You are on page 1of 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konsistensi Islam sebagai agama samawi termodern dari sekian

banyak agama samawi lainnya, ikut tertantang menghadapi berbagai

perubahan peradaban manusia dari zaman jahiliah sebagai era teologi

masyarakat penyembah berhala sampai zaman sekarang suatu era teknologi

globalisasi dunia yang serba rasional. Seiring dengan perkembagan zaman

itulah yang datang dan pergi setiap hari dengan membawa berbagai peradaban

baru yang jauh berbeda dari situasi dan kondisi masa lalu itu Islam

menampilkan ajaran-ajarannya yang bersifat tetap dari sang pencerah

Rosulullah sampai dekade zaman dikatakan modern atau past modern dan

konsep itu tidak akan pernah berubah dari zaman ke zaman sampai dunia ini

tinggal nama belaka. Disisi lain zaman merupakan sesuatu yang senantiasa

menuntun perubahan dan pembaharuan dari pola piker, pola sikap dan pola

hidup masyarakat dunia dan tidak ketinggalan di dalamnya masyarakat

muslim sebagai kaum yang berserah diri keharibaan Sang Maha Pencipta.

Kita manusia penikmat peradaban teknologi dunia barat akan

merasakan betul perbedaan dan perubahan dari waktu ke waktu, dikala zaman

belum tersentuh oleh berbagai produk teknologi dan elektronik yang serba

otomatis dan instant itu dengan peradaban tempo dulu yang operasional

kinerjanya selalu butuh banyak waktu. Dengan kenyataan zaman modern

1
seperti itulah pergeseran pola piker dari yang sifatnya kultur menjadi pola

piker yang sifatnya rasional, cenderung kebendaan (materialistis) semakin

tumbuh subur pada pola hidup masyarakat dengan sedikit menggeser pola

tradisional yang serba kerjasama dan saling menghormati dan perhatian

diantara sesame menjadi apriori kurang kepedulian terhadap gejolak social

dan cenderung egois dengan mementingkan diri sendiri. Dan juga kita

mengalami betul masa dimana/anak menjadi tidak berpengaruh, pokoknya

serba praktis dan banyak hal yang dimasa orang tua apalagi kakek kita dulu

belum pernah ada, hari ini dengan segala kecanggihannya hadir di depan mata,

tiap hari ilmu pengetahuan membawa sesuatu yang baru dan informasi yang

aktual bagi peradaban manusia.

Islam sebagai agama yang diridoi Allah SWT, seperti yang

difirmankan pada surat Ali Imron ayat 19.

      


Yang artinya : sesungguhnya agama yang dioridoi Allah SWT adalah

agama Islam. (H. Salim Bahreis, 1984:33).

Dengan keyakinan penuh jika kita mengikuti dan mengamalkan

ajarannya kita akan senantiasa mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Sebagai dasar konsep teologi satu-satunya, Islam harus senantiasa

berada selalu didada kita, sekalipun perubahan dan pergerakan dunia semakin

hari semakin sulit untuk dibendung, tidak hanya dalam ranah teknologi,

namun juga merambah masuk ke dalam sisi-sisi kehidupan lainnya. Seperti

2
politik, hokum, social dan budaya, semuanya secara serta merta terkena

dampak dari derasnya laju perubahan dunia kontemporer ini. Akibatnya para

penganut agama secara keseluruhan mulai mempertanyakan bagaimana posisi

agama dalam kancah perubahan global ini. Masihkah Islam sanggup

menjalankan perannya dalam menjawab segala tantangan zaman yang selalu

menghendaki perubahan dan pembaharuan di berbagai sector kehidupan

manusia ?

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah seperti itu, maka tersusunlah

rumusan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah konsep ajaran Islam memandang

perubahan zaman itu ?

2. Bagaimanakah tantangan zaman dan perubahan

Modernitas dunia itu ?

3. Bagaimanakah Islam menjawab tantangan zaman

yang banyak memberikan perubahan pada tatanan social itu ?

C. Tujuan Penulisan

1. Ingin mengetahui konsep ajaran Islam memandang

perubahan zaman.

2. Ingin mengetahui ruang lingkup tantangan zaman

dan perubahan modernitas dunia.

3
3. Ingin mengetahui jawaban Islam terhadap tantangan

zaman yang banyak memberikan perubahan pada tatanan social

masyarakat dunia.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Islam

Agama Islam adalah wahyu yang diturunkan oleh AllAh SWT, kepada

Rasul-Nya untuk disampaikan kepada segenap umat manusia sepanjang masa

dan setiap persawa (Endang Saifuddin Anshari, 1993:19). Sedangkan definisi

lain pernah disampaikan oleh salah seorang ulama Mesir yang pernah menjadi

Rektor Universitas Al Azhar Kairo yaitu Syaikh Mahmud Syaltut : Islam itu

adalah Agama Allah yang diperintahkannya untuk mengajarkan tentang

pokok-pokok serta peraturan-peraturannya kepada Nabi Muhammad SAW

dan menugaskannya untuk menyampaikan agama tersebut kepada seluruh

manusia dan mengajak mereka untuk memeluknya (Endang Saifuddin

Anshari, 1992:20).

Islam atau Al Islam menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW berpedoman kepada kitab

suci Al Qur’an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SSWT.

Menurut ensiklopedia Indonesia, Islam adalah berserah diri kepada Tuhan,

yaitu agama yang percaya adanya satu Tuhan. Namun menurut Abu A’la Al

4
Mauduni, Islam bukanlah nama dari suatu keyakinan yang unik yang untuk

pertama kalinya oleh Muhammad SAW. Oleh karena itu, Muhammad SAW

tidak dapat disebut sebagai pendiri agama Islam. Al Qur’an telah menyatakan

secara sangat jelas bahwa Islam adalah pemasrahan diri yang sempurna

kepada Allah SWT sebagi satu-satunya keyakinan yang terus diwahyukan

sejak awal kejadiannya, Nuh, Ibrohim, Musa dan Isa, para Nabi tampil dimasa

dan tempat yang berbeda semuanya menyampaikan hal yang sama. Mereka

bukanlah para pendiri dari keyakinan yang berbeda. Masing-masing dari

mereka mengulangi kembali keyakinan yang telah disampaikan oleh

pendahulunya.

Dari berbagai pendapat di atas kita mendapatkan gambaran bahwa

Islam merupakan agama yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia agar

dapat hidup sesuai perintah Allah sehingga tugas manusia sebagai kholifah di

muka bumi dapat tercapai.

Ketika zaman perubahan bergulir cepat, perkembangan ilmu dan

teknologi semakin dahsyat. Sebagian pemikiran Islam tiba-tiba terperanjat

harus menghadapinya. Terperanjat karena kemajuan it uterus saja bergerak

maju tanpa kompromi, sementara mereka yakin bahwa Islam harus memiliki

jawaban untuk semuanya itu. Hegemoni barat dan takluknya banyak wilayah

Islam secara politis maupun budaya justru semakin memperparah

keterperanjatan mereka saaat renaissance “meledak” di barat, harus diakui

bahwa putaran roda umat Islam sedang berada di bawah, untuk tidak

menyatakannya takluk kepada barat dengan kondisi yang seperti itu Tesis Ibnu

5
Kholdun dalam Muqaddimah-nya, menyatakan bahwa bangsa yang takluk

hampir bisa dipastikan akan mengekor setidaknya secara psikologis pada

bangsa pemenang. Hal ini kemudian banyak pemikir Islam yang hingga kini

berusaha keras untuk membuktikan bahwa Islampun sejalan dengan

perkembangan zaman itu. Mereka ingin menunjukkan bahwa Islam tidak

ketinggalan zaman, suara-suara yang menggunakan isu pembaharuan terhadap

Islam menggema diberbagai wilayah kaum muslimin. Sayangnya, niat baik

dan usaha keras itu seringkali berdampak negative, tanpa disadari upaya

peruabahan yang mereka lakukan justru membaratkan Islam dan bukan

mengislamkan nilai-nilai barat. Akibatnya banyak nilai-nilai Islam yang

bersifat prinsipil dinafikan bahkan karena dianggap mengganggu kemajuan

peradaban modern harus dibuang. Ide-ide seperti sekularisme, liberalisme dan

pluralisme yang marak belakang ini.

B. Zaman Modern

Modern berarti baru, saat ini, up to date. Ini adalah makna obyektif

modern. Secara subyektif makna modern terkait erat dengan konteks ruang

waktu terjadinya proses modernisasi. Nurcholis Majid melihat zaman modern

merupakan kelanjutan yang wajar pada sejarah manusia. Setelah melalui

zaman pra-sejarah dan zaman agrarian di Lembah Mesopotamia (bangsa

Sumeria) sekitar 5000 tahun yang lalu, umat manusia memasuki tahapan

zaman baru, zaman modern, yang dimulai oleh bangsa Eropa Barat lautsekitar

dua abad yang lalu (Majid, 2000:450) Zaman baru ini menurut Arnold

6
Toynbee seperti yang dikutip oleh Majid, dimulai sejak menjelang akhir abad

ke 15 M ketika orang Barat berterim kasih tidak kepada Tuhan tetapi kepada

dirinya sendiri karena telah berhasil mengatasi kungkungan Kristen abad

pertengahan. Zaman modern merupakan hasil dari kemajuan yang dicapai

masyarakat Eropa dalam sains dan teknologi. Pencapaian tersebut berimbas

pada terbukanya selubung kesalahan dogma gereja setelah manusia berhasil

mengenal hukum-hukum alam dan menguasainya. Pengetahuan tersebut

menjadi kritik terhadap gereja dan berujung pada sikap anti gereja. Maka, di

era ini, manusia menjadi penguasa atas diri dan hidupnya sendiri. Doktrin

teosentris (kekuasaan Tuan) yang dihegemonikan gereja selama abad

pertengahan diganti dengan doktrin manusia sebagai pusat kehidupan

(antroposentrisme). Sebagai kritik atas masa lalu, zaman modern banyak

memutus nilai-nilai dan jalan hidup tradisional dan digantikan dengan nilai-

nilai baru berdasar sains yang dicapai manusia. Di era ini manusia mencipta

pola hidup baru yang berbeda dengan era sebelumnya. Tentang hal ini David

Kolb menyatakan “we are developing something new in history” (Kolb,

1986:2). Kepercayaan diri manusia modern membuat banyak dari mereka

yang mengasumsikan zaman modern sebagai puncak perkembangan sejarah

kemanusiaan. August Comte, salah seorang ilmuan positivis, mengakui bahwa

sejarah peradaban manusia mengalami tiga tahap perkembangan;

1) Teologis, dimana manusia memahami alam sebagai hasil campur tangan

Tuhan. Tahap ini terbagi dalam tiga sub: animisme, politeisme, dan

monoteisme.

7
2) Metafisika. Pada tahap ini peran Tuhan di alam digantikan oleh prinsip-

prinsip metafisika, seperti kodrat.

3) Adalah positif. Tahap ini diwarnai oleh keyakinan yang cukup besar pada

kemampuan sains dan teknologi. Manusia tidak lagi mencari sebab absolut

ilahiah dan berpaling pada pemahaman hukum-hukum yang menguasai

alam.(Donny Gahral Adian, 2002:65-66).

Penguasaan atas sains dan teknologi membawa bangsa-bangsa Eropa

ke arah kemajuan luar biasa hingga mampu menandingi dan menguasai

bangsa-bangsa Islam. Kolonialisasi menjadi pilihan yang diambil bangsa-

bangsa penguasa baru tersebut. Kolonialisme dilakukan bukan hanya dengan

senjata mesin, tetapi juga tata nilai, ideologi dan kultur. Maka, terjadilah

pergesekan antara nilai baru yang dibawa oleh bangsa kolonial dengan kultur

asli bangsa muslim.

1. Modernisme

Modern bukanlah sekadar suatu periode, melainkan pandangan-dunia

atau prinsip metafisis (ontologis). oleh karena itu, dunia modern diartikan

dalam makalah ini adalah dunia yang didominasi oleh pandangan-dunia

modern. Dalam kata lain, dunia modern merupakan pengejawantahan prinsip-

prinsip modern dalam kehidupan manusia atau masyarakat. Menurut ahli

sejarah peristwa modern awal kali terjadi ditandai dengan pergeseran

teosentris ke antroposentris dalam kehidupan masyarakat. Sekali lagi,

pergeseran tersebut merupakan suatu hal khas Barat atau dunia Kristiani. Oleh

8
karena itu, pergeseran tersebut sama saja dengan mengatakan terjadi

pergeseran otoritas yang awalnya dimonopoli oleh Gereja kemudian ke

individu. Tapi, secara umum, pergeseran tersebut bisa dimaknai, jika

menggunakan sudut pandang kalangan perenialis, lepas atau tercerabutnya

dimensi spiritual dalam kehidupan masyarakat. Hal yang disebut di atas

adalah ciri dari dimensi metafisis dan filosofis modern. Sedangkan dari

karakter sains modern, pergeseran terjadi dari pelacakan jejak Tuhan (vestigia

Dei) di alam ke penaklukkan alam. Sains modern pada prinsipnya merupakan

narasi penaklukkan atau penundukkan. Alam dilihat sebagai suatu yang kacau

dan tidak tertala serta irasional. Oleh karena itu, alam dan juga perempuan

harus ditundukkan atau ditaklukkan. Sebelum pandangan-dunia modern

muncul sebagai fenomena mainstream, sejak zaman neolitikum, masyarakat

melakukan domestifikasi alam hanya untuk keperluan tempat tinggal dan

konsumsi. Ketika pandangan-dunia modern hadir sebagai suatu hal niscaya di

tengah masyarakat, domestifikasi alam tidak hanya sekadar untuk memenuhi

keperluan tempat tinggal menetap dan konsumsi, melainkan alam secara

substansial pun didomestifikasi. Dari sinilah muncul gagasan civilized dan

uncivilized. Persoalan domestifikasi alam ini pun turut menjadi suatu penanda

progresifitas. Masyarakat prasejarah yang hidup penuh harmonis dengan alam

disebut uncivilized karena tidak melakukan domestifikasi penuh terhadap

substansi alam. Penanda modern lain di antaranya ialah:

1) Munculnya kolonialisme atas nama civilization;

2) Revolusi Prancis;

9
3) Revolusi Industri;

4) Kapitalisme;

5) Komodifikasi;

6) Mediasi dalam relasi sosial (ie. negara); dan

7) Mekanisasi kehidupan.

Karakter-karakter tersebut pada akhirnya turut memengaruhi

bagaimana teologi dalam Islam diperbincangkan dan dimaknai. Misalnya,

gagasan konflik antara sains dan agama merupakan fenomena Barat. Dalam

Islam sains dan agama tidak pernah dipertentangkan sebagai hal mainstream.

Ketika teologi Islam memasuki diskursus ini, maka mau tidak mau telah

muncul asumsi (hidden assumption) bahwa sains dan agama, dalam hal ini

Islam, bertentangan. Konsep teologi secara historis merupakan term khas

Kristen atau perspektif Barat (Western worldview). Dalam Islam, dikenal

konsep atau disiplin kalam yang biasanya dipadankan dengan theology. Secara

historis, theology dengan kalam memiliki perbedaan.

2. Relevansi Teologi Islam dalam Dunia Modern

Pertanyaan apakah teologi Islam dapat menjawab

tantangan dunia modern atau dalam kata lain apakah teologi

Islam relevan dalam menjawab tantangan zaman, menjadi

kompleks dengan latar belakang yang sudah disebutkan di

bagian-bagian sebelumnya. Untuk menjawab tantangan dunia

modern, teologi Islam tidak hanya berurusan dengan

10
pemikiran atau penalaran saja, melainkan juga dengan

tindakan hegemonik dan penaklukkan. Untuk menjawab

tantangan tersebut, teologi Islam harus menggunakan banyak

kacamata, mulai dari kacamata politis, geografis, kultural, dll..

Ketika kacamata-kacamata tersebut diabaikan, jelas teologi

Islam menjadi tidak relevan. Tapi, irelevansi tersebut

dikarenakan teologi Islam tidak dapat melihat persoalannya

secara menyeluruh. Dunia modern dibangun dengan banyak

dimensi, sedangkan teologi adalah salahsatu dimensi. Dunia

modern hadir tidak hanya dengan dimensi teologis, melainkan

kompleks. Untuk relevan, teologi Islam harus dapat

memahami ekomplesitasan permasalahan dunia modern.

Dan, tentu saja, teologi Islam harus mengembangkan dirinya

dalam sinaran integralistik dan holistik. Relasi sosial dan

infrastruktur-suprastruktur 100 tahun lalu dengan sekarang

jelas berbeda. Dan itu mau tidak mau mengandaikan

perubahan dan pengembangan dalam teologi Islam itu

sendiri. Naturalisasi diskursus yang selama ini teologi Islam

terlibat di dalamnya, harus disadari oleh teologi Islam. Jika

tidak, teologi Islam menjadi salah arah dalam menyambut

tantangan tersebut. Teologi Islam menjadi terhegemoni. Dan,

pada akhirnya, persoalan atau pertanyaan relevansi/irelevansi

bagi teologi Islam menjadi salah arah dan keliru. Dunia

11
modern beserta tantangan dan krisisnya hadir tidak hanya

dengan satu wajah, dalam hal ini teologis, melainkan banyak

wajah. Teologi merupakan satu wajah atau dimensi. Ketika

teologi Islam hendak menyambut dunia modern, menjadi

suatu hal yang tidak tepat. Tapi, lain lagi soalnya jika prinsip-

prinsip Islam dihadapkan dengan persoalan dunia modern.

Sebagaimana dunia modern yang memiliki banyak wajah atau

dimensi, prinsip-prinsip Islam pun serupa: ia menjelma dalam

pelbagai wajah atau dimensi. Krisis atau tantangan modern

pada kenyataanya lebih pada persoalan prinsip metafisis atau

ontologis. Oleh karena itu, hanya prinsip-prinsip metafisis

yang dapat menjawabnya secara menyeluruh. Kertas kerja

(working paper) mengenai permasalahan naturalisasi

diskursus atau historisitas evolutif dari teologi belumlah

banyak dilakukan. Untuk kelanjutan hipotesa makalah ini

bahwa teologi Islam diperbincangkan dalam konteks

hegemonik, maka kertas kerja yang spesifik membahas

naturalisasi diskursus akan sangat bermanfaat. Kemudian,

pada sisi kultur, Richard Dawkins mengenalkan gagasan

meme untuk membaca evolusi kultur. Kiranya, salah satu

kerja mendatang mengenai pokok permasalahan (subject-

matter) yang diangkat dalam makalah ini bisa menggunakan

konsep meme Dawkins tersebut. Karena teologi merupakan

12
suatu peristiwa yang dilakukan oleh manusia dan teologi itu

sendiri mengalami perkembangan sejalan dengan perubahan

relasi sosial dan infrastruktur-suprastruktur yang terjadi di

dalam masyarakat, pembacaan masalah tersebut dengan

teori meme menjadi cukup penting untuk masukan.

Kemudian, kertas kerja yang memetakan peristiwa historis

diskursus teologis secara geografis belumlah dilakukan. Jika

kertas kerja mendatang dapat melakukan pemetaan tersebut,

hal itu dapat lebih menjelaskan soalan naturalisasi diskursus

dan juga dapat memperlihatkan apakah persebaran pokok

permasalahan teologis pada satu tempat itu berbeda di

tempat lain dan bagaimana factor relasi sosial dan

infrastruktur-suprastruktur itu di tiap tempat memengaruhi

pokok permasalahan yang dibincangkan dalam teologi.

C. Islam dan Tantangan Modernitas

Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yang

bersifat ilahiah (transenden). Pada posisi ini Islam adalah pandangan dunia

(weltanschaung) yang memberikan kacamata pada manusia dalam memahami

realitas. Meski demikian, secara sosiologis, Iislam merupakan fenomena

peradaban, realitas sosial kemanusiaan. Pada wilayah ini nilai-nilai Islam

bertemu dan berdialog secara intens dengan kenyataan hidup duniawi yang

selalu berubah dalam partikularitas konteksnya. Dialog antara universalitas

13
nilai dan partikularitas konteks menjadi penting dan harus selalu dilakukan

agar misi Islam sebagai rahmat semesta alam dapat diwujudkan.

Ketidakmampuan berdialog dapat menjebak agama pada posisi keusangan

(kehilangan relevansi) atau pada posisi lain kehilangan otentitasnya sebagai

pedoman hidup.

Pergulatan modernitas dan tradisi dalam dunia Islam melahirkan

upaya-upaya pembaharuan terhadap tradisi yang ada. Harun Nasution

menyebut upaya tersebut sebagai gerakan pembaruan Islam, bukan

gerakan modernisme Islam. Menurutnya, modernisme memiliki konteksnya

sebagai gerakan yang berawal dari dunia Barat bertujuan menggantikan ajaran

agama Katolik dengan sains dan filsafat modern. Gerakan ini berpuncak pada

proses sekularisasi dunia Barat (Nasution, 1975:11). Berbeda dengan

Nasution, Azyumardi Azra lebih suka memakai istilah modern dari pada

pembaruan. Azra beralasan penggunaan istilah pembaruan Islam tidak selalu

sesuai dengan kenyataan sejarah. Pembaruan dalam dunia Islam modern tidak

selalu mengarah pada reaffirmasi Islam dalam kehidupan muslim. Sebaliknya,

yang sering terjadi adalah westernisasi dan sekularisasi seperti pada kasus

Turki. Apa yang disampaikan Azra adalah kenyataan modernisme dalam

makna subyektifnya, sedangkan Nasution mencoba melihat modern dengan

makna obyektif. Memang harus diakui, ekspansi gagasan modern oleh bangsa

Barat tidak hanya membawa sains dan teknologi, tetapi juga tata nilai dan pola

hidup mereka yang sering kali berbeda dengan tradisi yang dianut masyarakat

obyek ekspansi. Baik dalam makna obyektif atau subyektifnya, modernitas

14
yang diimpor dari bangsa Barat membuat perubahan dalam masyarakat

muslim, di segala bidang. Pada titik ini umat Islam dipaksa memikirkan

kembali tradisi yang pegangnya berkaitan dengan perubahan yang sedang

terjadi. Respons ini kemudian melahirkan gerakan-gerakan pembaruan.

Tetapi, pembaruan Islam bukan sekedar reaksi muslim atas perubahan

tersebut. Degradasi kehidupan keagamaan masyarakat muslim juga menjadi

faktor penting terjadinya gerakan pembaruan. Banyak tokoh-tokoh umat yang

menyerukan revitalisasi kehidupan keagamaan dan membersihkan praktek-

praktek keagamaan dari tradisi-tradisi yang dianggap tidak islami.

1. Islam Dan Perubahan

Muara yang diharapkan dari proses dialektika nilai-nilai Islam dengan

modernitas adalah keberlakuan Islam di era modern. Ini terjadi jika upaya

tersebut berhsil dengan baik. Sebaliknya, ketidakberhasilan proses tersebut

dapat membuat agama kehilangan relevansinya di zaman modern. Peristiwa

penolakan terhadap geraja di awal zaman modern di Eropa dapat terulang

kembali dalam konteks yang berbeda, dunia Islam. Islam memiliki potensi

kuat untuk menjawab tantangan tersebut. Ernest Gellner, seperti yang dikutip

Majid, menyatakan bahwa di antara tiga agama monoteis; Yahudi, Kristen dan

Islam, hanya Islamlah yang paling dekat dengan modernitas. Ini karena ajaran

Islam tentang universalisme, skripturalisme (ajaran bahwa kitab suci dapat

dibaca dan dipahami oleh siapa saja, tidak ada kelas tertentu yang

memonopoli pemahaman kitab suci dalam hierarki keagamaan), ajaran tentang

15
partisipasi masyarakat secara luas (Islam mendukung participatory

democracy), egalitarianisme spiritual (tidak ada sistem kerahiban-

kependetaan), dan mengajarkan sistematisasi rasional kehidupan sosial

(Majid, 467).

Yusuf Qardhawi menilai kemampuan Islam berdialog secara harmoni

dengan perubahan terdapat dalam jati diri Islam itu sendiri. Potensi

tersebut terlihat dari karakteristik Islam sebagai agama rabbaniyah

(bersumber dari Tuhan dan terjaga otentitasnya), insaniyah (sesuai dengan

fitrah dan demi kepentingan manusia), wasthiyyah (moderat-mengambil jalan

tengah), waqiiyah (kontekstual), jelas dan harmoni antara perubahan dan

ketetapan (Qardhawi, 1995).

2. Pembaruan Islam

Meski Islam potensial menghadapi perubahan, tetapi aktualitas

potensi tersebut membutuhkan peran pemeluknya. Ketidakmampuan pemeluk

Islam dapat berimbas pada tidak berkembangnya potensi yang ada. Ungkapan

yang sering dipakai para pembaru Islam untuk menggambarkan hal ini adalah

“al-Islam mahjub bi al-muslimin”. Dalam mengaktualisasikan potensi

tersebut, pemeluk Islam difasilitasi dengan intitusi tajdid (pembaruan,

modernisasi). Ada dua model tajdid yang dilakukan kaum muslim: seruan

kembali kepada fundamen agama (al-Qur’an dan hadith), dan menggalakkan

aktivitas ijtihad. Dua model ini merupakan respons terhadap kondisi internal

umat Islam dan tantangan perubahan zaman akibat modernitas. Model pertama

16
disebut purifikasi, upaya pemurnian akidah dan ajaran Islam dari percampuran

tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan Islam. Sedang model kedua disebut

dengan pembaruan Islam atau modernisme Islam (Achmad Jainuri, 1995:38).

Di sini, Tajdid memiliki peranan yang signifikan. Ketiadaan rasul pasca

Muhammad SAW. bukan berarti tiadanya pihak-pihak yang akan menjaga

otentitas dan melestarikan risalah Islam. Jika sebelum Muhammad SAW.

peranan menjaga dan melestarikan risalah kerasulan selalu dilaksanakan oleh

nabi atau rasul baru, pasca Muhammad SAW. peran tersebut diambil alih oleh

umat Islam sendiri. Rasul Muhammad SAW. pernah menyatakan bahwa

ulama merupakan pewarisnya, dan di lain kesempatan ia menyatakan akan

hadirnya mujaddid di setiap seratus tahun. Dalam proses tersebut, setiap ajaran

Islam mengalami pembaruan yang berbeda-beda, bahkan ada yang tidak boleh

disentuh sama sekali. Aqidah dan ibadah merupakan domain yang sangat tabu

tersentuh proses perubahan. Yang bisa dilakukan dalam kedua wilayah

tersebut adalah pembersihan dari aspek-aspek luar yang tidak berasal dari

doktrin Islam. Di sini berlaku kaidah "semua dilarang kecuali yang

diperintah".

Berbeda dengan itu, aspek muamalah (interaksi sosial) merupakan

wilayah gerak tajdid dengan sedikit tabu di dalamnya. Pada aspek ini nilai-

nilai Islam mewujudkan dirinya berupa paradigma (cara pandang) kehidupan.

Ajaran Islam menyediakan pedoman-pedoman dasar yang harus

diterjemahkan pemeluknya sesuai dengan konteks ruang waktu yang

melingkupinya. Pada wilayah ini yang berlaku adalah kaidah "semua

17
dibolehkan kecuali yang dilarang". Menurut Kuntowijoyo (Kuntowijoyo,

1997:170) penerjemahan nilai-nilai tersebut bisa dilakukan secara langsung

maupun tidak langsung. Yang pertama berangkat dari nilai ajaran langsung ke

wilayah praktis. Ilmu fiqh merupakan salah satu perwujudan yang pertama ini.

Sementara yang kedua berangkat dari nilai ke wilayah praktis dengan melalui

proses filsafat sosial dan teori sosial terlebih dahulu (nilai-filsafat sosial-teori

sosial). Sebagai contoh adalah ayat yang menjelaskan Allah tidak akan

merubah suatu kaum jika mereka tidak merubah dirinya sendiri. Nilai

perubahan ini harus diterjemahkan menjadi filsafat perubahan sosial,

kemudian menjadi teori perubahan dan baru melangkah di wilayah perubahan

sosial.

Keberadaan tajdid menjadi bukti penting penghargaan Islam terhadaap

kemampuan manusia. Batas-batas yang ada dalam proses tajdid bukan

merupakan pengekangan terhadap kemampuan manusia, tetapi sebagai media

mempertahankan otentisitas risalah kenabian. Ketika agama hanya

menghadirkan aspek-aspek yang tetap, abadi, tidak bisa berubah maka yang

terjadi adalah ketidakmampuan agama mempertahankan diri menghadapi

zaman. Akibatnya, agama akan kehilangan relevansinya. Ini seperti yang

terjadi pada gereja di abad pertengahan. Sebaliknya, jika aspek-aspek yang

tetap, abadi dan tidak berubah tersebut tidak ada dalam agama, maka agama

akan kehilangan otentitasnya sebagai pedoman hidup manusia. Di sinilah,

kekhasan Islam seperti yang disebut Qardhawi di atas berperan. Islam berdiri

di tengah-tengah. Islam mengandungi ketetapan-ketetapan di satu sisi, dan

18
keluwesan-keluwesan di sisi lainnya. Dengan sikap terebut Islam bisa tetap

eksis di tengah perubahan zaman tanpa kehilangan otentitasnya sebagai agama

ilahiah. Gagasan pembaharuan Islam dapat dilacak di era pra-modern pada

pemikiran Ibn Taymiyah (abad 7-8 H/13-14 M). Taymiyah banyak mengkritik

praktek-praktek islam populer yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan

menyerukan kembali kepada syariat. Gerakan lain dilakukan oleh Muhammad

Abdul Wahab di Arabia pada abad ke 18 M yang menolak dengan keras

tradisi

yang tidak Islami (Jainuri, 2002:15-17).

Jika pembaharuan pra-modern dilakukan sebagai otokritik praktek

keagamaan populer masyarakat muslim, pembaruan era modern merupakan

respons umat Islam terhadap tantangan yang ditawarkan oleh modernitas

Barat. Di era ini tercatat beberapa tokoh yang cukup populer seperti al-

Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, Sayyid Sabiq, Muhammad Iqbal, dll.

Proses pembaharuan era modern mengalami dinamikaa yang cukup

kompleks. Keinginan harmonisasi Islam dengan modernitas melahirkan

banyak pemikir dengan karakteristik yang berbedaa-beda. Sebagian pemikir

tampak wajah puritanismenya, dan sebagian yang lain condong pada

modernitas, bahkan, terjebak pada pengagungan nilai-nilai modern (seperti

sekularisme).

Modernitas yang melanda dunia Islam, dengan segala efek positif-

negatifnya, menjadi tantangan yang harus dihadapi umat Islam di tengah

kondisi keterpurukannya. Umat Islam dituntut bekerja ekstra keras

19
mengembangkan seagala potensinya untuk menyelesaikan permasalahannya.

Tajdid sebagai upaya menjaga dan melsetarikan ajaran Islam menjadi

pilihan yang harus dimanfaatkan secara maksimal oleh umat Islam. Upaya

tajdid harus terus dilakukan, tidak boleh berhenti meski memerlukan cost

yang besar. Wallahu a`lam

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Islam merupakan agama yang diberikan oleh Sang

Maha Pencipta Allah SWT kepada manusia agar dapat hidup sesuai

perintah-Nya sehingga tugas manusia sebagai kholifah di muka bumi

dapat terlaksana setelah melakukan kerja keras menghadapi perubahan dan

pembaharuan zaman sebagai dampak modernitas.

2. Islam mampu menjawab berbagai tantangan zaman jika

umatnya mampu memandang secara menyeluruh konsep ajaran

didalamnya sebagai teologi satu-satunya yang harus dipatuhi dan

dilaksanakan dalam menghadapi perubahan peradaban dunia.

3. Islam tidak menolak perubahan dan pembaharuan

zaman, sepanjang perubahan dan pembaharuan itu tidak mengurangi nilai-

nilai syari’at yang baku sebagai jalan yang lurus untuk menuju

kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

B. Saran-Saran

Dari kesimpulan di atas, maka kebijakan berikutnya saran pemikiran

sebagai berikut :

21
1. Untuk menghadapi perubahan dan pembaharuan

peradaban dunia sebagai efek arus globalisasi modern, umat Islam harus

senantiasa meningkatkan usaha dan kerja kerasnya dalam memberikan

sumbangan publik dengan karya monumental dalam bentuk teknologi baru

yang sesuai syariat teologi Islam.

2. Memandang Islam secara kafah (menyeluruh)

merupakan harga mati yang harus dilakukan oleh umat dalam menghadapi

perubahan dan peradaban dunia untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa

barat yang jauh lebih maju dalam memberikan kontribusi terhadap dunia.

3. Untuk menerima hasil perubahan dan peradaban dunia

sebagai tantangan zaman, umat Islam harus mampu memilah untuk

memilih struktur komponen produk publik dengan barometer teologi

Islam.

22
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A.............................................................................Latar belakang

......................................................................................................1

B.......................................................................Rumusan Masalah

......................................................................................................3

C.....................................................................Tujuan penyusunan

......................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 4

A.........................................................................Pengertian Islam

......................................................................................................4

B............................................................................Zaman Modern

......................................................................................................6

1. Modernisme ............................................................................. 8

2. Revolusi Teologi Islam Dalam Dunia Modern ........................ 10

C.................................................................Tantangan Modernitas

....................................................................................................12

1..............................................................Islam dan Perubahan

..............................................................................................14

23
2................................................................Pembaharuan Islam

..............................................................................................15

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 20

A.................................................................................Kesimpulan

....................................................................................................20

B.................................................................................Saran-Saran

....................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR
i

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan keharibaan Sang Maha Kuasa

pencipta alam semesta Allah Ajawajala. Rohmat dan Salam semoga tercurah

kehadapan Baginda Rosulullah SAW, shahabat, keluarga dan umatnya.

Atas Rahmat dan Ridho-Nya lah Makalah ini bisa diselesaikan dengan

judul “ISLAM DALAM MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN”.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu

Kalam Pendidikan Guru Raudhatul Athfal, Fakultas Agama Islam Universitas

Majalengka Tahun Akademik 2009-2010.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih

kepada yang terhormat :

24
1. Bapak Rektor Universitas Majalengka.

2. Bapak Dekan Fakultas Agama Islam.

3. Bapak Drs. H. Ibrohim, M.Si (Dosen Ilmu Kalam)

4. Semua pihak yang telah membantu selesainya makalah ini.

Dengan kesadaran penuh penyusunan makalah ini masih jauh dari

sempurna, untuk hal itulah saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat

penulis harapkan.

Majalengka, September 2010

Penyusun,

KATA PENGANTAR
ii

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan keharibaan Sang Maha Kuasa

pencipta alam semesta Allah Ajawajala. Rohmat dan Salam semoga tercurah

kehadapan Baginda Rosulullah SAW, shahabat, keluarga dan umatnya.

Atas Rahmat dan Ridho-Nya lah Makalah ini bisa diselesaikan dengan

judul “ISLAM ADALAH MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN”.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu

Kalam Pendidikan Guru Raudhatul Athfal, Fakultas Agama Islam Universitas

Majalengka Tahun Akademik 2009-2010.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih

kepada yang terhormat :

25
5. Bapak Rektor Universitas Majalengka.

6. Bapak Dekan Fakultas Agama Islam.

7. Bapak Drs. H. Ibrohim, M.Si (Dosen Ilmu Kalam)

8. Semua pihak yang telah membantu selesainya makalah ini.

Dengan kesadaran penuh penyusunan makalah ini masih jauh dari

sempurna, untuk hal itulah saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat

penulis harapkan.

Majalengka, September 2010

Penyusun,

DAFTAR PUSTAKA
ii

Anshari, Saifuddin, Endang H. Wawasan Islam. 1993. CV. Rajawali. Jakarta.

Nasution, Harun. Pembaruan Dalam Islam.Bulan Bintang : 1975. Jakarta

Madjid, Nurcholis. Modernisasi ialah Rasionalisasi Bukan Westernisasi. Mimbar


Demokrasi. Bandung. 2000.

Kuntowijoyo.Paradigma Islam. PT. Mizan Publika.1997.Jakarta.

26
ISLAM ADALAH MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Ilmu Kalam

27
Disusun Oleh :
NURWANTI
NPM : 08.12.3.099

PENDIDIKAN GURU RAUDHATUL ATHFAL


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MAJALENGKA
2010
ISLAM DALAM MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Ilmu Kalam

28
Disusun Oleh :
NURWANTI
NPM : 08.12.3.099

PENDIDIKAN GURU RAUDHATUL ATHFAL


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MAJALENGKA
2010

29

You might also like