You are on page 1of 29

PERAWATAN SALURAN AKAR KONVENSIONAL

PADA GIGI DENS INVAGINATUS


DENGAN LESI PERIAPEKS
(Laporan Kasus)

MAKALAH

Disampaikan pada
Asia Pacific Dental Congress (APDC)
di Jakarta, April 2007

Oleh:

HENDRA DIAN ADHITA, drg.Sp.KG


NIP : 132 008 909

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2007
ABSTRAK

Lesi periapeks pada gigi non-vital merupakan keadaan yang sering ditemui dalam praktek
sehari-hari. Pada umumnya keadaan ini dapat dirawat dan mempunyai prognosis yang
baik dengan perawatan saluran akar konvensional. Kalsium hidroksida digunakan sebagai
obat jangka panjang untuk penyembuhan lesi periapeks. Pada kasus ini gigi 42 diketahui
memiliki kelainan morfologis dens invaginatus dengan resorpsi internal dan lesi
periapeks. Saluran akar utama dan tambahan berhubungan satu dengan lainnya pada
daerah apeks dan berhubungan dengan daerah periapeks. Pada saluran akar tambahan
juga dilakukan perawatan endodontik karena daerah apeksnya terbuka ke daerah
periapikal. Perawatan saluran akar konvensional pada gigi ini dengan menggunakan
kalsium hidroksida mememberikan hasil penyembuhan yang baik.

Kata kunci : lesi periapeks, dens invaginatus, kalsium hidroksida


ABSTRACT

Periapical lesion found in a non-vital tooth is a common situation in daily practice. In


most cases, this situation can be overcome by treating the tooth endodontically and may
have a good prognosis. Conventional endodontic treatment using long term calcium
hydroxide medication appeared to give a good result to the periapical healing. In this
case, lower lateral premolar (42) was challenging, because morphologically altered
known as dens invaginatus. Furthermore, there was internal resorption involved, and
periapical lesion had developed. There were two root canals that were merged in the
apical third and were exposed to the periapical area. Both root canals were treated
conventionally using calcium hydroxide and the result was satisfactory.

Keywords: periapical lesion, dens invaginatus, calcium hydroxide


Mengetahui:
Ketua Bagian Konservsi Gigi
Fakultas Kedokteran Gigi UNPAD,

Endang Sukartini, drg. Sp.KG(K)


NIP. 132
PERAWATAN SALURAN AKAR KONVENSIONAL
PADA GIGI DENS INVAGINATUS
DENGAN LESI PERIAPEKS
(Laporan Kasus)

MAKALAH

Disampaikan pada
Asia Pacific Dental Congress (APDC)
di Jakarta, April 2007

Oleh:

HENDRA DIAN ADHITA, drg.Sp.KG


NIP : 132 008 909

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2007
ABSTRAK

Lesi periapeks pada gigi non-vital merupakan keadaan yang sering ditemui dalam praktek
sehari-hari. Pada umumnya keadaan ini dapat dirawat dan mempunyai prognosis yang
baik dengan perawatan saluran akar konvensional. Kalsium hidroksida digunakan sebagai
obat jangka panjang untuk penyembuhan lesi periapeks. Pada kasus ini gigi 42 diketahui
memiliki kelainan morfologis dens invaginatus dengan resorpsi internal dan lesi
periapeks. Saluran akar utama dan tambahan berhubungan satu dengan lainnya pada
daerah apeks dan berhubungan dengan daerah periapeks. Pada saluran akar tambahan
juga dilakukan perawatan endodontik karena daerah apeksnya terbuka ke daerah
periapikal. Perawatan saluran akar konvensional pada gigi ini dengan menggunakan
kalsium hidroksida mememberikan hasil penyembuhan yang baik.

Kata kunci : lesi periapeks, dens invaginatus, kalsium hidroksida


ABSTRACT

Periapical lesion found in a non-vital tooth is a common situation in daily practice. In


most cases, this situation can be overcome by treating the tooth endodontically and may
have a good prognosis. Conventional endodontic treatment using long term calcium
hydroxide medication appeared to give a good result to the periapical healing. In this
case, lower lateral premolar (42) was challenging, because morphologically altered
known as dens invaginatus. Furthermore, there was internal resorption involved, and
periapical lesion had developed. There were two root canals that were merged in the
apical third and were exposed to the periapical area. Both root canals were treated
conventionally using calcium hydroxide and the result was satisfactory.

Keywords: periapical lesion, dens invaginatus, calcium hydroxide


Mengetahui:
Ketua Bagian Konservsi Gigi
Fakultas Kedokteran Gigi UNPAD,

Endang Sukartini, drg. Sp.KG(K)


NIP. 132
BAB 1
PENDAHULUAN

2.1. Dens invaginatus (Dens in dente)


Salah satu bentuk kelainan morfologi gigi adalah dens invaginatus. Kelainan ini
ditandai dengan adanya invaginasi mahkota gigi dan akar pada saat sebelum kalsifikasi
terjadi. Dikenal ada dua bentuk dens invaginatus, yaitu dens invaginatus koronal dan
dens invaginatus radikuler. Pada umumnya invaginasi yang terjadi cukup besar sehingga
terlihat seperti gigi di dalam gigi. Oleh karena itu kelainan ini dikenal juga sebagai dens
in dente.i
Frekuensi dens invaginatus adalah antara 0,04% - 10% dari seluruh pasien.
Urutan terjadinya dens invaginatus berdasarkan frekuensi gigi yang terbanyak adalah
pada gigi-gigi insisivus lateral, insisvus tengah, premolar, kaninus dan molar dan lebih
sering terjadi pada gigi-gigi rahang atas.1
Oehlers (1957) membagi dens invaginatus koronal menjadi tiga
kelompok, yaitu tipe I, invaginasi email pada mahkota saja ; tipe II, invaginasi email
yang menginvasi akar tetapi masih terlokalisir di dalam kantong yang tertutup ; tipe III,
invaginasi mulai dari mahkota sampai ke apeks tanpa berhubungan dengan saluran
akar.1,ii (Gambar 1a)

Gambar 1a Gambar 1b
Dens invaginatus koronal Dens invaginatus radikuler
(Dikutip dari Neville,Damm,Allen, Bouqout .
Oral & Maxillofacial Pathology.2nd Ed.2002.I 80 dan 82)
Dens invaginatus radikuler sangat jarang ditemukan. Kelainan ini terjadi pada
email dan diikuti dengan proliferasi selubung epitel akar Hertwig. Pola deposisi email
mirip dengan email ektopik, tetapi terjadi invaginasi ke dalam papila dental.1(Gambar
1b)
Dens invaginatus terjadi pada saat pertumbuhan benih gigi yang berhubungan
dengan retardasi maupun stimulasi fokal pertumbuhan. Selain itu dapat pula terjadi
karena adanya tekanan eksternal di sekitar benih gigi. Pada gambaran radiografis tampak
gambaran radioopak mulai dari arah cingulum sampai ke akar dengan densitas yang sama
dengan email.2
Tsurumachi dkk (2002) dalam laporan kasusnya menunjukkan keberhasilan
perawatan saluran akar gigi dens ivaginatus dengan kelainan periodontitis apikalis yang
dilakukan dengan teknik non-bedah. Bentuk anatomis saluran akar yang ireguler
menyulitkan pembersihan saluran akar. Penggunaan tehnik instumentasi kemo-mekanis
dan penggunaan kalsium hidroksida sebagai obat intrakanal cukup memadai untuk
memperoleh keberhasilan perawatan tanpa harus dilakukan tindakan bedah.2
Dalam perawatan saluran akar gigi dens invaginatus harus diperhatikan sejauh
mana saluran akar tambahan terlibat sebagai penyebab penyakit pulpa atau periapeks.
Apabila saluran akar tambahan turut terlibat, maka perlu dilakukan juga perawatan
saluran akar pada saluran akar tambahan tersebut.2

2.2. Resorpsi Akar Internal


Jaringan termineralisasi pada gigi tetap secara normal tidak akan teresorpsi.
Predentin dan odontoblas melindungi jaringan termineralisasi di saluran akar. Sedangkan
permukaan akar dilindungi oleh presementum dan sementoblas. Bila predentin atau
presementum termineralisasi, atau secara mekanis presementum rusak maka akan
terbentuk lakuna resorpsi . Lakuna resorpsi merupakan cekungan dentin atau sementum
yang tidak terlindung (denuded). Sel-sel yang menyerupai osteoklas akan berkoloni di
lacuna reorpsi. Resorpsi terjadi bila sel-sel yang terlibat dalam proses fagositosis
mendapat stimulasi yang terus menerus oleh dentin yang tidak terlindung. Stimulasi oleh
dentin ini tidak cukup besar untuk melanjutkan resorpsi. Oleh sebab itu resorpsi akan
terhenti dan terjadi proses perbaikan yang ditandai oleh deposit jaringan yang
menyerupai sementum pada permukaan lakuna. Proses reorpsi ini disebut dengan resorpsi
transien.iii,iv
Resorpsi transien paling sering terjadi akibat adanya trauma, pada gigi yang
mengalami perawatan ortodontik atau perawatan periodontal. Resorpsi ini dapat terus
berlanjut bila ada iritasi mekanis, peningkatan tekanan pada jaringan atau bila terjadi
infeksi pada saluran akar dan tubuli dentin di mahkota maupun akar akar. Resorpsi
karena infeksi merupakan kondisi klinis yang paling penting di dalam lingkup
endodontik. Resorpsi dapat terjadi di dalam saluran akar (resorpsi internal) atau pada
permukaan akar (resorpsi eksternal).3,4
Resorpsi internal selama ini dipahami berhubungan dengan inflamasi pulpa kronis
yang berjalan lambat. Namun yang terjadi adalah resorpasi transien yang ditandai dengan
kematian odontoblas dan predentin menjadi termineralisasi. Pada resorpsi progresif
terbentuk lacuna resorpsi yang besar yang dapat terdeteksi dari gambaran radiografis.
Dalam hal ini kelanjutan aktifitas resorpsi dipengaruhi oleh jaringan nekrotik di bagian
koronal saluran akar. Produk bakteri kemudian akan mencapai pulpa vital melalui tubuli
dentin. Resorpsi progresif dapat terjadi hanya bila tubuli dentin terbuka ke daerah pulpa
nekrotik dan terinfeksi, sehingga mikroorganisme dapat masuk ke dalam tubuli menuju
daerah pulpa yang sehat. 3
Gambaran radiografis resorpsi internal berupa daerah radiolusensi berbentuk
cekungan pada dinding saluran akar sehingga menyerupai gambaran lingkaran dengan
tepi yang rata. Secara klinis ditemukan jaringan pulpa yang nekrotik sampai batas lakuna
resorpsi interna dan lebih ke apikal, terdapat jaringan yang masih vital. Dapat juga
ditemukan jaringan pulpa yang sudah nekrotik seluruhnya.

2.3. Kista Radikuler


Beberpa penulis telah mengemukakan mengenai kelainan jaringan periapeks yang
merupakan kelanjutan dari adanya inflamasi pada pulpa. Jaringan pulpa berhubungan
dengan jaringan periapeks dan jaringan periodonsium disekitarnya. Pertemuan jaringan
pulpa dan jaringan periapikal terjadi di foramen apikal atau di muara kanal tambahan.
Hubungan ini disebut sebagai kompleks pulpo-periodontal. Melalui kompleks inilah
keadaan kedua jaringan tersebut dapat saling mempengaruhi dalam dua arah. Kelainan
yang terjadi pada jaringan pulpa dapat memicu perubahan pada jaringan periapeks,
demikian pula sebaliknya.1,5,6,7
Penyakit periapeks yang timbul akibat berlanjutnya proses peradangan jaringan
pulpa dikenal sebagai lesi periapeks odontogen. Lesi periapeks odontogen ini pada
umumnya berhubungan dengan pulpa nekrosis. Penyakit periapeks atau yang dikenal
juga dengan periodontitis apikalis merupakan kelainan yang terjadi akibat adanya
penyakit pulpa yang berlanjut akibat karies maupun trauma. Periodontitis apikalis
mempunyai fungsi protektif yang mencegah penyebaran radang ke arah periapeks dan
jaringan pendukung disekitarnya. Reaksi pertahanan oleh jaringan periapeks merupakan
reaksi pertahanan kedua setelah pulpa gagal melokalisasi kerusakan yang disebabkan
oleh bakteri di dalam saluran akar.5,6
Reaksi respon jaringan periapeks terhadap invasi bakteri dari pulpa meliputi
beberapa fase. Pada fase awal ditandai dengan karakter inflamasi akut dan meluas dengan
cepat. Ditandai dengan resorpsi tulang alveolar yang memberikan tempat bagi lesi
jaringan lunak pada ujung apeks. Pada tahap ini dapat diikuti dengan gejala klinis
maupun tidak memberikan gejala sama sekali.8
Setelah fase akut selesai terjadi proses respon penyeimbang oleh jaringan
periodontal. Invasi bakteri akan terus berlanjut dan jaringan peripeks akan terus berusaha
untuk melakukan perbaikan jaringan. Iritasi bakteri yang terus menerus mengakibatkan
jaringan periapeks tidak mampu untuk melakukan reaksi pertahanan sehingga terjadi
reaksi kronis yang dapat berlangsung selama beberapa tahun. Pada tahap ini terbentuk
granuloma periapikal, yaitu jaringan granulasi pada daerah lesi. Dalam jangka waktu
yang panjang granuloma dapat berkembang menjadi kista radikuler. Namun tidak semua
granuloma akan berubah menjadi kista.5,6,7
Kista radikuler merupakan suatu rongga patologis pada periapeks berisi produk
radang dalam bentuk cairan atau material semisolid yang terbungkus oleh lapisan epitel
dan diliputi oleh jaringan ikat yang padat.1,5,6,8 Umumnya kista radikuler tidak
memberikan gejala klinis, kecuali terinfeksi atau menjadi sangat luas. Kista dapat meluas
hingga terjadi perforasi tulang kortikal. Bila hal ini terjadi maka pada palpasi akan terasa
adanya fluktuasi.8
Dari seluruh kasus periodontitis apikalis kronis, kista radikuler mempunyai
frekuensi tertinggi yaitu antara 52% sampai 68%. Insidensi tertinggi terjadi pada pasien
dengan usia daswarsa ketiga dan lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Kista
radikuler dapat terjadi pada semua gigi, namun lebih sering terjadi pada maksila. Pada
maksila, gigi-gigi anterior lebih rentan terhadap pembentukan kista, sedangkan pada
mandibula kista lebih sering ditemukan pada gigi-gigi premolar.5
Secara radiografis kista radikuler sulit dibedakan dengan keadaan periodontitis
apikalis kronis lainnya. Pendekatan radiologis untuk penegakkan diagnosis kista radikuler
tidak dapat diandalkan tanpa dilakukannya pemeriksaan sitologis.6
Kista radikuler dibagi menjadi dua kategori yaitu, true cyst dan pocket cyst. Pada
true cyst tidak terdapat komunikasi langsung dengan saluran akar, sedangkan pada pocket
cyst, kista merupakan berhubungan langsung dengan saluran akar.5,7,8(Gambar 2)

Gambar 2
(Bergenholtz G.dkk.Textbook of Endodontology.2003)

2.3.1. Patogenesis dan Pertumbuhan Kista Radikuler


Lapisan epitel kista radikuler berasal dari proliferasi sisa epitel Malassez yang
terjadi sebagai efek dari proses inflamasi. Faktor pencetusnya belum diketahui secara
pasti. Endotoksin bakteri dan sitokin dari sel-sel inflamasi dan faktor pertumbuhan
epidermal terbukti sebagai salah satu pencetus proliferasi epitel. Proliferasi epitel ini akan
terus berlanjut selama masih terdapat faktor yang menstimulasi.8
2.3.1.1 True cyst
Proses pembentukan true cyst terjadi dalam tiga tahap. Tahap awal ditandai
dengan proliferasi sisa sel Malassez sebagai reaksi dari inflamasi. Pada tahap kedua
terbentuk rongga yang dilapisi oleh epitel.
Ada dua hipotesis mengenai pembentukan rongga kista. Hipotesis pertama
dikenal dengan “nutritional deficiency theory”. Teori ini berdasar pada asumsi bahwa
sel-sel mengalami kekurangan nutrisi dan kemudian mengalami nekrosis dan degenerasi
likuifaktif. Akumulasi produk nekrotik ini akan menarik granulosit neutrofilik ke daerah
nekrotik. Sel-sel epitel yang berdegeneratif, leukosit yang berinfiltrasi dan eksudat
jaringan akan menjadi satu dan membentuk rongga kista yang dilapisi oleh epitel
skuamosa non-keratinisasi.
Hipotesis kedua adalah “abscess theory” yang menyimpulkan bahwa epitel yang
berproliferasi akan menutupi abses yang terbentuk oleh jaringan yang mengalami
nekrosis dan lisis. Secara alamiah sel-sel epitel akan melindungi jaringan ikat yang
trerekspos.
Pada tahap ketiga kista akan mulai membesar. Mekanisme pertumbuhan kista
juga belum diketahui secara pasti. Telah dikemukakan teori tekanan osmosis sebagai
salah satu faktor dalam pertumbuhan kista. Likuifaksi sel-sel menyebabkan tekanan
osmotik di dalam rongga kista menjadi tinggi menyebabkan resorpsi tulang alveolar
disekitarnya dan rongga kista membesar.5,7,8

2.3.1.2 Pocket cyst


Pembentukan pocket cyst dimulai dengan akumulasi neutofil disekitar foramen
apikalis sebagai respon terhadap eksistensi bakteri di dalam saluran akar. Kemudian
terjadi mikroabses yang dilapisi oleh epitel yang berproliferasi. Ketika berkontak dengan
ujung akar akan terbentuk leher epitel dengan perlekatan epitel. Keadaan ini akan
memisahkan saluran akar yang terinfeksi dan mikroabses dengan lingkungan periapeks.
Neutrofil di dalam mikroabses akan mati dan berdisintegrasi membentuk kantung
mikrokistik. Bakteri dalam saluran akar dan produknya dan sel-sel yang mati akan
menarik lebih banyak granulosit neutrofilik ke dalam lumen kista. Akumulasi sel-sel
nekrotik akan menyebabkan kantung membesar untuk mengakomodasi debris yang
terbentuk membentuk perpanjangan dari ruang saluran akar kearah periapeks. Secara
histologis lapisan epitel dan dinding kista mirip dengan true cyst.7

2.3.2. Penyembuhan kista radikuler.


Sebagian besar praktisi endodontik setuju bahwa pada umumnya kista radikuler
sembuh dengan perawatan endodontik konvensional. Tingkat kesuksesan perawatan
endodontik konvensional menggunakan kalsium hidroksida mencapai 85-95%.5,6,7
Tujuan dari perawatan endodontik konvensional adalah untuk mengeliminasi agen
infeksi dari saluran akar dan mencegah reinfeksi setelah obturasi saluran akar. Pada true
cyst, terutama yang besar, bukan merupakan indikasi perawatan saluran akar
konvensional. Dinamika jaringan true cyst tidak bergantung pad ada tidaknya iritasi di
dalam saluran akar.5

2.4 Kalsium Hidroksida


Nygren pada tahun 1838 memperkenalkan kalsium hidroksida sebagai suatu
bahan yang bisa digunakan dalam perawatan endodontik. Banyak peneliti telah
membuktikan efektifitas kalsium hidroksida sebagai obat antar kunjungan maupun
sebagai bahan pengisi saluran akar.
Kalsium hidroksida merupakan suatu bahan yang bersifat basa kuat dengan pH
antara 11-12,8. Dalam bentuk terlarut, kalsium hidroksida akan pecah menjadi ion-ion
kalsium dan hidroksil. Ion hidroksil diketahui dapat memberikan efek antimikroba dan
mampu melarutkan jaringan.
Kurimoto (1960) mengemukakan terjadinya aposisi sementum pada lesi periapeks
setelah penggunaan kalsium hidroksida. Sedangkan Kaiser (1964) mengemukakan
kemampuan kalsium hidroksida untuk menginduksi pembentukan jaringan keras pada
apeks yang terbuka setelah penggunaan kalsium hidroksida jangka panjang. Pernyataan
Kaiser ini diperkuat oleh temuan Kitamura (1960), Peters dkk (2002) melaporkan
kemampuan kalsium hidroksida dalam mengeliminasi infeksi pada gigi tanpa pulpa.
Sedangkan Kennedy dkk (1967), Kennedy dan Simpson (1969) dan Caliskan dkk (1997)
membuktikan kemampuan kalsium hidroksida yang digunakan untuk jangka waktu
panjang dalam penyembuhan lesi periapikal dengan membentuk barier kalsifik pada
apeks.5,0,11
Sebagai obat antar kunjungan kalsium hidroksida memberikan efek penyembuhan
kelainan periapeks pada gigi non-vital. Kemampuan bahan ini sebagai antibakteri dan
penginduksi pembentukan jaringan keras gigi menjadi dasar bagi perawatan endodontik
konvensional pada gigi dengan lesi periapeks yang luas.v

2.4.1. Kalsium Hidroksida sebagai Obat Antar Kunjungan


Kalsium hidroksida banyak diapakai sebagai obat antar kunjungan karena
mempunyai beberapa fitur yang menguntungkan. Dalam keadaan cair kalsium hidroksida
akan berdisodiasi menjadi ion-ion kalsium dan hidroksil.
Ion hidroksil akan memberikan efek antimikroba dengan cara merusak dinding sel
bakteri. Ion hidroksil akan merusak lipopoliosakarida bakteri dan bakteri dan
menyebabkan bakteri menjadi lisis. Selain itu kalsium hidroksida mempunyai
kemampuan melarutkan jaringan.
Secara umum kalsium hidroksida memiliki fungsi esensial untuk menghentikan
pertumbuhan kembali bakteri dengan cara mengeliminasi ruang untuk pertumbuhan
kembali bakteri; menghalangi suplai nutrisi dari eksudat inflamasi yang berasal dari lesi
apikal;melepas ion hidroksil yang bersifat bakterisid.vi,vii

2.4.2. Mekanisme Kalsium Hidroksida sebagai Pembentuk Jaringan Keras


Mekanisme pembentukan jaringan keras oleh kalsium hidroksida belum diketahui
secara pasti. Tornstad dkk.(1980) memperkirakan sifat basa kuat dari kalsium hidroksida
dan pelepasan ion kalsium membuat jaringan yang berkontak menjadi alkalis. Dalam
suasana basa, resorpsi atau aktifitas osteoklas akan terhenti dan osteoblas menjadi aktif
dan mendeposisi jaringan terkalsifikasi. Ion kalsium juga mempunyai peran dalam proses
pembentukan jaringan keras. Ion kalsium berperan dalam diferensiasi sel-sel dan aktifasi
makrofag. Asam yang dihasilkan oleh osteoklas akan dinetralisir oleh kalsium hidroksida
dan kemudian terbentuk komplek kalsium fosfat. Kalsium hidroksida juga dapat
mengaktifkan ATP, yang mempercepat mineralisasi tulang dan dentin, dan TGF-ß yang
berperan penting pada biomineralisasi.viii ,ix
Bab 3
LAPORAN KASUS

Seorang pasien perempuan, 15 tahun, datang dengan keluhan gigi depan kanan
bawah pernah terbentur bola ketika bermain basket kurang lebih dua tahun yang lalu dan
menjadi bengkak serta terasa sakit dan kemudian menghilang dengan sendirinya. Satu
tahun kemudian pasien menemukan adanya benjolan pada gusi di daerah dasar bibir di
bawah gigi yang terbentur. Setelah berkonsultasi dengan dokter gigi umum, pasien
diberitahu bahwa kelainan tersebut adalah kista dan dirujuk ke ahli bedah mulut. Ahli
bedah mulut yang dirujuk mengkonfirmasi kelaianan tersebut sebagai kista dan
menganjurkan untuk dilakukan operasi pengambilan kista sebagai terapinya. Pasien
kadang-kadang merasakan nyeri pada gigi tersebut tetapi pada saat datang dalam keadaan
tidak ada keluhan. Pasien ingin giginya dirawat dan mencari kemungkinan alternatif
perawatan lain selain operasi.
Pada pemeriksaan klinis terlihat gigi 42 masih utuh dengan anomali bentuk
morfologis mahkota gigi. Mahkota lebih tebal dari bentuk normal. Warna mahkota gigi
telah berubah menjadi lebih gelap. Tes perkusi tidak peka dan palpasi daerah apeks
sedikit peka dengan kegoyangan derajat 1. Gusi secara umum tampak kemerahan dan
bengkak, papilla interdental membulat. Pada gambaran radiografis terlihat morfologi gigi
dens invaginatus dengan masing-masing satu saluran akar. Terlihat adanya resorpsi akar
internal pada sepertiga tengah saluran akar tambahan . Pada daerah periapeks tampak
gambaran radiolusensi yang berbatas jelas dengan diameter antara 6 sampai 7 mm yang
meluas meliputi hampir setengah panjang akar. Membran periodontal melebar dan lamina
dura terputus.
Diagnosis gigi 42 adalah nekrosis pulpa dengan gambaran kistik pada periapeks
dan gingivitis marginalis kronis generalisata. Rencana perawatan adalah perawatan
saluran akar non-vital dengan penggunaan kalsium hidroksida jangka panjang; restorasi
komposit dengan pasak profilaksis; konsul ke bagian periodonsia untuk dilakukan
pembersihan karang gigi.
Gambar 3.
Foto pra-operasi

Pada kunjungan pertama dilakukan anamnesis, pembuatan foto radiografis dan


pembukaan akses. Sebelum dilakukan penjajagan, kamar pulpa dibersihkan dengan
ekskavator dan dilakukan irigasi dengan NaOCl 2,5%. Kemudian dilakukan pengukuran
panjang kerja dengan menggunakan file awal no.15 dengan panjang 18mm untuk saluran
akar utama dan panjang 16mm untuk saluran akar tambahan. Pada gambaran radiografis
tampak panjang kerja saluran akar utama masih kurang 2mm, sedangkan file pada saluran
akar tambahan masih kurang 4mm. Diperoleh panjang kerja yaitu 20 mm untuk kedua
saluran akar. Untuk saluran akar tambahan file diganti dengan nomor 10 dan dengan
menggunakan pasta EDTA (RC Prep®) dilakukan penjajagan kembali dan diperoleh
panjang kerja sampai 20 mm. Gigi diirigasi kembali dengan NaOCl 2,5% kemudian
dikeringkan. Kavitas ditutup dengan kapas yang diberi ChKM dan ditutup dengan
tumpatan sementara. Pasien dikonsulkan ke bagian Periodonsia untuk dilakukan
pembersihan karang gigi.

Gambar 4.
Gambaran radiografis pada kunjungan pertama,
dilakukan pengukuran panjang saluran akar.

Tiga hari kemudian pasien datang, tidak ada keluhan, perkusi negatif, palpasi
sedikit peka.Dilakukan perbaikan akses sehingga diperoleh akses yang lebih lurus untuk
saluran akar utama. Preparasi saluran akar dilakukan dengan teknik step-back. Bagian
sepertiga apikal diperbesar hingga file no. 30. Flaring saluran akar dilakukan secara
bertahap ke arah koronal sampai dengan file no.45. Dinding saluran akar dihaluskan
dengan menggunakan file dengan gerakan sirkumferensial. Selama dilakukan preparasi,
saluran akar diiragisi berulang kali dengan NaOCl 2,5 %. Saluran akar dikeringkan dan
diisi dengan pasta kalsium hidroksida, dan ditutup dengan tumpatan sementara.
Pasien kembali dua minggu kemudian. Tidak ada keluhan perkusi dan palpasi
negative. Dari pemeriksaan kontrol radiografis saluran akar tidak terisi sempurna oleh
kalsium hidroksida. Tidak ada perubahan yang jelas pada daerah periapeks.Tumpatan
dibongkar, pasta kalsium hidroksida tampak basah. Saluran akar dibersihkan dan pasta
kalsium hidroksida diganti , kavitas ditutup kembali dengan tumpatan sementara. Pasien
diinstruksikan untuk kembali setelah satu bulan untuk dilakukan evaluasi.

Gambar 5.
Gambaran radiografis pada saat kontrol saat kunjungan ketiga

Satu bulan kemudian , keluhan tidak ada perkusi dan palpasi negatif. Gambaran
radiografis menunjukkan daerah radiolusen di periapeks sudah mulai mengecil.
Tumpatan sementara bocor, sehingga diputuskan untuk mengganti pasta kalsium
hidroksida karena diperkirakan telah terjadi kontaminasi dari arah koronal. Tumpatan
dibongkar, pasta kalsium hidroksida tampak lunak. Kavitas dibersihkan, diisi kembali
dengan kalsium hidroksida dan ditumpat dengan semen fosfat. Pasien diinstruksikan
untuk kontrol tiga bulan kemudian.
Gambar 6.
Gambaran radiografis pada kontrol saat kunjungan keempat

Pasien datang pada bulan ke empat. Tidak ada keluhan, perkusi dan palpasi
negatif, benjolan pada daerah labial sudah tidak teraba. Gambaran radiografis
menunjukkan adanya penyembuhan di daerah periapeks. Daerah radiolusensi tampak
jauh lebih kecil walaupun belum hilang sama sekali. Tampak pembentukan jaringan keras
di daerah periapeks. Tumpatan tampak bocor, pengisian pasta kalsium hidroksida kurang
baik. Tumpatan kemudian dibongkar, dan dilakukan preparasi ulang dengan file Pro-
Taper® dengan tujuan memperbesar flaring tanpa mengubah ukuran 1/3 apikal.
Diharapkan pasta kalsium hidroksida akan lebih mudah untuk dimasukkan ke dalam
saluran akar. Kavitas ditutup dengan semen fosfat. Pasien dianjurkan untuk kembali tiga
bulan kemudian.
Pada bulan ke sepuluh pasien baru dapat datang kembali untuk kontrol. Tidak ada
keluhan, perkusi palpasi negatif. Pemeriksaan radiografis menunjukkan perbaikan daerah
periapeks yang hampir sempurna. Masih tampak ada daerah radiolusen di bagian lateral
akar. Pasien kembali dirujuk ke bagian Periodonsia untuk dilakukan pembersihan karang
gigi karena sudah terlihat kemabali akumulasi plak dan kalkulus.

Gambar 7.
Gambaran radiografis pada kontrol saat kunjungan keenam
Kontrol bulan keenam belas, perkusi dan palpasi negatif. Pada pemeriksaan
radiografis tidak tampak adanya gambaran radiolusensi di daerah periapeks. Tumpatan
dibongkar, pasta kalsium hidroksida dibersihkan. Kemudian dibuat foto Röentgen master
cone dengan gutta percha 6% no.30 sepanjang 20 mm. Saluran diirigasi dengan NaOCl
2,5%, dikeringkan dan dilakukan pengisian saluran akar dengan kon tunggal
menggunakan sealer endomethasone. Dilakukan kondensasi vertikal pada daerah orifis
untuk mendapatkan seal koronal yang baik. Untuk saluran akar tambahan dilakukan
modifikasi dalam pengisian saluran akar. Agar daerah resorpsi internal dapat terisi
dengan gutta percha, dilakuakn pengisian sepanjang duapertiga saluran akar kemudian
dengan menggunakan instrument panas guttap percha dilunakkan dan ditekan dengan
arah vertikal. Setelah itu dilakukan pengisian dengan cara yang sama sampai saluran akar
terisi penuh. Kavitas ditutup dengan semen fosfat dan tumpatan sementara.

Gambar 8.
Gambaran radiografis pada kontrol saat kunjungan ketujuh

Lima minggu kemudian pasien kembali untuk kontrol. Tidak ada keluhan, perkusi
dan palpasi negatif. Gambaran radiografis Kemudian dilakukan bleaching internal
dengan teknik kombinasi termokatalitik dan walking bleach. Pada saat kontrol dua
minggu kemudian, warna gigi sudah menyerupai warna gigi disekitarnya. Dilakukan
preparasi saluran akar untuk penempatan pasak profilaksis dengan menggunakan pasak
pre-fabricated. Penyemenan pasak dilakukan dengan menggunakan semen glass ionomer
kemudian kavitas ditumpat dengan bahan resin komposit. Pasien dianjurkan untuk
kontrol secara berkala untuk mempertahankan kesehatan mulutnya.
BAB 4
PEMBAHASAN

Kista yang terbentuk pada periapeks gigi 42 merupakan pocket cyst yang
berhubungan dengan jaringan pulpa. Kista tersebut merupakan reaksi pertahan jaringan
terhadap perubahan jaringan pulpa yang berjalan lambat akibat trauma yang dialami dua
tahun sebelumnya.Jaringan nekrotik di dalam saluran akar menjadi agen infeksi yang
kemudian menyebabkan proliferasi sel-sel epitel.
Rasa nyeri ringan pada palpasi pada saat pasien datang disebabkan oleh tekanan
pada dinding rongga kista. Sedangkan kegoyangan gigi lebih disebabkan oleh
periodontitis marginalis. Posisi gigi yang sedikit rotasi menyebabkan plak mudah
berakumulasi di daerah servikal gigi. Oleh sebab itu penanganan kelainan jaringan
periodonsium juga harus dilakukan secara bersamaan dan pasien dirujuk ke klinik
periodonsia untuk dilakukan scalling.
Karena posisi gigi yang mengalami rotasi, secara tidak sengaja diketahui bahwa
gigi 42 mengalami kelainan morfologi gigi yang termasuk ke dalam dens invaginatus.
Terjadi invaginasi yang mencapai apeks sehingga terdapat dua orifis dan dua saluran
akar. Pada pemeriksaan radiografis juga ditemukan adanya resorpsi internal. Resorpsi
internal ini terjadi karena trauma yang dialami oleh gigi.
Bentuk saluran akar gigi 42 menyulitkan penjajagan saluran akar pada kunjungan
pertama, sehingga pada kunjungan kedua akses diperbaiki agar diperoleh jalan yang lebih
lurus kearah apikal. Saluran akar tambahan lebih sempit, sehingga untuk penjajagannya
dipakai file dengan nomor yang lebih kecil dengan bantuan bahan selasi.
Dari hasil pengisian saluran akar dengan pasta kalsium hidroksida yang terlihat
pada beberapa kali kunjungan, tampak kalsium hidroksida tidak mencapai apeks.
Kemungkinan hal ini terjadi karena transportasi kalsium hidroksida terhalang oleh bentuk
saluran akar yang kurang membuka ke arah oklusal. Operator mengambil inisiatif untuk
memperbesar flaring saluran akar dengan menggunakan teknik crown-down dengan
menggunakan file Pro Taper. Penggunaan pasta kalsium hidroksida dengan teknik
kondensasi vertikal diganti dengan memakai pasta hidroksida yang dikemas dalam
bentuk syringe dengan aplikator yang dapat masuk ke dalam saluran akar.
Kebocoran oklusal terjadi karena operator seharusnya menggunakan tumpatan
sementara yang lebih kuat dan padat seperti semen glass ionomer. Pemakaian semen
fosfat sebagai tumpatan sementara ternyata cukup memadai, walaupun terjadi kebocoran
yang disebabkan karena penutupan yang kurang padat.
Perawatan jangka panjang dengan menggunakan kalsium hidroksida memerlukan
evaluasi secara berkala. Harus diperhatikan apabila terjadi pengenceran kalsium
hidroksida maka harus diganti dengan bahan baru. Pasien dijadwalkan untuk datang
kembali satu minggu, 1 bulan, 3 bulan , 6 bulan dan satu tahun setelah perawatan serta
dilakukan evaluasi berkala setiap satu tahun.
Pada kasus ini penyembuhan lesi periapeks dapat terjadi karena penggunaan pasta
kalsium hidroksida dalam jangka waktu yang panjang. Kalsium hidroksida bersifat
higroskopis, sehingga dapat menyerap eksudat dari daerah inflamasi. Berkurangnya
tekanan pada kantung kista menyebabkan tekanan pada tulang alveolar berkurang.
Kalsium hidroksida mempunyai sifat antibakteri. Bakteri di saluran akar dan pada
daerah lesi akan menjadi lisis karena ion-ion hidroksil dari kalsium hidroksida akan
merusak dinding sel bakteri, selain itu sifat basa dari kalsium hidroksida akan
menetralisasi daerah lesi. Dengan demikian iritasi dari bakteri dan produk bakteri
menjadi terhenti.
Kalsium hidroksida juga mempunyai efek menginduksi jaringan keras. Daerah
periapeks yang telah mengalami resorpsi karena tekanan dari cairan kista akan kembali
tertutup oleh jaringan tulang.
Perubahan gambaran radiografis mulai terlihat pada bulan pertama. Lesi periapeks
mulai mengecil dan secara bertahap menghilang. Penyembuhan lesi periapeks baru
diketahui pada kunjungan pada bulan keenambelas. Reaksi penyembuhan jaringan
periapeks bergantung pada luas lesi, usia pasien, tahap pembersihan saluran akar dan
kualitas kalsium hidroksida. Selama kalsium hidroksida tidak terlarut, maka efeknya akan
bertahan dalam waktu yang lama.
Pengisian saluran akar tambahan memerlukan perhatian dan teknik khusus.
Adanya resorpsi internal di 1/3 tengah akar memerlukan perhatian khusus dalam
melakukan obturasi. Operator mencoba untuk melakukan modifikasi dengan mengacu
pada tekni termoplastis walaupun dengan alat yang terbatas. Pengisian diawali dengan
gutta percha yang sesuai dengan file utama, kemudian pada 2/3 koronal dilakukan
pemanasan dengan plugger samapai gutta percha lunak. Kondensasi vertikal dilakukan
dengan instrumen dingin agar gutta percha tidak tertarik keluar pada waktu diangkat. Sisa
saluran akar diisi secara incremental dengan teknik yang sama.
Idealnya, pengisian saluran akar dilakukan dengan menggunakan teknik
termoplastis yang didukung dengan alat yang sesuai. Namun hasil pengisian yang
dilakukan oleh operator cukup memadai dan saluran akar terlihat terisi dengan hermetis.
Pengisian saluran akar dengan bahan pengisi tetap hanya dilakukan setelah lesi
periapeks dinyatakan sembuh yang ditandai dengan hilangnya gambaran radiolusen dan
tampak jaringan keras sudah terbentuk dengan baik. Pengisian harus hermetis dan
ditindaklanjuti dengan perawatan bleaching internal dan pembuatan restorasi gigi .
Bleaching internal dilakukan karena gigi 42 telah mengalami perubahan warna.
Dalam dua minggu waran gigi 42 telah menyerupai warna gigi sekitarnya. Kemudian gigi
direstorasi dengan tumpatan komposit resin diperkuat dengan pasak profilaksis.
Pemilihan restorasi ini didasari oleh sisa jaringan mahkota gigi yang masih banyak,
terutama karena daerah servikal mahkota gigi masih utuh.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Perawatan lesi periapeks, dalam hal ini kista, dimungkinkan hanya dengan
melakukan perawatan endodontik konvensional. Prognosis perawatan kista radikuler
dengan cara ini baik tergantung dari jenis kista. Pocket cyst mempunyai prognosis yang
lebih baik daripada true cyst. True cyst bukan merupakan indikasi perawatan saluran akar
konvensional.
Perawatan saluran akar konvensional pada gigi dens invaginatus dengan lesi
periapeks memberikan hasil yang memuaskan. Prinsip perawatannya adalah sama
dengan perawatan saluran akar pada gigi non-vital dengan lesi periapeks lainnya. Pada
kasus ini diperlukan pemahaman morfologi anomali gigi, sehingga hambatan-hambatan
morfologis dapat ditanggulangi dengan baik.
Perawatan lesi periapeks secara non-bedah dapat dilakuakan dengan prosedur
yang lebih sederhana dibandingkan dengan perawatan secara bedah. Secara psikologis
perawatan bedah dapat membebani pasien dan trauma yang dihasilkan pada jaringan
keras dan lunak gigi akan besar.

Saran
Perawatan lesi periapeks pada gigi non-vital sebaiknya diupayakan dulu dengan
teknik perawatan saluran akar konvensional. Perawatan saluran akar harus dilakukan
sesuai dengan berpegang pada prinsip triad endodontik. Penggunaan bahan kalsium
hidroksida disarankan untuk digunakan sebagai obat jangka panjang karena terbukti
cukup efektif untuk penyembuhan lesi periapeks.
Pada penggunaan kalsium hidroksida, harus dipastikan bahan ini berkontak
dengan jaringan periapeks dan tidak mengalami pengenceran. Penutupan kavitas harus
diusahakan serapat mungkin dengan bahan yang tidak mudah larut dalam saliva. Hal ini
untuk menjaga agar tidak terjadi kontaminasi dari arah oklusal.
Sebelum melakukan perawatan pasien harus diberi informasi yang cukup
mengenai perawatan yang memakan waktu cukup lama. Diharapkan pasien dapat
bersikap kooperatif sehingga dapat menunjang keberhasilan perawatan
DAFTAR PUSTAKA

1
Neville BW.,Damm DD.,Allen CM.,Bouqout JE.Oral & Maxillofacial Pathology 2nd Ed:
Philadelphia.WB Saunders.2002.80-82
ii
Tsumarichi T, Hayashi M, Takeichi O.Non-surgical root canal treatment of dens
invaginatus type 2 in a maxillary lateral incisor.International Endodontic Journal.
2002.35.68-72
iii
Tornstad L.Clinical Endodontics, A Textbook.2nd Rev.Ed:Stuttgart.Thieme.2003:146-
157
iv
Stock CJR.,Gulabivala K.,Walker RT.,Goodman JR.Endodintics.2nd Ed.:Barcelona.
Mosby-Wolfe.2002:201-203
v
Sidharta W.Perawatan Saluran Akar Konvensional pada Gigi Non-vital dengan
Kelainan Periapeks Lanjut Menggunakan Kalsium Hidroksida.(Laporan Kasus).Jurnal
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Vol.4.Edisi Khusus KPPIKG XI.1997.35-42
vi
Wesselink P.,Bergenholtz G.Treatment of the necrotic pulp In: Bergenholtz G.,Hørsted-
Bindslev P.,Reit C (Eds).Textbook of Endodontology:Oxford.Blackwell
Muksgaan.2003.165
vii
Salamat K.,Rezal R.Nonsurgical treatment of extraoral lesion caused by necrotic
nonvital tooth.Oral SurgeryOralMedicineOralPathology.June 1986.61.618-623
viii
Sidharta W.Penggunaan Kalsium Hidroksida di Bidang Konservasi Gigi.Jurnal
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.2000.7:435-437
ix
Schmalz G.Root Canal Filling Materials In: Bergenholtz G.,Horsted-Bindslev P.,Reit
C. (Eds). Textbook of Endodontology:Oxford.Blackwell Munksgaard.2003:280

You might also like