Professional Documents
Culture Documents
Masa pasca Perang Dunia II memberi peluang bagi banyak negara jajahan
untuk membentuk negara-bangsa masing-masing. Dalam kasus Indonesia
kekalahan Belanda oleh Jepang pada awal Perang Dunia II dan kekalahan
Jepang kemudian terhadap Sekutu memberi peluang bagi bangsa Indonesia
untuk memperoleh kemerdekaannya. Kelihatannya para founding father
Republik Indonesia dengan mudah mencapai kesepakatan untuk membentuk
www.peterkasenda.wordpress 1
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
sebuah negara Indonesia yang didasarkan atas paham kebangsaaan Indonesia
karena memang alternatif itulah yang dianggap terbaik.
Dalam proses budaya, paling kurang ada tiga faktor yang telah menyumbang
terciptanya rasa persatuan Indonesia, Pertama, agama Islam sebagai agama
mayoritas rakyat ; kedua; kenyataan bahwa di Hindia Belanda sejak abad ke
www.peterkasenda.wordpress 2
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
11, bahasa Melayu telah merupakan bahasa pergaulan (lingua franca) ;
ketiga, diperkenalkan sistem pendidikan Belanda di awal abad ke 19. Rasa
ke-Indonesia-an memang secara efektif disebarkan oleh para pedagang Islam
mulai dari Aceh turun ke daerah Minangkabau, terus menyisir pesisir timur
Sumatra ke selatan dan ke timur menyeberang ke Kalimantan dan Jawa Dari
Gresik dan Tuban pun pedagang Islam kemudian menyeberang ke Sulawesi ,
Maluku Utara, dan berhenti di kepala Burung (Sorong) di Papua. Rasa ke-
Umat-an yang kuat di kalangan Muslim telah berhasil mendekat suku-suku
yang demikian beragam dan berjauhan satu dan yang lain. Bersamaan
dengan itu, bahasa Melayu juga turut menyebar bersama dengan agama
Islam. Bahasa Melayu tidak saja menjadi bahasa pergaulan di pasar-pasar
tetapi juga di kantor-kantor pemerintahan kolonial, di kalangan penggemar
buku-buku silat, roman dan novel.
www.peterkasenda.wordpress 3
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
Sebagian orang besar orang menggunakan istilah “Indonesia” menunggu-
nunggu hari ketika Indonesia menjadi negara merdeka, memang daya tarik
kata “Indonesia” sebagian datang dari kesegaran dan rasa pembebasannya,
yang menarik bagi para pemuda pencari identitas baru, berikut betapa
pasnya kata : “Indonesia” melingkupi kesatuan kepulauan Indonesia. Pada
pertengahan 1918, Soeryo Poetro menyatakan bahwa “tanah Indonesia harus
dikembalikan kepada bangsa Indonesia, yang memusatkan perhatian kepada
Negara Indonesia yang akan terwujud ….nasionalisme Indonesia adalah
tujuan mereka yang mengaku sebagai Hindia Poetra, dan republik adalah
bentuk kesatuan Negara Hindia Poetra.
Nama-nama lain bagi entitas politik yang tumbuh di Hindia telah memudar.
Beberapa, seperti Hindia Timur (kurang menggigit dan canggung, serta tidak
khas), Hindia Timur Belanda (sama sekali tak dapat diterima karena
menegaskan dominasi penjajah bangsa lain), Inlander (ditolak, tidak hanya
karena bersifat rasis dan merendahkan, tapi juga karena tidak mengandung
makna khas Indonesia), Insulinde (tak pernah banyak disukai oleh kalangan
orang Indonesia, mungkin sebagian karena berasal dari bahasa Jerman, serta
lebih mungkin karena kesulitan membuat kata benda dan kata sifat untuk
menjabarkan bangsa “Insulinder“ serta kegiatannya). Nusantara (karena
tidak pernah bagian wacana Indologi, dan yang lebih parah, “Nusantara“
mengandung konotasi Jawa-sentris, kesatuan kepulauan di sekeliling Jawa. “
Indonesia” tak selalu diterima dengan antusias, Dwidjosewojo, seorang
anggota BU, lebih suka mempertahankan istilah “Hindia Belanda“ karena
istilah itu “sudah digunakan begitu lama“.
Federalisme tak pernah menjadi prioritas penting bagi para pemikir dan
penggagas utama “Indonesia“. Mereka mencoba menciptakan kesatuan yang
utuh, kesatuan bangsa dari keragaman yang ada di kepulauan Indonesia,
kesadaran mendalam akan kesatuan. Federalisme, yang didasari gagasan
www.peterkasenda.wordpress 4
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
bahwa sebelum dan di dasar bangsa Indonesia sudah ada rasa identitas lokal
khas yang perlu diakomodasi dan didukung, bukan dijauhi dan dibenci,
sering ditolak begitu saja. Namun, Tan Malaka menyeruhkan “Republik
Federal kepulauan Indonesia”. Pandangan Tan Malaka secara umum sejalan
dengan pandangan Hatta, yang cenderung mengakomodasi perbedaan
budaya dalam sistem politik, juga pandangan seorang mahasiswa lain,
Sukiman, yang menambahkan bahwa “federalis atau kesatuan, yang penting
pada saat itu kita harus menjadi seperti satu orang menghadapi dominasi
Belanda. “
Bagi orang-orang seperti politikus Minahasa, rasa identitas lokal lebih akrab,
lebih mengikat, lebih nyata, lebih mendasar dibandingkan gagasan Indonesia
itu sendiri. Indonesia, nilai mereka, sekedar sesuatu yang praktis dan perlu,
hanya satu rekaan, yang paling baik dianggap terdiri atas entitas-entitas
budaya lokal yang otonom, tapi tidak mendominasi dan tidak menuntut
kesetiaan tanpa ragu dan mutlak. Seperti dikatakan Ratulangie pada 1923,”
bangsa Hindia (masa depan?) akan terbentuk dari suku-suku, sebagai bangsa
yang murni politis… kesatuan kehendak politis suku-suku itu sudah cukup
…Federasi suku adalah bangsa politis Hindia.”
www.peterkasenda.wordpress 5
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
Boven Digul sebagai “daerah liar Papua Tengah, yang hanya dihuni orang
pemakan orang”. Namun, orang yang sama berpendapat,” ketika Bendera
Revolusi berkibar di Papua juga, barulah kita merayakan kemenangan”
Salah satu isu penting yang muncul dalam sidang BPUPKI adalah apakah
negara Indonesia merdeka akan berbentuk Republik atau Monarki. Debat
tentang masalah itu berlangsung cukup panas sehingga harus diputuskan
melalui voting. Hasilnya, 55 anggota mendukung Republik, 6 anggota
memilih bentuk kerajaan, 2 anggota memilih bentuk lain, dan 1 suara blanko
kosong. Hasil pemungutan suara itu tidak hanya memcerminkan
kecenderungan sebagian besar peserta sidang BPUPKI yang memilih bentuk
Republik, namun juga merefleksikan penolakan terhadap gagasan negara
integralistik Soepomo.
www.peterkasenda.wordpress 6
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
Indonesia menghendaki republik dan republiklah yang memberi jiwa kepada
bangsa Indonesia, bukannya bentuk lain yang manapun,” tegas Mohammad
Yamin. Begitu pula dengan Soekarno yang sejak tahun 1926 mengangankan
dan menganggap bentuk republik sebagai pilihan final. Bahkan, ketika
dibujuk para pembesar Jepang pada Maret 1945 agar memilih bentuk
monarkhi, Soekarno menolak dengan tegas : “ Saya senantiasa menentang
segala macam bentuk selain daripada negara republik”, ujar Soekarno
sebagaimana diceritakan kepada Cindy Adams.
Prinsip lain yang dianut konsitusi 1945 adalah negara kesatuan atau negara
utitaris. Dalam teori tata negara, negara kesatuan adalah negara yang tidak
tersusun dari beberapa negara (federalis). Wewenang bersifat tunggal
dipegang oleh pemerintah pusat, dan tidak ada badan lain yang berdaulat.
Kewenangan pemerintah pusat seperti itu dapat didistribusikan ke daerah-
daerah dalam bentuk desentralisasi. Sepintas lalu negara kesatuan tampak
sangat sentralistis. Semua urusan harus ditangan pemerintah pusat.
Gambaran itu tidak sepenuhnya benar, karena gejala sentralisasi kekuasaan
sudah ditepis sejak 1945. Bahkan Pasal 18 UUD 1945 mengakui adanya
sejumlah pemerintah daerah bersifat otonom maupun istimewa. Sekarang
“pola: desentralisasi makin meluas. Bahkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 telah menyerahkan sebagian besar urusan dan atau wewenang
pusat kepada daerah.
www.peterkasenda.wordpress 7
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
misalnya, menganggap negara serikat sebagai negara yang tidak kuat dan
mengandung aroma negara kapitalis.:
www.peterkasenda.wordpress 8
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
mengakui keberadaan negara-negara itu sebagai satuan-satuan politik yang
independen. Karena itu. hasilnya adalah pembentukan negara Republik
Indonesia Serikat. Negara Proklamasi telah direduksi menjadi salah satu
negara dalam serikat itu. Inilah bentuk pemerintahan federal yang pernah
kita miliki.
Akan tetapi, sejarah membuktikan bahwa umur dari proyek federalisme ini
sangat pendek. Ia ditolak justru oleh para pemuda pejuang di negara-negara
bagian bentukan Belanda tersebut. Kita kemudian sepakat kembali ke bentuk
negara kesatuan. Contoh yang menarik adalah pembubaran Negara
Indonesia Timur yang dilakukan oleh para pemuda Negara Indonesia Timur
secara unilateral, dan sekaligus menyatakan bergabung kembali ke dalam
Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Pernyataan pemuda-
pemuda Negara Indonesia Timur tersebut kemudian diikuti oleh keputusan
para pemimpin Negara Indonesia Timur (NIT) untuk kembali ke bentuk
kesatuan dan menolak kelangsungan NIT.
www.peterkasenda.wordpress 9
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
Negara kesatuan, uniform”kesatuan dan persatuan “ mulai dipersoalkan dari
banyak segi : efisiensi, efektifitas, keadilan, economic inequality, regional
inequality dan seterusnya. Sebagai ilustrasi, Papua hanya mendapat empat
persen dari seluruh hasil yang diterima dari pengelolahan sumber daya
lokalnya, selebihnya ke pusat. Kalimantan Timur hanya mengkonsumsi satu
persen dari seluruh hasil wilayahnya. Demikian pula Aceh hanya
mengkonsumsi setengah persen dari seluruh penghasilan yang berasal dari
daerahnya. Angka-angka di atas sudah menunjuklkan ketimpangan luar
biasa. Sumber daya tidak berkembang. Dalam arti human recources, local
leadership dan local natural resources, kalaupun ada, semuanya adalah
milik pusat. Semua itu yang menghidupkan kembali, atau sekurang-
kurangnya membuka keinginan pemikiran ke arah sistem federal.
www.peterkasenda.wordpress 10
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau secara lebih dramatis lagi
membatalkan negara proklamasi. Kalau kita sepakat dengan ini, maka
setelah pembubaran itu, daerah-daerah harus diberi waktu yang cukup untuk
menyatakan kemerdekaannya, membentuk negara atau wilayah
pemerintahan independen yang baru. Setelah itu, mereka melakukan
konferensi untuk membentuk sebuah negara federal. Apa peralihan dari
negara kesatuan menjadi negara federal bisa berjalan damai.
Tuntutan negara federal, yang hampir pasti akan membuat garis batas
kepentingan yang sangat jelas dan berseberangan antara daerah yang kaya
dengan yang miskin? Daerah yang kaya akan sangat berpeluang memperoleh
manfaat dari federalisme, sementara yang miskin akan menderita karena
kewenangan pusat untuk mengembangkan kebijakan ekonomi dan keuangan
yang bersifat subsidi silang akan menjadi lebih terbatas.
Krisis ekonomi dan politik melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah
memporak-porandakan hampir seluruh sendi-sendi ekonomi dan politik yang
berlanjut menjadi multikrisis telah mengakibatkan semakin rendahknya
tingkat kemampuan dan kemampuan dan kapasitas negara dalam menjamin
kesinambungan pembangunan. Krisis tersebut salah satunya diakibatkan
oleh sistem manajemen negara dan pemerintahan yang sentralistis, di mana
kewenangan dan pengelolahan segala sektor pembangunan berada dalam
kewenangan pemerintah pusat, sementara daerah tidak memiliki
kewenangan untuk mengelola dan mengatur daerahnya.
Sebagai respon dari krisis tersebut, pada masa reformasi dicanangkan suatu
kebijakan restrukturisasi sistem pemerintahan yang cukup penting yaitu
melaksanakan otonomi daerah dan pengaturan pembabgian keungan antara
pusat dan daerah. Paradigma lama dalam manajemen negara dan
pemerintahan yang berporos pada sentralisme kekuasaan diganti menjadi
kebijakan otonomi yang berpusat pada desentralisme. Dalam pada itu,
kebijakan otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari upaya politik
Pemerintah Pusat untuk merespon tuntutan kemerdekaan atau negara federal
dari beberapa wilayah yang memiliki asset sumber daya alam melimpah
namun tidak mendapatkan haknya secara proposional pada masa
pemerintahan Orde Baru.
www.peterkasenda.wordpress 11
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
penanganan tuntutan masyarakat secara variatif dan cepat. Ada beberapa
alasan mengapa kebutuhan terhadap desentralisasi di Indonesia saat ini
dirasakan sangat mendesak. Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara
selama ini sangat terpusat di Jakarta (Jakarta-centris). Sementara itu
pembangunan di beberapa wilayah lain dilalaikan. Kedua, pembagian
kekayaan secara tidak adil dan merata. Daerah-daerah yang memiliki sumber
kekayaan alam melimpah, seperti Aceh, Riau, Papua, Kalimantan dan
Sulawesi ternyata tidak menerima perolehan dana yang patut dari
pemerintah pusat. Ketiga, kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya)
antara satu daerah dengan daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di
satu daerah berkembang pesat sekali, sedangkan pembangunan di banyak
daerah masih lamban dan bahkan terbengkalai.
www.peterkasenda.wordpress 12
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
Jatuhnya Soeharto di pertengahan tahun 1998 yang dianggap merupakan
momentum awal memasuki era reformasi oleh kebanyakan analis diyakini
sebagai motor penggerak yang akan membawa Indonesia mengakhiri politik
terpusat menuju desentralisasi dan partispasi masyarakat lokal dalam
pengambil keputusan. Secara ideal dapat diasumsikan bahwa terbukanya
ruang politik di era pasca Soeharto yang, antara lain, dimungkinkan berkat
desentralisasi tentu akan memberi kesempatan kepada kelompok yang
selama ini termarjinalkan untuk mendesakkan kepentingannya. Namun,
asumsi semacam itu terbukti keliru. Fakta memperlihatkan bahwa proses
ekonomi politik yang terjadi umumnya tidak berada pada posisi berpihak
pada kelompok-kelompok lapisan bawah.
Dengan latar latar fakta semacam ini, tidak terlalu berlebihan kiranya jika
dikatakan bahwa lembaga-lembaga demokrasi, termasuk desentralisasi,
bukan merupakan senjata ampuh yang dapat mengikis atau bahkan
melenyapkan kepentingan ekonomi kelompok-kelompok dominan.
Kelompok-kelompok dominan yang mengendalikan jalannya proses
ekonomi dan politik di tingkat lokal ternyata bukan “pendatang baru “. Para
era sebelum reformasi, kelompok-kelompok itu merupakan mata rantai
tingkat lokal dari rezim neofasis Orde Baru.
Kenyataan tetap terpinggirnya buruh, petani, nelayan dan kaum miskin kota
menunjukkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
desentralisasi belum mampu melaksanakan cita-cita para founding father
dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam perjalanannya tetap mendapat tantangan. Untuk
meminimalkannya tantangan tentunya agenda reformasi desentralisasi dan
otonomi daerah ke depan harus lebih berupaya membangun kapasitas
negara. Upaya membangun kapasitas negara seperti ini tentunya harus
disertai dengan upaya membangun kapasitas masyarakat sipil.
www.peterkasenda.wordpress 13
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
Bibliografi
Elson, R.E. 2009. The Idea of Indonesia. Jakarta, Serambi Ilmu Semesta
www.peterkasenda.wordpress 14
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com