You are on page 1of 2

Ekosistem Lahan Basah

Kondisi Lahan Basah di Indonesia

Lahan Basah di Indonesia mengalami berbagai tekanan menuju kehancuran dan deforestasi secara
drastis. Laju degradasi hutan mencapai 2 juta hektar per tahun. Konversi hutan, illegal logging, dan
kebakaran hutan merupakan ancaman utama lahan basah di Indonesia. Konversi hutan dalam skala
besar, terutama dilakukan untuk perkebunan monokulter, terutama sawit, HTI, pertambangan, dan
pertambakan udang.

Kebakaran hutan menjadi isu nasional setiap tahun sejak 1996. Musim kemarau dan pembukaan
ladang berpindah dituduhkan sebagai penyebab kebakaran hutan. Kebakaran hutan yang merupakan
kombinasi faktor kelalaian dan kekeringan terjadi di kawasan gambut. Bekas lahan gambut sejuta
hektar di Kalimantan, yang kini berubah menjadi kering kerontang di musim kemarau, menjadi
langganan kebakaran hutan tiap tahunnya.

Lahan basah memiliki peranan yang penting dalam menyumbang keragaman hayati, pengatur iklim
dunia, sumber pangan, sumber sirkulasi air, sumber perikanan, dan obat-obatan bagi masyarakat
setempat. Masyarakat lokal memiliki tingkat ketergantungan kehidupan yang cukup besar pada
ekosistem lahan basah. Di beberapa tempat, terdapat kearifan lokal dan sistem pengelolaan dalam
memanfaatkan sumberdaya yang ada. Namun demikian, tidak semua masyarakat yang hidup
bergantung pada ekosistem lahan basah memiliki pengaturan dan kepedulian terhadap keberlanjutan
ekosistem lahan basah. Pola pemanfaatan yang bersifat merusak dan eksploitatif berlangsung, baik
oleh masyarakat setempat maupun pendatang, tanpa ada upaya pencegahan.

Alih fungsi lahan basah (konversi) berlangsung begitu saja dalam waktu singkat. Dibandingkan
ekosistem hutan daratan tinggi, rasa kepemilikan terhadap lahan basah oleh masyarakat setempat
tidak begitu kuat. Interaksi budaya dan konsep religi masyarakat terhadap hutan dataran tinggi lebih
kuat dibandingkan terhadap ekosistem lahan basah. Pada sejumlah lahan basah, tidak ditemukan
pararaksonomi, organisasi tani maupun kelembagaan sosial yang terkait dengan lahan basah.

Ekosistem lahan basah dipandang sebagai tanpa pemilik, belum tergarap dan terlantar. Pandangan
ini hampir sejalan dengan Pemerintah yang menganggap lahan basah sebagai lahan potensial untuk
kepentingan produksi, melalui alih fungsi. Ditinjau dari regulasi yang ada, pengaturan pada ekosistem
lahan basah masih sangat minim. Namun demikian, pandangan, ikatan batin, dan faktor pendorong
konservasi maupun eksploitasi oleh masyarakat atas lahan basah di suatu tempat bersifat khas dan
site specifik.

Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) Satu Juta Hektar merepresikan pandangan tersebut
dan merupakan bencana lingkungan terbesar di Indonesia. Ini dilakukan untuk mengantisipasi krisis
swasembada beras, dengan pertimbangan bahwa di Jawa luasan areal pertanian sawah teknis
semakin tahun semakin berkurang. Ditunjuknya Kalimantan Tengah karena hanya satu-satunya
Propinsi yang mempunyai hamparan seluas satu juta hektar. Kebijakan ini merubah sistem tata air,
keadaan iklim mikro, dan penguasaan tanah. Kebijakan ini telah menimbulkan dampak lingkungan
negatif, baik secara fisik, kimia, biologi, dan sosial-ekonomi pada masyarakat di lokasi proyek. Proyek
ini telah menyebabkan degradasi kualitas lingkungan hidup dengan mengkonversi hutan tropis seluas
638.000 ha menjadi persawahan dan 362.000 ha menjadi areal pertanian, perumahan, dan kawasan
konservasi.

Pengalihan fungsi lahan basah diiringi dengan konflik sosial antara masyarakat dengan investor, dan
pemerintah maupun antar kelompok masyarakat (konflik horizontal), perpindahan aliran sumberdaya
(manfaat).

Kawasan Konservasi di Era Otonomi


Kebijakan desentralisasi (Otonomi Daerah) di terapkan di Indonesia sejak 1999. Desentralisasi
meliputi bebagai aspek pemerintahaan, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan konservasi.
Ternyata, desentralisasi menimbulkan persoalan baru dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
wewenang di konservasi. Desentralisasi bagaikan hanya mengalihkan eksploitasi yang otoriter dan
sentralistik di Jakarta menjadi wewenang tanpa kendali oleh raja-raja kecil baru, yakni Kepala
Pemerintahan Daerah. Sejumlah daerah kini berlomba-lomba mengejar PAD dengan semangat
eksploitasi yang sama seperti sebelumnya.

Kawasan konservasi berada dalam ancaman ataupun peluang serius di bawah era desentralisasi
tergantung komitmen Pemerintah. Peluang adanya perbaikan dalam pengelolaan lahan basah
menjadi lebih terbuka karena adanya desentralisasi. Seperti apa wajah pengaturan lahan basah pada
era desentralisasi saat ini merupakan subyek yang perlu dicermati.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

DinarRani Setiawan
Manajer Kampanye dan Pengkampanye Isu Air, Pangan dan Keberlanjutan
Email DinarRani Setiawan
Telepon kantor: +62-(0)21-791 93 363
Mobile:
Fax: +62-(0)21-794 1672

Tanggal Buat: 04 Jun 2004 | Tanggal Update: 04 Jun 2004

You might also like