Professional Documents
Culture Documents
Fakultas Hukum
Jurusan Hukum Pidana
Universitas Sumatera Utara
1. Pendahuluan
Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai
perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian maka si
pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai,
maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia
yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang
belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya
semua golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat
ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat.
Tentang definisi dari kejahatan itu sendiri tidak terdapat kesatuan pendapat
diantara para sarjana. R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis
dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian
kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-
undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah
perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat
merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan
ketertiban.
Empat pendekatan yang pada dewasa ini masih ditempuh dalam menjelaskan
latar belakang terjadinya kejahatan, adalah :
1. Pendekatan biogenik, yaitu suatu pendekatan yang mencoba menjelaskan sebab
atau sumber kejahatan berdasarkan faktor-faktor dan proses biologis,
2. Pendekatan psikogenik, yang menekankan bahwa para pelanggar hukum memberi
respons terhadap berbagai macam tekanan psikologis serta masalah-masalah
kepribadian yang mendorong mereka untuk melakukan kejahatan.
3. Pendekatan sosiogenik, yang menjelaskan kejahatan dalam hubungannya dengan
poses-proses dan struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakat atau yang
secara khusus dikaitkan dengan unsur-unsur didalam sistem budaya,
4. Pendekatan tipologis, yang didasarkan pada penyusunan tipologi penjahat dalam
hubungannya dengan peranan sosial pelanggar hukum, tingkat identifikasi dengan
kejahatan, konsepsi diri, pola persekutuan dengan orang lain yang penjahat atau
yang bukan penjahat, kesinambungan dan peningkatan kualitas kejahatan, cara
melakukan dan hubungan prilaku dengan unsur-unsur kepribadian serta sejauh
mana kejahatan merupakan bagian dari kehidupan seseorang.
3. Tujuan Penghukuman
Orang berusaha untuk menunjukkan alasan apakah yang dapat dipakai untuk
membenarkan penghukuman oleh karena menghukum itu dilakukan terhadap
manusia-manusia yang juga mempunyai hak hidup, hak kemerdekaan bahkan
mempunyai hak pembelaan dari negara itu juga yang menghukumnya. Maka oleh
karena itu muncullah berbagai teori hukuman, yang pada garis besarnya dapat
dibagai atas tiga golongan :
a. teori absolut atau teori pembalasan
b. teori relatif atau teori tujuan
c. teori gabungan
a. Teori absolut
Tokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain
adalah Kant dan Hegel. Mereka beranggapan bahwa hukuman itu adalah suatu
konsekwensi daripada dilakukannya suatu kejahatan. Sebab melakukan kejahatan,
maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan
kejahatan. Semua perbuatan yang temyata berlawanan dengan keadilan, harus
menerima pembalasan. Apakah hukuman itu bermanfaat bagi masyarakat, bukanlah
hal yang menjadi pertimbangan, tapi hukuman harus dijatuhkan.
Untuk menghindari hukuman ganas, maka Leo Polak menentukan tiga syarat
yang harus dipenuhi dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang
bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata
hukum obyektif
2. Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak
boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi
3. Beratnya hukuman harus seimbang dengan beratnya delik. Hal ini perlu supaya
penjahat tidak dihukum secara tidak adil.
c. Teori Gabungan
Menurut teori gabungan hukuman hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan
dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi
dengan menitikberatkan pada saiah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang
lain maupun pada semua unsur yang telah ada.
4. Upaya Penanggulangan
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat
akan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah
menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor
kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial
yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-
suburkan kejahatan.
Beberapa aspek sosial yang oleh Kongres ke-8 PBB tahun 1990 di Havana, Cuba,
diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (khususnya
dalam masalah "urban crime"), antara lain:
a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan/kekurangan
perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yanag tidak
cocok/serasi;
b. meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena
81 proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan
sosial;
c. mengendurnya ikatan sosial dan keluarga;
d. keadaan-keadaan/ kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang beremigrasi
ke kota-kota atau ke negara-negara lain;
e. rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya
rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan dibidang sosial,
kesejahteraan clan lingkungan pekeljaan;
f. menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong
peningkatan kejahatan dan berkurangnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas
lin gkungan/bertetangga;
g. kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk
berintegrasi sebagaimana mestinya didalam lingkungan masyarakatnya,
keluarganya, tempat kerjanya atau lingkungan sekolahnya;
h. penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga
diperlukan karena faktor-faktor yang disebut diatas;
i. meluasnya aktivitas kejahatan terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius
dan penadahan barang-barang curian;
j. dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai ide-ide dan sikap-
sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-
sikap tidak toleransi.
Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif
penyebab timbulnya kejahatan jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi
semata-mata dengan "penal'. Disinilah keterbatasan jalur penal clan oleh karena ltu
harus ditunjang oleh jalur non-penal. Salah satu jalur non-penal untuk mengatasi
masalah-masalah sosial seperti yang dikemukakan diatas adalah lewat jalur
kebijakan sosial. Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya
rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan
atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup
luas dari pembangunan.
Salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendapat perhatian ialah
penggarapan masalah kesehatan jiwa (social hygiene), baik secara individual sebagai
anggota masyarakat maupun kesehatan/kesejahteraan keluarga (termasuk masalah
kesejahteraan anak dan remaja) serta masyarakat luas pada umumnya. Prof.
Soedarto pernah juga mengemukakan bahwa kegiatan Karang Taruna dan kegiatan
Pramuka dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama
merupakan upaya-upaya non-penal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan.
Penghukuman yang merupakan pencegahan dari segi represif juga tidak boleh
mengabaikan segi pembinaan dengan dasar pemikiran bahwa prilaku hanya mungkin
melalui interaksi maksimal dengan kehidupan masyarakat dan pelaksanannya tidak
dapat dipisahkan dari strategi perencanaan sosial yang lebih luas. Perlu juga kiranya
penyuluhan hukum bagi masyarakat yang bertujuan untuk sedikit demi sedikit
mengurangi proses stigmatisasi atau proses pemberian cap terhadap pelanggar
hukum dan bekas narapidana.
5. Penutup
Kejahatan adalah suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat itu
ada. Kejahatan selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang
seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun.
Segala daya upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan atau
menguranagi meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar dapat
kembali sebagai warga masyarakat yang baik.
Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
Semarang, 1991.