You are on page 1of 80

69

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Simpulan dalam penelitian ini, yaitu :


2+
1. Modifkasi bentonit dengan kation Cu memberikan hasil yang baik pada

proses interkalasi bentonit, hal ini dapat dilihat dari afinitas elektronnya,

morfologinya, kristalinitasnya, dan analisis gugus fungsinya. Karakteristik

bentonit hasil interkalasi mempunyai tingkat kristalinitas yang lebih baik

dibandingkan dengan bentonit alam jika dilihat dari difraktogramnya.

Mineral khas dari bentonit yaitu mineral monmorillonit tetap

dipertahankan pasca modifikasi namun memberikan pelebaran puncak

–OH yang diakibatkan adanya ion Cu2+ yang berikatan dengan molekul

air. Pori bentonit hasil modifikasi (Cu-BP) juga semakin baik jika dilihat

dengan foto SEM.

2. Proses adsorpsi urea oleh Cu-BP dipengaruhi oleh waktu kontak, pH, dan

konsentrasi awal urea. Semakin lama waktu pengadukan , semakin banyak

jumlah urea yang teradsorpsi oleh Cu-BP, dan mencapai keadaan optimum

pada waktu pengadukan selama 4 jam. Jumlah urea yang teradsorpsi oleh

Cu-BP semakin meningkat seiring bertambahnya satuan pH, dan mencapai

keadaan optimum pada pH 6 satuan. Jumlah urea yang teradsorpsi oleh

Cu-BP meningkat seiring meningkatkan konsentrasi awal urea yang

dikontakkan, adsorpsi urea oleh Cu-BP mencapai optimum pada

konsentrasi awal urea 10 g/100 mL.

69
70

3. Cu-BP mempunyai efektivitas adsorpsi urea yang lebih baik daripada

bentonit alamnya. Adsorpsi urea oleh Cu-BP terjadi pada pH 6,

konsentrasi urea awal 4 gram/100 mL, dan selama 4 jam dengan daya

adsorpsi sebesar 2,42 gram/gram Cu-BP, sedangkan pada kondisi yang

sama bentonit alam hanya mempunyai daya adsorpsi sebesar

0,7 gram/gram bentonit alam.

5.2. Saran

Saran yang dapat direkomendasikan dalam penelitian ini yaitu :

1. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk menentukan kondisi optimum pada

proses interkalasi bentonit dengan kation Cu2+, sehingga didapatkan

material bentonit yang mempunyai sifat-sifat yang lebih baik.

2. Perlu dilakukan analisis urea dalam material Cu-BP pasca adsorpsi urea

oleh Cu-BP.

3. Perlu adanyan penelitian lanjutan untuk desorpsi urea dari Cu-BP,

sehingga akan didapatkan efeftivitas Cu-bentonit sebagai pupuk.


92
71

DAFTAR PUSTAKA

Akhadi, Yuli P. 2000. Adsorpsi Kadmium Oleh Bentonit Alam dan Na-Bentonit
Sebagai Penukar Kation. Jurnal Sains dan Matematika, No.2

Alberty , R. A and Daniels, F. 1983. Physical Chemsitry. New York : John Willey
& Sons, hal. 230 – 234

Anonim. Synthesis of Urea. www.textoscientificos.com. 26 September 2006,


11 : 26 WIB

Anonim. Pupuk Kaltim.http://pupukkaltim.com. 26 September 2006, 11: 37 WIB

Anonim. Mikroskop Elektron. www.wilkipediaindonesia.com. 22 Juni 2007,


10 : 36 WIB

Arryanto, Yateman. 2006. Teknologi Nano Dalam Struktur Silika Alumina


lempung Alam dan Terapannya di Masa Depan. SEMNAS Kimia dan
Pendidikan Kimia FMIPA Unnes

Aryanti Irma, Karna Wijaya, Iqmal Tahir, Bambang Setiaji. 2002. Analisis
Porosimetri dan Difraksi sinar X Terhadap Interkalasi Azobenzena ke
Dalam Ruang Antar Lapis Monmorillonit. Prosiding Seminar Nasional
Kimia XXII Universitas Gajah Mada , hal. 100 – 106

Benarsconi, G. 1995. Teknologi Kimia. Jakarta : Pradnya Paramita, hal 34 – 56.

Castellan, G. W. 1983. Physical Chemsitry. London : Addison Wesley Published


Company hal. 420 – 427

Cotton, F. A dan Wilkinson. 1988. Basic Inorganic Chemistry. New York : John
Wiley and Sons, hal. 577 – 582

Eickhoff dan Metz.W., 1997. The Formation of CuCl2-Graphite Form Meltz With
KCl : The Equilibrium of Nucleation, Carbon, 35 : 299 – 306.

Fessenden dan Fessenden, 1999. Kimia Organik (Jilid 1). Jakarta : PT. Penerbit
Erlangga Mahameru, hal : 212 – 238.

Han, Y.S., Matsumoto, H., Yamanaka. 1997. Chem. Mater., 8, 2013

Hendayana, Sumar. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Jakarta : Erlangga, hal.


154 – 194

Herlina, Anni. 1999. Pembuatan, Karakterisasi Dan Uji Aktivitas Struktur


Bentonit Pada Peningkatan Kualitas Minyak Jelantah. Skripsi.
Yogyakarta : FMIPA UGM, hal. 8
72
93

Hery dan Rinaldi, Nino. 2002. Karakterisasi Bentonit Termodifikasi dengan


Polikation Alumunium. Indonesia Journal of Chemistry, Vol. 2, No. 3, hal.
173 – 176.

Inel, Oguz et al. 1997. Cu And Pb Adsorption On Some Bentonit Clays.


Osmangazi University, Departmen of Chemical Engineering. Turkey
Journal Chemistry. Vol 22 (1998) hal. 243 – 252.

Kastono dan Dody. 2005. Pengaruh Nomor Ruas Stek dan Dosis Pupuk Urea
Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kumis Kucing. Jurnal Ilmu Pertanian
Vol. 12 No. 1, 2005. Hal : 56 – 64

Khopkar, S. M. 1984. Konsep Dasar Kimia Analitik (terjemahan). Bombay :


Analytical Laboratory Department of Chemistry Indian Institut of
Technology Bombay, hal. 204 – 243.

Kurniawan, Cepi. 2002. Kajian Kinerja Bentonit Sebagai Adsorben Zat Warna
Sintetis Dalam Limbah Tekstil. Skripsi Universitas Pendidikan Indonesia.
Hal : 27 – 48.

Lestari, Siswati. 2002. Pembuatan Lempung Terpilar Bimetal Al-Cr dan


Aplikasinya Sebagai Katalis Pada Hidrorengkah Fraksi Berat Minyak
Bumi. Tesis. Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Liu, Jiahao. Xin Chen. Zhengzhong Shao dan Ping Zhou. 2003. Preparation and
Charcterization of Chitosan / Cu (II) Affinity Membran for Urea
Adsorption. Shanghai : Department of Macromolekular Sciens, Fudan
University, People’s Republic of China.

Mahida, U. N. 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Jakarta :


CV Rajawali, hal.l 4 – 6.

Muhdarina dan Amilia. 2003. Pilarisasi Kaolinit Alam untuk Meningkatkan


Kapasitas Tukar Kation. Jurnal Natur Indonesia, 6 (1), hal. 20 - 23.

Nurahmi, Emi. 2001. Uji Stabilitas Struktur Bentonit Terhadap Perlakuan Asam
Sulfat dan Pemanasan. Skripsi. Yogyakarta : FMIPA UGM, hal. 1 – 2.

Oscik, J. 1982. Adsorption. New York : John Wilwy and Sons, hal. 4 – 25.

PT. Tunas Inti Makmur. 2000. Data Spesifikasi Kandungan Kimia dan Fisika
Produk Lempung Natrium Bentonit. Semarang.

Pudjaatmaka, A Hadyana dan Qodratillah, Meity Taqdir. 2002. Jakarta : balai


Pustaka, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, hal : 8
94
73

Robert. L Pecsok, L. Donald Shields, Thomas Cairns and Ian G McWilliam. 2000.
Modern Methodsof Chemical Analysis. New York : John Wiley and
Sons. Hal : 226 – 237

Rusman, Iip Izul falah, damn RHA SAhirul Alim. Interkalasi Cu Pada karbon
Aktif dan Pemanfaatannya Sebagai Katalis Dehidrasi n AMilalkohol.
Indonesia Journal of Chemistry, Vol. 1, No. 1, hal. 23 – 29.

Sastrohamidjojo, Hardjono. 2001. Spektrokopi. Yogyakarta : Liberti. Hal : 12 – 37

Setiawan, Iwan. 2002. Uji Stabilitas Struktur Na-Monmorillonit Terhadap


Perlakuan Asam Sulfat dan Asam Klorida. Skripsi. Yogyakarta : FMIPA
UGM

Scott, W. A. N. 1996. Colling Gem (Kamus Saku Kimia). Jakarta : Erlangga, hal.
84 – 85.

Soedarmo. 1981. Petunjuk Praktek Bahan Galian Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan Direktorat Pendidikan menengah Kejuruan. Bagian Proyek
Pengadaan Buku Pendidikan Teknologi. Jakarta : Depdikbud, hal 40.

Sofia. 2002. Investigation The Adsorpstion Properties Of The Natural Adsorbens


Zeolit And Bentonit Towards Copper Ions, Mining And Mineral
Processing. Annual of university of mining and geology “St. Ivan Rilski”.
Vol 44 – 45 part II, hal. 93-97

Sukandarrumidi. 1999. Bahan Galian Industri. Yogyakarta : UGM Press, hal.


72 – 78.

Sukardjo. 1997. Kimia Fisika. Jakarta : Rineka Cipta IKAPI hal 88.

Tan, K. H. 1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Yogyakarta : UGM Press, hal.


34 – 42.

Tarigan, Poris. 1986. Spektrometri Massa. Bandung : Alumni, hal. 51 – 54.

Schubert, Ulrirch. 2002 . Synthesis of Inorganic Materials. New York : Willey-


VCH, hal. 45-59.

Sastrohamidjojo, Hardjono. 2001. Spektrokopi. Yogyakarta : Liberti.


Hal. 45 – 100.
95
Vaugan, D. E. W. 1988. Pillared Clays – A historical Prespective, Catalysis
Today. 2. 187 – 198.

Wijaya, Karna. Iqmal Tahir. Ahmad baikuni. 2002. Sintessis LEmpung Terpilar
Cr2O3 dan Pemanfaatannya Sebagai Inang Senyawa p-nitroanilin.
Indonesia Journal of Chemistry, Vol. 2, No. 2, hal. 11 – 19.
74

Wijaya Karna, Ani Setyo P, Sri Sudiono, Emi nurahmi. 2002. Studi Stabilitas
Termal dan Asam Lempung Bentonit. Indonesia Journal of Chemistry, Vol.
2, No. 2, hal. 20 - 25.

Yang, Ralph T. 2000. Pillared Clay as Superior Catalyst for Selective Catalytic
Reduction of NO J of Catalist. Michigan : Department of Chemical
Engineering University of Michigan.

Yong-Guo Zhou , Yue-Dong Yang , Xue-Min Guo , Gui-Ru Chen. 2002. Effect of
molecular weight and degree of deacetylation of chitosan on urea
adsorption properties of copper chitosan. Journal of Applied Polymer
Science, Volume 89, Issue 6 , Pages 1520 – 1523
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Alasan Pemilihan Judul

Indonesia merupakan negara agraris, dimana sebagian besar

penduduknya bercocok tanam. Pembangunan pertanian di Indonesia tetap

dianggap terpenting dari keseluruhan pembangunan ekonomi, apalagi

semenjak sektor pertanian ini menjadi penyelamat perekonomian nasional

karena justru pertumbuhannya meningkat, sementara sektor lain

pertumbuhannya negatif. Beberapa alasan yang mendasari pentingnya

pertanian di Indonesia : (1) potensi sumber dayanya yang besar dan beragam,

(2) pangsa terhadap pendapatan nasional cukup besar, (3) besarnya penduduk

yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini dan (4) menjadi basis

pertumbuhan di pedesaan (Kastono. 1999).

Untuk meningkatkan produktivitas pertanian diperlukan usaha

perbaikan teknik budidaya. Salah satu usaha tersebut adalah dengan

melakukan pemupukan yang efektif pada media tumbuh tanaman. Pemupukan

bertujuan untuk memenuhi jumlah kebutuhan hara yang kurang sesuai di

dalam tanah, sehingga produksi meningkat. Hal ini berarti penggunaan pupuk

dan input lainnya diusahakan agar mempunyai efisiensi tinggi. Efisiensi

pemupukan haruslah dilakukan, karena kelebihan atau ketidaktepatan

pemberian pupuk merupakan pemborosan yang berarti mempertinggi input.

Keefisienan pupuk diartikan sebagai jumlah kenaikan hasil yang dapat

1
2

dipanen atau parameter pertumbuhan lainnya yang diukur sebagai akibat

pemberian satu satuan pupuk/hara.

Kastono (1999) mengemukakan bahwa pemupukan mempunyai dua

tujuan utama, yaitu: (1) mengisi perbekalan zat makanan tanaman yang cukup,

dan (2) memperbaiki atau memelihara keutuhan kondisi tanah, dalam hal

struktur, kondisi pH, potensi pengikat terhadap zat makanan tanaman dan

sebagainya. Untuk mencapai tujuan tersebut pemupukan harus mengikuti

prinsip enam tepat, yaitu: tepat jumlah, jenis, cara, tempat, waktu, dan

disesuaikan dengan sifat/jenis tanah.

Kenyataan di lapangan, penggunaan pupuk di persawahan Indonesia

sangat boros, sehingga trilliunan rupiah terbuang sia-sia. Petanipun harus

menanggung biaya cukup besar untuk membeli pupuk yang digunakan untuk

menyuburkan tanaman padinya. Situasi penyediaan dan distribusi pupuk saat

ini masih menjadi masalah nasional, dan penggunaannya tidak rasional. Oleh

karena itu, sejalan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan petani,

rekomendasi teknologi pemupukan ini perlu di dorong karena dapat

meningkatkan efisiensi pupuk sekitar 20% sampai 44%

(http://agroIndonesia.com). Saat ini, kebutuhan pupuk buatan untuk padi

sawah sekitar 4,2 juta ton per tahun atau 75 persen dari total penggunaan

pupuk (5,6 juta ton), sebagian besar (75 persen) adalah pupuk urea. Saat ini

penggunaan pupuk padi sawah sering tidak rasional dan berimbang dengan

kisaran yang sangat lebar, yaitu 50 – 800 kg urea per ha, 0 – 200 kg SP-36

per ha, dan 0 – 150 kg KCl per ha (http://kompas.com).


3

Hal ini menyebabkan tingkat produktivitas yang tidak optimal, tidak

efisien dan mubazir. Diperlukan suatu rangkaian penelitian dan

pengembangan teknologi, serta rekomendasi pemupukan untuk padi sawah

yang efisien. Diperlukan pengembangan material murah dan mudah diperoleh

oleh petani. BPPT telah berhasil mengembangkan zeolit alam sebagai pupuk

alami tetapi kinerjanya belum cukup optimal, sehingga diperlukan usaha untuk

meningkatkan efektifitas pemupukan.

Potensi cadangan lempung di Indonesia sangatlah besar dan tersebar

hampir di seluruh daerah terutama di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan,

namun pemanfaatannya belum optimal. Lempung dapat didefinisikan sebagai

campuran partikel-partikel pasir, debu dan bagian-bagian tanah liat yang

mempunyai sifat-sifat karakteristik yang berlainan dalam ukuran yang kira-

kira sama. Salah satu ciri partikel-partikel tanah liat adalah mempunyai

muatan ion positif yang dapat dipertukarkan. Material ini mempunyai daya

serap dengan berubahnya kadar kelembapan. Tanah liat mempunyai luas

permukaan yang sangat besar (Mahida, 1984).

Lempung merupakan adsorben yang sangat kuat dengan luas

permukaan yang tinggi terutama setelah diaktivasi oleh asam. Mineral

lempung terdiri atas berbagai jenis, antara lain : kaolinit, monmorilonit, illit

atau mika, dan antapulgit. Monmorilonit yang dikenal dengan nama komersil

bentonit merupakan kelompok mineral smektit yang tersusun oleh kerangka

aluminosilikat yang membentuk struktur lapis, mempunyai muatan positif

yang merata pada permukaannya dan merupakan penukar kation yang baik

(Nurahmi, 2001).
4

Salah satu modifikasi lempung adalah dengan metode interkalasi.

Interkalasi merupakan penyisipan suatu spesies pada ruang antarlapis dari

padatan dengan tetap mempertahankan struktur berlapisnya. Dengan

interkalasi material lempung akan mempunyai pori yang besar, karena

interkalan akan mendorong lapisan atau membuka antar lapisan untuk

mengembang, sehingga akan meningkatkan kinerja adsorpsinya.

Dalam penelitian skala laboratorium ini akan dikaji mengenai

interkalasi bentonit dengan kation Cu2+ dan karakterisasinya serta uji aktvitas

bentonit sebagai pengikat urea dalam upaya untuk meningkatkan efektifitas

pemupukan. Jiahao dkk (2003) telah mampu mengembangkan Cu2+ yang

diembankan ke dalam kitosan sebagai adsorben urea dalam darah. Membran

ini diaplikasikan dalam sistem dialisis darah di dalam tubuh. Interkalasi

terhadap karbon aktif dengan Cu2+ mampu meningkatkan surafe area dari

karbon aktif tersebut, yaitu dari 286,9 m2/g menjadi 613 m2/g (Rusman, 1999).

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan

dalam penelitian ini antara lain :

1. Bagaimanakah karakteristik bentonit yang dinterkalasi dengan kation Cu2+

ditinjau dari morfologinya, X-ray difraction dan spektrum infra merahnya

(IR) ?

2. Bagaimanakah kondisi optimum adsorpsi urea oleh Cu Bentonit ?

3. Bagaimanakah efektivitas Cu-bentonit sebagai pengadsorpsi urea ?


5

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui karakteristik bentonit terinterkalasi dengan kation Cu2+,

2. Mengetahui kondisi optimum adsorpsi urea oleh Cu Bentonit,

3. Mengetahui efektivitas Cu-bentonit sebagai binding agent pupuk urea

dibandingkan dengan bentonit alam.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu :

1. Memberikan informasi tentang karakteristik bentonit terinterkalasi dengan

kation Cu2+,

2. Memberikan informasi tentang kondisi optimum adsorpsi urea oleh Cu

Bentonit,

3. Memberikan informasi tentang efektivitas Cu-bentonit sebagai binding

agent pupuk urea dibandingkan dengan bentonit alam.

1.5 Sistematika Tugas Akhir II

Untuk memberikan gambaran isi dari penelitian ini, maka garis besar

sistematika Tuga Akhir II ini adalah sebagai berikut :

A. Bagian Pendahuluan

Bagian ini terdiri dari halaman judul, halaman persetujuan pembimbing,

halaman pengesahan, halaman motto dan persembahan, abstrak, daftar isi,

daftar tabel, daftar gambar, dan daftar lampiran.


6

B. Bagian Isi

Bagian ini terdiri dari lima bab, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang alasan pemilihan judul, permasalahan, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika Tugas Akhir II.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka berisi tinjauan literatur yang digunakan dalam

penyusunan Tugas Akhir meliputi bentonit yang berisi tentang

definisidan sifat-sifat bentonit, proses interkalasi, tembaga, urea,

binding agent, metode nessler, spektronik UV-Vis, spektrokopi

infra merah, metode difraksi sinar-X, dan Scanning Electron

Microscopy

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisi mengenai populasi dan sampel penelitian, variabel

penelitian, alat dan bahan, prosedur kerja, dan metode nalisis data.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi mengenai pembahasan berisi mengenai hasil

penelitian.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

Penutup berisi simpulan dan saran-saran

C. Bagian Akhir

Bagian ini terdiri dari daftar pustaka dan lampiran-lampiran.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bentonit

Bentonit adalah nama dagang untuk jenis lempung yang mengandung

mineral monmorilonit antara 80 – 90 %. Fragmen sisa umumnya merupakan

campuran dari mineral-mineral pengotor seperti kuarsa, kristobalit, feldspar,

dan mineral-mineral lempung lain, tergantung pada daerah geologisnya.

Menurut kamus geologi, bentonit adalah endapan karang yang dibentuk dari

perubahan tempat dari abu vulkanis, komposisi terbesar dari tanah liat

monmorillonit yang pada umumnya mempunyai kemampuan cukup besar

untuk menyerap air, juga dipakai secara komersil dalam cairan drilling,

katalis, cat, pengisi plastik dan sebagainya (Andu, 1987). Menurut Soedarmo

(1981), bentonit adalah jenis batuan hasil alterasi dari material-material, gelas,

tuff atau abu vulkanis. Komposisi mineral utamanya adalah mineral

monmorillonit dan sedikit biedelit dengan sejumlah mineral-mineral

pengikutnya seperti orthoklas, oligoklas biotit, pyroxen dan kwarsa.

Bentonit merupakan mineral yang terdiri dari kristal alumino-silikat

terhidrasi yang mengandung kation alkali atau alkali tanah dalam kerangka

tiga dimensi. Ion-ion logam tersebut dapat diganti oleh kation lain tanpa

merusak struktur bentonit dan dapat menyerap air secara reversible. Bentonit

tidak dapat diidentifikasi hanya berdasarkan analisa komposisi kimianya saja,

melainkan harus dianalisa strukturnya. Struktur kristal bentonit, semua

7
8

atom Si dalam bentuk tetrahedral, sedangkan atom Al dalam bentuk

Oktahedral. Struktur kristal monmorillonit dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Stuktur Kristal Monmorillonit (Yateman, 2006).

Saat ini dikenal sekitar dua jenis utama bentonit alam, yang masing-

masing mempunyai nilai komersial berbeda. Bentonit dibedakan menjadi dua

jenis, yaitu :

1. Bentonit yang dapat menyerap air sekitar delapan kali volumenya dan

dapat mengembang sampai beberapa kali.

2. Bentonit yang tidak dapat mengembang, jenis ini digunakan sebagai

bleaching clay. Dalam bidang pertambangan bentonit di Indonesia belum

banyak dikenal namun untuk beberapa daerah sudah diadakan

penyelidikan-penyelidikan, misalnya di Wonogiri, Purwokerto,

Palembang, Bintan dan lain-lain.

Bentonit mempunyai ciri khas, yaitu kalau diraba seperti lilin dan

teksturnya seperti sabun. Bagian-bagian yang dekat permukaan tanah condong

berwarna hijau kekuningan atau abu-abu dan menjadi terang pada waktu

dikeringkan. Endapan yang ada di bawah permukaan tanah condong berwarna


9

abu-abu kebiruan. Selain itu ada pula yang berwarna putih, coklat terang dan

coklat kemerahan.

Berdasarkan proses terbentuknya di alam, bentonit dibagi menjadi dua

golongan, yaitu :

1. Natrium Bentonit (Swelling Bentonite)

Bentonit jenis ini mempunyai kandungan ion Na+ relatif lebih banyak

dibandingkan dengan kandungan ion Ca2+ dan Mg2+, selain itu bentonit

juga memiliki sifat mengembang apabila terkena air. Kandungan Na2O

umumnya lebih besar dari 2%. Bentonit jenis natrium banyak digunakan

sebagai pencampur pembuatan cat, perekat pasir cetak dalam industri

pengecoran dan sebagainya.

2. Kalsium Bentonit (Non Swelling Bentonite)

Bentonit jenis ini memiliki kandungan ion Ca2+ dan Mg2+ yang relatif

lebih banyak dibandingkan kandungan ion Na+-nya, mempunyai sifat

sedikit menyerap air, dan bila didespersikan ke dalam air akan cepat

mengendap (tidak membentuk suspensi), serta memiliki pH 4 -7. Ca-

bentonit digunakan untuk bahan cat warna dan sebagai bahan perekat pasir

cetak.

(Sukandarrumidi, 1999)

Perbedaan dan perbandingan sifat-sifat lainnya antara Na-bentonit


dengan Ca-bentonit dapat dilihat pada Tabel 1.
10

Tabel 1. Sifat-sifat Na-bentonit dan Ca-bentonit


Sifat Fisik Ca-bentonit Na-bentonit
Kekuatan dalam keadaan basah Tinggi Sedang
Perkembangan daya ikat Cepat Sedang
Kekuatan tekan Sedang Tinggi
Panas Rendah Tinggi
Kering Rendah Tinggi
Keawetan :
Daya tahan terhadap penyusutan Rendah Tinggi
Daya mengembang Tidak baik Sangat baik
Kemantapan terhadap panas pada
temperatur cetak Sangat baik Sedang
Daya mengalirkan pasir Mudah sukar
(Sukandarrumidi, 1999)

Kemampuan menukar ion pada bentonit tidak hanya ditentukan oleh

jenis dan jumlah ion, tetapi juga oleh gerakan kisi-kisi kristal monmorillonit.

Sifat bentonit sangat tergantung pada dominasi pertukaran ion. Bentonit dapat

digunakan untuk penghilangan ion Pb, Cd, Cu, Zn dari suatu larutan (Inel et

al., 1997). Kemampuan bentonit dalam mengadsorpsi logam berat ini juga

memungkinkan untuk menjadikan interkalasi terhada bentonit.

Untuk meningkatkan kemampuan daya serap dan daya tukar ionnya,

bentonit harus diaktivasi terlebih dahulu dengan pemanasan dan modifikasi

dengan asam agar porositas, luas permukaan dan keasamannya meningkat.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Iwan (2002) menunjukan bahwa

pemanasan pada bentonit mengakibatkan terjadinya perubahan strectching Si-

O-Si yang menyebabkan terjadinya gugus Si-O-Si pada sheet oktahedral

maupun tetrahedral.
11

Dengan pemanasan pada Na-bentonit pada konsentrasi 3 M

mengakibatkan terjadinya perubahan deformasi ikatan H2O, hal ini karena

H2O yang ada mengalami peruraian atau pelepasan. Pemanasan pada

temperatur 1000 – 200 0C menyebabkan bentonit kehilangan molekul air yang

mengisi ruang antar layer, sehingga struktur semula menjadi hilang.

Perubahan ini bersifat reversibel, tetapi akan menjadi permanen apabila

dipanaskan di atas temperatur 200 0C. Pemanasan pada 200 0C dengan variasi

konsentrasi asam menunjukan intensitas panjang gelombang yang berbeda

pula, hal ini berarti bahwa struktur pada ikatan H2O mengalami perubahan.

Stretching Si-O-Si mengalami peningkatan, hal ini terjadi karena semakin

tinggi konsentrasi maka semakin besar pula kandungan Si-O-Si yang terikat

pada Na-bentonit. Pemanasan yang semakin tinggi dapat mengakibatkan

puncak bentonit menjadi semakin melebar dan meluas sehingga pada akhirnya

benar-benar- runtuh pada temperatur 300 oC. Pemanasan di atas 500 – 700 OC

menyebabkan proses pengeluaran molekul-molekul air dari rangkaian kristal

(framework), sehingga dua gugus OH yang berdekatan saling melepaskan satu

molekul air (Iwan, 2002).

Menurut Iwan (2002), pengolahan lempung dengan asam mineral

(H2SO4) dapat meningkatkan porositas dan keasaman permukaan, sehingga

memiliki sifat lebih efektif sebagai pendukung katalis karena dapat mengalami

perubahan pada struktur bentonitnya. Hasil analisis XRD dan IR menunjukan

bahwa pada konsentrasi asam 2 N, kation-kation yang ada dalam layer

lempung lepas dan pada konsentrasi asam di atas 4 N terjadi pelepasan Al3+
12

dan Mg2+ dari kerangka oktahedral yang menyebabkan perubahan volume pori

yang sangat tinggi.

Untuk mencapai penyerapan yang optimal diperlukan pemurnian

mineral alam sebelum digunakan atau dimodifikasi strukturnya dan dibuat

dalam ukuran butiran tertentu dengan menggunakan binder polimer misalnya

poli akrilo nitril dan poli vinil alkohol sehingga komposit bentonit dapat

dibuat dalam berbagai bentuk misalnya granula, pelet, serbuk, lembaran

hollow, dan sebagainya. Melalui interkalasi, bentonit akan mempunyai luas

permukaan yang lebih besar daripada bentonit alamnya. Selain itu, dengan

interkalasi kinerja adsorpsi dari bentonit juga meningkat, bahkan material

hasil interkalasi ini dapat dilanjutkan dengan proses pilarisasi.

2.2. Proses Interkalasi

Interkalasi adalah suatu penyisipan spesies tamu (ion, atom, atau

molekul) ke dalam antarlapis senyawa berstruktur lapis. Schubert (2002)

mendefinisikan interkalasi adalah suatu penyisipan suatu spesies pada ruang

antarlapis dari padatan dengan tetap mempertahankan struktur berlapisnya.

Atom-atom atau molekul-molekul yang akan disisipkan disebut sebagai

interkalan, sedangkan yang merupakan tempat yang akan dimasuki atom-atom

atau molekul-molekul disebut sebagai interkalat. Metode ini akan

memperbesar pori material, karena interkalan akan mendorong lapisan atau

membuka antar lapisan untuk mengembang.

Menurut ogawa dalam Rusman (1999), mekanisme pembentukan

interkalasi dapat dikelompokan menjadi lima golongan, yaitu :


13

1. Senyawa interkalasi yang terbentuk dari pertukaran kation

Senyawa terinterkalasi jenis ini terbentuk dari pertukaran kation tamu

dengan kation yang menyetimbangkan muatan lapis. Jumlah kation tamu

yang dapat terinterkalasi tergantung pada jumlah muatan yang terkandung

pada lapisan bahan inang. Lempung terpilar adalah salah satu contoh

senyawa terinterkalasi yang diperoleh dari pertukaran kation. Spesies tamu

dalam hal ini berperan sebagai pilar yang akan membuka lapisan-lapisan

lempung.

2. Senyawa interkalasi yang dibentuk dari interaksi dipol dan pembentukan

ikatan hidrogen

Senyawa terinterkalasi jenis ini terbentuk jika spesies tuan rumah (host)

bersifat isolator dan tidak memiliki muatan permukaan. Interaksi antara

spesies tamu dan lapisan spesies tuan rumah hanya berupa interaksi dipol

dan ikatan hidrogen, oleh karena itu jenis interkalasi ini tidak stabil dan

senyawa yang terinterkalasi ini dengan mudah dapat digantikan.

3. Senyawa interkalasi yang dibentuk dari interaksi dipol antara spesies tamu

dan ion-ion di dalam antar lapis

Senyawa interkalasi jenis ini dapat terjadi melalui pertukaran molekul-

molekul solven. Pertukaran tersebut terjadi antara molekul-molekul solven

yang mensolvasi ion-ion dalam antarlapis dengan molekul-molekul tamu.

Hal tersebut terjadi, jika molekul tamu mempunyai polaritas yang tinggi.

Pada material lempung, molekul monomer dapat terinterkalasi melalui

penggantian dengan molekul air.


14

4. Senyawa interkalasi yang dibentuk dengan ikatan hidrogen

Bila dibandinkan dengan senyawa interkalasi yang lain, maka spesies tamu

akan terikat lebih kuat di dalam spesies induk, sehingga deinterkalasi lebih

sulit terjadi.

5. Senyawa interkalasi yang dibentuk dari transfer muatan

Senyawa interkalasi yang terbentuk jika lapisan bahan induk bersifat

konduktif. Reaksi interkalasinya dapat dinyatakan sebagai berikut :

xA+ + xe- + [Z] A+x[Z]x-

xA- + [Z] Ax-[Z]x+ + e-

dimana A adalah ion tamu dan Z adalah spesies induk.

Masuknya interkalan ke dalam lapisan interkalat maka susunan yang

dimiliki interkalat mengalami perubahan. Gambar 2 menjelaskan tentang

proses interkalasi dalam lempung. Lempung yang semula berbentuk lapisan

alumino silikat, dengan masuknya interkalan diantara lapisan mengakibatkan

lapisan terdekatnya akan terpisah menjadi lapisan alumino silikat – interkalan-

alumino silikat.

Gambar 2. Proses Interkalasi dalam Lempung (Yateman, 2006)


15

Menurut Eickhoff dan Metz dalam Rusman (1999), mekanisme reaksi

yang terjadi pada interkalasi logam klorida dalam grafit, MClx, dan gas klorin

teradsorp menyebabkan suatu transfer nilai dari grafit dengan inti sehingga

reaksinya adalah :

nC + MClx + ½ Cl2(ads) CnMClx+1 (ads) CnMClx+1(int)

dimana “ads” dan “int” secara berturut-turut menunjukan spesies teradsorp

dan spesies terinterkalasi, M adalah ion logam seperti Cu2+, Co2+, dan Cd2+.

Reaksi selanjutnya MClx netral masuk ke sisi grafit dan membentuk

kelompok interkalat lebih besar, reaksinya yaitu :

CnMClx+1(int) (m-1)MClx Cn(MClx)mCl

Reaksi interkalasi yang terjadi pada CuCl2 dalam bentonit

(monmorillonit) menurut mekanisme di atas dapat diramalkan sebagai berikut:

spesies teradsorp pada permukaan bentonit (CuCl2, Cl2, dan CuCl3) yang akan

menyebabkan transfer muatan dari monmorillonit, dan memperbesar jarak

antara 2 lapisan alumino silikat, kemudian ion-ion CuCl3- masuk ke antara

lapisan alumino silikat, mengahasilka reaksi :

n(Al-Si) + CuCl2 ½ Cl2(ads) (Al-Si)nCuCl3(ads) (Al-Si)nCuCl3(int)

CuCl2 netral akan masuk bereaksi dengan (Al-Si)nCuCl3(int) ke kristal dan

menambah kelompok interkalat menjadi lebih besar. Reaksinya :

(Al-Si)nCuCl3(int) + (m-1)CuCl2 (Al-Si)n(CuCl2)mCl

Penyebaran kelompok-kelompok interkalasi pada pusat memiliki kecepatan

yang tergantung pada ukurannya. Interkalasi berlangsung terus menerus

sampai keadaan setimbang.


16

2.3. Tembaga

Tembaga (Cu) merupakan unsur logam transisi dengan nomor atom 29

dan nomor massa 63,546. Pada Sistem Periodik Unsur (SPU), unsur tembaga

terletak pada periode 4 golongan IB dengan konfigurasi elektron [Ar] 3d10 4s1.

Potensial ionisasi elektron pada 4s sangat rendah sehingga elektron dalam

unsur tembaga mudah terlepas membentuk Cu (I), sedangkan Cu (II)

terbentuk dengan cepat oleh lepasnya 1 elektron dari orbital 3d. Oleh karena

itu, tembaga memiliki bilangan oksidasi 1 dan 2.

Tembaga termasuk logam berat dengan massa jenis padatan murninya

sebesar 8,96 mg/ml pada suhu 20 oC, dengan titik didih dan titik lelehnya

berturut-turut yaitu 1083 oC dan 2595 oC. Tembaga juga merupakan salah satu

unsur logam murni yang kuat, keras, tahan lama, dan banyak digunakan

sebagai paduan logam (alloy), pelapisan logam (electroplating) dan

penghantar listrik atau conductor (Cotton, dan Wilkinson, 1998). Tembaga

tidak larut dalam HCl dan H2SO4 encer, namun larut dalam asam nitrat 8 M

dan asam sulfat pekat dengan reaksi sebagai berikut :

3Cu(s) + 8NO3(aq) 3Cu2+(aq) + 6NO3-(aq) + 2NO(g) + 4H2O………...(1)

Cu(s) + 2H2SO4(aq) Cu2+(aq) + SO42-(aq) + SO2(g) + H2O(aq)………...(2)

Senyawa tembaga di alam terdapat dalam 2 bentuk, yaitu Cu(I) dan

Cu(II). Tembaga (I) diturunkan dari Cu(I) oksida, Cu2O yang berwarna
17

merah., sedangkan senyawa yang lain adalah senyawa yang tidak berwarna

dan kebanyakan tidak larut dalam air dan mudah dioksidasi menjadi Cu(II)

yang dapat diturunkan dari Cu(II) oksida yang berwarna hitam (Vogel,1990).

Pada umumnya, Cu(II) berasal dari Cu (II) nitrat atau Cu(II) sulfat. Tembaga

(II) nitrat dapat berupa Cu(II) nitrat trihidrat maupun heksahedrat yang

merupakan kristal biru bening yang larut dalam air dan alkohol. Tembaga (II)

nitrat akan kehilangan 3 molekul air pada temperatur 26,4 oC dan pada

temperatur 170 oC akan terdekomposisi. Senyawa ini dihasilkan dengan

melarutkan senyawa tembaga (II) oksida dan asam nitrat dalam air, diuapkan

dan kemudian dikristalkan. Tembaga (II) sulfat merupakan kristal biru, dapat

terfluroresensi di udara secara lambat, berwarna putih jika terhidrasi, mudah

larut dalam air dan larut dengan baik dalam alkohol dan gliserol. Tembaga (II)

sulfat dapat dibuat dari pelarutan asam sulfat dan Cu (II) oksida dalam jumlah

besar, kemudian diuapkan dan dikristalkan (Scott, 1996).

Penggunaan tembaga sebagai pengikat urea telah dilakukan oleh

Jiahao (2003) sebagai afinitas membran untuk adsorpsi urea dalam proses

dialisis darah. Jiahao menginterkalasikan tembaga(II) ke dalam chitosan, hasil

yang diacapai Cu(II)/Chitosan dapat mengadsorpsi urea dalam darah hingga

78,8 mg/g.

Logam Cu dibutuhkan oleh sistem enzim oksidatif. Logam Cu yang

dibutuhkan sebagai kompleks Cu-protein seperti terlihat pada gambar 3, yang

mempunyai fungsi tertentu pada pembentukan hemoglobin, pembuluh darah,

kalogen dan myelin otak. Konsumsi tembaga (Cu) yang baik bagi manusia
18

adalah 2,5 mg/kg berat tubuh orang dewasa dan 0,05 mg/kg berat tubuh untuk

anak-anak dan bayi.

H O
O H

R N C R
C N

H Cu H H
H

N
N
C C
R H
H R
O
O

Gambar 3. Struktur Kompleks Cu-protein

2.4 Urea

Urea (carbamide) merupakan padatan kristalin putih dengan rumus

kimia CO(NH2)2, yang sebagian besar kandungannya adalah nitrogen. Urea ini

biasanya dalam bentuk curah dan butiran. Senyawa urea memiliki berat jenis

1,3 g/l dengan titik leleh 133 oC. Urea larut dalam air tetapi tidak larut dalam

pelarut organik. Senyawaan nitrogen ini juga merupakan produk akhir dari

metabolisme yang disekresikan oleh mamalia, dan disintesis dalam daur urea

(reaksi biokimia yang mengubah amoniak menjadi urea). Urea juga disintesis

dalam skala industri dari amoniak dan karbon dioksida untuk digunakan

dalam resin urea-formaldehid (resin sintesis mengandung gugus ulangan

-NH-CO-O-) dan obat-obatan, sebagai sumber nitrogen nonprotein bagi ternak

ruminansia, dan pupuk nitrogen.

Urea merupakan material kering dalam bentuk butiran atau curah,

Urea-N secara cepat terhidrolisis menjadi NH4+. Pupuk ini sering kali
19

digunakan untuk aplikasi langsung dalam pupuk campuran, dan dalam larutan

Nitrogen. N (Nitrogen) yang pada aplikasi ini berwujud sebagai Urea-N, dan

sekitar 66% dari Urea-N dihidrolisa menjadi Amonia-N dalam penggunaan

1 hari hingga 1 minggu. Reaksi urea terhidrolisis dalam air dapat dilihat pada

reaksi dalam gambar 4.


NH2
H2O
H 2N 2 NH4+ + CO32-
O

u re a

Gambar 4. Reaksi Urea Terhidrolisis Dalam Air


(Fessenden dan Fessenden, 1999)

2.5. Binding Agent

Binding agent dalam kamus kimia mempunyai arti sebagai pengikat

suatu molekul dengan metode adsorpsi (Hadyana, 2002). Dalam penelitian ini

bentonit yang sudah terinterkalasi dimaksudkan agar dapat mengikat pupuk

urea dengan adsorpsi yang lemah, sehingga proses desorpsinya dapat

dilakukan dengan mudah. Adsorpsi adalah gejala pengumpulan molekul-

molekul suatu zat pada permukaan lain sebagai akibat ketidakjenuhan gaya

pada permukaan tersebut (Alberty dan Daniels, 1993). Proses adsorpsi dapat

terjadi pada seluruh permukaan benda, tetapi yang sering terjadi adalah bahan

padat menyerap partikel yang berada pada limbah cair. Bahan yang diserap

disebut adsorbat atau solute, sedangkan bahan penyerapnya disebut adsorben.

Material-material yang dapat digunakan sebagai adsorben diantaranya adalah

asam humat, tanah diatomae, bentonit, biomassa mikroorganisme air, karbon

aktif, alumina, silika gel, dan zeolit.


20

Adsorpsi yang terjadi pada permukaan zat padat disebabkan oleh

adanya gaya tarik atom atau molekul pada permukaan zat padat. Energi

potensial permukaan dari molekul turun dengan mendekatnya molekul ke

permukaan. Molekul teradsorpsi dapat dianggap membentuk fasa dua dimensi

dan biasanya terkonsentrasi pada permukaan atau antar muka (Alberty dan

Daniels, 1983). Adsorpsi dibagi menjadi 2 yaitu :

1. Adsorpi Fisika

Adsorpsi fisik, terjadi karena adanya gaya mempunyai jarak jauh tapi

lemah dan energi yang dilepaskan jika partikel teradsorpsi secara fisik

mempunyai orde besaran yang sama dengan entalpi kondensasi. Adsorpsi

ini bersifat reversible, berlangsung pada temperatur rendah, dan tidak

perlu aktivasi. Penerapannya antara lain pada penentuan luas permukaan,

analisis kromatografi, pemurnian gas dan pertukaran ion.

2. Adsorpsi Kimia

Dalam adsorpsi kimia, proses adsorpsi terjadi dengan adanya

pembentukan ikatan kimia dengan sifat yang spesifik karena tergantung

pada jenis adsorben dan adsorbatnya. Adsorpsi kimia bersifat ireversibel,

berlangsung pada temperatur tinggi, dan tergantung pada energi aktivasi.

Penerapannya antara lain pada proses korosi dan katalisis heterogen

(Alberty dan Daniels, 1983).


21

Proses Adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :

1. Konsentrasi

Proses adsorpsi sangat sesuai untuk memisahkan bahan dengan konsentrasi

yang rendah dari campuran yang mengandung bahan lain dengan

konsentrasi tinggi.

2. Luas Permukaan

Proses adsorpsi tergantung pada banyaknya tumbukan yang terjadi antara

partikel-partikel adsorbat dan adsorben. Tumbukan efektif antara partikel itu

akan meningkat dengan meningkatkanya luas permukaan. Jadi, semakin luas

permukaan adsorben maka adsorpsi akan semakin besar.

3. Suhu

Adsorpsi akan lebih cepat berlangsung pada suhu rendah. Namun demikian

pengaruh suhu adsorpsi zat cair tidak sebesar pada adsorpsi gas.

4. Ukuran partikel

Semakin kecil ukuran partikel yang diadsorpsi maka proses adsorpsinya

akan berlangsung lebih cepat.

5. pH

pH mempunyai pengaruh dalam proses adsorpsi. pH optimum dari suatu

proses adsorpsi ditetapkan melalui uji laboratorium.

6. Waktu kontak

Waktu untuk mencapai keadaan setimbang pada proses serapan logam oleh

adsorben berkisar antara beberapa menit hingga beberapa jam.

(Bernasconi, 1995).
22

Permukaan zat padat dapat mengadsorpsi zat terlarut dari larutannya.

Hal ini disebabkan karena adanya pengumpulan molekul-molekul suatu zat

pada permukaan zat lain sebagai akibat ketidakseimbangan gaya-gaya pada

permukaan tersebut. Biasanya adsorpsi diikuti dengan pengamatan isotherm

adsorpsi yaitu hubungan antara banyaknya zat yang teradsorpsi persatuan

berat adsorben dengan konsentrasi zat terlarut pada temperatur tertentu atau

tetap yang dinyatakan dengan kurva (Oscik,1982).

Dalam adsorpsi antar fase padat-gas pada tekanan rendah,

mekanismenya semata-mata tergantung pada sifat gaya yang bekerja antara

molekul-molekul adsorben dan adsorbat. Dalam kasus yang paling sederhana

yaitu adsorpsi larutan biner. Interaksi molekul dalam adsorpsi larutan biner

ditunjukan pada Gambar 5. Mekanismenya adsorpsi larutan biner tergantung

pada beberapa factor sebagai berikut:

1. Gaya yang bekerja diantara molekul-molekul adsorbat (Z) dan permukaan

adsorben.

2. Gaya yang bekerja diantara molekul-molekul pelarut (S) dan permukaan

adsorben.

3. Gaya yang bekerja diantara molekul-molekul larutan (Z dan S) baik dalam

lapisan permukaan maupun dalam fasa ruahnya.


S
Z

Z S

Gambar 5. Interaksi Molekul dalam Adsorpsi Larutan Biner (Oscik,1982).


23

2.6. Metode Nessler

Urea di dalam air akan terhidrolisis menjadi ion NH4+ (amonium). Ion-

ion amonium diturunkan dari amonia (NH3), dan ion hidrogen (H+). Ciri-ciri

khas ion amonium adalah serupa dengan ciri-ciri khas ion logam alkali.

Dengan elektrolisis memakai katoda dari merkurium dapat dibuat amonium

amalgam, yang mempunyai sifat-sifat serupa dengan amalgam dari natrium

atau kalium .

Garam-garam amonium umumnya adalah senyawa-senyawa yang larut

dalam air, dengan membentuk larutan yang tidak berwarna (kecuali bila

anionnya berwarna). Dengan pemanasan, semua garam amonium terurai

menjadi amonia dan asam yang sesuai, kecuali jika asamnya tidak mudah

menguap. Garam amonium dapat dihilangkan secara kuantitatif dari campuran

kering dengan pemanasan (Vogel, 1990).

Ion amonium dalam suasana basa akan bereaksi dengan larutan nessler

membentuk senyawa kompleks yang berwarna kuning sampai coklat. Endapan

coklat atau pewarnaan coklat atau kuning dihasilkan sesuai dengan jumlah ion

amonium yang terdapat. Endapan tersebut adalah merkurium (II) amidoiodida

basa. Reaksinya adalah :

NH4+ + 2[HgI4] + 4OH- HgO.Hg(NH2)I + 7I- + 3H2O

Warna yang terbentuk diukur serapannya secara spektrofotometer pada

panjang gelombang 400 – 425 nm (Vogel, 1990).

2.7. Spektrofotometri UV_Vis

Spektrofotometri UV_Vis adalah suatu metode analisis instrumental

yang berdasarkan interaksi radiasi elektromagnetik dengan materi. Radiasi


24

elektromagnetik adalah sinar dengan panjang gelombang UV_Vis sedangkan

materinya adalah molekul atau senyawa kimia. Bila radiasi pada daerah

panjang gelombang UV_Vis melewati suatu molekul dengan energi yang

cukup, maka energi tersebut akan diserap dan di dalam molekul terjadi transisi

elektromagnetik sehingga molekul akan tereksitasi (Sastrohamidjojo, 2001).

1. Aspek analisis kuantitatif

Suatu senyawa kompleks bila dilewati sinar dengan panjang

gelombang tertentu akan tampak berwarna, hal ini terjadi karena sebagian

sinar diserap dan sebagian lagi diteruskan. Warna yang tampak dapat

terjadi karena sebagian energi digunakan untuk mentransmisikan elektron

dari suatu orbital ke orbital yang lain yang energinya lebih tinggi,

sehingga muncul warna spesifik. Semua molekul dapat menyerap radiasi

dalam daerah UV-Vis karena mereka mengandung elektron, baik sekutu

maupun menyendiri, yang dapat dieksitasikan ke tingkat energi yang lebih

tinggi. Panjang gelombang dimana absorpsi terjadi, tergantung pada kuat

elektron itu terikat dalam molekul itu. Elektron dalam suatu ikatan

kovalen tunggal akan terikat dengan kuat, dan diperlukan radiasi berenergi

tinggi atau panjang gelombang pendek, untuk eksitasinya. Jika suatu

molekul mengandung sebuah elektron seperti klor yang mempunyai

pasangan elektron menyendiri, sebuah elektron tak terikat kuat (non

bonding) dapat dieksitasikan ke tingkat energi yang lebih tinggi. Karena

elektron non bonding tak terikat kuat seperti elektron bonding sigma,

maka absorpsinya terjadi pada panjang gelombang yang lebih panjang

(Tarigan, 1986).
25

Spektra serapan dapat diperoleh dengan menggunakan sampel

dalam berbagai bentuk, antara lain : gas, lapisan tipis cairan, larutan dalam

berbagai pelarut, dan bahkan zat padat. Kebanyakan kerja analisis dalam

bentuk larutan, dan dalam hal ini tingkat absorpsi berbanding lurus dengan

konsentrasi, jarak yang diarungi radiasi melewati larutan dan tebal larutan.

Pernyataan ini dinyatakan dalam hukum Beer, yaitu :

A=a.b.c

Jika konsentrasi c dinyatakan dalam mol/liter (molar) dan tebal


larutan dalam cm, maka absorbansinya disebut absorbtivitas molar (є),
sehingga :
A=є.b.c
Jika dihubungkan dengan hukum Bouger menjadi :
⎡I ⎤
Log ⎢ 0 ⎥ = ε .b.c
⎣ It ⎦
(Robert dkk, 2000)
2. Instrumentasi

Instrumentasi yang digunakan untuk mempelajari absorbansi

maupun emisi radiasi elektromagnetik sebagai fungsi panjang gelombang

disebut spektrofotometer. Diagram blok spektrofotometri UV_Vis dapat

dilihat pada Gambar 6.

Sumber monokromator Wadah


sinar sampel

rekorder amplifier detektor

Gambar 6. Diagram Blok Spektrofotometri UV_Vis


26

Instrumentasi spektrofotometri UV_Vis terdiri atas :

a. Sumber Sinar

Sumber sinar digunakan untuk keperluan mendapatkan berkas sinar

dengan panjang gelombang tertentu. Biasanya yang digunakan yaitu

lampu hidrogen atau deuterium pada panjang gelombang ultraviolet dan

lampu wolfram pada spektrum gelombang gelombang visibel.

b. Monokromator

Alat ini untuk menghasilkan berkas radiasi dengan satu panjang

gelombang, yaitu dengan membuat sinar polikromatis menjadi sinar

monokromatis. Monokromator terdiri dari serangkaian peralatan optik

antara lain lensa cermin prisma atau grating.

c. Wadah Sampel

Umumnya disebut kuvet, terbuat dari kuarsa. Cara penggunaannya yaitu

larutan tunggal dimasukan ke dalam kuvet.

d. Detektor

Fungsinya untuk mendeteksi sampel, dengan cara mengubah energi

sinar menjadi energi listrik. Untuk spektrofotometer detektor yang

digunakan adalah photo cell yang mampu mengubah sinyal analisik

radiasi elektromagnetik menjadi sinyal tegangan listrik. Energi listrik

yang dihasilkan digunakan untuk menggerakan jarum atau mengubah

angka digital.

e. Amplifier

Amplifier ini berfungsi untuk menguatkan sinyal yang dihasilkan oleh

detektor.
27

f. Rekorder

Sinyal dari detektor biasanya diperkuat, kemudian direkam sebagai

spektrum yang berbentuk puncak-puncak. Plot antara panjang

gelombang dan absorbansi akan menghasilkan spektrum

(Sastrohamidjojo, 2001).

2.8. Spektroskopi Infra Merah Atau Infra Red (IR)

Atom-atom dalam suatu molekul tidaklah diam, melainkan bervibrasi

atau bergetar. Hal ini disebabkan karena ikatan kimia yang menghubungkan

dua atom dapat dimisalkan sebagai dua bola yang dihubungkan oleh pegas

(Hendayana, 1994). Bila radiasi Infra Merah dilewatkan melalui suatu

cuplikan (dapat berupa padatan / cairan murninya), maka molekul-molekul

dapat menyerap energi radiasi, sehingga terjadi perubahan tingkat vibrasi,

yakni dari tingkat dasar atau ground state ke tingkat vibrasi tereksitasi atau

exited state (Khopkar, 1984).

Spektroskopi Infra Red (IR) merupakan teknik analisis kimia yang

metodenya berdasarkan pada penyerapan sinar infra merah oleh molekul

senyawa. Panjang gelombangm IR tergolong pendek, yakni 0,78 – 1000 μm,

sehingga tidak mampu mentransisikan elektron, melainkan hanya

menyebabkan molekul bergetar atau bervibrasi (Khopkar, 1984).

Spektrokopi IR digunakan untuk penentuan struktur, yakni informasi

penting tentang gugus fungsional suatu molekul. Penentuan struktur ini

dilakukan dengan melihat plot apektrum IR yang terdeteksi oleh alat

spektrofotometer IR. Spektrum ini menyatakan jumlah radiasi IR yang

diteruskan melalui cuplikan sebagai fungsi frekuensi atau bilangan


28

gelombang. Semakin rumit struktur suatu molekul, semakin banyak bentuk-

bentuk vibrasi yang meungkin terjadi. Akibatnya kita akan melihat banyak

pita-pita absorpsi yang diperoleh pada spektrum IR. Perlu diketahui bahwa

atom-atom dengan massa rendah cenderung lebih mudah bergerak dibanding

atom dengan massa atom lebih tinggi, contohnya adalah vibrasi yang

melibatkan atom hidrogen sangat berarti (Hendayana, 1994).

Dalam spektrofotometer, mula-mula sinar infra merah dilewatkan

melalui sampel dan larutan, kemudian dilewatkan pada monokromator untuk

menghilangkan sinar yang tidak diinginkan (stray radiation). Berkas sinar ini

kemudian didespersikan melalui prisma atau grating. Dengan melewatkannya

melalui slit, sinar tersebut dapat difokuskan pada detektor yang akan

mengubah berkas sinar menjadi sinyal listrik yang selanjutnya direkam oleh

rekorder (Tarigan, 1986)

Instrumentasi spektrofotometer infra merah antara lain :

1. Sumber radiasi

Sumber radiasi yang umum digunakan adalah Nerts atau lampu Glower,

yang terbuat dari oksida zirkonium dan itrium, berupa batang berongga

dengan diameter 2 mm dan panjang 30 mm. Batang ini dipanaskan sampai

suhu 1500 – 2000 oC dan akan memberikan radiasi di atas 7000 cm-1.

2. Monokromator

Monokromator yang digunakan dalam spektrofotometer IR terdiri dari

berbagai macam bahan, seperti prisma dan celah yang terbuat dari gelas,

lelehan silika, LiF, CaF2, BaF2, NaCl, AgCl, Kbr atau CsI. Prisma NaCl
29

digunakan untuk daerah radiasi 4000 – 600 cm-1. Dispersi paling tinggi

dihasilkan dari refleksi grating yang disubtitusikan dalam prisma.

3. Detektor

Detektor yang banyak digunakan adalah detektor termal, yaitu

termokopel. Bolometer memberikan sinyal listrik sebagai hasil perubahan

dalam tahanan konduktor metal dengan temperatur.

(Khopkar, 1984)

Pengerjaan sampel untuk spektrofotometer IR menggunakan window

material, berupa alkali halida seperti NaCl, KBr atau CsI. Sampel yang

dikerjakan dalam bentuk cair pada suhu kamar dan keadaan murni biasanya

menggunakan jarum suntik untuk meneteskan sampel (Khopkar, 1984). Salah

satu teknik pengerjaan sampel berupa padatan adalah dengan tektik KBr pelet.

Teknik KBr pelet yaitu, padatan sampel digerus dalam mortal kecil bersama

padatan dengan kristal KBr kering dalam jumlah sedikit sekali (0,5 – 2 mg

cuplikan + 100 mg KBr kering). Campuran tersebut kemudian dipress dengan

alat penekan hidrolitik hingga menjadi pelet yang transparan. KBr harus

kering dan akan lebih baik bila penumbukan dilakukan di bawah lampu IR

untuk mencegah terjadinya kondensasi uap dari atmosfer. Tablet cuplikan tipis

tersebut kemudian dinetralkan di tempat sel spektrofotometer IR dengan

lubang mengarah ke dalam radiasi (Sastrohamidjojo, 2001). Spektrofotometer

IR digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui karakteristik padatan

yang dihasilkan, seperti struktur ikatan dan gugus fungsi yang dikandungnya.

Analisis identifikasi gugus fungsi dilakukan dengan

mengidentifikasi karakteristik spektrum ikatan tertentu, mialnya spektrum IR


30

ikatan C=O terletak pada 1700 cm-1, bentuknya runcing (tajam) ata7u

dikatakan spektrum kuat. Spektrum vibrasi –OH terletak sekitar 3500 cm-1,

pada umumnya berikatan hidrogen sehingga melebar. Spektrumnya tidak

tajam. Bila ada ikatan C=O dan gugus –OH maka dimungkinkan senyawa

adalah asam.

2.9. Metode Difraksi Sinar- X (X-Ray Difraction)

Difraksi sinar–X merupakan suatu metode analisis yang didasarkan

pada interaksi antara materi dengan radiasi elektromagnetik sinar-X

(mempunyai λ sebesar 0,5 – 2,5 Ao dan energi + 107 eV) yaitu pengukuran

radiasi sinar-X yang terdifraksi oleh bidang kristal. Penghamburan sinar-X

oleh unti-unit padatan kristalin, akan menghasilkan pola difraksi yang

digunakan untuk menentukan susunan partikel pada kisi padatan.

Spektrum sinar-X terdiri dari spektrum yang kontinyu dan diskrit.

Spektrum kontinyu atau spektrum putih dihasilkan oleh potensial yang lebih

rendah dari 20 kV. Proses terjadinya adalah berkas elektron dengan energi

yang kurang tinggi tidak dapat menembus awan elektron dalam atom target,

tetapi akan terserap oleh awan tersebut dan diubah menjadi awan panas.

Spektrum diskrit atau karakteristik atau khas dihasilkan oleh potensial lebih

tinggi dari 20 kV.

Radiasi sinar-X merupakan radiasi polikromatis, untuk mendapatkan

radiasi yang monokromatis digunakan filter. Syarat logam filter : λ Kα-T <λ K-F

< λKβ-T, dapat menyerap radiasi α dan β serta mempunyai nomor atom < 1

satuan dari nomor atom target. Contoh-contoh logam target dengan filter yang

sesuai adalah tercantum pada Tabel 2.


31

Tabel 2. Contoh-contoh Logam Target dengan Filter yang Sesuai

Logam target Mo Cu Co Fe Cr

Logam filter Zr Ni Fe Mn V

Pada tahu 1913, tak lama setelah sinar-X ditemukan oleh Willhem

Rotgen, Max Van Loe berpendapat bahwa jika sinar-X dengan λ yang jarak =

jarak antara bidang kristal (d) maka akan didifraksi oleh bidang kristal

tersebut. Pendekatan paling awal pada analisis pola difraksi yang dihasilkan

oleh kristal, dengan menganggap bidang kisi sebagai cermin dan kristal

sebagai tumpukan bidang kisi pemantul dengan pemisahan d (Gambar 7).

Sesuai dengan Hukum Bragg : jika dua berkas sinar-X yang pararel mengenai

bidang-bidang kisi kristal yang sama dengan jarak antar bidang (d), maka

perbedaan jarak yang ditempuh kedua kedua sinar tersebut berbanding

langsung dengan panjang gelombangnya.

Gambar 7. Difraksi Sinar X pada Kristal

AB + BC = n.λ

AB = BC = d sin θ

2 d sin θ = n.λ

2 d sin θ = .λ
32

Pola XRD memberikan data berupa jarak interplanar (d spacing),

Sudut difraksi (2θ), intensitas relatif (I/Io), indeks miller (dhkl), lebar puncak,

parameter unit sel (a, b, c, α, β dan γ). Analisa kualitatif maupun kuantitatif

data tersebut memeberikan informasi tentang kemurnian mineral, identifikasi

jenis mineral dengan membandingkan data d yang diperoleh dengan data d

dari Joint Comitted of Powder Diffaction Standart ( JCPDS) dan diperjelas

dengan XRD Simulated Pattern, derajat kristallinitas dengan menghitung luas

puncak pada daerah yang memberikan intensitas tinggi dan memungkinkan

untuk menentukan sistem kristal dan spesi oksida dari logam katalis. Ukuran

partikel logam pada katalis berpengemban dapat dianalisa dengan Persamaan

Scherrer.


t=
B cosΘΒ
t merupakan ukuran partikel (Å), λ merupakan panjang gelombang

yang digunakan dalam analisis (Å), k merupakan konstanta kekasaran

permukaan sampel (0,92), B merupakan lebar puncak terkoreksi (radian), dan

θB merupakan sudut Bragg (0 θ).

2.10. Scanning Electron Maicroscope (SEM)

Mikroskop pemindai elektron atau SEM adalah sebuah mikroskop

yang mampu melakukan pembesaran objek sampai 2 juta kali, yang

menggunakan elektro statik dan elektro magnetik untuk mengontrol

pencahayaan dan tampilan gambar serta memiliki kemampuan pembesaran

objek serta resolusi yang jauh lebih bagus daripada mikroskop cahaya.
33

Mikroskop elektron ini menggunakan jauh lebih banyak energi dan radiasi

elektro magnetik yang lebih pendek dibandingkan mikroskop cahaya.

Prinsip dasar dari electron microscopy ini yaitu memfokuskan sinar

elektron (electron beam) di permukaan obyek dan mengambil gambarnya

dengan mendeteksi elektron yang muncul dari permukaan obyek

(Wikipediaindonesia, 2007). Penggunaan detektor X-ray memudahkan dalam

mengambil gambar dari electron yang tereksitasi yang ditampilkan dalam

layar. Prinsip dasar electron microscopy ditampilkan dalam gambar 8.

Gambar 8. Prinsip dasar electron microscopy( wilkipediaindonesia, 2007)

Prosedur kerja analisis SEM yaitu pertama-tama dilakukan suatu

upaya untuk menghilangkan penumpukan elektron (charging) di permukaan

obyek, dengan membuat suasana dalam ruang sampel tidak vakum tetapi diisi

dengan sedikit gas yang akan mengantarkan muatan positif ke permukaan

obyek, sehingga penumpukan elektron dapat dihindari. Pengkodisian

menimbulkan masalah karena kolom tempat elektron dipercepat dan ruang


34

filamen elektron yang dihasilkan memerlukan tingkat vakum yang tinggi.

Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan memisahkan sistem pompa

vakum ruang obyek dan ruang kolom serta filamen, dengan menggunakan

sistem pompa untuk masing-masing ruang. Di antaranya kemudian dipasang

satu atau lebih piringan logam platina yang biasa disebut (aperture) berlubang

dengan diameter antara 200 hingga 500 mikrometer yang digunakan hanya

untuk melewatkan elektron, sementara tingkat kevakuman yang berbeda dari

tiap ruangan tetap terjaga (wilkipediaindonesia, 2007)


35

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Populasi Dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan objek yang akan diteliti. Populasi dalam

penelitian ini adalah bentonit jenis Na-bentonit. Sampel adalah sebagian

populasi yang akan diteliti. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

Na-bentonit yang dibeli dari CV. Indrasari Semarang.

3.2. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel bebas, terikat dan terkendali.

a. Variabel terikat : jumlah urea yang teradsorpsi oleh Cu-bentonit

b. Variabel bebas : waktu kontak, konsentrasi urea, dan pH urea saat

diadsorpsi.

c. Variabel terkendali : massa bentonit, konsentrasi Cu2+, suhu kalsinasi, dan

pH Cu2+ yang digunakan untuk interkalasi

3.3. Alat dan Bahan

1. Alat-alat yang digunakan dalam kigiatan penelitian ini adalah sebagai

berikut :

* oven * Spectronik UV-Vis

* magnetic stirrer * Neraca analitik

* Shaking machine * Corong Gooch

* PH meter * Pompa vakum

* Alat-alat gelas * Tanur

35
36

* XRD Philips * Shimadzu FTIR-8400

* NOVA 1200e - Quantachrome instrument

* SEM

2. Bahan-bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah :

* Bentonit alam, diperoleh dari CV Indrasari Semarang

* CuCl2.2H2O pa diperoleh dari laboratorium Kimia Unnes

* Aquades diperoleh dari laboratorium Kimia Unnes

* Pupuk Urea Sriwijaya

* Reagen Nessler Balai Laboratorium Kesehatan Semarang.

* Amonium Klorida pa diperoleh dari laboratorium Kimia Unnes

* Larutan buffer Universal

* Larutan buffer asetat

* Gas N2 dari laboratorium Kimia Unnes

3.4. Prosedur Kerja

Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan, yakni preparasi material pori

bentonit, interkalasi bentonit dengan kation Cu2+, dan uji aktivitas Cu-

bentonit. Secara skematis rangkaian penelitian dapat diamati pada gambar 9,

10, 11, 12, dan 13.


37

200 gram Bentonit

Di ayak 100 mesh

100 g bentonit powder

1500 ml aquades dan


distirer 24 jam

Suspensi bentonit

disaring

Endapan bentonit

Di oven 110 oC
sampai kering

Bentonit kering

Digerus dan diayak


100 mesh

Bentonit powder

Gambar 9. Diagram Alir Preparasi Material Pori Bentonit


38

50 Bentonit Powder

500 ml CuCl 0,3 M dan Buffer


Asetat sampai pH < 3

Suspensi bentonit

di refluks 24 jam T=70 oC

Suspensi bentonit

dekantasi 24 jam, lalu disaring

Endapan bentonit Masih mengandung ion Cl-

AgNO3 1M

Pencucian Air cucian


Uji Cl-
dengan aquades

Endapan bebas Cl-

Pengeringan T=110 oC

Bentonit terinterkalasi

Dikalsinasi pada suhu 300 o C


selama 4 jam

Cu-BP

Gambar 10. Diagram Alir Interkalasi Bentonit dengan kation Cu2+


39

1 gr Cu - BP

10 gr urea / 100 ml air

Suspensi cu-BP-urea

Diaduk dengan waktu kontak divariasi


1, 2, 3, 4, 5 jam

Suspensi cu-BP-urea

disaring

filtrat

+ Lar. Nessler

Komplek ammonium-nessler
(kuning)

Diukur absorbansinya dengan


spektronik UV_Vis

Data konsentrasi
Urea sisa

Gambar 11. Diagram Alir Uji Aktivitas Cu-BP, Adsorpsi Urea pada Cu-BP
dengan Variasi Waktu Kontak
40

1 gr Cu - BP

10 gr urea / 100 ml air

Suspensi cu-BP-urea

Ditambah buffer dengan variasi pH


2, 5, 7, 9, dan 12

Suspensi cu-BP-urea

Diaduk dengan waktu kontak optimum

Suspensi cu-BP-urea

disaring

filtrat

+ Lar. Nessler

Komplek ammonium-nessler
(kuning)

Diukur absorbansinya dengan


spektronik UV_Vis

Data konsentrasi
Urea sisa

Gambar 12. Diagram Alir Uji Aktivitas Cu-BP, Adsorpsi Urea pada Cu-BP
dengan Variasi pH
41

1 gr Cu - BP

Ditambah urea dengan variasi


1, 2, 3, 4, dan 5 ( gr/100 mL)

Suspensi cu-BP-urea

Ditambah buffer dengan pH


optimum

Suspensi cu-BP-urea

Diaduk dengan waktu kontak optimum

Suspensi cu-BP-urea

disaring

filtrat

+ Lar. Nessler

Komplek ammonium-nessler
(kuning)

Diukur absorbansinya dengan


spektronik UV_Vis

Data konsentrasi
Urea sisa

Gambar 13. Diagram Alir Uji Aktivitas Cu-BP, Adsorpsi Urea pada Cu-BP

dengan Variasi Konsentrasi Urea.


42

Secara terperinci, tahapan penelitian ini dijelaskan sebagai berikut :

1. Preparasi Material Pori Bentonit.

Bentonit alami yang digunakan sebagai material dasar berbentuk powder

(100 mesh). Jenis bentonit ini di cuci dengan aquades dengan

perbandingan (1 : 15), kemudian di aduk selama 24 jam pada suhu kamar.

Endapan disaring dan dikeringkan pada suhu 110 oC. Pengeringan pada

suhu tersebut bertujuan untuk menurunkan kadar air dan material organik.

Bentonit kemudian digerus dan diayak 100 mesh.

2. Interkalasi Bentonit dengan Kation Cu2+

50 gram bentonit 100 mesh didespersikan ke dalam larutan CuCl2.2H2O

konsentrasi 0,3 M dengan perbandingan 1 : 10. Campuran ini kemudian

direfluks pada suhu 70oC selama 24 jam. Temperatur dijaga konstan

dengan tujuan untuk memudahkan pertukaran kation (Akhadi, 2000). Hasil

refluk larutan didekantasi selama 24 jam. Pencucian terhadap endapan

bentonit dilakukan dengan air bebas ion untuk menghilangkan ion Cl-.

Hasil pilarisasi kemudian dikeringkan pada suhu 110oC, kemudian digerus

dan diayak 100 mesh. Sampel dikalsinasi pada suhu 300oC selama 4 jam

dan dialiri udara Nitrogen.

3. Karakteristik Bentonit

a. Analisis Morfologi Foto SEM

Karakterisasi dengan menggunakan mikroskop pemindai elektron

atau scanning electron microscope (SEM) dilakukan untuk mngetahui

bentuk morfologi dari bentonit hasl modifikasi. Langkha karakterisasi ini

yaitu dengan mengambil foto SEM dari bentonit sebelum dan sesudah
43

modifikasi. Hasilnya dibandingkan dan dianalisis morfologi dan

perubahan- perubahan yang terjadi. Analsis SEM ini dilakukan di

departemen kimia Institut Teknologi Bandung.

b. Analisis Pola Difraksi dengan Sinar X (XRD Powder)

X-Ray Diffraction (Difraksi sinar X). langkah karakterisasi ini

dilakukan untuk menganalisis kandungan material dasar dalam bentonit

sebelum atau sesudah dipilarisasi dengan menggunakan X-Ray Diffraction

(XRD) Phillips. Selain itu XRD dapat digunakan untuk mengetahui pola

diffraksi basal spacing setelah dimodifikasi.

c. Analisis Gugus Fungsi Menggunakan FTIR

Fourier Transform Infra Red (FTIR). Pada langkah ini digunakan

Shimadzu FTIR-8400 untuk mengetahui junis gugus fungsi yang terdapat

pada bentonit terutama untuk mengamati perubahan pola gugus Si-O dan

Al-OH pada bentonit alami dan bentonit termodifikasi.

4. Adsorpsi Urea Pada Material Cu-Bentonit

a. Variasi Waktu Kontak

Cu-BP dimasukan ke dalam erlemenyer yang berisi larutan urea,

10 gram urea dalam 100 ml air. Campuran ditempatkan pada shaking

machine dan dilakukan variasi waktu kontak (1, 2, 3, 4, 5 jam). Filtrat

dipisahkan dengan cara sentrifuge. Masing-masing filtrat di analisis kadar

residu urea dengan metode nessler

b. Variasi pH

Cu-BP dimasukan ke dalam erlemenyer yang berisi larutan urea

dengan perbandingan 10 g/100 mL.pH larutan urea divariasi (2, 5, 7,9,12)


44

dan dijaga konstan dengan larutan buffer. Campuran ditempatkan pada

shaking machine dengan waktu kontak hasil optimasi. Filtrat dipisahkan

dengan cara sentrifuge. Masing-masing filtrat di analisis kadar residu urea

dengan metode nessler.

c. Variasi Konsentrasi Urea

Dari hasil optimasi waktu kontak dan pH, langkah selanjutnya

adalah mencampurkan Cu-BP dengan larutan urea pada pH optimum dan

dilakukan variasi konsentrasi (1, 3, 5, 7 dan 9 g/100mL). Campuran

ditempatkan pada shaking machine dengan waktu kontak optimum.

Masing-masing filtrat di analsis kadar residu urea dengan metode nessler.

5. Metode Analisis Data

a. Analisis Kualitatif dari Spektra Sinar-X, Spektrofotometri IR dan SEM.

Alat X-Ray Diffraction Phillips yang terdapat di UGM Yogyakarta

digunakan untuk menganalisis bentuk kristal bentonit sebelum dan

sesudah modifikasi. Spektra yang dihasilkan dari diffraksi sinar-X

dicocokkan dengan data 20 atau harga d JCPDS (Joint Commitee on

Powder Defrraction Standar), kemudian dianalisis untuk mengetahui

komponen yang terdapat dalam bentonit.

Sedangkan spektra yang dihasilkan dari spektrofotometri IR

dianalisis untuk mengetahui ikatan yang terjadi dan gugus fungsi yang

terdapat dalam bentonit, yakni dengan membandingkan spektra sebelum

dan sesudah pilarisasi.

Analisis Morfologi permukaaan dilakukan dengan mengambil

gambar dengan foto SEM. Foto ini dapat melihat morfologi permukaan
45

bentonit alam dengan bentonit modifikasi (Cu-BP) serta bentonit yang

sudah dikontakkan dengan urea (Cu-Urea), dengan perbesaran hingga

10000 kali. Hasil komparasi antara ketiga foto ini dapat menjelaskan

perubahan yang terjadi pada bentonit.

b. Analisis Adsorpsi Bentonit

Jumlah urea yang teradsorpsi oleh Cu-BP dilakukan dengan cara

menghitung kadar amonium dalam larutan pasca proses adsorpsi secara

spektrofotometri dengan metode nessler. Instrumen yang digunakan yaitu

spektronik UV_Vis. Penentuan ini dilakukan di balai kesehatan Jawa

Tengah. Banyaknya urea yang teradsorpsi diketahui dengan cara

mengurangkan konsentrasi urea mula-mula dengan konsentrasi urea sisa.

Cawal : konsentrasi urea mula-mula sebelum adsorpsi

Csisa : konsentrasi urea setelah adsorpsi, dihitung dengan

memplotingkan konsentrasi dengan absorbansi

Cserap : Urea awal - Urea sisa

Uadsorp : Jumlah urea teradsorpsi dalam material Cu-BP, dengan

VxC serap
rumus, U adsorp=
g adsorben
46

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Preparasi Material Cu-Bentonit

Modifikasi terhadap bentonit alam dilakukan dengan tujuan untuk

meningkatkan kinerja bentonit. Kinerja bentonit alam sebagai adsorben maupun

sebagai pengemban katalis masih kurang optimal, karena strukturnya yang masih

berlapis-lapis, mudah mengembang, dan masih mengandung pengotor baik

pengotor organik maupun pengotor anorganik.

Perlakuan awal yang dikerjakan terhadap sampel adalah pencucian

bentonit alam. Bentonit alam yang digunakan dalam penelitian ini dicuci dengan

akuades, dengan tujuan untuk menghilangkan pengotor-pengotor organik yang

ada pada bentonit terutama yang menempel pada bagian permukaan bentonit.

Dehidrasi dilakukan pada suhu 110oC sampai kering untuk mengurangi

kandungan air dan pengotor organik yang masih menutupi permukaan bentonit.

Preparasi Cu bentonit dilakukan dengan cara mendespersikan material

bentonit hasil pencucian ke dalam larutan CuCl2.2H2O 0,3 M dan direfluks pada

suhu 70oC selama 24 jam. pH bentonit setelah dikontakkan dengan larutan

CuCl2.2H2O adalah 3. Menurut Akhadi (2000) pertukaran kation akan berjalan

optimum jika dilakukan pada suhu + 70oC dan lama pengadukan selama 24 jam.

Dengan beberapa pertimbangan, salah satunya yaitu untuk memaksimalkan

pertukaran kationnya, refluks dilakukan dua tahap. Setelah didekantasi selama 24

jam, endapan dikeringkan dan dikalsinasi pada suhu 300oC, dengan tujuan untuk

46
47

menghilangkan molekul-molekul air dalam kerangka Aluminosilikat dan untuk

membentuk oksida CuO agar bentonit mempunyai struktur yang kokoh.

Menurut Heri dan Nino (2002), semakin kecil muatan dan ukuran ion

yang dapat dipertukarkan, maka pertukaran ion akan semakin mudah terjadi.

Kation Na+ yang terdapat dalam bentonit merupakan kation yang paling mudah

untuk dipertukarkan dengan kation lain (Akhadi, 2000), sehingga penurunan

konsentrasi kation Na dan kenaikan konsentrasi Cu2+ di dalam bentonit dapat

menjelaskan terjadinya pertukaran kation. Ilustrasi mekanisme reaksi pertukaran

yang melibatkan kation Cu2+ dapat dijelaskan sebagai berikut (Rusman dkk.,

2002) :

Montmorillonit-(Na+)2 + Cu2+ Monmorillonit-Cu2+ + 2Na+

Bentonit hasil interkalasi, yang selanjutnya disebut dengan Cu-BP

secara visual berwarna hijau kecoklatan, lain halnya dengan bentonit alam yang

berwarna abu-abu keputihan. Cu-BP yang berwarna hijau kecoklatan diperkirakan

telah terinterkalasi kation Cu2+ yang dalam bentuk kompleks CuCl2.Cu(OH)

dengan berwarna hijau (Vogel, 1990). Hasil interkalasi bentonit dapat dilihat pada

Gambar 14.
48

Gambar 14. Bentonit Alam (a), Cu-BP (b).

4.2 Karakterisasi Bentonit

Lempung Bentonit yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lempung

Bentonit yang diperoleh secara komersil dari CV. Indrasari Semarang. Bahan ini

memiliki komposisi kimia yang disajikan pada Tabel 7.

Tabel 3. Komposisi Kimia Bentonit Alam


Komponen Konsentrasi (%)
SiO2 51.50
Al2O3 18.13
Fe2O3 5.67
TiO2 0.56
MnO2 0.02
CaO 2.78
MgO 1.25
K2O 0.32
Na2O 3.74
LOI 16.00
Sumber : CV. Indrasari Semarang

Dari tabel di atas, oksida logam yang berpeluang untuk dapat ditukar

tempatnya oleh kation Na+ dan kation Cu2+ pada proses pertukaran kation yaitu :

Ti2+, Mn2+, Ca2+, Mg2+, K+, Na+, karena diikat relatif lemah dalam struktur
49

monmorillonit, sedangkan SiO2 dan Al2O3 tidak mudah untuk ditukar karena

merupakan penyusun rangka kristal monmorillonit.

4.1.1. Analisis Scanning Electron Microscope (SEM)

Bentonit merupakan senyawa amorf dan mempunyai struktur belapis,

hal ini seperti teramati pada Gambar 15 terlihat adanya lapisan-lapisan khas

lempung.

SEM Bentonit alam 2000 x SEM Bentonit alam 10000 x

Gambar 15. Foto SEM Bentonit Alami (Kurniawan, 2004)

Analisis permukaan dengan SEM memperlihatkan bahwa bentonit

alam mempunyai kenampakan yang berlapis-lapis serta amorf, namun masih

mempunyai pori. Interkalasi dimaksudkan untuk mengubah senyawa berlapis

menjadi material mikropori atau mesopori dengan tetap mempertahankan

struktur berlapisnya. Hasil dari proses interkalasi bentonit dengan kation Cu2+

ditampilkan pada Gambar 16.


50

SEM Cu-BP 10000 x

Gambar 16. Foto SEM Cu-BP

Gambar 16 memperlihatkan bahwa terjadi perubahan terhadap

material bentonit sesudah dilakukan proses interkalasi. Perubahan ini dapat

diamati secara jelas pada bagian permukaan bentonit. Tampak pada gambar

telah terbentuk struktur pori yang tersebar pada struktur berlapis dari bentonit,

walaupun ukuran pori yang terbentuk tidak sama (heterogen). Kristalinitas dari

Cu-Bp juga lebih baik daripada bentonit alamnya. Struktur berlapis dari

bentonit itu sendiri juga tampak dipertahankan, terlihat masih terdapat jarak

antara lapisan yang satu dengan yang lainnya. Alasan terbentuknya pori yang

heterogen disebabkan karena proses interkalasi dalam penelitian ini tidak

diawali dengan pembentukan Na-bentonit yang bertujuan untuk lebih

menghomogenkan kation di dalam bentonit. Tidak adanya surfaktan sebagai

senyawa template organik juga berpengaruh pada pembentukan pori.

Terbentuknya struktur berpori dalam material Cu-BP menjelaskan bahwa telah

terjadi interkalasi di dalam material bentonit.


51

Pori-pori yang terbentuk pada permukaan bentonit memungkinkan

material ini untuk melakukan kinerja adsorpsi yang lebih baik daripada bentonit

alamnya. Kandungan logam Cu pada material bentonit juga berpengaruh pada

sifat adsorbennya, hal ini berkaitan dengan afinitas elektronnya yang semakin

meningkat sehingga mempunyai daya adsorpsi yang lebih baik.

SEM Cu-urea 5000 x

Gambar 17. Foto SEM Cu-BP yang dikontakan dengan urea

Analisis Cu-BP setelah dikontakan dengan urea mengalami perubahan

pada pemukaannya. Analisis dengan SEM, Gambar 17 teramati adanya senyawa

lain yang menempel pada permukaan bentonit, senyawa yang diperkirakan

sebagai adsorbat dari pupuk urea sebagai benda bulat dan kasar, serta teramati

pula rongga-rongga pada material tersebut. Diperkirakan bahwa benda bulat

tersebut merupakan urea yang terserap pada permukaan bentonit, dengan sifat

adsorpsi fisisorpsi karena hanya terikat pada bagian permukaan saja.


52

4.1.2. Analisis Gugus Fungsi pada Bentonit dengan Spektra Infrared (IR)

Spektrokopi inframerah merupakan metode analisis yang sangat

mudah dan cepat untuk mengkaji perubahan struktur lempung terpilar atau

terinterkalasi di dalamnya. Spektra inframerah ini dapat mengetahui keberadaan

gugus-gugus fungsional utama di dalam struktur senyawa yang diidentifikasi.

Metode analisis spektrokopi inframerah sangat bermanfaat untuk melengkapi

data karakteristik difraksi sinar X. Identifikasi yang dihasilkan lebih bersifat

kualitatif yakni pengenalan keberadaan gugus-gugus fungsional yang ada. Pada

kasus identifikasi bentonit, tinjauan utama yaitu untuk melihat keberdaan gugus

hidroksi yang disebabkan molekul air yang terserap atom gugus O-H pada

permukaan lapisan oktahedral serta gugus Si-O-Si pada lapisan tetrahedral.

Beberapa senyawa memiliki karakteristik khusus pada daerah serapan

inframerah. Seperti halnya senyawa lain, bentonit memberikan serapan pada

daerah inframerah. Meskipun demikian, pita-pita serapan tersebut belum dapat

dispesifikkan untuk satu jenis mineral karena bentonit tersusun atas banyak

jenis atom dan banyak terjadi interaksi ikatan antaratom dalam mineral. Spektra

infra merah bentonit alam, Cu-BP, dan Cu-BP-Urea ditampilkan pada Gambar

18.
53

Gambar 18. Spektra FTIR bentonit alam (a), Cu-BP (c), dan Cu-BP-Urea (b)

Interprestasi spektum inframerah bentonit alam, Cu-BP, dan Cu-BP-

urea dapat dilihat pada Tabel 4.


54

Tabel 4. Interprestasi spektum inframerah bentonit alam, Cu-BP, dan Cu-BP-urea


Frekuensi daerah serapan (cm-1)
No Gugus Fungsional (tipe vibrasi)
Hasil Analsis Intreprestasi
1. 3425,3 (B-alam) 3500 – 3200 Vibrasi Ikatan –H (Sastrohamidjojo,
3409,9 (Cu-BP) 2001)
3463,9 (Cu-urea) 3650 – 3200 Gugus –OH (Sastrohamidjojo, 2001)
3500 – 3200 Vibrasi Rentang –OH Bebas
(Sastrohamidjojo, 2001)

3440,8 Vibrasi renggang –OH (Wijaya dkk.,


2002)
4000 - 3000 Getaran renggang dari air yang terserap
dan atau gugus OH oktahedral
(Wijaya.dkk, 2002
2. 3359,5 (Cu-urea) 3750 – 3000 Renggang N-H (Clifford J, 1982)

3. 1670,2 (Cu-urea) 1690 - 1640 Ikatan rangkap C-N (Clifford J, 1982)

4. 1627,8 (B-alam) 1637,5 Monmorillonit (Wijaya dkk., 2002)


1624,0 (Cu-BP)
1624,0 (Cu-urea)
5. 1041,5 (B-alam) 1039,6 Renggangan asimetris O-Si-O
1055 (Cu-BP) (Wijaya dkk., 2002)
1045,3 (Cu-urea) 1082 Vibrasi rentangan Si-O
(Sastrohamidjojo, 2001)
1135 – 1100 Vibrasi Si-O-Si (John.A.Dean, 1998)
1041,5 Vibrasi Si-O (Kurniawan, 2002)

6. 918,1 (Cu-alam) 916,1 Monmorillonit dan vibrsi tekuk O-Al-O


923,8 (Cu—BP) 915 (Aryanti dkk., 2002)
921,9 (Cu-urea) Monmorillonit (Kurniawan, 2002)

7. 794,6 (B-alam) 794,6 Karaktristik SiO2 (Kurniawan, 2002)


792,7 (Cu-BP)
790,8 (Cu-urea)
8. 516,9 (B-alam) 522,7 Vibrasi renggangan Mg-O (Wijaya dkk.,
516,9 (Cu-urea) 1992)
8. 470,6 (B-alam) 470,6 Vibrasi tekuk Si-O (Wijaya dkk., 2002)
474,5 (Cu-BP)
470,6 (Cu-urea)
9. 355,6 (B-alam) 300 - 500 Intensitas kuat dari unsur logam
366,4 (Cu-BP) (Sastrohamidjojo, 2001)
380,0 (Cu-BP)
414,7 (Cu-BP)
55

Spektra FTIR yang tercantum pada Gambar 18 memperlihatkan

puncak-puncak serapan gugus – gugus fungsional dari bentonit dan Cu-BP.

Berdasarkan spektra bentonit alam (a) di atas vibrasi Si-O pada lapisan

tetrahedral teramati pada bilangan gelombang 470,6 cm-1 dan 794,6 cm-1

yang dihasilkan dari vibrasi Si-O-Al , Si-O-Si, dan karakteristik SiO2. Puncak

serapan pada 1041,5 cm-1 yang melebar memberikan gambaran tentang vibrasi

tekuk ikatan O-Si-O dari lapisan silika. Pita pada bilangan gelombang

794,6 cm-1 merupakan karakteristik dari kuarsa (SiO2). Mineral yang

didominasi oleh montmorillonit puncak ini menunjukkan vibrasi dari tekuk

hidroksida logam seperti Mg2+ dan Fe3+ (Srasra et al., 1994), pada spektra

teramati pada bilangan gelombang 516,9 cm-1 sebagai vibrasi regangan Mg-O.

Vibrasi dari atom-atom khas monmorillonit muncul pada bilangan

gelombang 1627,8; dan 918,1 cm-1. Pita serapan yang melebar pada panjang

gelombang 3425,3 cm-1 merupakan uluran dari gugus OH yang terletak pada

lapisan oktahedral, yaitu gugus OH yang terikat pada Al (Kurniawan, 2002) dan

pada pita serapan 1627,8 cm-1 terdeteksi sebagai vibrasi tekuk dari air terhidrat.

Spektra inframerah Cu-BP (Gambar 18, c) menunjukan pita-pita

serapan pada bilangan gelombang 300 – 400; 474,5; 792,7; 923,8; 1055; 1624;

dan 3409,9 cm-1. Pita serapan 300 – 400 cm-1 dengan intensitas yang tajam

diidentifikasi sebagai serapan vibrasi suatu logam, dimungkinkan serapan ini

merupakan vibrasi dari Cu2+ yang terinterkalasi pada lapisan silika dari

bentonit. Vibrasi Si-O pada lapisan tetrahedral tidak begitu mengalami

perubahan pasca interkalasi bentonit, hal ini teramati pada bilangan gelombang
56

474,5 cm-1 dan 1055 cm-1. Vibrasi regangan Mg-O pada bentonit pasca

interkalasi tidak teramati, kemungkinan hal ini diakibatkan adanya pertukaran

kation dalam lapisan lempung yaitu antara Mg2+ dengan Cu2+. Pita serapan

kuarsa (SiO2) juga tidak mengalami perubahan yang signifikan pasca

modifikasi, vibrasi SiO2 teramati pada bilangan gelombang 792, 7 cm-1. Manea

dan Badulescu mengungkapkan bahwa dalam larutan dengan pH rendah

pertukaran ion pada lempung terutama lapisan oktahedral teramati sebagai pita

serapan dengan bilangan gelombang 610 dan 770 cm-1 (Kurniawan,2002).

Mineral khas dari bentonit yaitu mineral monmorillonit tetap

dipertahankan, hal ini teramati pada bilangan gelombang 1624 dan 923,8 cm-1.

Pergeseran dan pelebaran pada pita vibrasi OH dimana terjadi pelebaran yang

sangat besar teramati pada bilangan gelombang 3409,9 cm-1. Daerah antara

4000 – 3000 cm-1 merupakan getaran regang dari air yang terserap dan gugus

OH oktahedral (Wijaya dkk., 2002).

Peleberan pita ini disebabkan banyaknya molekul air yang

terkandung dalam kerangka silika–alumina dari bentonit, walaupun pada proses

preparasi telah dilakukan dehidrasi molekul air melalui pengeringan maupun

kalsinasi. Fenomena ini berkaitan dengan adanya kation Cu2+ yang terinterkalasi

di dalam bentonit.

Adanya logam Cu berada dalam bentuk kationnya, dapat diamati

pada pelebaran pita spektra yang teramati pada bilangan gelombang

3409,9 cm-1. Pelebaran spektra ini mengindikasikan bahwa molekul air yang

terserap dalam material bentonit disebabkan adanya kompleks antara Cu2+


57

dengan H2O. Ion Cu (II) termasuk sistem d9 yang dapat membentuk kompleks

dengan mengikat 4 ligan H2O membentuk geometri segiempat planar atau 6

H2O membentuk oktahedral dengan adanya distorsi. Dengan adanya fenomena

ini maka kandungan air di dalam material Cu-BP justru lebih banyak daripada

kandungan air dalam bentonit alam.

Adanya kation Cu2+ memungkinkan untuk pembentukan kompleks

dengan urea, sehingga adsorspsi urea yang terjadi di dalam material Cu-BP

tidak hanya dipengaruhi oleh ukuran pori, tetapi juga dipengaruhi oleh afinitas

elektron dan adanya atom pusat untuk pembentukan kompleks dengan urea.

Penjelasan mengenai adanya senyawa urea dalam material Cu-BP ditampilkan

pada Gambar 18 (b).

Gambar 18 (b) memperlihatkan pita serapan komposit Cu-BP-Urea.

Bilangan gelombang 3359,5 cm-1 merupakan vibrasi simetris NH2. Adanya

senyawa urea (CO(NH2)2) di dalam material Cu-BP juga dapat diamati pada

bilangan gelombang 1326,9 cm-1 yang merupakan vibrasi C-H amina, bilangan

gelombang 1670,2 merupakan vibrasi ikatan rangkap C N. Lapisan khas

monmorillonit dari Cu-BP-Urea tetap dipertahankan pada bilangan gelombang

1624 cm-1 dan 921, 9 cm-1.

Ada dua kemungkinan dengan adanya logam Cu dalam bentonit,

muatan permukaan bentonit menjadi cenderung negatif (yang kaya

oksigen/oksida), tapi ada juga bagian yang positif (yang kaya logam valensi

tinggi). Fenomena permukaan bentonit disajikan pada Gambar 19.


58

Tetrahedral site
---------- +++++++++

Oksida logam Exchangeable kation


multivalen

Oktahedral site

Gambar 19. Fenomena Permukaan bentonit

Sebaran muatan seperti di atas tidaklah homogen. Jadi urea bisa

berinteraksi dengan bentonit dengan memanfaatkan gugus karbonil dan gugus

aminanya. Seperti yang diketahui senyawa urea mempunyai dua gugus

fungsional, yaitu gugus karbonil dan gugus amina. Gugus karbonil cenderung

bersifat postif dan gugus amina bersifat relatif negatif. Strukur urea dapat

dilahat pada Gambar 20.

Ujung karbonil Î relative negatif

Ujung Amina Î relative positif

Gambar 20. Struktur Urea Dalam 3 Dimensi

Dari proses dekomposisi Urea:

CO(NH2)2 + 2H2O Æ CO32- + 2NH4+

Spesi CO32- merupakan spesi yang akan berinteraksi dengan site

positif pada bentonit, sedangkan gugus NH4+ merupakan spesi yang akan
59

berinteraksi dengan site negatif pada bentonit. Kondisi seperti ini yang

menyebabkan bentonit digunakan sebagai adsorben senyawa organik maupun

anorganik yang bersifat anionik dan kationik.

4.1.3. Analisis X-Ray Diffraction (XRD)

Secara umum mineral lempung menunjukan refleksi d(001) (basal

spacing) pada kisaran sudut 2 teta antara 2o sampai 10o. Mineral lempung

diidentifikasi oleh refleksi bidang (001). Intensitas tertinggi dari mineral

lempung diperoleh dari bidang tersebut. Difraktogram dari bentonit alam

ditampilkan pada Gambar 21. Meskipun bentonit dikelompokkan pada mineral

amorf, tetapi mineral dasarnya berbentuk kristalin. Analisis kualitatif terhadap

bentonit alam menunjukan bahwa bentonit alam tersusun atas mineral

monmorillonit, kristobalit, α-Quarsa, SiO2, dan CaCO3. Tentu saja komposisi

masing-masing mineral berbeda-beda karena proses pembentukannya di alam

dan distribusi mineral sangat heterogen.


60

Gambar 21. Difraktogram Bentonit Alam (a), dan Cu-BP (b)

Difraktogram bentonit alam yang ditunjukan pada gambar 21 (a) dan

dicocokan dengan JCPDS menunjukan hasil dengan beberapa kategori yaitu

mineral penyusun utama monmorillonit yang ditunjukan oleh harga 2θ=5,733o

(d=15,40242 Ao), 2θ=18,3033o (d=4,84319 Ao), 2θ=44,93o (d=2,01586 Ao), dan

2θ=62,165o (d=1,49204 Ao). Puncak tajam pada 2θ=25,9o (d=3,43279 Ao),

2θ=28,36o (d=3,14448 Ao), 2θ=55,47o (d=1,65520 Ao), 2θ=57,33o (d=1,60584

Ao), 2θ=64,71o (d=1,43937 Ao), dan 2θ=65,42o (d=1,42546 Ao) merupakan

karakteristik dari mineral kristobalit. Sementara untuk puncak tajam 2θ=40,46o

(d=2,27766 Ao) merupakan karakteristik puncak dari mineral α-Quarsa,

2θ=28,98o (d=3,07860 Ao) menunjukan adanya SiO2, serta 2θ=35,855o (d=

d=2,50249 Ao) menunjukan adanya SiO2 dan CaCO3. Dari data difraktogram
61

tersebut dapat disimpulkan bahwa lempung yang digunakan adalah lempung

monmorillonit.

Perlakuan modifikasi terhadap suatu mineral monmorillonit akan

membawa perubahan dan pergerseran bidang refleksi bidang d(001).

Difraktogram dari bentonit termodifiksi (Cu-BP) ditampilkan pada Gambar 21

(b). Modifikasi terhadap bentonit alam ini juga tetap dapat mempertahankan

struktur kompenen mineral utamanya yaitu mineral monmorillonit yang

teridentifikasi pada harga 2θ=18,04o (d=4,91328 Ao), 2θ=25,98o

(d=3,42689 Ao), 2θ=44,78o (d=2,02227 Ao), dan 2θ=62,025o (d=1,49507 Ao).

Karakteritik dari kristobalit dapat dilihat pada 2θ=21,8066o (d=4,07239 Ao),

2θ=32,49o (d=2,75358 Ao), 2θ=55,24o (d=1,66154 Ao), 2θ=56,64o

(d=1,62375 Ao), dan 2θ=65,35o (d=1,42682 Ao). Puncak tajam pada 2θ=29,55o

(d=3,0205 Ao), 2θ=35,755o (d=2,50926 Ao), dan 2θ=38,36o (d=2,34464 Ao)

merupakan puncak karateristik untuk mineral α-Quarsa. Sementara

karaketeristik untuk Cu ditunjukan pada 2θ=16,3525o (d=5,41631 Ao),

2θ=44,78o (d=2,02227), 2θ=48,13o (d=1,88904 Ao), 2θ=50,18o (d=1,81657 Ao),

2θ=57,375o (d=1,60468 Ao), dan 2θ=76,13o (d=1,24936 Ao).

Berdasarkan difraktogram bentonit alam dan bentonit modifikasi

(Cu-BP) di atas dapat diamati bahwa telah terjadi penurunan basal spacing dari

bentonit alamnya, hal ini ditunjukan dari pergeseran bidang refleksi d(001) dari

15,40242 Ao (2θ=5,733o) menjadi 10,11510 Ao (2θ=8.735o). Pada proses

interkalasi seharusnya akan terjadi peningkatan basal spacing yang diakibatkan

adanya interkalan (spesi logam) yang mampu menyokong tiap lapisan (layer)
62

pada struktur bentonit. Kejanggalan ini diakibatkan oleh adanya molekul-

molekul air yang mengisi jarak antar lapis dari struktur Cu-BP , sehingga akan

mempengaruhi pengukuran bidang refleksi d(001). Asumsi lain dari penurunan

basal spacing ini yaitu bahwa proses interkalasi tidak sepenuhnya membuat

interkalat dalam bentuk oksidanya, sehingga struktur mineral yang diinterkalasi

akan runtuh pasca pemanasan (kalsinasi). Hal ini juga mengindikasikan sel

mengkerut karena terjadi pemutusan ikatan Al-O-Al (1,69 Ao) dan digantikan

oleh Si-O-Si (1,61 Ao) (Hamdan, 1992). Konsenkuensi di atas adalah penurunan

intensitas puncak (I) dan munculnya intensitas gabungan dari puncak-puncak

yang kurang tinggi sehingga terjadi pelebaran puncak/broadening (Jozefaciuk,

2002).

4.2. Penentuan Kondisi Adsorpsi

Untuk mengetahui kondisi optimum adsorpsi dilakukan pengukuran beberapa

parameter dengan absorbansi sampel sebagai variabel terikat dari semua tahap

percobaan. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah waktu pengadukan, derajat

keasaman (pH), dan konsentrasi pupuk urea.

4.2.1. Optimasi Waktu Pengadukan

Proses adsorpsi urea oleh bentonit modifikasi (Cu-BP) dipengaruhi

oleh waktu reaksi, semakin lama waktu reaksi jumlah urea yang diadsorpsi atau

yang terikat akan semakin banyak dan proses adsorpsi semakin efektif, hingga

mencapai keadaan setimbang. Hasil penelitian tentang optimasi waktu reaksi

(waktu kontak) urea terhadap Cu-BP disajikan dalam Gambar 22.


63

Optimasi Waktu Kontak


3.5

Urea terikat (g/g Cu-BP)


3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
0 1 2 3 4 5 6
Waktu Kontak (jam)

Gambar 22. Grafik Optimasi Waktu Kontak (Data Dari Lampiran 9)

Kondisi awal adsorpsi urea oleh adsorben Cu-BP yaitu pada pH 6,

jumlah adsorben bentonit 1 gram, dan konsentrasi urea 10 gram/100 mL.

Gambar 22 menunjukan bahwa waktu pengadukan (waktu kontak) optimum

adsorpsi urea oleh Cu-BP dicapai pada waktu 4 jam yaitu sebesar 2,86

gram/gram Cu-BP. Waktu kontak 1 jam, urea yang teradsorpsi oleh adsorben

Cu-BP yaitu sebesar 1,54 gram/gram Cu-BP. Jumlah urea yang teradsorpsi terus

meningkat hingga mencapai optimum pada waktu 4 jam.

Jumlah urea yang teradsorpsi oleh Cu-BP menurun pada waktu

kontak 5 jam, yaitu sebesar 2,64 gram/gram Cu-BP, hal ini menunjukan telah

tercapainya kesetimbangan adsorpsi. Penurunan jumlah urea yang teradsorpsi

ini diasumsikan terjadi akibat adanya interaksi adsorben dengan adsorbat yang

kelewat jenuh, dimana spesies adsorbat yang teradsorpsi oleh adsorben Cu-BP

terlalu lama (melebihi waktu kontak optimum). Asumsi lain menyebutkan


64

bahwa proses pengadukan juga akan mengakibatkan terjadinya tumbukan antara

partikel adsorbat dengan partikel adsorben secara tepat dan kontinyu, sehingga

ada kemungkinan adsorbat akan dilepaskan kembali oleh adsorben (Oscik,

1992).

4.2.2. Penentuan pH Optimum

Salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya adsorspi urea pada

adsorben Cu-BP adalah derajat keasaman (pH). Untuk mengetahui besarnya pH

optimum pada adsorspi urea perlu dilakukan dengan memvariasikan pH pada

waktu kontak dan konsentrasi tertentu. Hasil pengukuran untuk mengetahui pH

optimum pada adsorpsi urea oleh Cu-BP dapat dilihat pada Gambar 23.

Optimsi pH Adsorpsi

3.5

3
Urea terikat (g/g Cu-BP)

2.5

1.5

0.5

0
0 2 4 6 8 10 12 14
pH

Gambar 23. Optimasi pH Adsorpsi (Data Dari Lampiran 11)

Gambar 23 menunjukan bahwa pH optimum untuk adsorpsi urea

oleh Cu-BP terjadi pada pH 6, yaitu sebesar 2,86 gram/gram Cu-BP. Yong-Guo
65

Zhou,dkk (2002) menunjukan bahwa pH optimum adsorspi urea oleh logam Cu

yang diembankan pada chitosan terjadi pada pH 6. Kondisi yang terlalu asam

(pH 2) dan terlalu basa (pH 12) tidak dapat memberikan hasil yang baik dalam

proses adsorpsi urea oleh Cu-BP. Kondisi yang terlalu basa akan menyebabkan

urea terhidrolisis secara cepat menjadi ammonium dan akhirnya menguap

menjadi amoniak, sehingga kadar urea yang ada dalam larutan menjadi sangat

kecil. Kondisi yang terlalu asam menyababkan permukaan bentonit kelebihan

proton yang akan mengganngu proses adsorpsi pupuk urea. Kondisi asam (pH

2) memberikan adsorpsi urea sebesar 1, 36 gram/gram Cu-BP dan kondisi basa

(pH 12) hanya memberikan adsorpsi urea sebesar 1,22 gram/gram Cu-BP.

4.2.3. Penentuan Konsentrasi Urea Optimum

Hasil penelitian tentang pengaruh derajat keasaman (pH) terhadap

adsorpsi urea oleh adsorben Cu-BP disajikan dalam Gambar 24.

Optimasi Konsentrasi

3.5
Urea terikat (g/g Cu-BP)

3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
0 2 4 6 8 10 12
Konsentrasi awal (g/100 mL)

Gambar 24. Optimasi Konsentrasi Urea (Data Dari Lampiran 13)


66

Gambar 24 menunjukan bahwa dengan meningkatnya konsentrasi

awal urea, kemampuan adsorpsi Cu-BP akan semakin meningkat hingga sampai

pada konsentrasi tertentu. Berdasarkan Gambar 25, bahwa konsentrasi optimum

adsorpsi urea oleh Cu-BP terjadi pada konsentrasi awal urea 10 gram/100 mL

yaitu sebesar 2,86 gram/gram Cu-BP.

Pada proses adsorpsi terdapat permukaan penyerap yang berupa

adsorben. Adsorben ini terdapat permukaan sisi aktif yang proporsional dengan

permukaan dengan luas permukaan penyerap (adsorben). Dengan adanya sisi

aktif yang proporsional dengan permukaan adsorben ini, jika konsentrasi urea

meningkat tetapi luas permukaan adsorben tetap, maka secara linear daya

adsorpsi akan semakin meningkat hingga pada konsentrasi tertentu. Konsentrasi

yang terlalu berlebih pada proses adsorpsi juga akan menimbulkan kompetisi

antar molekulnya untuk masuk ke dalam pori atau untuk berikatan dengan sisi

aktifnya. Kompetisi ini akan mengakibatkan sintering pada pori-pori adsorben,

sehingga akan menurunkan daya adsorpsinya.

4.3. Efektivitas Cu-BP Sebagai Binding Agent Pupuk Urea

Efektivitas Cu-BP sebagai binding agent pupuk urea dilihat dari

hasil analisis urea yang teradsorpsi oleh Cu-Bp dan urea yang teradsorpsi oleh

bentonit alam pada kondisi optimum. Hasil analisis efektivitas Cu-BP sebagai

binding agent pupuk urea dapat dilihat dalam Gambar 25.


67

Efektivitas Cu-BP Sebagai Binding Agent Pupuk Urea

3
Urea Terikat (g/g Cu-BP) 2.5

1.5

0.5

0
0 1 2 3 4 5 6
Konsentrasi Urea (g/100 mL)
Cu-BP B-Alam

Gambar 25. Perbandingan Daya Adsorpsi Cu-Bp dengan Bentonit Alam

Hasil pengukuran adsorpsi urea seperti yang ditunjukkan dalam

Gambar 25, memperlihatkan bahwa Cu-BP mempunyai daya adsrorpsi urea

yang lebih besar daripada bentonit alam. Efektivitas Cu-BP sebagai binding

agent pupuk urea terlihat pada kondisi pH 6, konsentrasi urea 4 g/100 mL, dan

waktu kontak 4 jam dapat mengadsorpsi pupuk urea sebesar 2,42 g/g Cu-BP,

sedangkan Bentonit alam pada kondisi yang sama yaitu pada pH 6, konsentrasi

urea 4 g/100 mL, dan waktu pengadukan 4 jam hanya mampu mengadsorpsi

pupuk urea sebesar 0,7 g/g bentonit alam.

Perbedaan daya adsorpsi ini disebabkan adanya modifikasi bentonit

alam melalui proses interkalasi dengan kation Cu2+. Dengan proses interkalasi

akan memberikan struktur pori serta kristalinitas yang lebih baik dari bentonit

alamnya. Kemampuan mengadsorpsi pupuk urea dipengaruhi oleh


68

kekristalinitas dan struktur pori dari betonit (Cu-BP). Interkalasi bentonit

dengan kation Cu2+ juga meningkatkan afinitas dari permukaan bentonit.

Meningkatkannya afinitas elektron ini memberikan kemudahan dalam

mengadsorpsi pupuk urea. Berbeda dengan bentonit alam, yang struktur

morfologinya masih berlapis-lapis menyebabkan proses adsorpsi tidak

maksimal. Banyaknya impuritis seperti mineral organik maupun mineral

anorganik mengakibatkan proses adsorpsi juga tidak optimal, oleh karena itu

daya adsorpsi dari betonit modifikasi (Cu-BP) lebih baik dari bentonit alam.
69

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Simpulan dalam penelitian ini, yaitu :


2+
1. Modifkasi bentonit dengan kation Cu memberikan hasil yang baik pada

proses interkalasi bentonit, hal ini dapat dilihat dari afinitas elektronnya,

morfologinya, kristalinitasnya, dan analisis gugus fungsinya. Karakteristik

bentonit hasil interkalasi mempunyai tingkat kristalinitas yang lebih baik

dibandingkan dengan bentonit alam jika dilihat dari difraktogramnya.

Mineral khas dari bentonit yaitu mineral monmorillonit tetap

dipertahankan pasca modifikasi namun memberikan pelebaran puncak

–OH yang diakibatkan adanya ion Cu2+ yang berikatan dengan molekul

air. Pori bentonit hasil modifikasi (Cu-BP) juga semakin baik jika dilihat

dengan foto SEM.

2. Proses adsorpsi urea oleh Cu-BP dipengaruhi oleh waktu kontak, pH, dan

konsentrasi awal urea. Semakin lama waktu pengadukan , semakin banyak

jumlah urea yang teradsorpsi oleh Cu-BP, dan mencapai keadaan optimum

pada waktu pengadukan selama 4 jam. Jumlah urea yang teradsorpsi oleh

Cu-BP semakin meningkat seiring bertambahnya satuan pH, dan mencapai

keadaan optimum pada pH 6 satuan. Jumlah urea yang teradsorpsi oleh

Cu-BP meningkat seiring meningkatkan konsentrasi awal urea yang

dikontakkan, adsorpsi urea oleh Cu-BP mencapai optimum pada

konsentrasi awal urea 10 g/100 mL.

69
70

3. Cu-BP mempunyai efektivitas adsorpsi urea yang lebih baik daripada

bentonit alamnya. Adsorpsi urea oleh Cu-BP terjadi pada pH 6,

konsentrasi urea awal 4 gram/100 mL, dan selama 4 jam dengan daya

adsorpsi sebesar 2,42 gram/gram Cu-BP, sedangkan pada kondisi yang

sama bentonit alam hanya mempunyai daya adsorpsi sebesar

0,7 gram/gram bentonit alam.

5.2. Saran

Saran yang dapat direkomendasikan dalam penelitian ini yaitu :

1. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk menentukan kondisi optimum pada

proses interkalasi bentonit dengan kation Cu2+, sehingga didapatkan

material bentonit yang mempunyai sifat-sifat yang lebih baik.

2. Perlu dilakukan analisis urea dalam material Cu-BP pasca adsorpsi urea

oleh Cu-BP.

3. Perlu adanyan penelitian lanjutan untuk desorpsi urea dari Cu-BP,

sehingga akan didapatkan efeftivitas Cu-bentonit sebagai pupuk.


92
71

DAFTAR PUSTAKA

Akhadi, Yuli P. 2000. Adsorpsi Kadmium Oleh Bentonit Alam dan Na-Bentonit
Sebagai Penukar Kation. Jurnal Sains dan Matematika, No.2

Alberty , R. A and Daniels, F. 1983. Physical Chemsitry. New York : John Willey
& Sons, hal. 230 – 234

Anonim. Synthesis of Urea. www.textoscientificos.com. 26 September 2006,


11 : 26 WIB

Anonim. Pupuk Kaltim.http://pupukkaltim.com. 26 September 2006, 11: 37 WIB

Anonim. Mikroskop Elektron. www.wilkipediaindonesia.com. 22 Juni 2007,


10 : 36 WIB

Arryanto, Yateman. 2006. Teknologi Nano Dalam Struktur Silika Alumina


lempung Alam dan Terapannya di Masa Depan. SEMNAS Kimia dan
Pendidikan Kimia FMIPA Unnes

Aryanti Irma, Karna Wijaya, Iqmal Tahir, Bambang Setiaji. 2002. Analisis
Porosimetri dan Difraksi sinar X Terhadap Interkalasi Azobenzena ke
Dalam Ruang Antar Lapis Monmorillonit. Prosiding Seminar Nasional
Kimia XXII Universitas Gajah Mada , hal. 100 – 106

Benarsconi, G. 1995. Teknologi Kimia. Jakarta : Pradnya Paramita, hal 34 – 56.

Castellan, G. W. 1983. Physical Chemsitry. London : Addison Wesley Published


Company hal. 420 – 427

Cotton, F. A dan Wilkinson. 1988. Basic Inorganic Chemistry. New York : John
Wiley and Sons, hal. 577 – 582

Eickhoff dan Metz.W., 1997. The Formation of CuCl2-Graphite Form Meltz With
KCl : The Equilibrium of Nucleation, Carbon, 35 : 299 – 306.

Fessenden dan Fessenden, 1999. Kimia Organik (Jilid 1). Jakarta : PT. Penerbit
Erlangga Mahameru, hal : 212 – 238.

Han, Y.S., Matsumoto, H., Yamanaka. 1997. Chem. Mater., 8, 2013

Hendayana, Sumar. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Jakarta : Erlangga, hal.


154 – 194

Herlina, Anni. 1999. Pembuatan, Karakterisasi Dan Uji Aktivitas Struktur


Bentonit Pada Peningkatan Kualitas Minyak Jelantah. Skripsi.
Yogyakarta : FMIPA UGM, hal. 8
72
93

Hery dan Rinaldi, Nino. 2002. Karakterisasi Bentonit Termodifikasi dengan


Polikation Alumunium. Indonesia Journal of Chemistry, Vol. 2, No. 3, hal.
173 – 176.

Inel, Oguz et al. 1997. Cu And Pb Adsorption On Some Bentonit Clays.


Osmangazi University, Departmen of Chemical Engineering. Turkey
Journal Chemistry. Vol 22 (1998) hal. 243 – 252.

Kastono dan Dody. 2005. Pengaruh Nomor Ruas Stek dan Dosis Pupuk Urea
Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kumis Kucing. Jurnal Ilmu Pertanian
Vol. 12 No. 1, 2005. Hal : 56 – 64

Khopkar, S. M. 1984. Konsep Dasar Kimia Analitik (terjemahan). Bombay :


Analytical Laboratory Department of Chemistry Indian Institut of
Technology Bombay, hal. 204 – 243.

Kurniawan, Cepi. 2002. Kajian Kinerja Bentonit Sebagai Adsorben Zat Warna
Sintetis Dalam Limbah Tekstil. Skripsi Universitas Pendidikan Indonesia.
Hal : 27 – 48.

Lestari, Siswati. 2002. Pembuatan Lempung Terpilar Bimetal Al-Cr dan


Aplikasinya Sebagai Katalis Pada Hidrorengkah Fraksi Berat Minyak
Bumi. Tesis. Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Liu, Jiahao. Xin Chen. Zhengzhong Shao dan Ping Zhou. 2003. Preparation and
Charcterization of Chitosan / Cu (II) Affinity Membran for Urea
Adsorption. Shanghai : Department of Macromolekular Sciens, Fudan
University, People’s Republic of China.

Mahida, U. N. 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Jakarta :


CV Rajawali, hal.l 4 – 6.

Muhdarina dan Amilia. 2003. Pilarisasi Kaolinit Alam untuk Meningkatkan


Kapasitas Tukar Kation. Jurnal Natur Indonesia, 6 (1), hal. 20 - 23.

Nurahmi, Emi. 2001. Uji Stabilitas Struktur Bentonit Terhadap Perlakuan Asam
Sulfat dan Pemanasan. Skripsi. Yogyakarta : FMIPA UGM, hal. 1 – 2.

Oscik, J. 1982. Adsorption. New York : John Wilwy and Sons, hal. 4 – 25.

PT. Tunas Inti Makmur. 2000. Data Spesifikasi Kandungan Kimia dan Fisika
Produk Lempung Natrium Bentonit. Semarang.

Pudjaatmaka, A Hadyana dan Qodratillah, Meity Taqdir. 2002. Jakarta : balai


Pustaka, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, hal : 8
94
73

Robert. L Pecsok, L. Donald Shields, Thomas Cairns and Ian G McWilliam. 2000.
Modern Methodsof Chemical Analysis. New York : John Wiley and
Sons. Hal : 226 – 237

Rusman, Iip Izul falah, damn RHA SAhirul Alim. Interkalasi Cu Pada karbon
Aktif dan Pemanfaatannya Sebagai Katalis Dehidrasi n AMilalkohol.
Indonesia Journal of Chemistry, Vol. 1, No. 1, hal. 23 – 29.

Sastrohamidjojo, Hardjono. 2001. Spektrokopi. Yogyakarta : Liberti. Hal : 12 – 37

Setiawan, Iwan. 2002. Uji Stabilitas Struktur Na-Monmorillonit Terhadap


Perlakuan Asam Sulfat dan Asam Klorida. Skripsi. Yogyakarta : FMIPA
UGM

Scott, W. A. N. 1996. Colling Gem (Kamus Saku Kimia). Jakarta : Erlangga, hal.
84 – 85.

Soedarmo. 1981. Petunjuk Praktek Bahan Galian Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan Direktorat Pendidikan menengah Kejuruan. Bagian Proyek
Pengadaan Buku Pendidikan Teknologi. Jakarta : Depdikbud, hal 40.

Sofia. 2002. Investigation The Adsorpstion Properties Of The Natural Adsorbens


Zeolit And Bentonit Towards Copper Ions, Mining And Mineral
Processing. Annual of university of mining and geology “St. Ivan Rilski”.
Vol 44 – 45 part II, hal. 93-97

Sukandarrumidi. 1999. Bahan Galian Industri. Yogyakarta : UGM Press, hal.


72 – 78.

Sukardjo. 1997. Kimia Fisika. Jakarta : Rineka Cipta IKAPI hal 88.

Tan, K. H. 1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Yogyakarta : UGM Press, hal.


34 – 42.

Tarigan, Poris. 1986. Spektrometri Massa. Bandung : Alumni, hal. 51 – 54.

Schubert, Ulrirch. 2002 . Synthesis of Inorganic Materials. New York : Willey-


VCH, hal. 45-59.

Sastrohamidjojo, Hardjono. 2001. Spektrokopi. Yogyakarta : Liberti.


Hal. 45 – 100.
95
Vaugan, D. E. W. 1988. Pillared Clays – A historical Prespective, Catalysis
Today. 2. 187 – 198.

Wijaya, Karna. Iqmal Tahir. Ahmad baikuni. 2002. Sintessis LEmpung Terpilar
Cr2O3 dan Pemanfaatannya Sebagai Inang Senyawa p-nitroanilin.
Indonesia Journal of Chemistry, Vol. 2, No. 2, hal. 11 – 19.
74

Wijaya Karna, Ani Setyo P, Sri Sudiono, Emi nurahmi. 2002. Studi Stabilitas
Termal dan Asam Lempung Bentonit. Indonesia Journal of Chemistry, Vol.
2, No. 2, hal. 20 - 25.

Yang, Ralph T. 2000. Pillared Clay as Superior Catalyst for Selective Catalytic
Reduction of NO J of Catalist. Michigan : Department of Chemical
Engineering University of Michigan.

Yong-Guo Zhou , Yue-Dong Yang , Xue-Min Guo , Gui-Ru Chen. 2002. Effect of
molecular weight and degree of deacetylation of chitosan on urea
adsorption properties of copper chitosan. Journal of Applied Polymer
Science, Volume 89, Issue 6 , Pages 1520 – 1523

You might also like