Professional Documents
Culture Documents
Pentingnya ilmu asbabun nuzul dalam ilmu Al-Qur'an guna mempertegas dan mempermudah
dalam memahami ayat-ayatnya. Ilmu Asbabun Nuzul mempunyai pengaruh yang penting dalam
memahami ayat, karenanya kebanyakan ulama begitu memperhatikan ilmu tentang Asbabun
Nuzul bahkan ada yang menyusunnya secara khusus. Diantara tokoh (penyusunnya) antara lain
Ali Ibnu al-Madiny guru Imam al-Bukhari r.a. Kitab yang terkenal dalam hal ini adalah kitab
Asbabun Nuzul karangan al-Wahidy sebagaimana halnya judul yang telah dikarang oleh
Syaikhul Islam Ibnu Hajar. Sedangkan as-Sayuthy juga telah menyusun sebuah kitab yang
lengkap lagi pula sangat bernilai dengan judul Lubabun Nuqul Fi Asbabin Nuzul. Oleh karena
pentingnya ilmu asbabun nuzul dalam ilmu Al-Qur'an guna mempertegas dan mempermudah
dalam memahami ayat-ayatnya, dapatlah kami katakan bahwa diantara ayat Al-Qur'an ada yang
tidak mungkin dapat dipahami atau tidak mungkin diketahui ketentuannya/hukumnya tanpa ilmu
Asbabun Nuzul. Sebagai contoh firman Allah SWT:
Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah:
115). Dari ayat tersebut dapat dipahami bolehnya melakukan shalat menghadap ke selain kiblat.
Pemahaman seperti ini adalah salah, karena menghadap kiblat adalah salah satu syarat sahnya
shalat. Dengan ilmu asbabun nuzul dapatlah dipahami secara jelas, dimana ayat di atas turun
sehubungan dengan kasus seseorang yang ada dalam perjalanan dan tidak mengetahui kiblat
serta arah, karena itu ia boleh berijtihad untuk memilih arah dan selanjutnya ia melakukan shalat.
Ke mana saja ia menghadap dalam shalatnya maka shahlah shalatnya. Ia tidak harus mengulangi
kembali disaat ia mengetahui arah yang sebenarnya andaikata salah. Dengan demikian maka ayat
di atas tidaklah bersifat umum tetapi bersifat khusus bagi seseorang yang tidak mengetahui kiblat
dan arah. Contoh lain yang berhubungan dengan pentingnya ilmu Asbabun Nuzul dalam
memahami ayat adalah firman Allah SWT:
Sesungguhnya khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Mâidah: 90). Diantara beberapa orang sahabat Rasul
bertanya: "Bagaimanakah halnya dengan orang-orang yang berperang di jalan Allah dan telah
meninggal sedang mereka biasa meminum khamar padahal khamar tersebut adalah keji?".
Sehubungan dengan itu maka turunlah ayat yang menjelaskan bahwa peminum khamar sebelum
diharamkan, Allah memaafkannya. Ia tidak berdosa dan tidak bersalah karena Allah tidak akan
memberikan hukuman atas perbuatan seorang hamba sebelum Islam atau sebelum turunnya
pengharaman. Karena itu maka ayat tersebut berdasarkan susunannya dapat dipahami secara
tegas terhadap haramnya minuman khamar.
Terkadang ada satu kasus (kejadian). Dari kasus tersebut turun satu atau beberapa ayat yang
berhubungan dengan kasus tersebut, itulah yang disebut dengan Asbabun Nuzul. Dari segi lain,
kadang-kadang ada suatu pertanyaan yang dilontarkan kepada Nabi SAW, dengan maksud minta
ketegasan tentang hukum syara' atau mohon penjelasan secara terperinci tentang urusan agama,
oleh karena itu turun beberaa ayat, yang demikian juga disebut Asbabun Nuzul. Contoh peristiwa
yaitu hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Khabbab ibnul Arat r.a. ia berkata: "Saya adalah
tukang besi, Saya menghutangkan kepada Ash ibnu Wail. Suatu ketika saya datang kepadanya
untuk menagih piutangku". Ia menjawab: "Saya tidak akan membayar hutangku kepadamu
sebelum engkau mengkufurkan Muhammad dan beralih menyembah Lata dan Uzza". Saya
menjawab: "Aku tidak akan mengkufurkannya sehingga engkau dimatikan Allah dan
dibangkitkan kembali". Jawab Ash Ibnu Wail: "Kalau begitu kelak aku akan mati dan
dibangkitkan kembali?". "Tunggu dulu, hari ini juga akan kudatangkan harta dan anak untuk
membayar hutang kepadamu". Karena kasus ini Allah menurunkan ayat:
Maka apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat kami dan dia mengatakan
pasti aku akan diberi harta dan anak. Adakah ia melihat yang ghaib atau ia telah membuat
perjanjian di sisi Tuhan yang Maha Pemurah?. Sekali-kali tidak, Kami akan menulis apa yang
ia katakan dan benar-benar Kami akan memperpanjang adzab untuknya dan kami akan
mewarisi apa yang ia katakan itu, dan ia akan datang kepada Kami dengan seorang diri. (QS.
Maryam: 77-80). Tetap update informasi di manapun dengan http://m.Abatasa.com dari
browser ponsel anda!
Sebagian orang ada yang beranggapan bahwa ilmu Asbabun Nuzul tidak ada gunanya dan tidak
ada pengaruhnya karena pembahasannya hanyalah berkisar pada lapangan sejarah dan ceritera.
Menurut anggapan mereka ilmu Asbabun Nuzul tidaklah akan mempermudah bagi orang yang
mau berkecimpung dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an. Anggapan tersebut adalah salah dan
tidaklah patut didengar karena tidak berdasarkan pendapat para ahli Al-Qur'an yang dikenal
dengan ahli tafsir.
Di sini akan diungkap secara sekilas pendapat sebagian ulama dan kemudian akan disertakan
beberapa faedah tentang ilmu Asbabun Nuzul.
Al-Wahidy berpendapat: "menafsirkan ayat tanpa bertitik tolak dari sejarah dan penjelasan
turunnya tidaklah mungkin."
Ibnu Daqiqil 'Ied berpendapat: "Keterangan tentang Asbabun Nuzul adalah merupakan salahsatu
jalan yang tepat dalam memahami Al-Qur'an."
Ibnu Taimiyah berpendapat: "Ilmu Asbabun Nuzul akan membantu dalam memahami ayat,
karena ilmu tentang sebab akan menimbulkan ilmu tentang akibat".
Dengan demikian akan jelaslah pentingnya ilmu Asbabun Nuzul sebagai bagian dari ilmu Al-
Qur'an.
Adapun faedah dari ilmu Asbabun Nuzul dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama:
Marwan ibnul Hakam sulit dalam memahami ayat:
Janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang bergembira dengan apa yang
mereka telah kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka
kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksaan. (Ali Imrân: 188).
Beliau memerintahkan kepada pembantunya: "Pergilah menemui Ibnu Abbas dan katakan
kepadanya, bila semua orang telah merasa puas dengan apa yang telah ada dan ingin dipuji
terhadap perbuatan yang belum terbukti hasilnya pasti ia akan disiksa dan kamipun akan terkena
siksa". Ibnu Abbas menjelaskan kepadanya (pembantu), bahwa ia (Marwan) merasa kesulitan
dalam memahami ayat tersebut dan kemudian Ibnu Abbas menjelaskannya: "Ayat tersebut turun
sehubungan dengan persoalan Ahli Kitab (Yahudi) tatkala ditanya oleh Nabi SAW, tentang
sesuatu persoalan dimana mereka tidak menjawab pertanyaan yang sebenarnya ditanyakan,
mereka mengalihkan kepada persoalan yang lain serta menganggap bahwa persoalan yang
ditanyakan oleh Nabi kepadanya telah terjawab. Setelah itu mereka meminta pujian kepada Nabi,
maka turunlah ayat tersebut di atas. (HR. Bukhari Muslim).
Kedua:
Urwah Ibnu Jubair juga mengalami kesulitan dalam memahami makna firman Allah SWT:
Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Barangsiapa yang
beribadah Haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i
antara keduanya. (Al-Baqarah: 158).
Menurut zhahir ayat dinyatakan bahwa sa'i antara Shafa dan Marwah adalah tidak wajib, bahkan
sampai Urwah ibnu Zubair mengatakan kepada bibinya Aisyah r.a.: "Hai bibiku! sesungguhnya
Allah telah berfirman: "tidak mengapa baginya untuk melakukan sa'i antara keduanya", karena
itu saya berpendapat bahwa "tidak apa-apa bagi orang yang melakukan Haji Umrah sekalipun
tidak melakukan sa'i antara keduanya". Aisyah seraya menjawab: "Hai keponakanku! kata-
katamu itu tidak benar. Andaikata maksudnya sebagaimana yang kau katakan niscaya Allah
berfirman "tidak mengapa kalau tidak melakukan sa'i antara keduanya".
Setelah itu Aisyah menjelaskan: bahwasanya orang-orang Jahiliyah dahulu melakukan sa'i antara
Shafa dan Marwah sedang mereka dalam sa'inya mengunjungi dua patung yang bernama Isaar
yang berada di bukit Shafa dan Na'ilah yang berada di bukit Marwah. Tatkala orang-orang
masuk Islam diantara kalangan sahabat ada yang merasa berkeberatan untuk melakukan sa'i
antara keduanya karena khawatir campur-baur antara ibadah Islam dengan ibadah Jahiliyah. Dari
itu turunlah ayat sebagai bantahan terhadap keberatan mereka (yang mengatakan) kalau-kalau
tercela atau berdosa dan menyatakan wajib bagi mereka untuk melakukan sa'i karena Allah
semata bukan karena berhala. Itulah sebabnya Aisyah membantah pendapat Urwah berdasarkan
sebab turun ayat.
Ketiga:
Sebagian Imam mengalami kesulitan dalam memahami makna syarat dalam firman
Allah SWT:
Dan perempuan-perempuan yang terhenti dari haid diantara perempuan-perempuanmu jika
kamu ragu-ragu (tentang) iddahnya maka iddah mereka adalah 3 bulan. (Ath- Thalaq: 4).
Golongan zhahiriah berpendapat bahwa Ayisah (wanita yang tidak lagi haid karena sudah lanjut
usia) mereka tidak perlu masa iddah bila keayisahannya tidak diragukan lagi. Kesalahpahaman
mereka nampak dengan berdasarkan Asbabun Nuzul, dimana ayat tersebut adalah merupakan
khitab (ketentuan) bagi orang yang tidak mengetahui bagaimana seharusnya dalam masa iddah,
serta mereka ragu apakah mereka perlu iddah atau tidak. Dari itu maka
makna " " (bila anda bingung tentang bagaimana mereka dan tidak mengerti tentang
iddah mereka, maka inilah undang-undangnya). Ayat turun setelah ada sebagian shahabat yang
mengatakan bahwa diantara iddah kaum wanita tidak terdapat dalam Al-Qur'an; yaitu wanita
yang masih kecil dan wanita yang Ayisah. Setelah itu turunlah ayat yang menjelaskan ketentuan
tentang mereka. Wallâhu a'lam.
Keempat:
Diantara contoh tentang ilmu Asbabun Nuzul sebagai sanggahan terhadap dugaan hashr (batasan
tertentu) sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Syafi'i tentang firman Allah SWT:
Katakanlah! tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah. (Al-An'âm: 145).
Dalam hal ini beliau mengungkapkan yang maksudnya: bahwa orang kafir ketika mengharamkan
sesuatu yang dihalalkan Allah dan menghala1kan apa yang diharamkan Allah serta mereka
terlalu berlebihan, maka turunlah ayat sebagai bantahan terhadap mereka. Dengan demikian
seolah-olah Allah berfirman "Yang halal hanya yang kamu anggap haram dan yang haram itu
yang kamu anggap halal".
Dalam hal ini Allah tidak bermaksud menetapkan kebalikan dari ketentuan di atas melainkan
sekedar menjelaskan ketentuan yang haram samasekali tidak menyinggung-nyinggung yang
halal.
Imam Al-Haramain berkata "uslub ayat tersebut sangat indah. Kalau saja Imam Syafi'i tidak
mengatakan pendapat yang demikian niscaya kami tidak dapat menarik kesimpulan perbedaan
imam Malik dalam hal hashr/batasan hal yang diharamkan sebagaimana disebutkan dalam ayat
di atas".
Penjelasan dari makna ayat.
Sekedar penjelasan dari uraian di atas saya berpendapat bahwa zhahir ayat menunjukkan batasan
yang haram, dimana yang haram adalah hanya yang tersebut dalam ayat di atas, padahal
persoalannya tidak demikian, karena di samping yang tersebut pada ayat di atas masih ada lagi
yang lain, hanya saja mengungkapannya yang berbentuk hash sedang maknanya tidak demikian,
yaitu sebagai bantahan terhadap orang-orang musyrik yang mengharamkan sesuatu yang
sebenarnya dihalalkan Allah dan menghalalkan yang sebenamya diharamkan Allah.
Kelima:
Diantara faedah Asbabun Nuzul adalah untuk mengetahui nama orang yang menjadi kasus
turunnya ayat agar keraguan dan kekaburan menjadi hilang, sebagaimana Marwan menduga
bahwa firman Allah SWT:
Ialah diturunkan sehubungan dengan kasus Abdurrahman ibnu Abi Bakar. Aisyah membantah
bahwa anggapan tersebut adalah salah, ia menjelaskan kepada Marwan tentang sebab turunnya.
Adapun secara lengkap kisah tersebut sebagaimana diriwayatkan Bukhari sebagai berikut:
"Marwan adalah seorang amil (Gubernur) wilayah Madinah. Muawiyah menginginkan agar
Yazid menjadi khalifah setelah kemangkatannya. Ia menulis surat kepada Marwan tentang
persoalannya. Karenanya Marwan mengumpulkan rakyat dan berpidato di hadapan mereka.
Dalam pidatonya ia menyebutkan nama Yazid (memfigurkan). Dalil ia menyeru untuk
membaiatnya sambil berkata: "Sesungguhnya Amirul Mukminin telah diperlihatkan oleh Allah
tentang pendapat yang baik dalam diri Yazid. Bila Amirul Mu'minin mengangkatnya sebagai
khalifah, sungguh Abu Bakar dan Umar pun telah menjadi khalifah".
Dan orang yang berkata kepada kedua ibu bapaknya cis bagi kamu keduanya, apakah kamu
keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan padahal sungguh telah
berlalu beberapa umat sebelumku?(Al-Ahgat ayat 17)
Dari balik tabir Aisyah menjawab "Allah tidak pernah menurunkan ayat Al-Qur'an tentang kasus
seseorang tertentu di antara kita kecuali ayat yang melepaskan aku dari tuduhan berbuat jahat,
andaikata aku mau menjelaskan orang yang menjadi kasus turunya ayat tesebut niscaya akan
kujelaskan.
Tetap update informasi di manapun dengan http://m.Abatasa.com dari browser ponsel anda!
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab suci kaum muslimin dan menjadi sumber ajaran Islam yang
pertama dan utama yang harus mereka imani dan aplikasikan dalam kehidupan mereka agar
mereka memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Karena itu, tidaklah berlebihan jika selama
ini kaum muslimin tidak hanya mempelajari isi dan pesan-pesannya. Tetapi juga telah berupaya
semaksimal mungkin untuk menjaga otentitasnya. Upaya itu telah mereka laksanakan sejak Nabi
Muhammad Saw masih berada di Mekkah dan belum berhijrah ke Madinah hingga saat ini.
Dengan kata lain upaya tersebut telah mereka laksanakan sejak al-Qur’an diturunkan hingga saat
ini. Mengenai mengerti asbabun nuzul sangat banyak manfaatnya. Karena itu tidak benar orang-
orang mengatakan, bahwa mempelajari dan memahami sebab-sebab turun al-Qur’an itu
tidak berguna, dengan alasan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an itu telah
masuk dalam ruang lingkup sejarah. Di antara manfaatnya yang praktis ialah menghilangkan
mengetahui ceritera yang berhubungan dengan ayat-ayat itu, tegasnya untuk mengetahui tafsir
yang terkandung dalam ayat itu harus mengetahui sebab-sebab ayat itu diturunkan.
Ulama salaf tatkala terbentur kesulitan dalam memahami ayat, mereka segera kembali
berpegang pedoman asbabun nuzulnya. Dengan cara ini hilanglah semua kesulitan yang mereka
Dalam hal ini penulis mencoba menuangkan dalam bentuk makalah yang berjudul
“ASBABUN NUZUL” dengan harapan semoga makalah ini dapat menambah keimanan dan
BAB II
PEMBAHASAN
Di kalangan para ulama dan pakar bahasa Arab tidak ada kesepakatan tentang ucapan,
asal pengambilan dan arti kata al-Qur’an. Di antara mereka berpendapat bahwa kata al-Qur’an
itu harus diucapkan tanpa huruf hamzah. Termasuk mereka yang berpendapat demikian adalah
al-Syafi’i al-Farra dan al-Asy’ari. Para pakar lain berpendapat bahwa kata al-Qur’an tersebut
harus diucapkan dengan memakai huruf hamzah. Termasuk mereka yang berpendapat seperti ini
Kalau berkenaan dengan al-Qur’an menurut bahasa, para ulama telah berbeda pendapat,
demikian pula sikap mereka dalam memberikan definisinya. Misalnya, Prof. DR. Syekh
اللفظ العربي المنزل على نبينا محمد صلى هللا عليه وسلم المنقول إلينا بالتواتر
Artinya: “Lafaz Arab yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw dan disampaikan kepada
Al-Qur’an juga mengandung sebab-sebab diturunkannya suatu ayat yang dikenal dengan
istilah “Asbabun Nuzul”. Tetapi dalam keseluruhan isi al-Qur’an, tidak semuanya ada ayat yang
Secara etimologis, asbabun nuzul ayat itu berarti sebab-sebab turun ayat. alam pengertian
sederhana turunnya suatu ayat disebabkan oleh suatu peristiwa, sehingga tanpa adanya peristiwa
itu, ayat tersebut itu tidak turun. Sedangkan menurut Subhi Shalih misalnya menta’rifkan
.ما نزلة األية او اآليات بسببه متضمنة له أو مجيبة عنه أو مبينة لحكمه زمن وقوعه
“Sesuatu yang dengan sebabnyalah turun sesuatu ayat atau beberapa ayat yang
mengandung sebab itu, atau memberi jawaban tentang sebab itu, atau menerangkan hukumnya;
Yakni, sesuatu kejadian yang terjadi di zaman Nabi Saw, atau sesuatu pertanyaan yang
dihdapkan kepada Nabi dan turunlah suatu atau beberapa ayat dari Allah Swt yang berhubungan
dengan kejadian itu, atau dengan penjawaban pertanyaan itu baik peristiwa itu merupakan
pertengkaran, ataupun merupakan kesalahan yang dilakukan maupun merupakan suatu peristiwa
Definisi yang dikemukakan ini dan yang diistilahi, menghendaki supaya ayat-ayat al-
Memang demikianlah ayat-ayat al-Qur’an. Ada yang diturunkan tanpa didahului oleh
sesuatu sebab dan ada yang diturunkan sesudah didahului sebab. Tetapi hal ini tidak berarti
bahwa setiap orang harus mencari sebab turun setiap ayat, karena tidak semua ayat al-Qur’an
diturunkan. Karena timbul suatu peristiwa dan kejadian. Oleh karena itu, tujuan studi al-Qur’an
mencakup beberapa permasalahan yang hendaknya harus dipelajari bukan saja masalah asbabun
nuzul. Tetapi juga mempelajari masalah bagaimana cara membaca al-Qur’an, bagaimana
tafsirnya dan juga tidak kalah penting masalah nasakh dan mansukh,
mengungkapkan nilai historis sejarah turunnya suatu ayat. Ada perselisihan pendapat di antara
ulama tafsir, pada ungkapan sahabat: “Turunnya ayat ini dalam kasus begini”. Apakah
pengertian ini masuk dalam musnad yakni sesuai bila disebutkan dengan tegas, bahwa turunnya
ayat ini berkaitaan erat dengan kasus tersebut. Jadi masalah mempelajari turunnya suatu ayat
bukan hanya dipahami sebagai doktrin normatif semata, tetapi juga harus dapat dikembangkan
Di antara sekian banyak aspek yang banyak memberikan peran dalam menggali dan
memahami makna-makna ayat al-Qur’an ialah mengetahui sebab turunnya. Oleh karena itu,
mengetahui asbabun nuzul menjadi obyek perhatian para ulama. Bahkan segolongan diantara
mereka ada yang mengklarifikasikan dalam suatu naskah, seperti Ali Al-Maidienie, guru besar
imam Bukhari.
Dari sekian banyak kitab dalam masalah ini, yang paling terkenal ialah: karangan Al-
Wahidie, Ibnu Hajar dan As-Sayuthi. Dan As-Sayuthi telah menyusun dalam suatu kitab besar
Qur’an serta pemahamannya, tidak mungkin dicapai tanpa mengetahui asbabun nuzuul seperti
Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kamu menghadap
Ayat ini kadang kala diartikan, boleh menghadap ke arah mana pun saja selain kiblat.
Pengertian ini jelas salah, sebab di antara syarat sahnya sembahyang ialah menghadap kiblat.
Akan tetapi dengan mengetahui sebab-sebab turunnya, akan jelas pengertian ayat ini, di
mana ayat ini diturunkan bagi siapa yang sedang di tengah perjalanan dan tidak tahu mana arah
kiblat. Maka ia harus berijtihad dan menyelidiki, kemudian sembahyang kemana saja ia
menghadap, sahlah shalatnya. Dan tidak diwajibkan kepadanya bersembahyang lagi setelah
Allah menjadikan segala sesuatu melalui sebab-musabbab dan menurut suatu ukuran.
Tidak seorang pun manusia lahir dan melihat cahaya kehidupan tanpa melalui sebab-musabbab
dan berbagai tahap perkembangan. Tidak sesautu pun terjadi di dalam wujud ini kecuali setelah
melewati pendahuluan dan perencanaan. Begitu juga perubahan pada cakrawala pemikiran
manusia terjadi setelah melalui persiapan dan pengarahan. Itulah sunnatullah (hukum Allah)
yang berlaku bagi semua ciptaan-Nya, “dan engkau tidak akan menemukan perubahan pada
Tidak ada bukti yang menyingkap kebenaran sunnatullah itu selain sejarah, demikian pula
penerapannya dalam kehidupan. Seorang sejarahwan yang berpandangan tajam dan cermat
mengambil kesimpulan, dia tidak akan sampai kepada fakta sejarah jika tidak mengetahui sebab-
Tapi tidak hanya sejarah yang menarik kesimpulan dari rentetan peristiwa yang
mendahuluinya, tapi juga ilmu alam, ilmu sosial dan kesusastraan pun dalam pemahamanya
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang
berasal dari Rasulullah Saw atau dari sahabat. Itu disebutkan pemberitahuan seorang sahabat
mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat, tetapi ia mempunyai
hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah. Al-Wahidie mengatakan, “Tidak halal berpendapat
mengenai asbabun Nuzul kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar
telah menentang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun
nuzul. Bahkan ia menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat,
dengan mengatakan “Sekarang setiap orang suka mengada-ngada dan berbuat dusta: ia
menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan acaman berat bagi orang
mengisyaratkan kepada dzauq yang tinggi. Sebenarnya, asbabun nuzul tidaklah lain daripada
kisah yang dipetik dari kenyataan dan kejadian, baik mengenai peristiwanya, maupun mengenai
orang-orangnya. Dan kisah nuzul menimbulkan kegemaran untuk membaca kisah itu di setiap
masa dan tempat, serta menghilangkan kejemuan, karena merasakan bahwa kisah-kisah
H. Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Beberapa Riwayat Mengenai (Asbabun
Nuzul)
Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam keadaan
urusan ini”, atau “Aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini”, maka dalam hal ini
tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat
dan disimpulkan darinya, bukan menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila ada karinah atau
indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzulnya.
2. Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “Ayat ini turun
mengenai urusan ini”. Sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas
yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat
yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas; dan riwayat yang lain dipandang termasuk
“istri-istrimu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah
tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki”. (Q.S. Al-Baqarah, 2 :
223)
Dari nafi disebutkan “Pada suatu hari aku membaca (istri-istri adalah ibarat tempat kamu
bercocok tanam), maka kata Ibnu Umar: “Tahukah engkau mengenai apa ayat ini
diturunkan?” Aku menjawab: “Tidak”, ia berkata ayat ini turun mengenai persoalan
Bentuk redaksi riwayat dari Ibnu Umar ini tidak dengan tegas menunjukkan sebab nuzul.
Sementara itu terdapat riwayat yang sangat tegas menyebutkan sebab nuzul yang bertentangan
dengan riwayat tersebut. Melalui Jabir dikatakan orang-orang Yahudi berkata: “Apabila
seorang laki-laki mendatangi istrinya dari arah belakang maka anaknya nanti akan bermata
Maka Jabir inilah yang dijadikan pegangan, karena ucapannya merupakan pernyataan
tegas tentang asbabun nuzul. Sedangkan ucapan Ibnu Umar, tidaklah demikian. Karena itulah ia
Diriwayatkan oleh Ibnu jarir, Abu Ya’la, Ibnu Mardaweh, Bukhari, Ath-Thabrany
dalam Al-Ausath bahwa pada masa Nabi Saw ada seorang laki-laki mendatangi istrinya dari arah
belakang, kemudian orang-orang membencinya. Kemudian turunlah ayat 223 surah al-Baqarah.
Dari beberapa riwayat tersebut jelaslah terdapat beberapa perbedaan tentang turunnya suatu ayat.
Namun apabila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, sedang salah satu
riwayat di antaranya itu shahih, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang shahih.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Al-Qur’an merupakan mu’jizat terbesar yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi
Muhammad Saw dengan perantaraan Malikat Jibril As. disampaikan secara mutawatir
dan bernilai ibadah bagi yang membacanya baik di dalam shalat maupun di luar shalat.
Al-Qur’an yang memiliki cita-cita para Nabi, dan menguraikan masalah hukum-hukum
a. Masalah asbabun nuzul ayat yaitu sebab-sebab ayat-ayat al-Qur’an diturunkan.
b. Adapun asbabun nuzul mempunyai ruang lingkup pembahasan yang berkaitan
peristiwa dan ungkapan kata, baik teks ayat, maupun redaksi ayat.
dimana para ulama berpedoman langsung kepada riwayat yang shahih yang berasal dari
Nabi Saw atau dari shabat sejak zaman tarikh Islam klasik yang berisikan kisah-kisah
nuzulnya ayat mengenai asbabun nuzulnya suatu ayat terkadang para ulama telah terjadi
a. Apabila bentuk-bentuk redaksi ayat itu tidak tegas, seperti “Aku mengira ayat ini
turun mengenai urusan ini” maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi.
b. Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti “Ayat ini turun
mengenai urusan ini”, sedang riwayat lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas
yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat
yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas, dan riwayat yang lain dipandang
turunnya ayat-ayat al-Qur’an itu, dan dengan demikian dapat memahami al-Qur’an
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aththar, Dawud, Dr., Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an, Pengantar DR. M. Quraish Shihab,
Beirut, Pustaka Hidayah, 1979.
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Litera Antarnusa, Pustaka Islamiyah, 1973.
Ash-Shidieqy, T. M. Hasbi, Prof., Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Media Pokok dalam Menafsirkan Al-
Qur’an, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.
As-Shalih, Subhi, Dr., Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Beirut, Pustaka Firdaus, 1985.
Athaillah, A., Sejarah Al-Qur’an dan Verifikasi Tentang Otentitas Al-Qur’an, Banjarmasin,
Antasari Press, 2007.
Bakar, Rohadi Abu, Asbabun Nuzul (Sebab-sebab Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), Semarang,
Wicaksana, 1986.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, Yayasan Penyelenggara Al-Qur’an, 1997.
Hasan, Muhammad Tholhah, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman, Jakarta,
Lantabora Press, 2005.
Khalafullah, Muhammad A., Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah Seni, Sastra dan Moralitas dalam
Kisah-Kisah Al-Qur’an, Jakarta, Paramadina, 2002.
Mudzhar, M. Atho, Dr., H., Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 1998.
Syafi’i, Rachmat, MA., Prof. DR. H., Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung, Pustaka Setia, 1973.
JUDUL MAKALAH
ASBABUN NUZUL
Ilmu Al-Qur’an
OLEH
MUHAMMAD ZULKANI
NIM. 07.02.11.0326
Al-Syafi’i adalah seorang pakar fiqih dan ushul fiqih, hadits, tafsir, dan bahasa Arab, dan
pendiri mazhab Syafi’i. beliau wafat pada tahun 204 H.
Al-Farra adalah seorang pakar tafsir dan pakar bahasa Arab yang wafat pada tahun 2007
H.
Al-Asy’ari adalah seorang pakar ilmu kalam dan pendiri aliran Asy’ariyah yang wafat
pada tahun 224 H.
Al-Zajjaj adalah seorang pakar bahasa Arab yang wafat pada tahun 311 H.
Al-Lihyani adalah seorang ahli bahasa Arab yang wafat pada tahun 215 H.
Prof. Dr. H. Rachmat Syafi’, MA., Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia,
1973), cet. Ke-1, h. 24.
Dr. Dawud Al-Aththar, Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an, Pengantar DR. M. Quraish
Shihab, (Beirut: Pustaka Hidayah, 1979), h. 127.
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Litera Antarnusa: Pustaka Islamiyah,
1973), cet. Ke-3, h. 107.
Dr. H. M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), cet. Ke-8, h. 19.
Muhammad A. Khalafullah, Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah Seni, Sastra dan Moralitas
dalam Kisah-Kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 25.
Ibid., h. 159.
Ibid., h. 160.
Hadits Riwayat Bukhari dan lainnya, h. 15.
ASBABUN NUZUL
Oleh : Muhammad Muhibbuddin
Urgensi asbabunnuzul
Seperti yang dikatakan oleh ulama salaf bahwa di antara kegunaan mempelajari asbabun nuzul
adalah bisa untuk mengetahui aspek hikmah yang mendorong munculnya hukum di-tasyri’kan
(diundangkan); mentakhsish hukum bagi mereka yang mempunyai pendapat bahwa yang
menjadi pertimbangan adalah “sebab khsus”; terkadang ada kata yang umum dan ada dalil yang
berfungsi mentakhsisnya.
Pentingnya ilmu asbabun nuzul dalam ilmu Al-Qur’an, seperti yang dijelaskan oleh Abu
Mujahid , adalah oleh guna mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat-
ayatnya.Ilmu Asbabun Nuzul mempunyai pengaruh yang penting dalam memahami ayat,
karenanya kebanyakan ulama begitu memperhatikan ilmu tentang Asbabun Nuzul bahkan ada
yang menyusunnya secara khusus. Diantara tokoh (penyusunnya) antara lain Ali Ibnu al-Madiny
guru Imam al-Bukhari r.a.Kitab yang terkenal dalam hal ini adalah kitab Asbabun Nuzul
karangan al-Wahidy sebagaimana halnya judul yang telah dikarang oleh Syaikhul Islam Ibnu
Hajar. Sedangkan as-Sayuthy juga telah menyusun sebuah kitab Oleh karena pentingnya ilmu
asbabun nuzul dalam ilmu Al-Qur’an guna mempertegas dan mempermudah dalam memahami
ayat-ayatnya, dapatlah kami katakan bahwa diantara ayat Al-Qur’an ada yang tidak mungkin
dapat dipahami atau tidak mungkin diketahui ketentuannya/hukumnya tanpa ilmu Asbabun
Nuzul.
DAFTAR PUSTAKA :
-Zaid, Nasr hamid Abu, Tekstualitas al-Qur’an, LkiS Yogyakarta, 2005
-Fadhliyur’s.com
-Mujahid, Abu, pada wordpress.com
Dalam tulisan singkat ini akan sedikit membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan asbab-
an-nuzul, mulai dari pengertian, macam-macam asbabunnuzul, fungsi pentingnya dari asbabunnuzul itu
sendiri serta kaidah yang terkandung dalam penetapan hukum yang terkait dalam asbabunnuzul.
Namun, kesempurnaan makalah ini kami sadari masih sangatlah jauh, sehingga mungkin bagi kita untuk
terus belajar dan mendalaminya di kesempatan yang mendatang.
A. Pengertian
Menurut bahasa (etimologi), asbabun nuzul berarti turunnya ayat-ayat al-Qur’an[1] dari kata
“asbab” jamak dari “sababa” yang artinya sebab-sebab, nuzul yang artinya turun. Yang dimaksud disini
adalah ayat al-Qur’an. Asbabun nuzul adalah suatu peristiwa atau saja yang menyebabkan turunnya
ayat-ayat al-Qur’an baik secara langsung atau tidak langsung.
Menurut istilah atau secara terminologi asbabun nuzul terdapat banyak pengertian, diantaranya
:
1. Menurut Az-Zarqani
“Asbab an-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat al-
Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
2. Ash-Shabuni
“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat
mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan
kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama”.
3. Subhi Shalih
ما نزلت اآلية اواآيات بسببه متضمنة له او مجيبة عنه او مبينة لحكمه زمن وقوعه
“Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an yang
terkadang menyiratkan suatu peristiwa sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-
hukum ketika peristiwa itu terjadi”.[2]
4. Mana’ al-Qathan
5. Nurcholis Madjid
Menyatakan bahwa asbab al-nuzul adalah konsep, teori atau berita tentang adanya sebab-sebab
turunnya wahyu tertentu dari al-Qur’an kepada Nabi saw baik berupa satu ayat, satu rangkaian ayat
maupun satu surat.[4]
Kendatipun redaksi pendefinisian di atas sedikit berbeda semua menyimpulkan bahwa asbab an-
nuzul adalah kejadian/peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an dalam rangka
menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut.
Mengutip pengertian dari Subhi al-Shaleh kita dapat mengetahui bahwa asbabun nuzul ada
kalanya berbentuk peristiwa atau juga berupa pertanyaan, kemudian asbabun nuzul yang berupa
peristiwa itu sendiri terbagi menjadi 3 macam :
Yang bermula dari adanya perselisihan oleh kaum Aus dan Khazraj hingga turun ayat 100 dari surat Ali
Imran yang menyerukan untuk menjauhi perselisihan.
Saat itu ada seorang Imam shalat yang sedang dalam keadaan mabuk, sehingga salah mengucapkan
surat al-Kafirun, surat An-Nisa’ turun dengan perintah untuk menjauhi shalat dalam keadaan mabuk.
Ini dicontohkan dengan cita-cita Umar ibn Khattab yang menginginkan maqam Ibrahim sebagai tempat
shalat, lalu turun ayat
والتخذ وامن مقام ابراهيم مصلّى
Sedangkan peristiwa yang berupa pertanyaan dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
2. Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada waktu itu seperti ayat:
1. Dilihat dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbab an-nuzul
a. Sarih (jelas)
Artinya riwayat yang memang sudah jelas menunjukkan asbabunnuzul dengan indikasi menggunakan
lafal (pendahuluan).
Riwayat belum dipastikan sebagai asbab an-Nuzul karena masih terdapat keraguan.
2. Dilihat dari sudut pandang terbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat atau terbilangnya ayat untuk satu
sebab asbab an-nuzul.
2. Penegasan bahwa Allah benar-benar memberikan perhatian penuh pada rasulullah saw dalam
menjalankan misi risalahnya.
3. Penegasan bahwa Allah selalu bersama para hambanya dengan menghilangkan duka cita mereka
10. Seorang dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umum dan dalam keadaan
bagaimana ayat itu mesti diterapkan.
Asbab an-nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. Oleh karena itu, tidak
boleh tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatan (pentransmisian) yang
benar (naql as-shalih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung turunnya ayat al-Qur’an.
[9]
Al-wahidi berkata :
اهدواالتنزيلÎÎماع ممن شÎÎة والسÎÎاب االّ بالروايÎÎزول الكتÎÎباب نÎÎول فى اسÎÎل القÎÎال يح
ووقفوا على االسباب وبحثوا عن علمها
“Tidak boleh memperkatakan tentang sebab-sebab turun al-Qur’an melainkan dengan dasar riwayat dan
mendengar dari orang-orang yang menyaksikan ayat itu diturunkan dengan mengetahui sebab-sebab
serta membahas pengertiannya”.
Sejalan dengan itu, al-Hakim menjelaskan dalam ilmu hadits bahwa apabila seorang sahabat
yang menyaksikan masa wahyu dan al-Qur’an diturunkan, meriwayatkan tentang suatu ayat al-Qur’an
bahwa ayat tersebut turun tentang suatu (kejadian). Ibnu al-Salah dan lainnya juga sejalan dengan
pandangan ini.
Berdasarkan keterangan di atas, maka sebab an-nuzul yang diriwayatkan dari seorang sahabat
diterima sekalipun tidak dikuatkan dan didukung riwayat lain. Adapun asbab an-nuzul dengan hadits
mursal (hadits yang gugur dari sanadnya seorang sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai
kepada seorang tabi’in). riwayat seperti ini tidak diterima kecuali sanadnya sahih dan dikuatkan hadits
mursal lainnya.
Biasanya ulama menggunakan lafadz-lafadz yang tegas dalam penyampaiannya, seperti: “sebab
turun ayat ini begini”, atau dikatakan dibelakang suatu riwayat “maka turunlah ayat ini”.
Contoh : “beberapa orang dari golongan Bani Tamim mengolok-olok Bilal, maka turunlah ayat
Yaa aiyuhal ladzina amanu la yaskhar qouman”.
Asbabun Nuzul sangatlah erat kaitannya dengan kaidah penetapan hukum. Seringkali terdapat
kebingungan dan keraguan dalam mengartikan ayat-ayat al-Qur’an karena tidak mengetahui sebab
turunnya ayat. Contohnya firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 115 yang artinya :
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.
Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Firman Allah itu turun berkenaan dengan suatu peristiwa yaitu beberapa orang mukmin
menunaikan shalat bersama Rasulullah saw. Pada suatu malam yang gelap gulita sehingga mereka tidak
dapat memastikan arah kiblat dan akhirnya masing-masing menunaikan shalat menurut perasaan
masing-masing sekalipun tidak menghadap arah kiblat karena tidak ada cara untuk mengenal kiblat.
Seandainya tidak ada penjelasan mengenai asbabun nuzul tersebut mungkin masih ada orang
yang menunaikan shalat menghadap ke arah sesuka hatinya dengan alasan firman Allah surat al-Baqarah
ayat 115.[10]
KESIMPULAN
1. Asbabun nuzul adalah sebab turunnya al-Qur’an (berupa peristiwa/pertanyaan) yang melatarbelakangi
turunnya ayat al-Qur’an dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah
yang timbul dari kejadian tersebut.
2. Asbabun nuzul terdiri dari kata asbab (jamak dari sababa yang artinya sebab-sebab), dan nuzul (artinya
turun).
a. Dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbabun nuzul meliputi sharih dan
muhtamilah
b. Dari sudut pandang terbilangnya asbab an-nuzul untuk satu ayat atau terbilangnya ayat untuk satu asbab
an-nuzul meliputi :
b. Penegasan bahwa Allah benar-benar memperhatikan Rasul dalam menjalankan misi risalahnya
c. Penegasan bahwa Allah selalu bersama para hambanya dengan menghilangkan duka cita mereka
h. Memudahkan menghafal dan memahami ayat serta memantapkan wahyu di hati orang yang
mendengarnya
5. Cara mengetahui riwayat asbabun nuzul melalui periwayatan yang benar dari orang-orang yang melihat
dan melihat langsung turunnya ayat
6. Kaidah hukum yang belum jelas dalam al-Qur’an, dapat dipermudah dengan mengetahui asbab-nuzulnya.
Karena dengannya penafsiran ayat lebih jelas untuk dipahami.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadehirjin, Moh., Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Primayasa, 1998.
Al-Qathan, Mana’, Mabahits fi Ulumul Qur’an, Mansyurat al-Ahsan al-Hadits, t.tp., 1973.
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shaleh, Dasar-dasar Penafsiran al-Qur’an, Semarang: Dina Utama, 1989.
Syadali, Ahmad, dan Ahmad Rifa’i, Ulumul Qur’an I, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
[1] Ahmad Syadali dan Ahmad Rifa’i, Ulumul Qur’an I, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hlm. 89.
[2] Subhi Shalih, Mabahits fi ‘Ulumul Qur’an, Dar al-Qalam li Al-Malayyin, Beirut, 1988, hlm. 132.
[3] Mana’ al-Qathan, Mabahits fi Ulumul Qur’an, Mansyurat al-Ahsan al-Hadits, t.tp., 1973, hlm.
78.
[4] Moh. Ahmadehirjin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Primayasa,
1998, hlm. 30.
[5] Dr. Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hlm. 72.
[6] Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Dasar-dasar Penafsiran al-Qur’an, Semarang: Dina
Utama, 1989, hlm. 14-16.
[8] Allamah M.H. Thaba’thaba’i, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1987, hlm.
121.
[10] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985, hlm.
b. Ilmu Makki dan Madani, yaitu bagian dari ulumul Qur’an yang mempelajari ayat-
ayat mana yang turun di Makkah dan ayat-ayat mana yang turun di Madinah. Para ulama
begitu tertarik untuk meneliti surat-surat Makiyah dan surat-surat Madaniyah, mereka
meneliti surat demi surat untuk diterbitkan sesuai dengan nuzulnya. Bahkan lebih dari
mereka juga mengumpulkan waktu, tempat dan pola kalimat. Diantara materi yang
dipelajari oleh para ulama dalam pembahasan ini adalah :
8. Yang serupa dengan yang diturunkan di Makkah dalam kelompok Madani.
9. Yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalam kelompok Makki.
Inilah pokok-pokok pembahasan dalam Ilmu Makki wal Madani. Diantara kitab yang
di dalamnya membahas ilmu Makki dan Madani adalah Al Itqan fil Ulumil Qur’an karya Imam
Jalaluddin As Suyuthi : wafat 911 H.
c. Ilmu Fawatihus Suwar, yaitu bagian dari ulumul Qur’an yang membahas surat-
surat yang dimulai dengan huruf-huruf Hijaiyah tertentu. Diantara huruf-huruf yang sering
dipakai dalam Al-Qur’an sebagai permulaan adalah : Huruf Alif, Lam, Mim, Ra’, Shaad, Qaaf,
Kaaf, Haa, ‘Ain, Yaa, Tha, Sin, Nun dan Ha. Masing-masing surat memiliki fawatihus suwar
yang berbeda-beda, ada yang berjumlah satu, ada yang dua bahkan ada yang sampai lima.
Para ulama juga berbeda-beda dalam menafsirkan huruf-huruf itu, diantara mereka ada
menyerahkan semuanya kepada Allah, ada pula yang menisbatkan huruf-huruf itu kepada
sifat-sifat Allah dan lain sebagainya.
d. Ilmu Qiraat, yaitu bagian dari ulumul Qur’an yang membahas tentang cara dan
kaifiyat dalam membaca Al-Qur'an. Dalam hal ini yang paling terkenal adalah istilah
Qira’atus Sab’ah (Qiraat yang tujuh) atau Qira’atul Asyrah (Qira’at yang sepuluh). Diantara
tokoh-tokoh dalam ilmu Qira’at adalah : Abdullah bin Katsir ad Dari di Mekkah, Nafi bin
Adbur Rahman di Madinah, Abdullah al Yahashibi di Syam, Abu ‘Amer di Bashrah, Hamzah
dan Ashim di Kufah dll.
e. Ilmu Nasikh wal Mansukh, yaitu bagian dari Ulumul Qur’an yang membahas ayat-
ayat yang terhapus (mansukh) dan ayat-ayat yang menghapus (nasikh). Para ulama
berselisih pendapa tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an. Diantara mereka ada yang
berpendapat bahwa tidak mungkin ada ayat Al-Qur’an yang mansukh, karena Al-Qur’an
merupakan ayat yang muhkamat. Diantara mereka ada juga yang berpendapat adanya
naskh dalam Al-Qur’an sebagaimana firman Allah yang terdapat dalam surat :
“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya
padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya
kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada
mengetahui.” (Q.S. An Nahl : 101)
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah
kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (Q.S. Al
Baqarah : 106)
Jumhur ulama mengatakan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang
telah dimansukh oleh ayat yang datang terakhir kali. Dalam hal ini Imam Jalaluddin As
Suyuthi banyak menjabarkan dalam kitabnya yang berjudul Al Itqan dan At Tahbir Fii Ilmi
Tafsir.
f. Ilmu Rasmil Qur’ani, yaitu bagian dari ulumul Qur’an yang membahas tentang
perumusan dalam penulisan mushaf Al-Qur’an. Diantara mushaf yang paling masyhur dan
telah disepakati oleh jumhur ulama adalah Mushaf Utsmani. Rasam inilah yang memiliki
kedudukan tinggi, karena khalifah sendiri yang menyetujuinya dan menetapkannya,
sehingga ia disebut sebagai mushaf imam.
g. Ilmu Muhkam dan Mutasyabih, secara bahasa bahwa yang disebut Muhkam
adalah sesuatu yang paten dan kokoh, sedang mutasyabih adalah adanya penyerupaan
antara dua jenis benda. Dalam hal ini pengertian ayat-ayat muhkam menurut istilah syar’i
adalah ayat-ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedang ayat-ayat mutasyabih adalah
ayat yang hanya diketahui maknanya oleh Allah sendiri. Ayat muhkam berarti ayat yang
memiliki satu bentuk (wahjun), sedang mutasyabih mengandung banyak wajah. Ayat
muhkam juga berarti ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, sedang
mutasyabih adalah ayat yang memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat
yang lain. Para ulama memberikan contoh beberapa ayat-ayat muhkam, diantaranya adalah
ayat-ayat yang membahas masalah halal dan haram, hudud, kewajiban, janji dan ancaman.
Sedang diantara contoh ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang berbicara tentang
asma’ dan sifat Allah, termasuk diantaranya masalah-masalah yang membahas tentang
alam akhirat.
h. Ilmu Amtsalli Qur’an, yaitu bagian dari ulumul Qur’an yang membahas tentang
berbagai perumpamaan yang Allah buat dalam Al-Qur’an. Objeknya adalah kisah, keadaan,
binatang, benda-benda dan hal-hal yang biasanya menarik perhatian dan menakjubkan. Di
dalam Al-Qur’an ada tiga macam amtsal, yaitu amtsal musharah (amtsal yang tegas),
amtsal kaminah (amtsal yang tersembunyi), dan amtsal mursalah (yang terlepas). Diantara
faedah dan adanya amtsal dalam Al-Qur’an adalah untuk mengumpulkan makna yangindah
dalam satu ibarat yang pendek, ia juga berfungsi untuk mengungkap hakikat-hakikat dan
mengemukakan sesuatu yang jauh dari fikiran hingga menjadi dekat dengan fikiran.
i. Ilmu Qashashil Qur’an, yaitu bagian dari ulumul Qur’an yang membahas tentang
kisah-kisah di dalam Al-Qur’an. Ia meliputi kisah-kisah para nabi, kisah-kisah umat-umat
terdahulu, dan kisah-kisah yang berkaitan dengan kehidupan Rasulullah SAW. Diantara
faedah dari semua ini adalah untuk menjelaskan dasar-dasar dakwah pada agama Allah dan
menerangkan pokok-pokok syariat yang disampaikan oleh para nabi. Kisah itu juga
berfungsi untuk mengokohkan hati Rasulullah SAW dan umatnya agar yakin dalam
berpegang teguh kepada agama ini bahwasanya Allah akan memberikan pertolongan kepada
hamba-Nya. Hikmah lainnya adalah untuk menampakkan kebenaran risalah nabi
Muhammad, dimana beliau dapat menerangkan sifat-sifat umat-umat terdahulu.
j. Ilmu Jadalil Qur’an, yaitu bagian dari ilmu ulumul Qur’an yang membahas tentang
debat di dalam Al-Qur'an. Jadal atau munadharah bisa berarti membantah atau mendebat
sesuatu, maksudnya membantah pendapat orang kafir dan mematahkan hujjah-hujjah
mereka. Tujuan dari jadal atau munadharah ini untuk menunjukkan kelemah dan
kekurangan mereka, serta menampakkan kebenaran dan misi risalah yang dibawa oleh
Rasulullah SAW.
k. Ilmu Aqsamil Qur’an, yaitu bagian dari ulumul Qur’an yang membicarakan tentang
sumpah-sumpah di dalam Al-Qur'an. Fungsi dari adanya sumpah ini adalah untuk
menekankan kebenaran isi Al-Qur'an, karena benda-benda yang dijadikan Allah sebagai
sumpah merupakan benda-benda yang memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh benda
lainnya. Diantara benda yang sering digunakan untuk bersumpah adalah : matahari, malam,
waktu siang, waktu subuh, waktu ashar, kuda perang, bulan dll.
l. Ilmu Tafsir Al-Qur'an, ilmu inilah yang menempati bagian terbesar dalam ulumul
Qur’an, karena hampir semua ilmu-ilmu Al-Qur'an lainnya berfungsi untuk membantu
menafsirkan ayat Al-Qur'an. Para ulamat salaf sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-
ayat Al-Qur'an, bila mereka tidak mengerti maka mereka akan mengembalikan
permasalahan itu kepada orang yang lebih mengerti, dalam hal ini adalah Rasulullah SAW
dan para sahabatnya. Tokoh sahabat yang menjadi penterjemah Al-Qur'an adalah Ibnu
Mas’ud dan Ibnu Abbas. Keduanya sering disebut sebagai Syeikhul Mufassirin
Sebagian orang ada yang beranggapan bahwa ilmu Asbabun Nuzul tidak ada gunanya dan tidak
ada pengaruhnya karena pembahasannya hanyalah berkisar pada lapangan sejarah dan ceritera.
Menurut anggapan mereka ilmu Asbabun Nuzul tidaklah akan mempermudah bagi orang yang
mau berkecimpung dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Anggapan tersebut adalah salah dan
tidaklah patut didengar karena tidak berdasarkan pendapat para ahli Al-Qur’an yang dikenal
dengan ahli tafsir.
Di sini akan diungkap secara sekilas pendapat sebagian ulama dan kemudian akan disertakan
beberapa faedah tentang ilmu Asbabun Nuzul.
Al-Wahidy berpendapat: “menafsirkan ayat tanpa bertitik tolak dari sejarah dan penjelasan
turunnya tidaklah mungkin.”
Ibnu Daqiqil ‘Ied berpendapat: “Keterangan tentang Asbabun Nuzul adalah merupakan salahsatu
jalan yang tepat dalam memahami Al-Qur’an.”
Ibnu Taimiyah berpendapat: “Ilmu Asbabun Nuzul akan membantu dalam memahami ayat,
karena ilmu tentang sebab akan menimbulkan ilmu tentang akibat”.
Dengan demikian akan jelaslah pentingnya ilmu Asbabun Nuzul sebagai bagian dari ilmu Al-
Qur’an.
Adapun faedah dari ilmu Asbabun Nuzul dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama:
Marwan ibnul Hakam sulit dalam memahami ayat:
Janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang bergembira dengan apa yang
mereka telah kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka
kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksaan. (Ali Imrân: 188).
Beliau memerintahkan kepada pembantunya: “Pergilah menemui Ibnu Abbas dan katakan
kepadanya, bila semua orang telah merasa puas dengan apa yang telah ada dan ingin dipuji
terhadap perbuatan yang belum terbukti hasilnya pasti ia akan disiksa dan kamipun akan terkena
siksa”. Ibnu Abbas menjelaskan kepadanya (pembantu), bahwa ia (Marwan) merasa kesulitan
dalam memahami ayat tersebut dan kemudian Ibnu Abbas menjelaskannya: “Ayat tersebut turun
sehubungan dengan persoalan Ahli Kitab (Yahudi) tatkala ditanya oleh Nabi SAW, tentang
sesuatu persoalan dimana mereka tidak menjawab pertanyaan yang sebenarnya ditanyakan,
mereka mengalihkan kepada persoalan yang lain serta menganggap bahwa persoalan yang
ditanyakan oleh Nabi kepadanya telah terjawab. Setelah itu mereka meminta pujian kepada Nabi,
maka turunlah ayat tersebut di atas. (HR. Bukhari Muslim).
Kedua:
Urwah Ibnu Jubair juga mengalami kesulitan dalam memahami makna firman Allah SWT:
Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Barangsiapa yang
beribadah Haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i
antara keduanya. (Al-Baqarah: 158).
Menurut zhahir ayat dinyatakan bahwa sa’i antara Shafa dan Marwah adalah tidak wajib, bahkan
sampai Urwah ibnu Zubair mengatakan kepada bibinya Aisyah r.a.: “Hai bibiku! sesungguhnya
Allah telah berfirman: “tidak mengapa baginya untuk melakukan sa’i antara keduanya”, karena
itu saya berpendapat bahwa “tidak apa-apa bagi orang yang melakukan Haji Umrah sekalipun
tidak melakukan sa’i antara keduanya”. Aisyah seraya menjawab: “Hai keponakanku! kata-
katamu itu tidak benar. Andaikata maksudnya sebagaimana yang kau katakan niscaya Allah
berfirman “tidak mengapa kalau tidak melakukan sa’i antara keduanya”.
Setelah itu Aisyah menjelaskan: bahwasanya orang-orang Jahiliyah dahulu melakukan sa’i antara
Shafa dan Marwah sedang mereka dalam sa’inya mengunjungi dua patung yang bernama Isaar
yang berada di bukit Shafa dan Na’ilah yang berada di bukit Marwah. Tatkala orang-orang
masuk Islam diantara kalangan sahabat ada yang merasa berkeberatan untuk melakukan sa’i
antara keduanya karena khawatir campur-baur antara ibadah Islam dengan ibadah Jahiliyah. Dari
itu turunlah ayat sebagai bantahan terhadap keberatan mereka (yang mengatakan) kalau-kalau
tercela atau berdosa dan menyatakan wajib bagi mereka untuk melakukan sa’i karena Allah
semata bukan karena berhala. Itulah sebabnya Aisyah membantah pendapat Urwah berdasarkan
sebab turun ayat.
Ketiga:
Sebagian Imam mengalami kesulitan dalam memahami makna syarat dalam firman
Allah SWT:
Golongan zhahiriah berpendapat bahwa Ayisah (wanita yang tidak lagi haid karena sudah lanjut
usia) mereka tidak perlu masa iddah bila keayisahannya tidak diragukan lagi. Kesalahpahaman
mereka nampak dengan berdasarkan Asbabun Nuzul, dimana ayat tersebut adalah merupakan
khitab (ketentuan) bagi orang yang tidak mengetahui bagaimana seharusnya dalam masa iddah,
serta mereka ragu apakah mereka perlu iddah atau tidak. Dari itu maka
makna “ ” (bila anda bingung tentang bagaimana mereka dan tidak mengerti tentang
iddah mereka, maka inilah undang-undangnya). Ayat turun setelah ada sebagian shahabat yang
mengatakan bahwa diantara iddah kaum wanita tidak terdapat dalam Al-Qur’an; yaitu wanita
yang masih kecil dan wanita yang Ayisah. Setelah itu turunlah ayat yang menjelaskan ketentuan
tentang mereka. Wallâhu a’lam.
Keempat:
Diantara contoh tentang ilmu Asbabun Nuzul sebagai sanggahan terhadap dugaan hashr (batasan
tertentu) sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Syafi’i tentang firman Allah SWT:
Katakanlah! tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah. (Al-An’âm: 145).
Dalam hal ini beliau mengungkapkan yang maksudnya: bahwa orang kafir ketika mengharamkan
sesuatu yang dihalalkan Allah dan menghala1kan apa yang diharamkan Allah serta mereka
terlalu berlebihan, maka turunlah ayat sebagai bantahan terhadap mereka. Dengan demikian
seolah-olah Allah berfirman “Yang halal hanya yang kamu anggap haram dan yang haram itu
yang kamu anggap halal”.
Dalam hal ini Allah tidak bermaksud menetapkan kebalikan dari ketentuan di atas melainkan
sekedar menjelaskan ketentuan yang haram samasekali tidak menyinggung-nyinggung yang
halal.
Imam Al-Haramain berkata “uslub ayat tersebut sangat indah. Kalau saja Imam Syafi’i tidak
mengatakan pendapat yang demikian niscaya kami tidak dapat menarik kesimpulan perbedaan
imam Malik dalam hal hashr/batasan hal yang diharamkan sebagaimana disebutkan dalam ayat
di atas”.
Sekedar penjelasan dari uraian di atas saya berpendapat bahwa zhahir ayat menunjukkan batasan
yang haram, dimana yang haram adalah hanya yang tersebut dalam ayat di atas, padahal
persoalannya tidak demikian, karena di samping yang tersebut pada ayat di atas masih ada lagi
yang lain, hanya saja mengungkapannya yang berbentuk hash sedang maknanya tidak demikian,
yaitu sebagai bantahan terhadap orang-orang musyrik yang mengharamkan sesuatu yang
sebenarnya dihalalkan Allah dan menghalalkan yang sebenamya diharamkan Allah.
Kelima:
Diantara faedah Asbabun Nuzul adalah untuk mengetahui nama orang yang menjadi kasus
turunnya ayat agar keraguan dan kekaburan menjadi hilang, sebagaimana Marwan menduga
bahwa firman Allah SWT:
Ialah diturunkan sehubungan dengan kasus Abdurrahman ibnu Abi Bakar. Aisyah membantah
bahwa anggapan tersebut adalah salah, ia menjelaskan kepada Marwan tentang sebab turunnya.
Adapun secara lengkap kisah tersebut sebagaimana diriwayatkan Bukhari sebagai berikut:
“Marwan adalah seorang amil (Gubernur) wilayah Madinah. Muawiyah menginginkan agar
Yazid menjadi khalifah setelah kemangkatannya. Ia menulis surat kepada Marwan tentang
persoalannya. Karenanya Marwan mengumpulkan rakyat dan berpidato di hadapan mereka.
Dalam pidatonya ia menyebutkan nama Yazid (memfigurkan). Dalil ia menyeru untuk
membaiatnya sambil berkata: “Sesungguhnya Amirul Mukminin telah diperlihatkan oleh Allah
tentang pendapat yang baik dalam diri Yazid. Bila Amirul Mu’minin mengangkatnya sebagai
khalifah, sungguh Abu Bakar dan Umar pun telah menjadi khalifah”.
Dan orang yang berkata kepada kedua ibu bapaknya cis bagi kamu keduanya, apakah kamu
keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan padahal sungguh telah
berlalu beberapa umat sebelumku?(Al-Ahgat ayat 17)
Dari balik tabir Aisyah menjawab “Allah tidak pernah menurunkan ayat Al-Qur’an tentang kasus
seseorang tertentu di antara kita kecuali ayat yang melepaskan aku dari tuduhan berbuat jahat,
andaikata aku mau menjelaskan orang yang menjadi kasus turunya ayat tesebut niscaya akan
kujelaskan.
Sumber http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/3/1/pustaka-72.html
Al-Qur'an diturunkan untuk memahamipetunjuk kepada manusia kearah tujuan yang terang dan jalan
yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimana kepada allah SWT dan
risalah-Nya, sebagian besar qur'an pada mulanya diturunkan untuk tujuan menyaksikan banyak
peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi diantara mereka khusus yang memerlukan penjelasan hukum
allah SWT.
RUMUSAN MASALAH
TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah agar kita bisa lebih mengenal tentang silsilah asbabun nuzul
dan lebih memudahkan kita untuk mempelajari lebih jauh lagi sehingga dalam proses mempelajarinya
kita tidak menemukan kesulitan.
BAB II
PEMBAHASAN
Untuk menafsirkan qur’an ilmu asbabun nuzul sangat diperlukan sekali, sehingga ada pihak yang
mengkhususkan diri dalam pembahasan dalam bidang ini, yaitu yang terkenal diantaranya ialah Ali bin
madani, guru bukhari, al-wahidi , al-ja’bar , yang meringkaskan kitab al-wahidi dengan menghilangkan
isnad-isnadnya, tanpa menambahkan sesuatu, syikhul islam ibn hajar yang mengarang satu kitab
mengenai asbabun nuzul.
Pedoman dasar para ulama’ dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari
rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pembaritahuan seorang sahabat mengenai asbabun nuzul,
al-wahidi mengatakan: “ tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul kitab, kecuali dengan
berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya.
Mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertian secara bersungguh-sungguh dalam
mencarinya ”.
Para ulama’ salaf terdahulu untuk mengemukakan sesuatu mengenai asbabun nuzul mereka amat
berhati-hati, tanpa memiliki pengetahuan yang jelas mereka tidak berani untuk menafsirkan suatu ayat
yang telah diturunkan. Muhammad bin sirin mengatakan: ketika aku tanyakan kepada ‘ubaidah
mengetahui satu ayat qur’an, dijawab: bertaqwalah kapada allah dan berkatalah yang benar. Orang-
oarang yang mengetahui mengenai apa qur’an itu diturunkan telah meninggal.
Maksudnya: para sahabat, apabila seorang ulama semacam ibn sirin, yang termasuk tokoh tabi’in
terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan kata-kata yang menentukan,
maka hal itu menunjukkan bahwa seseorang harus mengetahui benar-benar asbabun nuzul. Oleh sebab
itu yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang
bentuknya seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan asbabun nuzul.
Al-wahidi telah menentang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat
asbabun nuzul, bahkan dia (Al-wahidi ) menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan
ancaman berat, dengan mengatakan: “ sekarang, setiap orang suka mangada-ada dan berbuat dusta; ia
menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan ancaman berat bagi orang yang
tidak mengetahui sebab turunnya ayat ”.
Aisyah pernah mendengar ketika khaulah binti sa’labah mempertanyakan suatu hal kepada nabi
bahwasannya dia dikenakan zihar. Oleh suaminya aus bin samit katanya: “ Rasulullah, suamiku telah
menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang setelah
aku menjadi tua dan tidak beranak lagi ia menjatuhkan zihar kepadaku”. Ya allah sesunguhnya aku
mengadu kepadamu, aisyah berkata: tiba-tiba jibril turun membawa ayat-ayat ini; sesungguhnya allah
telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya, yakni aus bin
samit.
“Hal ini tidak berarti sebagai acuan bagi setiap orang harus mencari sebab turun setiap ayat”, karena
tidak semua ayat qur’an diturunkan sebab timbul suatu peristiwa dalam kejadian, atau karena suatu
pertanyaan. Tetapi ada diantara ayat qur’an yang diturunkan sebagai permulaan tanpa sebab, mengenai
akidah iman, kewajiban islam dan syariat allah dalam kehidupan pribadi dan social.
Definisi asbabun nuzul yang dikemukakan pada pembagian ayat-ayat al-qur’an terhadap dua kelompok:
Pertama, kelompok yang turun tanpa sebab, dan kedua, adalah kelompok yang turun dengan sebab
tertentu. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tidak semua ayat menyangkut keimanan, kewajiban
dari syariat agama turun tanpa asbabun nuzul.
Sahabat ali ibn mas’ud dan lainnya, tentu tidak satu ayatpun diturunkan kecuali salah seorang mereka
mengetahui tentang apa ayat itu diturunkan seharusnya tidak dipahami melalui beberapa kemungkinan;
Pertama, dengan pernyataan itu mereka bermaksud mengungkapkan betapa kuatnya perhatian mereka
terhadap al-qur’an dan mengikuti setiap keadaan yang berhubungan dengannya. Kedua, mereka berbaik
sangka dengan segala apa yang mereka dengar dan saksikan pada masa rasulullah dan mengizinkan agar
orang mengambil apa yang mereka ketahui sehingga tidak akan lenyap dengan berakhirnya hidup
mereka, bagaimanapun suatu hal yang logis bahwa tidak mungkin semua asbabun nuzul dari semua ayat
yang mempunyai sebab al-nuzul bisa mereka saksikan. Ketiga, para periwayat menambah dalam
periwatnya dan membangsakannya kepada sahabat.
Intensitas para sahabat mempunyai semangat yang tinggi untuk mengikuti perjalanan turunnya wahyu,
mereka bukan saja berupaya menghafal ayat-ayat al-qur’an dan hal-hal yang berhubungan serta mereka
juga melestarikan sunah nabi, sejalan dengan itu al-hakim menjelaskan dalam ilmu hadist bahwa
seorang sahabat yang menyaksikan masa wahyu dan al-qu’an diturunkan tentang suatu ( kejadian )
maka hadist itu dipandang hadist musnad, Ibnu al-shalah dan lainnya juga sejalan dengan pandangan ini.
Asbabun Nuzul dengan hadist mursal, yaitu hadist yang gugur dari sanadnya seoarng sahabat dan mata
rantai periwayatnya hanya sampai kepada seorang tabi’in, maka riwayat ini tidak diterima kecuali
sanadnya shahih dan mengambil tafsirnya dari para sahabat, seperti mujahid, hikmah dan said bin
jubair. para ulama menetapkan bahwa tidak ada jalan untuk mengetahui asbabun nuzul kecuali melalui
riwayat yang shahih. Mereka tidak dapat menerima hasil nalar dan ijtihad dalam masalah ini, namun
tampaknya pandangan mereka tidak selamanya berlaku secara mutlak, tidak jarang pandangan terhadap
riwayat-riwayat asbabun nuzul bagi ayat tertentu berbeda-beda yang kadang-kadang memerlukan Tarjih
( mengambil riwayat yang lebih kuat ) untuk melakukan tarjih diperlukan analisis dan ijtihad.
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbabun nuzul dapat dibagi kepada ta’addud al-asbab wa al-
nazil wahid ( sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau
kelompok ayat yang turun satu ) dan ta’addud al-nazil wa al-sabab wahid (ini persoalan yang terkandung
dalam ayat atau kelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu ). sebab turun
ayat disebut ta’addud karena wahid atau tunggal bila riwayatnya hanya satu, sebaliknya apabila satu
ayat atau sekelompok ayat yang turun disebut ta’addud al-nazil.
Jika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat-ayat dan masing-masing menyebutkan
suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka riwayat ini harus diteliti dan
dianalisis, permasalahannya ada empat bentuk: Pertama, salah satu dari keduanya shahih dan lainnya
tidak. Kedua, keduanya shahih akan tetapi salah satunya mempunyai penguat ( Murajjih ) dan lainnya
tidak. Ketiga, keduanya shahih dan keduanya sama-sama tidak mempunyai penguat ( Murajjih ). Akan
tetapi, keduanya dapat diambil sekaligus. Keempat, keduanya shahih, tidak mempunyai penguat
( Murajjih ) dan tidak mungkin mengambil keduanya sekaligus.
Perlunya mengetahui asbabun nuzul, al-wahidi berkata:” tidak mungkin kita mengetahui penafsiran ayat
al-qur’an tanpa mangetahui kisahnya dan sebab turunnya ayat adalah jalan yang kuat dalam memahami
makna al-qur’an”. Ibnu taimiyah berkata: mengetahui sebab turun ayat membantu untuk memahami
ayat al-qur’an. Sebab pengetahuan tentang “sebab” akan membawa kepada pengetahuan tentang yang
disebabkan (akibat).
Namum sebagaimana telah diterangkan sebelumnya tidak semua al-qur’an harus mempunyai sebab
turun, ayat-ayat yang mempunyai sebab turun juga tidak semuanya harus diketahui sehingga, tanpa
mengetahuinya ayat tersebut bisa dipahami, ahmad adil kamal menjelaskan bahwa turunnya ayat-ayat
al-qur’an melalui tiga cara:
1. Pertama ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan kepada nabi.
2. Kedua ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau pertanyaan.
3. Ketiga ayat-ayat yang mempunyai sebab turun itu terbagi menjadi dua kelmpok;
Ayat-ayat yang sebab turunnya harus diketahui ( hukum ) karena asbabun nuzulnya harus
diketahui agar penetapan hukumnya tidak menjadi keliru.
Ayat-ayat yang sebab turunnya tidak harus diketahui, ( ayat yang menyangkut kisah dalam al-
qur’an).
Kebanyakan ayat-ayat kisah turun tanpa sebab yang khusus, namun ini tidak benar bahwa semua ayat-
ayat kisah tidak perlu mengetahui sebab turunnya, bagaimanpun sebagian kisah al-qur’an tidak dapat
dipahami tanpa pengetahuan tentang sebab turunnya.
1. Membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan allah secara khusus mensyari’atkan
agama-Nya melalui al-qur’an.
2. Membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya.
3. Dapat menolak dugaan adanya Hasr ( pembatasan ).
4. Dapat mengkhususkan (Takhsis) hokum pada sebab menurut ulama yang memandang bahwa
yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafal.
5. Diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah keluar dari hokum yang terkandung dalam
ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya ( yang mengkhususkannya ).
6. Diketahui ayat tertetu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran bisa
membawa kepada penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan bagi orang
yang tidak bersalah.
7. Akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat al-qur’an serta memperkuat keberadaan
wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seteleh mempelajari dan melihat pembahasan yang telah dijabarkan panjang lebar diatas, dapat kami
simpulkan bahwasannya:
“ sebagai suatu hal yang karenanya al-qur’an diturunkan untuk menerangkan status hukumnya, pada
masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”, serta memiliki faedah didalamnya.
Pertama ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan kepada nabi.
Kedua ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau pertanyaan.
Ketiga ayat-ayat yang mempunyai sebab turun itu terbagi menjadi dua kelmpok;
Ayat-ayat yang sebab turunnya harus diketahui ( hukum ) karena asbabun nuzulnya harus
diketahui agar penetapan hukumnya tidak menjadi keliru.
Ayat-ayat yang sebab turunnya tidak harus diketahui, ( ayat yang menyangkut kisah dalam al-
qur’an).
Membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan allah secara khusus mensyari’atkan
agama-Nya melalui al-qur’an.
Membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya
Dapat menolak dugaan adanya Hasr ( pembatasan ).
Dapat mengkhususkan (Takhsis) hokum pada sebab menurut ulama yang memandang bahwa
yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafal.
Diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah keluar dari hokum yang terkandung dalam
ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya ( yang mengkhususkannya ).
Diketahui ayat tertetu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran bisa
membawa kepada penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan bagi orang
yang tidak bersalah.
Akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat al-qur’an serta memperkuat keberadaan
wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya.
DAFTAR PUSTAKA