You are on page 1of 14

Peter Kasenda

NKRI dalam lintasan sejarah Indonesia

Negara–bangsa (nation-state) adalah fenomena modern karena bentuk


pengaturan hidup bersama seperti itu baru muncul sekitar abad 16 dan 17,
seiring dengan berkembangnya paham demokrasi dan diletakkannya dasar-
dasar bagi dunia modern sekarang ini. Semenjak itu negara-bangsa telah
menjadi model bagi organisasi yang mengatur sekelompok orang dalam
rangka mencapai tujuan bersama. Organisasi tersebut dinamakan negara,
sedangkan sekelompok orang (yang terdiri dari sejumlah besar manusia)
disebut bangsa.

Konsep negara-bangsa mempunyai daya tarik karena dianutnya paham


persamaan di antara setiap orang yang menjadi warga bangsa. Anggota
negara-bangsa (atau warga negara) mempunyai kedudukan yang sama, baik
dalam berhubungan dengan warga negara yang lainnya maupun dalam
berhubungan dengan negara. Oleh karena itu tidak ada lagi warga negara
kelas satu (seperti kelompok penakluk dalam sistem kekaisaran ataupun
kelompok penjajahan dalam negara jajahan). Semua warga negara merasa
menjadi bagian negara-bangsa yang setara, meskipun terdapat perbedaan-
perbedaan secara kultural dan agama. Paham negara-bangsa didasarkan atas
adanya keinginan untuk hidup bersama dalam sebuah kesatuan di antara para
warga negara meskipun terdapat perbedaan-perbedaan tadi. Oleh karena itu
paham negara-bangsa lebih mementingkan aspek politik (keinginan untuk
bersatu sebagai bangsa dan tunduk kepada satu penguasa politik).
Perbedaan-perbedaan kultural dan agama tidak perlu menghalangi mereka
untuk terikat dalam satu kesatuan negara-bangsa.

Masa pasca Perang Dunia II memberi peluang bagi banyak negara jajahan
untuk membentuk negara-bangsa masing-masing. Dalam kasus Indonesia
kekalahan Belanda oleh Jepang pada awal Perang Dunia II dan kekalahan
Jepang kemudian terhadap Sekutu memberi peluang bagi bangsa Indonesia
untuk memperoleh kemerdekaannya. Kelihatannya para founding father
Republik Indonesia dengan mudah mencapai kesepakatan untuk membentuk

www.peterkasenda.wordpress 1
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
sebuah negara Indonesia yang didasarkan atas paham kebangsaaan Indonesia
karena memang alternatif itulah yang dianggap terbaik.

Masalah-masalah negara-bangsa tidak dengan sendirinya selesai dengan


terbentuknya negara-bangsa bersangkutan. Seperti halnya setiap negara-
bangsa, negara-bangsa Indonesia juga tidak lepas dari gangguan-gangguan
terhadap berlangsungnya hidupnya ataupun ancaman terhadap integrasi
nasional. Masalah ini akan ada sepanjang massa. Ia tidak mungkin bisa
dihilangkan karena gangguan itu melekat pada setiap negara-bangsa. Sejarah
telah menunjukkan bahwa ancaman terhadap negara-bangsa Indonesia
mengalami fluktuasi sepanjang masa, kadang-kadang ancaman itu terasa
sangat besar, kadang-kadang kecil. Yang bisa dilakukan adalah mengurangi
gangguan tersebut sehingga tidak mengancam integrasi nasional.

Nasionalisme Indonesia dalam wujud tali persaudaraan, sesungguhnya telah


terajut sejak berabad-abad lalu melalui proses-proses politik, sosial, dan
ekonomi. Dalam proses politik ada empat faktor yang telah berperan
mempersatukan 17.000 lebih pulau-pulau dengan sekitar 636 suku ini mejadi
satu, yakni pertama, kerajaan Sriwijaya (abad 9); kedua; kerajaan Majapahit
(abad 14); negara kolonial Hindia Belanda, serta keempat didirikannya
Volksraad pada tahun 1917.

Sriwijaya bersama-sama dengan Mapajahit adalah dua kerajaan yang telah


berjasa mengubah rangkaian Nusantara dari sekedar untaian geografis
menjadi entitas politik yang kokoh dan berjaya. Kejayaan dua kerajaan ini
memang hampir meliputi seluruh Nusantara bahkan sampai ke India Selatan
dan negeri Campa. Rasa kekompakan dalam ke-kita-an memang sempat
terbangun secara signifikan. Kohesi politik ini semakin diperkuat secara
internal ketika penjajah Portugis, Spanyol dan Belanda secara berturut-turut
ke wilayah ini. Belandalah yang kemudian berhasil menguasai wilayah yang
kemudian dikenal sebagai Indonesia. Pendirian Volkraad, walaupun tidak
terlalu berarti, dapat dikatakan teleh menyemaikan benih perasaan ke-kita-an
di pihak anggota pribumi. Perlu ditekankan disini bahwa lembaga ini, yang
anggota pribuminya adalah mantan pejabat Hindia Belanda telah berfungsi
sebagai alat deteksi keresahan pribumi yang dimanfaatkan oleh pemerintah
kolonial Belanda.

Dalam proses budaya, paling kurang ada tiga faktor yang telah menyumbang
terciptanya rasa persatuan Indonesia, Pertama, agama Islam sebagai agama
mayoritas rakyat ; kedua; kenyataan bahwa di Hindia Belanda sejak abad ke

www.peterkasenda.wordpress 2
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
11, bahasa Melayu telah merupakan bahasa pergaulan (lingua franca) ;
ketiga, diperkenalkan sistem pendidikan Belanda di awal abad ke 19. Rasa
ke-Indonesia-an memang secara efektif disebarkan oleh para pedagang Islam
mulai dari Aceh turun ke daerah Minangkabau, terus menyisir pesisir timur
Sumatra ke selatan dan ke timur menyeberang ke Kalimantan dan Jawa Dari
Gresik dan Tuban pun pedagang Islam kemudian menyeberang ke Sulawesi ,
Maluku Utara, dan berhenti di kepala Burung (Sorong) di Papua. Rasa ke-
Umat-an yang kuat di kalangan Muslim telah berhasil mendekat suku-suku
yang demikian beragam dan berjauhan satu dan yang lain. Bersamaan
dengan itu, bahasa Melayu juga turut menyebar bersama dengan agama
Islam. Bahasa Melayu tidak saja menjadi bahasa pergaulan di pasar-pasar
tetapi juga di kantor-kantor pemerintahan kolonial, di kalangan penggemar
buku-buku silat, roman dan novel.

Introduksi sistem pendidikan Belanda di kalangan priyayi, santri, dan


golongan Timur asing lainnya telah merangsang dua reaksi. Pertama,
memicu semakin marak dibangunnya Sistem Pendidikan Tradisional
(Pesantren) – terutama di pedesaan Banten – sebagai suatu mekanisme
defensif. Di daerah perkotaan berbagai kelompok nasionalis
mengembangkan Sistem Pendidikan Nasional, seperti Taman Siswa.
Introduksi itu juga secara tidak sengaja mendorong anak-anak priyayi
terdidik untuk memilih bahasa Melayu sebagai medium komunikasi mereka
dengan bangsa Belanda karena kekagokan komunikasi yang tercipta.
Masyarakat Belanda di Hindia Belanda enggan berbahasa Belanda dengan
priyayi terdidik karena dengan demikian mensejajarkan mereka dengan anak
para priyayi, sedangkan bahasa Jawa tidak dipilih karena sangat
merendahkan derajat penjajah. Seperti diketahui bahwa bahasa Jawa yang
bertingkat akan menempatkan warga Belanda sebagai orang asing setingkat
lebih rendah dari para anak priyayi.

Kapan dimulainya nasionalisme di Indonesia tidak dapat disebutkan atau


dipraktekkan secara tepat. Ini merupakan suatu fase yang baru mulai disebut
dengan jelas dan terorganisasi pada dasawarsa kedua abad ke 20, namun
kebanyakan unsur pokoknya yang penting sudah ada jauh sebelumnya,
mungkin bahkan beberapa sudah ada pada periode tatkala dampak
pemerintahan Belanda mulai dirasakan. Dapat pula diperdebatkan bahwa
sejak itu nasionalisme-nasionalisme laten yang bersifat embrio, telah ada di
dalam masyarakat inti di Indonesia, dan bahkan pengajawantahan aktifnya
telah begitu lama terkatung-katung, terutama karena tidak adanya
kepemimpinan.

www.peterkasenda.wordpress 3
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
Sebagian orang besar orang menggunakan istilah “Indonesia” menunggu-
nunggu hari ketika Indonesia menjadi negara merdeka, memang daya tarik
kata “Indonesia” sebagian datang dari kesegaran dan rasa pembebasannya,
yang menarik bagi para pemuda pencari identitas baru, berikut betapa
pasnya kata : “Indonesia” melingkupi kesatuan kepulauan Indonesia. Pada
pertengahan 1918, Soeryo Poetro menyatakan bahwa “tanah Indonesia harus
dikembalikan kepada bangsa Indonesia, yang memusatkan perhatian kepada
Negara Indonesia yang akan terwujud ….nasionalisme Indonesia adalah
tujuan mereka yang mengaku sebagai Hindia Poetra, dan republik adalah
bentuk kesatuan Negara Hindia Poetra.

Nama-nama lain bagi entitas politik yang tumbuh di Hindia telah memudar.
Beberapa, seperti Hindia Timur (kurang menggigit dan canggung, serta tidak
khas), Hindia Timur Belanda (sama sekali tak dapat diterima karena
menegaskan dominasi penjajah bangsa lain), Inlander (ditolak, tidak hanya
karena bersifat rasis dan merendahkan, tapi juga karena tidak mengandung
makna khas Indonesia), Insulinde (tak pernah banyak disukai oleh kalangan
orang Indonesia, mungkin sebagian karena berasal dari bahasa Jerman, serta
lebih mungkin karena kesulitan membuat kata benda dan kata sifat untuk
menjabarkan bangsa “Insulinder“ serta kegiatannya). Nusantara (karena
tidak pernah bagian wacana Indologi, dan yang lebih parah, “Nusantara“
mengandung konotasi Jawa-sentris, kesatuan kepulauan di sekeliling Jawa. “
Indonesia” tak selalu diterima dengan antusias, Dwidjosewojo, seorang
anggota BU, lebih suka mempertahankan istilah “Hindia Belanda“ karena
istilah itu “sudah digunakan begitu lama“.

Ratulangie mengatakan bahwa “bangsa Indonesia adalah adalah perpaduan


banyak suku; mereka menunjukkan keragaman yang sama kalau kita
gunakan kriteria budaya. Tugas kita : bagaimana caranya menyatukan
keragaman ini? Satu artikel dalam suatu koran Jawa Barat menyatakan
bahwa “jika nanti Hindia menjadi negara merdeka maka bentuknya pasti
federasi.. Lalu orang Sunda, orang Jawa, dan lainnya akan harus
mengirimkan perwakilan masing-masing untuk menyampaikan kepentingan
tiap-tiap suku kepada Pemerintah.

Federalisme tak pernah menjadi prioritas penting bagi para pemikir dan
penggagas utama “Indonesia“. Mereka mencoba menciptakan kesatuan yang
utuh, kesatuan bangsa dari keragaman yang ada di kepulauan Indonesia,
kesadaran mendalam akan kesatuan. Federalisme, yang didasari gagasan

www.peterkasenda.wordpress 4
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
bahwa sebelum dan di dasar bangsa Indonesia sudah ada rasa identitas lokal
khas yang perlu diakomodasi dan didukung, bukan dijauhi dan dibenci,
sering ditolak begitu saja. Namun, Tan Malaka menyeruhkan “Republik
Federal kepulauan Indonesia”. Pandangan Tan Malaka secara umum sejalan
dengan pandangan Hatta, yang cenderung mengakomodasi perbedaan
budaya dalam sistem politik, juga pandangan seorang mahasiswa lain,
Sukiman, yang menambahkan bahwa “federalis atau kesatuan, yang penting
pada saat itu kita harus menjadi seperti satu orang menghadapi dominasi
Belanda. “

Latuharhary, yang sibuk membangun kembali versi Sarekat Ambon yang


telah melakukan langkah menentukan dalam mengakui pentingnya bangsa
Indonesia, juga cenderung kepada model federasi (walau tidak tegas),
pandangan yang diajukan kebih dulu dan lebih samar lagi oleh
pendahulunya, Patty. Di Minahasa, rasa takut tidak dianggap penting dalam
Indonesia yang luas, berikut kemarahan terhadap kecenderungan
mengabaikan atau seenaknya menyamaratakan perbedaan suku, terus
mendorong dukungan bagi sistem federal. Ratulangie mendukung solusi
federal sejak Kongres. Seluruh Hindia pada 1922, dan terus berpendapat
demikian sesudahnya; pada tahun 1930 dia mengatakan bahwa “susunan
negara masa depan harus berdasarkan prinsip federal, dengan pengakuan
penuh atas hak tiap bangsa merdeka dalam kerangka Indonesia. “Menjelang
akhir 1930-an, perkumpulan Sunda Paguyuban Pasundan menyatakan “
berjuang demi Negara Federal Indonesia yang merdeka, yang memiliki
pemerintahan pusat kuat, berdiri di atas negara-negara bagian yang teratur
rapi, yang masing-masing punya pemerintahan sendiri ’

Bagi orang-orang seperti politikus Minahasa, rasa identitas lokal lebih akrab,
lebih mengikat, lebih nyata, lebih mendasar dibandingkan gagasan Indonesia
itu sendiri. Indonesia, nilai mereka, sekedar sesuatu yang praktis dan perlu,
hanya satu rekaan, yang paling baik dianggap terdiri atas entitas-entitas
budaya lokal yang otonom, tapi tidak mendominasi dan tidak menuntut
kesetiaan tanpa ragu dan mutlak. Seperti dikatakan Ratulangie pada 1923,”
bangsa Hindia (masa depan?) akan terbentuk dari suku-suku, sebagai bangsa
yang murni politis… kesatuan kehendak politis suku-suku itu sudah cukup
…Federasi suku adalah bangsa politis Hindia.”

Pesatnya kemenangan gagasan Indonesia perlu dijelaskan. Sebagian besar


yang mendukungnya hanya sedikit mengenal daerah-daerah dan suku-suku
yang mereka anggap termasuk negara mereka. Seorang aktivis menjabarkan

www.peterkasenda.wordpress 5
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
Boven Digul sebagai “daerah liar Papua Tengah, yang hanya dihuni orang
pemakan orang”. Namun, orang yang sama berpendapat,” ketika Bendera
Revolusi berkibar di Papua juga, barulah kita merayakan kemenangan”

Soekarno, yang dibuang ke Flores pada 1934, juga terpukau saat


menghadapi kenyataan Indonesia yang dikhayalkannya. ”Belum pernah,”
tulis Dahm,” kata-kata Soekarno mengenai eksploitasi penjajah selama tiga
ratus tahun di Indonesia tampak lebih meragukan daripada ketika minggu-
minggu pertamanya di pulau Flores, tempat peradaban yang begitu
dihargainya hampir tidak ada.”

Kemenangan akan gagasan Indonesia juga perlu penjelasan. Sebagian


penyebabnya adalah makin matangnya kesadaran di kalangan pemimpin
politik bahwa Indonesia ada sebagai gagasan politik yang bagus yang
waktunya sudah tiba, dan mereka menemukan rasa identitas yang baru dan
modern di dalamnya : “ Saya mulai menyadari bahwa ……saya termasuk
dalam satu bangsa yang lebih besar, bangsa Indonesia .”

Sutardjo mengakui, gagasan Indonesia adalah “karya terbesar Belanda”,


yang menciptakan “ikatan antara berbagai suku di kepulauan ini… yang
dengannya berbagai suku, meski berbeda bahasa, adat istiadat, agama,
tingkat perkembangan, dan lain-lain, tidak hanya merasa sebagian satu
kesatuan, tapi juga saling memperkuat kesatuan itu.”

Salah satu isu penting yang muncul dalam sidang BPUPKI adalah apakah
negara Indonesia merdeka akan berbentuk Republik atau Monarki. Debat
tentang masalah itu berlangsung cukup panas sehingga harus diputuskan
melalui voting. Hasilnya, 55 anggota mendukung Republik, 6 anggota
memilih bentuk kerajaan, 2 anggota memilih bentuk lain, dan 1 suara blanko
kosong. Hasil pemungutan suara itu tidak hanya memcerminkan
kecenderungan sebagian besar peserta sidang BPUPKI yang memilih bentuk
Republik, namun juga merefleksikan penolakan terhadap gagasan negara
integralistik Soepomo.

Pilihan terhadap bentuk Republik memang sudah sepantasnya sebab,


sebagaimana argumentasi Mohammad Yamin, membentuk kembali sistem
monarki bagi Indonesia merdeka adalah suatu kesia-sian. Pasalnya, hampir
semua sistim monraki tradisional di Indonesia saat itu telah memudar. Lalu,
atas dasar apakah monarkhi harus ditegakkan? Yamin dan beberapa tokoh
lainnya mengusulkan agar memilih bentuk Republik. “ Saya yakin rakyat

www.peterkasenda.wordpress 6
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
Indonesia menghendaki republik dan republiklah yang memberi jiwa kepada
bangsa Indonesia, bukannya bentuk lain yang manapun,” tegas Mohammad
Yamin. Begitu pula dengan Soekarno yang sejak tahun 1926 mengangankan
dan menganggap bentuk republik sebagai pilihan final. Bahkan, ketika
dibujuk para pembesar Jepang pada Maret 1945 agar memilih bentuk
monarkhi, Soekarno menolak dengan tegas : “ Saya senantiasa menentang
segala macam bentuk selain daripada negara republik”, ujar Soekarno
sebagaimana diceritakan kepada Cindy Adams.

Karena bentuk Republik telah diterima, setiap warga negara Indonesia


memiliki kesempatan sama untuk menjadi pemimpin negara. Itu berbeda
dengan Monarki yang hanya memberi kesempatan kepada golongan tertentu
untuk memimpin negara. Pada dasarnya, memberi kesempatan kepada
seluruh warga untuk menjadi pemimpin negara negara sama dengan
meletakkan kedaulatan di tangan rakyat. Pengertian dasar dari kedaulatan
rakyat adalah sumber utama kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan
rakyat. Apa pun corak kekuasaan atau sistem poleksos yang hendak
dibangun harus mendapat persetujuan rakyat. Rakyat yang sepenuhnya
berkuasa, termasuk dalam memilih dan menentukan pemimpin negara.
Asumsi tersebut sangat penting karena merupakan bentuk penolakan
langsung terhadap prinsip-prinsip kedaulatan negara, kedaulatan raja atau
kedaulatan Tuhan.

Prinsip lain yang dianut konsitusi 1945 adalah negara kesatuan atau negara
utitaris. Dalam teori tata negara, negara kesatuan adalah negara yang tidak
tersusun dari beberapa negara (federalis). Wewenang bersifat tunggal
dipegang oleh pemerintah pusat, dan tidak ada badan lain yang berdaulat.
Kewenangan pemerintah pusat seperti itu dapat didistribusikan ke daerah-
daerah dalam bentuk desentralisasi. Sepintas lalu negara kesatuan tampak
sangat sentralistis. Semua urusan harus ditangan pemerintah pusat.
Gambaran itu tidak sepenuhnya benar, karena gejala sentralisasi kekuasaan
sudah ditepis sejak 1945. Bahkan Pasal 18 UUD 1945 mengakui adanya
sejumlah pemerintah daerah bersifat otonom maupun istimewa. Sekarang
“pola: desentralisasi makin meluas. Bahkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 telah menyerahkan sebagian besar urusan dan atau wewenang
pusat kepada daerah.

Mengapa founding father memilih “negara kesatuan“ Alasannya lebih


bersifat ideologis ketimbang teknis administratif. Muhammad Yamin,

www.peterkasenda.wordpress 7
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
misalnya, menganggap negara serikat sebagai negara yang tidak kuat dan
mengandung aroma negara kapitalis.:

Negara federalisme akan memberi bahan untuk melepaskan persaan provincialism,


yang boleh timbul oleh karena pembentukan negara serikat itu. Janganlah kita memberi
persemaian kepada benih-benih jelek yang telah ada, melainkan harus kita bunuh dalam
gerakan kita . Karena untuk provicialism kampungan, insularisme atau rasa kepulauan,
tidak ada lagi tempatnya di negeri kita. Jadi, janganlah kita memberi tempat bagi
perasaan yang telah kita lebur itu.

Pernyataan Yamin memperlihatkan dengan jelas bahwa bentuk negara


federal atau serikat bertolak belakang dengan semangat nasionalisme atau
persatuan Indonesia. Dengan demikian, konsep “negara kesatuan lebih
bermakna ideologis. Makna “negara kesatuan“ disejajarkan dengan gagasan
satu bangsa, satu tanah, dan satu tumpah darah : Indonesia. Itu berarti secara
sosiologis, mewujudkan “negara kesatuan“ sama dengan mewujudkan satu
kesatuan sebagai satu bangsa dan satu negara.

Dalam periode antara 1905 hingga 1945, pulau-pulau Nusantara telah


merupakan kesatuan politik di bawah kekuasaan Belanda, dan sebentar di
bawah pendudukan Jepang. Begitu kuatnya hasil penyatuan pulau-pulau
Nusantara itu, sehingga para pemuda Indonesia yang mendeklarasikan
Sumpah Pemuda pada tahun 1928 pun meyakininya sebagai satu tanah air
atau satu nusa yang tidak terbagi-bagi. Pidato Soekarno dalam rapat Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) juga
menjelaskan keyakinan ini. Ringkasnya, semua pendiri negara pada waktu
itu sepakat untuk mendirikan sebuah negara kesatuan yang bukan
merupakan penjumlahan dari beberapa negara bagian. Wacana pendiri
negara itu pun diyakini oleh sebagian besar rakyat Indonesia sebagai acuan
nilai dalam upaya membangun semangat kebangsaan. Maka, strategi
Belanda untuk mendelegitimasi negara hasil Proklamasi 17 Agustus 1945 itu
adalah dengan mendorong lahirnya negara-negara di luar formasi UUD
1945.

Berdirinya negara Indonesia Timur, negara Pasundan, negara Sumatra


Timur, dan sebagainya adalah hasil jerih payah Belanda untuk menunjukkan
kepada dunia bahwa republik yang kita proklamirkan pada tanggal 17
Agustus 1945 itu sudah runtuh. Ia tidak lagi memiliki kedaulatan. Ketika
Belanda berkesempatan memainkan kartunya dalam perundingan –
perundingan. Konferensi Meja Bundar (KMB) untuk menyerahkan
kedaulatan kepada pemerintah bekas jajahannya ini, mereka bersikukuh

www.peterkasenda.wordpress 8
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
mengakui keberadaan negara-negara itu sebagai satuan-satuan politik yang
independen. Karena itu. hasilnya adalah pembentukan negara Republik
Indonesia Serikat. Negara Proklamasi telah direduksi menjadi salah satu
negara dalam serikat itu. Inilah bentuk pemerintahan federal yang pernah
kita miliki.

Akan tetapi, sejarah membuktikan bahwa umur dari proyek federalisme ini
sangat pendek. Ia ditolak justru oleh para pemuda pejuang di negara-negara
bagian bentukan Belanda tersebut. Kita kemudian sepakat kembali ke bentuk
negara kesatuan. Contoh yang menarik adalah pembubaran Negara
Indonesia Timur yang dilakukan oleh para pemuda Negara Indonesia Timur
secara unilateral, dan sekaligus menyatakan bergabung kembali ke dalam
Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Pernyataan pemuda-
pemuda Negara Indonesia Timur tersebut kemudian diikuti oleh keputusan
para pemimpin Negara Indonesia Timur (NIT) untuk kembali ke bentuk
kesatuan dan menolak kelangsungan NIT.

Dalam perjalanan selanjutnya, proyek negara kesatuan ternyata mengalami


berbagai distorsi. Ia cenderung ditafsirkan identik dengan sentralisasi
kekuasaan dan belakangan bahkan diberi warna uniformitas struktur
pemerintahan. Kedua hal inilah yang kemudian menimbulkan berbagai
masalah dalam hubungan pusat dan daerah. Otonomi daerah dikebiri dari
waktu ke waktu, baik dalam artian politik, ekonomi, maupun administrasi.
Keputusan tentang hajat hidup orang banyak tidak bisa tuntas di daerah.
Hampir semua urusan harus diselesaikan di Jakarta. Kegagalan membangun
sistem pemerintahan yang kewenangannya terdesentralisasikan secara lebih
bermakna dari waktu ke waktu, menimbulkan keyakinan baru bagi
masyarakat di daerah bahwa pusat bukan hanya mengeksploitir mereka,
tetapi juga mengambil hak mrereka untuk mendapat pelayanan yang baik
oleh sebuah pemerintahan yang baik. Kondisi ini berlangsung sangat lama,
sehingga menimbulkan berbagai ketidakpuasan. Pada puncaknya, muncul
gagasan untuk kembali ke bentuk pemerintahan federal.

Setelah Orde Baru yang ditandai “lengsernya“ Soeharto sebagai presiden


tanggal 21 Mei 1998, satu persatu terkuak berbagai keinginan. Di samping
masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sebagai isu sentral, muncul
pula pemikiran-pemikiran berbeda dengan apa yang selama ini dipaksakan
pemerintahan Orde Baru.

www.peterkasenda.wordpress 9
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
Negara kesatuan, uniform”kesatuan dan persatuan “ mulai dipersoalkan dari
banyak segi : efisiensi, efektifitas, keadilan, economic inequality, regional
inequality dan seterusnya. Sebagai ilustrasi, Papua hanya mendapat empat
persen dari seluruh hasil yang diterima dari pengelolahan sumber daya
lokalnya, selebihnya ke pusat. Kalimantan Timur hanya mengkonsumsi satu
persen dari seluruh hasil wilayahnya. Demikian pula Aceh hanya
mengkonsumsi setengah persen dari seluruh penghasilan yang berasal dari
daerahnya. Angka-angka di atas sudah menunjuklkan ketimpangan luar
biasa. Sumber daya tidak berkembang. Dalam arti human recources, local
leadership dan local natural resources, kalaupun ada, semuanya adalah
milik pusat. Semua itu yang menghidupkan kembali, atau sekurang-
kurangnya membuka keinginan pemikiran ke arah sistem federal.

Pada masa setelah kemerdekaan pun Indonesia menerapkan sistem federal


dari tahun 1949-1950. Praktis hanya delapan bulan, sehingga tidak banyak
memberikan perubahan karena jangka waktu yang begitu singkat. Setelah itu
Indonesia menganut sistem unitarian, negara kesatuan selama 48 tahun.
Setelah sekian lama negara kesatuan dipraktikan, yang dihasilkan kurang
lebih adalah uniformisasi dalam segala bidang dan sentralisasi yang ketat,
bahkan boleh dibilang over centralization. Secara ideologis semua
dipaksakan dengan semboyan “kesatuan dan persatuan“ yang dalam dirinya
juga membawa konsekunesi otoriter yang berbeda dari ideologi yang
ditawarkan para pendiri bangsa ini yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang tidak
lain berarti unity in diversity yang pertama kali menuju uniformitas dan
otoriter, maka yang kedua sebenarnya lebih “realistis” memandang
“perbedaan” menghormati ”perbedaan“ tetap tetap menjadi satu.
Konsekuensi politik, adiministratif dan ekonomi dari dua hal di atas sangat
berbeda.

Federalisme sebagai wacana, termasuk dalam hal isi federalisme seperti


dirumuskan Partai Amanat Nasional (PAN), terbatas pada perimbangan
keuangan dan kelompok-kelompok yang tidak setuju realisasinya secara
politis. Federalisme terbatas terutama pada pertimbangan keuangan daerah,
dan belum sejauh kepada pemisahan negara-negara tersendiri dalam
kesatuan persatuan negara RI.

Sebenarnya gagasan federalisme itu lebih merupakan ledakan ketidakpuasan


belaka daripada sebuah keinginan serius. Sebab, kalau kita akan terus
bergerak ke arah perwujudan negara dengan bentuk federalisme, maka
hanya ada satu jalan yang bisa kita lalui, yaitu membubarkan Negara

www.peterkasenda.wordpress 10
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau secara lebih dramatis lagi
membatalkan negara proklamasi. Kalau kita sepakat dengan ini, maka
setelah pembubaran itu, daerah-daerah harus diberi waktu yang cukup untuk
menyatakan kemerdekaannya, membentuk negara atau wilayah
pemerintahan independen yang baru. Setelah itu, mereka melakukan
konferensi untuk membentuk sebuah negara federal. Apa peralihan dari
negara kesatuan menjadi negara federal bisa berjalan damai.

Tuntutan negara federal, yang hampir pasti akan membuat garis batas
kepentingan yang sangat jelas dan berseberangan antara daerah yang kaya
dengan yang miskin? Daerah yang kaya akan sangat berpeluang memperoleh
manfaat dari federalisme, sementara yang miskin akan menderita karena
kewenangan pusat untuk mengembangkan kebijakan ekonomi dan keuangan
yang bersifat subsidi silang akan menjadi lebih terbatas.

Krisis ekonomi dan politik melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah
memporak-porandakan hampir seluruh sendi-sendi ekonomi dan politik yang
berlanjut menjadi multikrisis telah mengakibatkan semakin rendahknya
tingkat kemampuan dan kemampuan dan kapasitas negara dalam menjamin
kesinambungan pembangunan. Krisis tersebut salah satunya diakibatkan
oleh sistem manajemen negara dan pemerintahan yang sentralistis, di mana
kewenangan dan pengelolahan segala sektor pembangunan berada dalam
kewenangan pemerintah pusat, sementara daerah tidak memiliki
kewenangan untuk mengelola dan mengatur daerahnya.

Sebagai respon dari krisis tersebut, pada masa reformasi dicanangkan suatu
kebijakan restrukturisasi sistem pemerintahan yang cukup penting yaitu
melaksanakan otonomi daerah dan pengaturan pembabgian keungan antara
pusat dan daerah. Paradigma lama dalam manajemen negara dan
pemerintahan yang berporos pada sentralisme kekuasaan diganti menjadi
kebijakan otonomi yang berpusat pada desentralisme. Dalam pada itu,
kebijakan otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari upaya politik
Pemerintah Pusat untuk merespon tuntutan kemerdekaan atau negara federal
dari beberapa wilayah yang memiliki asset sumber daya alam melimpah
namun tidak mendapatkan haknya secara proposional pada masa
pemerintahan Orde Baru.

Desentralisasi dianggap dapat menjawab tuntutan pemerataan, pembangunan


sosial ekonomi, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
kehidupan berpolitik yang efektif. Sebab desentralisasi menjamin

www.peterkasenda.wordpress 11
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
penanganan tuntutan masyarakat secara variatif dan cepat. Ada beberapa
alasan mengapa kebutuhan terhadap desentralisasi di Indonesia saat ini
dirasakan sangat mendesak. Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara
selama ini sangat terpusat di Jakarta (Jakarta-centris). Sementara itu
pembangunan di beberapa wilayah lain dilalaikan. Kedua, pembagian
kekayaan secara tidak adil dan merata. Daerah-daerah yang memiliki sumber
kekayaan alam melimpah, seperti Aceh, Riau, Papua, Kalimantan dan
Sulawesi ternyata tidak menerima perolehan dana yang patut dari
pemerintah pusat. Ketiga, kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya)
antara satu daerah dengan daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di
satu daerah berkembang pesat sekali, sedangkan pembangunan di banyak
daerah masih lamban dan bahkan terbengkalai.

Sebenarnya sudah beberapa kali disusun UU Pokok Pemerintahan Daerah


yang menjanjikan “otonomi yang seluas-luasnya untuk mengurus rumah
tangganya sendiri” atau “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”,
namun sudah lebih dari setengah abad dalam praktiknya tetap merupakan
kata-kata indah belaka tanpa wujud yang nyata. Lama kelamaan hal ini
menimbulkan rasa tidak puas di daerah terutama daerah yang kaya dengan
sumber daya alam, namun tetap miskin. Kalau tidak diselesaikan dengan
bijaksana, tidak tertutup kemungkinan akan timbul gejolak.

Sebagaimana yang diamati Vedi R Hadiz, dalam bukunya Localising Power


in Post-Authoritarian Indonesia (2010), Suasana pada masa-masa awal
Indonesia pasca Soeharto memang cukup memberikan keyakinan bahwa
terwujudnya desentralisasi sejati hanyalah soal waktu. Namun demikian,
bersamaan dengan tahun-tahun reformasi yang terus berjalan, indikasi yang
mengarah pada terwujudnya desentralisasi dalam arti sesungguhnya tak
kunjung menjadi kenyataan, setidaknya hingga lebih dari satu dasawarsa ini.

Fakta-fakta memperlihatkan bahwa meskipun era pasca-Soeharto ditandai


oleh liberalisasi politik yang disertai dengan desentralisasi, namun
kecenderungan semacam itu tidak dengan sendirinya mampu mengubah
relasi kekuasaan politik secara signifikan. Hal ini terutama dapat diamati
pada kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini berada di lapisan
paling bawah dalam struktur piramida sosial di Indonesia. Kelompok-
kelompok semacam ini – yakni buruh, petani, nelayan, dan kaum miskin
kota – pada dasarnya tetap sulit untuk mengartikulasikan kepentingannya
sekalipun terdapat ruang politik relatif lebih terbuka dibanding era Soeharto.

www.peterkasenda.wordpress 12
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
Jatuhnya Soeharto di pertengahan tahun 1998 yang dianggap merupakan
momentum awal memasuki era reformasi oleh kebanyakan analis diyakini
sebagai motor penggerak yang akan membawa Indonesia mengakhiri politik
terpusat menuju desentralisasi dan partispasi masyarakat lokal dalam
pengambil keputusan. Secara ideal dapat diasumsikan bahwa terbukanya
ruang politik di era pasca Soeharto yang, antara lain, dimungkinkan berkat
desentralisasi tentu akan memberi kesempatan kepada kelompok yang
selama ini termarjinalkan untuk mendesakkan kepentingannya. Namun,
asumsi semacam itu terbukti keliru. Fakta memperlihatkan bahwa proses
ekonomi politik yang terjadi umumnya tidak berada pada posisi berpihak
pada kelompok-kelompok lapisan bawah.

Dengan latar latar fakta semacam ini, tidak terlalu berlebihan kiranya jika
dikatakan bahwa lembaga-lembaga demokrasi, termasuk desentralisasi,
bukan merupakan senjata ampuh yang dapat mengikis atau bahkan
melenyapkan kepentingan ekonomi kelompok-kelompok dominan.
Kelompok-kelompok dominan yang mengendalikan jalannya proses
ekonomi dan politik di tingkat lokal ternyata bukan “pendatang baru “. Para
era sebelum reformasi, kelompok-kelompok itu merupakan mata rantai
tingkat lokal dari rezim neofasis Orde Baru.

Kenyataan tetap terpinggirnya buruh, petani, nelayan dan kaum miskin kota
menunjukkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
desentralisasi belum mampu melaksanakan cita-cita para founding father
dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam perjalanannya tetap mendapat tantangan. Untuk
meminimalkannya tantangan tentunya agenda reformasi desentralisasi dan
otonomi daerah ke depan harus lebih berupaya membangun kapasitas
negara. Upaya membangun kapasitas negara seperti ini tentunya harus
disertai dengan upaya membangun kapasitas masyarakat sipil.

www.peterkasenda.wordpress 13
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com
Bibliografi

Ali, Asad Said. 2009. Negara Pancasila. Jalan Kemaslahatan Berbangsa.


Jakarta : LP3ES

Dhakidae, Daniel, “Pendahuluan–Federalisme Mungkinkah bagi Indonesia”


dalam St Sularto dan T Jacob Koekerits, 1999. Federalisme untuk
Indonesia. Jakarta Kompas. Hlm. xxvi – xxxi.

Elson, R.E. 2009. The Idea of Indonesia. Jakarta, Serambi Ilmu Semesta

Hidayat, Syarif . “ Mengurai Peristiwa – Merentas Karsa : Refleksi Satu


Dasawarsa Reformasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah,” Prisma, Vol.
29, No 3, Juli 2010, Hlm. 3 – 22.

Kahin, George McTurnan, 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia .


Jakarta : Sinar Harapan.

Mallarangeng , Andi A dan M Ryaas Rasyid,” Otonomi dan Federalisme,’


dalam St Sularto dan T Jacob Koekerits. Federalisme untuk Indonesia.
Jakarta : Kompas ,Hlm. 17 – 31.

Muliadi, Arif. 2010. Prinsip-prinsip Negara Kesatuan dan Desentralisasi


dalam Negara Republik Indonesia. Jakarta. Prestasi Pustakataya.

Rauf, Maswadi,” Dasar-Dasar Kesatuan Bangsa Indonesia.” Makalah yang


disampaikan dalam Seminar Masalah Tinjauan Kritikal Tentang
Integrasi Bangsa yang diselenggarakan oleh Jurusan Sejarah Fakultas
Sastra UI, Depok, pada tanggal 16 – 17 Januari 1986.

Tim ICCE UIN.2003.Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi,


Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani. Jakarta : Prenada Media.

Wiratma, I Made Leo. ” Konsitusi Dari zaman ke Zaman.” dalam


Indra J Pilliang et al. Merumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia.
Jakarta : CSIS. Hal. 99 – 133.

Wiratama, Rahadi T,” Dinamika Politik Lokal di Era Reformasi,” Prisma


Vol. 29, No. 3, Juli 2010, Hlm. 136 – 140.

www.peterkasenda.wordpress 14
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@ymail.com

You might also like