You are on page 1of 23

MAKALAH

PEMBANGUNAN POLITIK PADA MASA REFORMASI

HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2011

Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt., karena atas kehendak-Nya

lah penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.

Adapun maksud dan tujuan penyusun membuat makalah ini adalah untuk

memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teori dan Isu-Isu Pembangunan pada Jurusan

Hubungan Internasional semester 2.

Akhir kata penyusun berharap semoga makalah ini dapat memenuhi kriteria

tugas.

Sumedang, Februari 2011

Penyusun

BAB I

PENDAHULUAN
Pemikiran tentang membina sistem politik yang sesuai dengan keperluan-

keperluan mendasar dari masyarakat dan negara telah lama dipikirkan di Indonesia.

Banyak dari pemikiran mengenai sistem politik tersebut secara langsung atau pun

tidak langsung akan melihat ke sistem politik di negara- negara lain baik yang maju

atau pun negara berkembang.

Pembangunan juga terjadi pada bidang politik. Pembaharuan demi

pembaharuan dilakukan agar terciptanya politik ideal untuk Indonesia. Banyak hal

terjadi dalam pembangunan politik di Indonesia.

Pada saat ditinggalkan oleh Pemerintahan Orde Baru sejak Mei 1998, 

persoalan demokratisasi adalah isu utama kehidupan politik nasional.  Sistem politik

Orba yang kurang mentolerir perbedaan politik dengan  pemerintah, telah

mewariskan permasalahan ketidakpuasan, yang  berkembang menjadi bibit-bibit

disintegrasi. Kurang tepatnya pengelolaan  konflik sosial politik dan tidak meratanya

alokasi sumber-sumber daya pembangunan ke wilayah-wilayah yang jauh dari pusat

pemerintahan,  menjadi cikal bakal rasa ketidakadilan dan perasaan diabaikan bagi

daerah- daerah yang relatif terpencil di luar Jawa.

Selain itu, berbagai  penyelewengan dan melemahnya nilai-nilai moral yang

seolah-olah  berkembang dalam sistem dan aparatur pemerintah, telah menjadi bibit

bagi munculnya ketidakadilan dan kemiskinan struktural dalam kehidupan  mayoritas

rakyat. Lebih jauh lagi, muncul trauma mendalam terhadap  metode-metode

penyelesaian konflik dalam masyarakat, yang lebih banyak  mengutamakan bentuk-


bentuk represi. Selanjutnya akan dijelaskan tentang pembangunan politik di Indonesia

yang terjadi di Indonesia.


BAB II

ISI

Pembangunan politik sebuah negara biasanya terkait dengan peningkatan

kualitas demokrasi, penguatan sistem politik dan pemerintahan, penguatan partai

politik menjadi lebih mapan serta peningkatan partisipasi masyarakat. Tingginya

partisipasi masyarakat merupakan cermin kuatnya demokrasi dan legitimasi

pemerintah atas masyarakat, terlebih bila didukung oleh sistem politik dan partai

politik yang bisa memfasilitasi partisipasi masyarakat dengan baik. Pembangunan

politik menjadi penting terkait dengan modernisasi terlebih merupakan prasyarat

kesejahteraan masyarakat.1

Bangsa-bangsa di negeri-negeri yang sudah maju tumbuh dan berkembang

melalui tahapan yang cukup sistematis, baik di bidang ekonomi maupun di bidang

politik. Pada umumnya suatu bangsa tumbuh melalui tahap-tahap perkembangan

politik.2

II.1 Pengertian Pembangunan Politik3

 Pembangunan Politik sebagai Prasyarat Politik untuk Pembangunan

Ekonomi.

1
Djoko Yuniarto, Djoko’s site, Modernisasi dan Pembangunan Politik
http://djokoyuniarto.multiply.com/journal/item/7/Modernisasi_dan_Pembangunan_Politik, ditulis 1
Maret 2011, diakses 1 Maret 2011
2
AFK Organsky, 1985, dikutip dari Djoko Yuniarto, Djoko’s site, Modernisasi dan Pembangunan
Politik http://djokoyuniarto.multiply.com/journal/item/7/Modernisasi_dan_Pembangunan_Politik,
ditulis 1 Maret 2011, diakses 1 Maret 2011
3
Lucian W Pye, dikutip dari Juwono Sudarsono, Pembangunan Politik dan Pembaharuan Politik.
1981
Para ahli ekonomi menunjukkan betapa kondisi- kondisi sosial dan

politik dapat memainkan peranan yang menentukan dalam

menghambatatau memperlancar kemajuan pendapatan perkapita. Oleh

sebab itu wajar kalau pembangunan politik dipandang sebagai keadaan

masyarakat politik yang dapat memperlancar pertumbuhan ekonomi.

Ditinjau dari segi sejarah, pertumbuhan ekonomi telah terjadi dalam

aneka ragam sistem politik dengan aneka ragam jenis kebijaksanaan

umum. Akan tetapi, menghubungkan pembangunan politik hanya dengan

peristiwa- peristiwa ekonomi hanya akan mengesampingkan hal- hal yang

jauh lebih penting di negara- negara berkembang.

 Pembanguna Politik sebagai Kehidupan Politik khas Masyarakat

Industri.

 Pembangunan Politik sebagai Modernisasi Politik.

Pandangan bahwa pembangunan politik adalah kehidupan khas atau

kehidupan ideal dari masyarakat industri berpadu erat dengan pandangan

bahwa pembangunan politik adalah sama dengan modernisasi politik.

“Lewat modernisasi pulalah kemudian diperkenalkan tahap-tahap

pembangunan politik maupun ekonomi sebagai gerak perubahan yang

gradual. Tahap-tahap ini bagi negara-negara berkembang yang dalam

proses menuju negara modern seakan-akan harga mati untuk mencapai

negara sejahtera. Mereka menganalogikan masyarakat sebagai makhluk

organik, yang lahir, tumbuh berkembang menjadi dewasa, dan akhirnya


mati. Mereka terlanjur menjadikan Barat sebagai model puncak

modernitas dalam tahap-tahap pembangunan.”4 Pertanyaan yang timbul

adalah apakah yang merupakan bentuk dan apakah yang merupakan isi

dari pandangan mengenai pembangunan politik. Apabila pembangunan

politik hanya ditinjau dari modernisasi politik maka kita akan

menghadapi kesulitan dalam membedakan apa yang ‘barat’ dan apa yang

‘modern’.

 Pembangunan Politik sebagai Operasi Negara-Bangsa

Pembangunan politik terdiri dari organisasi kehidupan politik dan prestasi

fungsi- fungsi politik sesuai dengan ukuran- ukuran yang diharapkandari

suatu negara-bangsa. Akan tetapi dengan tumbuhnya negara-bangsa

modern ada serangkaian persyaratan tentang politik yang timbul. Penting

untuk ditekankan bahwa ditinjau dari sudut pandang ini, nasionalisme

adalah persyaratan penting tetapi jauh dari mencukupi guna mengadakan

pembangunan politik. Dalam pengertian ini, pembangunan politik adalah

pembinaan bangsa.

 Pembangunan Politik sebagai Pembangunan Administrasi dan Hukum

Sesungguhnya pengertain pembangunan organisasi sebagai pembangunan

organisasi mempunyai sejarah lama yang menekankan kebenaran dari

falsafah kolonial yang sedikit liberal. Sebab, kita dapat perhatikan dari

4
Agus Haryadi dikutip dari Djoko Yuniarto, Djoko’s site, Modernisasi dan Pembangunan Politik
http://djokoyuniarto.multiply.com/journal/item/7/Modernisasi_dan_Pembangunan_Politik, ditulis 1
Maret 2011, diakses 1 Maret 2011
sejarah pengaruh barat terhadap sebagian dunia, salah satu teema pokok

adalah kepercayaan orang- orang Eropa bahwa dalam membina

masyarakat politik adalah mutlak untuk menciptakan tata-susunan

administrasi dan tata-susunan hukum.

 Pembangunan Politik sebagai Mobilisasi Masa dan Partisipasi

Proses partisipasi masa adalah bagian yang penting dari pembangunan

politik, proses itu penuh dengan bahay emosionalisme steril atau

demagogi yang merusak, keduanya dapat menghisap habis kekuatan

masyarakat. Masalahnya ialah persoalan klasik tentang mencari

keseimbangan antara aspirasi masyarakat dan ketertiban umum.

 Pembangunan Politik sebagai Pembinaan Demokrasi

Masalah hubungan antara demokrasi dengan pembanguna politik adalah

terlalu rumit untuk dibahas dalam pemandangna umum mengenai sikap –

sikap yang berbeda- beda. Sementara ini banyak orang yang berpengang

teguh pada pnedapat bahwa secara azasi pembangunan banyak berbeda

dari demokrasi dan justru usaha untuk memperkenalkan demokrasi dapat

menjadi hambatan yang pasti bagi pembangunan.

 Pembangunan Politik sebagai Stabilitas dan Perubahan Tertib

Keberatan terhadap pandangan pembangunan ialah banyak persoalan

yang tak terjawab seperti berapakah kadar ketertiban yang diperlukan

ataupun yang diinginkan dan untuk tujuan apakah tujuan perubahan sosial

dilakukan. Akhirnya dalam skala prioritas ada perasaan bahwa


pemeliharaan ketertiban bagaimanapun perlu menempati tempat kedua

setelah kesanggupan untuk berrtindak menjalankan tugas- tugas. Karena

itu pembangunan menuntut pandangan yang lebih positif terhadap

tindakan dan pelaksanaan.

 Pembangunan Politik sebagai Mobilisasi dan Kekuasaan

 Pembangunan Politik sebagai Satu Segi dari Proses Perubahan Sosial

yang Multi Dimensional

II.2 Pembangunan Politik Era Reformasi

Kegiatan penyelenggaraan Pemilu  di masa Orba, dinilai oleh banyak

pihak telah terlalu mengutamakan upaya  mobilisasi rakyat melalui intimidasi

yang meluas demi memenangkan  peserta Pemilu tertentu. Kondisi seperti ini

jelas memerlukan sistem politik yang kuat dan kepempinan yang bersih, agar

mampu memberikan  arah dan esensi sesungguhnya dari reformasi dan

demokratisasi Indonesia.Perubahan struktur politik Indonesia dalam proses

demokratisasi di  Indonesia dewasa ini dapat digolongkan dalam beberapa

kelompok utama. 

Pertama, tuntasnya amandemen (I, II, II, dan IV) UUD 1945 yang

secara  mendasar telah mengubah dasar-dasar konsensus dalam

penyelenggaraan  kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, terciptanya

format politik baru  dengan disahkannya perundangan-undangan baru bidang

politik, pemilu,  dan susunan kedudukan MPR dan DPR, yang menjadi dasar
pelaksanaan  Pemilu 1999. Ketiga, terciptanya format hubungan pusat-daerah

yang baru  berdasarkan perundangan-undangan otonomi daerah yang baru.

Keempat,  terciptanya konsensus mengenai format baru hubungan

sipil-militer dan  TNI dengan Polri berdasarkan ketetapan-ketatapan MPR

dan  perundangan-undangan baru bidang pertahanan dan keamanan. Kelima, 

disepakatinya pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung di dalam 

konstitusi dan akan dituangkan dalam bentuk perundang-undangan.  Keenam,

kesepakatan mengenai akan diakhirinya pengangkatan TNI/Polri dan Utusan

Golongan di dalam komposisi parlemen hasil Pemilu 2004 mendatang

Menegaskan keberadaan di dalam masyarakat, bahkan dengan tidak

ragu- ragu menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuannya.

Amat  sering terjadi kekerasan dilakukan terhadap kelompok lain yang tidak 

sepaham, dengan menggunakan agama sebagai perisai.  Pada saat proses

politik yang demokratis dan praktek hukum yangb berkeadilan justru sangat

diperlukan pada saat seperti sekarang ini, ternyata  secara bersamaan terjadi

pula penipisan kepercayaan masyarakat luas  terhadap lembaga politik dan

hukum. Perasaan diperlakukan tidak adil dan  sikap-sikap sinis dan pesimisme

yang meluas, memunculkan berbagai  ungkapan kejengkelan dan ejekan

terhadap dunia peradilan, antara berupa  tuduhan “mafia peradilan” kepada

dunia kehakiman, kejaksanaan dan  kepolisian sebagai tritunggal penegak

hukum Indonesia. 

Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dan Lembaga Swadaya

Masyarakat  (LSM) yang pada masa lalu kurang diakui peranannya, dewasa
ini mulai  menunjukkan peran yang baik dalam memberdayakan sektor

masyarakat  menuju ke arah terbentuknya masyarakat modern (civil society)

yang  tangguh. Dalam hubungannya dengan masyarakat, pemerintah saat ini 

sedang mensosialisasikan perannya sebagai regulator dan fasilitator. 

Pemerintah (negara) sedanga berada dalam proses transformasi dalam 

membentuk perannya sebagai “penengah” yang adil dalam mengupayakan 

penyelesaian berbagai konflik kepentingan dalam masyarakat yang  majemuk

ini.

Strategi kebijakan pembangunan politik yang ditetapkan adalah:

a. fasilitasi penyeienggaraan pendidikan politik secara intensif

dan komprehensif

b. peningkatan partisipasi politik masyarakat, dengan

meningkatkan keikutsertaan rakyat dalam proses penentuan keputusan oan

kebijakan daerah

c. peningkatan peran dan fungsi lembaga legislatif, sehingga

lebih mampu melaksanakan kegiatan sesuai dengan fungsinya

d. mendukung peiaksanaan/ penyeienggaraan Pemiiu yang lebih

demokratis, jujur dan adil dalam rangka penegakan kedaulatan rakyat di

segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Tujuan dan Sasaran Tnjuan pembangunan politik adalah menciptakan

stabilitas politik yang kondusif bagi terselenggaranya pembangunan di segala

bidang, dengan menciptakan kehidupan politik yang dinamis dan mampu


mengakomodasikan setiap perubahan kepentingan serta aspirasi rakyat dan

perkembangan lingkungan strategis regional maupun nasional.

II.3 Arah Kebijakan Pembangunan Politik Era Reformasi5

Arah pembangunan politik diwujudkan melalui penyempurnaan struktur 

politik, penataan peran negara dan masyarakat, pengembangan budaya  politik,

perbaikan proses politik, peningkatan peran hubungan luar negeri,  serta peningkatan

peran komunikasi dan informasi. Struktur politik disempurnakan dengan:

 Meningkatkan independensi,kapasitas, dan integritas Mahkamah Konstitusi

dalam mengkaji dan  menguji perundang-undangan (judicial review)

terhadap konstitusi.

 Mendorong perumusan yang lebih tuntas dan dapat diterima semua pihak 

mengenai hubungan antara kelembagaan politik dengan kelembagaan 

pertahanan keamanan dalam kehidupan bernegara.

 Meningkatkan  kapasitas dan efektivitas lembaga-lembaga penyelenggara

negara dalam  menjalankan kewenangan dan fungsi-fungsi yang diberikan

oleh konstitusi   dan peraturan perundangan.

 Mendorong dan memfasilitasi upaya- upaya politik untuk lebih

memantapkan pelaksanaan desentralisasi dan  otonomi daerah, serta

mencegah disintegrasi wilayah dan perpecahan  bangsa.

5
Jhosin Kogoya. BIDANG PEMBANGUNAN POLITIK  & KONDISI UMUM
http://yosin.wordpress.com/2009/06/23/pembangunan-politik-dan-kondisi-umum/, diakses 1 Maret
2011
 Mendukung percepatan bagi dibentuknya pelembagaan proses  rekonsiliasi

dan mendorong penyelesaian rekonsiliasi nasional secara adil.

 Mendorong pelembagaan lebih lanjut dari berbagai aspek yang menjadi 

dasar berlangsungnya proses politik demokratis.

II.4 Keadaan Politik Era Reformasi6

Sisi lain, “transisi” yang terjadi menciptakan konflik-konflik politik pada

tingkatan partai politik, yaitu antara kepentingan-kepentingan (elitis maupun

kolektif) serta antara kepentingan dengan ideologi. Konflik politik yang muncul

adalah tarikan pada perspektif konservatisme yang mencoba kukuh pada

pemikiran, sistem dan mekanisme yang lama sebagai konsepsi konsolidasi awal

kejayaan Soeharto dengan kelompok yang berkeinginan tanggap terhadap

perubahan serta tuntutan reformasi terhadap ideologi politik golkar.

Isu yang signifikan dalam perdebatan dan konflik yaitu mengenai peran

militer-sipil dalam perubahan politik Indonesia juga mengenai modal politik dari

institusi, badan atau lembaga yang ada dimana ketika awal kehadirannya

merupakan basis massa dari golkar dalam upaya menciptakan mobilitas politik

akibat masifnya gerakan politik kelompok “komunis”. Kesemua konflik tersebut

tentu saja bermuara pada kepentingan tarik ulur tentang “suksesi” dalam partai

6
Ignes Kleden, Simpul demokrasi’s blog, Politik Indonesia, Antara Demokrasi dan Sentralisme
Politik. http://www.simpuldemokrasi.com/dinamika-demokrasi/wacana-demokrasi/1306-politik-
indonesia-antara-demokrasi-dan-sentralisme-politik-.html
pasca Soeharto dari vested interest tiga pilar penyanggah golkar, antara ABRI,

Teknokrat dan Profesional.

Masa reformasi membawa pada dua arus utama dari konflik. Pertama pada

tarikan pada konflik kepentingan dari perebutan kekuasaan dan arus kedua adalah

ketegangan ideologis yang sangat kentara pada gerakan atas Islamic state dari

sebagian kelompok muslim yang berseberangan dengan kelompok nasionalis –

nasionalists state.

Disamping itu pada dimensi perebutan kekuasaan terdapat pola hubungan

internal partai-partai politik dimana pola hubungan pasca reformasi “partai”

politik keberadaan menjadi keharusan dalam kehidupan politik modern di

Indonesia.

Disinilah partai politik, disamping sebagai wujud dari demokratisasi namun

merupakan organisasi yang memiliki peran dan fungsi memobilisasi rakyat atas

nama kepentingan-kepentingan politik sekaligus memberi legitimasi pada proses-

proses politik, di antaranya adalah tentang “suksesi” kepemimpinan nasional. Pola

konflik dan pola hubungan dalam partai politik ini bisa tercermati dalam pemilu

1999, yaitu realita penolakan terhadap Habibie juga Megawati Soekarnoputri dari

satu kelompok terhadap kelompok yang lainnya.

Penolakan terhadap Habibie sebagai representasi penolakan terhadap “Orde

Baru”, yang memiliki kaitan kuat dengan Soeharto. Sementara terhadap

Megawati, penolakan dilakukan oleh partai-partai Islam beserta Golkar yang

memanfaatkan isue “haram” presiden wanita. Gerakan “asal bukan” Habibie atau
Megawati yang akhirnya melahirkan bangunan aliansi partai-partai Islam

(PAN,PPP,PBB, dan Partai Keadilan) yang dikenal kala itu sebagai kelompok

“Poros Tengah”.

Bangunan aliansi yang dilakukan poros tengah yang kemudian menyeret PKB

untuk menghianati PDI Perjuangan dan mengusung K.H. Abdurrahman Wahid

(Gus Dur) menjadi Presiden Republik Indonesia setelah Habibie. Namun dalam

perjalanannya, keakraban Amien Rais (sebagai pemimpin poros tengah) dan Gus

Dur terberai kembali akibat dari perbedaaan-perbedaan kepentingan politik yang

dilakukan masing-masing.

Pada keterberaian ini pula yang meruntuhkan legitimasi politik Gus Dur

sebagai Presiden, walaupun disisi lain, terdapat berbagai kepentingan politik yang

ikut meramaikannya seperti kepentingan politik militer, PDI Perjuangan,

kelompok penguasa “korporatisme” nasional yang dihegemoni Soeharto atau

Orde Baru, termasuk kepentingan modal asing atau negara lain (seperti Amerika

Serikat, Uni Eropa) yang terusik atas beberapa kebijakan ekonomi nasional yang

dilakukan Kabinet Gus Dur serta dari kelompok kepentingan ideologis yang

radikal untuk mengubah konsepsi Indonesia menjadi berkarakter politik Islam

atau demokrasi Liberal.

Dari tarikan kepentingan kekuasaan “suksesi” nasional yang dilakukan para

elite, yang selanjutnya membangun perspektif tersendiri dalam konflik-konflik

konstitusi di Indonesia . Seperti dalam kejatuhan K.H. Abdurrahman Wahid

memperkuat perlunya tindakan “amandemen” atas UUD 1945, karena konstitusi


tersebut membuka perseteruan “interpretasi” dan dianggap menjadi sumber

kekacauan ketatanegaraan di Indonesia. Terlebih pada perdebatan sistem politik

Indonesia , apakah presidensil atau parlementer? Dalam kasus Gus Dur, sistem

presidensil versi UUD 1945 terbukti rentan, dan bisa terdeviasi pada sistem

parlementer.

Maka dari sistem yang mendua, MPR periode 1999-2004 melakukan

perubahan terhadap UUD 1945 –dalam kekuasaan politik Soeharto tindakan

amandemen merupakan tindakan yang diharamkan—walau terdapat beberapa

amandemen yang ditengarai tidak sejalan dengan keinginan rakyat terutama

mengenai pasal-pasal politik yang krusial, bahkan beberapa pasal-pasal yang

diamandemen meletakan pada bentuk “konspirasi” demi kepentingan dan

penyelamatan terhadap kelompok-kelompok tertentu.

Tidaklah menjadi aneh jika dimasa Megawati (pasca Gus Dur) dalam pidato

kenegaraannya 16 Agustus 2001 mengusung “komisi konstitusi”, yang

berkembang di Sidang Tahunan MPR 2001 dan memunculkan perbedaan tajam

antara sikap “konservatisme” di majelis karena kegagalannya membentuk komisi

dan tidak mampu melakukan perubahan-perubahan atas pasal-pasal krusial.

Padahal tanpa komisi konstitusi independent akan menjadi kesulitan untuk dapat

menghasilkan dasar-dasar berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis serta

mencerminkan kepentingan rakyat.

Tarikan-tarikan politis pada kepentingan dalam konstitusi atau penyusunan

UU di MPR merupakan wujud dari keinginan mempengaruh dan memanfaatkan


ketetapan politik dalam relasi-relasi kekuasaannya, seperti pada sistem perwakilan

rakyat untuk mengadopsi “bikameral’ (terdiri dari DPR dan DPD) dan tetap

“unikameral” seperti berlaku sebelum reformasi (terdiri dari DPR, Utusan Daerah

dan Utusan Golongan). Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau tetap melalui

MPR.

Berbeda di masa Soeharto, dimana ideologi-ideologi tidak muncul

kepermukaan, era reformasi membuka kembali gairah ideologis dan muncul

dengan semangat perjuanganan primordialismenya. Kelompok-kelompok

nasionalis teguh pada tuntutan atas prisip-prisip nasionalisme, bahkan di

antaranya adalah dari kepentingan nasionalis radikal.

Golongan kiri mencoba bangkit melalui Partai Rakyat Demokratik, sedangkan

golongan Islam kembali memperjuangkan suara ideologisnya mengenai

penerapan Syariat Islam dan Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) sejak SU MPR

1989 kerap menuntut agar pemberlakuan asas tunmggal bagi organisasi sosial

politik dicabut. Hebatnya dalam SUT MPR 2000, beberapa Fraksi MPR meminta

dipertimbangkan kembali “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta untuk dimasukan

dalam Pancasila.

Di era reformasi hingga saat ini aliran-aliran lama muncul kembali walau

dalam kemasan baru, PDIP mewakili abangan dan non Islam, Golkar wujud dari

Islam modern (luar Jawa) PKB sebagai Islam tradisionalis, PPP wakil dari kaum

modernis dan tradisioalis, sementara PAN, PBB, PK meruapakan Islam modernis.


Dari pendekatan agama yang teridentifikasi, maka itensitas emosi politik

menjadi sangat mendalam, mereka terbelah menjadi dua kelompok besar yakni

Islam dan non Islam. Dari dua kelompok besar tersebut dilihat pada kepentingan

kekuasaan menjadi perseteruan kelompok Islam dan kelompok nasionalis.

Disinilah yang sampai saat ini menjadi masalah tersendiri bagi proses

demokratisasi dan penciptaan masyarakat Indonesia yang terbuka.

Jika dilacak lebih jauh, di Indonesia pola perseteruan ideologis yang tercermin

dalam partai politik memang sejarahnya hadir di masa pergerakan kemerdekaan

yang oleh Feith meupakan perebutan pengaruh sosial politik dari lima ideologi

besar, yaitu nasionalis radikal, komunisme, sosialisme demokrat, Islam, dan

tradisional Jawa. Dari sini perdebatan ideologis tentang konsepsi politik

kenegaraan mengalami dinamisasi, sementara partai-partai yang berbasis aliran

muncul membawa semangat ideologisnya masing-masing hingga sekarang

(kecuali komunisme).

Fase-fase sejarah dari perdebatan ideologis dapat terlihat dalam fase-fase

sejarah “politik” seperti sidang BPUPKI dan gerakan perjuangan Darul Islam atau

Tentara Islam Indonesia .Juga beberapa konflik baru yang muncul dari

perseteruan “agama” atau primordialisme, sesungguhnya bila dicermati

merupakan konflik-konflik politik dan perebutan “elitis” atas kekuasaan.

Kembali pada pemahaman historisisme politik Indonesia sebagai real politik

dari pertentangan kepentingan dan ideologi, Ignas Kleden memberikan pijakan

awal sebagai dasar pecermatan. Pertama perlu ada dasar empiris untuk memahami
tentang kekuatan-kekuatan nyata –seperti ABRI— dalam pertarungan kekuasaan

yang terjadi. Juga untuk mengetahui seberapa signifikasinya pembesaran jumlah

partai politik dengan penguatan partisipasi politik kepartaian sebagai bentuk

representasi kesadaran rakyat atau hanya “pragmentasi” kelompok elite partai.

Kedua, adanya norma-norma yang menjadi dasar penilaian dari realitas politik

yang telah dan sedang berlangsung di Indonesia . Apakah gerakan pembaruan dan

pembangunan politik di masa reformasi menunjukan proses mendekati atau

menjauh terhadap kriteria normatif yang ditetapkan atau disepakati.

Ketiga, Hubungan dari ketentuan normatif dan kenyataan empiris dalam

politik praktis, hal ini melihat perbedaan yang muncul dari hubungan antara

kenyataan empiris dengan pegangan teoritis dalam ilmu pengetahuan. Juga

mengingat dalam kehidupan politik keadaannya lebih kompleks, dimana norma-

norma politik merupakan muatan yang berisi norma-norma yang bersifat tetap

dan mempunyai daya universalitas, disamping norma-norma yang terbentuk

berdasar konsesus nasional pada masa tertentu.

Dari tiga kriteria , maka muatan reformasi dapat diposisikan selalu sarat

dengan perebutan kekuasaan (power building) dan bukan pada efektivitas

penggunaan kekuasaan (the use of power). Institusionalisasi politik terbelah

akibat dari peneguhan personalisasi politik dari elite-elite di lingkar kekuasaan.

Maka bawaan dari perebutan kekuasaan dan persolisasi politik memunculkan

diskursus politik yang lebih terfokus pada persoalan penggantian dan posisi elite

politik tetapi bukan pada bentuk-bentuk kompetisi program-program kerja partai.


Partai politik masih menjadi alat dari kepentingan mobilisasi politik. Parahnya

dinamika politik masa reformasi adalah lebih merupakan politik kesempatan (the

politics of opportunities) dan bukan seni dari kemungkinan-kemungkinan (the art

of the possible), dimana kesempatan adalah kemungkinan yang tersedia dalam

masa sekarang sedang kemungkinan adalah kesempatan yang dapat dan masih

harus diciptakan di masa depan.

II.5 Pilkada

Pada era reformasi pembangunan politik mendapat perhatian yang besar.

Pembangunan politik menjadi penting karena bukan hanya sekadar jalannya proses

demokrasi, namun akan bermuara pada naiknya kualitas hidup rakyat dalam segala

bidang. Menurut Samuel P Huntington: ‘Tujuan dari pembangunan politik adalah

untuk pertumbuhan ekonomi yang tinggi; melembaganya pemerataan bagi warga;

terbangunnya iklim yang demokratis; terciptanya stabilitas dan otonomi nasional’.

Era reformasi berusaha membuat cara yang lebih baik, yaitu gubernur,

bupati/walikota dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pilkada. Cara pemilihan

semacam ini diharapkan dapat menghasilkan pemimpin yang lebih sesuai dengan

harapan rakyat karena rakyat dapat langsung melihat, menilai dan memilih pemimpin

yang dianggap cocok menjadi gubernur, bupati/walikota.

Indonesia sedang berbenah guna mendapatkan cita-cita demokrasi, dari segi

pengalaman tentu masih kurang. Rakyat baru 1 (satu) kali memilih pemimpinnya di

tingkat nasional untuk presiden, provinsi untuk gubernur dan kabupaten/kota untuk

bupati/walikota, maka Pilkada yang ada perlu diberi kesempatan untuk berkembang.
Biarlah pola Pilkada sekarang tetap berjalan, tentunya dengan pembenahan-

pembenahan dan penyempurnaan-penyempurnaan agar sesuai dengan harapan rakyat.

Pada dasarnya Pilkada punya peluang besar untuk berkembang dengan baik, karena

pemilihan langsung seorang pemimpin oleh rakyat telah dikenal berpuluh tahun di

Indonesia dalam pemilihan kepala desa di berbagai daerah.

Pembangunan politik sebagai bagian demokratisasi perlu dikawal oleh rakyat,

perbaikan-perbaikan dengan tujuan penyempurnaan perlu dilakukan tapi tentu harus

dengan cara yang benar.


BAB III

PENUTUP

Demokrasi yang pada awalnya mempunyai konsep yang bagus dan dapat

dilaksanakan di Indonesia dengan baik mempunyai banyak penyimpangan yang tidak

perlu. Kurangnya pemahaman dari elit politik tentang demokrasi juga patut menjadi

pekerjaan bersama, artinya para elit politik dalam pemerintahan dapat mengetahui arti

dari demokrasi yang sebenarnya sehingga mereka dapat memberikan contoh kepada

masyarakat luas tentang demokrasi yang seharusnya dijalankan oleh Indonesia.

Pembangunan yang dilakukan juga haruslah merata agar dapat meminimalisir akibat

yang nantinya akan ditimbulkan.


DAFTAR PUSTAKA

Sudarsono, Juwono. 1981. Pembangunan Politik dan Pembaharuan Politik edit.


Jakarta: Gramedia

Yuniarto Djoko. Djoko’s site, Modernisasi dan Pembangunan Politik


http://djokoyuniarto.multiply.com/journal/item/7/Modernisasi_dan_Pembangunan_Politik,
ditulis 1 Maret 2011, diakses 1 Maret 2011

Kogoya, Jhosin. BIDANG PEMBANGUNAN POLITIK  & KONDISI UMUM


http://yosin.wordpress.com/2009/06/23/pembangunan-politik-dan-kondisi-umum/,
diakses 1 Maret 2011

Kleden, Ignes. 2008. Simpul demokrasi’s blog, Politik Indonesia, Antara Demokrasi
dan Sentralisme Politik. http://www.simpuldemokrasi.com/dinamika-
demokrasi/wacana-demokrasi/1306-politik-indonesia-antara-demokrasi-dan-
sentralisme-politik-.html

You might also like