You are on page 1of 35

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dr. Karel Steenbrink dalam Pesantren, Madrasah, Sekolah:

Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern menggambarkan dengan baik

bagaimana heroisme peranserta masyarakat dalam membangun lembaga

pendidikan berbasis masyarakat seperti madrasah dan pesantren. Seakan ada

yang hilang, madrasah oleh pemerintah kolonial Belanda diposisikan sebagai

sekolah kelas dua, tak bermasa depan serta melulu belajar agama dan

diharamkan mempelajari ilmu umum. Politik ini jelas menandakan adanya

dualisme dan keberpihakan pemerintah terhadap posisi madrasah. Bagi

pemerintah Kolonial Belanda, tak mungkin madrasah mampu mengikuti pola

pembelajaran seperti di sekolah umum, mengingat masyarakat madrasah

dipandang tak mampu membangun dan mengembangkan sikap kritis karena

fokus mereka melulu agama dan persoalan-persoalan ke-akhirat-an. Selain itu

komunitas madrasah juga dipandang tak memiliki kepedulian terhadap

perkembangan ilmu-ilmu kontemporer yang berbasis sains dan teknologi.

Bahkan dengan nada menyindir dan terkesan nyinyir, Steenbrik dalam

penelitiannya menyebutkan bahwa desain politik pendidikan madrasah

memang disengaja dalam rangka mempersiapkan lulusannya untuk menjadi

pegawai negeri (white collar job) saja.

1
Selain itu komunitas madrasah juga selalu menyebarkan paradigma

bahwa pendidikan umum jauh lebih mahal dari pendidikan agama. Saat itu

bahkan para guru pendidikan umum kebanyakan bergaji lebih tinggi dari guru

agama serta enggan untuk terjun ke daerah peloksok. Keadaan inilah yang

salah satunya menyebabkan mengapa ketika masyarakat di daerah pedesaan

mendirikan madrasah sering kesulitan mendapatkan guru mata pelajaran

umum, karena tak mampu membayar gaji mereka. Pendek kata madrasah

adalah potret gotong-royong keagamaan bermodalkan semangat, tapi didesain

tanpa strategi yang jelas dan sistematis pada semua aspek kebutuhannya.

Dibutuhkan konsistensi dan strategi pengembangan madrasah yang

fokus dan terarah. Kita percaya begitu banyak enerji dan kreativitas pada

komunitas madrasah yag belum terjamah dengan perencanaan program yang

baik. Bahkan dukungan masyarakat yang menjadi kekuatan madrasah selama

inipun seakan pergi entah kemana. Ketergantungan masyarakat madrasah

terhadap pemerintah harus dikurangi, mengingat mayoritas madrasah

memang milik masyarakat. Partisipasi masyarakat yang menjadi kekuatan

madrasah selama ini harus menjadi prioritas untuk dibangun dan

dikembangkan kembali.

Deskripsi Singkat

Bahan ajar ini merupakan panduan bagi peserta diklat untuk

membantu meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang strategi, etika

dan model kerjasama madrasah. Dengan demikian peserta diklat dapat

2
mengimplementasikannya di tempatnya masing-masing yang disesuaikan

dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di sekolahnya. Bahan ajar yang

sedang Anda baca ini merupakan salah satu bahan ajar pada Diklat Kepala

MI, MTs dan MA pada program Inpres tahun 2010. Topik yang dibahas

dalam bahan ajar ini adalah tentang Pengembangan Madrasah. Ruang lingkup

materi ini adalah tentang strategi kerjasama pengembangan madrasah, etika

kerjasama madrasah dan model-model kerjasam madrasah

Relevansi/Manfaat

Materi di dalam bahan ajar ini dapat bermanfaat bagi peserta diklat untuk

menambah wawasan, pemahaman, dan pengetahuan tentang pengembangan

madrasah. Selain itu peserta diklat dapat meningkatkan keterampilannya

dalam memilih strategi dan model pengembangan madrasah sesuai kondisi

sekolahnya masing-masing.

Tujuan Pembelajaran

Setelah selesai pembelajaran mata diklat ini peserta dapat:

1. Menjelaskan tentang strategi kerjasama pengembangan madrasah

2. Menjelaskan etika kerjasama madrasah

3. Menjelaskan model-model kerjasama madrasah

3
BAB II
STRATEGI, ETIKA DAN MODEL-MODEL KERJASAMA
PENGEMBANGAN MADRASAH

A. Strategi Kerjasama Pengembangan Madrasah

“Change is the law of life. And those who look only to the past or present are
certain to miss the future. – Perubahan adalah hukum kehidupan. Bila mereka
hanya melihat masa lalu atau masa sekarang, maka sudah pasti mereka akan
kehilangan masa depan.”
(John F. Kennedy, Presiden AS ke-35.)

Dalam perspektif historis, Indonesia merupakan sebuah negeri muslim

yang unik, letaknya sangat jauh dari pusat lahirnya Islam (Mekkah).

Meskipun Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh, dunia

internasional mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang

mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini merupakan salah satu

indikator keberhasilan Pendidikan Agama Islam di Indonesia. Lembaga

Pendidikan Agama Islam pertama didirikan di Indonesia adalah dalam bentuk

pesantren .

Dengan karaktemya yang khas “religius oriented”, pesantren telah

mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri

tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan

untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam. Masuknya model

pendidikan sekolah membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi

umat Islam saat itu, yang mengarah pada lahirnya dikotomi ilmu agama

(Islam) dan ilmu sekuler (ilmu umum dan ilmu sekuler Kristen). Dualisme

model pendidikan yang konfrontatif tersebut telah mengilhami munculnya

gerakan reformasi dalam pendidikan pada awal abad dua puluh.

4
1. Madrasah dan Potensinya

a. Eksistensi Madrasah

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif

lebih muda dibanding pesantren. Ia lahir pada abad 20 dengan

munculnya Madrasah Manba’ul Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905

dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di

Sumatera Barat tahun 1909 (Malik Fadjar, 1998). Madrasah berdiri atas

inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam yang

telah ada.

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam kini ditempatkan

sebagai pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional.

Munculnya SKB tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan, dan Menteri dalam Negeri) menandakan bahwa eksistensi

madrasah sudah cukup kuat beriringan dengan sekolah umum. Di

samping itu, munculnya SKB tiga menteri tersebut juga dinilai sebagai

langkah positif bagi peningkatan mutu madrasah baik dari status, nilai

ijazah maupun kurikulumnya (Malik Fadjar, 1998). Di dalam salah satu

diktum pertimbangkan SKB tersebut disebutkan perlunya diambil

langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah

agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-

sekolah umum dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

5
b. Problema Madrasah

Sebagai upaya inovasi dalam Sistem Pendidikan Islam,

madrasah tidak lepas dari berbagai problema yang dihadapi. Problema-

problema tersebut, menurut Darmu’in (1998), antara lain:

1) Madrasah telah kehilangan akar sejarahnya, artinya keberadaan

madrasah bukan merupakan kelanjutan pesantren, meskipun diakui

bahwa pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam

pertama di Indonesia.

2) Terdapat dualisme pemaknaan terhadap madrasah. Di satu sisi,

madrasah diidentikkan dengan sekolah karena memiliki muatan

secara kurikulum yang relatif sama dengan sekolah umum. Di sisi

lain, madrasah dianggap sebagai pesantren dengan sistem klasikal

yang kemudian dikenal dengan madrasah diniyah.

Dengan demikian, sebagai sub sistem pendidikan nasional,

madrasah belum memiliki jati diri yang dapat dibedakan dari lembaga

pendidikan lainnya.

Diakui bahwa model pendidikan madrasah di dalam perundang-

undangan negara, memunculkan dualisme sistem Pendidikan di

Indonesia. Dualisme pendidikan di Indonesia telah menjadi dilema yang

belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini tidak hanya

berkenaan dengan sistem pengajarannya tetapi juga menjurus pada

keilmuannya. Pola pikir yang sempit cenderung membuka gap antara

ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Seakan-akan muncul

6
ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (kafir). Padahal dikhotomi keilmuan

ini justru menjadi garapan bagi para pakar pendidikan Islam untuk

berusaha menyatukan keduanya.

Dualisme pendidikan Islam juga muncul dalam bidang

manajerialnya, khususnya di lembaga swasta. Lembaga swasta

umumnya memiliki dua top manager yaitu kepala madrasah dan ketua

yayasan (atau pengurus). Meskipun telah ada garis kewenangan yang

memisahkan kedua top manager tersebut, yakni kepala madrasah

memegang kendali akademik sedangkan ketua yayasan (pengurus)

membidangi penyediaan sarana dan prasarana, sering di dalam praktik

terjadi overleaving. Praktek manajemen di madrasah sering

menunjukkan model manajemen tradisional, yakni model manajemen

paternalistik atau feodalistik. Dominasi senioritas semacam ini

terkadang mengganggu perkembangan dan peningkatan kualitas

pendidikan. Munculnya kreativitas inovatif dari kalangan muda

terkadang dipahami sebagai sikap yang tidak menghargai senior.

Kondisi yang demikian ini mengarah pada ujung ekstrem negatif,

hingga muncul kesan bahwa meluruskan langkah atau mengoreksi

kekeliruan langkah senior dianggap tabiat su’ul adab.

Kesenjangan antara madrasah swasta dan madrasah negeri pun

tampaknya juga menjadi masalah yang belum tuntas diselesaikan. Gap

tersebut meliputi beberapa hal seperti pandangan guru, sarana dan

prasarana, kualitas input siswa dan sebagainya yang kesemuanya itu

7
berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung kepada mutu

pendidikan. Yang demikian ini karena munculnya SKB tiga menteri

tersebut belum diimbangi penyediaan guru, buku-buku dan peralatan

lain dari departemen terkait (Malik Fadjar, 1998).

c. Madrasah di era modern

Persepsi masyarakat terhadap madrasah di era modern belakangan

semakin menjadikan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang unik.

Di saat ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, di saat

filsafat hidup manusia modern mengalami krisis keagamaan (Haedar

Nashir, 1999) dan di saat perdagangan bebas dunia makin mendekati

pintu gerbangnya, keberadaan madrasah tampak makin dibutuhkan

orang. Terlepas dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang

berasal dari dalam sistem seperti masalah manajemen, kualitas input

dan kondisi sarana prasarananya, maupun dari luar sistem seperti

persyaratan akreditasi yang kaku dan aturan-aturan lain yang

menimbulkan kesan madrasah sebagai ‘sapi perah’, madrasah yang

memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki oleh model pendidikan

lainnya itu menjadi salah satu tumpuan harapan bagi manusia modern

untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan

menghindarkan diri dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang

semakin merajalela seiring dengan kemajuan peradaban teknologi dan

materi. Sebagai jembatan antara model pendidikan pesantren dan model

8
pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan

dalam berbagai lingkungan.

Di lingkungan pesantren, madrasah bukanlah barang yang asing,

karena memang lahirnya madrasah merupakan inovasi model

pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para santri

lebih mudah mengetahui sampai di mana tingkat penguasaan materi

yang dipelajari. Dengan metode pengajaran modern yang disertai audio

visual aids, kesan kumuh, jorok, ortodok, dan exclusive yang selama itu

melekat pada pesantren sedikit demi sedikit terkikis. Masyarakat

metropolit makin tidak malu mendatangi dan bahkan memasukkan

putra-putrinya ke pesantren dengan model pendidikan madrasah. Baik

mereka yang sekedar berniat menempatkan putra-putrinya pada

lingkungan yang baik (agamis) hingga yang benar-benar menguasai

ilmu yang dikembangkan di pesantren tersebut, orang makin berebut

untuk mendapatkan fasilitas di sana.

Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, misalnya, penuh

dengan putra putri konglomerat, sekali daftar tanpa mikir bayar,

lengkap sudah fasilitas didapat. Ma’had Al-Zaitun yang berlokasi di

daerah Haurgelis (sekitar 30 KM dari pusat kota Indramayu), yang baru

berdiri pada tahun 1994, juga telah menjadi incaran masyarakat modern

kelas menengah ke atas, bahkan sebagian muridnya berasal dari negara-

negara sahabat, seperti Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam.

9
Dengan demikian, model pendidikan madrasah di lingkungan pesantren

telah memiliki daya tawar yang cukup tinggi.

Melihat kenyataan seperti itu, tuntutan pengembangan madrasah

akhir-akhir ini dirasa cukup tinggi. Pengembangan madrasah di

pesantren yang pada umumnya berlokasi di luar kota dirasa tidak cukup

memenuhi tuntutan masyarakat. Oleh karena itu banyak model

pendidikan madrasah bermunculan di tengah kota, baik di kota kecil

maupun di kota-kota metropolitan. Meskipun banyak madrasah yang

berkembang di luar lingkungan pesantren, budaya agamanya, moral dan

etika agamanya tetap menjadi ciri khas sebuah lembaga pendidikan

Islam. Etika pergaulan, perilaku dan performance pakaian para

santrinya menjadi daya tarik tersendiri, yang menjanjikan kebahagiaan

hidup dunia akhirat sebagaimana tujuan pendidikan Islam (Al-Abrasyi,

1970; Jalaluddin dan Said, 1996).

Realitas menunjukkan bahwa praktek pendidikan nasional dengan

kurikulum yang dibuat dan disusun sedemikian rupa bahkan telah

disempurnakan berkali-kali, tidak hanya gagal menampilkan sosok

manusia Indonesia dengan kepribadian utuh, bahkan membayangkan

realisasinya saja terasa sulit. Pendidikan umum (non madrasah) yang

menjadi anak emas pemerintah, di bawah naungan Depdiknas, telah

gagal menunjukkan kemuliaan jati dirinya selama lebih dari tiga

dekade. Misi pendidikan yang ingin melahirkan manusia-manusia

cerdas yang menguasai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

10
dengan kekuatan iman dan taqwa plus budi pekerti luhur, masih tetap

berada pada tataran ideal yang tertulis dalam susunan cita-cita

(perundang-undangan). Tampaknya hal ini merupakan salah satu

indikator dimana pemerintah kemudian mengakui keberadaan madrasah

sebagian dari sistem pendidikan nasional.

Pendidikan moral yang dilaksanakan melalui berbagai cara baik

kurikuler (Pendidikan Nasional dan Ketahanan Nasional atau PPKN)

maupun ko kurikuler (Penataran P-4) telah melahirkan elit politik yang

tidak mampu tampil sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik)

bahkan memberikan kesan korup dan membodohi rakyat. Kegiatan

penataran dan cerdas cermat P-4 (Pedoman Penghayatan dan

pengamalan Pancasila) tidak lebih dari aktivitas ceremonial

karakteristik. Disebut demikian karena kegiatan tersebut telah

meloloskan para juara dari peserta yang paling mampu menghafal buku

pedoman dan memberikan alasan pembenaran, bukan mereka yang

mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancsila dalam kehidupan

sehari-hari. Dengan demikian, para peserta penataran atau cerdas

cermat P-4 berlomba-lomba menghafal butir-butir Pancasila tanpa

berusaha melaksanakannya di dalam kehidupan nyata. Itulah di antara

faktor yang mempengaruhi turunnya moralitas bangsa ini (Dradjat,

1971).

Setelah kebobrokan moral dan mental merebak dan merajalela,

orang baru bangun dan sadar bahwa pendidikan moral yang selama ini

11
dilakukan lebih berorientasi pada pendidikan politik pembenaran

terhadap segala pemaknaan yang lahir atas restu regim yang berkuasa.

Upaya pembinaan moral yang bertujuan meningkatkan harkat dan

martabat manusia sesuai dengan cita-cita nasional yang tertuang dalam

perundang-undangan telah dikesampingkan dan menjadi jauh dari

harapan.

2. Pengembangan dan Pemberdayaan Madrasah

Pengembangan Madrasah pada saat ini telah menjadi kebutuhan

yang sangat mendesak, karena realitas di lapangan menunjukan kondisi

Madrasah belum sama kualitasnya dengan Sekolah sekolah secara

keseluruhan. Berdasarkan Undang Undang nomor: 2 tahun 1989, sekolah

sekolah di bawah Departemen Agama (madrasah) baik yuridis maupun

struktur sama dengan persekolahan yang diselenggarakan di bawah

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud). Akan tetapi

berhubung komponen input Madrasah jauh lebih rendah dari Sekolah pada

umumnya, baik jumlah maupun mutunya, maka proses dan output nya juga

tidak sama. Oleh sebab itu perbaikan terhadap kondisi Madrasah kian hari

kian dirasakan pentingnya, bahkan jika dihubungkan dengan tuntutan

pengembangan Sumber Daya Manusia untuk Pembangunan, maka

pengembang Kebutuhan terhadap pengembangan Madrasah juga sangat

berkaitan erat dengan perkembangan dan perubahan masyarakat.

Keberhasilan pernbangunan yang pernah diraih oleh bangsa Insonesia,

sampai pada fingkat tertentu, harus diakui telah mendorong terjadinya

12
pergeseran dan perubahan tingkat kebutuhan masyarakat. Bagi golongan

yang berpenghasilan menengah ke atas, perhatian fidak lagi sepenuhnya

ditujukan kepada pemenuhan kebutuhan pokok yang bersifat fisik material

semata; melainkan berpindah kepada pemenuhan kebutuhan nonfisik,

mental, dan spiritual. Kebutuhan tersebut antara lain meliputi: pelayanan

pendidikan dan pencarian nilai nilai keagamaan. Dalam hal ini keberadaan,

fungsi dan peran Madrasah dapat menjadi pilihan. Adapun bagi

masyarakat dengan tingkat ekonomi yang lebih rendah, peran Madrasah itu

diharapkan dapat membantu perbaikan status sosial ekonomi masyarakat

dengan mengantarkan mereka ke jalur pembangunanan Madrasah sudah

dipandang sangat mendesak

Kecenderungan global yang berkembang hingga saat ini juga

sernakin mempertegas perlunya pengembangan Madrasah. Secara historis

kehadiran Madrasah lebih berperan sebagai jembatan yang mengantarkan

kelompok kelompok masyarakat dari lingkup pergaulan lokal ke dalam

tata pergaulan tingkat nasional. Sementara peran tersebut belum

sepenuhnya berhasil, saat ini tumbuh pula tuntutan baru yang lebih tinggi,

yakni untuk mengantarkan masyarakat ke dalam tata pergaulan

internasional (global).

Kesepakatan antara Pemerintah RI dengan lembaga lembaga

keuangan internasional seperti: Asian Development Bank (ADB) dan

Islamic Development Bank (IDB) dalam pengembangan Madrasah, tidak

lain sebagai upaya untuk menjawab tuntutan tersebut di atas. Faktor dana

13
yang selama ini dikeluhkan oleh para pembina dan penyelenggara

madrasah, diharapkan sedikit dapat menjadi penghantar ke arah perbaikan

dan pengembangan Madrasah secara lebih sistematis, sehingga kegiatan-

kegiatan yang diselenggarakan untuk kepentingan Madrasah bisa lebih

berdaya guna dan berhasil guna. Dengan demikian program pembinaan

pada masa yang akan datang dapat menciptakan kondisi Madrasah yang

lebih baik, setidaknya sama dengan sekolah pada umumnya.

Madrasah biasanya tumbuh berdasarkan potensi yang ada dari

suatu kelompok masyarakat, atau pihak tertentu yang memiliki kepedulian

yang tinggi terhadap penyelenggaraan pendidikan. Demikian pula

pengembangan selanjutnya sangat ditentukan oleh sejauhmana pihak

penyelenggara mampu secara terus menerus menggali potensi tersebut,

serta melipatgandakan kekuatan kekuatan yang sudah tersedia di madrasah

Selama ini pemberian bantuan umumnya dipahami sebagai

sumbangan pihak luar kepada Madrasah. Karena sifat kehadirannya datang

dari luar madrasah, sering terjadi bantuan yang diberikan tidak sesuai

dengan kebutuhan. Oleh karena itu manfaat pemberian bantuan tidak dapat

dioptimalkan bagi pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan.

Demikian pula pernberian bantuan acapkali menimbulkan

ketergantungan. Perbaikan dan pengembangan Madrasah hanya dapat

dilakukan selama ada bantuan. Akan tetapi sebaliknya, semua program

pengembangan ikut berhenti bersamaan dengan dihentikannya pemberian

bantuan.

14
Sikap ketergantungan kepada bantuan, serta pemberian bantuan

yang tidak tepat sasar selama ini, justeru sangat merugikan perkembangan

Madrasah. Oleh sebab itu pola bantuan yang mulai diterapkan sejak tahun

anggaran 1997/1998, lebih diarahkan kepada tumbuhnya upaya strategis

yang mendorong seluruh jajaran pembina dan penyelenggara Madrasah,

agar meningkatkan kernampuannya dalam menggali sendiri potensi dan

kekuatan yang ada pada madrasah.

Kebutuhan terhadap pengembangan Madrasah sesungguhnya

bukan kepentingan pihak pemberi bantuan (pemerintah dan donatur),

melainkan tuntutan dari Madrasall itu sendiri. Dengan demikian seluruh

aspek yang berkaitan dengan bantuan dan pengembangan menjadi

tanggung jawab pihak Madrasah yang bersangkutan. Pihak Madrasah oleh

karena itu berkewajiban untuk mengidentifikasi kebutuhan kebututiannya,

merencanakan pengembangan, melaksanakan program, melakukan

pemantauan, dan menilai sejauhmana rencana pengembangan telah

terlaksana dan berhasil sebagaimana yang diharapkan.

Dalam kaitannya dengan bantuan yang dibiayai oleh Proyek

proyek, maka jenis jenis bantuan yang dibutuhkan oleh Madrasah, dengan

sendirinya tidak ditentukan oleh Pemimpin Proyek maupun jajarannya.

Pemimpin Proyek bersama pengelola proyek lainnya hanya melakukan

penilaian terhadap usufan mana yang layak mendapatkan bantuan. Apabila

suatu usulan disetujui dan dilaksanakan, Pemimpin Proyek berhak

melakukan pemantauan, penilaian, dan meminta pertanggungjawaban

15
terhadap apakah antuan yang diberikan telah dimanfaatkan sesuai dengan

ketentuan dan peruntukannya.

Keberhasilan pendidikan secara kuantitatif didasarkan pada teori

Benjamin S. Bloom (1956) yang dikenal dengan nama Taxonomy of

Educational Objectives, yang mencakup tiga domain yaitu kognitif, afektif

dan psikomotor. Meskipun demikian, keberhasilan output (lulusan)

pendidikan hanyalah merupakan keberhasilan kognitif. Artinya, anak yang

tidak pemah shalat pun, jika ia dapat mengerjakan tes PAl (Pendidikan

Agama Islam) dengan baik maka ia bisa lulus (berhasil), dan jika nilainya

baik, maka ia pun dapat diterima pada tingkat pendidikan yang lebih

tinggi. Lain halnya dengan outcome (performance) seorang alumni

Madrasah, bagaimanapun nilai raport dan hasil ujiannya, moral keagamaan

yang melekat pada sikap dan perilakunya akan menjadi tolok ukur bagi

keberhasilan lembaga pendidikan yang menjadi tempat ia belajar. Karena

itulah keberhasilan out-come disebut keberhasilan afektif dan

psikomotorik. Bagi lembaga pendidikan “Madrasah”, kedua standar

keberhasilan (output dan outcome) yang mencakup tiga domain taxonomy

of educational objectives, tidak dapat dipisahkan. Di samping Madrasah

mendidik kecerdasan, ia juga membina moral dan akhlak siswanya (Al-

Abrasyi, 1970; Abdullah, 1994). Itulah nilai plus madrasah dibandingkan

sekolah umum yang menekankan pembinaan kecerdasan intelek (aspek

kognitif).

16
Munculnya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi dalam

bidang pendidikan yang bertujuan untuk memberi peluang kepada peserta

didik untuk memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dapat

memberikan kontribusi kepada masyarakat, tidak mengagetkan para

pengelola madrasah. Madrasah juga lebih survive dalam kondisi

perubahan kurikulum yang sangat cepat, karena kehidupan madrasah tidak

taklid kepada kurikulum nasional. Manajemen desentralisasi memberikan

kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan PBM sesuai dengan

kebutuhan yang dikondisikan untuk kebutuhan lokal. Dengan demikian,

maka madrasah mendapatkan angin segar untuk bisa lebih exist dalam

mengatur kegiatannya tanpa intervensi pemerintah pusat dalam upaya

mencapai peningkatan mutu pendidikannya. Melalui proses belajar

mengajar yang didasari dengan kebutuhan lokal, kurikulum tidak terbebani

dengan materi lain yang sesungguhnya belum atau bahkan tidak relevan

bagi peningkatan pengetahuan dan keterampilan peserta didik pada jenjang

tersebut. Efektivitas proses belajar mengajar diharapkan bisa tercapai

sehingga menghasilkan prestasi belajar yang lebih tinggi.

Adapun meningkatnya keterlibatan pemerintah dalam pendidikan

menyebabkan para pengelola madrasah memfokuskan pada program-

program tambahan sebagai sarana meningkatkan kualitas pendidikan.

Program remidial dan kursus untuk meningkatkan perkembangan kognitif,

sosial dan emosional dari siswa yang berkemampuan rendah dalam taraf

17
perekonomian dan hasil belajar merupakan program-program kompensasi,

bukan untuk menggantikan program-program yang ada.

Sebagai lembaga pendidikan yang lahir dari masyarakat, madrasah

lebih mudah mengintegrasikan lingkungan eksternal ke dalam organisasi

pendidikan, sehingga dapat menciptakan suasana kebersamaan dan

kepemilikan yang tinggi dengan keterlibatan yang tinggi dari masyarakat.

Keterlibatan masyarakat bukan lagi terbatas seperti peranan orang tua

siswa (POMG) yang hanya melibatkan diri di tempat anaknya sekolah.

Melainkan keterlibatan yang didasarkan kepada kepemilikan lingkungan.

Sesuai dengan jiwa desentralisasi yang menyerap aspirasi dan

partisipasai masyarakat dalam pengembangan dan peningkatan kualitas

pendidikan, masyarakat dituntut untuk memiliki kepedulian yang tinggi

memperhatikan lembaga pendidikan yang berada di lingkungan setempat.

Hal ini dapat menumbuhkan sikap kepemilikan yang tinggi dengan

memberikan kontribusi baik dalam bidang material, kontrol manajemen,

pembinaan, serta bentuk partisipasi lain dalam rangka meningkatkan

eksistensi madrasah yang selanjutnya menjadi kebanggaan lingkungan

setempat.

Akhirnya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang hidup

dari, oleh dan untuk masyarakat belum mendapatkan sentuhan pikiran dan

tangan kita semua. Peningkatan mutu tidak akan terealisir tanpa andil

semua pihak. Untuk itu, demi peningkatan mutunya maka madrasah perlu

dibantu, dibela dan diperjuangkan.

18
3. Strategi Pengembangan Madarasah

Sejenak kita resapi kalimat ini:

a. ‘Ada jalan tetapi tidak mudah’

b. ‘Tidak mudah, tetapi ada jalan’.

Sekilas, dua kalimat tersebut mirip. Namun keduanya memiliki

makna yang bertolak belakang. Kalimat pertama, membawa kita pada

situasi pesemis – kalah sebelum bertanding. Sementara kalimat kedua

bermakna penuh optimisme, meskipun untuk mencapainya perlu

mengerahkan segenap kemampuan.

Sebaiknya memilih kalimat yang kedua. Itulah rangkaian kata bijak

yang selalu memotivasi diri dalam melakukan peningkatkan kualitas

madrasah. Sejak awal kita menyadari bahwa tantangan yang dihadapi

madrasah –terutama madrasah swasta – demikian kompleks. Sebut saja

kurang harmonisnya hubungan antara madrasah dan yayasan,

keterbatasan SDM, pendanaan, fasilitas pembelajaran, minimnya gaji

guru, minimnya peran orang tua/masyarakat dan sebaginya.

Belum lagi persoalan ‘guru terbang’, yaitu guru yang harus

mengajar di berbagai madrasah karena pertimbangan kesejahteraan.

Berbagai tantangan ini menyebabkan program inovasi yang akan

diterapkan di madrasah, tidaklah mudah tetapi selalu ada jalan.

Diperlukan 5 K : Komitmen, Konsistensi, Kreatifitas, Komunikasi dan

Kemitraan untuk mencapai keberhasilan.

19
Itulah salah satu bentuk strategi yang bisa diterapkan dalam

mengembangkan madrasah, yaitu 5 K:

a. Komitmen

b. Konsistensi

c. Kreatifitas

d. Komunikasi

e. Kemitraan

Atau coba kita akomodasi strategi dalam dunia bisnis, menggunakan

analisa “TOWS Matriks”, yang menerapkan 4 langkah berikut:

a. Memaksimalkan potensi atau kekuatan.

b. Memastikan kelemahan tidak membebani usaha atau kemajuan.

c. Memaksimalkan peluang yang tersedia.

d. Mengantisipasi segala bentuk tantangan & menyediakan beberapa

solusi.

Dari 4 langkah tersebut, strategi yang bisa digunakan untuk

mencapai tujuan adalah:

a. Menggunakan kekuatan internal untuk mengambil kesempatan yang

ada di luar.

b. Menggunakan kekuatan internal untuk menghindari ancaman yang

ada di luar.

c. Menggunakan kesempatan eksternal yang ada untuk mengurangi

kelemahan internal.

d. Meminimalkan kelemahan dan ancaman yang mungkin ada.

20
Dari strategi di atas, kita mesti terjemahkan dalam konteks sekolah

kita sendiri. Kita harus bisa menginvenatrisir segala kekuatan, kelemahan,

potensi, dan segala pendukung baik internal sekolah, maupun faktor

pendukung dari luar. Hal ini akan menjadikan sekolah kita menjadi

sekolah yang maju dan punya nilai unggul.

B. Etika kerjasama Madrasah

Kata “etika” mengandung beberapa pengertian. Dari asal usul kata,

etika berasal dari bahasa Yunani ethos, yang bearti adat istiadat atau

kebiasaan baik. Perkembangan etika studi tentang kebiasaan manusia

berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang

menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika memiliki 3 arti, yaitu:

Pertama, ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan

kewajiban moral. Kedua, kumpulan asas/nilai yang berkenaan dengan akhlak.

Ketiga, nilai mengenai yang benar dan salah yang dianut masyarakat.

Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat dipisahkan dari

komunitasnya dan setiap orang di dunia ini tidak ada yang dapat berdiri

sendiri melakukan segala aktivitas untuk memenuhi kebutuhannya, tanpa

bantuan orang lain. Secara alamiah, manusia melakukan interaksi dengan

lingkungannya, baik sesama manusia maupun dengan makhluk hidup.

Kerja sama pada intinya menunjukkan adanya kesepakatan antara dua orang

atau lebih yang saling menguntungkan, sebagaimana dua pengertian kerja

sama di bawah ini:

21
1. Moh. Jafar Hafsah menyebut kerja sama ini dengan istilah “kemitraan”,

yang artinya adalah “suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak

atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama

dengan prisip saling membutuhkan dan saling membesarkan.”

2. H. Kusnadi mengartikan kerja sama sebagai “dua orang atau lebih untuk

melakukan aktivitas bersama yang dilakukan secara terpadu yang

diarahkan kepada suatu target atau tujuan tertentu.”

Dari pengertian etika dan kerjasama di atas, maka dapat kita ambil

benang merah tentang arti etika kerja sama, yaitu norma atau aturan yang

membingkai hubungan baim dua orang atau lebih. Lebih luasnya, etika

kerja sama adalah bagaimana aturan yang dapat mengikat dua

orang/organisasi/lembaga atau lebih, untuk saling memberi keuntungan.

Diantara garis besar etika kerjasama tersebut, kita ambil dari dunia

bisnis, di mana keduanya saling memberi keuntungan. Etika kerjasama

tersebut adalah:

1. Menciptakan target pencapaian yang jelas, sehingga masing-masing

individu maupun tim kolektif mengerti peran masing-masing dan

meyakini tak ada agenda atau tujuan tertentu yang tersembunyi.

2. Masing-masing pihak sama-sama bersikap konsisten dengan apa yang

sudah disepakati, sehingga terbangun rasa saling percaya.

3. Mempunyai rasa saling ketergantungan dan saling memiliki.

22
4. Tidak saling menonjolkan diri melainkan saling mendukung satu sama

lain, terutama ketika sedang menghadapi tantangan, sehingga tercipta

rasa nyaman dalam bekerja.

5. Memiliki tanggung jawab yang tinggi untuk menjalankan peran

masing-masing berdasarkan langkah-langkah bisnis yang sudah

dirancang sebelumnya.

6. Bersikap terbuka dan berusaha memahami apa yang dirasakan orang

lain.

Meski etika kerja sama ini diambil dari etika bisnis, tapi sangat

bagus diterapkan pada dunia pendidikan, karena pendidikan saat ini, tidak

bedanya dengan dunia bisnis, dalam hal saling menguntungkan dengan

rekan kerja dengan mitra kita. Sekolah dengan komite, saling

menguntungkan. Sisswa dengan guru, saling menguntungkan. Sekolah

dengan masayarakat, juga begitu. Jadi, mari kita belajar hidup saling

memberi keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya bagi kepentingan

orang lain.

C. Model-model Kerjasama Pengembangan Madrasah

Beberapa model pengembangan madrasah yang bisa dijelaskan di sisni

adalah:

1. Model Kerjasama Madrasah dengan Masyarakat

Upaya mengidentifikasi potensi masyarakat (di luar madrasah)

kadang tidak diimbangi dengan upaya mengidentifikasikan potensi yang

23
dapat dijual ke masyarakat. Banyak potensi berupa kegiatan, gagasan,

keahlian atau produk madrasah yang kurang dikenal masyarakat di sekitar

lingkungan madrasah dan juga oleh dunia usaha. Antara lain: fasilitas

madrasah yang dapat digunakan bersama masyarakat, hasil praktek siswa,

keahlian para guru, jasa yang dapat dijual para siswa, serta

gagasan/pemikiran para guru untuk memajukan masyarakat.

Sebagaimana diungkap oleh Dedi Permadi (2001 : 88-89) bahwa :

Masyarakat akan tertarik untuk datang ke madrasah bila menyangkut

anak-anak mereka atau ada sesuatu yang menarik mereka. Untuk itu,

dalam upaya menjadikan madrasah sebagai pusat kegiatan masyarakat

perlu dirancang kegiatan-kegiatan seperti : (1) pameran hasil karya

murid, (2) lomba keterampilan seperti membuat alat peraga, memasak

dan sebagainya, (3) lomba kebersihan kelas dan lomba kebersihan rumah

orang tua siswa dan (4) lomba kesenian dan olahraga.

Dalam rangka meningkatkan hubungan kerjasama madrasah

dengan masyarakat perlu diupayakan hal-hal berikut :

a. Menganalisa kebutuhan masyarakat.

b. Mengadakan komunikasi intensif.

c. Melibatkan masyarakat.

d. Memecahkan masalah bersama dengan masyarakat (Dewan Madrasah).

Dalam rangka menganalisa kebutuhan masyarakat luas perlu dilihat

dari hal-hal sebagai berikut : apa yang dibutuhkan masyarakat, apa yang

sedang ramai dibicarakan masyarakat, dan bagaimana pendapat

24
masyarakat terutama tokoh-tokoh masyarakat tentang isu-isu yang sedang

ramai dibicarakan.

Selain dari itu, para pengelola madrasah perlu melakukan

identifikasi potensi madrasah nya agar unsur-unsur masyarakat yang

terkait mengetahui, memahami dan merasakan manfaat madrasah.

Kegiatan men’jual’ madrasah kepada masyarakat perlu dilakukan secara

serius dan direncanakan sebaik-baiknya. Rapat-rapat khusus seluruh staf

madrasah terkait untuk membahas masalah ini perlu dipandang sama

pentingnya dengan rapat-rapat yang berkaitan dengan proses belajar

mengajar.

Ada beberapa potensi yang mungkin dapat dipasarkan kepada masyarakat,

antara lain sebagai berikut :

a. Fasilitas madrasah yang dapat disewakan/dimanfaatkan oleh

masyarakat misalnya aula, lapangan olahraga, alat-alat kesenian,

perpustakaan dan sebagainya.

b. Fasilitas madrasah yang dapat dikelola berama masyarakat meliputi :

toko, warung, lahan parkir dan yang sejenisnya.

c. Kegiatan yang bersifat khusus misalnya : kelompok drama-tari-musik,

pelatihan komputer, pelatihan bela diri, penyuluhan kesehatan,

pengajian agama dan lain-lain.

d. Produk yang dihasilkan madrasah meliputi: hasil praktek siswa, hasil

kerja guru dan hasil kerjasama bersama antara guru dan siswa.

25
Urgensi upaya memasarkan madrasah ke masyarakat terletak pada

tujuan dan kepentingan untuk meningkatkan kerjasama madrasah dengan

masyarakat yang pada gilirannya nanti dapat mempengaruhi peningkatan

mutu pendidikan ke arah lebih baik. Diharapkan dari sana terjadi mobilitas

yang tinggi antara madrasah dengan masyarakat dalam mewujudkan

bentuk-bentuk kerjasama yang sebelumnya belum ada sehingga

dimungkinkan timbulnya bentuk-bentuk kerjasama baru. Bentuk

kerjasama madrasah dan masyarakat cukup banyak ragamnya, tergantung

pada tujuan dan sifat kerjasama, serta kondisi dan situasi saat itu. Ada

kerjasama yang bersifat jangka pendek, ada pula yang bersifat jangka

panjang dan berlangsung simultan. Bagaimanapun bentuknya, kerjasama

tersebut harus dinyatakan secara tertulis agar kedua belah pihak

mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing.

Upaya meningkatkan kerjasama antara madrasah dengan masyarakat

dapat dilihat pula melalui kajian kritis dengan menggunakan metode

SWOT (Strength, Weakness, Opportunity dan Treats) yaitu analisis

terhadap faktor-faktor penunjang, penghambat, peluang dan tantangan

(Dadi Permadi, 2001 : 47).

Berdasarkan hal tersebut di atas, berikut ini dipaparkan beberapa analisis

SWOT :

a. Analisis terhadap faktor penunjang antara lain berupa kegiatan sebagai

berikut : identifikasi potensi madrasah, identifikasi masyarakat yang

tergolong prioritas, analisis ketepatan waktu, kemampuan dan dedikasi

26
para pengelola di dalam madrasah, dukungan kebijakan, fasilitas dan

dana dari pengelola di luar madrasah.

b. Analisis terhadap faktor penghambat antara lain dapat dilakukan

dengan menjawb pertanyaan berikut ini : sejauhmana kegiatan

kerjasama akan mengganggu proses belajar mengajar? Sejauhmana

kelangsungan kerjasama dapat dilaksanakan? Sejauhmana penolakan

dari stakeholders, baik internal maupun eksternal? Dalam kondisi

penghasilan guru yang masih berkekurangan, apakah kerjasama itu

justru akan memberatkan para guru? Adakah kepentingan pribadi para

pengelola maupun pelaksana sehingga pada akhirnya justru akan

merugikan madrasah?

c. Analisis peluang dapat dilakukan dengan menjawab pertanyaan sebagai

berikut : sejauhmana hasil kerjasama ini dapat meningkatkan mutu

proses belajar mengajar dan kualitas lulusan? Kesempatan apa saja

yang akan diperoleh siswa dalam rangka peningkatan pengetahuan dan

keterampilannya? Seberapa besar peluang guru dapat menambah

pengetahuan, pengalaman, penghasilan dan atau meningkatkan

karirnya? Kemajuan apa yang dapat dicapai oleh madrasah? Dapatkan

kerjasama tersebut dapat terus berlanjut? Dapatkah kegiatan kerjasama

tersebut meningkatkan kekompakan antar staf dan antar stakeholders

internal maupun eksternal?

d. Analisis tantangan yang harus dihadapi di antaranya: staf madrasah

tidak kompak, kepala madrasah kurang aktif, kurang kreatif dan kurang

27
mendapat dukungan dari pihak guru dan staf madrasah lainnya, pihak

pengelola di luar madrasah tidak memahami tujuan kerjasama bahkan

cenderung sinis, munculnya rasa keraguan terhadap hasil dan manfaat

dari kerjasama tersebut, masyarakat menolak upaya kerjasama, adanya

pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan, adanya beban kerja yang

meningkat pada guru dan lain sebagainya.

Potensi masyarakat dalam pengertian kerjasama ini adalah

sejauhmana unsur-unsur inheren dalam masyarakat dapat memberikan

bantuan, menyediakan fasilitas, dan ikut serta dalam upaya

penyelenggaraan dan pengembangan madrasah. Unsur-unsur masyarakat

yang dapat diajak kerjasama adalah orang tua siswa, warga dan lembaga

masyarakat sekitar madrasah, tokoh masyarakat, tokoh ulama, lembaga

agama, lembaga kemasyarakatan dan sosial, unsur pemerintah daerah

setempat, petugas keamanan dan ketertiban umum, jaringan sesama

madrasah, serta kalangan pengusaha, pedagang dan industri yang berada

dalam jangkauan madrasah.

Begitu banyak dan luas unsur masyarakat yang mungkin dapat

membantu eksistensi serta pengembangan madrasah, namun harus diakui

tidak semuanya dapat memberikan sumbangan nyata kepada madrasah,

terlebih jika mengkaitkannya dengan usaha peningkatan mutu pendidikan

di madrasah. Itulah sebabnya, para pengelola madrasah perlu berupaya

keras dan sungguh-sungguh serta sistematik agar kerjasama dengan

masyarakat dapat diwujudkan dan dikembangan. Akhirnya diharapkan

28
melalui model manajemen yang tepat, persoalan penanganan kerjasama ini

dapat dipecahkan.

2. Madrasah Internasional

Kita sudah melaunching dan sedang proses konsultasi. Program

madrasah internasional ini digulirkan di 12 propinsi, diantaranya di Batam,

Dumai, Palembang, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Untuk

melaksanakan kegiatan atau program ini, kita harus menyiapkan segala

perangkat yang dibutuhkan. Misalnya, pembangunan fisik, ruang belajar,

dan semua kebutuhan pembelajaran. Baik pembelajaran di kelas maupun

kebutuhan rohaniyah mereka dan keterampilan-keterampilan keagamaan.

Disamping itu kemampuan dalam bidang bahasa, baik Inggris dan Arab.

Jadi, mereka kita harapkan, setelah menyelesaikan masa pendidikannya,

menjadi lulusan yang menguasai ilmu pengetahuan pada levelnya

sekaligus mereka memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan

ajaran-ajaran agama dengan baik. Yang tak kalah pentingnya juga kita

menyiapkan tenaga professional pendidiknya. Karena mustahil

mengharapkan anak didik berkualitas tanpa diimbangi guru professional

sekaligus berkualitas.

3. Pengembangan kualitas mutu madrasah melalui Madrasah Educational

Deplopment Project (MEDP)

Ini adalah salah satu bentuk program bantuan ADB untuk

mengembangkan mutu madrasah. Oleh sebab itu, sasaran program ini

adalah peningkatan kualitas pendidikan di madrasah. Sasaran utamanya

29
itu. Untuk mencapai kualitas pendidikan yang baik itu diperlukan guru

yang berkualitas sehingga proses belajar-mengajar juga berkualitas. Selain

itu ditopang pula oleh sarana belajar yang memadai dan memenuhi standar

persyaratan minimal pendidikan.

Melalui program ini, madrasah akan makin memberikan harapan

kepada masyarakat. Bahwa sesungguhnya madrasah ini menjadi sistem

pendidikan yang memang ikut mempersiapkan generasi masa depan.

Generasi muda Muslim yang betul-betul tidak hanya menguasai ilmu

pengetahuan tapi juga generasi yang taat beribadah. Kemudian mereka

bisa melaksanakan praktek-praktek keagamaan dan menguasai ilmu

agama.

4. Kerjasama dengan IAIN dalam Program Pemberdayaan Madrasah

Memahami persoalan sebagaimana yang diuraikan terdahulu,

dituntut sebuah kerangka kerja yang benar benar strategis dalam

melaksanakan pembinaan terhadap Madrasah.

IAIN sebagai salah satu institusi akademis, dalam hal ini menempati

posisi yang sangat diharapkan oleh semua pihak, untuk ikut merumuskan

pola pembinaan dan perannya yang aktif dalam mengembangkan

madrasah. Lahirnya Program Studi Manajemen di Fakultas Tarbiyah dapat

ikut mempercepat proses itu. Oleh karenanya tema tema dasar yang

menjadi akar problem pemberdayaan madrasah seharus menjadi persoalan

utama yang perlu mendapatkan perhatian.

30
Apabila berbagai pelayanan terhadap persoalan dasar tersebut

menjadi persoalan utama pula bagi IAIN, maka dengan sendirinya peluang

kerjasama antar unit di Departemen Agama, bukan saja menjadi mungkin;

melainkan sudah merupakan keharusan.

5. Model pengembangan Madrasah melalui kemitraan dengan sekolah

unggulan.

Model pengembangan ini bisa dilakukan dengan sekolah atau

lembaga yang memiliki kepedulian terhadap perkembangan madrasah.

Semisal Lazuardi Global Islamic School Cinere Depok dan Sekolah Tara

Salvia di Bintaro Tangerang. Sekolah Lazuardi memberikan akses untuk

memanfaatkan fasilitas pembelajaran (laboratorium komputer,

perpustakaan, bis sekolah dsb) yang dimiliki untuk digunakan oleh

madrasah dengan pengaturan jadwal yang disepakati. Disamping juga

setiap ada kegiatan training atau workshop guru, Lazuardi mengundang

perwakilan guru madrasah tanpa dipungut biaya.

Demikian juga, sebagai bentuk kepedulian, Sekolah Tara Salvia

selalu meminta untuk mengirimkan perwakilan madrasah guna mengikuti

kegiatan workshop dan training yang rutin diselenggarakan, tanpa

dipungut biaya. Bahkan pasca training pun dilakukan monitoring di

madrasah.

Kemitraan juga terjalin dengan Sekolah Gratis SMP dan SMK

Informatika Utama. Sekolah yang terletak di Cinere Limo Depok ini

membuka kesempatan bagi guru-guru madrasah untuk mengikuti in house

31
training yang biasa dilakukan di sekolah tersebut. Guru madrasah juga

diberi kesempatan untuk memanfaatkan laboratorium komputer yang

tersedia dengan lengkap di sekolah tersebut.

32
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Salah satu strategi pengembangan madrasah adalah dengan menerapkan

5 K, yaitu Komitmen, Konsistensi, Kreatifitas, Komunikasi dan Kemitraan

untuk mencapai keberhasilan.

Etika kerjasama kelembagaan adalah : 1) menciptakan target

pencapaian yang jelas, 2) bersikap konsisten dengan apa yang sudah

disepakati, 3) mempunyai rasa saling ketergantungan dan saling memiliki,

saling mendukung satu sama lain, 4) memiliki tanggung jawab yang tinggi

untuk menjalankan peran masing-masing, serta 5) bersikap terbuka dan

berusaha memahami apa yang dirasakan orang lain.

Model-model kerjasama pengembangan madrasah diantaranya adalah:

kerjasama dengan masyarakat, program madrasah internasional,

pengembangan madrasah melalui peningkatan mutu madrasah dengan

MEDP, bermitra dengan sekolah unggulan dan kerjasama dengan IAIN.

B. SARAN

Apapun strateginya, etika atau model kerjasama yang diterapkan

semestinya harus berdampak jelas bagi peningkatan kualitas madrasah. Hal

ini harus dapat dirasakan dan diakui oleh semua pihak. Sehingga harus ada

kerja sama yang saling menunjang antara sekolah, masyarakat, pemerintah

33
dan lembaga-lembaga lain yang berkonsentrasi dalam program peningkatan

kulitas madrasah di Indonesia.

34
DAFTAR PUSTAKA

Al-Abrasyi, Moh. Athiyah, (1970). Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan


Bintang.

Dradjat, Zakiyah. (1971). Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia. Jakarta: Bulan


Bintang.

Dhofier, Zamaksary. (1982). Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.

Fadjar, Malik .A. (1998). Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung:


Mizan.

http://izaskia.wordpress.com/2010/04/20/menggagas-model-kerjasama-
madrasah-dengan-masyarakat/

http://gurutrenggalek.blogspot.com/2009/12/madrasah-sebagai-pusat-
pengetahuan_26.html

http://www.beritasenayan.com/2010/02/madrasah-memiliki-nilai-keunggulan-
dan-kompetitif.

http://kickandy.com/friend/2010/01/03/1758/37/1/4/Madrasah

http://madrasahgemilang.org/component/content/article/3-diskusi-interaktif/247-
bermitra-mengembangkan-madrasah.html

http://husnirahim.blogspot.com/2009/03/pemberdayaan-madrasah.html

Nashir, H. (1999). Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Sarijo, Marwan. (1980). Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma


Bakti.

Sternbrink. K.A. (1986). Pesantren, Madrasah dan Sekolah. Jakarta: LP3ES

35

You might also like