You are on page 1of 87

INTEGRASI NARAPIDANA DALAM MASYARAKAT SETELAH BEBAS

DARI RUMAH TAHANAN DI DESA KARANGLO


KECAMATAN POLANHARJO KABUPATEN KLATEN

SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum


pada Universitas Negeri Semarang

Oleh:
Andi Riyanto
3450401056

FAKULTAS ILMU SOSIAL


UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2006
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia

ujian skripsi pada:

Hari : .........

Tanggal : .........

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Drs. Abdul Rosyid Wasyim, M.Ag Dra. Martitah, M.Hum


NIP: 130607620 NIP: 131570071

Mengetahui:

Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan

Drs. Eko Handoyo, M.Si


NIP: 131764048

ii
PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi

Program Studi Ilmu Hukum, Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Fakultas

Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang pada:

Hari : Selasa

Tanggal : 28 Februari 2006

Penguji Skripsi

Drs. Sartono Sahlan


NIP. 131125644

Anggota I Anggota II

Drs. Abdul Rasyid W, M.Ag Dra. Martitah, M.Hum


NIP. 130607620 NIP. 131570071

Mengetahui:
Dekan,

Drs. Sunardi, MM
NIP. 130367998

iii
PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar


hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian
atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat pada skripsi ini
dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang,................... 2006

Andi Riyanto
NIM: 3450401056

iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

- All things are impossible without God.

(John F. Kennedy)

- Kita berhasil sebab kita tidak berkecil hati karena kegagalan-kegagalan kita.

(Andi Riyanto)

Persembahan:

1. Bapak dan ibuku tercinta.

2. Adik-adikku dan Asihku tersayang.

3. Saudara-saudaraku.

4. Sahabat-sahabatku.

5. Almamaterku.

v
PRAKATA

Puji syukur penulis kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

melimpahkan rahmat-Nya, sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan

baik. Penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan

kritik dari para pembaca sudilah kiranya menjadi masukan dalam perbaikan.

Penulis menyadari bahwa dari penulisan skripsi ini tidak terlepas dari

bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini

perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-

tingginya kepada:

1. DR. H. AT. Soegito, S.H., M.M., Rektor Universitas Negeri Semarang.

2. Drs. Sunardi, M.M., Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang

yang telah memberikan izin pada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

3. Drs. Eko Handoyo, M.Si, Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan

Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, yang telah memberikan

kemudahan pada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Dra. Martitah, M.Hum, Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan sekaligus

sebagai Dosen Pembimbing II, yang telah senantiasa membimbing dan

mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi ini.

5. Drs. Abdul Rasyid Wasyim, M.Ag, sebagai Dosen Pembimbing I, yang telah

memberikan petunjuk dan bimbingan, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

6. Dosen-dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah menyampaikan ilmunya

kepada penulis.

7. Subagyo, sebagai Kepala Desa Karanglo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten

Klaten, yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis dan perolehan

data dalam penyusunan skripsi ini.

vi
8. Sri Harmanto, S.H., sebagai sekertaris Desa Karanglo yang telah membantu

dalam memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam penyusunan skripsi ini.

9. Perangkat Desa Karanglo dan Aparat Kepolisian Sektor Kecamatan

Polanharjo, Kabupaten Klaten yang telah membantu dalam perolehan data-

data dalam penyusunan skripsi ini.

10. Sulatief, sebagai petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Surakarta dan

Tentrem, sebagai petugas Rumah Tahanan Negara Surakarta yang telah

membantu dalam perolehan data-data yang mendukung dalam penyusunan

skripsi ini.

11. Bapak ibuku dan adikku serta Asihku yang selalu mendoakan dan

memberikan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

12. Sahabat-sahabatku di kontrakan Khambiyah Banaran, kontrakan Patemon, kos

Kembar, rental mas Tio, dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan

motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan

satu persatu.

Semoga Tuhan yang Maha Esa melimpahkan rahmat serta lindungan-Nya

kepada pihak-pihak yang terkait tersebut dan membalasnya dengan lebih baik.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat berguna untuk menjadi

telaah ilmiah bagi semua pihak.

Semarang,................2006

Penulis

vii
SARI

Andi Riyanto, 2006. Integrasi Narapidana dalam Masyarakat Setelah Bebas dari
Rumah Tahanan di Desa Karanglo Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.
Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Abdul
Rasyid Wasyim M. Ag dan Pembimbing II: Dra. Martitah M. Hum.

Kata Kunci: Integrasi, Narapidana, Masyarakat.

Fenomena masyarakat saat ini, bahwa narapidana dalam mengintegrasikan


dirinya dalam masyarakat setelah bebas dari Rumah Tahanan keberadaannya
kurang diterima dengan baik untuk kembali hidup di masyarakat. Berbagai
anggapan masyarakat yang negatif terhadap narapidana setelah bebas dari Rumah
Tahanan mengakibatkan dampak yang kurang baik, karena mereka merasa
tertekan dan mempunyai beban moral yang berat, mereka cenderung untuk
kembali melakukan tindak kejahatannya lagi. Peran pemerintah, keluarga,
masyarakat dan dari narapidana itu sendiri merupakan faktor internal dan
eksternal yang sangat penting dalam membentuk jiwa, moral dan rasa
kepercayaan diri dari narapidana setelah bebas dari Rumah Tahanan untuk
menghadapi gejolak yang terjadi di masyarakat. Di desa Karanglo Kecamatan
Polanharjo Kabupaten Klaten diketahui bahwa para narapidana setelah bebas dari
Rumah Tahanan dalam hal mencari pekerjaan tidak mendapat kemudahan, karena
kurang adanya rasa kepercayaan masyarakat tersebut menunjukkan bahwa
keberadaan para narapidana kurang dapat diterima dimasyarakat dengan baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara mengintegrasikan
narapidana dalam masyarakat setelah bebas dari Rumah Tahanan dan hambatan-
hambatan yang timbul serta solusinya di Desa Karanglo Kecamatan Polanharjo
Kabupaten Klaten Berdasarkan hasil penelitian ini di Desa Karanglo Kecamatan
Polanharjo Kabupaten Klaten mempunyai penduduk berjumlah 558 kepala
keluarga dengan responden berjumlah 5 orang dan informan 6 orang.. Penelitian
ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tehnik pengumpulan data
berdasarkan hasil observasi, wawancara, dan dokumen-dokumen resmi yang
bersumber dari informan dan responden tentang cara mengintegrasikan
narapidana dalam masyarakat setelah bebas dari Rumah Tahanan dan hambatan-
hambatan yang timbul serta solusinya. Dari hasil penelitian tersebut untuk
memperoleh keabsahan datanya dengan menggunakan tehnik trianggulasi yang
dianalisis melalui pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan menarik
kesimpulan.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa cara mengintegrasikan
narapidana dalam masyarakat setelah bebas dari Rumah Tahanan dapat terlihat
dari berbagai usaha narapidana dalam mengintegrasikan dirinya dengan
masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk perubahan perilaku dan tindakannya
dalam hidup bermasyarakat.Usaha dari pihak pemerintah dalam mengintegrasikan
narapidana dalam masyarakat setelah bebas dari Rumah Tahanan, dilakukan oleh
petugas BAPAS (Balai Pemasyarakatan) dalam pelaksanaan proses asimilasi.

viii
Pemerintah desa Karanglo dan tokoh-tokoh masyarakatnya juga mendukung
usaha dalam mengintegrasikan narapidana dalam masyarakat setelah bebas dari
Rumah Tahanan dengan melalui pendekatan dan penyuluhan baik secara langsung
ataupun tidak langsung terhadap narapidana itu sendiri dan masyarakat. Faktor
yang menghambat dalam mengintegrasikan narapidana dengan masyarakat setelah
bebas dari Rumah Tahanan di Desa Karanglo adalah faktor yang berasal dari
narapidana itu sendiri, yaitu dilihat dari segi keturunan, dari sifat dan tindakan,
faktor hukuman ringan yang tidak menimbulkan efek jera dan kejahatan yang
dilakukan merupakan sebuah profesi. Faktor dari masyarakat, yaitu rasa kurang
percaya masyarakat atau berbagai anggapan yang negatif terhadap narapidana
dan faktor dari Pemerintah yang kurang memperhatikan keberadaan narapidana.
Solusi untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan kerjasama yang baik antara
pihak pemerintah, masyarakat dan dari narapidana itu sendiri dalam usaha
membangun semangat baru guna menghilangkan berbagai persepsi masyarakat
yang negatif serta lebih memperhatikan keberadaan narapidana dalam masyarakat
setelah bebas dari Rumah Tahanan dalam masyarakat agar mereka tidak merasa
dikucilkan dari lingkungannya. Dari pihak narapidana itu sendiri sebaiknya lebih
mengembangkan ketrampilan yang didapat selama di Rumah Tahanan, sehingga
tercapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang
Undang Dasar 1945.

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................... ii
PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... iii
PERNYATAAN............................................................................................... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... v
PRAKATA ....................................................................................................... vi
SARI................................................................................................................. viii
DAFTAR ISI.................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ..................................... 5
C. Perumusan Masalah ................................................................ 6
D. Tujuan Penelitian .................................................................... 7
E. Kegunaan Penelitian................................................................ 7
F. Sistematika .............................................................................. 8

BAB II PENELAAHAN KEPUSTAKAAN


DAN/ATAU KERANGKA TEORITIK ....................................... 10
A. Pengertian Integrasi dan Masyarakat ...................................... 10
B. Pengertian Narapidana ........................................................... 15
C. Pengertian dan Tujuan Pemidanaan ........................................ 16
D. Sistem Permasyarakatan.......................................................... 20
E. Rumah Tahanan Negara .......................................................... 32
F. Pandangan Masyarakat terhadap Kejahatan............................ 34
G. Kerangka Teoretik ................................................................... 37

BAB III METODE PENELITIAN.............................................................. 39


A. Dasar Penelitian ...................................................................... 39

x
B. Lokasi Penelitian..................................................................... 40
C. Fokus atau Variabel Penelitian................................................ 40
D. Sumber Data Penelitian........................................................... 42
E. Alat dan Teknik Pengumpulan Data ....................................... 44
F. Objektivitas dan Keabsahan Data ........................................... 45
G. Model Analisis Data................................................................ 46
H. Prosedur Penelitian.................................................................. 49

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................... 51


A. Cara Mengintegrasikan Narapidana dalam Masyarakat
Setelah Bebas dari Rumah Tahanan........................................ 51
B. Hambatan-Hambatan dalam Mengintegrasikan Narapidana
dalam Masyarakat Setelah Bebas dari Rumah Tahanan
serta Solusinya ........................................................................ 61

BAB V PENUTUP..................................................................................... 70
A. Kesimpulan ............................................................................. 70
B. Saran........................................................................................ 72

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian dari Program Studi Ilmu Hukum, Jurusan

Hukum dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas

Negeri Semarang.

Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian dari Kantor Wilayah Departemen Hukum dan

Hak Asasi Manusia R.I Jawa Tengah kepada Kantor Balai

Pemasyarakatan Surakarta (BAPAS) dan Rumah Tahanan Negara

Surakarta.

Lampiran 3. Surat Keterangan dari Kantor Balai Pemasyarakatan (BAPAS)

Surakarta.

Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian dari Pemerintah Desa Karanglo Kecamatan

Polanharjo Kabupaten Klaten.

Lampiran 5. Surat Keterangan/Pengantar Pemerintah Desa Karanglo

Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten kepada Kepolisian

Sektor Polanharjo Kabupaten Klaten.

Lampiran 6. Surat Penelitian Skripsi dari Pemerintah Desa Karanglo

Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.

Lampiran 7. Surat Pernyataan dari Pemerintah Desa Karanglo Kecamatan

Polanharjo Kabupaten Klaten.

Lampiran 8. Surat Lepas tahun 2001 dari Departemen Kehakiman dan Hak

Asasi Manusia RI, Kantor Wilayah Jawa Tengah, Rumah Tahanan

Negara Kelas I Surakarta.

xii
Lampiran 9. Surat Lepas tahun 2005 dari Departemen Hukum dan Hak Asasi

Manusia RI Kantor Wilayah Jawa Tengah, Lembaga

Pemasyarakatan Kelas I Semarang.

Lampiran 10. Susunan Organisasi Pemerintah Desa Karanglo Kecamatan

Polanharjo Kabupaten Klaten.

Lampiran 11. Peta Desa Karanglo Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.

Lampiran 12. Data Monografi Desa Karanglo Kecamatan Polanharjo Kabupaten

Klaten.

Lampiran 13. Panduan Observasi

Lampiran 14. Hasil Observasi

Lampiran 15. Data Informan

Lampiran 16. Data Responden

Lampiran 17. Panduan Wawancara

Lampiran 18. Hasil Wawancara

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-

Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional negara Indonesia untuk

menuju masyarakat yang adil dan makmur. Setiap warga negara mempunyai

tujuan ingin mencapai kehidupan yang adil, maka setiap negara mengadakan

usaha untuk mencegah dan mengurangi tindak kejahatannya. Usaha

pemberantasan tindak kejahatan dilakukan dengan pemberian sanksi, dengan

maksud agar pelaku kejahatan itu menjadi jera dan juga mencegah masyarakat

agar tidak melakukan tindak kejahatan, selain itu juga membuat pelaku

kejahatan yang bersangkutan menjadi warga negara yang baik.

Undang-undang yang mengatur mengenai sanksi yang diberikan bagi

mereka atau warga negara yang melakukan tindak kejahatan atau tindak

pidana diatur dalam KUHP Pasal 10 yaitu Pidana Pokok dan Pidana

Tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, kurungan

dan denda, sedangkan Pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak

tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim.

Pidana penjara pada mulanya direncanakan untuk kejahatan-kejahatan

dulus, yaitu kejahatan-kejahatan yang dilakukan dengan kesengajaan. Pada

rancangan KUHP ternyata tidak ada kepastian mengenai batas antara

kesengajaan dan kealpaan, maka pidana penjara juga ditentukan sebagai

1
2

alternatif disamping pidana kurungan pada kejahatan-kejahatan kulpos, yaitu

kejahatan yang dilakukan karena kealpaan (lihat Pasal 188). Untuk beberapa

kejahatan kulpos tetap hanya ada pidana kurungan (lihat Pasal 231 ayat 4, 232

yat 3 dan 334 KUHP). Denda diberikan untuk pelanggaran dan beberapa pada

kejahatan. Berdasarkan keterangan di atas alternatif berarti bahwa hakim dapat

menjatuhkan hanya satu diantara Pidana pokok, menurut KUHP tidak ada

kemungkinan hakim menjatuhkan pidana penjara atau kurungan secara

kumulatif dengan denda kecuali dalam perkara tindak pidana ekonomi (TPE).

Perbedaan antara Pidana pokok dan Pidana tambahan adalah sebagai

berikut:

Pertama, pidana tambahan hanya dapat ditambahkan pada pidana


pokok, kecuali perampasan barang-barang tertentu dapat dilakukan terhadap
anak yang diserahkan pada pemerintah, tetapi hanya mengenai barang-barang
yang disita. Dalam hal ini ada pidana tambahan pada suatu tindakan dan bukan
pada pidana pokok.
Kedua, Pidana tambahan tidak mempunyai sifat keharusan jika hakim
yakin mengenai perbuatan pidana dan kesalahan terdakwa, maka terdakwa
dijatuhi pidana pokok.
Ketiga, mulai berlakunya hak-hak tertentu tidak dengan suatu tindakan
eksekusi, ayat penghabisan Pasal 38 KUHP menentukan bahwa pidana
tambahan mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan (Saleh
Roeslan, 1987:51).

Peraturan tersebut merupakan sanksi yang diberikan kepada setiap

masyarakat yang melakukan tindak kejahatan. Kejahatan merupakan masalah

sosial ekonomi juga merupakan masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan.

Telah dilakukan berbagai cara untuk menanggulanginya, salah satu cara yang

dapat mencegah dan mengendalikanya adalah dengan menggunakan hubungan

hukum pidana yang sanksinya berupa pemidanaan yang tegas bagi para

pelanggar hukum.
3

Perubahan yang terjadi dalam masyarakat seringkali menimbulkan


masalah sosial yang mengakibatkan perubahan-perubahan pola terhadap nilai-
nilai kemasyarakatan lama yang dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan
zaman. Variasi masalah sosial sangat beragam, tergantung pada aspek-aspek
kehidupan mana yang sedang dalam kehidupan terbatas, yang menyebabkan
anggota masyarakat menjadi resah karenanya. Ada yang menganggap masalah
sosial itu berupa keresahan masyarakat yang disebabkan oleh gejala-gejala
kejahatan, adapula yang mengatakan masalah sosial itu identik dengan
kemiskinan, perceraian, dan bentuk-bentuk pelanggaran hukum lainnya (Syani
Abdul, 2002:182-183).

Perkembangan zaman yang semakin maju diikuti oleh laju

pertumbuhan penduduk mengakibatkan sulitnya mencari lapangan pekerjaan,

sehingga menimbulkan banyaknya pengangguran, laju perekonomian semakin

merosot, adanya krisis kepercayaan yang terjadi di seluruh kalangan

masyarakat dan tingkat kriminalitas yang tinggi. Peningkatan tersebut juga

dipengaruhi oleh adanya indikasi yang kurang efisien dan mekanisme

penanggulangan kejahatan yang ada kurang optimal.

Fenomena masyarakat pada saat ini, bahwa narapidana yang telah

bebas dari Rumah Tahanan kurang begitu diterima dengan baik keberadaanya

untuk kembali hidup bersama di masyarakat. Beberapa warga masyarakat

beranggapan bahwa sekali orang berbuat jahat, maka selamanya orang

tersebut akan berbuat jahat atau dengan gagasan praduga bersalah yang

berkepanjangan. Adanya anggapan masyarakat bahwa narapidana yang telah

berada di rumah tahanan masih mempunyai kecenderungan kuat untuk

menjadi residivis (orang yang berulangkali melakukan tindak kejahatan, dalam

pengertian kambuh seperti penyakit). Hal ini akan menghadapkan seorang

narapidana setelah bebas dari Rumah Tahanan tidak memperoleh hak

kemanusiaanya kembali di dalam lingkungan masyarakatnya. Fenomena


4

tersebut mengakibatkan dampak yang kurang baik bagi para narapidana

setelah bebas dari rumah tahanan, karena mereka merasa tertekan dan

mempunyai beban moral yang berat, sehingga mereka akan cenderung untuk

kembali melakukan tindak kejahatan yang pernah dilakukannya.

Peran keluarga para narapidana merupakan faktor internal yang sangat

penting untuk kembali membentuk jiwa dan rasa kepercayaan pada diri para

narapidana setelah bebas dari Rumah Tahanan untuk kembali hidup

bermasyarakat. Faktor eksternal dari pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat dan

lingkungan sekitar juga sangat penting dalam membentuk jiwa dan moral para

narapidana setelah bebas dari Rumah Tahanan agar dapat kembali menjadi

warga masyarakat yang baik, sehingga mereka memiliki jiwa dan moral yang

kokoh dalam menghadapi gejolak yang terjadi di masyarakat, seperti adanya

penghinaan, pelecehan dan lain-lain.

Dari survei awal yang dilakukan oleh penulis di Desa Karanglo,

Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, diketahui bahwa para narapidana

setelah bebas dari Rumah Tahanan dalam hal mencari pekerjaan tidak

mendapatkan suatu kemudahan, karena kurang adanya rasa kepercayaan

masyarakat terhadap narapidana setelah bebas dari Rumah Tahanan, hal ini

menunjukkan bahwa para narapidana keberadaannya kurang dapat diterima di

masyarakat, sehingga mereka banyak yang kembali melakukan tindak

kejahatan atau bahkan tingkat kejahatan yang dilakukannya cenderung

meningkat. Dengan adanya fenomena tersebut, penulis tertarik untuk

mengadakan penelitian tentang cara mengintegrasikan narapidana dalam


5

masyarakat setelah bebas dari Rumah Tahanan agar keberadaanya dapat

diterima di masyarakat dengan baik, sehingga mereka tidak melakukan tindak

kejahatan lagi.

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Fenomena masyarakat di Desa Karanglo, Kecamatan Polanharjo,

Kabupaten Klaten, bahwa narapidana setelah bebas dari Rumah Tahanan

keberadaannya kurang diterima dengan baik. Hal tersebut menimbulkan

dampak yang kurang baik bagi para narapidana setelah bebas dari Rumah

Tahanan, yaitu mereka cenderung lebih memilih untuk mengulangi tindak

kejahatan yang pernah dilakukannya.

Peran internal dari keluarga para narapidana sangat penting untuk

mengembalikan rasa kepercayaan diri para narapidana setelah bebas dari

Rumah Tahanan untuk hidup kembali kemasyarakat. Selain itu faktor

eksternal dari pemerintah, para tokoh masyarakat dan orang-orang di

sekitar lingkungannya juga sangat penting untuk membantu para

narapidana setelah bebas dari Rumah Tahanan kembali menjadi warga

masyarakat yang baik, sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang adil,

makmur, aman dan tertib.

2. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah yang akan penulis kemukakan dalam

penelitian ini, yaitu mengenai cara mengintegrasikan narapidana dalam


6

masyarakat setelah bebas dari Rumah Tahanan dan hambatan-hambatan

serta solusinya di Desa Karanglo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten

Klaten. Batasan ini penulis lakukan agar isi karya tulis ini tidak

menyimpang dari judul yang telah penulis tetapkan.

Penulis memilih Desa Karanglo Kecamatan Polanharjo Kabupaten

Klaten sebagai tempat penelitian, karena di tempat tersebut masih ada para

narapidana setelah bebas dari Rumah Tahanan yang keberadaannya kurang

begitu diterima di masyarakat, sehingga mereka memilih untuk

mengulangi tindak kejahatannya lagi, bahkan tingkat kejahatan tersebut

cenderung meningkat.

C. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam karya tulis ini sangat penting, sebab untuk

memudahkan penulis dalam membahas masalah yang diteliti, adapun yang

menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah cara mengintegrasikan narapidana dalam masyarakat

setelah bebas dari Rumah Tahanan, agar mereka dapat diterima di

masyarakat dan tidak kembali melakukan tindak kejahatan?

2. Hambatan-hambatan apa saja yang timbul dalam mengintegrasikan

narapidana dalam masyarakat setelah bebas dari Rumah Tahanan, serta

solusinya di Desa Karanglo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten?


7

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dalam penyusunan karya tulis ini adalah

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui cara mengintegrasikan narapidana dalam masyarakat

setelah bebas dari Rumah Tahanan, agar dapat diterima kembali dengan

baik di masyarakat, sehingga tidak mengulangi tindak kejahatanya.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang timbul dalam

mengintegrasikan narapidana dalam masyarakat setelah bebas dari Rumah

Tahanan, serta solusinya, di Desa Karanglo, Kecamatan Polanharjo,

Kabupaten Klaten.

E. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Toeritis

a. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat selama kuliah

di Fakultas Ilmu Sosial, Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan,

Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Negeri Semarang.

b. Untuk memasukkan pemikiran di bidang Ilmu Hukum, pada Hukum

Pidana, Sosiologi Hukum dan Psikologi Sosial mengenai cara

mengintegrasikan narapidana dalam masyarakat setelah bebas dari

Rumah Tahanan.
8

2. Manfaat praktis

a. Untuk memberikan motivasi dan menambah wawasan kepada pihak

yang berkepentingan antara lain: pihak narapidana, keluarga

narapidana, tokoh masyarakat dan masyarakat pada umumnya agar

dapat menerima keberadaan para narapidana yang telah bebas dari

Rumah Tahanan untuk kembali hidup di masyarakat dengan baik.

b. Diharapkan dengan adanya skripsi ini dapat menambah wawasan bagi

para pembacanya dan dapat mendorong penulis untuk melakukan

penelitian dalam bidang hukum.

F. Sistematika

Penulisan skripsi ini terbagi atas tiga bagian yaitu: bagian pendahuluan

skripsi, bagian isi skripsi dan bagian akhir skripsi.

Bagian pendahuluan skripsi berisi tentang halaman judul, halaman

pengesahan, sari, motto dan persembahan, prakata, daftar isi. Bagian isi skripsi

terdiri dari lima bab, yang berisi: pendahuluan, merupakan bagian awal skripsi

yang mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan latar belakang

identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika. Selanjutnya adalah

penelaahan kepustakaan dan kerangka teoritik. Pada bagian ini diuraikan

landasan teori yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian skripsi yang

merangkum pendapat para ahli dari berbagai sumber yang mendukung

penelitian ini, yaitu tentang pengertian integrasi dan masyarakat, pengertian


9

narapidana, pengertian dan tujuan pemidanaan, sistem pemasyarakatan,

Rumah Tahanan Negara, dan berbagai pandangan masyarakat terhadap

kejahatan. Bagian selanjutnya adalah metode penelitian, yang mencakup dasar

penelitian, lokasi penelitian, fokus atau variabel penelitian, sumber data

penelitian, alat dan teknik pengumpulan data, objektivitas dan keabsahan data,

model analisis data, dan prosedur penelitian. Selanjutnya berisi tentang hasil

penelitian dan pembahasan. Dalam bagian penutup, meliputi simpulan dan

saran. Selanjutnya dalam bagian akhir skripsi berisi tentang daftar pustaka

serta lampiran-lampiran yang mendukung skripsi ini.


10

BAB II

PENELAAHAN KEPUSTAKAAN DAN/ATAU KERANGKA TEORITIK

A. Pengertian Integrasi dan Masyarakat

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang agraris, maka secara

hipotesis bidang-bidangnya secara langsung berhubungan dengan sendi-sendi

masyarakat, artinya azas-azasnya juga merupakan dasar dari integrasi

masyarakat. Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, maka sendi-sendi

tersebut adalah faktor wilayah tempat kediaman dan hubungan daerah, baik

secara terpisah ataupun selain wujud kerjasama antara kedua faktor tersebut.

Apabila suatu aspek hukum mengatur masalah-masalah yang berkaitan erat

dengan sendi-sendi tersebut, maka hukum berfungsi sebagai alat untuk

mempertahankan stabilitas (Sukanto, 1986:42).

Integrasi adalah penyatuan (Kamus Hukum, 1987:75), jadi integrasi

merupakan wujud dari penggabungan dengan tujuan menjadi satu kesatuan

utuh.

Integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau

bulat. Mengintegrasikan adalah proses pembauran atau penggabungan dengan

tujuan menjadi satu kesatuan utuh (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002:437)

Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan

terkait oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. (Kamus Besar

Bahasa Indonesia, 2002:721).

10
11

Menurut Abdul Syani (2002:30-33) bahwa masyarakat sebagai

community dapat dilihat dari dua sudut pandang; pertama memandang

community sebagai unsur statis, artinya community terbentuk dalam suatu

wadah atau tempat dengan batas-batas tertentu, maka mereka menunjukkan

bagian-bagian dari kesatuan masyarakat, sehingga mereka dapat pula disebut

sebagai masyarakat setempat, misalnya kampung, dusun atau kota-kota kecil.

Masyarakat setempat adalah suatu wadah dan wilayah dari kehidupan

sekelompok orang yang ditandai oleh adanya hubungan sosial. Disamping itu

dilengkapi pula oleh adanya perasaan sosial, nilai-nilai dan norma yang timbul

atas akibat dari adanya pergaulan hidup atau hidup bersama manusia. Kedua,

community dipandang sebagi unsur yang dinamis artinya menyangkut suatu

prosesnya yang terbentuk melalui faktor psikologis dan hubungan antar

manusia, maka di dalamnya terkandung unsur-unsur kepentingan, keinginan

atau tujuan-tujuan yang sifatnya fungsional.

Ciri-ciri masyarakat menurut Soerjono Soekanto, menyatakan bahwa

sebagai suatu pergaulan hidup atau suatu bentuk bersama manusia, maka

masyarakat itu mempunyai ciri-ciri pokok yaitu:

1. Manusia yang hidup bersama. Di dalam Ilmu sosial tak ada ukuran yang
mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah
manusia yang harus ada, akan tetapi secara teoritis angka minimumnya ada
dua orang yang hidup bersama.
2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia
tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati, seperti umpamanya
kursi, meja, dan sebagainya. Oleh karena itu dengan berkumpulnya
manusia, maka timbul manusia-manusia yang baru. Manusia itu juga dapat
bercakap-cakap, merasa dan mengerti. Mereka juga mempunyai keinginan
untuk menyampaikan kesan-kesan atau perasaan-perasaannya. Sebagai
akibat bersama itu timbulah sistem komunikasi dan peraturan-peraturan
yang mengatur hubungan antara kelompok.
12

3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan.


Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan yang
sama menimbulkan kebudayaan, oleh karena itu setiap anggota merasa
dirinya terikat satu dengan yang lainnya (Syani Abdul, 2002:32).

Menurut Abdul Syani (2002:38) bahwa kendatipun perseorangan itu

mempunyai hakikat sebagai makhluk sosial, tetapi dalam kenyataan empiris

suatu kesatuan merupakan suatu integrasi sosial. Dijelaskan bahwa integrasi

sosial tidak cukup dapat diukur dengan kriteria berkumpul atau bersatu dalam

arti fisik, melainkan ia juga sekaligus merupakan pengembangn sikap

solidaritas dan perasaan manusiawi. Pengembangan sikap dan perasaan

manusia merupakan suatu dasar daripada yang dimaksudkan dengan derajat

kemasyarakatan dalam suatu kelompok atau masyarakat. Jadi integrasi

menghubungkan individu dengan individu lainnya, sehingga terbentuk

menjadi suatu masyarakat.

Dalam teori proses asimilasi individu atau kelompok mengalami

proses pengintegrasian atau proses penyesuaian terhadap berbagai peraturan

yang merupakan pedoman atau landasan masyarakat, karena di dalamnya

terdapat suatu proses penyesuaian, sehingga terjadinya integrasi. Jelasnya

bahwa integrasi suatu kelompok ditentukan oleh interaksi sosial, faktor-faktor

komunikasi atau kombinasi antar unsur-unsur adalah intensitas perasaan,

perkembangan interaksi dan tujuan interaksi.

Integrasi manusia dalam kelompok dapat dicapai jika memenuhi

beberapa syarat yaitu:

1. Anggota kelompok (masyarakat) merasa berhasil mengisi kebutuhan


antara satu dengan lainnya.
13

2. Tercapainya suatu konsensus atau kesepakatan mengenai norma-norma


dan nilai sosial.
3. Norma-norma cukup lama dan konsisten atau tetap, tidak ada perubahan.
(Syani Abdul, 2002:40).

Jadi kesimpulan dari mengintegrasikan diri dalam masyarakat adalah

berbaur atau bergabung dalam suatu wadah dan wilayah dari kehidupan

sekelompok orang yang ditandai oleh adanya hubungan sosial dan terkait oleh

suatu kebudayaan yang dianggap sama dengan menyesuaikan perbedaan

tingkah laku warga suatu kelompok yang bersangkutan dengan tujuan menjadi

satu kesatuan utuh.

Masyarakat pada dasarnya terintegrasi atas dasar kata sepakat para

anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang memiliki daya

mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan diantara para

anggota masyarakat. Teori yang mendasarkan diri pada sudut pendekatan

integrasi sosial tersebut dikenal sebagai teori fungsional struktural. Hal

tersebut terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi diantara berbagai individu

yang tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan, melainkan tumbuh dan

berkembang diatas standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para

anggota masyarakat.

Pengaturan interaksi sosial diantara para anggota masyarakat tersebut


dapat terjadi oleh karena komitmen mereka terhadap norma-norma sosial
menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan
kepentingan diantara mereka, suatu hal yang memungkinkan mereka
menemukan keselarasan satu sama lain didalam suatu tingkat integrasi sosial
tertentu (Nasikun, 2003:12-13).

Suatu masyarakat dengan tingkat deferensiasi fungsional yang tinggi

dengan banyak lembaga-lembaga kemasyarakatan, akan tetapi bersifat


14

komplementer dan saling tergantung satu sama lain. Baik solidaritas mekanis,

yang diikat oleh kesadaran kolektif maupun solidaritas organis, yang diikat

oleh saling ketergantungan diantara bagian-bagian dari suatu sistem sosial

tidak mudah dikembangkan atau ditumbuhkan didalam masyarakat yang

bersifat majemuk. Hal yang demikian juga berarti bahwa jawaban para

penganut fungsionalisme struktural terhadap pertanyaan tentang “faktor apa

yang mengintegrasikan suatu masyarakat”.

Suatu sistem sosial senantiasa terintegrasi diatas landasan dua hal yaitu
sebagai berikut: pertama, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi diatas
tumbuhnya konsensus sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai
kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Kedua, masyarakat senantiasa
terintegrasi juga oleh karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi
anggota dari berbagai kesatuan sosial (Nasikun, 2003:62-63).

Hal tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa cara dasar

mengintegrasikan diri dalam masyarakat adalah sebagai berikut:

a. Bahwa manusia mempunyai sifat dasar sebagai mahluk sosial sehingga

dalam hidupnya mereka tidak lepas dari bantuan orang lain, hal tersebut

terikat dengan adanya saling ketergantungan antara manusia satu dengan

yang lain.

b. Dengan adanya kesepakatan atau konsensus oleh anggota masyarakat akan

nilai-nilai kemasyarakatan untuk mengatasi berbagai perbedaan-perbedaan

pendapat dan kepentingan yang ada dalam masyarakat, karena masyarakat

merupakan suatu kesatuan sosial.

c. Hubungan interaksi sosial diantara para anggota masyarakat harus lebih

ditingkatkan agar tercipta suatu komitmen terhadap norma-norma sosial

yang memungkinkan mereka menemukan suatu keselarasan antar anggota


15

masyarakat yang satu dengan yang lain dalam suatu tingkat integrasi

sosial.

B. Pengertian Narapidana

Mengenai istilah narapidana dijelaskan sebagai berikut: narapidana

adalah manusia yang karena perbuatannya melanggar norma hukum, maka

dijatuhi hukum pidana oleh hakim (Santoso, 1987:36).

Narapidana adalah manusia biasa seperti manusia lainnya hanya

karena melanggar norma hukum yang ada, maka dipisahkan oleh hakim untuk

menjalani hukuman (Dirjosworo, 1992:192).

Narapidana adalah seorang yang merugikan pihak lain yang kurang

mempunyai rasa tanggung jawab terhadap Tuhan dan masyarakat serta tidak

menghormati hukum (Dirdjosworo, 1992:192).

Narapidana adalah orang tahanan, orang yang ditahan di lembaga

permasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara (Simorangkir, 1987:102).

Narapidana adalah seorang anggota masyarakat yang dipisahkan dari

induknya dan selama masa waktu tetentu itu diproses dalam lingkungan

tempat tertentu dengan tujuan, metode dan sistem permasyarakatan, pada

suatu saat narapidana itu kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan

taat kepada hukum (Purnomo, 1985:162). Pengertian narapidana tersebut

adalah seseorang yang telah melanggar kaidah atau norma hukum yang ada di

masyarakat karena tindakannya, sehingga dia dikenai sanksi berupa hukuman

oleh keputusan pengadilan.


16

Dengan demikian kesimpulan dari integrasi narapidana dalam

masyarakat adalah proses pembauran atau penggabungan seseorang yang telah

melanggar kaidah hukum sehingga ia dikenai sanksi berupa hukuman oleh

keputusan pengadilan untuk kembali ke dalam suatu kelompok sosial dengan

tujuan agar dapat menyatu kembali ke dalam lingkungan sosialnya.

C. Pengertian dan Tujuan Pemidanaan

Adanya pemidanaan tidak dapat dihindarkan di dalam masyarakat,

walaupun harus diakui bahwa pemidanaan memang merupakan alat

pertahanan terakhir. Hal itu merupakan akhir dan puncak keseluruhan sistem

upaya-upaya yang dapat menggerakkan manusia melakukan tingkah laku

tertentu seperti yang diharapkan masyarakat. Anggota masyarakat diharapkan

melakukan perbuatan-perbuatan sesuai yang ditentukan masyarakat.

Penyimpangan atas ketentuan-ketentuan itu akan mengakibatkan celaan

masyarakat dengan berbagai macam bentuknya, hal tersebut merupakan upaya

penekanan anggota masyarakat agar tidak bersifat asosial.

Pada tingkat akhir dalam dunia hukum digunakanlah upaya-upaya

yang lebih keras sifatnya sama, yaitu sebagai upaya menekan. Suatu perbuatan

yang melawan hak, misalnya dapat mengakibatkan kewajiban mengganti

kerugian terhadap orang yang dirugikan, hal ini merupakan sanksi perdata. Di

samping sanksi perdata ada sanksi-sanksi lain seperti sanksi administrasi dan

sanksi pidana. Suatu pidana sebagai sanksi dapat menjadi keras sekali

dirasakan, hal ini kadang-kadang sampai menghilangkan kemerdekaan


17

seseorang beberapa bulan atau bahkan sampai beberapa tahun lamanya dan

ada kalanya kemerdekaan yang dirampas itu mempunyai arti sangat besar

terhadap sisa hidup orang yang dikenainya.

Pemidanaan adalah suatu upaya terakhir dalam pemberian sanksi

terhadap pelaku kejahatan. Penulis akan membatasi penggunaan pidana dalam

batas-batasnya dan juga harus diusahakan untuk lebih dahulu menerapkan

sanksi-sanksi lain yang tidak bersifat pidana. Pemidanaan sebaiknya hanya

dilakukan apabila norma yang bersangkutan begitu penting bagi kehidupan

dan kemerdekaan anggota masyarakat lainnya. Ada beberapa hal yang dapat

ditentukan hakim dalam putusannya, artinya ada beberapa tujuan yang harus

diperhatikan dalam menjatuhkan pidananya, antara lain:

Pertama, yaitu apa yang disebut orang dengan koreksi adalah terhadap

orang yang melanggar terhadap suatu norma pidana yang dijatuhkan berlaku

sebagai suatu peringatan, bahwa hal itu tidak boleh terulang lagi. Pidana yang

bersifat koreksi diarahkan pada manusia yang pada dasarnya mempunyai rasa

tanggungjawab, dan dalam kejadian tertentu itu melakukan kesalahan. Hal ini

tidak dapat menjadi reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan-

kejahatan yang kurang berat, terutama kejahatan yang dilakukan karena

kelalaian terpidana.

Kedua, yaitu resosialisasi yang berarti usaha dengan tujuan bahwa

terpidana akan kembali ke dalam masyarakat dengan daya tahan, dalam arti

bahwa ia dapat hidup dalam masyarakat dan tidak melakukan tindak kejahatan

lagi. Jadi pidana yang bersifat resosialisasi adalah untuk mereka yang masih

bersama-sama dengan orang lain hidup rukun dan damai dalam masyarakat.
18

Ketiga adalah pengayoman kehidupan masyarakat. Tujuan ini dapat

terjadi apabila manusia yang telah melakukan kejahatan berat dan

dikhawatirkan akan ditakuti, di waktu yang akan masih besar sekali

kemungkinan ia akan melakukan delik-delik berat, walaupun terhadapnya

telah diadakan usaha-usaha resosialisasi. Mengenai hal ini, bahwa masyarakat

memang mempunyai hak, bahkan mempunyai kewajiban melindungi dirinya

terhadap berbagai kemungkinan yang besar resikonya. Hal ini berarti bahwa

dengan keadaan senyatanya adalah bagaimana membuat terpidana untuk tidak

melakukan delik-delik berat yang baru (Saleh, 1987:5-7).

Konsep Rancangan Buku 1 KUHP tahun 1982/1983; tujuan pemberian

pidana dirumuskan sebagai berikut:

(1) Pemidanaan bertujuan untuk:


Ke-1 mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat;
Ke-2 mencegah koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian
menjadikannya orang baik dan berguna serta mampu untuk
hidup bermasyarakat;
Ke-3 menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat;
Ke-4 membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia (Muladi dan Barda Nawawi
Arief, 1998:24).

Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa

dibedakan antara istilah prevensi spesial dan prevensi general. Dengan

prevensi spesial pengaruh pidana terhadap terpidana, jadi pencegahan

kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku si

terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Ini berarti tujuan si
19

terpidana itu berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi

masyarakat. Dengan prevensi general dimaksudkan pengaruh pidana terhadap

masyarakat pada umumnya, artinya pencegahan kejahatan itu ingin dicapai

oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada

umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana (Muladi dan Barda Nawawi

Arief, 1998: 17-18).

Proses pidana terdiri dari dua bagian besar, yaitu pemeriksaan

pendahuluan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, maka hukum merupakan

suatu tahap pemeriksaan pengadilan. Hakim setelah memeriksa suatu perkara

pidana memberikan keputusan terhadap terdakwa. Penghukuman dihilangkan

dengan pengurangan kejahatan yaitu apakah pengaruh hukuman terhadap

pengurangan atau pencegahan kejahatan. Dalam membahas dan

membicarakan soal ini, hukum seyogyanya jangan diartikan terlalu sempit

tetapi juga harus dihubungkan dengan segala sesuatu yang mendahului dan

merupakan pelaksanaanya, sehingga hukum bukan sekedar persoalan hakim,

jaksa dan advokat dipengadilan saja, tetapi menyangkut tugas-tugas dan

penyidikan yang dilakukan oleh polisi dalam pemeriksaan pendahuluan serta

tugas-tugas pembinaan narapidana yang dilakukan oleh petugas Rumah

Tahanan Negara, Lembaga Pemasyarakatan (LP).

Mekanisme peradilan pidana mulai beraksi setelah suatu kejahatan

terjadi, namun demikian sistem peradilan pidana tersebut diharapkan dapat

membantu pemberantasan dan pengurangan kriminalitas dengan jalan

melaksanakan peradilan secara baik dan efisien. Salah satu fungsi yang
20

terpenting adalah untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat umum

dan untuk mencegah orang-orang yang sudah dihukum dan calon petindak

pidana melakukan kejahatan.

D. Sistem Permasyarakatan

Pidana penjara pada hakekatnya adalah dimaksudkan untuk

memperbaiki seseorang yang telah terbukti melanggar aturan hukum pidana,

agar mereka menjadi orang baik dalam kehidupannya di masyarakat dan

selanjutnya mematuhi aturan hukum pidana yang berlaku.

Namun dalam pelaksanaanya, pidana penjara tersebut banyak

mengandung keburukan-keburukan, karena perlakuan yang kurang manusiawi

serta tekanan-tekanan baik secara biologis maupun secara psikologis hanya

dialami oleh terpidana selama dalam menjalani proses pidana di dalam

penjara, akibatnya setelah keluar dari penjara mereka tidak terdorong untuk

memperbaiki atas perbuatannya yang melanggar itu, tetapi sebaliknya

terdorong untuk mengulanginya lagi. sehubungan dengan hal tersebut, maka

dipandang perlu untuk mencari alternatif lainnya, sehingga pengaruh buruk

tersebut dapat dihindarkan. Adapun jalan keluarnya yang harus ditempuh

untuk mengatasi dari pelaksanaan pidana penjara adalah dengan sistem

pemasyarakatan yang sesuai dengan fungsinya dari hukum pidana sekarang.

Disamping memelihara ketertiban yang membantu proses perubahan

masyarakat guna mencapai tujuan masyarakat yang adil dan makmur

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang lebih

menghormati azas kemanusiaan.


21

Muncul pendapat mengenai sistem pemasyarakatan untuk pertama kali

dicetuskan oleh Suhardjono dalam Muladi (1985:104), yaitu sebagai berikut:

1. Tujuan pidana penjara di samping menimbulkan rasa derita akibat


dihilangkannya kemerdekaan bergerak membimbing terpidana agar
bertaubat mendidik agar ia menjadi anggota masyarakat sosialis Indonesia
yang berguna.
2. Tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan.

Pembaharuan pidana penjara dalam sistem permasyarakatan tidaklah

dimaksudkan sebagai penghapusan pidana penjara dari susunan peraturan

hukum pidana melainkan usaha untuk menilai kebijaksanaan baru mengenai

pelaksanaan pidana penjara dan perlakuan cara baru terhadap narapidana yang

mewarnai dasar perikemanusiaan. Kebijaksanaan itu dapat melindungi

masyarakat dari kejahatan, pencegahan kejahatan dan sekaligus usaha untuk

memperbaiki masyarakat pelanggar norma-norma hukum ataupun hak yang

disebut sebagai narapidana.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan dalam Pasal 1 ayat 2 berbunyi: “Sistem Pemasyarakatan

adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga

Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara

terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan

kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan,

memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam

pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan

bertanggung jawab”. Pasal 3 berbunyi: Sistem Pemasyarakatan berfungsi


22

menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara

sehat degan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota

masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab”.

Menurut konsepsi sistem pemasyarakatan bahwa setiap warga negara

dan seluruh penduduk mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti

terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27, 30, 31 (1) yang

mengatur hak dan kewajiban setiap warga negara, sedangkan Pasal 28, 29 (2)

dan Pasal 34 yang mengatur hak dan kewajiban penduduk. Dari seluruh pasal

tersebut diatas akan dijelaskan antara lain:

a. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 yang berbunyi:


(1) Segala warga negara bersama kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
tidak ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.
(3) Setiap warga negara berhak dan wajib dalam upaya pembelaan negara.
b. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 (2) yang berbunyi:
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.

Bait pasal-pasal yang mengatur mengenai hak dan kewajiban warga

negara atau penduduk tersebut mempunyai tujuan untuk membangun bangsa

dan negara Indonesia yang bersifat demokratis dan berkeadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia, maka pelaksanaan pidana penjara dengan sistem

pemasyarakatan mempunyai lembaga pembaharuan pidana penjara dengan

berasaskan perikemanusiaan. Dengan demikian kegiatan pemasyarakatan

bertujuan pada pembinaan serta bimbingan pribadi setiap orang yang menjadi

narapidana agar menjadi warga negara yang baik.


23

Menurut Bambang Purnomo (1985:187) menyatakan bahwa arah

pembinaan terhadap narapidana harus tertuju kepada:

1. Pembinaan kepada narapidana agar tidak mengulangi kejahatan dan


mentaati peraturan-peraturan hukum.
2. Pembinaan terhadap hubungan antara narapidana dan masyarakat luar
agar dapat berdiri dan diterima.

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 dalam

Pasal 5 berbunyi: “Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan

berdasarkan asas: a. Pengayoman; b. Persamaan perlakuan dan pelayanan; c.

Pendidikan; d. Pembimbingan; e. Penghormatan harkat dan martabat manusia;

f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; g.

Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang

tertentu”.

Pembinaan narapidana menurut sistem pemasyarakatan lebih mudah

diterima dan lebih langsung meresap pada rasa masyarakat dari perlakuan

terhadap narapidana dalam sistem yang diikuti pada masa yang sudah berlalu.

Pidana yang dijatuhkan pada narapidana hingga sekarangpun sama dengan

pengasingan dari masyarakat luar. Pidana penjara ini sudah tidak dapat kita

terapkan lagi, karena ternyata tidak membuat seorang narapidana menjadi baik

dan tobat.

Pembinaan itu sendiri sebenarnya sudah ada semenjak sistem

kepenjaraan zaman dahulu, akan tetapi dengan sistem pemasyarakatan,

pembinaan narapidana berbeda dengan pembinaan narapidana zaman dahulu.

Pembinaan zaman dahulu berpedoman pada suatu Undang-Undang

kepenjaraan yang memuat tentang cara-cara menjaga para narapidana. Dalam


24

pembinaannya hanya menekankan pada perlakuan nilai-nilai kemanusiaan

narapidana saja, tetapi perlu diketahui juga sedikit banyak masih memakai

Reglement penjara dengan mencakup beberapa ketentuan-ketentuan yang

sudah tidak sesuai lagi dengan Pasal dan Undang-Undang Dasar 1945.

Makna sistem pemasyarakatan adalah sistem untuk membina

narapidana agar dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan

berguna. Dalam hal ini perlu diperhatikan sepuluh prinsip pokok

pemasyarakatan sebagai berikut:

1. Mengayomi dan memberikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan

peranan sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.

2. Menjatuhkan pidana bukan tindakan balas dendam oleh negara, ini berarti

bahwa tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana dan anak didik,

baik yang berupa tindakan, perlakuan, ucapan, cara perawatan ataupun

penempatan. Satu-satunya derita yang dialami oleh narapidana dan anak

didiknya hanyalah dihilangkanya kemerdekaan untuk bergerak dalam

masyarakat bebas.

3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertaubat. Berikan

pengertian pada mereka mengenai norma-norma hidup dan kehidupan,

dan sertakan mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan

rasa hidup kemasyarakatan

4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat

daripada sebelum dijatuhi pidana, misalnya dengan mencampur baurkan


25

narapidana dengan anak didik yang melakukan tindakan pidana berat

dengan yang ringan, dan sebagainya.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik

harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dengan

masyarakat. Antara lain kontak dengan masyarakat dapat terjelma dalam

bentuk kunjungan hiburan dari anggota masyarakat bebas dan kesempatan

lebih banyak untuk berkumpul bersama sahabat dan keluarga

6. Pekerjaan yang diberikan pada narapidana dan anak didik tidak boleh

bersifat sekedar pengisi waktu. Juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk

memenuhi kebutuhan jawatan atau kepentingan negara pada waktu–waktu

tertentu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan yang

terdapat di masyarakat dan yang menunjang usaha meningkatkan produksi

pangan.

7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik

harus berdasarkan Pancasila. Antara lain berarti bahwa kepada mereka

harus ditanamkan jiwa kegotong royongan, jiwa toleransi, jiwa

kekeluargaan disamping pendidikan kerohanian dan kesempatan untuk

menunaikan ibadah agar memperoleh kekuatan spiritual.

8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah

manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia. Martabatnya

dan perasaannya sebagai manusia harus dihormati.

9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan

sebagai satu-satunya derita yang dapat dialaminya.


26

10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi

rehabilitatif, kolektif, dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan.

Usaha pembinaan itu dilakukan secara terus menerus dengan terarah

dan tertuju sejak masuk dalam Rumah Tahanan Negara sampai dengan mereka

bebas dari Rumah Tahanan, sehingga apa yang diharapkan dapat tercapai.

Model pembinaan dan bimbingan narapidana dilakukan dengan

metode sebagai berikut:

1. Pembinaan berupa interaksi langsung yang sifatnya kekeluargaan antara

pembina dengan yang dibina (Warga Binaan Pemasyarakatan)

2. Pembinaan bersifat persuasif edukatif, yaitu berusaha merubah tingkah

lakunya melalui keteladanan dan memperlakukan adil di antara sesama

mereka, sehingga menggugah hatinya untuk melakukan hal-hal terpuji,

menempatkan warga binaan pemasyarakatan sebagai manusia yang

memiliki potensi dan memiliki harga diri dengan hak-hak dan kewajiban

yang sama dengan manusia lainnya.

3. Pembinaan berencana, terus menerus dan sistematika.

4. Pemeliharaan dan peningkatan langkah-langkah keamanan yang

disesuaikan dengan tingkat keadaan yang dihadapi.

5. Pendekatan individual dan kelompok

6. Dalam rangka menumbuhkan keikhlasan dan tanggung jawab dalam

melaksanakan tugas serta menanamkan kesetiaan, ketaatan dan

keteladanan di dalam pengabdiannya terhadap negara, hukum dan


27

masyarakat (Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I,

1990:cetakan I).

Jenis pembinaan dan bimbingan terhadap warga binaan

pemasyarakatan (narapidana, anak negara, klien pemasyarakatan dan tahanan)

dilaksanakan secara terpadu dengan tujuan agar mereka setelah selesai

menjalani pidananya, pembinaannya dan bimbingannya dapat menjadi warga

masyarakat yang baik.

Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan disesuaikan dengan

azas-azas yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan

Standard Minimun Rules (SMR) yang tercatat dalam sepuluh prinsip

pemasyarakatan. Pada dasarnya arah pelayanan, pembinaan dan bimbingan

yang perlu dilakukan oleh petugas adalah memperbaiki tingkah laku warga

binaan pemasyarakatan agar tujuan pembinaan dapat tercapai.

Ruang lingkup pembinaan dapat dibagi ke dalam dua bidang yaitu:

1. Pembinaan kepribadian yang meliputi:

a. Pembinaan kesadaran beragama, usaha ini diperlukan agar dapat

diteguhkan iman terutama memberikan pengertian agar warga binaan

pemasyarakatan dapat menyadari akibat dari perbuatan yang benar dan

perbuatan-perbuatan yang salah.

b. Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan), usaha ini diperlukan

agar pengetahuan dan kemampuan berpikir warga binaan

pemasyarakatan semakin meningkat sehingga dapat menunjang

kegiatan-kegiatan positif yang diperlukan selama masa pembinaan.


28

Pembinaan intelektual dapat dilakukan baik melalui pendidikan formal

ataupun non formal. Pendidikan formal, diselenggarakan sesuai dengan

ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah agar dapat

ditingkatkan semua warga binaan pemasyarakatan. Pendidikan non

formal, diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan

melalui kursus-kursus, latihan-latihan keterampilan dan sebagainya.

Bentuk pendidikan non formal yang paling mudah dan paling murah

adalah dengan kegiatan-kegiatan ceramah umum dan membuka

kesempatan yang seluas-luasnya untuk memperoleh informasi dari

luar, misalnya membaca koran atau majalah, menonton televisi,

mendengar radio, dan sebagainya.

c. Pembinaan kesadaran hukum, pembinaan ini dilaksanakan dengan

memberikan penyuluhan hukum untuk mencapai kadar kesadaran

hukum yang tinggi, sehingga sebagai anggota masyarakat, mereka

menyadari hak dan kewajiban dalam rangka turut menegakkan hukum

dan keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia,

ketertiban, ketentraman, kepastian hukum dan terbentuknya perilaku

setiap warga negara Indonesia yang taat pada hukum.

d. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat, pembinaan

dibidang ini dapat dikatakan juga pembinaan sosial kemasyarakatan

yang bertujuan pokok agar narapidana setelah bebas dari Rumah

Tahanan mudah diterima kembali oleh masyarakat lingkungannya.

Untuk mencapai ini, kepada mereka selama dalam Rumah Tahanan


29

dan Lembaga Pemasyarakatan dibina terus untuk taat beribadah dan

dapat melakukan usaha-usaha sosial secara gotong royong, sehingga

pada waktu mereka telah memiliki sifat-sifat positif untuk

berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat lingkungannya.

2. Pembinaan Kemandirian

Pembinaan kemandirian diberikan melalui program-program

sebagai berikut:

a. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri, misalnya

kerajinan tangan, industri rumah tangga, reparasi mesin dan alat-alat

elektronika, dan sebagainya.

b. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil, misalnya

pengolahan bahan mentah dari sektor pertanian dan bahan alam

menjadi bahan setengah jadi dan jadi.

c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-

masing. Dalam hal ini bagi mereka yang memiliki bakat tertentu

diusahakan pengembangan bakatnya itu.

3. Pembinaan Kerohanian

Dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini,

maka kehidupan beragama dapat mendapat perhatian yang utama.

Kegiatan narapidana ini dapat berupa penyuluhan rohani, yaitu ceramah,

penyuluhan, pendidikan agama dan pendidikan umum, dalam hal ini

dilakukan kerjasama dengan instansi-instansi pemerintah setempat yang

terkait. Pokok-pokok materi ceramah, penyuluhan dan pendidikan harus

terlebih dahulu diketahui Kepala Rumah Tahanan atau Cabang Rumah


30

Tahanan dan kegiatannya tidak bolah menyinggung perasaan atau

menimbulkan keresahan para tahanan, serta tidak mengganggu keamanan

dan ketertiban Rumah Tahanan. Dalam memberikan ceramah, penyuluhan

dan pendidikan disediakan ruangan dan sarana yang diperlukan.

4. Pembinaan Jasmani

Pembinaan jasmani dalam arti luas, yaitu yang terkenal dengan

hidup kebadanan. Dalam kehidupan kedudukan badan sama pentingnya

dengan kedudukan jiwa, seorang manusia tidak dapat tanpa badannya

justru badan merupakan alat kesempurnaan jiwa. Seorang manusia itu

mempunyai hidup kebadanan untuk mengembangkan kehidupannya

mempunyai banyak kepentingan yang asasi, yaitu makan untuk

pertumbuhan tubuhnya, untuk kesehatan tubuhnya, dan lain-lain.

5. Asimilasi

Pembinaan narapidana yang dilaksanakan dengan berlandaskan

sistem pemasyarakatan ini, bertujuan untuk mempersiapkan narapidana

kembali ke dalam kehidupan masyarakat sebagai warga yang taat dan

patuh terhadap hukum, mandiri serta produktif sehingga dapat berguna

bagi pembangunan. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah melalui

pelaksanaan proses asimilasi, yaitu pembinaan narapidana yang

dilaksanakan dengan membawa narapidana ke dalam kehidupan

masyarakat adalah sebagai berikut:

1. Memulihkan hubungan narapidana dengan masyarakat.

2. Memperoleh dan meningkatkan peran serta masyarakat aktif dalam

penyelenggaraan pemasyarakatan.
31

Tujuan dari asimilasi, yaitu:

1. Mengembangkan motivasi atau dorongan pada diri narapidana ke arah

pencapaian tujuan pembangunan.

2. Memberikan kesempatan bagi narapidana untuk meningkatkan pendidikan

dan keterampilan guna mempersiapkan diri hidup mandiri di tengah

masyarakat setelah bebas menjalani pidana.

3. Mendorong masyarakat untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan

asimilasi ini.

Proses asimilasi tersebut berada dibawah pengawasan petugas Balai

Pemasyarakatan (BAPAS) yaitu suatu lembaga pemerintah yang bertugas

melaksanakan pengawasan dan bimbingan klien pemasyarakatan. Menurut

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 dalam Pasal 6 ayat 3 mengenai

pembibingan oleh BAPAS dilakukan terhadap: ”a. Terpidana bersyarat; b.

Narapidana, Anak pidana, dan Anak Negara yang mendapat pembebasan

bersyarat atau cuti menjelang bebas; c. Anak Negara yang berdasarkan

putusan pengadilan, pembinaanya diserahkan kepada orang tua asuh atau

badan sosial; d. Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau

pejabat dilingkungan Direktorat Jendral Pemasyarakatan yang ditunjuk,

bimbingannya diserahkan kepasa orang tua asuh atau badan sosial; dan Anak

yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada

orang tua atau walinya”.

Dalam proses asimilasi tersebut seorang narapidana diintegrasikan

dengan masyarakat luar, hal ini masih memerlukan pengawasan dan


32

bimbingan dari pemerintah karena narapidana tersebut belum dapat

dinyatakan bebas sepenuhnya sehingga dalam proses integrasi narapidana

dalam masyarakat dapat berjalan sesuai dengan ketentuan dari sisa masa

hukuman narapidana yang berdasarkan keputusan dari pengadilan.

E. Rumah Tahanan Negara

Rumah Tahanan Negara secara langsung dikelola oleh Koordinator

Urusan Pemasyarakatan pada tingkat provinsi yaitu oleh Kantor Wilayah

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. yang semuanya dibawah

Direktorat Jendral Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM R.I.

Munculnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang terbentuknya Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadikan sebagian

Lembaga Pemasyarakatan diganti statusnya menjadi Rumah Tahanan Negara

yang bertugas melaksanakan pemasyarakatan yaitu: Melakukan pembinaan

narapidana; Memberikan bimbingan, mempersiapkan saran dan mengelola

hasil kerja; Melakukan bimbingan sosial atau kerohanian narapidana

narapidana; Melakukan urusan tata usaha dalam Rumah Tahanan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No:


M. 03-UM-01. 06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan
tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara, Pasal 1.”Disebutkan bahwa Rumah
Tahanan merupakan suatu unit pelaksanaan teknis dibidang penahanan untuk
kepentingan penyidikan dan pemeriksaan disidang pengadilan yang berada
dibawah Kantor Wilayah Departemen Kehakiman”.Pasal 2 berbunyi: Rumah
Tahanan mempunyai tugas untuk melaksanakan perawatan terhadap
terdakwa” (Sudarto, 1982:81).

Dalam perkembangannya Kantor Wilayah Departemen Kehakiman

Republik Indonesia diganti statusnya menjadi Kantor Wilayah Departemen


33

Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I., kemudian dilakukan perubahan lagi

menjadi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia yang mempunyai kewenangan mengelola Lembaga

Pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara dan Balai Pemasyarakatan.

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk

Rumah Tahanan Negara itu terbagi dalam tiga kelas yaitu:

1. Rumah Tahanan Kelas I, meliputi: Seksi Pelayanan, Seksi Pengelolaan

Rumah Tahanan, Urusan Tata Usaha.

2. Rumah Tahanan Kelas IIA, meliputi: Sub Seksi Pembinaan Bimbingan

Kegiatan, Sub Seksi Pengelolaan Rumah Tahanan, Kesatuan Pengamanan

Rumah Tahanan, Petugas Tata Usaha.

3. Rumah Tahanan Kelas IIB, meliputi: Sub Seksi Pelayanan Tahanan, Sub

Seksi Pengelolaan Rumah Tahanan, Kesatuan Pengamanan, Petugas Tata

Usaha.

Kewajiban untuk mengeluarkan narapidana dari Rumah Tahanan atau

Lembaga Pemasyarakatan untuk kembali ke masyarakat tidak kalah

pentingnya daripada tugas untuk memasukan narapidana ke dalam Rumah

Tahanan. Berhasilnya tugas untuk mngeluarkan dan mengembalikan

narapidana menjadi masyarakat yang baik dan taat terhadap hukum

digantungkan kepada petugas-petugas negara yang diserahi tugas

menjalankan sistem pemasyarakatan.

Peranan petugas negara di bidang hukum tersebut untuk memulai

memasukan narapidana ke dalam Rumah Tahanan sampai mengeluarkan


34

kembali ke masyarakat dengan sistem pemasyarakatan mempunyai mata

rantai dengan tugas penangkapan untuk penyidikan perkara, penuntutan

perkara dan mengadili terdakwa. Dengan demikian petugas dari Kepolisian,

Kejaksaan dan Pengadilan dilibatkan dalam sistem pemasyarakatan.

F. Pandangan Masyarakat terhadap Kejahatan

Masyarakat modern yang sangat kompleks itu menumbuhkan aspirasi-

aspirasi materiil tinggi;dan sering disertai oleh ambisi-ambisi sosial yang tidak

sehat. Dambaan pemenuhan kebutuhan materiil yang melimpah-limpah,

misalnya untuk memiliki harta kekayaan dan barang-barang mewah tanpa

mempunyai kemampuan untuk mencapainya dengan jalan wajar,mendorong

individu untuk melakukan tindak kriminal (kejahatan). Dengan kata lain bisa

dinyatakan: jika terdapat diskrepansi (ketidaksesuaian, pertentangan) antara

ambisi-ambisi dengan kemampuan pribadi, maka peristiwa sedemikian ini

mendorong orang untuk melakukan tindak kriminal. Atau, jika terdapat

diskrepansi antara aspirasi-aspirasi dengan potensi-potensi personal, maka

akan terjadi ”malajustment” ekonomis (ketidakmampuan menyesuaikan diri

secara ekonomis), yang mendorong orang untuk bertindak jahat atau

melakukan tindak pidana (Kartono,1999:122).

Perubahan-perubahan kondisi ekonomi, sistem politik, situasi

sosioheroik, nilai-nilai, norma-norma dan hubungan-hubungan kekuasaan

serta hukum yang berlangsung seringkali berdampak ganda pada pihak

memperlihatkan hasil-hasil yang bertentangan bagi terwujudnya kesejahteraan


35

masyarakat, dalam arti luas termasuk terpenuhinya kebutuhan akan rasa aman,

sedangkan pada pihak lain juga menghasilkan semakin kompleksnya interaksi

faktor-faktor kriminogenik yang melatarbelakangi timbulnya suatu bentuk

kejahatan atau faktor yang menyebabkan kejahatan (Kusuma, 1988:37).

Kemajuan-kemajuan yang ada menimbulkan berbagai kejahatan yang

tidak dapat dilepaskan dari sifat manusia yang hidup dalam suatu masyarakat,

adakalanya kejahatan seseorang muncul apabila dia dalam situasi yang sangat

mendesak. Dalam hal kriminalisasi yang berfungsi untuk mengetehui apakah

kejahatan itu sudah dapat dipidanakan atau belum dan kejahatan itu sendiri

dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu:

1. Klasik

Pemikiran klasik pada umumnya menyatakan bahwa kecerdasan

dan pikiran yang sehat mempunyai ciri-iri fundamental manusia yang

menjadi dasar untuk memberikan penjelasan perilaku manusia, baik yang

bersifat perorangan atau kelompok. Masyarakat dibentuk sesuai dengan

pola yang dikehendaki, hal ini berarti bahwa manusia mengontrol nasibnya

sendiri, baik sebagai individu maupun masyarakat, begitu pula kejahatan

dan penjahat pada umumnya dipandang dari sudut hukum, artinya

kejahatan adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum (Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana), sedangkan penjahat adalah orang yang

melakukan kejahatan.

Kejahatan dipandang sebagai hasil pilihan bebas dari individu yang

menilai untung dan ruginya melakukan kejahatan. Tanggapan rasional


36

yang diberikan masyarakat adalah agar individu tidak melakukan pilihan

dengan berbuat kejahatan, yaitu dengan cara meningkatkan kerugian yang

harus dibayar, dan sebaliknya dengan menurunkan keuntungan yang

diperoleh dari melakukan kejahatan tersebut. Dalam hubungan ini, maka

tugas kriminologi adalah membuat pola dan mengisi sistem hubungan

yang akan meminimalkan tindakan kejahatan.

2. Positivis

Aliran pemikiran ini bertolak pada pandangan bahwa perilaku

manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik yang berupa

faktor biologis atau kultural. Manusia bukan makhluk yang bebas untuk

berbuat menuruti dorongan kehendak dan intelegensinya, akan tetapi

manusia ini termasuk makhluk yang dibatasi atau ditentukan oleh situasi

biologi dan kulturalnya.

3. Kritis

Aliran pemikiran ini mulai berkembang pada akhir setelah tahun

1960-an, yaitu sebagai pengaruh atau semakin populernya prespektif

labeling. Aliran ini tidak berusaha untuk menjawab persoalan apakah

perilaku ini bebas atau ditentukan, akan tetapi lebih mengarahkan pada

proses yang dilakukan oleh manusia dalam membangun dirinya, dimana

dia berada atau hidup akan mempelajari proses-proses yang kondisinya

mempengaruhi pemberian batasan kepada orang-orang dan tindakan

tertentu pada waktu tertentu.


37

Suatu tindakan yang dapat disebut kejahatan secara formal adalah

kejahatan yang dirumuskan sebagai perbuatan yang oleh negara diberi pidana.

Pemberian pidana ini dimaksudkan uantuk mengembalikan keseimbangan

yang terganggu akibat perbuatan itu. Keseimbangan yang terganggu itu adalah

ketertiban masyarakat terganggu, akibatnya masyarakat menjadi resah.

Tindakan itu tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat, karena dianggap

masyarakat anti sosial. Masyarakat yang bersifat dinamis, maka tindakannya

pun harus dinamis sesuai dengan irama perubahan masyarakat (Simanjuntak,

1981:70).

G. KERANGKA TEORETIK

Narapidana

Sistem Pemasyarakatan
(RUTAN)

Bebas/kembali ke Pengawasan BAPAS


masyarakat

Tidak diterima Diterima


masyarakat masyarakat

Narapidana selama dalam Rumah Tahanan menjalani sistem

pemasyarakatan dengan melalui beberapa tahap, yaitu tahap awal, tahap

lanjutan (masa peralihan) dan tahap akhir. Dalam tahap awal seorang

narapidana itu masuk diadakan pengecekan tentang vonis dari hakim yang
38

dinamakan proses admisi (penelitian secara menyeluruh dan mendalam

tentang keadaan narapidana yang bersangkutan) untuk mendapatkan hak yang

sama, baik berupa pembinaan dan bimbingan kesehatan di Rumah Tahanan.

Setelah pembinaan dari narapidana itu sudah berjalan kurang lebih sepertiga

(1/3) dari masa pidananya dan sudah menunjukkan sikap baik, berdisiplin,

dapat dipercaya, dan bertanggung jawab maka narapidana diberi ijin

mengikuti kegiatan kemasyarakatan. Tahap terakhir dari proses pembinaan

narapidana (proses Pemasyarakatan) yaitu asimilasi dengan melalui pemberian

pelepasan bersyarat, hal tersebut dilaksanakan setelah 2/3 dari masa

pidananya. Dalam proses tersebut narapidana diintegrasikan dengan

masyarakat tetapi masih dibawah pengawasan petugas Balai Pemasyarakatan

(BAPAS) sampai masa pidananya berakhir. Dalam hal ini narapidana

berkewajiban melaksanakan wajib apel (presensi) ke Kantor BAPAS sesuai

ketentuan dari BAPAS. Proses pemasyarakatan tersebut bertujuan agar

Narapidana setelah bebas dari Rumah Tahanan dapat diterima hidup di

masyarakat dengan baik, tetapi dalam kenyataanya masyarakat masih banyak

yang tidak menerima keberadaan narapidana untuk hidup kembali di tengah-

tengah masyarakat, karena rasa kurang percayanya masyarakat dan berbagai

anggapan yang negatif terhadap narapidana setelah bebas dari Rumah

Tahanan. Sebagian dari masyarakat yang lain ada yang sudah percaya dan

sadar bahwa keberadaan narapidana itu sangat membutuhkan dorongan dan

dukungan dari masyarakat luas agar proses integrasi masyarakat dapat

berhasil, sehingga dapat tercipta masyarakat yang aman dan tentram sesuai

Pancasila dan Undang -Undang Dasar 1945


39

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penulisan skripsi ini sebagai karya ilmiah, maka hal-hal yang

dapat membantu untuk memperlancar penyusunan skripsi ini diperlukan adanya

suatu data-data. Untuk memperoleh data-data ini diperlukan beberapa metode

sebagai pedoman. Metode penelitian merupakan unsur yang penting dalam

penelitian.

Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman tentang cara-cara

seorang ilmuwan mempelajari, menganalisa, dan memahami lingkungan-

lingkungan yang dihadapi (Soekanto, 1986:6).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode sebagai berikut:

A. Dasar Penelitian

Dasar dalam penelitian ini khusus pada Integrasi Narapidana dalam

Masyarakat setelah Bebas dari Rumah Tahanan di Desa Karanglo Kecamatan

Polanharjo Kabupaten Klaten.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan

kualitatif, maksudnya suatu metode penelitian yang memusatkan pada

pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang dengan cara

mengumpulkan data yang diperoleh dengan jelas. Menurut Bogdan dan Tylor

yang dimaksud penelitian kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang

menggunakan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-

orang dan perilaku yang diamati (Moleong, 1990:3).

39
40

Metode kualitatif digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama,

menyelasaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan

kenyataan ganda; kedua, metode ini menggunakan secara langsung hakekat

hubungan antara peneliti dan responden; ketiga, metode ini lebih peka dan

lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama

dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 1990:5).

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Karanglo, Kecamatan

Polanharjo, Kabupaten Klaten. Sebagai alasan dipilihnya lokasi tersebut

karena sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti, yaitu mengenai cara

mengintegrasikan narapidana dalam masyarakat setelah bebas dari Rumah

Tahanan agar dapat diterima dengan baik di lingkungan sosialnya, sehingga

tidak kembali lagi mengulangi tindak kejahatannya.

C. Fokus atau Variabel Penelitian

Penetapan fokus penelitian ini sangat penting sekali, karena dengan

adanya fokus seorang peneliti dapat membatasi studi. Selain itu, dengan

penetapan fokus yang jelas dan mantap peneliti dapat membuat keputusan

yang tepat dalam mencari data.

Menurut Moleong (1990:65) fokus dasarnya adalah masalah yang

bersumber dari pengalaman peneliti, melalui pengetahuan yang diperolehnya

dan melalui kepustakaan ilmiah.


41

Mengingat pentingnya fokus penelitian tersebut, maka yang dijadikan

fokus dalam penelitian ini adalah:

1. Cara mengintegrasikan narapidana dalam masyarakat setelah bebas dari

Rumah Tahanan, dengan indikator-indikator sebagai berikut:

a. Seorang narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan itu

merupakan manusia yang akan kembali hidup dalam suatu kelompok

masyarakat.

b. Seorang narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan itu

merupakan mahluk sosial yang harus mengintegrasikan dirinya dengan

masyarakat.

c. Seorang narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan

membutuhkan dukungan moral dari masyarakat guna mengembalikan

kesadaran mereka sebagai warga negara yang baik.

2. Hambatan-hambatan yang timbul dalam mengintegrasikan narapidana

dalam masyarakat setelah bebas dari Rumah Tahanan, serta solusinya

dengan indikator-indikator sebagai berikut:

a. Dari narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan

¾ Dilihat dari segi keturunan

¾ Dilihat dari sifat, tindakan atau perbuatan

¾ Faktor hukuman ringan yang tidak menimbulkan efek jera

¾ Kejahatan yang telah dilakukan merupakan suatu profesi.


42

b. Dari masyarakat

¾ Rasa kurang percayanya masyarakat terhadap narapidana yang

telah bebas dari Rumah Tahanan

¾ Masyarakat tidak peduli atau tidak membedakan antara pelaku

tindak kejahatan ringan maupun berat

¾ Sikap mental masyarakat yang hidup terlalu demontratif (saling

berlomba dalam kemewahan)

¾ Masyarakat merasa malu menerima kembali kehadiran narapidana

yang telah bebas dari Rumah Tahanan.

c. Dari pemerintah

¾ Kurangnya anggaran biaya operasional dari pemerintah dalam

pelaksanaan proses asimilasi.

D. Sumber Data Penelitian

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan

tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.

(Moleong, 1990: 112). Adapun yang menjadi sumber data penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Informan

Informan adalah orang dalam, pada latar penelitian atau orang yang

dimanfaatkan untuk memberikan informasi tetang situasi dan kondisi latar

penelitian. Usaha untuk menemukan informan dalam penelitian ini dapat

dilakukan dengan cara: (1) melalui keterangan orang yang berwenang,


43

baik secara formal (pemerintahan) maupun informal (pemimpin

masyarakat, seperti tokoh masyarakat, pemimpin adat, dan lain-lain); (2)

melalui wawancara pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti (Moleong,

1990:90).

Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah dari petugas

pemerintah Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Surakarta, yaitu Bapak

Sulatief, petugas pemerintah Rumah Tahanan Negara Surakarta, yaitu

Bapak Tentrem, perangkat atau pejabat desa Karanglo, yaitu Bapak

Subagyo sebagai Kepala Desa dan Bapak Sri Harmanto, SH. sebagai

sekertaris Desa, serta masyarakat yang tempat tinggalnya dekat dengan

seorang narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan di Desa

Karanglo Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten, yaitu Bapak Joko

Pitoyo sebagai Ketua RT Dukuh Pusur, Bapak Suhardi, Bapak Wardiman,

dan Bapak Yudi Kusnandar, SE sebagai tokoh masyarakat Desa Karanglo.

2. Responden

Responden adalah orang-orang yang terkait langsung dengan

masalah penelitian, yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah

narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan atau Lembaga

Pemasyarakatan di Desa Karanglo Kecamatan Polanharjo Kabupaten

Klaten yaitu Haryanto (Kesusilaan), Kun Dwi Samudra (Penganiayaan),

Joko Waluyo (Pencurian), Suyanto (Penganiayaan), dan Sadono

(Pencurian).
44

E. Alat dan Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah sebagai

berikut:

1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.

Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara dan yang

diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong,

1990:135).

Wawancara yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini adalah

untuk mengetahui cara mengintegrasikan narapidana dalam masyarakat

setelah bebas dari Rumah Tahanan dan hambatan-hambatannya, serta

solusinya di Desa Karanglo Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.

2. Pengamatan (Observasi)

Alasan secara metodologis bagi penggunaan pengamatan ialah

pengamatan mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif,

kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan, dan sebagainya.

Pengamatan memungkinkan pengamat untuk melihat dunia sebagaimana

yang dilihat oleh subjek penelitian, hidup pada saat itu, menangkap arti

fenomena dari segi pengertian subjek, menangkap kehidupan budaya dari

segi pandangan dan panutan para subjek pada keadaan waktu itu.

Pengamatan memungkinkan peneliti merasakan apa yang dirasakan dan

dihayati oleh subjek sehingga memungkinkan pula sebagai peneliti

menjadi sumber data. Pengamatan memungkinkan pembentukan


45

pengetahuan yang diketahui bersama, baik dari pihaknya maupun dari

pihak subjek. (Moleong, 1990: 126). Dalam penelitian ini peneliti

mengadakan pengamatan secara langsung terhadap segala aktifitas

kehidupan narapidana dalam masyarakat setelah bebas dari Rumah

Tahanan di Desa Karanglo Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.

Peneliti dalam mendapatkan informasi tentang Pelaksanaan atau

proses integrasi narapidana dalam masyarakat dari Balai Pemasyarakatan

(BAPAS) Surakarta guna memperoleh data-data yang sangat membantu

dalam penelitian ini.

3. Dokumen

Dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film. Dokumen

sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam

banyak hal dokumen sebagai sumber data dapat dimanfaatkan untuk

menguji, menafsirkan bahkan untuk meramalkan (Moleong, 1990:161).

Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen

resmi, yaitu dokumen tentang data narapidana yang telah bebas dari

Rumah Tahanan di Kantor Kelurahan Desa Karanglo dan Kantor

Kepolisian Sektor di Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten.

F. Objektivitas dan Keabsahan Data

Keabsahan data sangat mendukung dalam penentuan hasil akhir suatu

penelitian, oleh karena itu diperlukan suatu teknik pemeriksaan data. Teknik

pemeriksaan data yang digunakan adalah teknik triangulasi. Triangulasi adalah


46

teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di

luar data itu untuk keperluan pengecekkan atau sebagai pembanding terhadap

data itu (Moleong, 1990:178). Dengan teknik tersebut maka peneliti dapat

membandingkan data-data lain yang berasal dari buku-buku, surat kabar,

majalah, maupun internet untuk mendapatkan data sesuai dengan yang

diinginkan.

Teknik triangulasi yang digunakan oleh peneliti adalah pemeriksaan

melalui sumber lainnya, yang dapat dicapai dengan jalan:

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan dengan data hasil

wawancara,

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa

yang dikatakannya secara pribadi,

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian

dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu,

4. Membandingkan keadaan yang prespektif seseorang dengan berbagai

pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang berpendidikan

menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan,

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang

berkaitan.

G. Model Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data

ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan
47

tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data

(Moleong, 1990:103).

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang

tersedia dari berbagai sumber, yaitu wawancara, pengamatan yang sudah

dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar,

foto, dan sebagainya (Moleong, 1990:190).

Tahap-tahap yang dilakukan peneliti di lapangan dapat diuraikan

sebagai berikut:

1. Pengumpulan data, dalam penelitian ini peneliti memcacatat semua data

dari objek dan apa adanya sesuai dengan hasil observasi dan wawancara di

lapangan, yaitu pencarian data yang diperlukan terhadap berbagai jenis

data dan beragam bentuk data yang ada di lapangan, serta peneliti

melakukan pencatatan lapangan.

2. Reduksi Data

Reduksi data adalah proses pemilihan, perumusan perhatian dan

penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi bahasan yang muncul

dari catatan di lapangan.

3. Penyajian Data

Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang

memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan

tindakan.
48

4. Menarik Kesimpulan

Menarik kesimpulan adalah sebagian dari kegiatan konfigurasi

utuh. Kesimpulan juga diverifikasikan selama penelitian berlangsung

untuk mempermudah pemahaman tentang metode analisis tersebut.

Model analisis data yang dipakai dalam penelitian ini yaitu model

analisis kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data

diskriptif analisis, yaitu yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau

lisan, juga tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai suatu

yang utuh kemudian disusun secara sistematis dalam bentuk laporan penelitian

atau laporan skripsi ini. Dalam model ini berawal dari proses pengumpulan

data pada waktu peneliti berada dilokasi penelitian, peneliti membuat catatan

lapangan yang berisi segala informasi yang berhubungan dengan penelitian,

dalam hal ini tentang cara mengintegrasikan narapidana dalam masyarakat

setelah bebas dari Rumah Tahanan di Desa Karanglo Kecamatan Polanharjo

Kabupaten Klaten, informasi tersebut berasal dari hasil observasi dan

wawancara dengan para informan dan responden.

Berdasarkan pada catatan lapangan tersebut, dipilah-pilah data yang

sesuai dengan tujuan penelitian dan kemudian menyusun sajian data yang

berupa cerita sistematis dengan menggunakan alat-alat yang diperlukan

sebagai dukungan sajian data. Sajian ini disusun pada waktu didapatkan unit

data dan sejumlah unit yang diperlukan, setelah itu ditarik kesimpulan dengan

verifikasinya berdasarkan semua hal yang terdapat dalam sajian datanya.


49

Bila kesimpulannya dirasa kurang mantap karena terdapat kekurangan

data dalam sajian data, maka dapat digali dalam catatan lapangan. Bila

ternyata dalam catatan lapangan juga tidak diperoleh data pendukung yang

dimaksud, maka kembali ke lokasi penelitian untuk melakukan pengumpulan

data khusus bagi pendalaman dukungan yang diperlukan.

H. Prosedur Penelitian

Hal yang mempengaruhi keilmiahan sebuah hasil penelitian salah

satunya adalah prosedur penelitian yang telah dipergunakan. Penelitian ini

disajikan dalam bentuk skripsi, sehingga prosedur yang dipakai mengacu pada

aturan penyusunan skripsi yang berlaku sekarang, yaitu:

1. Pengajuan Judul Skripsi

Judul skripsi diajukan kepada Dewan Skripsi dan setelah disetujui

kemudian dilaporkan kepada Ketua Jurusan untuk ditetapkan Dosen

Pembimbingnya.

2. Penyusunan Proposal Skripsi

Proposal merupakan langkah awal sebelum penelitian dilakukan.

Penelitian ini diajukan kepada Dosen Pembimbing sampai disetujui,

3. Izin Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan instansi pemerintah,

sehingga harus mendapatkan izin secara tertulis. Pertama izin diajukan

kepada Kantor Kelurahan Desa Karanglo, yang kemudian memberikan

izin tertulis melalui surat yang ditujukan kepada Kantor Kepolisian Sektor
50

Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten untuk memperoleh data tentang

narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan di Desa Karanglo

Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten sebagai tempat penelitian.

Dalam mendukung penelitian ini penulis mengadakan survey awal di

Rumah Tahanan Negara Surakarta dan penulis mengadakan observasi di

Balai Pemasyarakatan Surakarta, yang sebelumya harus mendapatkan izin

dari Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I

Jawa Tengah di Semarang.

4. Penyusunan Hasil Penelitian

Penulis mengolah data setelah penelitian selesai dilakukan dalam

bentuk tulisan, sehingga hasil penelitian utuh. Hasil penelitian kemudian

dibahas dengan menggunakan teori-teori yang mempunyai relevansi

dengan hasil penelitian tersebut. Penulis dapat membuat kesimpulan data

apa yang telah diteliti dan sekaligus memberikan saran-saran yang

diperlukan.
51

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Cara Mengintegrasikan Narapidana dalam Masyarakat Setelah Bebas

dari Rumah Tahanan

Narapidana adalah manusia yang karena perbuatannya melanggar

norma-norma masyarakat dijatuhi hukuman oleh hakim. Narapidana adalah

manusia yang lemah daya tahannya terhadap desakan-desakan sosial,

sehingga ia tidak bisa hidup selaras dengan masyarakat, oleh sebab itu

bantuan masyarakat yang paling utama adalah sikap positif untuk menerima

kembali narapidana yang baru bebas atau baru lepas dari pembinaan Rumah

Tahanan itu menjadi anggota masyarakat, dan memberikan saluran dalam

menempuh hidup baru sesudah sekian lama terlepas dari ikatan hidup

pemasyarakatan (wawancara dengan Bapak Tentrem: petugas Rumah

Tahanan Negara Surakarta, tanggal 30 Januari 2006).

Tindak lanjut bantuan masyarakat akan lebih ideal apabila

masyarakat turut melakukan pembinaan lanjutan, melalui usaha organisasi

sosial yang berfungsi memberikan bantuan terhadap mereka yang bebas

setelah habis masa pidananya manakala masih mengalami kesulitan. Bantuan

yang dimaksudkan, misalnya: tempat untuk menumpang bagi yang tidak

mempunyai keluarga, mengusahakan tempat bekerja yang tetap, dan

sebagainya.

51
52

Proses mengintegrasikan narapidana dalam masyarakat setelah bebas

dari Rumah Tahanan pada masa sekarang ini sangat memerlukan dukungan

dan keikutsertaan masyarakat secara langsung ataupun tidak langsung yang

bersama-sama dengan petugas pemasyarakatan dan petugas negara lainnya,

melalui sikap positif dari masyarakat dalam batas-batas yang diijinkan oleh

peraturan pemerintah turut langsung membimbing narapidana. Peran serta

masyarakat melalui badan sosial di bidang usaha, seperti perusahaan yang

memberikan jasa dan dana secara tetap dalam proyek kerja ketrampilan, atau

biro bantuan hukum dan biro penyantunan yang didirikan khusus untuk

pembinaan kepentingan narapidana dan pembinaan lanjutan sesudah bebas

dari Rumah Tahanan sepenuhnya dengan memberikan kesempatan pekerjaan

yang layak untuk harapan hidup baru.

Proses tersebut perlu diimbangi dengan sikap positif dari arah

pertumbuhan sosial yang mempunyai suatu integritas kehidupan yang

diwarnai dasar perikemanusiaan. Dasar perikemanusiaan tidak hanya secara

memberatkan suatu kepentingan lain, akan tetapi sendi perikemanusiaan

tercermin dengan nyata yang meliputi segala perikehidupan manusia.

Sesuai dengan survei awal yang dilakukan oleh penulis, diperoleh

informasi tentang narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan bahwa

mengenai narapidana sebelum kembali ke masyarakat mereka mandapat

pembinaan dan bimbingan dari kegiatan sistem permasyarakatan yang telah

diterapkan di Rumah Tahanan Negara, yang merupakan sarana perlakuan

cara baru terhadap terpidana untuk mendukung pola pelaksanaan pidana


53

penjara agar memperoleh keberhasilan dan mempersiapkan narapidana untuk

kembali menjadi anggota masyarakat dengan baik.

Proses pembinaan dan bimbingan terhadap narapidana yang

dilakukan oleh petugas Rumah Tahanan meliputi beberapa tahap:

1. Tahap awal.

Pada waktu narapidana itu masuk diadakan pengecekan tentang vonis

dari hakim (putusan pengadilan) kemudian diadakan penelitian secara

menyeluruh dan mendalam tentang keadaan narapidana yang bersangkutan

(proses ini dinamakan proses admisi),misalnya: pemeriksaan kesehatan,

pengambilan sidik jari, pembuatan pas foto dan pembuatan berita acara serah

terima terpidana. Setelah diperoleh kebenaran dalam proses itu narapidana

diberikan penjelasannya tentang hak-haknya sebagai narapidana. Proses

admisi ini berjalan dengan proses orientasi yaitu narapidana dimasukkan ke

dalam suatu tempat yang khusus untuk dilakukan pemeriksaanan tentang

kesehatan narapidana, apabila narapidana tersebut mengidap suatu penyakit

yang menular maka dari pihak rumah tahanan berkewajiban memberikan

obat sampai narapidana itu sembuh, hal ini dilakukan sebelum narapidana itu

dimasukan dalam blok-blok kamar bersama dengan narapidana lainnya.

Untuk narapidana yang berstatus titipan, juga tetap mendapat hak yang sama

dengan narapidana lainnya, baik untuk pembinaan dan bimbingan, kesehatan

di Rumah Tahanan Negara.

2. Tahap lanjutan (masa peralihan)

Setelah pembinaan dari narapidana di Rumah Tahanan Negara sudah

berjalan kurang lebih sepertiga (1/3) dari masa pidananya dan sudah
54

menunjukkan sikap yang baik, berdisiplin, dapat dipercaya dan bertanggung

jawab atas perbuatannya, maka narapidana itu diberi ijin bergaul dengan

masyarakat umum dan diberi ijin pula mengikuti kegiatan-kegiatan

kemasyarakatan.

3. Tahap akhir

Tahap terakhir dari proses pembinaan narapidana atau proses

pemasyarakatan yaitu asimilasi dengan melalui pemberian pelepasan

bersyarat. Hal tersebut dilaksanakan setelah 2/3 dari masa pidananya itu,

seorang narapidana benar-benar berada di tengah-tengah masyarakat yaitu

narapidana tersebut telah diintegrasikan dengan masyarakat sampai masa

pidananya berakhir. Dalam hal ini narapidana ikut aktif dalam pekerjaan-

pekerjaan di masyarakat. Hal ini berguna untuk memulihkan hubungan

narapidana dengan masyarakat dan memperoleh juga meningkatkan peran

serta masyarakat aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan.

Dalam usaha pembinaan dan bimbingan di Rumah Tahanan ini

narapidana diintegrasikan dengan masyarakat yang berada di luar tahanan,

hal ini merupakan pembinaan terakhir dari Rumah Tahanan. Dalam

pengintegrasian itu mengandung arti untuk mencapai suatu keahlian dan

untuk mengembalikan atau membangkitkan harga diri pada diri sendiri dan

pada diri orang lain serta dirinya dengan Tuhan-nya (wawancara dengan

Bapak Tentrem: petugas Rumah Tahanan Negara Surakarta, tanggal 30

Januari 2006).
55

Tahap asimilasi ini merupakan proses mengintegrasikan narapidana

dalam masyarakat sudah mulai dilakukan, tetapi masih berada dibawah

pengawasan Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Proses tersebut seorang

narapidana berkewajiban melakukan presensi atau wajib apel sesuai dengan

1/3 dari sisa masa pidananya. Dalam pelaksanaanya petugas BAPAS

berkewajiban melakukan pengawasan dan bimbingan terhadap narapidana

yang telah bebas dari Rumah Tahanan, namun hal tersebut tidak dapat

dilakukan sacara maksimal, karena tidak tercukupnya anggaran biaya

operasional dari pemerintah dan kurangnya kesadaran dari narapidana itu

sendiri dalam melaksanakan kewajibannya. Sehingga pelaksanaan proses

mengintegrasikan narapidana dalam masyarakat tersebut tidak akan berhasil

tanpa dukungan dari diri narapidana itu sendiri khususnya dan dari

masyarakat pada umumnya.

Proses mengintegrasikan narapidana dalam masyarakat dapat

dikatakan juga proses kehidupan sosial kemasyarakatan yang bertujuan

pokok agar narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan mudah

diterima kembali oleh masyarakat dalam lingkungannya. Untuk mencapai

ini, kepada mereka selama dalam Rumah Tahanan dibina terus untuk taat

beribadah dan dapat melakukan usaha-usaha sosial secara gotong-royong

sehingga pada waktu mereka telah memiliki sifat-sifat positif untuk

berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat lingkungannya.Tujuan yang

lain adalah untuk mempersiapkan narapidana kembali ke dalam kehidupan

masyarakat sebagai warga yang taat dan patuh terhadap hukum, mandiri serta
56

produktif sehingga dapat berguna dalam pembangunan (wawancara dengan

Bapak Sulatief: petugas Balai Pemasyarakatan Surakarta, tanggal 01 Februari

2006).

Berdasarkan pengamatan penulis tentang Integrasi narapidana yang

telah bebas dari Rumah Tahanan untuk kembali ke dalam masyarakat di

Desa Karanglo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, yang terdiri 16

unit RT dan 5 unit RW dengan luas wilayah 114, 6860 ha. Batas wilayah

desa Karanglo meliputi, batas utara desa Wangen, selatan desa Jimus, barat

desa Ponggok dan batas wilayah sebelah timur desa Turus. Jumlah penduduk

di desa Karanglo terdiri dari laki-laki berjumlah 1184 orang dan perempuan

berjumlah 1287 orang, dengan jumlah 558 kepala keluarga. Penduduk

tersebut mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, dan mereka

mayoritas beragama Islam. (Data dan wawancara dengan Bpk. Sri

Harmanto.SH : Sekretaris Desa Karanglo,tanggal 3 Oktober 2005).

Masalah sosial yang dihadapi masyarakat di Desa Karanglo,

Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten bahwa kenyataannya berbeda

dengan harapan, karena di daerah tersebut masih terjadi disintegrasi antara

narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan dengan warga masyarakat.

Masalah sosial tersebut timbul dari suatu keadaan ketidakseimbangan antara

unsur-unsur nilai dan norma-norma sosial dalam masyarakat yang relatif

mempengaruhi narapidana setelah bebas dari Rumah Tahanan dalam

mengintegrasikan dirinya dengan masyarakat.


57

Masalah sosial yang dihadapi masyarakat di Desa Karanglo, yaitu

masyarakat menyoroti dari sudut pandang yang negatif segala bentuk tingkah

laku dan aktifitas sehari-hari dari narapidana yang telah bebas dari Rumah

Tahanan, sehingga mereka merasa tersisih atau dikucilkan dari lingkungan

masyarakat tersebut. Hal tersebut mengakibatkan narapidana yang telah

bebas dari Rumah Tahanan memilih untuk kembali mengulangi kejahatan

yang telah mereka lakukan, karena mereka harus berusaha mendapatkan

sesuatu untuk mengatasi masalah atau segala tuntutan hidupnya, seperti

dorongan untuk makan, dorongan untuk mempertahankan diri, dan

sebagainya (wawancara dengan Kun Dwi Samudra (pencurian), Suyanto

(penganiayaan) dan Haryanto (kesusilaan): sebagai narapidana yang telah

bebas dari Rumah Tahanan di desa Karanglo, tanggal 10 oktober 2005).

Sebenarnya keinginan para narapidana setelah bebas dari Rumah

Tahanan dalam mengintegrasikan dirinya dengan masyarakat sangatlah

besar, hal ini sudah terlihat dengan adanya berbagai usaha yang telah

dilakukan mereka dalam mengintegrasikan dirinya dengan masyarakat.

Usaha tersebut diwujudkan dalam bentuk perubahan perilaku dan tindakan

mereka yang menjadi lebih baik, misalnya adanya sifat solidaritas yang

tinggi dari narapidana dalam hidup bermasyarakat, berusaha berbaur dengan

masyarakat melalui kegiatan-kegiatan kerja bakti dan kegiatan-kegiatan

sosial lainnya. (Wawancara dengan Haryanto: sebagai narapidana yang telah

bebas dari Rumah Tahanan di Dukuh Pusur, tanggal 09 Oktober 2005).


58

Hal lain yang telah dilakukan oleh narapidana setelah bebas dari

Rumah Tahanan dalam mengintegrasikan dirinya dalam masyarakat adalah

dengan berusaha mencari pekerjaan yang baik untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya, keluarganya, dan juga dapat mengembalikan kepercayaan

masyarakat kepada dirinya.

Dalam hal mencari pekerjaan, dengan adanya faktor alam yang sangat

mendukung bahwa di daerah Klaten pada umumnya dan di Desa Karanglo

pada khususnya memiliki tanah yang subur, hal ini sangat mendukung bagi

mereka untuk membuka lapangan kerja sebagai petani. Walaupun sebagian

dari mereka tidak memiliki lahan pertanian, mereka berusaha dengan

menjadi seorang buruh tani untuk melawan keinginan-keinginan yang buruk

pada dirinya. Hasil dari pekerjaan mereka meskipun pas-pasan tetapi mereka

merasa lebih bahagia karena mereka dapat memperoleh penghasilan yang

halal. Meskipun harus mandi keringat setiap hari untuk menghidupi anggota

keluarganya, mereka merasa lebih puas dengan apa yang mereka peroleh.

Sebagian dari mereka yang orang tuanya memiliki lahan pertanian,

mereka membantu orang tuanya bercocok tanam (bertani). Mereka lebih

berfikir positif guna mengembangkan usahanya dalam bertani sehingga

mereka dapat meninggalkan pengalaman yang buruk dan membuka lembaran

baru untuk menjadi lebih baik (Wawancara dengan Suyanto: sebagai

narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan di Dukuh Plumbon,

tanggal 09 Oktober 2005).


59

Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah Desa Karanglo

untuk mendukung narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan dalam

mengintegrasikan dirinya dengan masyarakat agar dapat diterima kembali

dengan baik di masyarakat, sehingga tidak kembali melakukan tindak

kejahatan adalah dengan cara:

1. Melakukan pendekatan terhadap narapidana yang telah bebas dari Rumah

Tahanan, pendekatan ini dilakukan oleh pejabat desa dan masyarakat

dengan cara kunjungan rutin satu minggu sekali melihat

perkembangannya, setelah beberapa kali dikunjungi dan diperlakukan

secara wajar seperti warga masyarakat lainnya, sehingga mereka tidak

merasa dikucilkan, misalnya diajak dan diikutsertakan dalam kegiatan-

kegiatan desa.

2. Pejabat desa atau tokoh masyarakat di desa setempat, seorang Kepala

Desa disertai dengan perangkat desa lainnya mengadakan penyuluhan

secara langsung ataupun secara tidak langsung kepada masyarakat untuk

ikut serta secara aktif memberikan masukan pada narapidana yang telah

bebas dari Rumah Tahanan. Penyuluhan narapidana mempunyai arti

memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun

agar bangkit menjadi orang yang baik. Atas dasar pengertian tersebut,

sasaran utama yang perlu diarahkan adalah pribadi dan budi pekerti

narapidana, yang didorong untuk membangkitkan harga diri pada diri

sendiri dan pada diri orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung

jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tentram serta


60

sejahtera dalam masyarakat dan berpotensi untuk menjadi manusia yang

berkepribadian luhur dan bermoral tinggi. Penyuluhan-penyuluhan itu

dilakukan dengan cara memberikan kegiatan yang meliputi:

a. Penyuluhan keagamaan yang diarahkan pada keyakinan dan

kepercayaan agamanya masng-masing.

b. Memberi kesempatan dan kelonggaran atau peluang pada narapidana

yang telah bebas dari Rumah Tahanan untuk mengembangkan

keterampilan yang diperoleh selama di Rumah Tahanan.

c. Penyuluhan yang ditujukan untuk memelihara rasa aman dan damai

untuk hidup dengan teratur, serta belajar menaati peraturan yang ada

di wilayah ataupun di luar wilayah tempat ia bertempat tinggal

supaya seorang narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan

dalam kehidupannya setelah kembali ke dalam masyarakat tidak

mengganggu ketentraman masyarakat lainnya dan terlebih kepada

mereka agar tidak merasa dikucilkan. (Wawancara dengan Bpk.

Subagyo: Kepala Desa Karanglo, tanggal 8 Oktober 2005).

Faktor yang paling penting bagi narapidana dalam mengintegrasikan

narapidana dalam masyarakat agar dapat diterima kembali dalam lingkungan

sosialnya adalah dari diri pribadi narapidana itu sendiri, mereka harus dapat

menimbulkan semangat pada dirinya sendiri dengan suatu cita-cita yang

bersifat membangun untuk kembali hidup kemasyarakat lagi. Yang

diperlukan oleh narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan adalah

rasa jera terhadap tindakan yang telah dilakukannya dan mempunyai


61

kemauan untuk melangkah ke jalan yang benar. Perasaan serta niat yang

kurang baik, misalnya: perasaan malu, minder (rendah diri terhadap

lingkungan), kecewa, dan sebagainya, hal itu harus dihindarkan guna

mencapai cita-cita yang akan datang. Dengan semangat baru dan percaya diri

sendiri yang dimiliki, maka akan mendukung berhasilnya narapidana setelah

bebas dari Rumah Tahanan dalam mengintegrasikan dirinya dengan

masyarakat sehingga mereka dapat diterima kembali dengan baik di

lingkungannya. Oleh karena itu diperlukan kesadaran yang tinggi, rasa

optimis dan mempunyai motivasi tertentu untuk bekerja yang bersifat positif

yang berguna khususnya bagi dirinya dan bagi masyarakat pada umumnya.

Dengan demikian dapat tercapai tujuan negara Indonesia menuju masyarakat

yang aman, tentram, adil dan makmur, serta bebas dari segala gangguan-

gangguan tindak kejahatan.

B. Hambatan-Hambatan yang Timbul dalam Mengintegrasikan

Narapidana dalam Masyarakat Setelah Bebas dari Rumah Tahanan

serta Solusinya

Ada beberapa faktor penghambat dalam mengintegrasikan narapidana

setelah bebas dari Rumah Tahanan dengan masyarakat di Desa Karanglo,

Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten adalah faktor yang berasal dari

narapidana itu sendiri, faktor yang berasal dari masyarakat dan dari

pemerintah. Faktor penghambat yang berasal dari narapidana itu sendiri

adalah sebagai berikut:


62

1. Dilihat dari segi keturunan narapidana, yaitu yang beranggapan bahwa

seseorang itu sampai menjadi jahat karena seseorang itu berasal dari

seseorang yang jahat pula, sehingga mereka cenderung mengikuti jejak

keturunannya (Wawancara dengan Bpk Wardiman: sebagai tetangga

dekat narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan, tanggal 3

Oktober 2005).

2. Kehidupan seorang narapidana dilihat dari sifat, tindakan atau perbuatan

para narapidana sendiri, yaitu ternyata seorang narapidana yang telah

bebas dari Rumah Tahanan itu masih mempunyai kecendurungan kuat

menjadi resedivis (berulang kali melakukan kejahatan), meskipun dalam

Rumah Tahanan sudah menjalani proses pembinaan yang tujuannya

membangun agar bangkit menjadi seorang yang baik serta

mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan

kehidupan yang tentram dan sejahtera dalam masyarakat. Hal ini dapat

dikategorikan bahwa watak seseorang sulit berubah karena sudah

pembawaan sejak lahir (Wawancara dengan Bpk Joko Pitoyo: sebagai

Ketua RT Dukuh Pusur, Desa Karanglo, tanggal 3 Oktober 2005).

3. Faktor kebiasaan yang ditimbulkan karena masa hukuman yang ringan,

yang harus dijalani seorang narapidana umumnya kurang lebih tiga

bulan, maka para narapidana akan cepat berpikiran seandainya perbuatan

itu diulang lagi pasti hukumannya seperti hukuman yang pernah

dijalaninya, sehingga timbul niat untuk mengulangi kejahatan lagi

(Wawancara dengan Joko Waluyo (pencurian) dan Sadono (pencurian):


63

sebagai narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan di Dukuh

Pusur Desa Karanglo, tanggal 5 oktober 2005).

4. Seseorang narapidana yang telah keluar masuk Rumah Tahanan sehingga

menjadikan tindak kejahatan yang telah mereka lakukan itu menjadi

suatu profesi guna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal itu

membuat masyarakat tidak bisa atau masih sulit untuk mempercayai

kalau seorang narapidana itu akan kembali menjadi masyarakat yang

baik (Wawancara dengan Bpk Sri Harmanto, SH: sebagai sekertaris Desa

karanglo, tanggal 4 Oktober 2005).

Faktor penghambat yang berasal dari masyarakat, yaitu sebagai

berikut:

1. Persepsi masyarakat umum pada narapidana yang telah bebas dari

Rumah Tahanan adalah bahwa cacatnya tubuh sulit untuk dipulihkan,

apalagi cacatnya nama dan perilakunya di tengah-tengah masyarakat,

maka masyarakat beranggapan bahwa seorang narapidana pernah

menjalani kehidupan yang hitam, maka selamanya akan tetap hitam dan

tidak akan pernah menjadi putih. Dengan adanya seorang narapidana

dalam kehidupan masyarakat tidak lepas dari rasa khawatir dan harus

selalu mempertahankan kewaspadaan meskipun perbuatan atau tindakan

narapidana itu tidak selamanya adalah perbuatan yang disengaja.

Masyarakat tetap waspada akan keselamatan jiwa keluarganya dan

khawatir akan harta benda atau kekayaannya, karena masyarakat masih

beranggap suatu saat ada kebutuhan yang mendesak. Sudah pasti


64

seseorang itu akan kembali ke jalan yang pernah ditempuh yang

merugikan anggota masyarakat lain, sebab pada dasarnya orang tersebut

pernah melakukan tindak pidana (Wawancara dengan Bpk Suhardi dan

Yudi Kusnandar, SE: sebagai tokoh masyarakat Dukuh Pusur, tanggal 3

Oktober 2005).

2. Kurang percayanya masyarakat terhadap narapidana yang telah bebas

dari Rumah Tahanan adalah bisa juga dikarenakan bahwa masyarakat

belum yakin sepenuhnya, kalau mereka bisa pulih mentalnya. Mental

yang rusak sampai kapanpun akan tetap rusak karena itu sudah

merupakan pembawaan. Akibat dari warga masyarakat tidak memberi

kesempatan pada narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan

untuk menjadi baik dan menyadari akan kewajiban serta haknya sebagai

warga dan menghormati hukum maka mereka memutuskan untuk

menjadikan segala tindak pidana yang telah dilakukannya sebagai pilihan

hidup, sehingga seorang narapidana yang telah bebas dari Rumah

Tahanan beranggapan bahwa lebih baik hidup di Rumah Tahanan

daripada kembali ke masyarakat. Mereka merasa di Rumah Tahanan

masih diperlakukan sebagai seorang manusia dan masih dihormati orang

lain, daripada kembali ke masyarakat dengan anggapan orang yang

semakin menekan batinnya. Hal inilah yang mejadikan suatu tindak

pidana itu sebagai profesi atau pilihan hidup, yaitu sebenarnya dari

masyarakat itu sendiri tidak memberikan kesempatan menjadikan

narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan itu menjadi seoseorang
65

yang baik seperti masyarakat yang lainnya (Wawancara dengan Bapk Sri

Harmanto, SH: sebagai sekertaris Desa Karanglo, tanggal 5 Oktober

2005).

3. Masyarakat tidak pernah membedakan antara narapidana yang telah

bebas dari Rumah Tahanan itu telah melakukan kejahatan berat atau

ringan karena masyarakat beranggapan bahwa terhadap kejahatannya itu

akan tetap membekas, meskipun mereka mendapat pembinaan selama

bertahun-tahun dalam Rumah tahanan. Anggapan masyarakat semakin

berat apabila melihat adanya hukuman yang seharusnya dijalani oleh

seorang narapidana dijatuhkan tidak seimbang dengan perbuatannya

terlebih lagi bila kejahatan itu dilakukan oleh seorang penjahat besar.

Masyarakatpun mempunyai anggapan yang sama, bahwa kejahatan

ringan juga akan tetap membekas dan akan sulit dihilangkan karena

sudah merupakan kebiasaan (Wawancara dengan Bpk Subagyo: sebagai

Kepala Desa Karanglo, tanggal 8 Oktober 2005).

4. Kurangnya kesadaran masyarakat juga dapat mempengaruhi para

narapidana yang sudah menjadi baik, karena biasanya masyarakat

menganggap bahwa apabila orang yang telah masuk Rumah Tahanan

mereka dianggap orang yang berbahaya, sehingga seolah-olah

masyarakat itu sendiri tidak mau menerima mereka, misalnya apabila

instansi pemerintah mencari tenaga kerja maka mereka harus belum

pernah berurusan dengan polisi. Hal tersebut di atas sangat mempersulit

para narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan untuk mendapat
66

pekerjaan apalagi di lapangan swasta. (Wawancara dengan Haryanto,

Joko waluyo, Sadono: mantan narapidana, tanggal 11 Oktober 2005)

5. Sikap mental masyarakat yang hidup terlalu demontratif (saling berlomba

dalam kemewahan) inipun juga merupakan salah satu penyebab

seseorang itu berbuat jahat lagi.

6. Masyarakat masih malu, yaitu malu untuk mengakui dan menerima

narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan untuk kembali ke

dalam masyarakat, padahal hal tersebut sebenarnya tidak sesuai dengan

hati nuraninya (Wawancara dengan Bpk. Subagyo: Kepala Desa

Karanglo, tanggal 8 Oktober 2005).

Faktor penghambat yang berasal dari pemerintah yaitu dalam proses

asimilasi dari pihak petugas BAPAS dalam melakukan pengawasan dan

bimbingan tidak dapat dilakukan secara maksimal dikarenakan tidak

tercukupnya anggaran untuk biaya operasional, apabila ada seorang

narapidana yang tidak dapat menepati kewajibannya. Sehingga dari pihak

petugas BAPAS harus melakukan kunjungan ke rumah narapidana yang

bersangkutan (wawancara dengan Bapak Sulatief: petugas Balai

Pemasyarakatan Surakarta, tanggal 01 Februari 2006).

Solusi atau cara untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut di atas

adalah sebagai berikut:

1. Pihak pemerintah beserta aparatur penegak hukum untuk memberikan

kesempatan kepada narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan

untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan ekonomi, serta menghilangkan


67

anggapan buruk tentang narapidana agar mereka dapat bekerja dengan

baik di instansi pemerintah ataupun swasta, hal ini akan menghilangkan

niatnya untuk melakukan perbuatan melawan hukum lagi. Pihak petugas

BAPAS sekalipun anggarannya kurang mencukupi untuk pelaksanaan

pengawasan dan bimbingan, namun hendaklah diusahakan untuk

memanfaatkan anggaran yang tersedia berhasil guna dan berdaya guna.

Dalam hal ini tidak semata-mata ditentukan oleh anggaran ataupun

sarana dan fasilitas yang tersedia tetapi juga diperlukan program-program

kreatif serta memiliki dampak edukatif yang optimal bagi narapidana

setelah bebas dari Rumah Tahanan, sehingga mereka dalam kembali

kemasyarakat sebagai warga yang taat dan patuh terhadap hukum yang

dapat mandiri dan produktif untuk menjadi manusia yang berguna bagi

pembangunan masa sekarang dan yang akan datang bagi bangsa dan

negara.

2. Pihak masyarakat, sikap masyarakat yang acuh tak acuh, sikap masa

bodoh dan sikap tidak mau menerima terhadap narapidana yang telah

bebas dari Rumah Tahanan harus segera dihilangkan karena dapat

menimbulkan dampak yang lebih besar untuk melangkah selanjutnya..

Masyarakat sedikit demi sedikit harus bisa menerima akan aktivitas dari

narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan untuk mengurangi rasa

minder yang dialaminya. Hal ini perlu didukung dengan adanya

diadakannya penyuluhan hukum dalam masyarakat, untuk menghindari

kesalahpahaman dari pihak masyarakat yang mempunyai pola pikir


68

mengasingkan narapidana yang telah bebas dari rumah tahanan itu.

Dengan adanya kesadaran hukum dari masyarakat diharapkan

masyarakat dapat mengerti dan menerima narapidana yang telah bebas

dari rumah tahanan sebagai pekerja yang produktif sehingga dapat

mengurangi pengangguran yang ada di masyarakat sehingga diharapkan

masyarakat mau berperan aktif dalam penanggulangan kejahatan.

3. Pihak keluarga dari narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan,

harus dapat menghilangkan sikap minder atau malu, masa bodoh, acuh

tak acuh untuk menerima kembali dalam lingkungan keluarganya.

Perhatian dari pihak keluarga itu sangat diperlukan untuk memberikan

semangat lagi dan untuk bertaubat kembali ke jalan yang baik.

4. Pihak pribadi dari narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan,

harus dapat menimbulkan semangat pada dirinya sendiri dengan suatu

cita-cita yang bersifat membangun untuk kembali hidup ke masyarakat

lagi. Perasaan malu, minder (rendah diri terhadap lingkungan), kecewa

harus segera dihilangkan dan dengan semangat baru, percaya diri sendiri

yang dimiliki oleh para narapidana setelah bebas dari rumah tahanan

maka akan berhasil guna mencapai cita-cita yang akan datang, oleh

karena itu diperlukan kesadaran yang tinggi untuk melangkah selanjutnya

dengan rasa optimis dan mempunyai motivasi tertentu melalui pekerjaan

yang bersifat positif itu akan segera tercapai.Hal lain yang diperlukan

oleh narapidana setelah bebas dari rumah tahanan adalah rasa jera

terhadap tindakannya yang lampau dan mempunyai kemauan untuk


69

melangkah ke jalan yang benar. Dengan demikian perbuatan melawan

hukum dapat dicegah guna mencapai tujuan negara Indonesia menuju

masyarakat yang aman, tentram, adil dan makmur bebas dari segala

gangguan-gangguan perbuatan kejahatan sesuai cita-cita bangsa

Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.


70

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian yang penulis lakukan, maka dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Cara mengintegrasikan narapidana dalam masyarakat setelah bebas dari

Rumah Tahanan di Desa Karanglo Kecamatan Polanharjo Kabupaten

Klaten, yaitu dari narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan itu

sendiri, dari masyarakat dan dari Pemerintah. Faktor dari narapidana yang

telah bebas dari Rumah Tahanan adalah mereka harus dapat menimbulkan

semangat pada dirinya dengan cita-cita yang bersifat membangun untuk

kembali hidup di masyarakat. Faktor dari pihak pemerintah yaitu dengan

diadakan tahapan proses asimilasi dari Rumah Tahanan dan Balai

Pemasyarakatan bertujuan untuk mengembangkan motivasi pada diri

narapidana dan memulihkan hubungan narapidana dengan masyarakat.

Berbagai upaya pemerintah Desa Karanglo adalah dengan cara melakukan

pendekatan-pendekatan dan penyuluhan baik secara langsung atau tidak

langsung terhadap narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan dan

kepada masyarakat yang berada di lingkungan tersebut. Faktor dari

masyarakat di lingkungan tersebut yaitu dengan cara menghilangkan

anggapan atau rasa kurang percaya dan kekhawatiran masyarakat terhadap

70
71

narapidana yang telah bebas dari rumah tahanan serta menerima

keberadaan mereka untuk kembali hidup dalam lingkungannya.

2. Hambatan-hambatan yang timbul dalam mengintegrasikan narapidana

dalam masyarakat setelah bebas dari Rumah Tahanan serta solusinya di

Desa Karanglo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten. Hambatan-

hambatan tersebut adalah berasal dari faktor diri narapidana setelah bebas

dari Rumah Tahanan itu sendiri, faktor yang berasal dari masyarakat dan

faktor dari pemerintah. Solusi atau cara untuk mengatasi hambatan-

hambatan tersebut adalah dengan kesadaran pihak pemerintah serta

aparatur penegak hukum untuk memberikan kesempatan kepada

narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan untuk bekerja guna

memenuhi kebutuhan ekonominya. Sikap masyarakat yang beranggapan

negatif atau rasa kurang percaya dan sikap tidak mau menerima terhadap

narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan harus segera

dihilangkan. Pihak keluarga dari narapidana yang telah bebas dari Rumah

Tahanan harus memberikan perhatian dan semangat untuk bertaubat

kembali ke jalan yang baik. Pihak pribadi dari narapidana yang telah bebas

dari Rumah Tahanan harus dapat menimbulkan semangat pada dirinya

sendiri dengan suatu cita-cita yang bersifat membangun setelah kembali

kemasyarakat lagi.
72

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka penulis memberikan saran-saran

sebagai berikut kepada:

1. Pihak petugas pemerintah dari Rumah Tahanan dan Balai Pemasyarakatan

(BAPAS) meskipun anggaran dana operasional dalam pembinaan,

bimbingan dan pengawasan narapidana kurang mencukupi hendaklah

memanfaatkan anggaran yang tersedia secara maksimal guna

mempersiapkan kehidupan narapidana setelah bebas dari rumah tahanan

dengan harapan hidup yang baru untuk kembali kemasyarakat.

2. Pihak narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan sebaiknya lebih

mengembangkan ketrampilan yang didapat selama di Rumah Tahanan,

agar masyarakat lebih percaya dan menghargai keberadaannya di

masyarakat.

3. Pihak masyarakat pada umumnya agar mau menerima keberadaan para

narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan dalam mengintegrasikan

dirinya di masyarakat, sehingga mereka tidak merasa dikucilkan dan

mereka dianggap sama seperti warga masyarakat yang lainnya.


73

DAFTAR PUSTAKA

Dirdjosworo, Soedjono. 1992. Sejarah dan Azas Teknologi (Permasyarakatan).


Bandung: Amico.

Hamzah, Andi. 1993. Kamus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Kartono, Kartini. 1999. Patologi Sosial .Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Kusuma, Mulyana.W. 1988. Kejahatan dan Penyimpangan Suatu Prespektif


Kriminologi. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum.

Moeljanto. 2003. Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara.

Moleong, Lexy J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Muladi. 1985. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Penerbit Alumni.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana.
Bandung: Alumni.
Nasikun. 2003. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Purnomo, Bambang. 1985. Pelaksanaan Pembinaan Penjara dengan Sistem


Permasyarakatan. Yogyakarta: Liberty.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa


Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Saleh, Roeslan. 1987. Stetsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru.

Santoso, Salimin Budi. 1987.Kebijaksanaan Pembinaan Narapidana Dalam


Pembangunan Nasional Berdasarkan Sistem Permasyarakatan. Jakarta:
Dirjen BTW.

Simanjuntak, B. 1981. Pengantar Kriminologi dan Psikologi Sosial. Bandung:


Tarsito.

Simorangkir, dkk. 1987. Kamus Hukum. Jakarta: Aksara Baru.

Sukanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas


Indonesia Press.

_______________. 1986. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum.


Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Syani, Abdul. 2002. Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: PT Bumi
Aksara.

73
74

You might also like