You are on page 1of 4

Bermain Peran Untuk Anak Usia Dini

Selasa, 11 Mei 2010 , Posted by SKB Temanggung at 02:34

Bermain peran juga dapat membuat anak pandai berimajinasi karena


memerankan sosok yang bukan dirinya. Misalnya, dia mengkhayalkan
dirinya menjadi dokter yang menurutnya termasuk sosok
menyeramkan. Melalui cara ini, anak belajar berempati pada posisi
orang lain. Selain belajar bereksplorasi dan berimajinasi serta
meningkatkan kemampuan verbal, dengan bermain peran anak juga
diharapkan dapat mengatasi rasa takut dalam dirinya

Bermain pura-pura menjadi orang lain, binatang, atau karakter


orang lain merupakan tahapan yang sangat menonjol. Anak belajar
melihat dari sisi orang lain (empati). Misalnya anak bermasalah
ketika dibawa ke dokter, orangtua dapat bermain pura-pura untuk
mengatasi rasa ketakutan anak (Tim Pamong Belajar SKB Temanggung,
2005: 16).

Berikut ini rasa takut yang banyak dialami anak dan cara
mengatasinya dengan cara bermain peran (Tim Pamong Belajar SKB
Temanggung, 2005: 16-19):

Takut Dokter

Anak biasanya takut dokter karena pengalamannya pernah disuntik


yang ternyata rasanya cukup menyakitkan bagi mereka. Maka tak
heran, baru memasuki ruangan dokter atau melihat peralatan sampai
mencium “bau” obatnya saja, anak sudah menjerit-jerit atau
menangis histeris. Apalagi kalau saat diperiksa dan disuntik.

Penyebabnya selain karena punya pengalaman traumatik, bisa jadi


ia dulu kenyang ditakut-takuti bakal disuntik dan sebagainya oleh
orang tuanya.

Cara mengatasinya:
Anak memainkan peran sebagai dokter, sedangkan orang tua atau
kakak/adik berpura-pura menjadi pasiennya. Gunakan mainan
berbentuk alat-alat yang biasa digunakan dokter, seperti
stetoskop. Biarkan anak bereksplorasi dan berimajinasi memerankan
dokter yang sedang memeriksa pasien.

Secara tak langsung, anak menjadi tahu bagaimana cara dokter


menghadapi pasien-pasien yang takut diperiksa. Semisal dengan
cara menenangkannya, “Jangan takut, ya, Bu-Pak. Saya cuma periksa
sebentar aja, kok. Kalaupun harus disuntik, enggak sakit, kok.
Kan, supaya lekas sembuh.” Dengan berpura-pura memberikan nasihat
seperti itu, bukan tidak mungkin sosok dokter justru menarik
minatnya dan malah bercita-cita menjadi dokter.

Takut pada orang yang baru dikenal

Tak jarang anak-anak tampak takut pada orang yang pertama kali
ditemuinya. Dia akan berusaha menjaga jarak, apalagi orang yang
menghampirinya itu berwajah kurang “bersahabat”. Yang juga kerap
terjadi, orang tua terkesan berlebih saat menasihati anaknya
untuk tidak terlalu akrab dengan orang yang tidak dikenal. “Awas,
kamu jangan deket-deket sama orang yang enggak kamu kenal. Bisa-
bisa kamu nanti diculik, lho!”

Memang, sih, ada segi positifnya bila orang tua senantiasa wanti-
wanti si kecil agar waspada terhadap orang lain atau yang baru
dikenalnya. Tapi tentunya bukan dengan cara berlebihan yang
menyebabkan si kecil malah selalu ketakutan pada orang lain.

Cara mengatasinya:
Ajak anak bermain tamu-tamuan. Ikutkan pula teman-temannya.
Posisikan dia untuk bergantian memainkan peran sebagai tamu yang
berkunjung ke rumah orang lain, atau sebagai nyonya rumah yang
kedatangan tamu. Bermain peran untuk mengikis rasa takut pada
orang lain juga bisa dilakukan dalam berbagai situasi, seperti di
toko, sekolah dan tempat keramaian lainnya.

Takut Polisi
Seringkali dengan kewibawaannya, sosok polisi dianggap momok yang
menakutkan oleh anak. Hanya anak-anak tertentu yang menganggap
sosok polisi tidak menakutkan.
Cara Mengatasi:
Berikan pakaian polisi mini, ajak anak belajar mengatur lalu
lintas secara bergantian dengan teman mereka. Secara tidak
langsung permainan peran ini akan melatih keberanian anak untuk
lebih mengenal sosok polisi, bukan sebagai pribadi yang
menakutkan. Bisa juga terjadi anak akan lebih tertarik untuk
bercita-cita sebagai polisi.

Takut Binatang

Adalah hal yang wajar bila anak takut pada binatang yang baru
pertama kali dilihatnya. Apalagi bila hewan itu kelihatannya buas
dan menyeramkan. Hanya saja sungguh sayang bila orang tua tak
berusaha menjelaskan dan memperkenalkan anak pada binatang-
binatang yang ditemuinya tadi. Seperti mengajaknya mengelus-elus
bulu kucing atau memberi makanan pada induk ayam dan anak-
anaknya. Sangat tidak bijaksana pula jika orang tua malah
menambah rasa takut anak pada binatang yang sebenarnya relatif
tak membahayakan. “Awas, jangan dekat-dekat, nanti kamu dicakar
kucing.”

Cara mengatasinya:
Anak bermain peran sebagai sosok pemandu/pelatih sirkus yang
sehari-hari melatih binatang. Ini akan menyadarkan anak bahwa
binatang pada dasarnya bisa dilatih untuk menurut dan diajak
bekerja sama. Cara lain adalah dengan bermain sandiwara di
panggung yang menggelar cerita tentang hewan-hewan sebagai
sahabat manusia.

Takut Sekolah

Anak yang pertama kali masuk Kelompok Bermain awalnya takut


beradaptasi dan bersosialisasi dengan guru dan teman-teman
barunya. Terlebih bila orang tua juga tak berusaha memperkenalkan
si kecil pada temannya.

Cara mengatasinya:
Sebelum didaftarkan masuk Kelompok Bermain, anak diajak bermain
sekolah-sekolahan. Anak bermain peran sebagai murid atau guru.
Saudara sepupu si kecil atau tetangganya yang seusia bisa
dilibatkan untuk berpura-pura sebagai murid. Sehingga anak tak
takut dan tak canggung lagi di hari pertamanya masuk Kelompok
Bermain.

Takut Hantu
Banyaknya tayangan televisi yang menyajikan
program acara bertajuk cerita hantu tak ayal ikut mempengaruhi
kadar rasa takut anak-anak. Ironisnya, tak sedikit orang tua yang
menjadikan cerita hantu ini sebagai “senjata” untuk menakuti-
nakuti si kecil. Meskipun rasa takut pada hantu bisa saja terjadi
akibat faktor “genetik” berupa sikap penakut dari orang tuanya.

Cara mengatasinya:
Anak bermain peran sebagai hantu yang selalu membantu orang yang
kesulitanCasper. Atau bisa juga berperan sebagai penyihir yang
baik hati. Jadi, anak mempersepsikan hantu bukan sebagai sosok
yang menakutkan. seperti film/buku cerita

You might also like