Professional Documents
Culture Documents
1. INTENSITAS BERPIKIR
Berpikir dapat didefinisikan sebagai kemampuan manusia untuk mencari arti bagi
realitas yang muncul di hadapan kesadarannya dalam pengalaman dan pengertian
(Huijbers:1986.116). Jadi komunikasi dapat di definisikan sebagai kemampuan manusia
untuk mengutarakan pikirannya kepada orang lain.
Fungsi berpikir menyangkut dua aspek yang penting dalam diri manusia yang
dinamakan “wissen” atau mengetahui dan seperti telah di singgung tadi “verstehen” atau
mengerti atau memahami secara mendalam.
Dalam kehidupannya manusia sebagai makhluk sosial berpikir mengenai realitas
sosial yang dalam prosesnya berlangsung secara horizontal atau berpikir secara sensitivo-
rasional dan secara vertikal atau berpikir secara metarasional.
a) Berpikir sensitivo-rasional
Manusia tidak hanya puas dengan sekadar mengetahui (wissen), tetapi juga ingin
memhaminya secara mendalam. Di sini berlangsung proses refleksi atau kontemplasi atau
perenungan yang secara akumulatif bersifat kuantitatif atau kualitatif. Kualitasnya akan
berkadar tinggi apabila proses perenungan itu dilakukan secara sistematik. Maka
pemikirannya itu tidak sekedar sensitivorasional, melainkan metarasional (Poespoprodjo,
1985:4). Ia tidak lagi memandang suatu realitas sosial dengan indera mata (das Ding
ansich), tetapi dengan mata batiniah apa yang terdapat di seberang realita (beyond the
reality) secara metafisik.
Dalam keradikalannya pemikiran manusia secara vertikal itu bisa menyentuh hal-
hal yang sifatnya ilahi. Ia mendengar tentang Tuhan. Ia ingin mengetahui adanya tuhan.
Lalu ia percaya akan ada-Nya, mahaesa-Nya, mahakuasa-Nya Tuhan, serta sifat-sifat
lainnya, sebagai konsekuensinya ia bersujud dan berserah diri. Kepercayaan seperti itu
bersifat suprarasional, suatu tingkat pemahaman di luar jangkauan pemikiran secara
sensitivo-rasional.
Bagi seorang komunikator, tingkat-tingkat pemahaman (verstehen) itu menjadi
teramat penting untuk mampu berkomunikasi dalam segala konteks paling luas dan
paling lama.
Berdasarkan intensitas berpikir itu komunikator yang berpikir secara sensitivo-
rasional hanya berfungsi sebagai informer atau informan saja, yang hanya menyampaikan
informasi, sedangkan komunikator yang berpikir secara metarasional berfungsi sebagai
interpretator, menyampaikan interpretasi.
Interpretasi adalah proses memperantarai dan menyampaikan pesan yang secara
ekspilisit dan implisit termuat dalam realitas, pesan yang tidak segera jelas, tidak segera
dapat diungkap hanya sekelumit demi sekelumit, tahap demi tahap.
Interpretator menyampaikan, merumuskan yang dikatakan oleh realitas dan
bertugas mengubah hal yang mengatasi daya tangkap insani menjadi sesuatu yang dapat
dipahami oleh manusia. Jadi, interpretasi ada kaitan dengan pengertian membawa suatu
hal dari tidak dapat ditangkap kepada dapat ditangkap.
Proses memperantai dan menyampaikan pesan agar dapat dipahami mencakup
tiga arti yang terungkap di dalam tiga kata kerja yang saling berkaitan satu dengan yang
lain, yakni: meng-kata-kan, menereng-kan, menerjemah-kan (dalam arti membawa dari
tepi satu ke tepi yang lain) (Poespoprodjo :1987,192).
2. Sistematika Berpikir
Reasoning yang deduktif berasal atau bersumber dari suatu pandangan umum
(general conclusion).
Sumber dari filsafat berpikir (philosophy of thinking) seperti ini berasal dari Plato
dan Aristoteles.
Ada sebuah kisah yang menyatakan, bahwa ketika Galileo mengemukakan
pendapatnya bahwa dia dapat melihat adanya tempat yang gelap pada permukaan
matahari, pengetahuannya sebagai suatu noda terhadap konklusi umum (general
conclusion) waktu itu, bahwa matahari adalah suatu “heavenly body” yang tidak mungkin
ada cirinya.
Meskipun cara ini kurang sempurna, tetap bermanfaat kalau deduksi ini
didasarkan pada suatu perumusan yang betul. Dasar dari pelajaran ilmu pasti alam adalah
demikian pula halnya. Dari satu rumus umum dapat ditarik berbagai kesimpulan.
Metodik berpikir ini dapa disebut analytic thinking (berpikir analitik).
Manusia tidak menunggu sampai dihadapkan pada suatu situasi, kalau dia dapat
menggambarkan situasi tersebut sebelumnya. Lebih dari itu dia dapat mengatur
langkahnya sedemikian rupa, sehingga situasi tadi tidak dihadapkan kepadanya. Atau
jalan lain dapat ditempuh: mengatur langkahnya sedemikian rupa. Sehingga, ia akan
dihadapkan kelak pada suatu situasi yang diingginkan (favorable).
“Titik berat causative thinking” ialah membentuk peristiwa mendatang dan
prestasi daripada menunggu nasib yang akan menimpa (causative thinking emphasizes
the shaping of future events and achievements, instead of waiting for destiny to decide
them); (G.Terry, Principles of Management).
Dalam ilmu kedokteran dasar pemikiran ini dipakai dalam apa yang disebut
“preventive medicine” ialah ilmu pencegahan penyakit: tujuannya ialah mencegah untuk
menghadapi suatu situasi sakit. Selain ini dikenal istilah “curative medicine”, suatu
penyelesaian dalam situasi sakit. Di sini tingkatannya adalah problem solving.
a) Pengertian Nilai