim Syah kemudian
tersingkir, dan para mullah kemudian menentukan arah politik negeri ini. Kekuatan politik
Islam yang dibangun dari partisipasi massa lewat perang melawan rezim komunis di
Afganistan juga telah melahirkan rezim Islam yang tidak demokratis, yakni rezim Taliban.
Jadi, kasus-kasus di atas setidaknya mengindikasikan bahwa suatu varian dari kultur politik
Islam merupakan faktor yang tak bisa diabaikan untuk menjelaskan kelangkaan demokrasi di
dunia muslim. Namun, sebagian partisipan dalam konferensi PPIM tersebut percaya bahwa
faktor lebih penting yang menghambat tumbuhnya demokrasi di dunia muslim adalah faktor
"geopolitik strategis" kawasan dan "watak negara" dari negara-negara muslim Timur Tengah,
yang sering dipandang sebagai pusat peradaban muslim.

Datangnya negara-negara Barat untuk menduduki negara-negara di kawasan Timur Tengah


relatif terlambat dan awalnya dilakukan bukan karena alasan ekonomi, tapi lebih merupakan
alasan strategis kawasan tersebut bagi negara-negara Eropa Barat dalam hubungannya
dengan lawan-lawannya dalam Perang Dunia I dan II. Alasan strategis ini diteruskan oleh
Amerika dalam hubungannya dengan Uni Soviet di sepanjang Perang Dingin, dan dalam
konteks semakin bergantungnya industri di Barat pada stabilitas harga minyak.

Pada awalnya, agar Barat dapat menjaga hubungan baik dengan negara-negara ini untuk
mencegah menguatnya pengaruh kekuatan lawan politiknya di tingkat global, Barat ikut
membiayai keberlangsungan negara-negara di kawasan ini. Ini membuat watak negara-
negara tersebut "kuat" dan "intervensionis" dalam hubungannya dengan masyarakatnya,
karena secara keuangan negara tidak bergantung pada pendapatan dari masyarakatnya.

Pola ini berlangsung terutama ketika pendapatan negara dari minyak belum muncul. Ketika
muncul, watak negara yang kuat dan intervensionis ini diteruskan dengan sumber pendapatan
negara dari minyak, yang merupakan milik negara. Ini melahirkan apa yang disebut "negara
rente" (rentier state), yakni negara yang pendapatannya diperoleh dari hasil bumi, bukan dari
rakyat atau sektor swasta dalam negeri lewat pajak, misalnya, yang membuat negara-negara
ini sangat kuat, mandiri, dan intervensionis dalam hubungannya dengan masyarakat.

Lebih dari itu, negara punya kemampuan untuk menyubsidi masyarakat dari hasil minyak
tersebut. Dalam konteks ekonomi seperti ini, kekuatan demokrasi sulit tumbuh karena tidak
ada alasan bagi masyarakat untuk menuntut partisipasi politik, untuk menuntut agar
pemerintah bertanggung jawab dalam pelaksanaan negara terhadap rakyat.

Jadi, langkanya demokrasi di negara-negara muslim yang pendapatan utamanya dari hasil
bumi, atau dari pipa minyak atau gas yang melewati sebuah negara, tidak banyak kaitannya
dengan varian Islam tertentu, melainkan dengan watak dari negara tersebut, apakah
keberlangsungannya bergantung pada hasil bumi atau dari hasil pajak.

Merosotnya pendapatan dari minyak seperti sedang dialami oleh negara-negara muslim Timur
Tengah sekarang barangkali merupakan pertanda awal bagi bangkitnya demokrasi di negara-
negara tersebut. Sebab, masyarakat secara ekonomi akan semakin kurang bergantung pada
negara. Sektor-sektor ekonomi informal yang sekarang tumbuh pesat sebagai alternatif
terhadap berkurangnya lapangan kerja yang disediakan pemerintah bisa menjadi kekuatan
awal bagi tumbuhnya kekuatan masyarakat yang mandiri dari negara, dan dalam
perkembangannya bisa menjadi sumber pajak bagi negara sehingga negara akan menjadi
lebih bergantung pada masyarakat, dan karena itu kemudian masyarakat menjadi semakin
penting dalam proses politik. Ini pertanda awal bagi demokrasi.
Namun, gejala partisipasi masyarakat yang sudah mulai muncul di sejumlah negara di Timur
Tengah secara umum banyak mengambil bentuk gerakan Islam dengan retorika "Islam
sebagai alternatif" terhadap demokrasi. Ini bisa menjadi sumber ketegangan baru yang—
dalam kasus Turki dan Malaysia, misalnya—membuat demokrasi sulit berkembang menjadi
matang dan stabil. Karena itu, di samping dibutuhkan kekuatan ekonomi masyarakat yang
mandiri dari negara, kultur politik demokratis, yakni artikulasi dan sikap tegas dari
masyarakat bahwa demokrasi merupakan sistem politik terbaik dibandingkan dengan sistem
selainnya, tetap penting untuk membantu kemandirian masyarakat secara ekonomi dari
negara tersebut menjadi kekuatan demokratis yang menopang kematangan dan stabilnya
demokrasi di negara-negara muslim seperti Republik Indonesia ini

You might also like