You are on page 1of 9

Amal shaleh terdiri dua kata yaitu amal dan shaleh.

Rangkaian kata ini sering kita temui


dalam berbagai literatur yang berkaitan dengan agama. Pengertian amal itu sendiri adalah
penggunaan segala daya untuk menghasilkan sesuatu. Sekurangnya ada empat jenis daya
pada manusia yaitu yang pertama adalah daya yang berkaitan dengan jasad atau daya
jasadi, yang kedua adalah daya atau kemampuan berfikir logika sehingga lazim disebut
daya fikir lalu yang ketiga daya ruhiy yang menuntun kita berfikir abstrak sehingga
condong kepada ketauhidan dan rasa kecintaan akan seni serta yang terakhir adalah daya
nasfu atau lazim pula kita sebut hawa nafsu.

Sedangkan kata shaleh bermakna segala sesuatu yang bersifat baik, menguntungkan dan
berguna. Sehingga jika kita sambungkan kata amal dan shaleh maka ia akan bermakna
kurang lebih adalah penggunaan segala daya yaitu daya jasadi, daya fikir, daya ruhiy
serta daya nafsu untuk menghasilkan sesuatu yang sifatnya baik, menguntungkan dan
berguna. Dalam Al Qur’an banyak kita temui contoh-contoh amal shaleh yaitu sholat,
puasa, zakat, haji, berjihad dan masih banyak yang lainnya.

Amal shaleh yang amat disukai Alloh SWT adalah amal-amal yang telah diwajibkan
kepada manusia untuk dilaksanakan misalnya sholat lima waktu. Alloh senang bila
hambaNya menambah amal-amal shaleh dalam rangka mendekatkan diri kepadaNya
akan tetapi Ia juga tidak senang bila hambaNya melalaikan amal yang wajib karena amal
yang lain walupun itu adalah amal shaleh. Alloh tidak menghendaki orang yang
melaksanakan sholat sunnah semalam penuh akan tetapi lalai pada sholat yang wajib
karena bangun tidur terlalu siang.

Selanjutnya amal shaleh yang disukai Alloh setelah amal-amal yang wajib adalah amal
yang bisa dirasakan manfaatnya bagi hambaNya yang lain. Dengan kata lain Alloh juga
menghendaki hambaNya memiliki keshalehan sosial yang lazim pula disebut social
responsibility. Hal ini bisa kita lihat dalam banyak ayat dalam Al Qur’an yang
menyambungkan perintah sholat dan perintah zakat yang zakat itu sendiri adalah ibadah
yang bersifat sosial. Alloh menjanjikan balasan yang berlipat ganda bagi hambaNya yang
rela menafkahkan harta yang dimilikinya dijalan Alloh.

Dalam satu riwayat Rosululloh SAW pernah bersabda bahwa ibadah ramadhan (puasa)
seseorang tergantung antara langit dan bumi sampai ia membayar zakat fitrah untuk
dirinya. Banyak orang menganggap ibadah pada bulan ramadhan hanyalah puasa, solat
tarawih dan membaca Al Qur’an sedang ia memandang zakat fitrah hanya sebatas
rutinitas pada akhir ramadhan tanpa menyadari akan maknanya.
Keshalehan sosial juga bisa berupa hal yang sepele dan bersifat universal misalnya
dengan menyingkirkan duri dijalan. Dan masih banyak contoh keshalehan sosial yang
terdapat dalam Al Qur’an maupun hadits Rosululloh SAW.

http://bhasmawan.multiply.com/journal/item/4
Imam Dan Amal Saleh
Oleh:Prof.Dr. H. Imam Suprayogo
Jumat, 07 May 2010 01:03
ShareThis
Dalam al Qurán, orang yang beriman dan beramal saleh dijanjikan oleh
Allah nanti di akherat akan dimasukkan ke sorga-Nya. Dua kategori itu
bisa diraih atau dipenuhi oleh siapapun, baik oleh orang-orang barat
maupun orang timur, orang-orang yang bertempat tinggal di bagian
selatan maupun utara. Pendek kata semua orang atau siapapun yang
masuk kategori beriman dan beramal saleh akan dimasukkan ke sorga.

Dalam kontek Indonesia, umat Islam juga bertempat tinggal


di berbagai pulau dan bahkan juga masuk dalam berbagai organisasi
Islam, seperti NU, Muhammadiyah, Tarbiyah Islamiyah, al Washliyah
dan lain-lain. Tentu, orang yang tergolong beriman dan beramal saleh,
tidak saja mereka yang berada pada satu kelompok organisasi,
melainkan tersebar di seluruh organisasi yang berbeda-beda itu.

Siapapun dan dari kelompok organisasi manapun, asalkan


beriman dan beramal saleh akan dimasukkan ke sorga. Kelompok
organisasi hanya berlaku dan ada di dunia ini, dan bahkan lebih banyak
organisasi itu hanya ada di Indonesia. Namun begitu seringkali, orang
awam mengira, organisasi itu akan dibawa-bawa sampai akherat.
Mereka sangat mencintai organisasinya, dan hal itu boleh-boleh saja,
asalkan dengan kecintaannya itu tidak sampai membenci orang atau
organisasi lainnya. Sebab, saling membenci dalam Islam justru tidak
boleh.

Pertanyaannya adalah bagaimana meraih keimanan itu.


Biasanya para mubaligh, guru agama, kyai ustadz, dan juga orang tua
dalam berbagai kesempatan menyerukan agar selalu meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan. Bagaimana cara mendapatkan keimanan
dan meningkatkannya, jarang diberikan keterangan secara jelas.
Mungkin dalam soal keimanan ini tidak banyak orang tahu, bagaimana
mendapatkan, meningkatkan, dan memeliharanya.

Keimanan selama ini dipandang sebagai hidayah, yakni


petunjuk dari Allah. Atas dasar keyakinan itu, maka mendapatkannya
dilakukan dengan cara memohon kepada-Nya. Dalam al Qurán, pada
surat al Fatehah, terdapat satu ayat yang berbunyi : ihdinashoraathal
mustaqiem. Ayat ini selalu dibaca pada setiap rakaát dalam sholat.
Artinya, kaum muslimin setidaknya, memohon petunjuk atau hidayah
setidaknya 17 kali dalam sehari semalam, dilakukan secara istiqomah
tanpa henti.

Sekalipun keimanan adalah merupakan hidayah atau


pemberian dari Allah, namun manusia pada setiap saat dianjurkan
untuk selalu memohon kepada-Nya, baik untuk dirinya sendiri,
keluarga, dan anak-anaknya, dan bahkan siapapun yang
dikehendakinya. Dengan cara ini, atas kehendak-Nya pula seseorang
menjadi beriman. Memberikan penekanan bahwa keimanan adalah
atas kehendak-Nya terasa sangat penting, karena Allah sendiri yang
berhak memberikan hidayah itu.

Bekal kedua menuju keselamatan hingga masuk surga, adalah amal


saleh. Saya mengartikan amal saleh secara sederhana. Amal artinya
adalah kerja atau berbuat, sedangkan saleh artinya adalah benar,
lurus, tepat, atau dalam bahasa sekarang adalah professional. Dari
pengertian sederhana ini, amal saleh artinya adalah pekerjaan yang
dilakukan secara benar, tepat, lurus atau professional itu.

Namun akhir-akhir ini muncul wacana untuk memberikan


pengertian amal saleh secara lebih luas, hingga memunculkan istilah
saleh ritual, saleh intelektual, saleh social, saleh professional dan tentu
saleh-saleh yang lainnya. Perkembangan wacara seperti itu cukup
bagus, hingga menjadikan pengertian itu lebih luas dan juga semakin
jelas.

Menyangkut wacana kesalehan itu, akhir-akhir ini muncul


analisis bahwa umat Islam selama ini lebih banyak, baru berhasil
mengembangkan kesalehan ritual. Aklibatnya, umat Islam sangat peka
terhadap hal-hal yang bersifat ritual ini. Bahkan munculnya perbedaan
di antara umat Islam, sehingga belahirkan berbagai organisasi
keagamaan di Indonesia itu, sebenarnya di antaranya, diawali oleh
perbedaan-perbedaan dalam membangun kesalehan ritual itu.

Makna kesalehan dalam Islam itu sedemikian luas. Bahkan


pertama kali ayat al Qurán turun, adalah justru membangun kesalehan
intelektual. Ketika itu nabi disuruh untuk membaca dan diperkenalkan
Tuhan dengan nama Yang Maha Pencipta. Persoalan membaca dan
juga apalagi Pencipta adalah wacana yang terkait dengan kesalehan
intelektual. Kesalehan ritual jika tidak diikuti oleh kesalehan social
misalnya, dianggap tidak sempurna, bahkan disebut sebagai
kebohongan.

Umpama perbedaan-perbedaan yang terjadi di kalangan umat


Islam tersebut berada pada wilayah kesalehan intelektual, social,
dan atau profesional, maka akan benar-benar melahirkan rahmat.
Sayangnya perbedaan itu hanya terjadi pada wilayah upaya
membangun kesalehan ritual, sehingga akibatnya hanya melahirkan
kelompok-kelompok keagamaan, yang kadang kala, di antara mereka
mengklaim kebenaran, yang tidak mudah diuji kesakhehannya.
Akhirnya, dengan pemahaman seperti ini, syarat masuk surga, yaitu
bagi orang yang beriman dan beramal saleh, ternyata tidak mudah,
tetapi bagaimana pun harus diraih. Wallahu a’lam.

http://rektor.uin-malang.ac.id/index.php/artikel/1432-imam-dan-amal-saleh.html, 2
januari 2011, jam 13.30

Amal Saleh yang Kaffah

Amal Saleh

Oleh Buya H. Mas'oed Abidin

‫خْيُر اْلَبِرّيِة‬
َ ‫ك ُهْم‬
َ ‫ت ُأوَلِئ‬
ِ ‫حا‬
َ ‫صاِل‬
ّ ‫عِمُلوا ال‬
َ ‫ن َءاَمُنوا َو‬
َ ‫ن اّلِذي‬
ّ ‫ِإ‬

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, mereka itu
adalah sebaik-baik makhluk.” (Q.S. Al Bayyinah: 7).
Ayat Al Qur’an yang mendekatkan kata-kata iman dengan kata amal shaleh, sering
dijumpai.
Penggandengan kosa iman dan kata amal saleh sudah pasti mengandung pengertian
amat dalam. Bahwa iman tidak dapat dipisah dari perilaku amal shaleh.
Orang-orang yang sungguh beriman akan selalu mengerjakan amal shaleh, dan
selanjutnya amal saleh akan lahir dengan mudah karena adanya iman.
Dalam beberapa hadis Rasulullah SAW menerangkan amal saleh dari orang yang
beriman di antaranya ;
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia
menghormati tamunya”. (H.R. Muslim)
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia tidak
menyakiti tetangganya (HR. Bukhari dan Muslim)
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata
yang baik-baik atau diam (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga peringatan Rasulullah SAW ini mengungkapkan bahwa tanpa amal shaleh,
iman seseorang tidak sempurna. Iman tidak hanya ucapan lisan sahaja, akan tetapi
mesti diyakini dalam hati, serta diujudkan dengan perbuatan amal shaleh.
Pada ayat ke 2 dan 3 dari Surat Al Baqarah dijelaskan bahwa orang yang bertaqwa
adalah mereka yang beriman kepada Yang Ghaib (Allah), mendirikan shalat dan
menafkahkan sebagian rezeki yang Allah berikan kepada mereka.
Perbuatan amal shaleh seperti shalat sebagai hubungan persembahan kepada
Allah, dan menafkahkan harta sebagai bentuk hubungan dengan sesama
manusia,akan terlaksana dengan sempurna ketika seseorang beriman kepada Yang
Ghaib yakni Allah SWT.
Iman adalah landasan pertama dari amal shaleh. Baik itu menyangkut amal saleh
yang bentuknya ibadah mahdhah atau hablun minallah, seperti shalat, puasa dan
haji.
Begitu pula amal shaleh yang menyangkut mu‘amalah sesama manusia atau hablun
minannas, seperti kepedulian sosial, menyantuni anak yatim dan fakir miskin, suka
menolong, mengayomi masyarakat dan sebagainya.
Kedua bentuk ibadah ini lahir semata karena iman kepada Allah SWT.
http://masoedabidin.blogspot.com/2008/09/amal-saleh-yang-kaffah.html

7 Ciri Kebahagiaan Dunia Setiap orang mengharapkan kebahagiaan,


namun Allah Swt telah menetapkan bahkan kebahagiaan manusia
hanyalah pada amal-amal agama, yaitu pada keimanan dan amal
shaleh. Menurut Ibnu Abbas ra. adalah salah seorang sahabat Nabi
SAW yang sangat telaten dalam menjaga dan melayani Rasulullah
SAW, dimana suatu hari ia ditanya oleh para Tabi’in (generasi
sesudah wafatnya Rasulullah SAW) mengenai apa yang dimaksud
dengan kebahagiaan dunia. Maka jawaban Ibnu Abbas adalah 7
(tujuh) indikator kebahagiaan dunia, yaitu :
Pertama, Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur.
Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah),
sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah
nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. Seorang yang pandai
bersyukur sangatlah cerdas memahami sifat-sifat Allah SWT,
sehingga apapun yang diberikan Allah ia malah terpesona dengan
pemberian dan keputusan Allah. Bila sedang kesulitan maka ia segera
ingat sabda Rasulullah SAW yaitu : "Kalau kita sedang sulit
perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita". Bila sedang diberi
kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal ibadahnya,
kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahan yang lebih
besar lagi. Bila ia tetap “bandel” dengan terus bersyukur maka Allah
akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Maka
berbahagialah orang yang pandai bersyukur!

Kedua. Al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh. Pasangan


hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga
yang sholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam
keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri
dan anaknya kepada kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri
bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk
mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh. Demikian
pula seorang istri yang sholeh, akan memiliki kesabaran dan
keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa
buruknya kelakuan suaminya. Maka berbahagialah menjadi seorang
suami yang memiliki seorang istri yang sholeh.
Ketiga, al auladun abrar, yaitu anak yang soleh.
Saat Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan
seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai
thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu : "Kenapa
pundakmu itu ?" Jawab anak muda itu : "Ya Rasulullah, saya dari
Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat
mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya
melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau
ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya". Lalu
anak muda itu bertanya: " Ya Rasulullah, apakah aku sudah
termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua ?"
Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan:
"Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang
berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan
terbalaskan olehmu". Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran
bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta
dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa memulainya
dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh
kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita
bila memiliki anak yang sholeh.
Keempat, albiatu sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk
iman kita.
Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh
mengenal siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib
kita, haruslah orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap
keimanan kita. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah menganjurkan
kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang sholeh. Orang-
orang yang sholeh akan selalu mengajak kepada kebaikan dan
mengingatkan kita bila kita berbuat salah. Orang-orang sholeh
adalah orang-orang yang bahagia karena nikmat iman dan nikmat
Islam yang selalu terpancar pada cahaya wajahnya. Insya Allah
cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orang yang ada
disekitarnya. Berbahagialah orang-orang yang selalu dikelilingi oleh
orang-orang yang sholeh.
Kelima, al malul halal, atau harta yang halal.

Paradigma dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya. Ini
tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya. Dalam riwayat Imam Muslim di
dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang
berdoa mengangkat tangan. "Kamu berdoa sudah bagus", kata Nabi SAW, "Namun
sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram,
bagaimana doanya dikabulkan”. Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal
karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan
setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi
ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti
menjaga kehalalan hartanya.
Keenam, Tafakuh fi dien, atau semangat untuk memahami agama.
Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama
Islam. Semakin ia belajar, maka semakin ia terangsang untuk belajar lebih jauh lagi
ilmu mengenai sifat-sifat Allah dan ciptaan-Nya. Allah menjanjikan nikmat bagi umat-
Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar semakin cinta ia kepada agamanya, semakin
tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya
bagi hatinya. Semangat memahami agama akan meng ”hidup” kan hatinya, hati yang
“hidup” adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman. Maka
berbahagialah orang yang penuh semangat memahami ilmu agama Islam.
Ketujuh, yaitu umur yang baroqah.
Umur yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang setiap
detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk
kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak bernostalgia
(berangan-angan) tentang masa mudanya, iapun cenderung kecewa dengan ketuaannya
(post-power syndrome). Disamping itu pikirannya terfokus pada bagaimana caranya
menikmati sisa hidupnya, maka iapun sibuk berangan-angan terhadap kenikmatan dunia
yang belum ia sempat rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmati
kenikmatan yang diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan
banyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua
semakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang Penciptanya. Hari tuanya diisi dengan
bermesraan dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan
dunia ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan
berikutnya seperti yang dijanjikan Allah. Inilah semangat “hidup” orang-orang yang
baroqah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang umurnya baroqah.
http://www.suryaboi.co.cc/2008/07/7-ciri-kebahagiaan-dunia.html

Apa yang membedakan nilai seorang manusia yang satu dari manusia yang lain? Yang
membedakannya adalah sejauh mana setiap orang mengembangkan nilai
kemanusiaannya. Apa yang bisa mengembangkan nilai kita sebagai manusia?
“Illalladzîna ãmanu wa ’amilush shãlihat”. Kecuali orang-orang yang beriman dan
beramal shaleh. (Al-’Ashr 3). Jadi, ada dua hal yang mengembangkan nilai kemanusiaan,
pertama iman dan kedua amal shaleh.
Mengapa iman? Binatang memiliki persepsi material. Jika ia mengejar kenikmatan, itu
kenikmatan jasmaniah. Oleh karena itu, ia tidak punya happiness. Yang disebut
kebahagiaan itu bukan yang bersifat jasmani, tetapi bersifat ruhani. Bisa jadi ada orang
lapar, tetapi ia bahagia. Ada pula orang yang bergelimang dalam kenikmatan, tetapi ia
tidak bahagia. Dengan imanlah manusia dapat meningkatkan derajat hayawaniyah-nya ke
derajat insaniyah, dari pleasure kepada happiness. Imanlah yang dapat menghubungkan
manusia dengan sifat-sifat ruhaniah atau spiritual. Karena itu, manusia tanpa iman sama
dengan binatang, nilainya sangat rendah. Ia menjadi orang-orang yang mengejar pleasure
bukan mengejar happiness. Manusia yang kosong dari iman adalah manusia dalam
pengertian majãzi saja dan pada hakekatnya ia adalah binatang.
Kita dapat menemukan orang-orang yang memiliki nilai kebahagiaan yang sangat tinggi.
Misalnya ketika Rasulullah berkata kepada Bilal, “Hai Bilal, marilah kita tenteramkan
hati kita dengan shalat.” Rasul juga berkata, “Allah jadikan shalat itu sebagai penyejuk
batinku.” Al-Qur’an melukiskan orang-orang seperti itu dengan “Qad aflaha man
zakkâhâ. Sungguh berbahagia orang yang mensucikan dirinya” (QS. Al-Syams 9).
Rasulullah pun bersabda mengenai kebahagiaan orang yang berpuasa, “Bagi orang yang
berpuasa ada dua kebahagiaan : ketika berbuka dan ketika ia berjumpa dengan
Tuhannya.” Kebahagiaan ketika berbuka bukan karena ia mendapat makanan setelah
dilaparkan. Jika demikian, apa bedanya dengan binatang yang setelah dilaparkan lalu
diberi makan. Kebahagiaan di situ karena ia telah menyelesaikan puasa hari itu dengan
baik. Kalau orang-orang yang berpuasa pada malam Idul Fitri meneteskan air matanya
ketika mendengar alunan takbir, itu bukan kenikmatan tetapi kebahagiaan. Karena ia
telah menyelesaikan satu bulan penuh dengan keberhasilan dalam melakukan puasanya.

Kemudian yang dapat meningkatkan nilai insaniyah kita adalah “a’mãlush shãlihat”
(amal shaleh). Jadi nilai seorang manusia itu diukur dari iman dan amal shalehnya.
Dalam Al-Qur’an dinyatakan : “Wa likullin darajâtum mim mâ ‘amilû”. Untuk setiap
orang, derajat yang sesuai dengan amalnya (QS Al- An’am 132). Kalau Rasulullah diukur
dari segi hayawaniyah-nya, maka beliau tergolong orang yang tidak sukses. Siti A’isyah
berkata bahwa Rasulullah itu pernah berhari-hari tidak menemukan sesuatu untuk
dimakan.
Menurut Muthahhari, amal shaleh itu memiliki dua ciri. Pertama, ciri asli. Sesuatu
disebut amal shaleh karena memang pada zatnya sudah merupakan amal shaleh. Misalnya
shalat, zakat, dan berbuat baik kepada orang lain. Kedua, ciri amal shaleh diukur
berdasarkan hubungan dengan pelakunya. Misalnya shalat bisa hukumnya wajib, sunnah,
malah bisa haram tergantung pada pelakunya. Contohnya seseorang shalat karena ingin
dianggap hebat dan ingin dipuji. Nilai orang itu bisa jatuh dari amal shaleh menjadi amal
yang jelek. Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa apabila seseorang meminjam dengan
niat untuk tidak mengembalikannya, maka Allah menilainya sebagai pencuri. Bila
seseorang ketika mengucapkan ijab kabul dan dalam hatinya berniat untuk tidak
membayar mas kawinnya, maka Allah menilainya sebagai pezina. Jadi perilakunya sama,
tetapi karena berhubungan dengan pelakunya, maka nilainya bisa berubah.
Muthahhari mengatakan bahwa apabila seseorang menagih utang dan orang yang
berhutang itu mau shalat dan mengatakan : “Nanti utang saya bayar setelah saya shalat”,
maka Muthahhari menyatakan bahwa shalatnya bukan amal shaleh. Mengapa? Karena
orang itu ingin segera utangnya dibayar, sementara waktu shalatnya masih ada. Maka
dalam hal itu, dahulukanlah membayar utang daripada melakukan shalat. Contoh lain
misalnya suatu waktu kita akan pergi shalat Jum’at, lalu kita melihat orang yang
tertabrak. Kalau kita tidak menolong dan malah terus pergi shalat, maka shalat Jum’at
pada saat itu bukan amal shaleh. Dalam hal ini kita harus menolong orang yang tertabrak
itu dengan mengantarkannya ke rumah sakit. Karena jika kita tidak sempat shalat Jum’at,
shalat Jum’at itu bisa kita ganti dengan shalat Dzuhur.
Di sini Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan daripada nilai-nilai individual.
Lalu ada orang bertanya, “Bukan-kah hak Allah itu yang harus didahulukan daripada hak
terhadap sesama?” Muthahhari menyatakan bahwa orang-orang yang bertanya semacam
itu adalah orang-orang yang berpikiran sempit. Dia mengira bahwa hak Allah itu hanya
shalat saja, padahal hak Allah juga adalah untuk menolong orang yang membutuhkan
pertolongan di dalam waktu yang segera. Jadi amal shaleh itu bukan hanya harus sesuai
dengan syari’at, tapi juga harus layak dengan pelakunya.
Muthahhari memberi contoh lebih jauh. Misalnya, ada tiga orang yang setelah dicek
secara psikologis, yang satu punya bakat sastra, yang kedua berbakat teknik dan yang
ketiga berbakat musik. Misalnya orang yang berbakat sastra dia tidak mau masuk jurusan
sastra -karena sulit cari kerja- lalu dia memilih teknik, maka memilih teknik bagi orang
itu bukan amal shaleh; karena tidak sesuai dengan predisposisinya (memaksakan diri
untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya).
Sekarang ini dikembangkan sebuah alat ukur. Banyak ditemukan bahwa orang-orang
cerdas yang ber-IQ tinggi, hidupnya gagal. Di Amerika hal itu sering terjadi. Para
psikolog heran, mestinya orang-orang yang cerdas itu dalam hidupnya berhasil, tetapi
ternyata banyak yang gagal. Persentase orang yang bunuh diri bahkan banyak dilakukan
oleh orang-orang yang ber-IQ tinggi. Persentase pengidap sakit jiwa juga didominasi oleh
orang-orang yang kecerdasannya tinggi. Setelah mereka selidiki, ternyata bahwa kita
salah mengukur kecerdasan itu. Kita harus mengukur bukan hanya IQ, tetapi juga harus
mengembangkan emotional intelegence. Intelegensi emosional ialah kemampuan
mengendalikan dirinya atau kemampuan mengendalikan emosinya. Ternyata yang lebih
mendorong orang sukses dalam hidup bukan IQ, tetapi emotional intelegence.
Puasa itu bukan melatih IQ, boleh jadi IQ kita ketika berpuasa malah menurun. Tetapi
intelegensi emosional kita yang mungkin meningkat kalau kita berpuasa dengan benar.
Iman dan amal shaleh adalah dua hal yang mengembangkan sifat insaniyah manusia
secara individual. Sedangkan tawã shaubil haq wa tawã shaubish shabr (Al-’Ashr 3),
adalah dua perilaku yang mengembangkan manusia secara sosial.
Nilai suatu masyarakat juga diukur dari iman dan amal shaleh. Masyarakat yang rendah
adalah masyarakat yang tidak beriman dan tidak beramal shaleh atau masyarakat barbar,
masyarakat biadab. http://zaenaltegal.blogspot.com/2010/08/tafsir-surat-al-ashr.html

You might also like