You are on page 1of 68

Bab I

Komponen Pasif
I.1 Resistor

Resistor adalah komponen dasar elektronika yang digunakan untuk membatasi


jumlah arus yang mengalir dalam satu rangkaian. Sesuai dengan namanya resistor bersifat
resistif dan umumnya terbuat dari bahan karbon . Dari hukum Ohms diketahui,
resistansi berbanding terbalik dengan jumlah arus yang mengalir melaluinya. Satuan
resistansi dari suatu resistor disebut Ohm atau dilambangkan dengan simbol W (Omega).
Tipe resistor yang umum adalah berbentuk tabung dengan dua kaki tembaga di kiri dan
kanan. Pada badannya terdapat lingkaran membentuk gelang kode warna untuk
memudahkan pemakai mengenali besar resistansi tanpa mengukur besarnya dengan
Ohmmeter. Kode warna tersebut adalah standar manufaktur yang dikeluarkan oleh EIA
(Electronic Industries Association) seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut. Waktu
penulis masuk pendaftaran kuliah elektro, ada satu test yang harus dipenuhi yaitu
diharuskan tidak buta warna. Belakangan baru diketahui bahwa mahasiswa elektro wajib
untuk bisa membaca warna gelang resistor (barangkali).

Gambar I.1 Kode Warna

1
Gambar 1.2 Contoh Resistor

Resistansi dibaca dari warna gelang yang paling depan ke arah gelang toleransi
berwarna coklat, merah, emas atau perak. Biasanya warna gelang toleransi ini berada
pada badan resistor yang paling pojok atau juga dengan lebar yang lebih menonjol,
sedangkan warna gelang yang pertama agak sedikit ke dalam. Dengan demikian pemakai
sudah langsung mengetahui berapa toleransi dari resistor tersebut. Kalau anda telah bisa
menentukan mana gelang yang pertama selanjutnya adalah membaca nilai
resistansinya.

Jumlah gelang yang melingkar pada resistor umumnya sesuai dengan besar
toleransinya. Biasanya resistor dengan toleransi 5%, 10% atau 20% memiliki 3 gelang
(tidak termasuk gelang toleransi). Tetapi resistor dengan toleransi 1% atau 2% (toleransi
kecil) memiliki 4 gelang (tidak termasuk gelang toleransi). Gelang pertama dan
seterusnya berturut-turut menunjukkan besar nilai satuan, dan gelang terakhir adalah
faktor pengalinya.

Misalnya resistor dengan gelang kuning, violet, merah dan emas. Gelang
berwarna emas adalah gelang toleransi. Dengan demikian urutan warna gelang resitor ini
adalah, gelang pertama berwarna kuning, gelang kedua berwana violet dan gelang ke tiga
berwarna merah. Gelang ke empat tentu saja yang berwarna emas dan ini adalah gelang
toleransi. Dari tabel-1 diketahui jika gelang toleransi berwarna emas, berarti resitor ini
memiliki toleransi 5%. Nilai resistansisnya dihitung sesuai dengan urutan warnanya.
Pertama yang dilakukan adalah menentukan nilai satuan dari resistor ini. Karena resitor
ini resistor 5% (yang biasanya memiliki tiga gelang selain gelang toleransi), maka nilai
satuannya ditentukan oleh gelang pertama dan gelang kedua. Masih dari tabel-1 diketahui
gelang kuning nilainya = 4 dan gelang violet nilainya = 7. Jadi gelang pertama dan kedua
atau kuning dan violet berurutan, nilai satuannya adalah 47. Gelang ketiga adalah faktor
pengali, dan jika warna gelangnya merah berarti faktor pengalinya adalah 100. Sehingga

2
dengan ini diketahui nilai resistansi resistor tersebut adalah nilai satuan x faktor pengali
atau 47 x 100 = 4.7K Ohm dan toleransinya adalah 5%.

Spesifikasi lain yang perlu diperhatikan dalam memilih resitor pada suatu
rancangan selain besar resistansi adalah besar watt-nya. Karena resistor bekerja dengan
dialiri arus listrik, maka akan terjadi disipasi daya berupa panas sebesar W=I2R watt.
Semakin besar ukuran fisik suatu resistor bisa menunjukkan semakin besar kemampuan
disipasi daya resistor tersebut.

Umumnya di pasar tersedia ukuran 1/8, 1/4, 1, 2, 5, 10 dan 20 watt. Resistor yang
memiliki disipasi daya 5, 10 dan 20 watt umumnya berbentuk kubik memanjang persegi
empat berwarna putih, namun ada juga yang berbentuk silinder. Tetapi biasanya untuk
resistor ukuran jumbo ini nilai resistansi dicetak langsung dibadannya, misalnya
100W5W.

I.2 Kapasitor

I.2.1 Prinsip dasar dan spesifikasi elektriknya

Kapasitor adalah komponen elektronika yang dapat menyimpan muatan listrik.


Struktur sebuah kapasitor terbuat dari 2 buah plat metal yang dipisahkan oleh suatu bahan
dielektrik. Bahan-bahan dielektrik yang umum dikenal misalnya udara vakum, keramik,
gelas dan lain-lain. Jika kedua ujung plat metal diberi tegangan listrik, maka muatan-
muatan positif akan mengumpul pada salah satu kaki (elektroda) metalnya dan pada saat
yang sama muatan-muatan negatif terkumpul pada ujung metal yang satu lagi. Muatan
positif tidak dapat mengalir menuju ujung kutup negatif dan sebaliknya muatan negatif
tidak bisa menuju ke ujung kutup positif, karena terpisah oleh bahan dielektrik yang non-
konduktif. Muatan elektrik ini "tersimpan" selama tidak ada konduksi pada ujung-ujung
kakinya. Di alam bebas, phenomena kapasitor ini terjadi pada saat terkumpulnya muatan-
muatan positif dan negatif di awan.

3
Gambar I.3 prinsip dasar kapasitor

1.2.2 Kapasitansi

Kapasitansi didefenisikan sebagai kemampuan dari suatu kapasitor untuk dapat


menampung muatan elektron. Coulombs pada abad 18 menghitung bahwa 1 coulomb =
6.25 x 1018 elektron. Kemudian Michael Faraday membuat postulat bahwa sebuah
kapasitor akan memiliki kapasitansi sebesar 1 farad jika dengan tegangan 1 volt dapat
memuat muatan elektron sebanyak 1 coulombs. Dengan rumus dapat ditulis :

Q = CV …………….(1)

Q = muatan elektron dalam C (coulombs)


C = nilai kapasitansi dalam F (farads)
V = besar tegangan dalam V (volt)

Dalam praktek pembuatan kapasitor, kapasitansi dihitung dengan mengetahui luas


area plat metal (A), jarak (t) antara kedua plat metal (tebal dielektrik) dan konstanta (k)
bahan dielektrik. Dengan rumusan dapat ditulis sebagai berikut :

C = (8.85 x 10-12) (k A/t) ...(2)

Berikut adalah tabel contoh konstanta (k) dari beberapa bahan dielektrik yang
disederhanakan.

4
Udara vakum k=1
Aluminium oksida k=8
Keramik k = 100 - 1000
Gelas k=8
Polyethylene k=3

Tabel I.1 Tabel Konstanta Bahan Dielektrik

Untuk rangkain elektronik praktis, satuan farads adalah sangat besar sekali.
Umumnya kapasitor yang ada di pasar memiliki satuan uF (10-6 F), nF (10-9 F) dan pF
(10-12 F). Konversi satuan penting diketahui untuk memudahkan membaca besaran
sebuah kapasitor. Misalnya 0.047uF dapat juga dibaca sebagai 47nF, atau contoh lain
0.1nF sama dengan 100pF.

I.2.3 Tipe Kapasitor

Kapasitor terdiri dari beberapa tipe, tergantung dari bahan dielektriknya. Untuk lebih
sederhana dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu kapasitor electrostatic, electrolytic dan
electrochemical.

I.2.3.1 Kapasitor Electrostatic

Kapasitor electrostatic adalah kelompok kapasitor yang dibuat dengan bahan


dielektrik dari keramik, film dan mika. Keramik dan mika adalah bahan yang popular
serta murah untuk membuat kapasitor yang kapasitansinya kecil. Tersedia dari besaran
pF sampai beberapa uF, yang biasanya untuk aplikasi rangkaian yang berkenaan dengan
frekuensi tinggi. Termasuk kelompok bahan dielektrik film adalah bahan-bahan material
seperti polyester (polyethylene terephthalate atau dikenal dengan sebutan mylar),
polystyrene, polyprophylene, polycarbonate, metalized paper dan lainnya.

Mylar, MKM, MKT adalah beberapa contoh sebutan merek dagang untuk
kapasitor dengan bahan-bahan dielektrik film. Umumnya kapasitor kelompok ini adalah
non-polar.

5
I.2.3.2 Kapasitor Electrolytic

Kelompok kapasitor electrolytic terdiri dari kapasitor-kapasitor yang bahan


dielektriknya adalah lapisan metal-oksida. Umumnya kapasitor yang termasuk kelompok
ini adalah kapasitor polar dengan tanda + dan - di badannya. Mengapa kapasitor ini dapat
memiliki polaritas, adalah karena proses pembuatannya menggunakan elektrolisa
sehingga terbentuk kutup positif anoda dan kutup negatif katoda.

Telah lama diketahui beberapa metal seperti tantalum, aluminium, magnesium,


titanium, niobium, zirconium dan seng (zinc) permukaannya dapat dioksidasi sehingga
membentuk lapisan metal-oksida (oxide film). Lapisan oksidasi ini terbentuk melalui
proses elektrolisa, seperti pada proses penyepuhan emas. Elektroda metal yang dicelup
kedalam larutan electrolit (sodium borate) lalu diberi tegangan positif (anoda) dan larutan
electrolit diberi tegangan negatif (katoda). Oksigen pada larutan electrolyte terlepas dan
mengoksidai permukaan plat metal. Contohnya, jika digunakan Aluminium, maka akan
terbentuk lapisan Aluminium-oksida (Al2O3) pada permukaannya.

Gambar I.4 Kapasitor Elco

Dengan demikian berturut-turut plat metal (anoda), lapisan-metal-oksida dan


electrolyte(katoda) membentuk kapasitor. Dalam hal ini lapisan-metal-oksida sebagai
dielektrik. Dari rumus (2) diketahui besar kapasitansi berbanding terbalik dengan tebal

6
dielektrik. Lapisan metal-oksida ini sangat tipis, sehingga dengan demikian dapat dibuat
kapasitor yang kapasitansinya cukup besar.

Karena alasan ekonomis dan praktis, umumnya bahan metal yang banyak
digunakan adalah aluminium dan tantalum. Bahan yang paling banyak dan murah adalah
Aluminium. Untuk mendapatkan permukaan yang luas, bahan plat Aluminium ini
biasanya digulung radial. Sehingga dengan cara itu dapat diperoleh kapasitor yang
kapasitansinya besar. Sebagai contoh 100uF, 470uF, 4700uF dan lain-lain, yang sering
juga disebut kapasitor elco.

Bahan electrolyte pada kapasitor Tantalum ada yang cair tetapi ada juga yang
padat. Disebut electrolyte padat, tetapi sebenarnya bukan larutan electrolit yang menjadi
elektroda negatif-nya, melainkan bahan lain yaitu manganese-dioksida. Dengan demikian
kapasitor jenis ini bisa memiliki kapasitansi yang besar namun menjadi lebih ramping
dan mungil. Selain itu karena seluruhnya padat, maka waktu kerjanya (lifetime) menjadi
lebih tahan lama. Kapasitor tipe ini juga memiliki arus bocor yang sangat kecil Jadi
dapat dipahami mengapa kapasitor Tantalum menjadi relatif mahal.

I.2.3.3 Kapasitor Electrochemical

Satu jenis kapasitor lain adalah kapasitor electrochemical. Termasuk kapasitor


jenis ini adalah batere dan accu. Pada kenyataanya batere dan accu adalah kapasitor yang
sangat baik, karena memiliki kapasitansi yang besar dan arus bocor (leakage current)
yang sangat kecil. Tipe kapasitor jenis ini juga masih dalam pengembangan untuk
mendapatkan kapasitansi yang besar namun kecil dan ringan, misalnya untuk applikasi
mobil elektrik dan telepon selular.

1.2.4 Membaca Kapasitansi

7
Pada kapasitor yang berukuran besar, nilai kapasitansi umumnya ditulis dengan
angka yang jelas. Lengkap dengan nilai tegangan maksimum dan polaritasnya. Misalnya
pada kapasitor elco dengan jelas tertulis kapasitansinya sebesar 22uF/25v.

Kapasitor yang ukuran fisiknya mungil dan kecil biasanya hanya bertuliskan 2
(dua) atau 3 (tiga) angka saja. Jika hanya ada dua angka satuannya adalah pF (pico
farads). Sebagai contoh, kapasitor yang bertuliskan dua angka 47, maka kapasitansi
kapasitor tersebut adalah 47 pF.

Jika ada 3 digit, angka pertama dan kedua menunjukkan nilai nominal, sedangkan
angka ke-3 adalah faktor pengali. Faktor pengali sesuai dengan angka nominalnya,
berturut-turut 1 = 10, 2 = 100, 3 = 1.000, 4 = 10.000 dan seterusnya. Misalnya pada
kapasitor keramik tertulis 104, maka kapasitansinya adalah 10 x 10.000 = 100.000pF
atau = 100nF. Contoh lain misalnya tertulis 222, artinya kapasitansi kapasitor tersebut
adalah 22 x 100 = 2200 pF = 2.2 nF.

Selain dari kapasitansi ada beberapa karakteristik penting lainnya yang perlu
diperhatikan. Biasanya spesifikasi karakteristik ini disajikan oleh pabrik pembuat didalam
datasheet. Berikut ini adalah beberapa spesifikasi penting tersebut.

1.2.5 Tegangan Kerja (working voltage)

Tegangan kerja adalah tegangan maksimum yang diijinkan sehingga kapasitor


masih dapat bekerja dengan baik. Para elektro- mania barangkali pernah mengalami
kapasitor yang meledak karena kelebihan tegangan. Misalnya kapasitor 10uF 25V, maka
tegangan yang bisa diberikan tidak boleh melebihi 25 volt dc. Umumnya kapasitor-
kapasitor polar bekerja pada tegangan DC dan kapasitor non-polar bekerja pada tegangan
AC.

1.2.6 Temperatur Kerja

8
Kapasitor masih memenuhi spesifikasinya jika bekerja pada suhu yang sesuai.
Pabrikan pembuat kapasitor umumnya membuat kapasitor yang mengacu pada standar
popular. Ada 4 standar popular yang biasanya tertera di badan kapasitor seperti C0G
(ultra stable), X7R (stable) serta Z5U dan Y5V (general purpose). Secara lengkap kode-
kode tersebut disajikan pada table berikut.

Tabel I.2 Kode karakteristik kapasitor kelas I

Toleransi
Koefisien Faktor Pengali
Koefisien
Suhu Koefisien Suhu
Suhu
PPM PPM
Simbol Simbol Pengali Simbol
per Co per Co
C 0.0 0 -1 G +/-30
B 0.3 1 -10 H +/-60
A 0.9 2 -100 J +/-120
M 1.0 3 -1000 K +/-250
P 1.5 4 -10000 L +/-500

ppm = part per million

Tabel I.3 Kode karakteristik kapasitor kelas II dan III

suhu kerja suhu kerja Toleransi


minimum maksimum Kapasitansi
o o
Simbol C Simbol C Simbol Persen
+/-
Z +10 2 +45 A
1.0%
+/-
Y -30 4 +65 B
1.5%
+/-
X -55 5 +85 C
2.2%
+/-
6 +105 D
3.3%
+/-
7 +125 E
4.7%

9
+/-
8 +150 F
7.5%
+/-
9 +200 P
10.0%
+/-
R
15.0%
+/-
S
22.0%
+22% /
T
-33%
+22% /
U
-56%
+22% /
V
-82%

I2.7 Toleransi

Seperti komponen lainnya, besar kapasitansi nominal ada toleransinya. Tabel


diatas menyajikan nilai toleransi dengan kode-kode angka atau huruf tertentu. Dengan
table di atas pemakai dapat dengan mudah mengetahui toleransi kapasitor yang biasanya
tertera menyertai nilai nominal kapasitor. Misalnya jika tertulis 104 X7R, maka
kapasitasinya adalah 100nF dengan toleransi +/-15%. Sekaligus dikethaui juga bahwa
suhu kerja yang direkomendasikan adalah antara -55Co sampai +125Co (lihat tabel kode
karakteristik)

I.2.8 Insulation Resistance (IR)

Walaupun bahan dielektrik merupakan bahan yang non-konduktor, namun tetap


saja ada arus yang dapat melewatinya. Artinya, bahan dielektrik juga memiliki resistansi.
walaupun nilainya sangat besar sekali. Phenomena ini dinamakan arus bocor DCL (DC
Leakage Current) dan resistansi dielektrik ini dinamakan Insulation Resistance (IR).
Untuk menjelaskan ini, berikut adalah model rangkaian kapasitor.

10
model kapasitor :

C = Capacitance
ESR = Equivalent Series Resistance
L = Inductance
IR = Insulation Resistance

Jika tidak diberi beban, semestinya kapasitor dapat menyimpan muatan selama-
lamanya. Namun dari model di atas, diketahui ada resitansi dielektrik IR(Insulation
Resistance) yang paralel terhadap kapasitor. Insulation resistance (IR) ini sangat besar
(MOhm). Konsekuensinya tentu saja arus bocor (DCL) sangat kecil (uA). Untuk
mendapatkan kapasitansi yang besar diperlukan permukaan elektroda yang luas, tetapi ini
akan menyebabkan resistansi dielektrik makin kecil. Karena besar IR selalu berbanding
terbalik dengan kapasitansi (C), karakteristik resistansi dielektrik ini biasa juga disajikan
dengan besaran RC (IR x C) yang satuannya ohm-farads atau megaohm-micro farads.

I.2.9 Dissipation Factor (DF) dan Impedansi (Z)

Dissipation Factor adalah besar persentasi rugi-rugi (losses) kapasitansi jika


kapasitor bekerja pada aplikasi frekuensi. Besaran ini menjadi faktor yang diperhitungkan
misalnya pada aplikasi motor phasa, rangkaian ballast, tuner dan lain-lain. Dari model
rangkaian kapasitor digambarkan adanya resistansi seri (ESR) dan induktansi (L). Pabrik
pembuat biasanya meyertakan data DF dalam persen. Rugi-rugi (losses) itu didefenisikan
sebagai ESR yang besarnya adalah persentasi dari impedansi kapasitor Xc. Secara
matematis di tulis sebagai berikut :

11
Dari penjelasan di atas dapat dihitung besar total impedansi (Z total) kapasitor adalah :

12
Karakteristik respons frekuensi sangat perlu diperhitungkan terutama jika kapasitor
bekerja pada frekuensi tinggi. Untuk perhitungan- perhitungan respons frekuensi dikenal
juga satuan faktor qualitas Q (quality factor) yang tak lain sama dengan 1/DF.

I.3 Induktor

Masih ingat aturan tangan kanan pada pelajaran fisika ? Ini cara yang efektif
untuk mengetahui arah medan listrik terhadap arus listrik. Jika seutas kawat tembaga
diberi aliran listrik, maka di sekeliling kawat tembaga akan terbentuk medan listrik.
Dengan aturan tangan kanan dapat diketahui arah medan listrik terhadap arah arus listrik.
Caranya sederhana yaitu dengan mengacungkan jari jempol tangan kanan sedangkan
keempat jari lain menggenggam. Arah jempol adalah arah arus dan arah ke empat jari
lain adalah arah medan listrik yang mengitarinya.

13
Tentu masih ingat juga percobaan dua utas kawat tembaga paralel yang keduanya
diberi arus listrik. Jika arah arusnya berlawanan, kedua kawat tembaga tersebut saling
menjauh. Tetapi jika arah arusnya sama ternyata keduanya berdekatan saling tarik-
menarik. Hal ini terjadi karena adanya induksi medan listrik. Dikenal medan listrik
dengan simbol B dan satuannya Tesla (T). Besar akumulasi medan listrik B pada suatu
luas area A tertentu difenisikan sebagai besar magnetic flux. Simbol yang biasa
digunakan untuk menunjukkan besar magnetic flux ini adalah F dan satuannya Weber
(Wb = T.m2). Secara matematis besarnya adalah :

medan flux...(1)

Lalu bagaimana jika kawat tembaga itu dililitkan membentuk koil atau kumparan.
Jika kumparan tersebut dialiri listrik maka tiap lilitan akan saling menginduksi satu
dengan yang lainnya. Medan listrik yang terbentuk akan segaris dan saling menguatkan.
Komponen yang seperti inilah yang dikenal dengan induktor selenoid.

Dari buku fisika dan teori medan yang menjelimet, dibuktikan bahwa induktor
adalah komponen yang dapat menyimpan energi magnetik. Energi ini direpresentasikan
dengan adanya tegangan emf (electromotive force) jika induktor dialiri listrik. Secara
matematis tegangan emf ditulis :

tegangan emf .... (2)

Jika dibandingkan dengan rumus hukum Ohm V=RI, maka kelihatan ada
kesamaan rumus. Jika R disebut resistansi dari resistor dan V adalah besar tegangan jepit
jika resistor dialiri listrik sebesar I. Maka L adalah induktansi dari induktor dan E adalah
tegangan yang timbul jika induktor dilairi listrik. Tegangan emf di sini adalah respon

14
terhadap perubahan arus fungsi dari waktu terlihat dari rumus di/dt. Sedangkan bilangan
negatif sesuai dengan hukum Lenz yang mengatakan efek induksi cenderung melawan
perubahan yang menyebabkannya. Hubungan antara emf dan arus inilah yang disebut
dengan induktansi, dan satuan yang digunakan adalah (H) Henry.

I.3.1 Induktor disebut self-induced

Arus listrik yang melewati kabel, jalur-jalur pcb dalam suatu rangkain berpotensi untuk
menghasilkan medan induksi. Ini yang sering menjadi pertimbangan dalam mendesain
pcb supaya bebas dari efek induktansi terutama jika multilayer. Tegangan emf akan
menjadi penting saat perubahan arusnya fluktuatif. Efek emf menjadi signifikan pada
sebuah induktor, karena perubahan arus yang melewati tiap lilitan akan saling
menginduksi. Ini yang dimaksud dengan self-induced. Secara matematis induktansi pada
suatu induktor dengan jumlah lilitan sebanyak N adalah akumulasi flux magnet untuk tiap
arus yang melewatinya :

induktansi ...... (3)

Gambar I.8 Induktor selenoida

Fungsi utama dari induktor di dalam suatu rangkaian adalah untuk melawan
fluktuasi arus yang melewatinya. Aplikasinya pada rangkaian dc salah satunya adalah
untuk menghasilkan tegangan dc yang konstan terhadap fluktuasi beban arus. Pada
aplikasi rangkaian ac, salah satu gunanya adalah bisa untuk meredam perubahan fluktuasi
arus yang tidak dinginkan. Akan lebih banyak lagi fungsi dari induktor yang bisa
diaplikasikan pada rangkaian filter, tuner dan sebagainya.

15
Dari pemahaman fisika, elektron yang bergerak akan menimbulkan medan elektrik di
sekitarnya. Berbagai bentuk kumparan, persegi empat, setegah lingkaran ataupun
lingkaran penuh, jika dialiri listrik akan menghasilkan medan listrik yang berbeda.
Penampang induktor biasanya berbentuk lingkaran, sehingga diketahui besar medan
listrik di titik tengah lingkaran adalah :

Medan listrik ........ (4)

Jika dikembangkan, n adalah jumlah lilitan N relatif terhadap panjang induktor l. Secara
matematis ditulis :

Lilitan per-meter……….(5)

Lalu i adalah besar arus melewati induktor tersebut. Ada simbol m yang dinamakan
permeability dan mo yang disebut permeability udara vakum. Besar permeability m
tergantung dari bahan inti (core) dari induktor. Untuk induktor tanpa inti (air winding) m
= 1.

Jika rumus-rumus di atas di subsitusikan maka rumus induktansi (rumus 3) dapat ditulis
menjadi :

Induktansi Induktor ..... (6)

16
Induktor selenoida dengan inti (core) :
L : induktansi dalam H (Henry)
m : permeability inti (core)
mo : permeability udara vakum
mo = 4p x 10-7
N : jumlah lilitan induktor
A : luas penampang induktor (m2)
l : panjang induktor (m)

Inilah rumus untuk menghitung nilai induktansi dari sebuah induktor. Tentu saja
rumus ini bisa dibolak-balik untuk menghitung jumlah lilitan induktor jika nilai
induktansinya sudah ditentukan.

1.3.2 Toroid

Ada satu jenis induktor yang kenal dengan nama toroid. Jika biasanya induktor
berbentuk silinder memanjang, maka toroid berbentuk lingkaran. Biasanya selalu
menggunakan inti besi (core) yang juga berbentuk lingkaran seperti kue donat.

Gambar I.10 Toroida

17
Jika jari-jari toroid adalah r, yaitu jari-jari lingkar luar dikurang jari-jari lingkar dalam.
Maka panjang induktor efektif adalah kira-kira :

Keliling lingkaran toroida …... (7)

Dengan demikian untuk toroida besar induktansi L adalah :

Induktansi Toroida ………(8)

Salah satu keuntungan induktor berbentuk toroid, dapat induktor dengan


induktansi yang lebih besar dan dimensi yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan
induktor berbentuk silinder. Juga karena toroid umumnya menggunakan inti (core) yang
melingkar, maka medan induksinya tertutup dan relatif tidak menginduksi komponen lain
yang berdekatan di dalam satu pcb.

1.3.3 Ferit dan Permeability

Besi lunak banyak digunakan sebagai inti (core) dari induktor yang disebut ferit.
Ada bermacam-macam bahan ferit yang disebut ferromagnetik. Bahan dasarnya adalah
bubuk besi oksida yang disebut juga iron powder. Ada juga ferit yang dicampur dengan
bahan bubuk lain seperti nickle, manganase, zinc (seng) dan mangnesium. Melalui proses
yang dinamakan kalsinasi yaitu dengan pemanasan tinggi dan tekanan tinggi, bubuk
campuran tersebut dibuat menjadi komposisi yang padat. Proses pembuatannya sama
seperti membuat keramik. Oleh sebab itu ferit ini sebenarnya adalah keramik.

Ferit yang sering dijumpai ada yang memiliki m = 1 sampai m = 15.000. Dapat
dipahami penggunaan ferit dimaksudkan untuk mendapatkan nilai induktansi yang lebih

18
besar relatif terhadap jumlah lilitan yang lebih sedikit serta dimensi induktor yang lebih
kecil.

Penggunaan ferit juga disesuaikan dengan frekeunsi kerjanya. Karena beberapa


ferit akan optimum jika bekerja pada selang frekuensi tertentu. Berikut ini adalah
beberapa contoh bahan ferit yang dipasar dikenal dengan kode nomer materialnya. Pabrik
pembuat biasanya dapat memberikan data kode material, dimensi dan permeability yang
lebih detail.

Tabel I. data material ferit

Sampai di sini kita sudah dapat menghitung nilai induktansi suatu induktor.
Misalnya induktor dengan jumlah lilitan 20, berdiameter 1 cm dengan panjang 2 cm serta
mengunakan inti ferit dengan m = 3000. Dapat diketahui nilai induktansinya adalah :

L » 5.9 mH

19
Selain ferit yang berbentuk silinder ada juga ferit yang berbentuk toroida.
Umumnya dipasar tersedia berbagai macam jenis dan ukuran toroida. Jika datanya
lengkap, maka kita dapat menghitung nilai induktansi dengan menggunakan rumus-
rumus yang ada. Karena perlu diketahui nilai permeability bahan ferit, diameter lingkar
luar, diameter lingkar dalam serta luas penampang toroida. Tetapi biasanya pabrikan
hanya membuat daftar indeks induktansi (inductance index) AL. Indeks ini dihitung
berdasarkan dimensi dan permeability ferit. Dengan data ini dapat dihitung jumlah lilitan
yang diperlukan untuk mendapatkan nilai induktansi tertentu. Seperti contoh tabel AL
berikut ini yang satuannya mH/100 lilitan.

Tabel AL

Rumus untuk menghitung jumlah lilitan yang diperlukan untuk mendapatkan nilai
induktansi yang diinginkan adalah :

20
Indeks AL ………. (9)

Misalnya digunakan ferit toroida T50-1, maka dari table diketahui nilai AL = 100.
Maka untuk mendapatkan induktor sebesar 4mH diperlukan lilitan sebanyak :

N » 20 lilitan

Rumus ini sebenarnya diperoleh dari rumus dasar perhitungan induktansi dimana
induktansi L berbanding lurus dengan kuadrat jumlah lilitan N2. Indeks AL umumnya
sudah baku dibuat oleh pabrikan sesuai dengan dimensi dan permeability bahan feritnya.

Permeability bahan bisa juga diketahui dengan kode warna tertentu. Misalnya
abu-abu, hitam, merah, biru atau kuning. Sebenarnya lapisan ini bukan hanya sekedar
warna yang membedakan permeability, tetapi berfungsi juga sebagai pelapis atau
isolator. Biasanya pabrikan menjelaskan berapa nilai tegangan kerja untuk toroida
tersebut.

Contoh bahan ferit toroida di atas umumnya memiliki premeability yang kecil.
Karena bahan ferit yang demikian terbuat hanya dari bubuk besi (iron power). Banyak
juga ferit toroid dibuat dengan nilai permeability m yang besar. Bahan ferit tipe ini
terbuat dari campuran bubuk besi dengan bubuk logam lain. Misalnya ferit toroida FT50-
77 memiliki indeks AL = 1100.

1.3.4 Kawat tembaga

Untuk membuat induktor biasanya tidak diperlukan kawat tembaga yang sangat
panjang. Paling yang diperlukan hanya puluhan sentimeter saja, sehingga efek resistansi
bahan kawat tembaga dapat diabaikan. Ada banyak kawat tembaga yang bisa digunakan.
Untuk pemakaian yang profesional di pasar dapat dijumpai kawat tembaga dengan
standar AWG (American Wire Gauge). Standar ini tergantung dari diameter kawat,
resistansi dan sebagainya. Misalnya kawat tembaga AWG32 berdiameter kira-kira
0.3mm, AWG22 berdiameter 0.7mm ataupun AWG20 yang berdiameter kira-kira
0.8mm. Biasanya yang digunakan adalah kawat tembaga tunggal dan memiliki isolasi.

21
Bab II

Catu Daya

II.1 Prinsip kerja catu daya linear

Perangkat elektronika mestinya dicatu oleh suplai arus searah DC (direct current)
yang stabil agar dapat dengan baik. Baterai atau accu adalah sumber catu daya DC yang
paling baik. Namun untuk aplikasi yang membutuhkan catu daya lebih besar, sumber dari
baterai tidak cukup. Sumber catu daya yang besar adalah sumber bolak-balik AC
(alternating current) dari pembangkit tenaga listrik. Untuk itu diperlukan suatu perangkat
catu daya yang dapat mengubah arus AC menjadi DC. Pada tulisan kali ini disajikan
prinsip rangkaian catu daya (power supply) linier mulai dari rangkaian penyearah yang
paling sederhana sampai pada catu daya yang ter-regulasi.

II.2 Penyearah RECTIFIER)

Prinsip penyearah (rectifier) yang paling sederhana ditunjukkan pada gambar II.1
berikut ini. Transformator diperlukan untuk menurunkan tegangan AC dari jala-jala
listrik pada kumparan primernya menjadi tegangan AC yang lebih kecil pada kumparan
sekundernya.

Gambar II.1 Rangkaian penyearah sederhana

Pada rangkaian ini, dioda berperan untuk hanya meneruskan tegangan positif ke
beban RL. Ini yang disebut dengan penyearah setengah gelombang (half wave). Untuk

22
mendapatkan penyearah gelombang penuh (full wave) diperlukan transformator dengan
center tap (CT) seperti pada gambar II.2.

Gambar II.2 Rangkaian penyearah gelombang penuh

Tegangan positif phasa yang pertama diteruskan oleh D1 sedangkan phasa yang
berikutnya dilewatkan melalui D2 ke beban R1 dengan CT transformator sebagai
common ground.. Dengan demikian beban R1 mendapat suplai tegangan gelombang
penuh seperti gambar di atas. Untuk beberapa aplikasi seperti misalnya untuk men-catu
motor dc yang kecil atau lampu pijar dc, bentuk tegangan seperti ini sudah cukup
memadai. Walaupun terlihat di sini tegangan ripple dari kedua rangkaian di atas masih
sangat besar.

Gambar II.3 Rangkaian penyearah setengah gelombang dengah filter C

Gambar II.3 adalah rangkaian penyearah setengah gelombang dengan filter


kapasitor C yang paralel terhadap beban R. Ternyata dengan filter ini bentuk gelombang
tegangan keluarnya bisa menjadi rata. Gambar II.4 menunjukkan bentuk keluaran
tegangan DC dari rangkaian penyearah setengah gelombang dengan filter kapasitor. Garis
b-c kira-kira adalah garis lurus dengan kemiringan tertentu, dimana pada keadaan ini

23
arus untuk beban R1 dicatu oleh tegangan kapasitor. Sebenarnya garis b-c bukanlah garis
lurus tetapi eksponensial sesuai dengan sifat pengosongan kapasitor.

Gambar II.4 Bentuk gelombang dengan filter kapasitor

Kemiringan kurva b-c tergantung dari besar arus I yang mengalir ke beban R. Jika
arus I = 0 (tidak ada beban) maka kurva b-c akan membentuk garis horizontal. Namun
jika beban arus semakin besar, kemiringan kurva b-c akan semakin tajam. Tegangan yang
keluar akan berbentuk gigi gergaji dengan tegangan ripple yang besarnya adalah :

Vr = VM -VL …....... (1)

dan tegangan dc ke beban adalah Vdc = VM + Vr/2 ..... (2)

Rangkaian penyearah yang baik adalah rangkaian yang memiliki tegangan ripple paling
kecil. VL adalah tegangan discharge atau pengosongan kapasitor C, sehingga dapat ditulis
:

VL = VM e -T/RC .......... (3)

Jika persamaan (3) disubsitusi ke rumus (1), maka diperoleh :

Vr = VM (1 - e -T/RC) ...... (4)

Jika T << RC, dapat ditulis : e -T/RC » 1 - T/RC ..... (5)

24
sehingga jika ini disubsitusi ke rumus (4) dapat diperoleh persamaan yang lebih
sederhana :

Vr = VM(T/RC) .... (6)

VM/R tidak lain adalah beban I, sehingga dengan ini terlihat hubungan antara beban arus I
dan nilai kapasitor C terhadap tegangan ripple Vr. Perhitungan ini efektif untuk
mendapatkan nilai tengangan ripple yang diinginkan.

Vr = I T/C ... (7)

Rumus ini mengatakan, jika arus beban I semakin besar, maka tegangan ripple
akan semakin besar. Sebaliknya jika kapasitansi C semakin besar, tegangan ripple akan
semakin kecil. Untuk penyederhanaan biasanya dianggap T=Tp, yaitu periode satu
gelombang sinus dari jala-jala listrik yang frekuensinya 50Hz atau 60Hz. Jika frekuensi
jala-jala listrik 50Hz, maka T = Tp = 1/f = 1/50 = 0.02 det. Ini berlaku untuk penyearah
setengah gelombang. Untuk penyearah gelombang penuh, tentu saja fekuensi
gelombangnya dua kali lipat, sehingga T = 1/2 Tp = 0.01 det.

Penyearah gelombang penuh dengan filter C dapat dibuat dengan menambahkan


kapasitor pada rangkaian gambar 2. Bisa juga dengan menggunakan transformator yang
tanpa CT, tetapi dengan merangkai 4 dioda seperti pada gambar II.5 berikut ini.

Gambar II.5 Rangkaian penyearah gelombang penuh dengan filter C

Sebagai contoh, anda mendisain rangkaian penyearah gelombang penuh dari catu jala-
jala listrik 220V/50Hz untuk mensuplai beban sebesar 0.5 A. Berapa nilai kapasitor yang

25
diperlukan sehingga rangkaian ini memiliki tegangan ripple yang tidak lebih dari 0.75
Vpp. Jika rumus (7) dibolak-balik maka diperoleh.

C = I.T/Vr = (0.5) (0.01)/0.75 = 6600 uF.

Untuk kapasitor yang sebesar ini banyak tersedia tipe elco yang memiliki
polaritas dan tegangan kerja maksimum tertentu. Tegangan kerja kapasitor yang
digunakan harus lebih besar dari tegangan keluaran catu daya. Anda barangkalai sekarang
paham mengapa rangkaian audio yang anda buat mendengung, coba periksa kembali
rangkaian penyearah catu daya yang anda buat, apakah tegangan ripple ini cukup
mengganggu. Jika dipasaran tidak tersedia kapasitor yang demikian besar, tentu bisa
dengan memparalel dua atau tiga buah kapasitor.

II.3 REGULATOR

Rangkaian penyearah sudah cukup bagus jika tegangan ripple-nya kecil, namun
ada masalah stabilitas. Jika tegangan PLN naik/turun, maka tegangan outputnya juga
akan naik/turun. Seperti rangkaian penyearah di atas, jika arus semakin besar ternyata
tegangan dc keluarnya juga ikut turun. Untuk beberapa aplikasi perubahan tegangan ini
cukup mengganggu, sehingga diperlukan komponen aktif yang dapat meregulasi
tegangan keluaran ini menjadi stabil.

Rangkaian regulator yang paling sederhana ditunjukkan pada gambar II.6 Pada
rangkaian ini, zener bekerja pada daerah breakdown, sehingga menghasilkan tegangan
output yang sama dengan tegangan zener atau Vout = Vz. Namun rangkaian ini hanya
bermanfaat jika arus beban tidak lebih dari 50mA.

26
Gambar II.6 Regulator zener

Prinsip rangkaian catu daya yang seperti ini disebut shunt regulator, salah satu ciri
khasnya adalah komponen regulator yang paralel dengan beban. Ciri lain dari shunt
regulator adalah, rentan terhadap short-circuit. Perhatikan jika Vout terhubung singkat
(short-circuit) maka arusnya tetap I = Vin/R1. Disamping regulator shunt, ada juga yang
disebut dengan regulator seri. Prinsip utama regulator seri seperti rangkaian pada gambar
7 berikut ini. Pada rangkaian ini tegangan keluarannya adalah :

Vout = VZ + VBE ........... (8)

VBE adalah tegangan base-emitor dari transistor Q1 yang besarnya antara 0.2 - 0.7
volt tergantung dari jenis transistor yang digunakan. Dengan mengabaikan arus IB yang
mengalir pada base transistor, dapat dihitung besar tahanan R2 yang diperlukan adalah :

R2 = (Vin - Vz)/Iz .........(9)

Iz adalah arus minimum yang diperlukan oleh dioda zener untuk mencapai
tegangan breakdown zener tersebut. Besar arus ini dapat diketahui dari datasheet yang
besarnya lebih kurang 20 mA.

27
Gambar II.7 Regulator zener follower

Jika diperlukan catu arus yang lebih besar, tentu perhitungan arus base IB pada
rangkaian di atas tidak bisa diabaikan lagi. Dimana seperti yang diketahui, besar arus IC
akan berbanding lurus terhadap arus IB atau dirumskan dengan IC = bIB. Untuk keperluan
itu, transistor Q1 yang dipakai bisa diganti dengan tansistor darlington yang biasanya
memiliki nilai b yang cukup besar. Dengan transistor darlington, arus base yang kecil
bisa menghasilkan arus IC yang lebih besar.

Teknik regulasi yang lebih baik lagi adalah dengan menggunakan Op-Amp untuk
men-drive transistor Q, seperti pada rangkaian gambar II.8. Dioda zener disini tidak
langsung memberi umpan ke transistor Q, melainkan sebagai tegangan referensi bagi Op-
Amp IC1. Umpan balik pada pin negatif Op-amp adalah cuplikan dari tegangan keluar
regulator, yaitu :

Vin(-) = (R2/(R1+R2)) Vout ....... (10)

Jika tegangan keluar Vout menaik, maka tegangan Vin(-) juga akan menaik sampai
tegangan ini sama dengan tegangan referensi Vz. Demikian sebaliknya jika tegangan
keluar Vout menurun, misalnya karena suplai arus ke beban meningkat, Op-amp akan
menjaga kestabilan di titik referensi Vz dengan memberi arus IB ke transistor Q1.
Sehingga pada setiap saat Op-amp menjaga kestabilan :

28
Vin(-) = Vz ......... (11)

Gambar II.8 regulator dengan Op-amp

Dengan mengabaikan tegangan VBE transistor Q1 dan mensubsitusi rumus (11) ke


dalam rumus (10) maka diperoleh hubungan matematis :

Vout = ( (R1+R2)/R2) Vz........... (12)

Pada rangkaian ini tegangan output dapat diatur dengan mengatur besar R1 dan R2.

Sekarang mestinya tidak perlu susah payah lagi mencari op-amp, transistor dan
komponen lainnya untuk merealisasikan rangkaian regulator seperti di atas. Karena
rangkaian semacam ini sudah dikemas menjadi satu IC regulator tegangan tetap. Saat ini
sudah banyak dikenal komponen seri 78XX sebagai regulator tegangan tetap positif dan
seri 79XX yang merupakan regulator untuk tegangan tetap negatif. Bahkan komponen ini
biasanya sudah dilengkapi dengan pembatas arus (current limiter) dan juga pembatas
suhu (thermal shutdown). Komponen ini hanya tiga pin dan dengan menambah beberapa
komponen saja sudah dapat menjadi rangkaian catu daya yang ter-regulasi dengan baik.

29
Gambar II.9 regulator dengan IC 78XX / 79XX

Misalnya 7805 adalah regulator untuk mendapat tegangan 5 volt, 7812 regulator
tegangan 12 volt dan seterusnya. Sedangkan seri 79XX misalnya adalah 7905 dan 7912
yang berturut-turut adalah regulator tegangan negatif 5 dan 12 volt.

Selain dari regulator tegangan tetap ada juga IC regulator yang tegangannya dapat
diatur. Prinsipnya sama dengan regulator OP-amp yang dikemas dalam satu IC misalnya
LM317 untuk regulator variable positif dan LM337 untuk regulator variable negatif.
Bedanya resistor R1 dan R2 ada di luar IC, sehingga tegangan keluaran dapat diatur
melalui resistor eksternal tersebut.

Hanya saja perlu diketahui supaya rangkaian regulator dengan IC tersebut bisa
bekerja, tengangan input harus lebih besar dari tegangan output regulatornya. Biasanya
perbedaan tegangan Vin terhadap Vout yang direkomendasikan ada di dalam datasheet
komponen tersebut. Pemakaian heatshink (aluminium pendingin) dianjurkan jika
komponen ini dipakai untuk men-catu arus yang besar. Di dalam datasheet, komponen
seperti ini maksimum bisa dilewati arus mencapai 1 A.

30
BAB III

Transistor Bipolar

Pada tulisan tentang semikonduktor telah dijelaskan bagaimana sambungan NPN


maupun PNP menjadi sebuah transistor. Telah disinggung juga sedikit tentang arus bias
yang memungkinkan elektron dan hole berdifusi antara kolektor dan emitor menerjang
lapisan base yang tipis itu. Sebagai rangkuman, prinsip kerja transistor adalah arus bias
base-emiter yang kecil mengatur besar arus kolektor-emiter. Bagian penting berikutnya
adalah bagaimana caranya memberi arus bias yang tepat sehingga transistor dapat bekerja
optimal.

III.1 Arus bias

Ada tiga cara yang umum untuk memberi arus bias pada transistor, yaitu
rangkaian CE (Common Emitter), CC (Common Collector) dan CB (Common Base).
Namun saat ini akan lebih detail dijelaskan bias transistor rangkaian CE. Dengan
menganalisa rangkaian CE akan dapat diketahui beberapa parameter penting dan berguna
terutama untuk memilih transistor yang tepat untuk aplikasi tertentu. Tentu untuk aplikasi
pengolahan sinyal frekuensi audio semestinya tidak menggunakan transistor power,
misalnya.

III.2 Arus Emiter

Dari hukum Kirchhoff diketahui bahwa jumlah arus yang masuk kesatu titik akan
sama jumlahnya dengan arus yang keluar. Jika teorema tersebut diaplikasikan pada
transistor, maka hukum itu menjelaskan hubungan :

IE = IC + IB ........(1)

31
Gambar III.1 arus emitor

Persamanaan (1) tersebut mengatakan arus emiter IE adalah jumlah dari arus
kolektor IC dengan arus base IB. Karena arus IB sangat kecil sekali atau disebutkan IB <<
IC, maka dapat di nyatakan :

IE = IC ..........(2)

Alpha (a)

Pada tabel data transistor (databook) sering dijumpai spesikikasiadc (alpha dc) yang tidak
lain adalah :

adc = IC/IE ..............(3)

Defenisinya adalah perbandingan arus kolektor terhadap arus emitor.

Karena besar arus kolektor umumnya hampir sama dengan besar arus emiter
maka idealnya besaradc adalah = 1 (satu). Namun umumnya transistor yang ada
memilikiadc kurang lebih antara 0.95 sampai 0.99.

Beta (b)

Beta didefenisikan sebagai besar perbandingan antara arus kolektor dengan arus base.

b = IC/IB ............. (4)

32
Dengan kata lain,b adalah parameter yang menunjukkan kemampuan penguatan
arus (current gain) dari suatu transistor. Parameter ini ada tertera di databook transistor
dan sangat membantu para perancang rangkaian elektronika dalam merencanakan
rangkaiannya.

Misalnya jika suatu transistor diketahui besarb=250 dan diinginkan arus kolektor
sebesar 10 mA, maka berapakah arus bias base yang diperlukan. Tentu jawabannya
sangat mudah yaitu :

IB = IC/b = 10mA/250 = 40 uA

Arus yang terjadi pada kolektor transistor yang memiliki b = 200 jika diberi arus bias
base sebesar 0.1mA adalah :

IC = b IB = 200 x 0.1mA = 20 mA

Dari rumusan ini lebih terlihat defenisi penguatan arus transistor, yaitu sekali lagi, arus
base yang kecil menjadi arus kolektor yang lebih besar.

III.3 Common Emitter (CE)

Rangkaian CE adalah rangkain yang paling sering digunakan untuk berbagai


aplikasi yang mengunakan transistor. Dinamakan rangkaian CE, sebab titik ground atau
titik tegangan 0 volt dihubungkan pada titik emiter.

Gambar III.2 rangkaian CE

Sekilas Tentang Notasi

33
Ada beberapa notasi yang sering digunakan untuk mununjukkan besar tegangan
pada suatu titik maupun antar titik. Notasi dengan 1 subscript adalah untuk menunjukkan
besar tegangan pada satu titik, misalnya VC = tegangan kolektor, VB = tegangan base dan
VE = tegangan emiter.

Ada juga notasi dengan 2 subscript yang dipakai untuk menunjukkan besar
tegangan antar 2 titik, yang disebut juga dengan tegangan jepit. Diantaranya adalah :

VCE = tegangan jepit kolektor- emitor

VBE = tegangan jepit base - emitor

VCB = tegangan jepit kolektor - base

Notasi seperti VBB, VCC, VEE berturut-turut adalah besar sumber tegangan yang masuk ke
titik base, kolektor dan emitor.

III.4 Kurva Base

Hubungan antara IB dan VBE tentu saja akan berupa kurva dioda. Karena
memang telah diketahui bahwa junction base-emitor tidak lain adalah sebuah dioda. Jika
hukum Ohm diterapkan pada loop base diketahui adalah :

IB = (VBB - VBE) / RB ......... (5)

VBE adalah tegangan jepit dioda junction base-emitor. Arus hanya akan mengalir
jika tegangan antara base-emitor lebih besar dari VBE. Sehingga arus IB mulai aktif
mengalir pada saat nilai VBE tertentu.

34
Gambar III.3 Kurva IB -VBE

Besar VBE umumnya tercantum di dalam databook. Tetapi untuk penyerdehanaan


umumnya diketahui VBE = 0.7 volt untuk transistor silikon dan VBE = 0.3 volt untuk
transistor germanium. Nilai ideal VBE = 0 volt.

Sampai disini akan sangat mudah mengetahui arus IB dan arus IC dari rangkaian
berikut ini, jika diketahui besar b = 200. Katakanlah yang digunakan adalah transistor
yang dibuat dari bahan silikon.

Gambar III.4 rangkaian-01

&mnbsp;

IB = (VBB - VBE) / RB

= (2V - 0.7V) / 100 K

= 13 uA

Dengan b = 200, maka arus kolektor adalah :

35
IC = bIB = 200 x 13uA = 2.6 mA

III.5 Kurva Kolektor

Sekarang sudah diketahui konsep arus base dan arus kolektor. Satu hal lain yang
menarik adalah bagaimana hubungan antara arus base IB, arus kolektor IC dan tegangan
kolektor-emiter VCE. Dengan mengunakan rangkaian-01, tegangan VBB dan VCC dapat
diatur untuk memperoleh plot garis-garis kurva kolektor. Pada gambar berikut telah
diplot beberapa kurva kolektor arus IC terhadap VCE dimana arus IB dibuat konstan.

Gambar III.5 Kurva kolektor

Dari kurva ini terlihat ada beberapa region yang menunjukkan daerah kerja transistor.
Pertama adalah daerah saturasi, lalu daerah cut-off, kemudian daerah aktif dan seterusnya
daerah breakdown.

III.6 Daerah Aktif

Daerah kerja transistor yang normal adalah pada daerah aktif, dimana arus IC
konstans terhadap berapapun nilai VCE. Dari kurva ini diperlihatkan bahwa arus IC hanya
tergantung dari besar arus IB. Daerah kerja ini biasa juga disebut daerah linear (linear
region).

36
Jika hukum Kirchhoff mengenai tegangan dan arus diterapkan pada loop kolektor
(rangkaian CE), maka dapat diperoleh hubungan :

VCE = VCC - ICRC .............. (6)

Dapat dihitung dissipasi daya transistor adalah :

PD = VCE.IC ............... (7)

Rumus ini mengatakan jumlah dissipasi daya transistor adalah tegangan kolektor-
emitor dikali jumlah arus yang melewatinya. Dissipasi daya ini berupa panas yang
menyebabkan naiknya temperatur transistor. Umumnya untuk transistor power sangat
perlu untuk mengetahui spesifikasi PDmax. Spesifikasi ini menunjukkan temperatur kerja
maksimum yang diperbolehkan agar transistor masih bekerja normal. Sebab jika
transistor bekerja melebihi kapasitas daya PDmax, maka transistor dapat rusak atau
terbakar.

III.7 Daerah Saturasi

Daerah saturasi adalah mulai dari VCE = 0 volt sampai kira-kira 0.7 volt (transistor
silikon), yaitu akibat dari efek dioda kolektor-base yang mana tegangan VCE belum
mencukupi untuk dapat menyebabkan aliran elektron.

III.8 Daerah Cut-Off

Jika kemudian tegangan VCC dinaikkan perlahan-lahan, sampai tegangan VCE


tertentu tiba-tiba arus IC mulai konstan. Pada saat perubahan ini, daerah kerja transistor
berada pada daerah cut-off yaitu dari keadaan saturasi (OFF) lalu menjadi aktif (ON).
Perubahan ini dipakai pada system digital yang hanya mengenal angka biner 1 dan 0 yang
tidak lain dapat direpresentasikan oleh status transistor OFF dan ON.

37
Gambar III.6 Rangkaian driver LED

Misalkan pada rangkaian driver LED di atas, transistor yang digunakan adalah
transistor dengan b = 50. Penyalaan LED diatur oleh sebuah gerbang logika (logic gate)
dengan arus output high = 400 uA dan diketahui tegangan forward LED, VLED = 2.4 volt.
Lalu pertanyaannya adalah, berapakah seharusnya resistansi RL yang dipakai.

IC = bIB = 50 x 400 uA = 20 mA

Arus sebesar ini cukup untuk menyalakan LED pada saat transistor cut-off. Tegangan
VCE pada saat cut-off idealnya = 0, dan aproksimasi ini sudah cukup untuk rangkaian
ini.

RL = (VCC - VLED - VCE) / IC

= (5 - 2.4 - 0)V / 20 mA

= 2.6V / 20 mA

= 130 Ohm

III.9 Daerah Breakdown

Dari kurva kolektor, terlihat jika tegangan VCE lebih dari 40V, arus IC menanjak naik
dengan cepat. Transistor pada daerah ini disebut berada pada daerah breakdown.
Seharusnya transistor tidak boleh bekerja pada daerah ini, karena akan dapat merusak
transistor tersebut. Untuk berbagai jenis transistor nilai tegangan VCEmax yang

38
diperbolehkan sebelum breakdown bervariasi. VCEmax pada databook transistor selalu
dicantumkan juga.

III.10 Datasheet transistor

Sebelumnya telah disinggung beberapa spesifikasi transistor, seperti tegangan


VCEmax dan PD max. Sering juga dicantumkan di datasheet keterangan lain tentang arus
ICmax VCBmax dan VEBmax. Ada juga PDmax pada TA = 25o dan PDmax pada TC = 25o.
Misalnya pada transistor 2N3904 dicantumkan data-data seperti :

VCBmax = 60V

VCEOmax = 40V

VEBmax = 6 V

ICmax = 200 mAdc

PDmax = 625 mW TA = 25o

PDmax = 1.5W TC = 25o

TA adalah temperature ambient yaitu suhu kamar. Sedangkan TC adalah


temperature cashing transistor. Dengan demikian jika transistor dilengkapi dengan
heatshink, maka transistor tersebut dapat bekerja dengan kemampuan dissipasi daya yang
lebih besar.

b atau hFE

Pada system analisa rangkaian dikenal juga parameter h, dengan meyebutkan h FE sebagai
bdc untuk mengatakan penguatan arus.

bdc = hFE ................... (8)

39
Sama seperti pencantuman nilai bdc, di datasheet umumnya dicantumkan nilai hFE
minimum (hFE min ) dan nilai maksimunya (hFE max).

40
BAB IV
Klasifikasi Penguat Audio

Sudah menjadi suatu hal yang lumrah jika seseorang selalu mencari sesuatu yang
lebih baik. Tak terkecuali di bidang rancang bangun penguat amplifier, perancang,
peminat atau insinyur elektronika tak pernah berhenti mencari berbagai macam konsep
yang lebih baik. Ada beberapa jenis penguat audio yang dikategorikan antara lain sebagai
penguat class A, B, AB, C, D, T, G, H dan beberapa tipe lainnya yang belum disebut di
sini. Tulisan berikut membahas secara singkat apa yang menjadi ciri dan konsep dari
sistem power amplifier (PA) tersebut.

IV.1 Fidelitas dan Efisiensi


Penguat audio (amplifier) secara harfiah diartikan dengan memperbesar dan
menguatkan sinyal input. Tetapi yang sebenarnya terjadi adalah, sinyal input di-replika
(copied) dan kemudian di reka kembali (re-produced) menjadi sinyal yang lebih besar
dan lebih kuat. Dari sinilah muncul istilah fidelitas (fidelity) yang berarti seberapa mirip
bentuk sinyal keluaran hasil replika terhadap sinyal masukan. Ada kalanya sinyal input
dalam prosesnya kemudian terdistorsi karena berbagai sebab, sehingga bentuk sinyal
keluarannya menjadi cacat. Sistem penguat dikatakan memiliki fidelitas yang tinggi (high
fidelity), jika sistem tersebut mampu menghasilkan sinyal keluaran yang bentuknya
persis sama dengan sinyal input. Hanya level tegangan atau amplituda saja yang telah
diperbesar dan dikuatkan. Di sisi lain, efisiensi juga mesti diperhatikan. Efisiensi yang
dimaksud adalah efisiensi dari penguat itu yang dinyatakan dengan besaran persentasi
dari power output dibandingkan dengan power input. Sistem penguat dikatakan memiliki
tingkat efisiensi tinggi (100 %) jika tidak ada rugi-rugi pada proses penguatannya yang
terbuang menjadi panas.

IV.2 PA kelas A
Contoh dari penguat class A adalah adalah rangkaian dasar common emiter (CE)
transistor. Penguat tipe kelas A dibuat dengan mengatur arus bias yang sesuai di titik

41
tertentu yang ada pada garis bebannya. Sedemikian rupa sehingga titik Q ini berada tepat
di tengah garis beban kurva VCE-IC dari rangkaian penguat tersebut dan sebut saja titik ini
titik A. Gambar berikut adalah contoh rangkaian common emitor dengan transistor NPN
Q1.

Gambar IV.1 Rangkaian dasar kelas A

Garis beban pada penguat ini ditentukan oleh resistor Rc dan Re dari rumus VCC =
VCE + IcRc + IeRe. Jika Ie = Ic maka dapat disederhanakan menjadi VCC = VCE + Ic (Rc+Re).
Selanjutnya pembaca dapat menggambar garis beban rangkaian ini dari rumus tersebut.
Sedangkan resistor Ra dan Rb dipasang untuk menentukan arus bias. Pembaca dapat
menentukan sendiri besar resistor-resistor pada rangkaian tersebut dengan pertama
menetapkan berapa besar arus Ib yang memotong titik Q.

42
Gambar IV.2 Garis beban dan titik Q kelas A

Besar arus Ib biasanya tercantum pada datasheet transistor yang digunakan. Besar
penguatan sinyal AC dapat dihitung dengan teori analisa rangkaian sinyal AC. Analisa
rangkaian AC adalah dengan menghubung singkat setiap komponen kapasitor C dan
secara imajiner menyambungkan VCC ke ground. Dengan cara ini rangkaian gambar-
1dapat dirangkai menjadi seperti gambar-3. Resistor Ra dan Rc dihubungkan ke ground
dan semua kapasitor dihubung singkat.

Gambar IV.3 Rangkaian imajimer analisa ac kelas A

Dengan adanya kapasitor Ce, nilai Re pada analisa sinyal AC menjadi tidak
berarti. Pembaca dapat mencari lebih lanjut literatur yang membahas penguatan transistor
untuk mengetahui bagaimana perhitungan nilai penguatan transistor secara detail.
Penguatan didefenisikan dengan Vout/Vin = rc / re`, dimana rc adalah resistansi Rc paralel
dengan beban RL (pada penguat akhir, RL adalah speaker 8 Ohm) dan re` adalah
resistansi penguatan transitor. Nilai re` dapat dihitung dari rumus re` = hfe/hie yang
datanya juga ada di datasheet transistor. Gambar-4 menunjukkan ilustrasi penguatan
sinyal input serta proyeksinya menjadi sinyal output terhadap garis kurva x-y rumus
penguatan vout = (rc/re) Vin.

43
Gambar IV.4 Kurva penguatan kelas A

Ciri khas dari penguat kelas A, seluruh sinyal keluarannya bekerja pada daerah
aktif. Penguat tipe class A disebut sebagai penguat yang memiliki tingkat fidelitas yang
tinggi. Asalkan sinyal masih bekerja di daerah aktif, bentuk sinyal keluarannya akan
sama persis dengan sinyal input. Namun penguat kelas A ini memiliki efisiensi yang
rendah kira-kira hanya 25% - 50%. Ini tidak lain karena titik Q yang ada pada titik A,
sehingga walaupun tidak ada sinyal input (atau ketika sinyal input = 0 Vac) transistor
tetap bekerja pada daerah aktif dengan arus bias konstan. Transistor selalu aktif (ON)
sehingga sebagian besar dari sumber catu daya terbuang menjadi panas. Karena ini juga
transistor penguat kelas A perlu ditambah dengan pendingin ekstra seperti heatsink yang
lebih besar.

IV.3 PA kelas B
Panas yang berlebih menjadi masalah tersendiri pada penguat kelas A. Maka
dibuatlah penguat kelas B dengan titik Q yang digeser ke titik B (pada gambar-5). Titik B
adalah satu titik pada garis beban dimana titik ini berpotongan dengan garis arus Ib = 0.
Karena letak titik yang demikian, maka transistor hanya bekerja aktif pada satu bagian

44
phase gelombang saja. Oleh sebab itu penguat kelas B selalu dibuat dengan 2 buah
transistor Q1 (NPN) dan Q2 (PNP).

Gambar IV.5 Titik Q penguat A, AB dan B

Karena kedua transistor ini bekerja bergantian, maka penguat kelas B sering
dinamakan sebagai penguat Push-Pull. Rangkaian dasar PA kelas B adalah seperti pada
gambar-6. Jika sinyalnya berupa gelombang sinus, maka transistor Q1 aktif pada 50 %
siklus pertama (phase positif 0o-180o) dan selanjutnya giliran transistor Q2 aktif pada
siklus 50 % berikutnya (phase negatif 180o – 360o). Penguat kelas B lebih efisien
dibanding dengan kelas A, sebab jika tidak ada sinyal input ( v in = 0 volt) maka arus bias
Ib juga = 0 dan praktis membuat kedua trasistor dalam keadaan OFF.

45
Gambar IV.6 Rangkaian dasar penguat kelas B

Efisiensi penguat kelas B kira-kira sebesar 75%. Namun bukan berarti masalah
sudah selesai, sebab transistor memiliki ke-tidak ideal-an. Pada kenyataanya ada
tegangan jepit Vbe kira-kira sebesar 0.7 volt yang menyebabkan transistor masih dalam
keadaan OFF walaupun arus Ib telah lebih besar beberapa mA dari 0. Ini yang
menyebabkan masalah cross-over pada saat transisi dari transistor Q1 menjadi transistor
Q2 yang bergantian menjadi aktif. Gambar-7 menunjukkan masalah cross-over ini yang
penyebabnya adalah adanya dead zone transistor Q1 dan Q2 pada saat transisi. Pada
penguat akhir, salah satu cara mengatasi masalah cross-over adalah dengan menambah
filter cross-over (filter pasif L dan C) pada masukan speaker.

46
Gambar IV.7 Kurva penguatan kelas B

IV.4 PA Kelas AB
Cara lain untuk mengatasi cross-over adalah dengan menggeser sedikit titik Q
pada garis beban dari titik B ke titik AB (gambar-5). Ini tujuannya tidak lain adalah agar
pada saat transisi sinyal dari phase positif ke phase negatif dan sebaliknya, terjadi overlap
diantara transistor Q1 dan Q2. Pada saat itu, transistor Q1 masih aktif sementara
transistor Q2 mulai aktif dan demikian juga pada phase sebaliknya. Penguat kelas AB
merupakan kompromi antara efesiensi (sekitar 50% - 75%) dengan mempertahankan
fidelitas sinyal keluaran.

Gambar IV.8 Overlaping sinyal keluaran penguat kelas AB

47
Ada beberapa teknik yang sering dipakai untuk menggeser titik Q sedikit di atas
daerah cut-off. Salah satu contohnya adalah seperti gambar-9 berikut ini. Resistor R 2 di
sini berfungsi untuk memberi tegangan jepit antara base transistor Q1 dan Q2. Pembaca
dapat menentukan berapa nilai R2 ini untuk memberikan arus bias tertentu bagi kedua
transistor. Tegangan jepit pada R2 dihitung dari pembagi tegangan R1, R2 dan R3 dengan
rumus VR2 = (2VCC) R2/(R1+R2+R3). Lalu tentukan arus base dan lihat relasinya dengan
arus Ic dan Ie sehingga dapat dihitung relasiny dengan tegangan jepit R2 dari rumus VR2
= 2x0.7 + Ie(Re1 + Re2). Penguat kelas AB ternyata punya masalah dengan teknik ini,
sebab akan terjadi peng-gemukan sinyal pada kedua transistornya aktif ketika saat
transisi. Masalah ini disebut dengan gumming.

Gambar IV.9 Rangkaian dasar penguat kelas AB

Untuk menghindari masalah gumming ini, ternyata sang insinyur (yang mungkin
saja bukan seorang insinyur) tidak kehilangan akal. Maka dibuatlah teknik yang hanya
mengaktifkan salah satu transistor saja pada saat transisi. Caranya adalah dengan
membuat salah satu transistornya bekerja pada kelas AB dan satu lainnya bekerja pada
kelas B. Teknik ini bisa dengan memberi bias konstan pada salah satu transistornya yang
bekerja pada kelas AB (biasanya selalu yang PNP). Caranya dengan menganjal base
transistor tersebut menggunakan deretan dioda atau susunan satu transistor aktif. Maka

48
kadang penguat seperti ini disebut juga dengan penguat kelas AB plus B atau bisa saja
diklaim sebagai kelas AB saja atau kelas B karena dasarnya adalah PA kelas B.
Penyebutan ini tergantung dari bagaimana produk amplifier anda mau diiklankan. Karena
penguat kelas AB terlanjur memiliki konotasi lebih baik dari kelas A dan B. Namun yang
penting adalah dengan teknik-teknik ini tujuan untuk mendapatkan efisiensi dan fidelitas
yang lebih baik dapat terpenuhi

IV.5 PA kelas C
Kalau penguat kelas B perlu 2 transistor untuk bekerja dengan baik, maka ada
penguat yang disebut kelas C yang hanya perlu 1 transistor. Ada beberapa aplikasi yang
memang hanya memerlukan 1 phase positif saja. Contohnya adalah pendeteksi dan
penguat frekuensi pilot, rangkaian penguat tuner RF dan sebagainya. Transistor penguat
kelas C bekerja aktif hanya pada phase positif saja, bahkan jika perlu cukup sempit hanya
pada puncak-puncaknya saja dikuatkan. Sisa sinyalnya bisa direplika oleh rangkaian
resonansi L dan C. Tipikal dari rangkaian penguat kelas C adalah seperti pada rangkaian
berikut ini.

Gambar IV.10 Rangkaian dasar penguat kelas C

Rangkaian ini juga tidak perlu dibuatkan bias, karena transistor memang sengaja
dibuat bekerja pada daerah saturasi. Rangkaian L C pada rangkaian tersebut akan ber-
resonansi dan ikut berperan penting dalam me-replika kembali sinyal input menjadi

49
sinyal output dengan frekuensi yang sama. Rangkaian ini jika diberi umpanbalik dapat
menjadi rangkaian osilator RF yang sering digunakan pada pemancar. Penguat kelas C
memiliki efisiensi yang tinggi bahkan sampai 100%, namun tingkat fidelitasnya memang
lebih rendah. Tetapi sebenarnya fidelitas yang tinggi bukan menjadi tujuan dari penguat
jenis ini.

IV.6 PA kelas D
Penguat kelas D menggunakan teknik PWM (pulse width modulation), dimana
lebar dari pulsa ini proporsioal terhadap amplituda sinyal input. Pada tingkat akhir, sinyal
PWM men-drive transistor switching ON dan OFF sesuai dengan lebar pulsanya.
Transistor switching yang digunakan biasanya adalah transistor jenis FET. Konsep
penguat kelas D ditunjukkan pada gambar-11. Teknik sampling pada sistem penguat
kelas D memerlukan sebuah generator gelombang segitiga dan komparator untuk
menghasilkan sinyal PWM yang proporsional terhadap amplituda sinyal input. Pola
sinyal PWM hasil dari teknik sampling ini seperti digambarkan pada gambar-12. Paling
akhir diperlukan filter untuk meningkatkan fidelitas.

Gambar IV.11 Konsep penguat kelas D

50
Gambar IV.12 Ilustrasi modulasi PWM penguat kelas D

Beberapa produsen pembuat PA meng-klaim penguat kelas D produksinya


sebagai penguat digital. Secara kebetulan notasi D dapat diartikan menjadi Digital.
Sebenarnya bukanlah persis demikian, sebab proses digital mestinya mengandung proses
manipulasi sederetan bit-bit yang pada akhirnya ada proses konversi digital ke analog
(DAC) atau ke PWM. Kalaupun mau disebut digital, penguat kelas D adalah penguat
digital 1 bit (on atau off saja).

IV.7 PA kelas E
Penguat kelas E pertama kali dipublikasikan oleh pasangan ayah dan anak Nathan
D dan Alan D Sokal tahun 1972. Dengan struktur yang mirip seperti penguat kelas C,
penguat kelas E memerlukan rangkaian resonansi L/C dengan transistor yang hanya
bekerja kurang dari setengah duty cycle. Bedanya, transistor kelas C bekerja di daerah
aktif (linier). Sedangkan pada penguat kelas E, transistor bekerja sebagai switching
transistor seperti pada penguat kelas D. Biasanya transistor yang digunakan adalah
transistor jenis FET. Karena menggunakan transistor jenis FET (MOSFET/CMOS),
penguat ini menjadi efisien dan cocok untuk aplikasi yang memerlukan drive arus yang
besar namun dengan arus input yang sangat kecil. Bahkan dengan level arus dan tegangan
logik pun sudah bisa membuat transitor switching tersebut bekerja. Karena dikenal
efisien dan dapat dibuat dalam satu chip IC serta dengan disipasi panas yang relatif kecil,
penguat kelas E banyak diaplikasikan pada peralatan transmisi mobile semisal telepon
genggam. Di sini antena adalah bagian dari rangkaian resonansinya.

51
IV.8 PA kelas T
Penguat kelas T bisa jadi disebut sebagai penguat digital. Tripath Technology
membuat desain digital amplifier dengan metode yang mereka namakan Digital Power
Processing (DPP). Mungkin terinspirasi dari PA kelas D, rangkaian akhirnya
menggunakan konsep modulasi PWM dengan switching transistor serta filter. Pada
penguat kelas D, proses dibelakangnnya adalah proses analog. Sedangkan pada penguat
kelas T, proses sebelumnya adalah manipulasi bit-bit digital. Di dalamnya ada audio
prosesor dengan proses umpanbalik yang juga digital untuk koreksi timing delay dan
phase.

IV.9 PA kelas G
Kelas G tergolong penguat analog yang tujuannya untuk memperbaiki efesiensi
dari penguat kelas B/AB. Pada kelas B/AB, tegangan supply hanya ada satu pasang yang
sering dinotasikan sebagai +VCC dan –VEE misalnya +12V dan –12V (atau ditulis dengan
+/-12volt). Pada penguat kelas G, tegangan supply-nya dibuat bertingkat. Terutama untuk
aplikasi yang membutuhkan power dengan tegangan yang tinggi, agar efisien tegangan
supplynya ada 2 atau 3 pasang yang berbeda. Misalnya ada tegangan supply +/-70 volt,
+/-50 volt dan +/-20 volt. Konsep ranagkaian PA kelas G seperti pada gambar-13.
Sebagai contoh, untuk alunan suara yang lembut dan rendah, yang aktif adalah pasangan
tegangan supply +/-20 volt. Kemudian jika diperlukan untuk men-drive suara yang keras,
tegangan supply dapat di-switch ke pasangan tegangan supply maksimum +/-70 volt.

52
Gambar IV.13 Konsep penguat kelas G dengan tegangan supply yang bertingkat

IV.10 PA kelas H
Konsep penguat kelas H sama dengan penguat kelas G dengan tegangan supply
yang dapat berubah sesuai kebutuhan. Hanya saja pada penguat kelas H, tinggi rendahnya
tegangan supply di-desain agar lebih linier tidak terbatas hanya ada 2 atau 3 tahap saja.
Tegangan supply mengikuti tegangan output dan lebih tinggi hanya beberapa volt.
Penguat kelas H ini cukup kompleks, namun akan menjadi sangat efisien.

53
Bab V
Operational Amplifier
Karakteristik Op-Amp

Kalau perlu mendesain sinyal level meter, histeresis pengatur suhu, osilator,
pembangkit sinyal, penguat audio, penguat mic, filter aktif semisal tapis nada bass,
mixer, konverter sinyal, integrator, differensiator, komparator dan sederet aplikasi
lainnya, selalu pilihan yang mudah adalah dengan membolak-balik data komponen yang
bernama op-amp. Komponen elektronika analog dalam kemasan IC (integrated circuits)
ini memang adalah komponen serbaguna dan dipakai pada banyak aplikasi hingga
sekarang. Hanya dengan menambah beberapa resitor dan potensiometer, dalam sekejap
(atau dua kejap) sebuah pre-amp audio kelas B sudah dapat jadi dirangkai di atas sebuah
proto-board.

V.1 Penguat diferensial


Op-amp dinamakan juga dengan penguat diferensial (differential amplifier).
Sesuai dengan istilah ini, op-amp adalah komponen IC yang memiliki 2 input tegangan
dan 1 output tegangan, dimana tegangan output-nya adalah proporsional terhadap
perbedaan tegangan antara kedua inputnya itu. Penguat diferensial seperti yang
ditunjukkan pada gambar-1 merupakan rangkaian dasar dari sebuah op-amp.

Gambar V.1 Penguat diferensial

54
Pada rangkaian yang demikian, persamaan pada titik Vout adalah Vout = A(v1-v2)
dengan A adalah nilai penguatan dari penguat diferensial ini. Titik input v1 dikatakan
sebagai input non-iverting, sebab tegangan vout satu phase dengan v1. Sedangkan
sebaliknya titik v2 dikatakan input inverting sebab berlawanan phasa dengan tengangan
vout.

V.2 Diagram Op-amp


Op-amp di dalamnya terdiri dari beberapa bagian, yang pertama adalah penguat
diferensial, lalu ada tahap penguatan (gain), selanjutnya ada rangkaian penggeser level
(level shifter) dan kemudian penguat akhir yang biasanya dibuat dengan penguat push-
pull kelas B. Gambar-2(a) berikut menunjukkan diagram dari op-amp yang terdiri dari
beberapa bagian tersebut.

Gambar V.2 (a) : Diagram blok Op-Amp

Gambar V.2 (b) : Diagram schematic simbol Op-Amp

55
Simbol op-amp adalah seperti pada gambar-2(b) dengan 2 input, non-inverting (+)
dan input inverting (-). Umumnya op-amp bekerja dengan dual supply (+Vcc dan –Vee)
namun banyak juga op-amp dibuat dengan single supply (Vcc – ground). Simbol
rangkaian di dalam op-amp pada gambar-2(b) adalah parameter umum dari sebuah op-
amp. Rin adalah resitansi input yang nilai idealnya infinit (tak terhingga). R out adalah
resistansi output dan besar resistansi idealnya 0 (nol). Sedangkan AOL adalah nilai
penguatan open loop dan nilai idealnya tak terhingga.

Saat ini banyak terdapat tipe-tipe op-amp dengan karakterisktik yang spesifik.
Op-amp standard type 741 dalam kemasan IC DIP 8 pin sudah dibuat sejak tahun 1960-
an. Untuk tipe yang sama, tiap pabrikan mengeluarkan seri IC dengan insial atau nama
yang berbeda. Misalnya dikenal MC1741 dari motorola, LM741 buatan National
Semiconductor, SN741 dari Texas Instrument dan lain sebagainya. Tergantung dari
teknologi pembuatan dan desain IC-nya, karakteristik satu op-amp dapat berbeda dengan
op-amp lain. Tabel-1 menunjukkan beberapa parameter op-amp yang penting beserta
nilai idealnya dan juga contoh real dari parameter LM714.

Table V.1 Parameter op-amp yang penting

V.3 Penguatan Open-loop


Op-amp idealnya memiliki penguatan open-loop (AOL) yang tak terhingga. Namun
pada prakteknya op-amp semisal LM741 memiliki penguatan yang terhingga kira-kira
100.000 kali. Sebenarnya dengan penguatan yang sebesar ini, sistem penguatan op-amp

56
menjadi tidak stabil. Input diferensial yang amat kecil saja sudah dapat membuat
outputnya menjadi saturasi. Pada bab berikutnya akan dibahas bagaimana umpan balik
bisa membuat sistem penguatan op-amp menjadi stabil.

V.4 Unity-gain frequency


Op-amp ideal mestinya bisa bekerja pada frekuensi berapa saja mulai dari sinyal
dc sampai frekuensi giga Herzt. Parameter unity-gain frequency menjadi penting jika op-
amp digunakan untuk aplikasi dengan frekuensi tertentu. Parameter AOL biasanya adalah
penguatan op-amp pada sinyal DC. Response penguatan op-amp menurun seiring dengan
menaiknya frekuenci sinyal input. Op-amp LM741 misalnya memiliki unity-gain
frequency sebesar 1 MHz. Ini berarti penguatan op-amp akan menjadi 1 kali pada
frekuensi 1 MHz. Jika perlu merancang aplikasi pada frekeunsi tinggi, maka pilihlah op-
amp yang memiliki unity-gain frequency lebih tinggi.

V.5 Slew rate


Di dalam op-amp kadang ditambahkan beberapa kapasitor untuk kompensasi dan
mereduksi noise. Namun kapasitor ini menimbulkan kerugian yang menyebabkan
response op-amp terhadap sinyal input menjadi lambat. Op-amp ideal memiliki parameter
slew-rate yang tak terhingga. Sehingga jika input berupa sinyal kotak, maka outputnya
juga kotak. Tetapi karena ketidak idealan op-amp, maka sinyal output dapat berbentuk
ekponensial. Sebagai contoh praktis, op-amp LM741 memiliki slew-rate sebesar 0.5V/us.
Ini berarti perubahan output op-amp LM741 tidak bisa lebih cepat dari 0.5 volt dalam
waktu 1 us.

V.6 Parameter CMRR


Ada satu parameter yang dinamakan CMRR (Commom Mode Rejection Ratio).
Parameter ini cukup penting untuk menunjukkan kinerja op-amp tersebut. Op-amp
dasarnya adalah penguat diferensial dan mestinya tegangan input yang dikuatkan
hanyalah selisih tegangan antara input v1 (non-inverting) dengan input v2 (inverting).
Karena ketidak-idealan op-amp, maka tegangan persamaan dari kedua input ini ikut juga
dikuatkan. Parameter CMRR diartikan sebagai kemampuan op-amp untuk menekan

57
penguatan tegangan ini (common mode) sekecil-kecilnya. CMRR didefenisikan dengan
rumus CMRR = ADM/ACM yang dinyatakan dengan satuan dB. Contohnya op-amp dengan
CMRR = 90 dB, ini artinya penguatan ADM (differential mode) adalah kira-kira 30.000
kali dibandingkan penguatan ACM (commom mode). Kalau CMRR-nya 30 dB, maka
artinya perbandingannya kira-kira hanya 30 kali. Kalau diaplikasikan secara real,
misalkan tegangan input v1 = 5.05 volt dan tegangan v2 = 5 volt, maka dalam hal ini
tegangan diferensialnya (differential mode) = 0.05 volt dan tegangan persamaan-nya
(common mode) adalah 5 volt. Pembaca dapat mengerti dengan CMRR yang makin besar
maka op-amp diharapkan akan dapat menekan penguatan sinyal yang tidak diinginkan
(common mode) sekecil-kecilnya. Jika kedua pin input dihubung singkat dan diberi
tegangan, maka output op-amp mestinya nol. Dengan kata lain, op-amp dengan CMRR
yang semakin besar akan semakin baik.

V.7 Penutup bagian ke-satu


LM714 termasuk jenis op-amp yang sering digunakan dan banyak dijumpai
dipasaran. Contoh lain misalnya TL072 dan keluarganya sering digunakan untuk penguat
audio. Tipe lain seperti LM139/239/339 adalah opamp yang sering dipakai sebagai
komparator. Di pasaran ada banyak tipe op-amp. Cara yang paling baik pada saat
mendesain aplikasi dengan op-amp adalah dengan melihat dulu karakteristik op-amp
tersebut. Saat ini banyak op-amp yang dilengkapi dengan kemampuan seperti current
sensing, current limmiter, rangkaian kompensasi temperatur dan lainnya. Ada juga op-
amp untuk aplikasi khusus seperti aplikasi frekuesi tinggi, open colector output, high
power output dan lain sebagainya. Data karakteristik op-amp yang lengkap, ya ada di
datasheet

58
Bab VI

Osilator Relaksasi

Telah dimaklumi, umpanbalik positif dapat menimbulkan osilasi pada keluaran


sistem loop tertutup. Pada tulisan berikut dipaparkan tipe osilator yang paling sederhana
yang dinamakan osilator relaksasi (relaxation oscillator). Osilator pembangkit gelombang
ini dibuat dengan op-amp komparator misalnya LM393.

VI.1 Histeresis umpanbalik positif

Rangkaian VI.1 berikut adalah rangkaian osilator dengan satu komparator. Mari
kita analisa rangkaian ini bagian perbagian. Bagian pertama adalah rangkaian umpanbalik
(feedback) positif yang terdiri dari resistor R1 dan R2. Kedua resistor ini tidak lain
merupakan pembagi tegangan yang meng-umpanbalik-kan sebagian porsi dari tegangan
output komparator. Tengangan umpanbalik ini diumpankan kembali pada masukan
referensi positif komparator LM393. Kita sebut saja titik masukan ini titik referensi
positif atau dengan notasi +vref. Karena tegangan output komparator op-amp bisa
mecapai titik tertinggi (+Vsat) dan bisa juga ada pada titik terendah (-Vsat), maka
tegangan titik referensi ini juga akan berubah-ubah.

Jika tegangan keluaran op-amp ada pada titik tertinggi (+Vsat) maka tengangan
referensi op-amp pada saat ini adalah +vref = +BVsat. B diketahui adalah porsi tegangan
umpanbalik yaitu B = (R1/R2+R1). Kita sebut tegangan ini titik UTP (upper trip point).
Sebaliknya jika tegangan keluaran komparator ada pada titik terendah (-Vsat), maka
tegangan referensi positif pada saat ini adalah +vref = -BVsat dan kita namakan tegangan
tersebut titik LTP (lower trip point). Ini dikenal dengan histeresis.

59
Gambar VI.1 rangkaian osilator relaksasi dengan op-amp

VI.2 Osilasi relaksasi

Bagian lain dari rangkaian gambar-1 adalah rangkaian umpanbalik negatif yang
terdiri dari resistor R dan kapasitor C. Sama halnya seperti rangkain umpanbalik positif,
tegangan referensi negatif pada bagian ini juga akan berubah-ubah tergantung dari
tegangan keluaran pada saat itu. Kita sebut saja titik referensi komparator ini -vref.
Bedanya, pada rangkaian umpanbalik negatif ada komponen C yang sangat berperan
dalam pembentukan osilasi. Tegangan -vref akan berbentuk eksponensial sesuai dengan
sifat pengisian kapasitor. Dari keadaan kapasitor C yang kosong, tegangan akan menaik
secara ekponensial. Namun pada rangkaian ini tegangan -vref tidak akan dapat mencapai
tegangan tertinggi +Vsat. Karena ketika tegangan -vref sudah mencapai titik UTP maka
keluaran komparator op-amp akan relaks menjadi -Vsat.

Demikian juga sebaliknya ketika tegangan keluaran op-amp relaks pada titik
saturasi terendah -Vsat, kapasitor C kembali kosong secara eksponensial. Tentu saja
pengosongan kapasitor C tidak akan sampai menyebabkan tegangan -vref mencapai
-Vsat. Ingat jika tegangan keluaran op-amp pada titik saturasi terendah (-Vsat), tegangan
referensi positif berubah menjadi titik LTP, sehingga ketika -vref < LTP tegangan

60
keluaran op-amp kembali relaks ke titik saturasi tertinggi (+Vsat). Demikian seterusnya
sehingga terbentuk osilasi pada keluaran komparator.

VI.3 Frekuensi osilator

Demikian prinsip kerja osilator ini dan dinamakan osilator relaksasi sebab
tegangan keluarannya relaks pada titik saturasi tertinggi dan terendah. Berapa frekuensi
osilator yang dapat dibuat, bisa dihitung dari kecepatan pengisian dan pengosongan
kapasitor C melalui resistasi R. Pada gambar diagram waktu gambar-2, hendak
ditentukan berapa perioda T dari osilator. Karena T = 2t maka dihitung saja berapa nilai t.
Pada contoh ini t = t2-t1.

Gambar VI.2 diagram waktu frekuensi osilator

Masing-masing pada saat t2 dan t1 tengangan kapasitor adalah


Vt2 = Vsat (1-e-t2/RC) dan
Vt1 = Vsat (1 - e-t1/RC)
Perhatikan bahwa Vt2 = +BVsat dan Vt1 = -BVsat.

61
Dengan mengaplikasikan persamaan matematika eksponensial dari persamaan di atas
akan diperoleh :

t = t2-t1 = RC ln [( 1+B)/(1-B)]

dan
T = 2t = 2RC ln [( 1+B)/(1-B)]

Tentu frekuensi osilator dapat dihitung dengan f = 1/T. Sebagai contoh pada rangkaian
gambar 1, jika dihitung maka akan didapat T = 589 us atau f = 1.7 kHz.

62
Bab VII

Osilator satu op-amp pembangkit gelombang sinus

Wien-bridge oscillator

Pembangkit gelombang sinus merupakan instrumen utama yang perlu ada dalam
tiap bengkel disain elektronika. Misalnya diperlukan untuk pengujian rangkaian audio
HiFi yang memerlukan sinyal sinusoidal sebagai input. Pada tulisan ini akan dibahas
fenomena osilator, bagaimana cara sinyal ini dibangkitkan dan realisasi rangkaiannya.
Ada banyak tipe-tipe osilator yang dikenal sesuai dengan nama penemunya antara lain
Amstrong, Colpitts, Hartley dan lain sebagainya. Namun pada tulisan kali ini akan di
kemukan osilator Wien-bridge yang dapat direalisasikan dengan satu op-amp dan
beberapa komponen pasif.

VII.1 Bagaimana terjadi osilasi

Fenomena osilasi tercipta karena ada ketidak-stabilan pada sistem penguat dengan
umpanbalik. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikut, yaitu sistem penguat A
dengan umpan balik B. Biasanya sistem umpanbalik dibuat untuk mencapai suatu
keadaan stabil pada keluarannya dengan mengatur porsi penguatan umpanbalik dengan
nilai tertentu. Namun ada suatu keadaan dimana sistem menjadi tidak stabil. Secara
matematis sistem ini dimodelkan dengan rumus 1.

Gambar VII.1 : sistem penguat dengan umpanbalik

63
Rumus 1 model sistem penguat

Pada rumus 1, sistem menjadi tidak stabil jika 1+AB = 0 atau AB= -1. Sehingga
Vout/Vin pada rumus tersebut nilainya menjadi infinite. Keadaan ini dikenal dengan
sebutan kriteria Barkhausen. AB = -1 dapat juga ditulis dengan :

AB = 1 (F - 180o)

Inilah syarat terjadinya osilasi, jika dan hanya jika penguatan sistem keseluruhan
= 1 dan phasa sinyal tergeser (phase shift) sebesar 180o. Seperti yang sudah diketahui
pada rangkain filter pasif, satu tingkat (single pole) rangkaian RL atau RC dapat
menggeser phasa sinyal sebesar 90o. Setidak-tidaknya diperlukan rangkaian penggeser
phase 2 tingkat agar phasa sinyal tergeser 180o. Sebenarnya rangkaian LC adalah
pengeser phase 2 tingkat, namun untuk aplikasi frekuensi rendah (< 1 MHz) akan
diperlukan nilai induktansi L yang relatif besar dengan ukuran fisik yang besar juga.
Sehingga pada kali dihindari pemakaian induktor L tetapi menggunakan rangkaian
penggeser phasa RC 2 tingkat.

Gambar VII.2 rangkaian penggeser phasa RC 2 tingkat

Inilah rangkaian RC yang akan digunakan sebagai rangkaian umpanbalik pada sistem
pembangkit gelombang sinus yang hendak dibuat.

64
VII.2 Rangkaian osilator Wien-bridge dengan satu op-amp

Osilator dinamakan demikian karena penemunya Max Wien lahir tahun 1866 di
Kaliningrad Rusia dan tinggal di Jerman adalah orang pertama yang mencetuskan ide
penggeser phasa 2 tingkat. Secara utuh bentuk rangkaian tersebut ada pada gambar VI.3
berikut. Rangkain ini merupakan analogi dari sistem umpanbalik seperti model gambar-1.
Tentu anda sekarang dapat menunjukkan dimana penguat A dan yang mana umpanbalik
dengan penguatan B.

Gambar VII.3 rangkaian wien-bridge oscillator

Dari teori diketahui penguatan A adalah penguatan op-amp yang dibentuk oleh
rangkaian resistor Rf dan Rg yang dirangkai ke input negatif op-amp. Rumus
penguatannya adalah :

Rumus 2 penguatan op-amp

65
Pada rangkain gambar VII.3 diketahui Rf = 2Rg, sehingga dengan demikian besar
pengguat A = 3. Dengan hasil ini, untuk memenuhi syarat terjadinya osilasi dimana AB =
1 maka B penguatannya harus 1/3. Karena keterbatasan ruang, pembaca dapat
menganalisa sendiri rangkaian penggeser phasa pada gambar-2 dengan pesyaratan osilasi
yaitu Vout/Vin = 1/3. Pembaca akan menemukan bahwa rangkaian penggeser phasa
tersebut akan mencapai nilai maksimum pada satu frekuensi tertentu. Nilai maksimun ini
akan tercapai jika wC = R dan diketahui w = 2pf. Selanjutnya jika diuraikan dapat
diketahui besar frekuensi ini adalah :

Rumus 3 frekuensi resonansi

Ini yang dikenal dengan sebutab frekuensi resonansi (resonant frequency). Dengan
demikian osilator wien yang dibuat akan menghasilkan gelombang sinus dengan
frekuensi resonansi tersebut.

VII.3 Dimana Jembatannya

Mengapa rangkaian ini diberi embel-embel jembatan (bridge) ? Dimana


jembatannya ? Pertanyaan ini mungkin sedikit mengganggu pikiran anda yang tidak
melihat ada jembatan pada rangkaian gambar VI.3. Bagaimana kalau gambar VI.3 di buat
kembali menjadi gambar VI.4 berikut ini.

66
Gambar VII.4 jembatan Wien

Tentu sekarang anda sudah dapat melihat ada jembatannya bukan. Ya, rangkaian yang
berbentuk seperti dioda bridge itulah jembatannya, jembatan Wien.

VII.4 Distorsi frekuensi resonansi

Dengan menggunakan rumus 3, rangkaian gambar VII.3 (atau gambar VII.4) akan
menghasilkan gelombang sinusoidal dengan frekuensi 1.59 kHz. Tetapi kalau anda
berkesempatan mencoba rangkaian ini dan mengukur hasilnya dengan osiloskop atau
frekuesi counter, ternyata frekuensi resonansinya adalah 1.65 kHz. Hal ini memang
diketahui karena adanya distorsi pada rangkaian penggeser phasa yang non-linier. Untuk
mengkompensasi distorsi tersebut, dapat digunakan rangkaian umpanbalik nonlinear.
Misalnya dengan mengganti resistor Rg dengan lampu dc 6volt 1 watt, tentu besar
resistor Rf juga harus disesuaikan agar tetap nilainya lebih kurang 2Rg. Besar arus yang
melewati lampu tidak akan menyalakannya, tetapi cukup untuk memanaskan filamennya.
Besar resistansi lampu akan berubah-ubah karena pasan sesuai dengan besar arus yang
melewatinya. Ini yang membuat penguatan op-amp mejadi tidak liner. Pada rangkaian
pembangkit sinyal sinus jembatan Wien yang lebih profesional biasanya kompensasi ini
dibuat dengan menambahkan rangkaian AGC (automatic gain controller).

67
68

You might also like