You are on page 1of 11

Mazhab Wahabi dan Peta Oposisi di Arab Saudi

ARAB Saudi memiliki tempat yang sangat signifikan di dunia Arab dan Islam. Ini disebabkan
statusnya sebagai negara terbesar di Semenanjung Jazirah Arab, kepemimpinannya di Dewan
Kerja Sama Teluk (GCC), dan negara penghasil serta pemilik cadangan minyak terbesar. Lebih
dari itu Arab Saudi juga tempat beradanya dua tanah suci, yakni Kota Mekkah Al Mukarramah
dan Madinah Al Munawwarah, serta Ka’bah di Masjid Al Haram yang menjadi kiblat shalat umat
Islam seluruh dunia.

ARAB Saudi juga dikenal sebagai negara yang menganut sistem monarki mutlak dengan
diperintah oleh keluarga Al Saud yang berpijak pada ideologi mazhab Wahabi. Maka, mazhab
Wahabi menjadi dasar legitimasi kekuasaan dan pengembangan pengaruh pemerintah keluarga
Al Saud di Semenanjung Jazirah Arab.

Akan tetapi sejak lahirnya mazhab Wahabi itu sendiri, telah timbul reaksi oposisi dari dalam
terhadap mazhab itu lantaran doktrin mazhab Wahabi yang mengkafirkan mereka yang menolak
ajarannya. Doktrin itu ternyata menjadi khazanah yang dianut sebagian segmen masyarakat di
Arab Saudi dan Semenanjung Jazirah Arab hingga saat ini.

Sheikh Sulaiman bin Abdul Wahab (saudara pendiri mazhab Wahabi, Sheikh Muhammad bin
Abdul Wahab) mengarang kitab berjudul Petir Ilahi untuk Menangkis Ajaran Wahabi. Isi kitab
tersebut menolak ajaran Wahabi yang diusung Muhammad bin Abdul Wahab.

Arab Saudi pun dikenal negara Islam konservatif lantaran sandaran ideologi Wahabinya itu dan
dukungannya terhadap lembaga-lembaga Islam. Label Islam konservatif pada negara Arab Saudi
itu tercipta pada tahun 1745 menyusul koalisi antara Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab
(pendiri mazhab Wahabi) dan keluarga Al Saud dan terus berlanjut hingga sekarang.

Islam tercantum sebagai agama negara dan sumber hukum. Ajaran Islam versi mazhab Wahabi
itulah yang merajut aktivitas pendidikan, hukum, dan dasar etika masyarakat di Arab Saudi.
Misalnya, pemerintah mengharuskan pertokoan dan kantor-kantor pemerintah ditutup ketika azan
shalat dikumandangkan dan mereka sangat dianjurkan shalat berjamaah.

Menurut Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab, para ulama bertanggung jawab memperkenalkan
dan mensosialisasikan ajaran Islam. Kerja sama ulama dan pemerintah (umara) disebutkan
merupakan kewajiban.

Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan ajaran agama seperti shalat, zakat, puasa, dan
haji. Adapun ulama membantu pemerintah memberi petunjuk bagi pelaksanaan ajaran agama itu.

Hubungan keluarga Al Saud dan para ulama pada abad ke-18 merupakan hubungan kemitraan
yang sangat strategis sesuai dengan teori politik Islam tradisional dan prinsip-prinsip yang
diletakkan Muhammad bin Abdul Wahab. Hubungan kemitraan yang harmonis antara agama dan
negara pada era negara Arab Saudi pertama itu barangkali disebabkan adanya kesamaan tujuan
saat itu.

Kemitraan strategis itu membuka peluang bagi Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab memiliki
kekuatan politik untuk penerapan mazhab Wahabi di Arab Saudi. Dalam waktu yang sama,
mazhab Wahabi memberi legitimasi agama pada kekuasaan keluarga Al Saud. Mazhab Wahabi
memberi doktrin bahwa patuh pada pemerintah merupakan kewajiban agama selama pemerintah
itu melindungi syariat agama dan membangkang pemerintah adalah khianat.
ARAB Saudi di Semenanjung Arab sejak berdirinya tahun 1932 sesungguhnya diwarnai banyak
aksi oposisi terhadap sistem negara dan hegemoni keluarga Al Saud. Kebijakan reformasi
pemerintah keluarga Al Saud dan dalam waktu yang sama tetap memegang teguh mazhab
Wahabi, mengundang reaksi oposan dari dua kubu sekaligus, yakni kubu sekuler dan konservatif.
Dua kubu tersebut sama-sama menuntut dibubarkannya pemerintahan monarki di Arab Saudi.

Tantangan politik pertama kekuasaan dinasti Al Saud pasca penyatuan teritorial Kerajaan Arab
Saudi tahun 1932 adalah aksi mogok yang dilancarkan para karyawan Aramco (perusahaan
minyak Arab Saudi) pada tahun 1953 dan 1956. Gerakan oposisi karyawan Aramco dimulai
musim panas tahun 1953 ketika mereka menuntut kenaikan gaji dan peningkatan pelayanan
sosial serta hak mendirikan serikat pekerja pada Putra Mahkota Pangeran Saud.

Namun tuntutan mereka ditolak dan bahkan pemerintah menahan wakil dari karyawan itu.
Penahanan para wakil karyawan tersebut menyulut lahirnya gerakan oposisi dan aksi mogok
kerja oleh 13.000 karyawan Aramco.

Tak pelak lagi, pemerintah saat itu mengirim pasukan ke wilayah timur Arab Saudi untuk
meredam aksi mogok para karyawan Aramco itu. Para karyawan tersebut akhirnya menyerah
dan bersedia kembali bekerja.

Aksi mogok karyawan Aramco dengan motivasi lebih politis lagi terjadi pada tahun 1956 akibat
pengaruh maraknya gerakan nasionalisme Arab saat itu. Pada 9 Juni 1956, para karyawan
Aramco mulai melakukan aksi mogok tanpa disertai tuntutan ekonomi dan tidak ada kritik pada
pemerintah. Namun mereka mengumandangkan nasionalisme dan slogan antikolonial sebagai
protes atas dominasi asing pada Aramco. Reaksi pemerintah saat itu sangat keras dengan
menangkap para pimpinan unjuk rasa itu.

Sejumlah anggota keluarga kerajaan yang bervisi liberal pimpinan Pangeran Talal bin Abdul Aziz
(adik kandung Raja Saud bin Abdul Aziz) mengajukan rancangan konstitusi dan pembentukan
Majelis Tasyrii (dewan perwakilan rakyat) pada tahun 1962.

Putra Mahkota Pangeran Faisal yang menjabat Perdana Menteri saat itu menolak tuntutan
Pangeran Talal yang mengantarkan terjadinya koalisi antara Pangeran Talal dan Raja Saud.
Pangeran Faisal lalu mengundurkan diri sebagai perdana menteri, dan Raja Saud membentuk
kabinet baru. Pada kabinet baru itu Raja Saud merangkap sebagai perdana menteri dan menteri
keuangan/ekonomi dipercayakan pada Pangeran Talal.

Namun tidak berapa lama setelah itu, Raja Saud terlibat perbedaan pendapat dengan Pangeran
Talal, menyusul Pangeran Talal meminta pembentukan Dewan Nasional untuk merancang
konstitusi. Raja Saud kemudian memecat Pangeran Talal sebagai anggota kabinet.

Pangeran Talal lantas mengasingkan diri ke Cairo dan membentuk komite pembebasan Arab
Saudi. Namun komite tersebut ternyata sangat lemah dan tidak memiliki pengaruh apa-apa di
dalam negeri Arab Saudi. Setelah Presiden Mesir Gamal Abdel Naser meninggal dunia pada
tahun 1970 dan Raja Faisal melakukan reformasi politik, Pangeran Talal kembali ke Arab Saudi
dan masuk lagi ke jajaran keluarga kerajaan Al Suud.

SEMENTARA itu, lembaga militer Arab Saudi sesungguhnya memiliki tradisi mendukung
kekuasaan Al Saud. Lembaga militer Arab Saudi juga tidak mempunyai tradisi ikut campur urusan
politik, tidak seperti halnya lembaga militer di negara Arab lain.

Pemerintah Al Saud melakukan modernisasi militer dan sekaligus sangat mengontrol lembaga
militer negara itu. Hal itu disebabkan, pertama, untuk membatasi gerak dan peran militer hingga
tidak muncul sebagai kekuatan militer yang mengancam stabilitas negara. Kedua, militer
digunakan untuk melindungi sumur-sumur minyak.

Meski militer Arab Saudi dikenal pendukung setia kekuasaan Al Saud, tetapi telah terjadi
beberapa kali percobaan kudeta di negara itu. Pada tahun 1945, pilot Arab Saudi, Abdullah
Munadali, mengebom kemah Raja Saud di padang Arafat dekat Mekkah, namun salah sasaran.
Ia lalu ditangkap dan dihukum mati.

Sejumlah pilot Arab Saudi juga terlibat percobaan pembunuhan atas Raja Saud segera setelah
revolusi Irak pada 14 Juli 1958 yang mengakhiri sistem monarki di Irak. Pada tahun 1962, enam
perwira ditangkap karena melakukan kontak dengan Pangeran Talal di Cairo yang membangkang
saat itu. Pada tahun 1969, terbongkar upaya percobaan kudeta dan ditahan sekitar 100 perwira.
Pada tahun 1977, sejumlah perwira militer diajukan ke pengadilan dengan tuduhan akan
melakukan percobaan kudeta.

Dalam upaya mencegah ancaman militer terhadap kekuasaan keluarga Al Saud, Pemerintah
Arab Saudi menerapkan dua kebijakan.

Pertama, memisah satuan pengawal nasional dari lembaga militer. Satuan pengawal nasional itu
berada di bawah komando langsung putra mahkota Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz. Pengawal
nasional yang terdiri dari unsur seluruh kabilah bertugas mengamankan kekuasaan keluarga Al
Saud dan keamanan dalam negeri, khususnya kawasan minyak. Kedua, pemerintah memberi
fasilitas dan kesejahteraan yang memadai pada anggota militer untuk melunakkan sikap mereka.

Peran kaum intelektual Arab Saudi selama ini dikenal sangat lemah dalam berandil menentukan
kebijakan nasional negara. Sesungguhnya terdapat sejumlah gerakan oposisi rahasia yang
digerakkan kaum intelektual, namun masih lemah dan tercerai-berai. Hal ini salah satu faktornya
adalah pemerintah berhasil menjinakkan mereka dan memenuhi kebutuhan materinya serta
kemampuan aparat keamanan meredam aktivitas mereka.

Ada beberapa gerakan oposisi yang dimotori kaum intelektual. Pada tahun 1956, aktivis komunis
dan sejumlah intelektual Arab Saudi membentuk Front Reformasi Nasional. Namun setelah dua
tahun, aktivis komunis mundur dari front tersebut dan mendirikan front pembebasan nasional.
Misi front itu adalah mengubah paradigma kehidupan di Arab Saudi, membentuk pemerintahan
yang berasal dari rakyat, dan menolak imperialisme.

Pada akhir tahun 1975, front pembebasan nasional mengubah namanya menjadi partai komunis
Arab Saudi. Partai tersebut hanya beranggotakan sekitar 30 orang dan tidak memiliki pengaruh
sama sekali.

Kelompok oposisi yang paling efektif dan terorganisir adalah Partai Baath cabang Arab Saudi.
Partai tersebut didirikan pada tahun 1958. Pasca pecahnya Partai Baath Suriah dan Irak
pertengahan tahun 1960-an, anggota Partai Baath Arab Saudi melakukan pengunduran diri
secara kolektif. Hanya tersisa sebagian kecil yang masih setia pada partai Baath.

Partai Rakyat Demokrat merupakan kelompok oposisi paling radikal di Arab Saudi. Partai yang
didirikan pada tahun 1970 itu menghimpun anggota dari pengikut Marxisme dan nasionalisme
Arab. Partai itu memperjuangkan penerapan ekonomi Marxis dan pembebasan Jazirah Arab dari
kolonial.

MESKIPUN Islam menjadi alat legitimasi kekuasaan keluarga Al Saud, kelompok oposisi Islam
muncul pula beberapa tahun terakhir ini. Ada dua kelompok oposisi Islam utama, yaitu organisasi
revolusi Islam dan organisasi Ikhwan baru. Mereka sama-sama menuntut berdirinya negara Islam
hakiki di Arab Saudi.
Organisasi revolusi Islam didirikan pada akhir tahun 1970-an dan didukung Iran dengan
beranggotakan kaum Syiah Arab Saudi. Organisasi tersebut mengadopsi pandangan Imam
Khomeini dalam pemerintahan Islam. Anggota organisasi itu sempat menyebarkan pamflet yang
bertuliskan "suara rakyat" pada musim haji tahun 1981 di Kota Mekkah.

Adapun organisasi Ikhwan baru telah melancarkan aksinya yang terkenal, yaitu penyerangan ke
Masjid Al Haram pada 20 November 1979. Mereka mengutuk Pemerintah Arab Saudi. Peristiwa
penyerangan Masjid Al Haram itu mengungkap tiga problem menyangkut hubungan agama dan
negara di Arab Saudi.

Pertama, bagaimana cara mengompromikan modernisasi dan kenikmatan ekonomi yang begitu
cepat di satu pihak dan komitmen dengan mazhab Wahabi di pihak lain. Kedua, sistem
pemerintahan Arab Saudi tidak selalu sesuai dengan aspirasi kelompok radikal Islam. Ketiga,
keluarga dinasti Al Saud ternyata mendapat tantangan dari kelompok Islam radikal.

Saat ini ada Jemaah Pembela Hak Asasi pimpinan Dr Muhammad Mash’ari yang berbasis di
London. Jemaah tersebut kemudian berkembang menjadi Gerakan Reformasi Islam pimpinan Dr
Saad Al Fakih. Aktivitas gerakan tersebut semakin gencar dan meluas terakhir ini dengan
menggunakan jaringan Internet dan membuat stasiun radio. Oposisi Islam ini kini praktis lebih
merepotkan Pemerintah Arab Saudi dibandingkan dengan oposisi beraliran liberal.

Beberapa bulan terakhir ini Arab Saudi kembali mendapat guncangan dahsyat akibat
serangkaian aksi kekerasan di berbagai kota, seperti Kota Mekkah, Madinah, Jeddah, dan
Riyadh. Pemerintah Arab Saudi menuduh aktivis Islam simpatisan atau pengikut Tanzim Al
Qaeda berada di balik aksi kekerasan tersebut.

Dalam konteks itu, bagi Pemerintah Arab Saudi ada dua pilihan, yaitu melancarkan perang
melawan teroris atau menggelar dialog.

Pemerintah Arab Saudi secara resmi memilih perang melawan kaum teroris dan berjanji akan
memburu serta menangkap pelaku aksi kekerasan itu. Menteri Dalam Negeri Pangeran Nayef bin
Abdul Aziz menegaskan, dialog dengan kaum teroris hanya dengan pedang dan senjata. Adapun
Raja Fahd bin Abdul Aziz berjanji akan memukul dengan tangan besi para pelaku ledakan bom
itu.

Meski demikian, sejumlah ulama pekan lalu menawarkan inisiatif "Ramadhan Mubarak" untuk
menggelar dialog pemerintah dan kaum militan. Menurut Sheikh Muhsin Awaji, tujuan dialog itu
untuk melakukan evaluasi secara komprehensif dari kedua pihak sebagai bagian dari upaya
reformasi di Arab Saudi sehingga tidak lebih banyak lagi para pemuda negara itu terlibat aksi
kekerasan di masa mendatang.

Pangeran Waleed bin Talal mengusulkan, sudah tiba waktu bagi Pemerintah Arab Saudi segera
melakukan reformasi politik dan ekonomi secara mendasar untuk mempersempit tumbuhnya
radikalisme yang selalu membawa nama agama. Usul itu senada dengan suara sejumlah ulama
dan kaum intelektual.

Arab Saudi sesungguhnya telah menggulirkan beberapa kebijakan reformasi seperti rencana
penyelenggaraan pemilu wali kota tahun depan dan pembentukan komite hak asasi manusia.
Namun tampaknya masih membutuhkan sentuhan reformasi yang lebih signifikan lagi.

(Musthafa Abd Rahman, dari Cairo)

Sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0311/15/Fokus/688080.htm
Tuduhan Dusta terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab - Posted by : Al-
Banjary
Printer Friendly Page
on Monday, March 13, 2006 - 10:09 AM CCT- 1674 Reads
6. Penolakan dibukanya pintu ijtihad.
7. Menyebarnya kezhaliman dalam pemerintahan.
8. Perselisihan dan perpecahan.

Inilah sebab-sebab yang tidak diperhatikan oleh Hizbut Tahrir yang


merupakan penyebab utama hancurnya Daulah Utsmaniyah.
Mereka hanya berkoar-koar seputar konspirasi kaum kuffar dan
munafiq, tanpa menelaah penyebab “Mengapa Daulah Utsmaniyah
bisa dikalahkan dan dihancurkan oleh konspirasi kaum Kuffar dan
Munafiq”!!!, “Mengapa kaum muslimin kalah melawan agresi kaum
kuffar?!!” dan “mengapa agama yang telah dijanjikan oleh Alloh
kemenangan ini menjadi kalah dan terbelakang di antara agama-
agama lainnya?!!”

Inilah yang tidak mampu mereka jawab, melainkan mereka akan


mencari kambing hitamnya. Hizbut Tahrir adalah kelompok yang
turut menyuburkan faham quburiyun, khurofiyun, bid’iyun dan
shufiyun[47], sehingga mereka tidak akan ridha dan rela terhadap
dakwah tauhid yang dibawa oleh Imam Muhammad bin Abdil
Wahhab. Mereka akan senantiasa memeranginya, mencercanya,
menfitnahnya, membuat kedustaan atasnya, dan mereka akan
bersekutu dengan firqoh-firqoh sesat lainnya semisal shufiyun dan
syi’ah, dalam rangka memerangi dan menghantam dakwah ini.
Kecuali diantara mereka yang dirahmati Alloh.

Wahhabi
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

(Dialihkan dari Wahhabisme)


Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini adalah bagian dari seri
Islam
Rukun Islam

Syahadat · Shalat · Zakat · Puasa · Haji

Rukun Iman

Allah · Kitab · Malaikat ·

Nabi · Kiamat · Takdir

Tokoh Islam

Muhammad SAW

Nabi & Rasul· Para Sahabat· Ahlul Bait

Kota Suci

Mekkah · Madinah · Yerusalem

Najaf · Karbala · Kufah

Kazimain · Mashhad · Samarrah

Hari Raya

Hijrah · Idul Fitri · Maulid

Idul Adha · Asyura · Ghadir Khum

Arsitektur

Mesjid · Menara · Mihrab · Ka'bah

Arsitektur Islam

Jabatan Fungsional

Khalifah ·Ulama ·Muadzin · Imam · Mullah

Ayatullah · Mufti

Teks & Hukum


Al-Qur'an · Hadits · Sunnah

Fiqih · Fatwa · Syariat

Aliran

Sunni: Hanafi · Hambali · Maliki · Syafi'i

Syi'ah: Dua Belas Imam · Ismailiyah · Zaidiyah

Lain-lain: Ibadi · Khawarij · Murji'ah ·


Mu'taziliyah

Gerakan

Hizbullah · Hizbut Tahrir


Ikhwanul Muslimin · Tasawuf
Wahhabisme · Salafiyah

Ormas Islam

Nahdlatul Ulama · Muhammadiyah


Persis · MUI

Lihat Pula

Indeks artikel tentang Islam

lihat • diskusi • sunting

Wahhabi atau Wahabi adalah gerakan satu kaum yang bertujuan untuk memurnikan kembali ajaran agama Islam berdasarkan petunjuk Allah
SWT, Nabi Muhammad SAW sebagai utusan serta berdasarkan pemahaman yang para kaum Salafush shaleh yakni orang orang yang
terdahulu yang shaleh dan mendapatkan petunjuk dalam urusan agama Islam. Nama Wahhabi atau Wahabi disandarkan kepada nama Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab yang melakukan usaha yang dianggap sebagai pemurnian agama Islam pada abad ke 18 M (1744 M) di daerah
Nejed dan Hijaz yang dikenal sekarang sebagai Arab Saudi. Meskipun demikian, nama Wahhabi bukan berasal dari dalam kelompok ini.
Wahhabi adalah sebutan yang digunakan oleh musuh-musuh kelompok ini untuk menakut-nakuti pengikut mereka. Penyebutan ini pun kurang
tepat, mengingat bahwa Abdul Wahhab adalah bapaknya Syaikh Muhammad. Sebutan yang tepat seharusnya adalah Muhammadiyyah,
seandainya kelompok ini memang menamakan dirinya dengan nama selain salafy. Gerakan Wahhabi dikenal dengan paradigma yang
menganggap kebenaran mereka absolut, tidak bersedia menerima kebenaran lain, dan cenderung mengajarkan Islam yang kearab-araban
dengan mengabaikan muatan tradisional dari agama Islam. Wahhabi juga merupakan ajaran yang dijadikan pegangan awal gerakan terorisme
internasional. Banyak dari sekolah-sekolah di Pakistan yang memberi pengajaran kepada Taliban dan teroris Al-Qaeda merupakan bagian dari
gerakan Wahabi. (Lihat Laporan Freedom House, 2005, halaman 13).

Dalam Hadits yang shahih, Nabi Muhammad SAW bersabda yang maknanya "Akan ada pada setiap zaman kaum yang berusaha memurnikan
ajaran agama Islam". Usaha pemurnian ajaran agama Isalm ini benar benar dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW serta para Sahabatnya
dailanjutkan oleh pengikutnya, kaum tabi'in dan tabiut tabi'in. Dalam periode selanjutnya dikenal ulama-ulama yang berusaha untuk
memurnikan kembali ajaran agama Islam diantaranya adalah para penulis hadits diantaranya Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud,
kemudian para ulama seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Syaikh Abdul Qadir Jailani dan terus dilanjutkan sampai pada masa kini
diantaranya oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dan Syaikh Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz dan dimasa yang akan datang.
Namun demikian, hadits tersebut tidak menyebutkan siapa yang akan memurnikan ajaran Islam. Kelompok Wahhabi menganggap diri mereka
sebagai kelompok yang diberi wewenang untuk memurnikan ajaran tersebut. Dalam prakteknya, kelompok Wahhabi cenderung berusaha untuk
menghilangkan toleransi terhadap tradisi lokal, memaknai agama secara literal, dan banyak dihubungkan dengan pembenaran terhadap
kekerasan dengan dalih agama atau memurnikan ajaran agama.
Selain dinamakan Wahhabi, kelompok ini menamakan dirinya dengan istilah Salafy yang penyebutannya berdasarkan pada Salafush Saleh yang
seperti diungkapkan diatas adalah kaum terdahulu yang shaleh (baik) dan mendapatkan petunjuk dalam urusan agama. Kaum terdahulu disini
adalah berdasarkan jarak terdekat dengan masa kenabian yakni :

• Para Sahabat yakni yang langsung mendapatkan ajaran Nabi.


• Tabi'in yakni generasi sesudah para sahabat.
• Tabiut Tabi'in yakni generasi sesudah para tabiin

Namun demikian, penyebutan salafy disini adalah tidak terbatas kepada sesuadah para tabi'in tetapi juga bagi kaum muslimin yang mengikuti
mereka.

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Ajaran Wahhabi kelompok yang bughat pada khilafah Ustmaniyah


• 2 Tata cara pengambilan dalil dalam ajaran Wahhabi
• 3 Sejarah dan Perjalanannya

• 4 Pranala luar

[sunting] Ajaran Wahhabi kelompok yang bughat


pada khilafah Ustmaniyah
Berdasarkan pengertian diatas, inti ajaran wahabi dan salafy sebenarnya adalah sama yakni memberikan klaim bahwa mereka mengamalkan
ajaran agama berdasarkan Alqur'an dan Hadits berdasarkan pemahaman para Salafush Shaleh tanpa terikat dengan berdasarkan Madzhab
terutama mengambil salah satu madzhab tetapi mengambil ajaran-ajaran yang berada dalam madzhab tersebut yang sesuai dengan Al Qur'an
dan Hadits terutama hadits yang derajatnya baik dan tidak ada pertentangan didalamnya. Hal ini sesuai dengan wasiat dari para Imam madzhab
yang empat yakni Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Hambali yakni "Apabila ada ajaran atau pendapat yang bertentangan
dengan hadits dan sunnah Nabi yang shahih (kuat dan benar), maka ikutilah ajaran hadits tersebut dan buang jauh-jauh pendapatku".

Namun demikian, ajaran Wahhabi selalu menganggap bahwa interpretasi mereka terhadap agama adalah yang paling benar. Mereka cenderung
menafikan kondisi sosiologis dari suatu masyarakat, kenyataan historis-kultural yang berbeda dalam setiap komunitas, dan memaksakan
pemikiran atau pendapat mereka yang cenderung sempit. Walaupun sesungguhnya Islam merupakan entitas yang sangat toleran terhadap
kondisi aktual masyarakat, kelompok Wahhabi telah mereduksi dan mesimplifikasi kondisi sosial dan kultural masyarakat dan menjadikannya
hanya sebatas pandangan literal/interpretasi literal mereka akan agama. Pemikir-pemikir Islam, seperti Ibnu Taimiyah, telah mengakui
keperluan akan adanya perubahan-perubahan yang mengikuti perubahan keadaan, dan dengan alasan ini pulalah ia mengeluarkan doktrin
bahwa fatwa agama bisa berubah berdasarkan perubahan waktu. Bahkan pemikir ortodoks seperti diapun menganggap penting bahwa ahkam
turut dirubah dengan perubahan keadaan sejarah dan sosiologis. Kelompok Wahhabi memberi "klaim" bahwa mereka akan menyempurnakan
syariah Islam. Namun demikian, syariah itu sendiri merupakan pendekatan terhadap Islam. Muhammad Mujeeb, seorang pemikir muslim
dalam bidang perubahan di hukum Islam, menyatakan bahwa syari'ah adalah pendekatan terhadap Islam. Jika syariah merupakan suatu
pendekatan, mengapa begitu banyak Muslim memenjarakan dan membatasi diri mereka pada teks yang dibuat oleh ahli hukum Islam dengan
pendekatan tradisional beberapa ratus atau bahkan hampir seribu tahun yang lalu, dan tidak memberi penyegaran dengan menjawab kebutuhan
dan kenyataan masa kini. Itulah mengapa ajaran kelompok "Wahhabi" atau "Salafi" merupakan ajaran yang membahayakan Islam yang
membumi dengan melihat kondisi historis dan sosiologis suatu masyarakat dan harus diwaspadai.

[sunting] Tata cara pengambilan dalil dalam ajaran


Wahhabi
Dalam pelaksanaan ajaran agama, kaum wahabi atau salafy mengambil dalil hukum syariat berdasarkan

• Al Qur'an yang merupakan firman Allah dan kitab suci kaum muslimin.
• Hadits yang berisi sunnah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
• Ijma' yakni kesepakatan para ulama kaum muslimin yang tidak ada pertentangan didalamnya dan tidak menyelisihi Al Qur'an dan
Hadits.
• Qiyas atau analogi yakni pengambilan hukum suatu kasus berdasarkan hukum kasus yang lain yang terdapat kesamaan ciri dan
sebab didalamnya bila tidak ada hukum yang khusus yang membahas secara tersendiri.

Pengambilan hukum hukum ini berlaku baik dalam masalah Aqidah atau keyakinan serta masalah Muammalah atau hubungan sosial interaksi
antar manusia. Sehingga benar benar murni dan menghindari bid'ah yakni segala sesuatu yang baru dalam ajaran agama yang menyelisihi apa-
apa yang diajarkan oleh Allah SWT, Nabi Muhammad SAW dan pemahaman Salafush shaleh. Sementara dalam masalah dunia, ajaran wahhabi
atau salafy adalah mengambil manfaat dari kemajuan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan
ummat manusia dan tidak membahayakan didalamnya sebagai sarana beribadah dan muammalah bagi manusia. Namun untuk hukum-hukum
muammalah, karena masalah interaksi sosial berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, maka tata caranya adalah berdasarkan empat
ketentuan diatas serta ditinjau dari segala sisi dalam kegiatan muamalah agar menghindari hal hal yang syubhat yakni yang tidak jelas antara
yang dihalalkan (dibolehkan dalam ajaran agama) maupun yang diharamkan (yang dilarang dalam ajaran agama).

Mereka mendefinisikan tata cara pengambilan dalil ini sebagai kaidah Ahlu Sunnah wal Jamaah. Kata Ahlu Sunnah berarti adalah orang
orang yang mengikuti sunnah atau tata cara yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW yang merupakan utusan Allah SWT . Sementara
Jamaah disini adalah jamaah kaum muslimin yang merupakan satu jamaah yang sama sama mengukuti sunnah nabi meskipun pada zaman dan
kurun waktu yang berbeda.

Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia


Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifisasi artikel.
Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.

[sunting] Sejarah dan Perjalanannya


MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

Beliau dilahirkan di kota 'Uyainah, Nejed pada tahun 1115 H. Hafal Al-Qur'an sebelum berusia sepuluh tahun. Belajar kepada ayahandanya
tentang fiqih Hambali, belajar hadits dan tafsir kepada para syaikh dari berbagai negeri, terutama di kota Madinah. Beliau memahami tauhid
dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Perasaan beliau tersentak setelah menyaksikan apa yang terjadi di negerinya Nejed dengan negeri-negeri lainnya
yang beliau kunjungi berupa kesyirikan, khurafat dan bid'ah. Demikian juga soal menyucikan dan mengkultuskan kubur, suatu hal yang
bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.

Ia mendengar banyak wanita di negerinya bertawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata, "Wahai pohon kurma yang paling
agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini."

Di Hejaz, ia melihat pengkultusan kuburan para sahabat, keluarga Nabi (ahlul bait), serta kuburan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, hal
yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah semata.

Di Madinah, ia mendengar permohonan tolong (istighaatsah) kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, serta berdo'a (memohon) kepada
selain Allah, hal yang sungguh bertentangan dengan Al-Qur'an dan sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam . Al-Qur'an menegaskan:

"Artinya : Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah,
sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim." [Yunus : 106]

Zhalim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam berkata kepada anak pamannya, Abdullah bin Abbas:

"Artinya : Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah." [Hadits
Riwayat At-Tirmidzi, ia berkata hasan shahih)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaumnya kepada tauhid dan berdo'a (memohon) kepada Allah semata, sebab Dialah Yang
Mahakuasa dan Yang Maha Menciptakan sedangkan selainNya adalah lemah dan tak kuasa menolak bahaya dari dirinya dan dari orang lain.
Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang shalih), adalah dengan mengikuti amal shalihnya, tidak dengan menjadikannya sebagai perantara
antara manusia dengan Allah, dan juga tidak menjadikannya sebagai tempat bermohon selain daripada Allah.

[1]. Penentangan Orang-Orang Batil Terhadapnya Para ahli bid'ah menentang keras dakwah tauhid yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahab. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh tauhid telah ada sejak zaman Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam . Bahkan
mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhid. Allah berfirman:

"Artinya : Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan."
[Shaad : 5]
Musuh-musuh syaikh memulai perbuatan kejinya dengan memerangi dan menyebarluaskan berita-berita bohong tentangnya. Bahkan mereka
bersekongkol untuk membunuhnya dengan maksud agar dakwahnya terputus dan tak berkelanjutan. Tetapi Allah Subhannahu wa Ta'ala
menjaganya dan memberinya penolong, sehingga dakwah tauhid terbesar luas di Hejaz, dan di negara-negara Islam lainnya.

Meskipun demikian, hingga saat ini, masih ada pula sebagian manusia yang menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya mereka
mengatakan, dia (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) adalah pembuat madzhab yang kelima[3], padahal dia adalah seorang penganut
madzhab Hambali. Sebagian mereka mengatakan, orang-orang wahabi tidak mencintai Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam serta tidak
bershalawat atasnya. Mereka anti bacaan shalawat.

Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab –rahimahullah- telah menulis kitab "Mukhtashar Siiratur Rasuul Shalallaahu
alaihi wasalam ". Kitab ini bukti sejarah atas kecintaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab kepada Rasulullah Shallallahu â€‫ک‬alaihi wa
sallam. Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, suatu hal yang karenanya mereka bakal
dihisab pada hari Kiamat.

Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Qur'an, hadits dan
ucapan sahabat sebagai rujukannya.

Seseorang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada penulis, bahwa ada salah seorang ulama yang memperingatkan dalam pengajian-
pengajiannya dari ajaran wahabi. Suatu hari, salah seorang dari hadirin memberinya sebuah kitab karangan Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab. Sebelum diberikan, ia hilangkan terlebih dahulu nama pengarangnya. Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat kagum dengan
kandungannya. Setelah mengetahui siapa penulis buku yang dibaca, mulailah ia memuji Muhammad bin Abdul Wahab.

[2]. Dalam Sebuah Hadits Disebutkan:

" Artinya : Ya Allah, berilah keberkahan kepada kami di negeri Syam, dan di negeri Yaman. Mereka berkata, 'Dan di negeri Nejed.' Rasulullah
berkata, 'Di sana banyak terjadi berbagai kegoncangan dan fitnah, dan di sana (tempat) munculnya para pengikut setan." [Hadits Riwayat Al-
Bukhari dan Muslim]

Ibnu Hajar Al-'Asqalani dan ulama lainnya menyebutkan, yang dimaksud Nejed dalam hadits di atas adalah Nejed Iraq. Hal itu terbukti dengan
banyaknya fitnah yang terjadi di sana. Kota yang juga di situ Al-Husain bin Ali Radhiyallahu anhuma dibunuh.

Hal ini berbeda dengan anggapan sebagian orang, bahwa yang dimaksud dengan Nejed adalah Hejaz, kota yang tidak pernah tampak di
dalamnya fitnah sebagaimana yang terjadi di Iraq. Bahkan seba-liknya, yang tampak di Nejed Hejaz adalah tauhid, yang karenanya Allah
menciptakan alam, dan karenanya pula Allah mengutus para rasul.

[3]. Sebagian Ulama Yang Adil Sesungguhnya Menyebutkan Bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah salah seorang mujaddid
(pembaharu) abad dua belas Hijriyah. Mereka menulis buku-buku tentang beliau. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Syaikh
adalah Syaikh Ali Thanthawi. Beliau menulis buku tentang "Silsilah Tokoh-tokoh Sejarah", di antara mereka terdapat Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahab dan Ahmad bin 'Irfan.

Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, akidah tauhid sampai ke India dan negeri-negeri lainnya melalui jama'ah haji dari kaum muslimin
yang terpengaruh dakwah tauhid di kota Makkah. Karena itu, kompeni Inggris yang menjajah India ketika itu, bersama-sama dengan musuh-
musuh Islam memerangi akidah tauhid tersebut. Hal itu dilakukan karena mereka mengetahui bahwa akidah tauhid akan menyatukan umat
Islam dalam melawan mereka.

Selanjutnya mereka mengomando kepada kaum Murtaziqah[4] agar mencemarkan nama baik dakwah kepada tauhid. Maka mereka pun
menuduh setiap muwahhid yang menyeru kepada tauhid dengan kata wahabi. Kata itu mereka maksudkan sebagai padanan dari tukang bid'ah,
sehingga memalingkan umat Islam dari akidah tauhid yang menyeru agar umat manusia berdo'a hanya semata-mata kepada Allah. Orang-orang
bodoh itu tidak mengetahui bahwa kata wahabi adalah nisbat kepada Al-Wahhaab (yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari Nama-nama
Allah yang paling baik (Asma'ul Husna) yang memberikan kepadanya tauhid dan menjanjikannya masuk Surga.

[Disalin dari kitab Minhajul Firqah An-Najiyah Wat Thaifah Al-Manshurah, edisi Indonesia Jalan Golongan Yang Selamat, Penulis Syaikh
Muhammad bin Jamil Zainu, Penerjemah Ainul Haris Umar Arifin Thayib, Penerbit Darul Haq]

Foote Note [1]. Dia memohon pertolongan kepada Syaikh Sa’d yang dikuburkan di dalam masjidnya. [2]. Orang-orang Salaf adalah mereka
yang mengikuti jalan para Salafus Shalih. Yaitu Rasulullah Shallallahu â€‫ک‬alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in [3].Sebab yang
terkenal dalam dunia Fiqih hanya ada empat madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. [4]. Kaum Murtaziqoh yaitu orang-orang
bayaran.

sumber: almanhaj.or.id
[sunting] Pranala luar
• salafyonline.com

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Wahhabi"

http://id.wikipedia.org/wiki/Wahhabisme

You might also like