You are on page 1of 10

KEJAHATAN DALAM MASYARAKAT DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

Syahruddin Husein, S.H

Fakultas Hukum
Jurusan Hukum Pidana
Universitas Sumatera Utara

1. Pendahuluan

Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai
perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian maka si
pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai,
maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia
yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang
belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya
semua golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat
ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat.

Tentang definisi dari kejahatan itu sendiri tidak terdapat kesatuan pendapat
diantara para sarjana. R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis
dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian
kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-
undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah
perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat
merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan
ketertiban.

J.M. Bemmelem memandang kejahatan sebagai suatu tindakan anti sosial


yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam
masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkan masyarakat, negara
harus menjatuhkan hukuman kepada penjahat.

M.A. Elliot mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu problem dalam


masyarakat modem atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum dapat
dijatuhi hukurnan penjara, hukuman mati dan hukuman denda dan seterusnya.

W.A. Bonger mengatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang sangat


anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian
penderitaan.

Menurut Paul Moedikdo Moeliono kejahatan adalah perbuatan pelanggaran


norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan masyarakat sebagai perbuatan
yang merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan (negara bertindak).

J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro dalam bukunya Paradoks Dalam


Kriminologi menyatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu,
merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas
dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun
pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu
perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan
hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.

©2003 Digitized by USU digital library


Edwin: H. Sutherland dalam bukunya Principles of Criminology
menyebutkan tujuh unsur kejahatan yang saling bergantungan dan saling
mempengaruhi. Suatu perbuatan tidak akan disebut kejahatan kecuali apabila
memuat semua tujuh unsur tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah :
1. Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian.
2. Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, harus dikemukakan
dengan jelas dalam hukum pidana
3. Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan yang disengaja
atau sembrono yang menimbulkan akibat-akibat yang merugikan
4. Harus ada maksud jahat (mens rea)
5. Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan
kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan
6. Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang undang-
undang dengan perbuatan yang disengaja atas keinginan sendiri
7. Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang.

Selanjutnya dapat diuraikan tentang pengertian kejahatan menurut


penggunaannya masing-masing :
a. Pengertian secara praktis : Kita mengenal adanya beberapa jenis norma dalam
masyarakat antara lain norma agama, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang
berasal dari adat istiadat. Pelanggaran atas norma tersebut dapat menyebabkan
timbulnya suatu reaksi, baik berupa hukuman, cemoohan atau pengucilan. Norma
itu merupakan suatu garis untuk membedakan perbuatan terpuji atau perbuatan
yang wajar pada suatu pihak, sedang pada pihak lain adalah suatu perbuatan
tercela. Perbuatan yang wajar pada sisi garis disebut dengan kebaikan dan
kebalikannya yang di seberang garis disebut dengan kejahatan.
b. Pengertian secara religius : mengidentikkan arti kejahatan dengan dosa. Setiap
dosa diancam dengan hukman api neraka terhadap jiwa yang berdosa
c. Pengertian dalam arti juridis : misalnya dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP). Walaupun KUHP sendiii tidak membedakan dengan tegas antara
kejahatan dan pelanggaran, tapi KUHP memisahkan kejahatan dan pelanggaran
dalam 2 buku yang berbeda. Menurut Memorie van Toelichting, sebagai dasar dari
pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah pembedaan antara
rechtsdelicten (delik hukum) dan wetsdelicten (delik undang-undang).
Pelanggaran termasuk dalam wetsdelicten, yaitu peristiwa-peristiwa yang untuk
kepentingan umum dinyatakan oleh undang-undang sebagai suatu hat yang
terlarang. Misalnya mengendarai sepeda pada malam hari tanpa lampu
merupakan suatu delik undang-undang karena undang-undang menyatakannya
sebagai perbuatan yang terlarang. Sedangkan kejahatan termasuk dalam
rehtsdelicten (delik hukum), yaitu peristiwa-peristiwa yang berlawanan atau
bertentangan dengan asas-asas hukum yang hidup dalam keyakinan manusia dan
terlepas dari undang-undang. Contohnya adalah pembunuhan dan pencurian.
Walaupun perbuatan itu (misalnya) belum diatur dalam suatu undang-undang,
tapi perbuatan itu sangat bertentangan dengan hati nurani manusia, sehingga
dianggap sebagai suatu kejahatan.

©2003 Digitized by USU digital library


2. Latar Belakang dan Tipologi Kejahatan

Empat pendekatan yang pada dewasa ini masih ditempuh dalam menjelaskan
latar belakang terjadinya kejahatan, adalah :
1. Pendekatan biogenik, yaitu suatu pendekatan yang mencoba menjelaskan sebab
atau sumber kejahatan berdasarkan faktor-faktor dan proses biologis,
2. Pendekatan psikogenik, yang menekankan bahwa para pelanggar hukum memberi
respons terhadap berbagai macam tekanan psikologis serta masalah-masalah
kepribadian yang mendorong mereka untuk melakukan kejahatan.
3. Pendekatan sosiogenik, yang menjelaskan kejahatan dalam hubungannya dengan
poses-proses dan struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakat atau yang
secara khusus dikaitkan dengan unsur-unsur didalam sistem budaya,
4. Pendekatan tipologis, yang didasarkan pada penyusunan tipologi penjahat dalam
hubungannya dengan peranan sosial pelanggar hukum, tingkat identifikasi dengan
kejahatan, konsepsi diri, pola persekutuan dengan orang lain yang penjahat atau
yang bukan penjahat, kesinambungan dan peningkatan kualitas kejahatan, cara
melakukan dan hubungan prilaku dengan unsur-unsur kepribadian serta sejauh
mana kejahatan merupakan bagian dari kehidupan seseorang.

Pengetahuan tentang tipologi penjahat, kejahatan dan kriminalitas sangat


diperlukan bagi usaha untuk merancang pola pencegahan dan pembinaan pelanggar
hukum.Dalam perkembangan ilmu pengetahuan kriminologi telah banyak dilakukan
usaha untuk menggolongkan kejahatan dan penjahat dalam tipe-tipe tertentu.

Mayhew dan Moreau mengajukan tipologi kejahatan berdasarkan cara kejahatan


yang dihubungkan dengan kegiatan penjahat, yaitu penjahat profesional yang
menghabiskan masa hidupnya dengan kegiatan-kegiatan kriminal dan penjahat
accidental yang melakukan kejahatan sebagai akibat situasi dan kondisi lingkungan
yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya.

Lindesmith dan Dunham membagi penjahat atas penjahat individual yang


bekerja atas alasan pribadi tanpa dukungan budaya dan penjahat sosial yang
didukung norma-norma kelompok tertentu dan dengan kejahatan memperoleh status
dan penghargaan dari kelompoknya.

Gibbons dan Garrlty menyusun pembedaan antara kelompok penjahat yang


seluruh orientasi hidupnya dituntun oleh kelompok-kelompok pelanggar hukum
dengan kelompok penjahat yang orientasi hidupnya sebagian besar dibimbing oleh
kelompok bukan pelanggar hukum.

Walter C. Recless membedakan karir penjahat ke dalam : penjahat biasa,


penjahat berorganisasi dan penjahat profesional. Penjahat biasa adalah peringkat
terendah dalam karir kriminil, mereka melakukan kejahatan konvensional mulai dari
pencurian ringan sampai pencurian dengan kekerasan yang membutuhkan
keterampilan terbatas, juga kurang mempunyai organisasi. Penjahat terorganisasi
umumnya mempunyai organisasi yang kuat dan dapat menghindari penyelidikan,
serta mengkhususkan diri dalam bisnis ilegal berskala besar, Kekuatan, kekerasan,
intimidasi dan pemerasan digunakan untuk memperoleh dan mempertahankan
pengendalian atas kegiatan ekonomi diluar hukum. Adapun penjahat profesional
lebih mempunyai kemahiran yang tinggi dan mampu menghasilkan kejahatan yang
besar dan yang sulit diungkapkan oleh penegak hukum. Penjahat-penjahat jenis ini
mengkhususkan diri dalam kejahatan-kejahatan yang lebih membutuhkan
keterampilan daripada kekerasan.

©2003 Digitized by USU digital library


Marshall B. Clinard dan Richard Quinney memberikan 8 tipe kejahatan yang
didasarkan pada 4 karakteristik, yaitu :
1. karir penjahat dari si pelanggar hukum
2. sejauh mana prilaku itu memperoleh dukungan kelompok
3. hubungan timbal balik antara kejahatan pola-pola prilaku yang sah
4. reaksi sosial terhadap kejahatan.

Tipologi kejahatan yang mereka susun adalah sebagai berikut :


1. Kejahatan perorangan dengan kekerasan yang meliputi bentuk-bentuk perbuatan
kriminil seperti pembunuhan dan perkosaan, Pelaku tidak menganggap dirinya
sebagai penjahat dan seringkali belum pemah melakukan kejahatan tersebut
sebelumnya, melainkan karena keadan-keadaan tertentu yang memaksa mereka
melakukannya.
2. Kejahatan terhadap harta benda yang dilakukan sewaktu-waktu, termasuk
kedalamnya antara lain pencurian kendaraan bermotor. Pelaku tidak selalu
memandang dirinya sebagai penjahat dan mampu memberikan pembenaran atas
perbuatannya.
3. Kejahatan yang dilakukan dalam pekerjaan dan kedudukan tertentu yang pada
umumnya dilakukan oleh orang yang berkedudukan tinggi. Pelaku tidak
memandang dirinya sebagai penjahat dan memberikan pembenaran bahwa
kelakuannya merupakan bagian dari pekerjaan sehari-hari.
4. Kejahatan politik yang meliputi pengkhianatan spionase, sabotase, dan
sebagainya. Pelaku melakukannya apabila mereka merasa perbuatan ilegai itu-
sangat penting dalam mencapai perubahan-perubahan yang diinginkan dalam
masyarakat.
5. Kejahatan terhadap ketertiban umum. Pelanggar hukum memandang dirinya
sebagai penjahat apabila mereka terus menerus ditetapkan oleh orang lain
sebagai penjahat, misalnya pelacuran. Reaksi sosial terhadap pelanggaran hukum
ini bersifat informal dan terbatas.
6. Kejahatan konvensional yang meliputi antara lain perampokan dan bentuk-bentuk
pencurian terutama dengan kekerasan dan pemberatan. Pelaku menggunakannya
sebagai part time- Carreer dan seringkali untuk menambah penghasilan dari
kejahatan. Perbuatan ini berkaitan dengan tujuan-tujuan sukses ekonomi, akan
tetapi dalam hal ini terdapat reaksi dari masyarakat karena nilai pemilikan pribadi
telah dilanggar.
7. Kejahatan terorganisasi yang dapat meliputi antara lain pemerasan, pelacuran,
perjudian terorganisasi serta pengedaran narkotika dan sebaigainya. Pelaku yang
berasal dari eselon bawah memandang dirinya sebagai penjahat dan terutama
mempunyai hubungan dengan kelompok-kelompok penjahat, juga terasing dari
masyarakat luas, sedangkan para eselon atasnya tidak berbeda dengan warga
masyarakat lain dan bahkan seringkali bertempat tinggal dilingkungan-lingkungan
pemukiman yang baik.
8. Kejahatan profesional yang dilakukan sebagai suatu cara hidup seseorang. Mereka
memandang diri sendiri sebagai penjahat dan bergaul dengan penjahat-penjahat
lain
serta mempunyai status tinggi dalam dunia kejahatan. Mereka sering juga
cenderung terasing dari masyarakat luas serta menempuh suatu karir penjahat.
Reaksi masyarakat terhadap kejahatan ini tidak selalu keras.

Dengan mengembangkan suatu tipologi mengenai kejahatan dan penjahat, maka


akan diperoleh gambaran yang lengkap dan cermat mengenai pelaku dan
kejadiannya serta sejumlah ciri umum dari kejahatan dan penjahat yang lebih jauh

©2003 Digitized by USU digital library


dapat dipakai untuk menentukan teknik-teknik yang lebih membawa hasil dalam
kerangka pencegahan kejahatan dan pembinaan pelanggar hukum.

3. Tujuan Penghukuman

Apabila berbicara mengenai penghukuman, maka pertanyaan yang kerapkali


muncul adalah apakah tujuan hukuman itu dan siapakah yang berhak menjatuhkan
hukuman. Pada umumnya telah disepakati bahwa yang berhak menghukum (hak
puniendi) adalah di dalam tangan negara (pemerintah). Pemerintah dalam
menjatuhkan hukuman selalu dihadapkan pada suatu paradoksalitas, yang oleh
Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut :

Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya


pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang
sebaliknya, pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan karena menjatuhkan
hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara sendiri
diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak
pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan
siapapun juga, sedangkan dipihak lain pemerintah negara menyerang pribadi
manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.

Orang berusaha untuk menunjukkan alasan apakah yang dapat dipakai untuk
membenarkan penghukuman oleh karena menghukum itu dilakukan terhadap
manusia-manusia yang juga mempunyai hak hidup, hak kemerdekaan bahkan
mempunyai hak pembelaan dari negara itu juga yang menghukumnya. Maka oleh
karena itu muncullah berbagai teori hukuman, yang pada garis besarnya dapat
dibagai atas tiga golongan :
a. teori absolut atau teori pembalasan
b. teori relatif atau teori tujuan
c. teori gabungan

a. Teori absolut
Tokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain
adalah Kant dan Hegel. Mereka beranggapan bahwa hukuman itu adalah suatu
konsekwensi daripada dilakukannya suatu kejahatan. Sebab melakukan kejahatan,
maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan
kejahatan. Semua perbuatan yang temyata berlawanan dengan keadilan, harus
menerima pembalasan. Apakah hukuman itu bermanfaat bagi masyarakat, bukanlah
hal yang menjadi pertimbangan, tapi hukuman harus dijatuhkan.

Untuk menghindari hukuman ganas, maka Leo Polak menentukan tiga syarat
yang harus dipenuhi dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang
bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata
hukum obyektif
2. Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak
boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi
3. Beratnya hukuman harus seimbang dengan beratnya delik. Hal ini perlu supaya
penjahat tidak dihukum secara tidak adil.

Gerson W. Bawengan dalam bukunya Pengantar Psychologi Kriminil


menyatakan bahwa ia menolak teori absolut atau teori pembalasan itu yang
dikemukakan dalam bentuk apapun, berdasarkan tiga unsur, yaitu :

©2003 Digitized by USU digital library


1. Tak ada yang absolut didunia ini, kecuali Tuhan Yang Maha Esa.
2. Pembalasan adalah realisasi daripada emosi, memberikan pemuasan emosionil
kepada pemegang kekuasaan dan merangsang ke arah sifat-sifat 'sadistis',
sentimentil. Oleh karena itu kepada para penonjol teori pembalasan itu, dapatlah
diterka bahwa mereka memiliki sifat-sifat sadistis. Dan kerena itu pula ajaran
mereka lebih condong untuk dinamai teori sadisme.
3. Tujuan hukuman dalam teori itu adalah hukuman itu sendiri. Dengan dernikian
teori itu mengalami suatu jalan buntu, oleh karena tujuannya hanya sampai pada
hukuman itu sendiri. adalah suatu tujuan yang tak bertujuan, sebab dipengaruhi
dan disertai nafsu membalas.

b. Teori relatif atau teori tujuan


Para penganjur teori relatif tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan, dan
karena itu tidak mengakui bahwa hukuman itu sendirilah yanag menjadi tujuan
penghukuman, melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan
yang lain daripada penghukuman itu sendiri. Hukuman, dengan demikian
mempunyai tujuan, yaitu untuk melindungi ketertiban. Para pengajar teori relatif itu
menunjukkan tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya
pelanggaran hukum. Menghindarkan, agar umumnya orang tidak melakukan
pelanggaran bahkan ditujukan pula bagi terhukum agar tidak mengulangi
pelanggaran. Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat
prevensi umum dan sifat prevensi khusus. Dengan prevensi umum, orang akan
menahan diri untuk tidak melakukan kejahatan. Dan dengan prevensi khusus para
penganjurnya menitikberatkan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang
yang telah dijatuhi hukuman, tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selanjutnyaa bagi
mereka yang hendak melakukan peianggaran akan mengurungkan maksudnya
sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan.

c. Teori Gabungan
Menurut teori gabungan hukuman hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan
dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi
dengan menitikberatkan pada saiah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang
lain maupun pada semua unsur yang telah ada.

4. Upaya Penanggulangan

Kebijakan penaggulangan kejahatan atau yang biaSa dis:ebiIt dengan istilah


‘politik kriminal' dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G. Peter
Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :
a. penerapan hukum pidana (criminal law application)
b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)
c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass
media)

Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat


dibagi dua, yaitu lewat jalur 'penal' (hukum pidana) dan lewat jalur 'non penal'
(bukan/diluar hukum pidana). Dalam pembagian GP. Hoefnagels tersebut diatas
upaya-upaya yang disebut dalam (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok
upaya non penal.

Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat


jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi,

©2003 Digitized by USU digital library


sedangkan jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif sebelum
kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan
represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti
luas.

Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat
akan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah
menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor
kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial
yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-
suburkan kejahatan.

Beberapa aspek sosial yang oleh Kongres ke-8 PBB tahun 1990 di Havana, Cuba,
diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (khususnya
dalam masalah "urban crime"), antara lain:
a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan/kekurangan
perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yanag tidak
cocok/serasi;
b. meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena
81 proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan
sosial;
c. mengendurnya ikatan sosial dan keluarga;
d. keadaan-keadaan/ kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang beremigrasi
ke kota-kota atau ke negara-negara lain;
e. rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya
rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan dibidang sosial,
kesejahteraan clan lingkungan pekeljaan;
f. menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong
peningkatan kejahatan dan berkurangnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas
lin gkungan/bertetangga;
g. kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk
berintegrasi sebagaimana mestinya didalam lingkungan masyarakatnya,
keluarganya, tempat kerjanya atau lingkungan sekolahnya;
h. penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga
diperlukan karena faktor-faktor yang disebut diatas;
i. meluasnya aktivitas kejahatan terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius
dan penadahan barang-barang curian;
j. dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai ide-ide dan sikap-
sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-
sikap tidak toleransi.

Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif
penyebab timbulnya kejahatan jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi
semata-mata dengan "penal'. Disinilah keterbatasan jalur penal clan oleh karena ltu
harus ditunjang oleh jalur non-penal. Salah satu jalur non-penal untuk mengatasi
masalah-masalah sosial seperti yang dikemukakan diatas adalah lewat jalur
kebijakan sosial. Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya
rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan
atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup
luas dari pembangunan.

©2003 Digitized by USU digital library


Penanganan atau kebijakan berbagai aspek pembangunan ini sangat penting
karena disinyalir dalam berbagai kongres PBB, bahwa pembangunan itu sendiri dapat
bersifat kriminogen apabila pembangunan itu :
a. tidak direncanakan secara rasional, atau direncanakan secara timpang, tidak
memadai/tidak seimbang;
b. mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral;
c. tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang menyeluruh/integrasi.

Salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendapat perhatian ialah
penggarapan masalah kesehatan jiwa (social hygiene), baik secara individual sebagai
anggota masyarakat maupun kesehatan/kesejahteraan keluarga (termasuk masalah
kesejahteraan anak dan remaja) serta masyarakat luas pada umumnya. Prof.
Soedarto pernah juga mengemukakan bahwa kegiatan Karang Taruna dan kegiatan
Pramuka dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama
merupakan upaya-upaya non-penal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan.

Peranan pendidikan agama dan berbagai bentuk media penyuluhan keagamaan


adalah sangat penting dalam memperkuat kembali keyakinan dan kemampuan
manusia untuk mengikuti jalan kebenaran dan kebaikan. Dengan pendidikan dan
penyuluhan agama yang efektif, tidak hanya diharapkan terbinanya pribadi manusia
yanag sehat jiwa/rohaninya tapi juga terbinanya keluarga yang sehat dan lingkungan
sosial yang sehat. Pembinaan dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat memang
tidak berarti semata-mata kesehatan rohani/mental, tapi juga kesehatan budaya dan
nilai-nilai pandangan hidup kemasyarakatan. Ini berarti penggarapan kesehatan
masyarakat atau lingkungan sosial yang sehat tidak harus berorientasi pada
pendekatan religius tapi juga berorientasi pada pendekatan identitas budaya
nasional.

Disamping upaya-upaya non-penal dapat ditempuh dengan menyehatkan


masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada
didalam masyarakat itu sendiri, dapat pula upaya non-penal itu digali dari berbagai
sumber lainnya yang juga mempunyai potensi efek-preventif.

Sumber lain itu misalnya media pers/media massa, pemanfaatan kemajuan


teknologi (dikenal dengan istilah techno-prevention) dan pemanfaatan potensi efek-
preventif dari aparat penegak hukum. Mengenai yang terakhir ini Prof. Soedarto
menyatakan bahwa kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan secara kontinyu
termasuk upaya non-penal yang mempunyai pengaruh preventis bagi penjahat
(pelanggar hukum). Sehubungan dengan hal ini, kegiatan razia/operasi yang
dilakukan pihak kepolisian di beberapa tempat tertentu dan kegiatan yang
berorientasi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan komunikatif-edukatif dengan
masyarakat perlu diefektitkan.

Kegiatan operasi-operasi untuk pemberantasan kejahatan bukan merupakan hal


yang baru di kepolisian, misalnya operasi/razia pemilikan senjata api gelap, operasi
penembakan pelaku kejahatan (residivis) dan lain-lain. Kegiatan ini mempunyai
tujuan ganda yakni pertama sebagai upaya jangka pendek untuk dalam waktu
singkat menekan peningkatan angka kejahatan dan kedua menciptakan pemenuhan
kebutuhan warga masyarakat atas rasa aman.

Kegiatan itu seringkali juga memperlihatkan tanggapan kelembagaan apart


keamanan atas kecemasan bahkan rasa takut atas kejahatan (fear of crime) yang
diyakini dalam proses pengendalian sosial.

©2003 Digitized by USU digital library


Keberhasilan dan efektivitas langkah-langkah operasional polisi jelas hanya dapat
dicapai dengan dukungan kedua aspek lain yaitu lingkungan tempat polisi bekerja
dan faktor intern polisi. Dalam hubungan itu, maka hubungan polisi dengan
masyarakat harus senantiasa diperhitungkan kedalam rencana-rencana operasi dan
dikonkritkan dalarn bentuk tim kerja ini memerlukan syarat telah berjalannya
pengembangan gagasan mengenai tanggung jawab bersama atas bekerjanya tata
peradilan pidana dan telah terciptanya pengertian bersama dengan masyarakat.

Faktor intern polisi yang menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas serta


efektivitasnya, yakni perbandingan rasional antara sumber daya yang dicapai.
Persyaratan lainnya terletak pada unsur operasional, seperti stabilitas patroli dalam
wilayah-wilayah geografsis yang rawan serta interaksi maksimal dengan masyarakat
dan unsur-unsur organisasional seperti kesatuan supervisi dan peningkatan
profesionalisme.

Penghukuman yang merupakan pencegahan dari segi represif juga tidak boleh
mengabaikan segi pembinaan dengan dasar pemikiran bahwa prilaku hanya mungkin
melalui interaksi maksimal dengan kehidupan masyarakat dan pelaksanannya tidak
dapat dipisahkan dari strategi perencanaan sosial yang lebih luas. Perlu juga kiranya
penyuluhan hukum bagi masyarakat yang bertujuan untuk sedikit demi sedikit
mengurangi proses stigmatisasi atau proses pemberian cap terhadap pelanggar
hukum dan bekas narapidana.

5. Penutup

Kejahatan adalah suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat itu
ada. Kejahatan selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang
seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun.

Segala daya upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan atau
menguranagi meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar dapat
kembali sebagai warga masyarakat yang baik.

Masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan, tidaklah sekedar mengatasi


kejahatan yang sedang terjadi dalam lingkungan masyarakat, tapi harus
diperhatikan pula, atau harus dimulai dari kondisi yang menguntungkan bagi
kehidupan manusia. Perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi
dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk menanggulangi kejahatan.
Hal itu menjadi tugas dari setiap kita, karena kita adaIah bagian dari masyarakat.

©2003 Digitized by USU digital library


DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
Semarang, 1991.

Edwin H. Sutherland, Asas-Asas Kriminologi, Alumni, Bandung, 1969.

Gerson W. Bawengan, Pengantar Psychologi Kriminil, Pradnya Paramita, Jakarta,


1977.

J.E. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro, Parados Dalam Kriminologi, Rajawali,


Jakarta, 1982.

Mulyana W. Kusumah, Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar


Ringkas), Armico Bandung, 1984.

___________________, Kejahatan,Penjahat, dan Reaksi Sosial, Alumni, Bandung,


1983,

Soedjono D., Konsepsi Kriminologi Dalam Usaha Penanggulangan Kejahatan (Crime


Pervention), Alumni, Bandung, 1970.

©2003 Digitized by USU digital library

You might also like