You are on page 1of 10

Artikel : Ekonomi Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits - NULL,

Kode Etik Pengembangan Modal


oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & Prof.Dr.Shalah ash-Shawi

Bahasan Pertama:
Larangan Memperdagangkan Barang Haram

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa asal dari jual beli adalah halal,
kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya, berdasarkan firman
Allah, artinya:
"Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba." (Al-
Baqarah: 275).

Telah diriwayatkan nash-nash atau dalil tegas yang mengha-ramkan


banyak bentuk jual beli, seperti jual beli minuman keras, bangkai, babi
dan sejenisnya. Tidak diragukan lagi bahwa apabila Allah
mengharamkan sesuatu, pasti Allah juga mengharamkan menjualnya.
Maka semua keuntungan yang berasal dari penjualan itu juga haram,
karena dianggap cara mencari rizki yang kotor, berasal dari usaha
yang rusak. Di antara nash-nash yang menun-jukkan kesimpulan itu
adalah sebagai berikut:

Diriwayatkan oleh Jabir y bahwa ia pernah mendengar Rasulullah a


bersabda:
"Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual minuman keras,
bangkai, daging babi dan patung."

Dalam lanjutan hadits:


"Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi (terdahulu). Ketika
Allah mengharamkan lemak hewan, mereka melelehkannya kemudian
menjual dan memakan hasilnya."

Dari Ibnu Abbas y diriwayatkan bahwa Nabi a pernah bersabda:


"Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi. Ketika Allah meng-
haramkan lemak hewan, mereka kemudian menjual dan memakan
hasilnya. Dan sesungguhnya apabila Allah melarang suatu kaum
memakan sesuatu maka Ia pun melarang hasilnya."

Diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas y bahwa ada seorang lelaki
yang memberi hadiah kepada Nabi satu wadah minuman keras. Nabi a
bertanya kepadanya, "Tidakkah engkau mengetahui bahwa Allah telah
mengharamkan minuman keras." Orang itu menjawab: "Tidak." Lalu
lelaki itu membisikkan sesuatu kepa-da temannya. Rasulullah a
bertanya lagi, "Apa yang engkau bisikkan kepadanya?" Lelaki itu
menjawab, "Aku menyuruhnya menjualnya saja." Beliau bersabda,
"Sesungguhnya yang telah diharamkan oleh Allah untuk diminum juga
diharamkan untuk dijual." Maka lelaki itupun membuka tutup wadah
minuman itu dan menumpahkan seluruh isinya.

Dari Aisyah i diriwayatkan, bahwa ketika diturunkan ayat-ayat terakhir


surat al-Baqarah, Rasulullah a keluar dan bersabda,
"Diharamkan memperdagangkan minuman keras. "

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas y bahwa


Ibnu Abbas menceritakan, "Umar y pernah mendengar berita bahwa
ada seorang lelaki yang menjual minuman keras. Beliau berkata,
'Semoga Allah melaknat si Fulan itu. Apa dia tidak mengetahui bahwa
Rasulullah a telah bersabda, 'Semoga Allah melaknat orang-orang
Yahudi. Ketika Allah mengharamkan lemak hewan, mereka
mengolahnya kemudian menjual dan memakan hasilnya.' Arti
mengolahnya di sini adalah melelehkannya."

Komoditi yang diharamkan itu asalnya tidaklah memiliki nilai jual alias
tidak berharga menurut syariat. Karena nilai jual itu ditentukan oleh
penghalalan syariat, bukan sekedar bisa diterima dan dinilai memiliki
harga jual oleh masyarakat.

Amatlah jelas bahwa persoalan ini merupakan keistimewaan ekonomi


Islam. Karena ekonomi buatan manusia tidak membeda-kan antara
yang halal dengan yang haram. Bagi mereka sama saja antara proyek
perjudian dengan proyek pembangunan, karena mereka telah
mencampakkan segala macam kode etik dari perhi-tungan mereka
secara total.

Perdagangan Perhiasan Emas dan Perak


Termasuk yang berkaitan dengan pembicaraan tentang per-dagangan
komoditi haram atau barang-barang syubhat yang amat perlu untuk
diketahui dan dikaji secara mendetail hal-hal yang masih samar di
antaranya adalah perdagangan yang amat populer sekarang ini
dengan adanya trend kaum lelaki yang mengenakan (memakai)
perhiasan emas, baik itu emas murni atau sekedar sepuhan emas.
Perdagangan itu menjadi sebuah perniagaan yang amat
menguntungkan sekali dan memberikan banyak uang kepada para
pedagangnya. Sejauh mana perdagangan itu diboleh-kan? Apakah
hukumnya sudah pasti sehingga tidak pantas lagi diperdebatkan dan
tidak ada lagi perselisihan di dalamnya? Atau masih termasuk perkara
syubhat dan masalah yang menjadi objek ijtihad? Itulah yang kami
canangkan untuk dijelaskan dalam lembar-lembar berikut ini.

Arti Memakai
Arti pakaian atau perhiasan dalam konteks ini adalah segala sesuatu
yang melekat di badan dan dikenakan, atau melekat di pakaian itu
sendiri sehingga terlihat.
Allah q berfirman:
"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian
untuk menutupi 'auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan
pakaian takwa itulah yang baik." (Al-A'raf: 26).
Allah juga berfirman:
"Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk
kamu, guna memelihara kamu dalam peperangan; Maka hendaklah
kamu bersyukur(kepada Allah)."(Al-Anbiya’: 80).
Pakaian adalah yang biasa dikenakan, baik itu baju atau baju besi.

Diharamkannya Emas Murni Bagi Kaum Lelaki


Para ulama telah bersepakat tentang diharamkannya emas murni bagi
kaum lelaki, baik itu yang berbentuk cincin, gelang, mahkota dan
sejenisnya. Karena banyak hadits-hadits yang shahih dan tegas yang
mengharamkan emas murni itu bagi mereka, bahkan mengancam
kaum lelaki yang mengenakannya. Di antara dalil-dalil itu misalnya:
Rasulullah a melarang mengenakan cincin emas. Diri-wayatkan oleh
al-Bukhari dan Muslim dengan sanad kedua perawi tersebut, dari Abu
Hurairah, bahwa Nabi melarang me-ngenakan cincin emas.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim juga, dari al-Barra bin Azib
bahwa ia menceritakan, "Rasulullah a melarang tujuh hal:
mengenakan cincin emas, atau kalung emas, sutera, istibraq (sejenis
sutera tebal), dibaj (sutera, model lain), maitsirah berwarna merah,
qassiy dan bejana perak."
Demikian juga sabda Nabi a yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan
yang lainnya, dari Abu Musa al-Asy'ari:
"Diharamkan mengenakan sutera dan emas bagi kaum lelaki umatku,
namun dihalalkan bagi kaum wanita mereka."

Diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan yang lainnya, dari Ali bin Abi Thalib
bahwa Rasulullah a pernah mengambil sehelai sutera dan
meletakkannya di tangan kanan, lalu mengambil emas dan
meletakkan di tangan kiri, kemudian beliau bersabda:
"Sesungguhnya dua barang ini diharamkan untuk kaum lelaki
umatku."

Para ahli hadits telah menjadikan pengharaman kedua barang itu


sebagai judul bab dalam buku-buku mereka.
Dalam Shahih Muslim disebutkan, Bab: Diharamkannya cincin emas
bagi kaum lelaki dan dihapusnya hukum pembo-lehannya di awal
Islam.
Dalam Sunan an-Nasa’I disebutkan, Bab: Diharamkannya mengenakan
emas dan diharamkannya emas bagi kaum lelaki.
Dalam Sunan Ibnu Majah, Bab: Larangan mengenakan cincin emas.

Menghiasi Pakaian dengan Emas dan Perak


Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghiasi pakaian
dengan emas dan perak. Ada beberapa pendapat di kala-ngan
mereka:

Ada yang berpendapat hukumnya boleh apabila hanya sedi-kit dan


hanya sebagai hiasan sampingan, bukan menjadi tujuan utama. Ini
adalah pendapat kalangan Hanafiyah:
Ada juga ulama yang membatasi hiasan yang sedikit dan hanya
sampingan itu, bahwa ukurannya juga hanya empat jengkal saja atau
kurang.
Ada juga yang mengharamkannya secara mutlak. Ini adalah pendapat
kalangan Syafi'iyah dan Malikiyah.
Ada juga ulama yang mengharamkan hiasan emas secara mutlak,
namun membolehkan perak bila jumlahnya sedikit.
Ada juga yang mengharamkan hiasan emas secara mutlak dan
membolehkan hiasan perak juga tanpa batasan. Ini adalah pendapat
Ibnu Hazm, al-Gazhali dan sebagian ulama Syafi'iyah.
Ada juga yang membolehkan emas bila jumlahnya sedikit dan hanya
sebagai hiasan tambahan, kalau jumlahnya hanya pa-ling banyak
empat jengkal atau kurang, namun membolehkan hiasan perak tanpa
batasan sama sekali. Ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah dan ulama
yang mengikuti pendapat beliau.
Sesuai dengan konsekuensi teori yang ada, pendapat ter-akhir inilah
yang paling tepat, dengan alasan-alasan sebagai berikut:

Adapun dibolehkannya emas dalam jumlah sedikit adalah berdasarkan


dalil-dalil berikut:

Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya, Abu Daud dan an-Nasa’i


dari hadits Muawiyah bahwa Rasulullah a me-larang menggunakan
emas kecuali yang terpotong-potong.

Para ulama berbeda pendapat tentang arti terpotong-potong: apakah


artinya berjumlah sedikit sebesar cincin wanita, kalung dan antingnya?
Atau yang sedikit dan menjadi hiasan tambahan bukan hiasan utama
bagi kaum lelaki, seperti bendera, hiasan telapak tangan dan
sejenisnya? Yang membuktikan bahwa artinya adalah yang sedikit dan
menjadi hiasan tambahan bukan hiasan utama bagi kaum lelaki yaitu
dalil berikut:
Emas yang dibolehkan untuk kaum wanita bersifat umum, baik itu
yang terpotong-potong maupun yang utuh.

Bahwa berbagai riwayat lain dari hadits itu mengunggulkan pendapat


bahwa yang dimaksud dalam hadits itu adalah kaum lelaki, bukan
kaum wanita. Karena di situ digabungkan antara haramnya sutera
dengan haramnya emas. Padahal jelas bahwa keduanya itu halal bagi
kaum wanita. Sehingga larangan dan pengecualian itu hanya untuk
kaum lelaki. Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dari Muawiyah bahwa
Rasulullah a melarang menge-nakan sutera dan emas kecuali dalam
bentuk potongan." Yang dalam bentuk potongan itu adalah emas dan
perak. Dialamatkan-nya larangan mengenakan sutera untuk kaum
lelaki dan larangan mengenakan emas untuk kaum wanita, jelas
kesimpulan yang bertentangan dengan alur kalimat dan bertentangan
juga dengan keumuman berbagai dalil yang menjelaskan
dibolehkannya emas bagi kaum wanita.

Bahwasanya Nabi a menjadikan sutera dan emas dalam satu hukum


melalui sabda beliau, "Diharamkan mengenakan sutera dan emas bagi
kaum lelaki umatku, namun dihalalkan bagi kaum wanita mereka."

Emas yang hanya dijadikan sebagai hiasan tambahan dibo-lehkan


sebagaimana sutera yang dijadikan sebagai hiasan tam-bahan. Emas
adalah salah satu dari dua barang yang diseiringkan oleh Nabi dalam
menyebutkan keharamannya bagi kaum lelaki, tidak bagi kaum
wanita. Maka keringanan yang diberikan pada salah satunya bila
jumlahnya sedikit, juga berlaku bagi jenis lain-nya dengan cara yang
sama.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari hadits Umar bin al-
Khaththab y bahwa Nabi a pernah melarang me-ngenakan sutera
kecuali seukuran dua jari, tiga atau empat jari."

Demikian juga yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Asma binti Abi
Bakar bahwa Rasulullah pernah mengenakan jubah yang memiliki dua
lubang lengan yang dihiasi dengan sutera tipis.

Indikator dalam kedua hadits ini bahwa masing-masing dari motif,


hiasan dan rumbai-rumbai (dari sutera) dibolehkan karena jumlahnya
sedikit dan hanya merupakan hiasan tambahan. Emas dan sutera
sama derajat keharamannya. Keringanan motif dan rumbai-rumbai
dari sutera juga merupakan keringanan untuk emas dengan indikasi
dalil yang sama.

Syariat telah memberikan keringanan pada rumbai-rum-bai. Rumbai-


rumbai itu sendiri terkadang terbuat dari campuran sutera dan
terkadang dari campuran emas.

Dalil-dalil umum yang dijadikan alasan oleh mereka yang melarangnya


dikhususkan oleh hadits-hadits larangan terhadap emas selain yang
terpotong-terpotong seperti disebut sebelumnya. Keumuman dalil-dalil
yang mengharamkan sutera juga dikhusus-kan oleh riwayat yang
memberi keringanan untuk sutera dengan ukuran dua, tiga atau
empat jengkal.

Adapun alasan dengan larangan Rasulullah terhadap orang yang


mengenakan cincin dari emas, itu ditafsirkan bila cincin ter-sebut
terbuat dari emas saja, bukan jumlah sedikit yang hanya menjadi
hiasan sampingan. Kesimpulan demikian diambil untuk
mengkompromikan antara nash-nash yang ada dan untuk dapat
mengamalkan semua dalil yang ada.

Sementara alasan bahwa emas yang digunakan sebagai hiasan itu


meskipun sedikit tetapi bisa menyebabkan terjadinya tabdzir dan sikap
sombong. Itu hanyalah dalil logika yang bertentangan dengan nash,
sehingga tidak dapat dijadikan acuan. Bisa dijawab, bahwa apabila
sampai pada batas bermewah-mewahan, maka itu dilarang
berdasarkan nash-nash umum yang mengharamkan (kaum lekaki)
mengenakan emas. Namun selain itu, tetap dibolehkan.

Sementara berkaitan dengan dibolehkannya mengenakan perhiasan


perak tanpa batasan sebagai perhiasan mubah, maka itu berdasarkan
dalil-dalil berikut:

Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dan Abu Daud dari hadits
Abu Qatadah bahwa Nabi a pernah bersabda:
"Barangsiapa yang ingin mengalungi orang yang dikasihinya dengan
kalung dari api neraka, maka hendaknya ia mengalungi kekasihnya
dengan kalung dari emas. Barangsiapa yang ingin mengenakan gelang
dari api Neraka kepada orang yang dikasihinya, hendaknya ia
mengenakan kepadanya gelang dari emas. Dan barangsiapa yang
ingin mengenakan cincin dari api Neraka kepada orang yang dika-
sihinya, hendaknya ia mengenakan kepadanya cincin dari emas.
Namun hendaknya kalian mengenakan perak. Gunakanlah perak itu
untuk bermain-main."
Artinya, silakan kalian gunakan sekehendak hati kalian.
Yang dimaksudkan dengan kekasih dalam hadits itu adalah anak bayi,
bukan wanita atau istri. Karena anak kecillah yang biasanya
dipakaikan perhiasan, sementara orang dewasa menge-nakannya
sendiri.

Sementara secara etimologi, kata habib (kekasih) yang dise-butkan


dalam hadits timbangan katanya adalah fa'il yang memi-liki arti
sebagai objek (yang dikasihi). Kalau kata ini digunakan sebagaimana
layaknya nama-nama biasa, bila yang diinginkan adalah jenis kelamin
perempuan, maka harus ditambahkan huruf ta' diakhirnya, menjadi
fa'ilah atau habibah agar tidak menjadi rancu. Karena di sini kata itu
tidak menggunakan ta', maka yang dimaksudkan adalah jenis kelamin
laki-laki, bukan wanita.

Dalil lain adalah penggunaan kaidah istishab bara’ah ashliyah (asal


dari segala sesuatu dihukumi dengan hukum terakhir yang melekat
padanya sebelum mengalami perubahan). Asal dari sega-la yang
diciptakan oleh Allah adalah halal kecuali bila ada dalil yang
mengalihkannya dari halal menjadi haram.

Lemahnya qiyas perak dengan emas dalam keharaman. Karena qiyas


itu bertolakbelakang dengan nash. Dalam hadits sudah disebutkan
dibolehkannya perak untuk dijadikan perhiasan secara terpisah,
seperti cincin, atau hanya sebagai hiasan sam-pingan, seperti hiasan
pada sebilah pedang. Maka mana mungkin bisa dibuat qiyas dengan
adanya perbedaan yang jelas antara emas dan perak ini?

Lemahnya alasan yang menyamakan antara pakaian berhias perak


dengan emas karena kedua hiasan itu sama-sama diharam-kan dalam
bentuk bejana. Karena qiyas itu juga dengan perbedaan alasan yang
jelas. Bab tentang pakaian itu cakupannya lebih luas dari bab tentang
bejana. Pakaian emas dan perak dibolehkan seca-ra mutlak bagi kaum
wanita, tanpa ada perbedaan pendapat. Juga dibolehkan bagi kaum
lelaki sebatas yang diperlukan saja. Emas sedikit yang hanya menjadi
hiasan sampingan dibolehkan. Semen-tara perak justru dibolehkan
sebagai perhiasan tersendiri maupun sebagai hiasan sampingan.
Sedangkan pembolehan perak secara bebas dalam masalah bejana
adalah tidak ada.

Adapun hadits: "Silahkan buat dari perak, tetapi tidak boleh lebih
berat dari satu mitsqal." adalah hadits lemah yang tidak bisa dijadikan
hujjah, apalagi bila harus bertentangan dengan dalil-dalil umum
lainnya.
Pakaian Bercat Emas dan Perak
Arti Sepuh dan Cat Serta Perbedaan Antara Keduanya
Mayoritas ulama berpendapat bahwa sepuhan dengan cat itu sama
saja. Menyepuh sesuatu, artinya mencatnya dengan emas atau perak.

Namun kalangan Hambaliyah membedakan antara kedua-nya. Mereka


menyatakan, "Sepuh artinya menaruh sesuatu ke dalam emas atau
perak yang sudah dicairkan untuk mengambil warnanya. Adapun cat
adalah mengubah emas atau perak men-jadi semacam lempengan
tipis lalu digunakan untuk mengecat atau menyampul sesuatu.

Hukum Mengenakan Sesuatu yang Disepuh dengan Emas dan


Perak
Ada dua pendapat di kalangan ahli fiqih:
Pendapat pertama: haram, kecuali warnanya sudah luntur dan tidak
tersisa sedikitpun dengan cara dibakar, karena dengan cara itu
hilanglah sebab keharamannya, seperti sikap berlebihan, sikap
sombong dan sikap yang menyakiti hati orang-orang yang miskin. Ini
adalah pendapat yang kuat menurut kalangan Hambaliyah.

Pendapat kedua: Boleh, bila tidak berupa emas atau perak murni.
Karena sepuhan itu adalah hiasan sampingan yang terkon-sumsi
sehingga tidak dikatakan murni. Sesuatu yang terkonsumsi dianggap
tidak ada, kalaupun warnanya tetap ada tetapi tidak dijadikan ukuran.
Ini adalah madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan juga pendapat yang
zhahir dari kalangan Syafi'iyah.

Yang paling tepat menurut penulis adalah pendapat tera-khir,


berdasarkan pendapat dalam persoalan sebelumnya yang juga penulis
unggulkan, yakni dibolehkannya mengenakan emas dengan jumlah
sedikit dan dibolehkannya perak tanpa batasan ukuran. Wallahu a'lam.

Dengan dasar itu semua:


Kalau dari emas murni seperti yang berbentuk jam misalnya,
hukumnya haram bagi kaum lelaki tanpa ada perbedaan pendapat.
Kalau berupa perhiasan wanita, seperti kalung dan gelang lalu
dikenakan oleh kaum lelaki, maka terkumpullah alasan keharaman
lain, yakni menyerupai wanita. Orang-orang yang meniru kaum wanita
dilaknat melalui lisan Nabi a.

Kalau berasal dari perak murni, tidak menjadi masalah me-nurut


pendapat yang paling benar di kalangan ulama. Lebih jelas lagi
kehalalannya bila hanya berupa sepuhan perak saja.

Kalau hanya sepuhan emas atau hanya mengandung po-tongan emas


kecil, juga dibolehkan menurut pendapat ulama yang paling benar.
Namun kalau jumlahnya banyak, maka menjadi ha-ram hukumnya.

Memberi Hiasan Emas dan Perak Kepada Anak Kecil


Yang dimaksud dengan anak kecil adalah anak yang belum baligh dari
kalangan kaum lelaki. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum
memberikan hiasan emas dan perak kepada mereka. Ada dua
pendapat di kalangan mereka:

Pertama: Haram. Itulah pendapat yang dijadikan sandaran Abu


Hanifah dan Imam Ahmad.
Di antara dalil mereka dalam hal itu yaitu:
Dalil-dalil umum yang menunjukkan haramnya emas dan sutera bagi
kaum lelaki. Pengharaman itu tidak dikecualikan bagi umur tertentu.
Namun dosanya ditanggung oleh orang yang memakaikan emas itu
kepada si anak kecil, karena kaum mus-limin diperintahkan untuk
memelihara anak-anak mereka.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Sabda Nabi a kepada


Hasan bin Ali ketika anak kecil itu memakan sebi-ji kurma sedekah
(sedekah itu haram bagi sanak keluarga Rasul). Beliau bersabda, "Puh,
puh." Yakni agar anak itu melepehkan atau meludahkan kurma itu
kembali. "Tidakkah engkau tahu bahwa kita dilarang memakan
sedekah?"

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari hadits Jabir bahwa ia berkata, "Kami
biasa mengeluarkan kembali makanan meski sudah berada di mulut
anak-anak kecil, lalu kami buang ke selokan."

Diriwayatkan juga bahwa Umar, Ibnu Mas'ud dan Hudzai-fah pernah


merobek pakaian sutera yang dikenakan anak kecil. Mereka tentu saja
tidak secara nekat merobek dan merusak milik orang lain kalau barang
itu adalah halal.

Kalau sesuatu itu haram dikenakan, maka juga haram dipa-kaikan


kepada orang lain. Seperti halnya minuman keras, haram diminum
dan haram juga diminumkan kepada orang lain.

Semua kisah di atas mengandung pelajaran perlunya mem-biasakan


anak kecil berpegang pada hukum-hukum syariat sehingga ia terbiasa
dan mengenalnya secara baik.
Pendapat kedua: boleh. Yakni selama mereka masih anak-anak
hingga mereka dewasa. Ini adalah pendapat kalangan
Malikiyah dan Syafi'iyah.

Di antara dalil-dalil mereka terhadap keputusan itu adalah:


Karena anak kecil belum mencapai usia taklif. Ia terbebaskan dari
beban hukum. Pendapat itu dibantah bahwa anak kecil itu meskipun
belum mendapatkan beban taklif., akan tetapi walinya diperintahkan
untuk membantu dirinya menegakkan hukum Allah dan RasulNya.
Allah q berfirman:
Artinya, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan
keluar-gamu dari siksa Neraka." (At-Tahrim: 6).

Kita telah menyaksikan bagaimana Rasulullah mencegah al-Hasan


memakan kurma dari kurma sedekah bahkan beliau mengeluarkan
kurma yang sudah berada dalam mulut al-Hasan.

Diqiyaskannya memakai sutera dan emas ini dengan minuman keras


dan babi jelas merupakan qiyas dengan alasan yang berbeda (qiyas
batil). Karena minuman keras dan babi memang secara mutlak tidak
boleh dimiliki. Lain halnya dengan emas dan sutera. Alasan ini
dibantah, bahwa perbedaan tersebut sama sekali tidak berpengaruh,
karena adanya nash-nash shahih yang menjelaskan bahwa wali anak
kecil dituntut untuk mengajak si anak mening-galkan perbuatan-
perbuatan haram dan untuk melaksanakan per-buatan wajib.
Perbuatan para sahabat sendiri telah diriwayatkan sebagai contoh
praktis dari bimbingan Nabi a yang mulia ini.

Yang jelas bagi kami melalui pemaparan ini adalah keung-gulan


pendapat kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah tentang ha-ramnya
memberi hiasan emas dan sutera kepada anak kecil. Perbuatan anak-
anak kecil itu sama hukumnya dengan perbuatan orang dewasa.
Hanya saja tanggungjawab dan dosanya ditang-gung oleh para wali
mereka. Wallahu a'lam.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php


Versi Online : index.php/?pilih=indexekonomi&id=67&section=e008

You might also like