You are on page 1of 8

ISU LAMA UNDANG-UNDANG BARU

Di tengah keprihatinan akan merebaknya praktik pornografi-pornoaksi berikut


segala dampaknya, pemberlakukan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi ternyata tidak lantas mendapat sambutan positif dari masyarakat. Malah
kontroversi seputar disahkannya Undang-Undang Pornografi (UU Pornografi) oleh DPR
pada 26 November 2008 terus menjadi isu "panas" kedepannya. Apalagi terbaru,
mencuatnya kasus video asusila yang melibatkan figur publik setenar Nazriel Irham atau
Ariel Peterpan, Luna Maya dan Cut Tari beberapa waktu lalu, yang sempat
menghebohkan masyarakat Indonesia. Banyak pihak menuntut agar uji kelayakan
terhadap UU Pornografi harus segera dilakukan.
Ditilik lebih dalam, pada intinya kontroversi mengenai pemberlakuan UU
Pornografi ini mengarah pada akar pendapat yang lebih substantif. Mengingatkan kita
pada perdebatan klasik mengenai perlu atau tidaknya UU Pornografi ini diberlakukan,
yang memang sejak undang-undang ini digodok, menjadi sebuah isu utama dalam
pergulatan panjang di Senayan. Bahkan hampir tiga tahun UU Pornografi ini
diberlakukan, isu lawas itu tetap tak pernah lelah mendera undang-undang yang jika
dilihat dari segi tatanan birokrasi, termasuk undang-undang yang berusia muda ini. Di
samping pernyataan dukungan, suara penolakan pun tak kalah santer menyeruak ke
permukaan. Berbagai alasan dikemukakan, mulai dari yang tidak logis, pragmatis hingga
alasan yang ideologis.

Membelah Masyarakat
Kontroversi tersebut begitu tajam seolah membelah masyarakat menjadi dua
kubu; kubu yang menerima dan kubu yang menolak. Barangkali ada pula kubu yang tidak
peduli, bahkan ada yang secara diam-diam menolak karena sangat menikmati keberadaan
pornografi dan pornoaksi yang bersahabat kental dengan seksualitas, konsumerisme, dan
lain-lain.
Dari kubu yang mendukung lahirnya terhadap UU Pornografi ini, khususnya dari
kalangan tokoh masyarakat dan kaum agamawan, beralasan bahwa keberadaan
pornografi dan pornoaksi telah berdampak buruk bagi moralitas bangsa, khususnya
moralitas generasi muda. Di tengah kecenderungan terjadinya perubahan sikap dan pola
perilaku generasi muda yang cenderung semakin permisif, tentu sangat riskan jika terus
dihadirkan berbagai media, panggung dan lingkungan yang menawarkan kebebasan tanpa
kendali dalam skala yang paling ekstrem. Pornografi dianggap sudah perlu disikapi
dengan undang-undang agar pembebasan moralitas bangsa dari hal-hal negatif seperti
pornografi, dapat segera diraih.
Sedangkan, dari kubu yang menolak kehadiran UU Pornografi ini, khususnya dari
kalangan perempuan aktivis, LSM dan budayawan dan/atau seniman serta sebagian
kalangan pers, senantiasa mengajukan beragam alasan. Pertama, alasan yang sangat
klasik, yaitu terhadap UU Pornografi membatasi ruang kreasi seni dan kebebasan
berekspresi masyarakat. Alasan kedua, terhadap UU Pornografi bertentangan dengan adat
istiadat dan budaya bangsa yang majemuk. Bila ditarik garis lurus, UU Pornografi
menabrak adat istiadat sebagian suku seperti Bali dan Papua. Ketiga, UU Pornografi
secara langsung mempertontonkan bentuk intervensi negara terhadap ruang privat warga
negara, seperti mengatur masalah pakaian dan tubuh perempuan; paha, dada dan pusar,
dan domain pribadi lainnya. Keempat, UU Pornografi sangat diskriminasi terhadap
perempuan. Karena seksualitas dan sensualitas sangat melekat pada kaum berjenis
kelamin perempuan.
Tulisan ini tidak ingin mengelaborasi pro dan kontra yang terjadi, tetapi lebih
pada keinginan untuk menarik benang merah di antara kontroversi itu. Sebuah benang
merah yang berlandaskan pada suatu kenyataan bahwa kebebasan komunikasi dan
informasi serta arus globalisasi secara kasat mata telah berefek negatif terhadap
perkembangan akhlak bangsa dan dikhawatirkan akan semakin kebablasan. Apabila
mempersoalkan pornografi sebagai penyebab hancurnya moralitas, karena tindakan
asusila semakin meningkat, memang hal itu perlu diperdebatkan. Kalau mau jujur, tanpa
maraknya pornografi pun tindakan asusila dan rusaknya moralitas bangsa memang sudah
sangat memprihatinkan. Kehidupan ekonomi yang menghimpit, stress dan frustrasi
masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor eksternal, telah mengantarkan
masyarakat pada tindakan asusila. Citra negatif di kalangan elite masyarakat bangsa dan
negara telah berpengaruh pula pada peningkatan tindakan asusila. Padahal sebenarnya
tidak ada jaminan bahwa tindakan asusila berkurang meski ada larangan dalam undang-
undang. Sebab, akibat globalisasi telekomunikasi, masyarakat sudah begitu mudah
mengakses berbagai berita dan hiburan yang kental bernuansa pornografi dan pornoaksi
lewat berbagai media internet dan sebagainya. Hanya saja secara garis besar, risiko akan
semakin berat bila pornografi dan pornoaksi dibiarkan tumbuh subur tanpa kendali.
Kita boleh berargumen UU Pornografi tidak diperlukan karena sudah ada KUHP,
misalnya. Selain itu juga sudah ada UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, UU Perlindungan
Konsumen, UU Perlindungan Anak dan norma-norma masyarakat Indonesia. Tetapi,
ternyata semua aturan hukum itu tidak sanggup lagi membendung pornografi dan
pornoaksi, yang memang -- bila kita jujur -- fenomena itu benar-benar sudah kebablasan.
Peraturan-peraturan itu tidak sanggup lagi membendung meluasnya liberalisasi
moral yang membawa demoralisasi masyarakat. Dalam kenyataan masih sangat banyak
warga kita yang mudah tergoda imannya oleh kehadiran pornografi dan pornoaksi. Jadi,
persoalannya, bukan terletak pada hadir atau tidaknya UU Pornografi, tetapi apakah
materi UU Pornografi itu menguntungkan atau merugikan pihak tertentu. Karena itu,
yang paling tepat sekarang adalah dibuka seluas-luasnya forum dialog, ruang-ruang
perdebatan dengan melibatkan banyak pihak. Lewat forum dialog dan perdebatan itu juga
bisa diketahui secara jelas definisi pornografi itu sendiri, meskipun tak dapat disangkal
pornografi melahirkan definisi yang beragam berdasar pandangan suku, budaya, dan
agama. Bahkan, setiap orang juga punya batas sendiri tentang mana tingkah laku erotis
yang membangkitkan birahi dan mana yang termasuk unsur seni, bukan usaha untuk
membangkitkan birahi seks. Forum dialog itu mempermudah lahirnya UU Pornografi
yang lebih jernih sehingga implementasi di lapangan pun diharapkan lebih pas.

Peran Pemerintah
Lebih dari sekadar perdebatan soal moralitas dan/atau pornoaksi di balik UU
Pornografi itu, semua itu adalah batu ujian bagi pemerintah tentang sikapnya. Apakah
pemerintah pro terhadap suara keprihatinan yang dikemukakan warga yang cemas akan
hancurnya moralitas dan nasib generasi muda atau berpihak pada kekuatan dan
pertimbangan komersial yang acap kali mematikan moralitas dan susila?
Kita sangat mengharapkan pemerintah tidak menutup mata terhadap berbagai
fenomena kontroversial yang berkembang di masyarakat. Pemerintah sendiri memandang
tindak pornografi yang tengah terjadi sudah tidak dapat ditolerir lagi dan berupaya untuk
menghentikannya. Seperti yang dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
menegaskan, bahwa kegiatan pornografi yang sekarang terjadi di masyarakat tidak bisa
ditoleransi lagi.
Pemerintah menganggap telah melakukan usaha maksimum, yaitu dengan
memberlakukannya UU Pornografi sebagai langkah pemberantasan dan penanggulangan
pornografi dan pornoaksi. Namun yang harus diantisipasi pemerintah adalah dampak
legalisasi pornografi yang lemah, karena dengan lahirnya UU Pornografi pun ternyata
tak sanggup membendung laju pornografi yang menggerus nilai moralitas. Tanpa
peraturan hukum yang jauh lebih tegas, maka akselerasi perkembangan sikap permisif
masyarakat bisa terus kebablasan.
Perubahan sikap permisif dalam kenyataannya selalu terjadi secara gradual, dari
waktu ke waktu. Sedikit demi sedikit tanpa disadari yang namanya batas toleransi
terhadap pornografi dan pornoaksi niscaya makin kendur. Sehingga pada satu titik kita
tidak lagi mempersoalkan ke arah mana kebebasan ekspresi, dan kebebasan media.
Seperti biasa, menyesal selalu terlambat datangnya, dan kita tidak berdaya lagi karena
membiarkan sekat keterbukaan terkoyak pelan akibat diselewengkannya oleh
kepentingan-kepentingan kelompok.

Perlu Rumusan Jelas

Hingga saat ini, belum ditemukan rumusan dan definisi yang jelas dari pornografi
maupun pornoaksi. Kriteria apa saja yang termasuk kategori dari definisi tersebut?
Masing-masing pihak memberi makna dan menginterpretasi sesuai persepsinya sendiri-
sendiri. Termasuk di dalam UU Pornografi yang disahkan Badan Legislatif Dewan
Perwakilan Rakyat pun masih terlalu umum, tidak mencantumkan batasan jelas yang
mudah dipahami pembaca, sehingga dapat menimbulkan interpretasi bermacam-macam.
Tanpa bermaksud menggurui, pornografi dalam Kamus Inggris-Indonesia oleh Hasan
Shadily berarti porno, gambar/bacaan cabul. Feminis dan moralis konservatif
mendefinisikan pornografi sebagai penggambaran material seksual yang mendorong
pelecehan seksual dengan kekerasan dan pemaksaan (lihat Ensiklopedia Feminisme,
Maggie Humm). Menurut definisi UU Pornografi, "pornografi adalah gambar, sketsa,
ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak
tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau
pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang
melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat."

Menurut definisi agama (Islam), segala sesuatu yang mengakibatkan seseorang


cenderung melakukan perbuatan asusila (fakhisyah) adalah berdosa. Sebagaimana
disebutkan dalam QS 17/Al-Isra 32: "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk". Pornografi
dianggap mendekati perbuatan zina sehingga harus dilarang, dan jika dilakukan maka
pelakunya harus bertobat karena dianggap berdosa. Apalagi sampai berbuat zina maka
dianggap telah melakukan dosa besar. Jika pelakunya masih bujangan maka harus
dicambuk sebanyak seratus kali (mi'ata jaldah), dan jika pelakunya dalam status sudah
menikah maka harus dihukum dengan dilempar batu sampai meninggal (rajam).

Dari sudut pandang mana kita akan meneropong berbagai definisi tersebut? Jika
kita melihatnya secara parsial hanya dari satu sudut pandang saja apakah sudut pandang
agama, sosial-budaya, ekonomi, politik, atau lainnya, maka akan menghasilkan
pandangan berbeda-beda dan sama benarnya.

Bila definisi itu dalam konteks rumusan undang-undang, harus dilihat secara
komprehensif dengan berbagai perspektif dan dirumuskan dengan kalimat yang jelas dan
tegas. Ini penting mengingat subyek hukum di Indonesia adalah semua warga negara
yang memiliki berbagai agama, suku, tradisi dan kepentingan bermacam-macam. Apa
pun definisi yang disepakati mengenai pornografi nanti, peredaran pornografi harus
diatur.

Pertanyaannya, apakah memang perlu dengan undang-undang khusus seperti yang


diusulkan oleh Badan Legislatif? Apakah tidak cukup dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) menggunakan pasal-pasal pelanggaran kesusilaan?
Persoalan sebenarnya bukan pada tidak adanya aturan hukum sehingga perlu
aturan hukum atau undang-undang baru, tetapi persoalan aling mendasar adalah pada
lemahnya pelaksanaan hukum oleh aparat penegak hukum kita serta rendahnya kualitas
pendidikan moral dan pembinaan agama pada keluarga. Kenyataannya fenomena
pornografi telah mengekspresikan tingginya tingkat eksploitasi terhadap perempuan.
Perempuan menjadi obyek seks, obyek pelecehan, bahkan kekerasan. Seksualitas
perempuan pun kemudian hanya dikuasai, diekspresikan, dan direproduksi dengan nilai-
nilai dan perspektif kepentingan laki-laki. Produsen yang membuat materi porno, baik
mereka perempuan maupun laki-laki, berada dalam budaya patriarkhi. Seksualitas
perempuan dikendalikan laki-laki, dengan selera laki-laki.

Dalam hal ini pornografi layak didefinisikan sebagai kekerasan terhadap hak-hak
perempuan karena yang menjadi korban baik yang dieksploitasi untuk pornografi maupun
akibat menikmati pornografi tersebut selalu kaum perempuan. Meskipun belum ada
penelitian mengenai hal tersebut, namun dapat dipastikan 99,9 persen korbannya adalah
perempuan, baik berupa pelecehan seksual, kekerasan seksual dalam rumah tangga,
maupun pemerkosaan. Disadari ataupun tidak, disukai maupun tidak, konsumen
pornografi sesungguhnya adalah laki-laki. Jadi, yang perlu ditata terlebih dahulu sebelum
diputuskan perlu tidaknya undang-undang antipornografi adalah pola berpikir laki-laki,
pikiran kotor laki-laki yang selama ini mendominasi inspirasi para produsen dan
konsumen pornografi.Fenomena tersebut perlu disikapi secara bijaksana. Upaya
pencegahan tidak cukup hanya dengan aturan atau undang-undang bila para pembuat UU,
pelaksana UU, para aparat atau penegak hukum dan masyarakat tidak memiliki persepsi
yang sama dan kesadaran yang sama mengenai pornografi.

Oleh karena itu, fenomena pornografi harus dilihat dari berbagai sudut pandang
dengan mengajak seluruh lapisan masyarakat bersama-sama memberi masukan positif
dan konstruktif tidak hanya sebatas pada materi undang-undang, tetapi dipikirkan juga
bagaimana implementasinya. Terlalu banyak UU yang sudah kita miliki dalam mengatur
kehidupan warga negara, tetapi implementasinya sering kali jauh dari yang diharapkan.
Supaya UU Pornografi tidak terjebak pada kepentingan sesaat dan tumpang tindih
di antara carut-marutnya perundang-undangan di republik ini, sebaiknya dibedah dengan
perspektif yang komprehensif dan berjangka panjang. Selain itu, meskipun perlu dibuat
aturan, tetapi harus memperhatikan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai lain yang dianut
masyarakat baik yang bersumber dari agama maupun budaya yang tidak bertentangan
dengan hak-hak asasi manusia.

Catatan Akhir

Maraknya pornografi dan pornoaksi berikut segala dampaknya hanya merupakan


salah satu bentuk kebobrokan yang dihasilkan dari sistem kapitalisme sekular yang rusak,
yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat saat ini. Karena itu,,untuk
memberanguskan semua itu,dengan cara mencampakkan sistem ini dan mengganti nya
dengan suatu sistem yang tepat. Pemerintah tengah berusaha untuk mencari solusi dari ini
semua. Dengan disahkannya UU Pornografi tanggal 26 November 2008 kemarin,
diharapkan pembebasan bangsa ini dari kebobrokan yang dihasilkan dari sistem
Kapitalisme sekular yang rusak itu, dapat dicapai melalui pembatasan segala pikiran dan
tindakan yang mulai menabrak dinding-dinding norma dan krama akibat laju globalisasi
yang melesat. Walaupun dalam perjalanannya, UU Pornografi masih memerlukan
perbaikan dalam mencapai ”misinya” tersebut. Artinya, pemberlakuan UU Pornografi
saja sebenarnya belum bisa menjamin penyelesaian persoalan pornografi. Tentu saja
peran masyarakat sangat diperlukan dalam hal ini agar suatu sistem yang tepat tersebut,
dapat segera ditemukan.
PENULISAN ARTIKEL MENGENAI UNDANG-UNDANG
PORNOGRAFI;
ISU LAMA UNDANG-UNDANG BARU

DI TULIS OLEH :
ENGGA RENDRAGRAHA FARIDESTRA
108500057
MARKETING COMMUNICATION B 2008

INSTITUT MANAJEMEN TELKOM

TAHUN AKADEMIK 2011

You might also like