You are on page 1of 40

TUNTUNAN MERAWAT JENAZAH

Firman Allah Swt :

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada kami
kamu dikembalikan. ( QS. Al 'Ankabuut : 57).

Ayat tersebut mempertegas bahwa kita yang hidup di dunia ini pasti akan
merasakan mati. Namun kenyataannya banyak manusia yang terbuai dengan
kehidupan dunia sehingga hampir melupakan tujuan hidup yang sebenarnya, hal
ini juga membuat manusia tidak banyak yang mengingat tentang kematian.

Yang jadi permasalahan sekarang adalah, tidak ada manusia satupun yang
apabila mati kemudian berangkat sendiri menuju liang kuburnya. Tentu saja
hal ini adalah menjadi kewajiban bagi orang yang masih hidup, terutama
keluarga yang ditinggalkannya untuk mengurusnya sampai menguburkannya.

Merawat jenazah adalah hukumnya wajib kifayah, namun setiap orang tentunya
wajib mengetahui tatacara bagaimana merawat jenazah yang sesuai dengan
tuntunan agama Islam. Karena kewajiban merawat jenazah yang pertama adalah
keluarga terdekat, apalagi kalau yang meninggal adalah orangtua atau anak
kita. Kalau kita tidak bisa merawatnya sampai menguburkannya berarti kita
tidak (birrul walidaini) berbakti kepada kedua orangtua kita.
Rasulullah SAW telah bersabda :
" Apabila telah mati anak Adam, maka terputuslah amalnya. Kecuali tiga
perkara, shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang
mau mendo'akan kedua orangtuanya."

Disinilah kita harus menunjukkan bakti kita yang terakhir apabila orangtua
kita meninggal, yaitu dengan merawat sampai menguburkan serta mendo'akannya.

Permasalahan yang lain dan mungkin bisa saja terjadi adalah, karena ajal
bila sudah tiba saatnya, pastilah tidak bisa ditunda kapanpun dan dimanapun.
Bagaimana kalau kita seandainya sementara kita di tengah hutan belantara
jauh dari pemukiman dan kita punya teman cuma beberapa orang saja, sementara
kita tidak tahu mayat ini harus diapakan, pastilah kita akan berdosa.

Fenomena lain yang banyak terjadi sekarang, terutama di kota-kota besar.


Pengurusan jenazah kebanyakan tidak dilakukan oleh keluarga dekat, bahkan
keluarga tinggal terima bersih karena sudah membayar orang untuk merawatnya,
bahkan samapi mendo'akannya juga minta orang lain yang mendo'akan.

Inilah yang perlu kita pikirkan sepertinya di millist ini belum pernah ada
yang memberikan pencerahan. Mungkin diantara kita masih banyak yang belum
tahu tentang tatacara merawat jenazah dan kalaupun sudah tahu, semoga bisa
mengingatkannya kembali. Dan ini harus kita tanamkan pada diri kita
masing-masing dan juga anak-anak kita untuk jadi anak yang sholeh dan
sholehah, bila kita menghendaki kalau kita mati nanti anak kita dan keluarga
dekat kita yang merawatnya.

Jadi yang jelas pengurusan jenazah adalah menjadi kewajiban keluarga


terdekat si mayit, kalau keluarga yang terdekat tidak ada, barulah orang
muslim yang lainnya berkewajiban untuk merawatnya.

HUKUM MERAWAT JENAZAH


Hukum merawat Jenazah dalah Wajib Kifayah artinya cukup dikerjakan oleh
sebagian masyarakat , bila seluruh masyarakat tidak ada yang merawat maka
seluruh masyarakat akan dituntut dihadapan Allah Swt.sedang bagi orang yang
mengerjakannya, mendapat pahala yang banyak.disisi Allah Swt.

SIAPA ORANG YANG MERAWAT


* Keluarga terdekat (Ayah, Ibunya, Suami/Istrinya, Anak
putra/Putrinya, Kakak/Adiknya dst) namun sebaiknya yang sejenis pria oleh
pria wanita oleh wanita kecuali Suami / istrinya atau ayah dan ibunya.
* Bila Urutan tersebut di atas tidak ada baru beralih kepada
yang lain .

WAKTU PENYELENGGARAAN

Sesegera mungkin, tidak ada keharusan menunggu berkumpulnya seluruh


kerabat.
* Sabda Rasullulah :
* Ada 3(tiga) hal Hai Ali.. Jangan ditunda,
dilarang ditangguhkannya yaitu sholat bila telah datang waktunya, Jenazah
bila telah nyata kematiannya, dan wanita yang tidak ada suami bila telah
menemukan jodohnya.(Al Hadist)
* Percepatkanlah penyelenggaraan jenazah, bila
ia seorang yang baik, perdekatkanlah kebaikannya dan bila tidak demikian,
maka kamu akan lepas kejelekannya tersebut dari bebanmu.

KAIFIAT (CARA PERAWATAN JENAZAH)

Bila telah terang, nyata, jelas ajalnya seseorang, maka segerakanlah


perawatannya, Adapun yang perlu dilakukan adalah :
* Pejamkan matanya.
* Lemaskan terutama tangan, dan kakinya diluruskan.
* Dikatupkan mulutnya, dengan ikatkan kain, dan lingkarkan
dagu, pelipis sampai ubun-ubun.
* Diutamakan ditelentangkan membujur menghadap kiblat dengan
kepala di sebelah kanan kiblat (untuk daerah Sidangoli berarti kepala di
sebelah utara)
* Ditutup muka wajahnya, serta seluruh tubuhnya.
* Mengucapkan kalimat tarji' untuk istirja'(pasrah dengan
ikhlas dan ingat bahwa kita bersama akhirnya juga akan mengalami kematian
(Innalillahi wainna ilaihi rooji'uun (Al Baqorah Ayat 156)
* Mendoakannya (Allahumma ighfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu
anhu) artinya : Ya Allah semoga Alloh mengampuni , melimpahkan kasih
sayangnya, mema'afkannya serta memulyakannya, Al Hadist.
* Menyebarluaskan berita kematiannya kepada keluarga/ ahli
waris, kerabat dan masyarakat lingkungannya.
* Mempersiapkan keperluan/perlengkapan perawatan mayat/
jenazah.
* Keluarga/ ahli waris segera menyelesaikan hak insani/Adam,
utang piutang, mengambil alih tanggunga jawab hingga bagi yang telah wafat
tiada lagi memiliki kewajiban. Kecuali mempertanggung jawabkan amal
perbuatannya.

HAK & KEWAJIBAN TERHADAP JENAZAH


1. Memandikannya / Mensucikannya.
2. Mengkafaninya/ Membungkus seluruh tubuhnya.
3. Mensalatkannya.
4. Menguburkannya.

JENAZAH YANG TIDAK MENDAPAT PERLAKUAN SEPERTI BIASA


1. Mati sahid dalam peperangan tidak perlu dimandikan dan
dikafani cukup dimakamkan dengan pakaiannya yang melekat.
2. Mati di atas perjalanan laut, tak perlu dibawa ke darat
untuk dimakamkan apabila untuk mencapai daratan perlu waktu lama.
3. Mati saat Ihrom, maka kain kafannya cukup pakaian ihromnya
dan tidak boleh diberi parfum sebagaimana jenazah biasa.

MENSUCIKAN JENAZAH
Perlengkapan yang diperlukan :
1. Air suci yang mensucikan yang cukup, dengan dicampuri
bau-bauan
2. Serbuk/larutan kapur barus, untuk meredam bau.
3. Sarung tangan/ handuk tangan untuk membersihkan kotoran darah atau
najis lain.
4. Lidi dan sebagainya untuk membersihkan kuku.
5. Handuk untuk mengeringkan badan/ tubuh mayat selesai dimandikan.

CARA-CARA MEMANDIKAN MAYAT


1. Bujurkanlah jenazah ditempat yang tertutup serta diutamakan
membujur menghadap kiblat dengan kepala di sebelah kanan.
2. Lepaskanlah seluruh pakaian yang melekat dan menutup,serta pengikat
dagu dan pergelangan tangan.
3. Tutuplah bagian auratnya sekedarnya.
4. Lepaskan logam seperti cincin, dan gigi palsunya (Kalau ada)
5. Bersihkan kotoran najisnya dengan didudukkan dan meremas bagian
perutnya hingga kotorannya keluar.
6. Bersihkan rongga mulutnya dari riak atau darah kalau ada
7. Bersihkan kuku-kuku jari kaki dan tangannya.
8. Disunahkan menyiram air mulai anggota yang kanan diawali dari
kepala bagian kanan terus kebawah, kemudian bagian kiri dan diulang
3(tiga) kali

PERHATIAN !!!!!
Dilarang memotong kuku,rambut dsb. karena dilarang menganiaya seseorang
jenazah dengan menimbulkan kerusakan atau cacat tubuhnya.

CARA PELAKSANAAN MEMANDIKAN MAYAT


1. Mulai menyiram anggota wudhu secara urut, tertib, segera dan
rata, hingga 3(tiga) kali serta memulainya anggota wudhu sebelah kanan.
2. Menyiram seluruh tubuh
3. Menggosok seluruh tubuh dengan air sabun.
4. Menyiram berulang kali sejumlah gasal, misalnya 3,5,7,9,11
kali, hingga rata dan bersih sesuai kebutuhan.
5. Menyiram dengan larutan kapur barus atau bau-bauan yang
harum, cendana dsb.
6. Mengeringkan seluruh tubuh badannya dengan handuk hingga
kering

Perhatian :
* Saat menyiram air pada wajah muka, tutuplah lubang mata,
hidung, mulut dan telinganya, agar tidak kemasukan air.
* Apabila anggota tubuh terluka dalam menggosok dan
membersihkan bagian terluka supaya hati-hati dengan lembut seakan
memberlakukan pada waktu masih hidup tidak boleh semena-mena.

MENGKAFANI JENAZAH.
1. Perlengkapan
a. Selembar lingkaran badan dan yang lebih panjang dari seluruh
tubuh.
b. Tujuh utas tali dari sobekan kain putih.
c. Segi tiga tutup kepala/rambut
d. Sehelai tutup dada, dengan berlobang pada bagian lehernya
e. Sehelai tutup aurat dengan terlipat panjang.

Khusus wanita dilengkapi dengan :


f. Kain Basahan, sebagai penutup bagian aurat bawah.
g. Mukena untuk rambut
h. Baju untuk penutup bagian dada dan lengan.

Perhatian :
Bahan perlengkapan, kain putih, cukup yang sederhana, tidak berlebihan
jenisnya,demikian juga bagai jenazah wanita kain basahan, baju, mukena
adalah yang sehari-hari dipakai.

Demikian juga disunahkan bagi mayat laki² dikafani sampai 3 lapis kain,
tiap-tiap lapis hendaknya dapat menutup seluruh tubuhnya, Selain 3 lapis itu
ditambah baju kurung dan sorban.
Adapun bagi mayat wanita disunahkan 5 lapis, masing-masing berupa Sarung,
Baju, Kerudung dan 2 lapis yang menutup seluruh tubuhnya.

2. Kapas
- 5 helai kapas selembar telapak tangan
- 7 Bulatan kecil, penutup lobang
- Serbuk kapur barus, cendana dsb yang berfungsi sebagai pengharum.

PERSIAPAN PENGATURAN BAHAN KAFAN

1. Tali sebanyak 7 diletakkan di:


a. Ujung Kepala
b. Leher
c. Pinggang/ pada lengan tangan
d. Perut
e. Lutut
f. Pergelangan tangan
g. Ujung kaki

2. Letakkan kain memanjang seluruh tubuhnya, serta melebar


lingkaran badan dengan ditaburi serbuk kapur barus.
3. Aturlah dan letakkan sehelai tutup kepala/rambut.
4. Bentangkan tutup dada, dengan masih terhampar ke atas.
5. Letakkan sehelai tutup aurat (Semacam Celdam) memanjang dan melebar
ke bawah dan merupakan kain lipatan
6. Bagi wanita aturlah mukena,baju dan kain basahan yang sesuai dengan
letaknya.

CARA PELAKSANAAN MENGKAFANI


1. Letakkan janazah membujur di atas kain kafan, dalam keadaan
tertutup selubung kain kafan (jangan sampai mayat telanjang secara terbuka).

2. Tutuplah tujuh lubang yaitu, 2 mata, 2 telinga, 2 hidung dan 1.pusar


dengan bulatan kapas yang ditaburi serbuk kapur barus
3. Tutuplah lembaran kapas yang ditaburi sebuk kapur barus pada:
a.Wajah muka
b.Leher kanan & kiri
c. Ketiak kanan & kiri
d.Lengan siku kanan dan kiri
e. Di bawah dan atas peregelangan tangan.
f. Kedua pergelangan kakinya.
g. Kedua lingkaran mulut.
4. Bagi Jenazah pria :
a.Tutuplah segitiga kain putih di bagian rambut kepala dengan ikatan
pada jidat.
b.Katupkan tutup dada melalui lubang pada lehernya
c. Katupkan lipatan tutup Celdam-nya

5. Bagi jenazah Wanita :


a.Letakkan tiga pintalan rambut ke bawah belakang kepala
b.Tutupkan kain mukena pada rambut kepala.
c. Tutupkan belahan kain baju pada dada.
d.Lipatkankain basahan melingkar badan perut dan auratnya, di atas
penutup CD - nya.
6. Katupkan dengan melingkar tubuh badannya kain kafan yang rapat,
tertib, menyeluruh.

Surat Al Baqarah yang 286 ayat itu turun di Madinah yang sebahagian besar diturunkan
pada permulaan tahun Hijrah, kecuali ayat 281 diturunkan di Mina pada Hajji wadaa'
(hajji Nabi Muhammad s.a.w. yang terakhir). Seluruh ayat dari surat Al Baqarah
termasuk golongan Madaniyyah, merupakan surat yang terpanjang di antara surat-surat
Al Quran yang di dalamnya terdapat pula ayat yang terpancang (ayat 282). Surat ini
dinamai Al Baqarah karena di dalamnya disebutkan kisah penyembelihan sapi betina
yang diperintahkan Allah kepada Bani Israil (ayat 67 sampai dengan 74), dimana
dijelaskan watak orang Yahudi pada umumnya. Dinamai Fusthaatul-Quran (puncak Al
Quran) karena memuat beberapa hukum yang tidak disebutkan dalam surat yang lain.
Dinamai juga surat alif-laam-miim karena surat ini dimulai dengan Alif-laam-miim.

Pokok-pokok isinya:

1. Keimanan:
Dakwah Islamiyah yang dihadapkan kepada umat Islam, ahli kitab dan para musyrikin.

2. Hukum-hukum:
Perintah mengerjakan shalat; menunaikan zakat; hukum puasa; hukum haji dan umrah;
hukum qishash; hal-hal yang halal dan yang haram; bernafkah di jalan Allah; hukum arak
dan judi; cara menyantuni anak yatim, larangan riba; hutang piutang; nafkah dan yang
berhak menerimanya; wasiyat kepada dua orang ibu-bapa dan kaum kerabat; hukum
sumpah; kewajiban menyampaikan amanat; sihir; hukum merusak mesjid; hukum
meubah kitab-kitab Allah; hukum haidh, 'iddah, thalak, khulu', ilaa' dan hukum susuan;
hukum melamar, mahar, larangan mengawini wanita musyrik dan sebaliknya; hukum
perang.

3. Kisah-kisah:
Kisah penciptaan Nabi Adam a.s.; kisah Nabi Ibrahim a.s.; kisah Nabi Musa a.s. dengan
Bani Israil.

4. Dan lain-lain:
Sifat-sifat orang yang bertakwa; sifat orang-orang munafik; sifat-sifat Allah;
perumpamaan-perumpamaan; kiblat, kebangkitan sesudah mati.

AL BAQARAH
(SAPI BETINA)
SURAT KE 2 : 286 ayat

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

1. Alif laam miin[10].

[10]. Ialah huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian dari surat-surat Al
Quran seperti: alif laam miim, alif laam raa, alif laam miim shaad dan sebagainya.
Diantara ahli-ahli tafsir ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah karena
dipandang termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat, dan ada pula yang menafsirkannya.
Golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat, dan ada
pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian
para pendengar supaya memperhatikan Al Quran itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa
Al Quran itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf
abjad. Kalau mereka tidak percaya bahwa Al Quran diturunkan dari Allah dan hanya
buatan Muhammad s.a.w. semata-mata, maka cobalah mereka buat semacam Al Quran
itu.

(AL-BAQAROH : 1)

APAKAH JANIN YANG MATI KEGUGURAN PERLU DIKAFANI DAN DISHALATKAN

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada seorang perempuan yang keguguran saat janin
berumur 6 bulan. Ia bekerja di tempat yang berat dan melelahkan, meskipun demikian ia masih tetap
melaksanakan puasa Ramadhan. Ia khawatir jika penyebab keguguran itu adalah pekerjaannya yang
berat ini. Dan janin itu dikuburkan tanpa dishalati, bagaimana hukum tidak menshalatinya ? Dan apakah
yang harus dikerjakan wanita itu agar keraguan yang menyelimuti hatinya bahwa penyebab keguguran
adalah dirinya bisa dihilangkan ?

Jawaban
Apabila keguguran telah mencapai usia 4 bulan maka ia harus dimandikan, dikafani dan dishalati, karena
jika telah mencapai 4 bulan berarti ruhnya telah ditiupkan ke janin, sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 'orang
yang benar dan dibenarkan' telah bersabda kepada kami.

"Artinya : Sesungguhnya salah seorang di antara kalian dikumpulkan ciptaannya di perut ibunya empat
puluh hari dalam bentuk air mani, kemudian menjadi segumpal darah dalam waktu yang sama.
Kemudian menjadi segumpal daging dalam waktu yang sama. Kemudian diutuslah malaikat kepadanya
untuk meniupkan nyawa kepadanya"..sampai akhhir hadits. [Hadits Riwayat Bukhari (3208) dalam Al-
Bad'u, Muslim (2643) Kitaab Al-Qadru]

Maka waktu 120 hari atau 4 bulan bila keguguran harus dimandikan, dikafani, dishalati, dan akan
dikumpulkan pada hari kiamat bersama manusia.
_______________________________________________________
Adapun jika belum ada 4 bulan maka ia tidak dimandikan, tidak dikafani, dan tidak dishalati, ia
dikuburkan dimana saja, karena ia sekedar seonggok daging bukan manusia.
_______________________________________________________

Janin yang ditanyakan tadi usianya telah mencapai enam bulan maka ia wajib dimaNdikan, dikafani, dan
dishalati. Terhadap pertanyaan tadi, karena ia belum dishalati hendaknya mereka menshalati sekarang
di atas kuburannya jika memang diketahui tempatnya, jika tidak ketahuan maka dishalatkan secara
ghaib, dan shalat sekali saja sudah cukup baginya.

Adapun mengenai perasaan ibunya yang merasa keguguran itu disebabkan olehnya, hal ini bukanlah
kesalahannya, dan tidak selayaknya hatinya tersiksa karenanya. Karena banyak janin yang telah mati
sejak diperut ibunya, dan hal ini tidak berpengaruh apa-apa bagi ibunya. Maka hendaknya ia hentikan
keraguan ini agar hidupnya tidak terkotori dengan bayang bayang dosa ini. Wallahu a'lam.

[DIisalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika
Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah Oleh Syaikh Muhamad bin Shalih Al-Utsaimin, Terbitan Pustaka
Arafah]
MERAWAT JENAZAH

Pendahuluan

Kita hidup didunia ini merupakan sebuah sunnah Allah. Kodrat manusia dalam sebuah rantai kehidupan
adalah hidup terlahir dan kemudian mati. Semua manusia ciptaan Allah di dunia ini pasti akan mati pula.
Seperti halnya manusia, mereka tidak akan tahu kapan dia akan mati, oleh sebab itu banyak sekali para
manusia yang terbuai akan kehidupan yang ada di dunia, yang mereka cari harta dan kebahagiaan sesaat
sehingga mereka lupa bahwa pada saatnya mereka akan mati.

Sejauh ini belum pernah kita temukan mayat yang pergi sendiri ke liang kuburnya. Oleh sebab itu kita
sebagai mahkluk sosial harus saling membantu, toleransi termasuk merawat jenazah pula.

Rumusan masalah

Apa hukum merawat jenazah dalam Islam.

Tata cara merawat jenazah.

Kewajiban merawat jenazah.

Pembahasan

Hukum Merawat Jenazah

Hukum merawat jenazah adalah fardlu kifayah artinya wajib bagi yang bisa diwakilkan oleh sekelompok
orang. Apabila telah diwakilkan maka telah gugur kewajibannya. Akan tetapi, jikalau sampai disebuah
tempat terdapat orang meninggal dan tidak ada yang mau merawatnya, maka orang satu desa itu
mendapatkan dosa.

Kewajiban merawat jenazah ditujukan kepada sanak famili (anggota keluarga). Dan para ulama sepakat
bahwa sebaiknya jenazah laki-laki diurus oleh laki-laki dan perempuan diurusi oleh perempuan pula,
terkecuali seorang istri boleh merawat jenazah suaminya begitu juga sebaliknya.
Waktu perawatan jenazah sebaiknya dilakukan secepat mungkin. Rasul bersabda yang artinya: “Ada 3
hal hai Ali, yaitu jangan tunda-tunda dan dilarang ditangguhkan lagi yaitu sholat apabila telah datang
waktunya, jenazah yang

1|Page

telah nyata matinya dan wanita yang tidak ada suaminya yang telah

menemukan jodohnya”.

Tata Cara Merawat Jenazah

Apabila seseorang telah meninggal maka mahromnya hendaknya

melakukan hal seperti berikut ini:

Memejamkan kedua buah matanya;

Lemaskanlah tubuhnya terutama kaki dan tangan diluruskan;

Katupkanlah mulutnya kemudian ikat dengan kain dari dagu sampai ke kepala;

Menghadapkannya ke arah qiblat;

Ucapkanlah kalimat tarjih untuk istri (pasrah kepada Allah);

Menyebar luaskan berita kematian;

Menyiapkan perlengkapan pemakaman;

Membayar hutang-hutangnya dan melaksanakan wasiat.

Kewajiban merawat jenazah

Setiap jenazah muslim wajib dirawat sedemikian wajarnya kecuali:

Orang yang mati syahid karena perang dijalan Allah;

Orang yang mati dilaut tidak perlu dibawa kedarat, apabila untuk mendarat

dibutuhkan waktu yang lama;

Orang yang mati saat ihrom kain kafannya adalah baju ihromnya.
Memandikan

Jenazah orang muslim wajib dimandikan kecuali orang yang mati syahid. Dasar diwajibkannya
memandikan jenazah ialah hadis nabi dalam sebuah cerita berkenaan dengan seorang sahabat yang
meninggal karena jatuh dari untanya:

‫ردسر ءامب ه‬‫ول‬‫غ‬

Artinya: “mandikanlah dia dengan air dan sidr”.

Alat dan bahan yang digunakan

Air suci;

Serbuk/kapur (untuk wangi-wangian);

Sarung tangan (untuk mersihkan kotoran);

Lidi (untuk membersihkan kuku);

Handuk (untuk mengeringkan badan).

Tata cara pemandian

Menghadapkan mayat ke arah qiblat

Lepaskan pakaian yang digunakan

Tutuplah bagian auratnya

Lepaskan logam, misalnya; cincin, kalung dll.

Tata cara pelaksanaa pemandian

Sekurang-kurangnya memandikan jenazah itu dengan mengalirkan air ke seluruh tubuhnya. Untuk lebih
sempurna, memandikan jenazah itu dilakukan dengan mengindahkan hal-hal berikut:

Ditempatkan ditempat yang sunyi dimana hanya ada yang memandikan dan

wali jenazah;

Jenazah diletakkan ditempat yang agak tinggi, misalnya di dipan, agar air
dapat bebas mengalir dan tidak menggenangi tubuhnya;

Jenazah dimandikan dalam pakaian gamis, atau ditutup dengan kain;

Diutamakan memijit bagian perut agar kotoran mudah keluar;

Bersihkan badan atau jenazah diwudlukan, seperti orang biasa;

Menyiram didahulukan sebelah kanan;

Menggunakan air yang dingin, sebab air dingin dapat menguatkan badannya;

Aurat jenazah haram dilihat, sedangkan bagian yang lain tidak;

Menggosok bagian yang perlu;

Menyiram dengan ganjil seperi: 3,5,7,9,11;

Menyiram dengan kapur;

Jenazah di keringkan.

Orang yang memandikan jenazah hendaknya adalah orang yang amin, dapat menyimpan rahasia dan
yang dapat menjaga hal-hal yang buruk pada si mayat. Pada saat merawat dan memandikan jenazah
dilarnag memotong kuku, rambut dsb serta dialrang menganiaya yang bisa menimbulkan cacat tubuh.

3|Page

Mengkafani

Setelah dimandikan, jenazah harus dikafani berdasarkan hadis nabi.

‫يف تا‬ ‫ذ‬ّ ‫ بوث‬‫ف هون‬ّ ‫ك‬

Artinya: “kamu kafanilah dia dengan kedua pakaian yang dipakainya ketika

meninggal itu”

Perlengkapan yang dibutuhkan untuk mengkafani adalah;

Selembar ungkar;
Tujuh utas tali;

Tiga tutup kepala;

Sehelai tutup dada atau tutup aurat.

Apabila wanita, ditambah dengan kain basahan, mukena untuk tutup rambut, baju untuk tutup dada.
Kain yang digunakan untuk jenazah wanita adalah 5 lembar sedangkan untuk laki-laki adalah 3 lembar.

Kapas yang digunakan

5 helai selebar tangan;

7 bulatan kecil untuk tutup lubang;

Serbuk kapur.

Persiapan dengan kain

Tujuh tali diletakkan di ujung kepala, leher, pinggang, perut, lutut,

pergelangan tangan, ujung kaki;

Letakkan kain merebah;

Atur letaknya kain;

Bentang kain untuk tutup dada;

Letakkan kain tutup aurat;

Bila jenazah wanita atur mukena.

Cara mengkafani

Letakkan jenazah membujur ke arah qiblat;

Tutuplah tujuh lubang yakni 2 pada mata, 2 pada telinga, 2 pada hidung

dan 1 pada pusar;

Tutuplah selembar kapas yang telah ditaburi kapur pada wajah, leher,

ketiak, lengan siku dan pergelangan tangan;


Pada jenazah laki-laki tutuplah segitiga kain putih pada bagian rambut

kepala dan katupkan lipatan celana dalam;

Pada jenazah wanita (perempuan) letakkan tiga pintalan rambut bawah kemudian lipat kain mukena
pada kepala, dianjurkan tutup belahan baju pada dada lalu lipat basahan melingkar;

Kumpulkan tali dan talilah.

Menyolatkan

Jenazah seorang muslim wajib disembahyangkan kecuali orang yang mati

sahyid. Dasar hokum wajibnya shalat jenazah:

  ‫ اق‬ ‫ لخ‬‫ولّص‬



    ‫ اق‬ ‫ىلع‬

Artinya: lakukanlah shalat dibelakang (beriman kepada) orang yang mengucapkan la ilaha illa Allah, dan
(shalat jenazah) atas orang yang mengucapkan la ilaha illa Allah.”

Menyolati mayat di utamakan anggota keluarga. Imam sholat jenazah berada dibagian kepala apabila
jenazah laki-laki dan imam berada pada posisi di pusar si mayat apabila jenazah perempuan.

Syarat sholat jenazah

Mayat sudah dimandikan;

Mayat sudah dikafani;

Letak mayat sebelah qiblat.

Rukun sholat jenazah

Niat shalat atas mayit;

Berdiri jika mampu;


Takbir empat kali;

Membaca al-fatihah;

Membaca sholawat atas nabi sesudah takbir yang kedua;

Doa untuk jenazah, sesudah takbir ketiga;

Salam.

Menguburkan

Tempat penguburan kalau bias adalah tempat penguburan khusus

kaum muslim. Dan karena diutamakan pelaksanaan penyelesaian jenazah

5|Page

sesegera mungkin, maka cukup dikubur ditempat yang tersedia dan terdekat.

Ada beberapa hal yang harus di siapkan antara lain:

Persiapan penguburan

Pembuatan liang lahat (jangan sampai bangkai tercium dari luar);

Pilih tempat yang tanah cukup kuat;

Penutup liang lahat harus kuat supaya tidak mudah longsor;

Keranda jenazah tutup rapat dan sesederhana mungkin.

Pemberangkatan jenazah

Segerakanlah pemberangkatan penguburan dengan iring-iringan, terutama

keluarga terdekat;

Hendaknya berjalan dengan cepat (segera);

Kaum wanita, walaupun kekuarga dekat tidak diperkenankan mengiringi

jenazah dalam proses penguburan;

Tata cara penguburan


Letakkan keranda jenazah disebelah liang kubur yang longgatr;

Dibuka tutup keranda dan selubung jenazah;

Dua/tiga orang turun ke liang lahat dengan berdiri untuk menyiapkan diri

menerima jenazah);

Masukkan jenazah dari arah kaki, dahulukan kepala;

Letakkan jenazah membujur; arah kepala disebelah barat, dan badan

jasadnya dihadapkan miring, mukanya menghadap kiblat;

Lepaskan semua ikatan;

Letakkan gumpalan tanah sebagai penyangga dibagian belakang badan,

kepala, pinggang, dan perut agar jenazah tidah terlentang;

Tutup rongga dengan rapat dengan kayu atau batu kemudian timbun

dengan tanah;

Buatlah ghundukan tanah sejengkal;

Para pelayat diytamakan turut menimbun tanah sekurangnya tiga kali

taburan tanah.

Tambahan-tambahan lain dalam prosesi pemakaman:

Disunnahkan berdo’a setelah selesai penguburan;

Setiap mengangkan dan meletakkan mayat hendaknya diiringi do’a.

KesimpulanSesungguhnya merawat jenazah itu sangatlah mudah, kita sebagai mahkluk

sosial yang paling toleransi janganlah merasa takut untuk ikut serta merawat jenazah. Pada saatnya
nanti kita juga pasti akan diperlakukan hal yang sama. Kita dianjurkan ikut serta berperan dalam
perawatn jenazah dilingkungan kita ataupun keluarga kita. Jangan sampai terjadi pada diri kita sendiri
semisal jikalau ada dalam keluarga kita ada yang meninggal kita tidak bisa mengaplikasikan tata cara
merawat jenazah dengan benar dan baik.

Tata cara merawat jenazah antara lain adalah: memandikan, mengkafani,


menyolati dan menguburkan. Sesungguhnya kepada Allah-lah kita kembali.Wa

Allah ‘alam.

Penutup.

Demikian makalah ini kami susun, semoga bisa bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari masih
terdapat berbagai kekurangan di dalamnya, baik dari segi susunan maupun isinya, maka dari itu kami
mengharapkan kritikan dan saran dari anda sekalian sebagai bahan pertimbangan kami dalam
menyusun makalah di kemudian hari.

27/951. Hushain bin Wahwah RA berkata.

‫ (( إنِّي الَ أرى‬: ‫ فَقَا َل‬، ُ‫بي – صلى هللا عليه وسلم – يَعُو ُده‬ ُّ َّ‫ فَأتَاهُ الن‬، ‫ض‬ َ ‫ب رضي هللا عنهما َم ِر‬ ِ ‫أن طَ ْل َحةَ ْبنَ البَ َرا ِء بن ع‬
ٍ ‫َاز‬ َّ
َ
‫س بَ ْينَ ظَ ْه َرانِ ْي أ ْهلِ ِه )) رواه أبُو داود‬ ُ
ْ ‫ فَإنَّهُ الَ يَ ْنبَ ِغي ل ِجيفَ ِة ُم ْسلِ ٍم‬، ‫ فآ ِذنُوني بِ ِه َو َع ِّجلوا بِ ِه‬، ‫ت‬
َ َ‫أن تُحْ ب‬ َ ‫ طَ ْل َحةَ إِالَّ قَ ْد َحد‬.
ُ ْ‫َث فِي ِه ال َمو‬

“Ketika Thalhah bin Al Bara’ sedang sakit, Rasulullah SAW datang menjenguknya. Kemudian
Nabi SAW bersabda, ‘Aku perhatikan keadaan Thalhah mungkin akan segera wafat. Oleh karena
itu, jika ia wafat maka segera beritahu Aku, dan segerakan merawat jenazahnya, karena jenazah
seorang muslim tidak layak ditahan di rumah keluarganya’.” (HR. Abu Daud).

Keterangan:

Hadits ini dha’if, karena ada perawi yang bernama Urwah -atau Azrah bin Said Al Anshari dari
bapaknya. Keduanya (Urwah dan Said Al Anshari), identitasnya tidak diketahui, sebagaimana
ditegaskan oleh Al Hafizh dalam kitabnya At-Taqrib.

Lihat Ahkamul Janaiz (cetakan lama halaman 13 dan cetakan baru halaman 24), Adh-Dha’ifah
hadits no. 3232, Bahjatun-Nazhirin hadits no. 944 dan Takhrij Riyadhush-Shalihin hadits no.
944.
Yang Boleh Memandikan Jenazah
Para ulama sepakat bahwa yang memandikan jenazah lelaki adalah lelaki lain, sedangkan
yang memandikan jenazah wanita adalah wanita juga. Namun mereka berbeda pendapat
tentang seorang wanita yang meninggali di tengah-tengah kaum lelaki, atau seorang lelaki yang
mati di tengah-tengah kaum wanita yang bukan suami atau istrinya.
Dalam hal ini ada tiga pendapat , yaitu :
1. Sekelompok ulama berpendapat, masing-masing dari keduanya dimandikan oleh yang
lainnya dengan berpakaian.
2. Kelompok lain berpendapat bahwa masing-masing dari keduanya harus membersihkan si
mayit dengan debu (tayamum). Pendapat ini dikemukakan oleh Syafi', Abu Hanifah dan jumhur
ulama.
3. Kelompok lain berpendapat bahwa masing-masing dimandikan atau dibersihkan dengan
tayamum oleh yang lain, tapi harus langsung dikubur tanpa dimandikan. Pendapat ini
dikemukakan Laits bin Sa'ad.

Sebab perbedaan pendapat :

Tarjih antara mengedepankan larangan atas perintah ataukah mengedepankan perintah atas
larangan. Karena memandikan jenazah adalah ibadah yang diperintahkan, sedangkan lelaki
yang melihat badan wanita atau sebaliknya adalah terlarang.

Bagi kalangan ulama yang mengedepankan larangan secara  mutlak (maksudnya: tidak meng-
qiyas-kan orang mati dengan orang hidup dalam hal bersuci dengan debu sebagai pengganti
bersuci dengan air ketika menemui kesulitan mencarinya) mereka mengatakan bahwa masing-
masing dari keduanya (lelaki dan wanita) tidak boleh memandikan menyiramkan air pada yang
lain.
Sedangkan bagi ulama yang mengedepankan perintah atas larangan akan mengatakan masing-
masing dari keduanya boleh memandikan yang lain. (Maksudnya, lebih mengedepankan perintah
atas larangan secara mutlak).
Bagi ulama yang berpendapat ini dapat dilakukan dengan tayamum : alasannya karena mereka
menilai bahwa perintah dan larangan dalam hal tersebut tidak berseberangan. Dan, karena
memandang bagian tubuh yang dibersihkan dengan tayamum boleh dilihat oleh masing-masing
jenis kelamin.
Karena itulah Malik berpendapat: lelaki boleh mengusapkan debu pada tangan dan wajah
jenazah wanita, karena wajah dan tangan tidak termasuk aurat. Bagi wanita yang membasuhkan
debu pada jenazah lelaki boleh dibasuhkan hingga bagian dua siku, sebab aurat lelaki adalah
antara pusar hingga lutut menurut pendapatnya.
Sepertinya, kondisi darurat yang mendorong digantinya memandikan jenazah dengan
tayamum, bagi ulama yang menyatakannya adalah karena adanya kontradiksi antara perintah
dan larangan. Yakni kontradiksi dalam menyamakan kondisi darurat seperti ini dengan kondisi
darurat lainnya yang membolehkan orang yang masih hidup untuk melakukan tayamum. Hanya
saja analogi tersebut terkesan ganjil  dan jauh, tapi itulah yang dikemukakan oleh jumhur ulama.
Pendapat Malik dalam masalah ini berbeda-beda. Dalam sebuah pendapat dia menyatakan baik
lelaki maupun wanita keduanya boleh membasuhkan debu kepada yang lain secara mutlak. Dan
dalam pendapat lain dibedakan antara laki-laki dan wanita mahram dan yang bukan mahram.
Dan dalam pendapat lainnya dibedakan antara lelaki dan wanita.
Tentang mayit yang masih mahram. Malik memiliki tiga pendapat:
1. Pendapat yang paling masyhur menyatakan. masing-masing dari keduanya dapat
memandikan lainnya di atas pakaian.
2. Pendapat kedua menyatakan, masing-masing tidak boleh memandikan yang lain
namun hanya boleh membasuhkan debu, seperti pendapat jumhur tentang jenazah yang bukan
mahram.
3. Pendapat ketiga membedakan antara lelaki dan wanita. (Yakni menyatakan bahwa
wanita boleh memandikan jenazah lelaki, sedangkan lelaki tidak boleh memandikan jenazah
wanita).

Penyebab larangannya adalah karena masing-masing dari kedua belah pihak dilarang
memandang anggota tubuh lawan jenisnya ketika dimandikan, layaknya orang lain yang
bukan muhrim. sedangkan sebab dibolehkannya adalah karena kondisi darurat.
Sebab pembedaan antara lelaki dan wanita adalah karena pandangan lelaki ke arah wanita lebih
berbahaya daripada pandangan wanita ke arah lelaki. Karena wanita diwajibkan mengenakan
hijab sehingga lelaki tidak dapat melihatnya, sedangkan lelaki tidak diwajibkan berhijab dari
kaum wanita.
 

Hukum Istri memandikan suami dan suami memandikan istri 

Dalam hal ini, para ulama sepakat bolehnya wanita memandikan jenazah suaminya. Tapi
mereka berbeda pendapat tentang bolehnya suami memandikan jenazah istrinya.Ada dua
pendapat mengenai hal ini, yaitu :

1. Jumhur ulama membolehkannya. 


2. Abu Hanifah berpendapat: lelaki tidak boleh memandikan jenazah istrinya.

Sebab perbedaan pendapat :


Penyerupaan kematian dengan talak. Bagi yang menyamakan kematian dengan talak
mengatakan: seorang lelaki atau suami, tidak boleh memandang istrinya yang telah meninggal
dunia. Sedangkan bagi kalangan ulama yang membedakan antara kematian dengan talak
menyatakan bahwa yang boleh dilihat oleh suami dari istrinya saat masih hidup boleh dilihatnya
saat si istri meninggal dunia. lnilah pendapat yang dikemukakan oleh jumhur.
Abu Hanifah menyamakan konteks kematian dengan talak, alasannya karena saat istri
seseorang meninggal dunia, maka dia diperbolehkan untuk menikahi saudara perempuan
mendiang istrinya, dan hal ini kondisinya sama seperti dengan terjadinya talak atas istri. Hanya
saja, qiyas ini terasa jauh, karena adanya alasan dibolehkannya seorang lelaki untuk menikahi
wanita dan perempuannya sekaligus. Hak ini akan hilang bersamaan dengan  kematian istrinya,
karena itulah saudara perempuan dari mendiang boleh dinikahi. Kecuali, jika penyebab tidak
bolehnya menikahi dua wanita bersaudara sekaligus adalah karena alasan ibadah. Dan jika
memang penyebab tidak bolehnya menikahi dua wanita sekaligus adalah karena alasan ibadah,
maka pendapat Abu Hanifah menjadi kuat.
Para ulama sepakat bahwa wanita yang ditalak ba'in tidak boleh dimandikan oleh mantan
suaminya. Namun mereka berbeda pendapat tentang wanita yang ditalak raj'i.
Diriwayatkan dari Malik, suami boleh memandikan jenazah istrinya yang telah ditalak raj'i.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Abu Hanifah dan para sahabatnya.
Ibnu Al Qasim berpendapat bahwa suami tidak boleh memandikannya meski si istri telah ditalak
raj'i. Pendapat ini sama seperti yang dikemukakan oleh Malik. Sebab menurutnya, suami boleh
memandang mendiang istrinya. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Syafi’i.
Sebab perbedaan pendapat: Boleh tidaknya suami istrinya yang telah ditalak raj'i.
Berkenaan dengan hukum orang yang memandikan jenazah, para ulama berbeda pendapat.
Sekelompok ulama berpendapat, orang yang memandikan jenazah wajib mandi. Kelompok lain
berpendapat, dia tidak wajib mandi.
Sebab perbedaan pendapat: Adanya kontradiksi antara hadits Abu Hurairah RA dengan hadits
Asma' RA.
Abu Hurairah RA meriwayatkan dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda,
 
"Barangsiapa memandikan jenazah, maka hendaklah dia mandi, barangsiapa yang
mengusungnya maka hendaklah dia berwudhu.  (HR. Abu Daud)
Sedangkan hadits Asma' RA menyebutkan bahwa saat dia memandikan Abu Bakar RA, dia
keluar dan bertanya kepada kaum Muhajirin dan Anshar yang hadir. Asma’ berkata, "Aku
sedang puasa, dan hari ini sungguh sangat dingin, lantas apakah aku masih wajib untuk mandi?"
Mereka menjawab, "Tidak.” 
Hadits dari Asma' RA tersebut adalah shahih. Sedangkan hadits: dari Abu Hurairah RA, menurut
kebanyakan ulama —seperti dikemukakan oleh Abu Umar- adalah tidak shahih. Meski
demikian, pada dasarnya hadits dari Asma’ tidak berseberangan dengan hadits dari Abu Hurairah
RA. Karena orang yang mengingkari sesuatu adakalanya disebabkan karena ketidaktahuannya
dengan adanya hadits dalam masalah terkait. Dan pertanyaan yang diajukan oleh Asma' –wallahu
‘alam-. menunjukkan hal berbeda dengan yang ditunjukkan oleh hadits dari Hurairah RA pada
masa generasi pertama.
Karena itulah, Syafi'i -yang biasa berhati-hati dan mengacu kepada atsar- berkata, "Orang yang
memandikan jenazah tidak wajib, kecuali jika hadits dari Abu Hurairah RA tersebut
tsabit(diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim atau salah satu dari mereka)."

Hadits berikut menjelaskan untuk menyegerakan mengubur jenazah secepatnya :

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Dari Nabi saw., beliau bersabda: Percepatlah pengurusan jenazah! Karena, jika jenazah itu baik, maka
sudah sepantasnya kalian mempercepatnya menuju kebaikan. Dan kalau tidak demikian (tidak baik),
maka adalah keburukan yang kalian letakkan dari leher-leher kalian (melepaskan dari tanggungan
kalian). (Shahih Muslim No.1568)
ada juga hadits lain yg melarang menguburkan mayat pada waktu malam:

Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah kamu
sekalian menguburkan mayatmu pada waktu malam kecuali jika keadaan memaksamu."

Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan asalnya dalam riwayat Muslim, namun ia berkata: Beliau melarang
seseorang menguburkan mayat malam hari sebelum disholatkan terlebih dahulu.

jadi kesimpulannya, segeralah menguburkan mayat, jika meninggal sore hari, langsung saja dimandikan
dan dikebumikan pada malam harinya, menurut riwayat, jenazah abu bakar di kubur pada malam hari.

Tata cara  memandikan jenazah :

a. Orang yang berhak memandikan jenazah.


1. Jika mayyit telah mewasiatkan kepada seseorang untuk memandikannya, maka orang itulah
yang berhak.
2. Jika mayyit tidak mewasiatkan, maka yang berhak adalah ayahnya atau kakeknya atau anak
laki-lakinya atau cucu-cucunya yang laki-laki (kalau mayatnya laki-laki, kalau perempuan maka
dari jenis putri).
3. Jika tidak ada yang mampu, keluarga mayyit boleh menunjuk orang yang amanah lagi
terpercaya buat mengurusnya.

b. Tempat memandikan mayyit harus tertutup baik dinding maupun atapnya.

c. Dianjurkan agar yang memandikan jenazah memilih 2 orang dari keluarganya.

d. Perlengkapan bagi yang memandikan jenazah.


1. Penutup hidung.
2. Memakai pelindung tubuh agar tidak terkena kotoran-kotoran seperti sisa air perasan daun
bidara dan kapur barus.
3. Sarung tangan.
4. Sepatu bot berlaras tinggi.

e. Cara menyediakan perasan daun bidara.


1 Gelas besar : 4 liter
8 lt + 2 gls air perasan daun bidara
12 lt + 3 gls air perasan daun bidara
16 lt + 4 gls air perasan daun bidara
20 lt + 5 gls air perasan daun bidara
f. Cara menyediakan air dan kapur barus.
Setiap 4 liter air dicampur dengan 2 potong kapur barus 1 :
g. Persiapan sebelum memandikan jenazah.
1. Menutup aurat simayyit dengan handuk besar mulai pusar sampai dengan lututnya (laki-laki
dan perempuan sama) .
2. Melepas pakaian yang masih melekat ditubuhnya.
Caranya :
Pakaian :
a) Dimulai dari lengan sebelah kanan kearah kiri
b) Selanjutnya dari lobang baju (krah) kebawah
c) Setelah itu bagian depan ditarik dengan perlahan dari bawah handuk penutup auratnya. (ini
kalau mayyit mengenakan gamis atau baju panjang, kalau hanya kemeja cukup buka
kancingnya).
Celana :
a) Digunting sisi sebelah kanan dari atas sampai kebawah lalu sebelah kiri
b) Setelah itu bagian depan ditarik dengan perlahan dengan tetap menjaga handuk penutup.
Pakaian belakang mayyit :
- Tubuh mayyit dibalik ke sebelah kiri, pakaian digeser kekiri.
- Setelah itu dibalikkan lagi kekanan
3. Menggunting kuku tangan dan kaki kalau panjang .
4. Mencukur bulu ketiak, kalau tidak lebat dicabut saja.
5. Merapikan kumis.
6. Membersihkan hidung dan mulut serta menutupnya dengan kapas ketika dimandikan lalu
dibuang setelah selesai
h. Memandikan jenazah.
1. Bersihkan isi perut dengan tangan kiri yang telah terbalut
Angkat sedikit tubuh mayyit, tekan perutnya perlahan-lahan sebanyak tiga kali hingga keluar,
bersihkan kotoran itu dengan kain pembersih kemudian siram.
2. Wudhukan jenazah.
a) Bacalah basmallah.
b) Cuci tapak tangan mayyit 3 X.
c) Bersihkan mulut dan hidungnya 3 X
d) Wajah dan tangan kanan lalu kiri sampai dengan siku.
e) Kepala dan kedua telinganya.
f) Kaki kanan kemudian kirinya.
3. Cara menyiram air perasan daun bidara.
a) Siram kepala dan wajahnya dengan perasan dengan buihnya dulu.
b) Basuh tubuh bagian kanan dari pundak ketelapak kaki sebelah kanan terus kearak kiri.
c) Ulangi sekali lagi.
4. Menyiram dengan air kapur barus (caranya Idem).
5. Keringkan (usap) tubuh mayyit dari atas kebawah. Usahakan menggunakan handuk yang
halus.
Rambut wanita dikepang menjadi tiga.
Wajib berwudhu bagi yang memandikan dan dianjurkan mandi setelah selesai.
MENGKAFANI JENAZAH.
a. Ukuran kain kafan yang digunakan.
Ukurlah lebar tubuh jenazah. Jika lebar tubuhnya 30 cm, maka lebar kain kafan yang disediakan
adalah 90 cm. 1 : 3.
b. Ukurlah tinggi tubuh jenazah.
1. Jika tinggi tubuhnya 180 cm, maka panjang kain kafannya ditambah 60 cm.
2. Jika tinggi tubuhnya 150 cm, maka panjang kain kafannya ditambah 50 cm.
3. Jika tinggi tubuhnya 120 cm, maka panjang kain kafannya ditambah 40 cm.
4. Jika tinggi tubuhnya 90 cm, maka panjang kain kafannya ditambah 30 cm.
5. Tambahan panjang kain kafan dimaksudkan agar mudah mengikat bagian atas kepalanya dan
bagian bawahnya.
c. Tata cara mengkafani.
1. Jenazah laki-laki.
Jenazah laki-laki dibalut dengan tiga lapis kain kafan. Berdasar dengan hadits.
“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dikafani dengan 3 helai kain sahuliyah yang putih
bersih dari kapas, tanpa ada baju dan serban padanya, beliau dibalut dengan 3 kain tersebut.
a. Cara mempersiapkan tali pengikat kain kafan.
1. Panjang tali pengikat disesuaikan dengan lebar tubuh dan ukuran kain kafan. Misalnya
lebarnya 60 cm maka panjangnya 180 cm.
2. Persiapkan sebanyak 7 tali pengikat. ( jumlah tali usahakan ganjil). Kemudian dipintal dan
diletakkan dengan jarak yang sama diatas usungan jenazah.
b. Cara mempersiapkan kain kafan.
3 helai kain diletakkan sama rata diatas tali pengikat yang sudah lebih dahulu , diletakkan diatas
usungan jenazah, dengan menyisakan lebih panjang di bagian kepala.
c. Cara mempersiapkan kain penutup aurat.
1. Sediakan kain dengan panjang 100 cm dan lebar 25 cm ( untuk mayyit yang berukuran lebar
60 cm dan tinggi 180 cm), potonglah dari atas dan dari bawah sehingga bentuknya seperti popok
bayi.
2. Kemudian letakkan diatas ketiga helai kain kafan tepat dibawah tempat duduk mayyit,
letakkan pula potongan kapas diatasnya.
3. Lalu bubuhilah wewangian dan kapur barus diatas kain penutup aurat dan kain kafan yang
langsung melekat pada tubuh mayyit.
d. Cara memakaikan kain penutup auratnya.
1. Pindahkan jenazah kemudian bubuhi tubuh mayyit dengan wewangian atau sejenisnya.
Bubuhi anggota-anggota sujud.
2. Sediakan kapas yang diberi wewangian dan letakkan di lipatan-lipatan tubuh seperti ketiak dan
yang lainnya.
3. Letakkan kedua tangan sejajar dengan sisi tubuh, lalu ikatlah kain penutup sebagaimana
memopok bayi dimulai dari sebelah kanan dan ikatlah dengan baik.
e. Cara membalut kain kafan :
1. Mulailah dengan melipat lembaran pertama kain kafan sebelah kanan, balutlah dari kepala
sampai kaki .
2. Demikian lakukan denngan lembaran kain kafan yang kedua dan yang ketiga.
f. Cara mengikat tali-tali pengikat.
1. Mulailah dengan mengikat tali bagian atas kepala mayyit dan sisa kain bagian atas yang lebih
itu dilipat kewajahnya lalu diikat dengan sisa tali itu sendiri.
2. Kemudian ikatlah tali bagian bawah kaki dan sisa kain kafan bagian bawah yang lebih itu
dilipat kekakinya lalu diikat dengan sisa tali itu sendiri.
3. Setelah itu ikatlah kelima tali yang lain dengan jarak yang sama rata. Perlu diperhatikan,
mengikat tali tersebut jangan terlalu kencang dan usahakan ikatannya terletak disisi sebelah kiri
tubuh, agar mudah dibuka ketika jenazah dibaringkan kesisi sebelah kanan dalam kubur.
4. Mengkafani jenazah wanita.
Jenazan wanita dibalut dengan lima helai kain kafan. Terdiri atas : Dua helai kain, sebuah baju
kurung dan selembar sarung beserta kerudungnya. Jika ukuran lebar tubuhnya 50 cm dan
tingginya 150 cm, maka lebar kain kafannya 150 cm dan panjangnya 150 ditambah 50 cm.
Adapun panjang tali pengikatnya adalah 150 cm, disediakan sebanyak tujuh utas tali, kemudian
dipintal dan diletakkan sama rata di atas usungan jenazah. Kemudian dua kain kafan tersebut
diletakkan sama rata diatas tali tersebut dengan menyisakan lebih panjang dibagian kepala.
a. Cara mempersiapkan baju kurungnya.
1. Ukurlah mulai dari pundak sampai kebetisnya, lalu ukuran tersebut dikalikan dua, kemudian
persiapkanlah kain baju kurungnya sesuai dengan ukuran tersebut.
2. Lalu buatlah potongan kerah tepat ditengah-tengah kain itu agar mudah dimasuki kepalanya.
3. Setelah dilipat dua, biarkanlah lembaran baju kurung bagian bawah terbentang, dan lipatlah
lebih dulu lembaran atasnya (sebelum dikenakan pada mayyit, dan letakkan baju kurung ini di
atas kedua helai kain kafannya ).lebar baju kurung tersebut 90 cm.
b. Cara mempersiapkan kain sarung.
Ukuran kain sarung adalah : lebar 90 cm dan panjang 150 cm. Kemudian kain sarung tersebut
dibentangkan diatas bagian atas baju kurungnya.
c. Cara mempersiapkan kerudung.
Ukuran kerudungnya adalah 90 cm x90 cm. Kemudian kerudung tersebut dibentangkan diatas
bagian atas baju kurung.
d. Cara mempersiapkan kain penutup aurat.
1. Sediakan kain dengan panjang 90 cm dan lebar 25 cm.
2. Potonglah dari atas dan dari bawah seperti popok.
3. Kemudian letakkanlah diatas kain sarungnya tepat dibawah tempat duduknya, letakkan juga
potongan kapas diatasnya.
4. Lalu bubuhilah wewangian dan kapur barus diatas kain penutup aurat dan kain sarung serta
baju kurungnya.
e. Cara melipat kain kafan.
Sama seperti membungkus mayat laki-laki.
f. Cara mengikat tali.
Sama sepert membungkus mayat laki-laki.
Catatan :
1. Cara mengkafani anak laki-laki yang berusia dibawah tujuh tahun adalah membalutnya
dengan sepotong baju yang dapat menutup seluruh tubuhnya atau membalutnya dengan tiga helai
kain.
2. Cara mengkafani anak perempuan yang berusia dibawah tujuh tahun adalah dengan
membalutnya dengan sepotong baju kurung dan dua helai kain.
FATWA-FATWA TENTANG MEMANDIKAN DAN MENGKAFANI JENAZAH

Oleh :

Fadhilatusy Syaikh ’Abdullah bin Jibrin

Pertanyaan: Bagaimana cara memandikan jenazah itu? Dan bagaimana cara mengkafaninya?

Jawab: Memandikan jenazah adalah fardhu kifayah. Dan yang paling utama melakukannya, adalah
seseorang yang sudah diwasiati oleh si mayit untuk itu. Setelah itu kerabatnya yang terdekat, kemudian
siapa saja yang masih ada hubungan rahim dengannya.

Seorang lelaki boleh memandikan istrinya, dan seorang istri boleh memandikan suaminya. Wanita juga
boleh memandikan anak kecil lelaki yang belum berumur tujuh tahun. Dan seorang lelaki boleh
memandikan perempuan kecil yang belum berumur tujuh tahun.

Tetapi seorang wanita tidak boleh memandikan lelaki, meski ia mahramnya sendiri. Dan seorang lelaki
tidak boleh memandikan wanita, meski wanita itu adalah ibu atau putrinya, ia hanya boleh
mentayamumi mereka dengan debu.

Seorang muslim tidak boleh memandikan orang kafir, dan tidak pula mempersiapkan apapun dalam
kematiannya. Ia hanya boleh menimbunnya ke dalam tanah jika tidak ada seorang kafirpun yang
menguburnya.

Jika kita hendak memandikan jenazah, maka jenazah itu harus ditutup auratnya jika berumur lebih dari
tujuh tahun. Yang ditutupi adalah daerah antara pusar hingga lutut. Kemudian ia melepaskan seluruh
bajunya, dan menutupinya dari pandangan orang lain. Yakni jenazah itu diletakkan di dalam rumah yang
beratap, atau jika memungkinkan, jenazah tersebut dimandikan di dalam tenda.
Kemudian wajah sang mayit kita tutup. Tidak boleh ada orang lain hadir dalam pemandian ini, selain
seseorang yang membantu kita dalam proses pemandian. Disini niat adalah syarat. Sedang
mengucapkan basmalah adalah suatu kewajiban. Setelah itu kita mengangkat kepalanya hingga
mendekati posisi duduk. Kita memijit perutnya pelan-pelan, pada saat ini kita banyak-banyak
menyiramkan air, juga perlu mengasapi ruangan dengan kayu gaharu1 jika dikawatirkan ada sesuatu
yang keluar dari perutnya.

Lalu kita membelitkan kain ke tangan kita untuk membersihkan jenazah tadi dan menggosok-gosok
kedua kemaluannya. kita tidak boleh menyentuh aurat jenazah yang sudah berumur tujuh tahun keatas
kecuali dengan penghalang. Dan lebih utama jika tidak menyentuh seluruh anggota tubuh lainnya
kecuali dengan sarung tangan atau kain yang dibelitkan ke tangan kita.

Setelah itu, kita membelitkan sepotong kain pada kedua jari untuk membersihkan gigi-gigi, dan kedua
lobang hidungnya, tanpa memasukkan air ke dalam mulut atau hidung. Kemudian kita membasuhi
seluruh anggota wudhunya.

Kemudian kita menyiapkan air yang bercampur daun bidara atau bercampur sabun pembersih. Lalu kita
membersihkan kepala, serta jenggotnya dengan busa air tersebut. Dan membasuh sekujur tubuhnya
dengan sisa air tadi. Kemudian kita membasuh bagian samping kanan, lalu samping yang kiri, dimulai
dari kulit lehernya. Kemudian bahu hingga akhir telapak kakinya.

Lalu kita membalikkannya sembari membasuh tubuhnya. Kita mengangkat sisi bagian kanannya sambil
membasuh punggung dan pantatnya. Lalu membasuh sisi bagian kiri juga seperti itu. Kita tidak boleh
menelungkupkan jenazah di atas wajahnya. Setelah itu kita menyiramkan air ke sekujur tubuhnya.

Sedangkan yang sunnah adalah mengulang tiga kali cara mandi seperti ini, memulai yang kanan dari
setiap sisi tubuhnya, dan terus mengurutkan tangan pada perutnya pada setiap pemandian. Jika tiga kali
pengurutan belum juga membersihkan perut, maka kita tambah hingga perut itu benar-benar bersih,
meski hal itu kita lakukan hingga tujuh kali. Dan disunnahkan menghentikan pengurutan ini pada
bilangan yang ganjil.

Saat memandikan, menggunakan air panas adalah sangat dimakruhkan. Demikian pula dengan
membersihkan sela-sela gigi dan menggunakan air dingin, kecuali saat diperlukan.
Jika wanita, maka kita mengelabang rambutnya menjadi tiga kali dan kita letakkan pada bagian belakang
kepalanya. Pada pemandian yang terakhir, kita mencampur airnya dengan kapur barus dan daun bidara.
Kecuali jika sang mayit dalam keadaan ihram dengan ibadah haji atau umrah, maka hal itu tak perlu
dilakukan.

Lalu kita cukur kumisnya, dan kita potong kukunya jika panjang-panjang. Kemudian kita handuki. Jika
masih keluar sesuatu dari perut, padahal kita sudah mengurut perutnya sebanyak tujuh kali, maka
tempat keluar kotoran itu kita tutup dengan kapas. Jika kapas tidak mempan, maka kita menggunakan
tanah yang panas. Setelah itu tempat keluarnya kotoran itu kita bersihkan dan kita wudhui lagi
jenazahnya.

Jika jenazah yang kita mandikan adalah seseorang yang sedang ihram, maka kita memandikannya tanpa
minyak wangi dan tanpa harum-haruman. Tubuhnya dibersihkan dengan sabun dan daun bidara jika
perlu saja. Dan kepalanya tetap dibiarkan terbuka.

Anak yang gugur (lahir dalam keadaan mati) jika sudah berumur empat bulan, juga orang-orang yang
sulit dimandikan seperti yang mati terbakar dan yang hancur lebur, maka ia hanya ditayammumi.
Sedang orang yang memandikan, ia wajib menutupi bagian tubuhnya yang buruk.

Mengkafani jenazah hukumnya adalah fardhu kifayah. Untuk kain kafan, kita mengutamakan
membelinya terlebih dahulu dari harta pribadinya, sebelum kita gunakan untuk melunasi hutang dan
tanggungannya yang lain. Jika si mayit tidak memiliki harta, maka kita mengambil uang untuk membeli
kain kafan itu dari orang yang wajib menafkahinya, yaitu pada saat tak ada seorangpun yang berderma
untuk membelikan kain kafan buat si mayit.

Jenazah seorang lelaki, dikafani dengan tiga lembar kain putih dari katun atau semisalnya. Lalu sebagian
kain itu dibentangkan atas sebagian yang lain. Dan sebelumnya kain-kain itu sudah disemprot dengan
air, kemudian diasapi dengan semisal kayu gaharu.

Bagian paling atas sendiri, kita taruh kain yang terbaik. Lalu kita menebar harum-haruman diantara kain
yang atas ini, dan memberi parfum pada setiap lembar kain-kain tersebut2. Setelah itu si mayit
diletakkan di atasnya, kita mengambil sedikit harum-haruman lalu ditaruh pada kapas dan diletakkan
diantara kedua pantatnya. Kemudian kita mengikatnya dari atas dengan kain yang terbelah ujungnya,
seperti bentuk celana dalam, yang bisa mengikat erat antara dua pantat dan kandung kemihnya.

Kemudian harum-haruman yang masih tersisa kita letakkan pada setiap lobang yang ada pada wajah dan
anggota-anggota wudhunya. Jika kita mengharumi seluruh tubuhnya, maka itu lebih baik.

Setelah itu kain paling atas, yang ada di sebelah kanan mayit, ditutupkan pada bagian kirinya. Dan kain
yang disebelah kiri ditutupkan pada bagian kanannya. Kemudian seperti itu pula kita lakukan pada kain
kedua dan ketiga. Dan kita menjadikan kain yang banyak lebihnya ada di bagian kepala. Lalu bagian
tengah setiap kain itu kita ikat. Ikatan itu baru dibuka kembali saat jenazah dimasukkan dalam kuburan.
Kita juga dibolehkan, jika mengkafani jenazah lelaki dengan baju, sarung dan selembar kain.

Adapun yang disunnahkan pada jenazah seorang wanita, ia harus dikafani dalam lima kain. Sarung untuk
menutupi aurat, kerudung untuk menutup kepala, baju gamis yang dilobangi tengahnya untuk
memasukkan kepala dari lobang tersebut, kemudian dua lembar kain yang ukurannya seperti kain kafan
jenazah lelaki.

Sedangkan yang wajib untuk kafan jenazah laki-laki dan perempuan, adalah satu lembar kain yang bisa
menutupi seluruh tubuhnya.

******

Pertanyaan: Siapa sajakah yang diwajibkan untuk mengurusi jenazah?

Jawab: Kepengurusan jenazah diwajibkan atas sanak kerabatnya. Adapun biaya kepengurusannya,
seperti kain kafan, wangi-wangian, upah penggalian kubur, upah penggotongan jenazah –jika yang
menggotongnya perlu dibayari-, demikian pula dengan upah orang yang memandikan, maka ini semua
diambil dari harta pribadi sang mayit. Ini lebih didahulukan ketimbang membayar hutang dan membayar
tanggungan lainnya.

Jika si mayit tidak memiliki harta, maka wajib bagi orang yang diharuskan menafkahinya untuk
membayar semua biaya di atas. Tetapi jika ada seseorang yang menyumbang untuk biaya kepengurusan
jenazah tersebut, maka hal ini dibolehkan, meski seandainya si mayit meninggalkan banyak harta yang
melimpah.

Jika sanak kerabat saling berselisih, setiap orang ingin menanggung kepengurusan, pemandian, dan
pengkafanan, maka didahulukan seseorang yang paling dekat hubungan rahim terhadap sang mayit. Hal
ini jika si mayit tidak meninggalkan wasiyat kepada siapapun.

Tapi, seandainya si mayit berwasiyat kepada seseorang tertentu, dia berkata misalnya, “Tidak boleh
memandikanku kecuali si fulan.” Maka si fulan yang diberi wasiyat itulah yang berkewajiban
memandikannya.

Namun, jika si mayit tidak memberi wasiyat seperti yang diterangkan di atas, maka lebih diutamakan
yang paling dekat, dari ayahnya, kemudian putranya, kemudian yang paling dekat, dan yang paling
dekat. Allahu a`lam.

******

Pertanyaan: Lelaki dan wanita manakah dari kerabat jenazah yang berhak memandikan jenazah, baik
jenazah itu laki-laki ataupun perempuan? Karena kami melihat beberapa lelaki masuk ke tempat
pemandian jenazah, tak peduli apakah itu jenazah lelaki, perempuan, sanak kerabat, ataupun jenazah
orang asing. Apakah tindakan seperti ini dibenarkan?3

Jawab: Jenazah lelaki hanya dimandikan oleh kaum lelaki. Tetapi boleh bagi wanita untuk memandikan
suaminya. Sedangkan jenazah wanita, hanya dimandikan oleh kaum wanita. Tetapi boleh bagi seorang
lelaki untuk memandikan istrinya. Sebab dua orang suami istri, masing-masing dari mereka boleh
memandikan yang lainnya. Karena Ali bin Abi Thalib Radhiyallohu ‘anhu telah memandikan istrinya, yaitu
Fatimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam4. Demikian pula dengan Asma` binti Umais
Radhiyallohu ‘anha, ia telah memandikan suaminya, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallohu ‘anhu.5

Adapun selain suami istri, maka tidak boleh bagi para wanita untuk memandikan kaum lelaki, dan tidak
boleh pula bagi kaum lelaki untuk memandikan kaum perempuan. Setiap jenis kelamin hanya
memandikan yang sama dengan jenisnya. Dan masing-masing dari dua jenis ini tidak boleh melihat aurat
yang lain. Kecuali anak kecil yang belum tamyiz6, maka tidak mengapa untuk memandikannya, baik yang
memandikan itu kaum lelaki dan perempuan. Karena anak kecil itu tidak ada aurat baginya.
******

Pertanyaan: Apakah benar jika seorang wanita mengurus pemandian anak kecil lelaki di bawah umur
tujuh tahun?

Jawab: Hal ini dibolehkan, karena anak kecil lelaki tidak mempunyai aurat. Sebagaimana seorang ibu
boleh mengurus kebersihannya di waktu kecil. Sang ibu mencebokinya dan langsung menyentuh
kemaluannya padahal anak kecil itu hidup. Karena hal itu memang diperlukan. Juga karena Ibrahim
putra Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, ia dimandikan oleh para wanita, seperti disebutkan para ulama
fiqih dalam kitab Al-Ahkam (pembahasan mengenai hukum-hukum)7.

Para ulama fiqih juga menyebutkan bahwa perempuan kecil di bawah umur tujuh tahun, kaum lelaki
boleh mengurus pemandiannya. Boleh menyentuh auratnya dan langsung melihat kemaluannya. Meski
lebih diutamakan jika yang memandikannya adalah kaum wanita. Tetapi kebutuhan mendesak, kadang-
kadang mengharuskan kaum lelaki untuk melakukannya. Allahu a`lam.

******

Pertanyaan: Apakah perhiasan seorang wanita yang meninggal, wajib dilepaskan sebelum ia
dikuburkan?

Jawab: Benar! Hal itu adalah wajib. Karena melepas perhiasan tidaklah merusak badan sang wanita dan
tidak pula berpengaruh padanya. Maka untuk perhiasan yang ada di tangan, tidak ada pengaruh ketika
melepasnya. Demikian pula dengan perhiasan yang ada di lengan, telinga, dan hidung. Semua perhiasan
ini jika dilepas, tidaklah berpengaruh terhadap wanita yang meninggal ini.

Karena itu maka wajib melepas semua perhiasan itu darinya dan tidak dibiarkan terkubur bersamanya.
Sebab membiarkan perhiasan itu terkubur bersamanya, berarti kita sama dengan menghancurkan harta.
Padahal orang yang hidup lebih membutuhkan perhiasan-perhiasan itu, seharusnya orang hidup itulah
yang menjadi pemiliknya.

******
Pertanyaan: Jika seorang jenazah dalam mulutnya terdapat gigi emas, apakah gigi itu diambil sebelum ia
dikubur, atau dibiarkan saja?

Jawab: Jika mencabutnya memang mudah, karena si mayit sewaktu hidup biasa mencabut gigi tersebut,
juga dengan mencabutnya ini tidak bakal merusak mulut atau berpengaruh padanya, maka harus
dilakukan adalah mencabut gigi emas itu darinya. Sebab gigi emas itu mempunyai nilai, dan orang yang
hidup lebih berhak untuk memilikinya.

Tetapi jika dikawatirkan, seandainya gigi itu dicabut maka mulutnya terus terbuka, atau membuat
pemandangannya semakin menakutkan, maka yang paling baik adalah menghindari pencabutan. Karena
yang kita perhatikan, banyak dari para jenazah, yang seandainya orang-orang yang memandikan itu
membuka langit-langit mulutnya, mereka tidak bisa menutupnya kembali, dan mulut itu tetap
menganga.

Dan yang serupa dengan mulut adalah mata. Karena sering kita perhatikan, jika mata si mayit terbuka
dan terus dibiarkan terbuka hingga meninggal dunia, maka mata itu akan terus terbuka dan tidak bisa
ditutup.

Berdasarkan hal ini, maka sangat diharuskan bagi siapapun yang menghadiri saat-saat sekarat
seseorang, untuk segera memejamkan kedua matanya sebelum ia meninggal dunia, atau saat meninggal
dunia. Demikian pula ia harus menutup mulutnya, sehingga mulut itu terus tertutup dan mata terus
terpejam. Allahu a`lam.

******

Pertanyaan: Saat memandikan jenazah, apakah kita disyariatkan untuk membersihkan kumis, bulu
ketiak, bulu kemaluan dan kuku-kukunya, ataukah kita membiarkannya begitu saja?

Jawab: Saat memandikan jenazah, kita disyariatkan membersihkan kumis, demikian pula dengan bulu
ketiak, dan kuku-kuku. Adapun rambut kemaluan, maka pendapat yang sahih, bahwa rambut itu
dibiarkan saja tidak diutak-atik karena ia adalah aurat. Dan aurat itu tidak boleh disentuh setelah
pemiliknya meninggal dunia. Bahkan tidak halal bagi kita untuk menyentuh auratnya baik ia hidup atau
mati.
******

Pertanyaan: Apa yang kita lakukan terhadap bulu kumis, bulu ketiak, dan kuku yang diambil dari orang
mati?

Jawab: Rambut dan kuku-kuku, dibungkus bersama si mayit dalam sebuah tas kecil, atau bungkusan
lainnya, kemudian dikubur bersama si mayit. Dan boleh pula membuangnya di tanah bersama sampah-
sampah yang lain, sama seperti rambut orang hidup tanpa ada rasa jijik dan lain sebagainya.

******

Pertanyaan: Ada seorang lelaki meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas. Badannya terluka sangat
parah, seandainya dimandikan, air akan merusak seluruh tubuhnya. Maka apa yang harus kami lakukan?

Jawab: Jenazah ini dimandikan semampunya saja. Jika air bisa disiramkan ke sekujur tubuh dan tidak
berpengaruh padanya, maka kita harus menyiramkan air ke tubuhnya tanpa menggosok-gosok. Tetapi
jika sang jenazah keluar otaknya, ususnya terburai, atau potongan dagingnya kocar-kocir, maka disini
kita hanya memandikan bagian tubuh yang bisa dimandikan, sedang yang lain cukup diusap saja.

******

Pertanyaan: Saat memandikan anak kecil, apakah kita wajib menutup auratnya atau tidak?

Jawab: Anak kecil yang berumur di bawah tujuh tahun, ia tidak memiliki aurat baik laki-laki atau
perempuan. Karena itu kita tidak wajib menutupi sesuatupun dari anggota tubuhnya saat memandikan.
Tetapi jika jenazah itu lebih dari tujuh tahun, maka kita wajib menutupi anggotanya yang diantara pusar
hingga lutut.

*****

Pertanyaan: Bolehkah kita mengkafani mayit dengan selain kain putih?


Jawab: Boleh, tetapi yang lebih baik adalah mengkafaninya dengan kain putih. Karena disebutkan dalam
sunan Abi Dawud bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,

َ ‫))ا ِْل َبسُوا مِنْ ِث َي ِاب ُك ُم ْال َب َي‬8


((‫اض َفإِ َّن َها مِنْ َخي ِْر ِث َي ِاب ُك ْم َو َك ِّف ُنوا فِي َها َم ْو َتا ُك ْم‬

“Pakailah untuk baju kalian kain-kain yang putih, karena kain putih adalah sebaik-baik baju kalian, dan
kafanilah dengannya orang-orang yang mati dari kalian.”

******

Pertanyaan: Berapakah jumlah tali yang kita ikatkan pada kafan sang mayit?

Jawab: Yang disebutkan dalam sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebanyak tujuh ikatan. Sudah
masuk padanya ikatan pada kepala dan ikatan pada kedua kaki. Tetapi ikatan ini boleh lebih dari itu
sesuai dengan kebutuhan.

******

Pertanyaan: Ada seorang muslim yang membunuh muslim lainnya, kemudian sang muslim pembunuh ini
diberi hukuman bunuh juga. Pertanyaan kami, apakah muslim yang pembunuh ini jika sudah dibunuh, ia
harus dimandikan dan dishalati?

Jawab: Benar, ia harus dimandikan dan dishalati. Sebab ia tidak keluar dari lingkaran agama Islam.

******

Pertanyaan: Apakah seseorang yang bunuh diri harus dimandikan dan dishalati?9
Jawab: Seseorang yang bunuh diri, ia tetap dimandikan, dishalati, dan dikubur di pekuburan kaum
muslimin. Karena ia hanya berbuat maksiat dan tidak kafir. Sebab bunuh diri hanyalah sebuah
kemaksiatan bukan suatu kekafiran. Maka, jika ada seseorang yang melakukan bunuh diri –mudah-
mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita dari perbuatan ini-, ia tetap dimandikan, dishalati,
dan dikafani.

Tetapi wajib bagi pemimpin tertinggi, dan orang-orang yang mempunyai jabatan penting, untuk tidak
menyalatinya. Karena ini sebagai bentuk pengingkaran dari mereka, sehingga tidak ada seorangpun yang
menduga bahwa para petinggi itu meridhai perbuatan bunuh diri tersebut.

Jadi! Seorang pemimpin Negara, sultan, hakim, gubernur, atau bupati, jika mereka tidak menyalati
pelaku bunuh diri, sebagai bentuk pengingkaran dan pemberitahuan kepada para manusia bahwa ini
adalah perbuatan yang salah, maka ini baik sekali. Tetapi kaum muslimin lainnya tetap harus menyalati
pelaku bunuh diri itu.

******

Pertanyaan: Saya telah memandikan jenazah, tetapi saya tidak mandi setalah itu. Kemudian saya
mengerjakan banyak shalat. Apakah saya berdosa dalam hal ini?

Jawab: Mengenai memandikan jenazah, ada sebuah hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan
sanad yang sahih, yaitu sabda beliau yang berbunyi,

((ْ‫)) َمنْ َغ َّس َل َميِّتا ً َف ْل َي ْغ َتسِ ْل َو َمنْ َح َملَ ُه َف ْل َي َت َوضَّأ‬10

“Barangsiapa memandikan orang mati, maka hendaklah ia mandi. Sedangkan siapapun yang
menggotongnya maka hendaknya ia berwudhu.”

Hadits ini didhaifkan oleh kebanyakan para ulama`. Sedangkan ulama lainnya mensahihkannya, dan
sebagian ulama yang lain memilih berhenti (tawaqquf) pada matannya.
Para ulama yang memilih tawaqquf ini berkata, “Apa yang membuat kita harus mandi, karena orang
yang memandikan jenazah tidak melakukan perbuatan apapun yang mengharuskannya mandi.” Sebab
itulah mereka memilih untuk tawaqquf pada matannya.

Adapun para ulama yang mensahihkan hadits ini mereka meyakini bahwa mandi disini adalah hal yang
mustahab. Jadi mereka mengatakan, “Sesungguhnya mandi adalah mustahab bagi orang yang
memandikan mayit.”

Sedangkan sebagian ulama yang lain, mewajibkan berwudhu bagi orang yang memandikan, jika ternyata
ia tidak mandi. Maka mereka berkata, “Mandi hanyalah sunnah muakkadah, tetapi jika tidak mandi
maka ia wajib berwudhu, wudhu inilah kewajiban yang paling sedikit atasnya.”

******

Pertanyaan: Jika saya membawa jenazah, apakah saya wajib berwudhu atau tidak?

Jawab: Mengenai berwudhu bagi seseorang yang membawa mayit, ada sebuah hadits dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang berbunyi,

((ْ‫)) َمنْ َغ َّس َل َميِّتا ً َف ْل َي ْغ َتسِ ْل َو َمنْ َح َملَ ُه َف ْل َي َت َوضَّأ‬11

“Barangsiapa memandikan orang mati, maka hendaklah ia mandi. Sedangkan siapapun yang
menggotongnya maka hendaknya ia berwudhu.”

Barangkali maksud hadits di atas, khusus buat orang yang mendekapnya bukan orang yang membawa
jenazah dalam keranda. Sehingga, ketika Abdullah bin Abbas Radhiyallohu ‘anha dan Abdullah bin Umar
Radhiyallohu ‘anha membawa jenazah dalam keranda, kemudian dikatakan kepada mereka,
“Berwudhulah!”, keduanya menjawab,

((‫)) َما أَ َت َوضَّأ ُ مِنْ َحمْ ِل َخ َش َب ٍة‬


“Saya tidak perlu berwudhu hanya karena membawa kayu.”

Maksudnya, mereka tidak membawa apapun selain hanya kayu, dan tidak menyentuh apapun selain
kayu belaka. Adapun seseorang yang mendekap jenazah yang sudah meninggal, yang bisa jadi dalam
keadaan tanpa busana, atau mirip tanpa busana, maka hendaklah ia berwudhu berdasarkan pada hadits
di atas.

Dinukil dari al-Muqorrib li Ahkaamil Jana`iz : 148 Fatawa fil Jana`iz, penyusun : ‘Abdul ‘Aziz bin
Muhammad al-‘Arifi, dimuroja’ah oleh : ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, Penerbit : Dar ath-
Thayibah, Riyadh, 1418 H/1997 M.

1 Yaitu kayu yang harum baunya, yang dibakar di atas arang. Setelah terbakar asapnya akan
mengeluarkan keharuman yang semerbak kemana-mana.

2 Maksudnya kain-kain yang dibawahnya juga diberi parfum. Allahu a`lam.

3 Shalih Al-Fauzan, Al-Muntaqa, 1/78

4 Lihat, Al-Mushannaf fi Al-Ahaadits wa Al-Aatsaar karya Ibnu Abi Syaibah, 2/455, 456; juga Al-
Mushannaf karya Abdurrazzaq Ash-Shan`ani, 3/408-411. hadits ini dihukumi hasan oleh Al-Albani. Lihat
pula, Irwa` Al-Ghalil, 3/162

5 Lihat, Al-Mushannaf fi Al-Ahaadits wa Al-Aatsaar karya Ibnu Abi Syaibah, 2/455, 456; juga Al-
Mushannaf karya Abdurrazzaq Ash-Shan`ani, 3/408-411.

6 Di bawah umur tujuh tahun, belum baligh dan belum bisa membedakan mana yang benar dan mana
yang buruk.

7 Lihat, Manar As-Sabiil, 1/166


8 HR. Abu Dawud, 2/176 dan At-Tirmidzi, 2/132

9 Syaikh Abdullah bin Baaz, Fatawa Islamiyyah, 2/62

10 HR. Abu Dawud, 2/62-63; At-Tirmidzi, 2/132, beliau menghukuminya hasan. Juga diriwayatkan oleh
Ibnu Hibban, Ath-Thayalisi, dan Imam Ahmad, 2/80, 433, 454, 472. Hadits ini dihukumi sahih oleh Al-
Albani.

11 HR. Abu Dawud, 2/62-63; At-Tirmidzi, 2/132, beliau menghukuminya hasan. Juga diriwayatkan oleh
Ibnu Hibban, Ath-Thayalisi, dan Imam Ahmad, 2/80, 433, 454, 472. Hadits ini dihukumi sahih oleh Al-
Albani.

* Dalam kitabnya al-Umm (1/249) Imam Syâf'î r.a berkata:


Orang yang memandikan mayat dianjurkan agar menjauhkan tangannya sehingga –tanpa dilapisi
kain- ia tidak menyentuh bagaian kelaminnya. Dan seandainya ia melakukan hal tersebut (tidak
menyentuh tanpa dilapisi sepotong kain) untuk bagian tubuh lainnya, maka hal itu sangat aku
sukai.

Aku menambahkan: hal ini juga sangat didukung oleh anjuran menghargai kehormatan orang
yang telah meninggal dunia.

Ibnu al-Qudâmah r.a berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Mughni
(2/457):
Dianjurkan terhadap orang yang memandikan mayat agar membungkus tangannya dengan kain
yang sedikit lebih tebal. Dengan kain tersebut ia menyapu dan membersihkan tubuh mayat
tersebut, agar tidak sampai menyentuh –langsung- bagian kelaminnya. Sebab jika memandang
kelamin hukumnya haram, tentunya apalagi menyentuhnya.[1]

APAKAH SAAT MEMANDIKAN MAYAT JUGA DIANJURKAN MEN


SIWAK (MENGGOSOK) GIGINYA?

* Dalam kitabnya al-Muhazzab (al-Muhazzab dan al-Majmû' 5/169), Imam as-Syairâzî r.a
berkata:
Dianjurkan terhadap orang yang memandikan mayat, memasukan jarinya kedalam mulut mayat
tersebut, lalu menggosok giginya.

* Perkataan Imam as-Syairâzî r.a ini disyarah oleh Imam Nawawi r.a, sebagaimana yang
disebutkan dalam kitabnya al-Majmû' (5/171):
Makna dari perkataan Imam Syairâzî r.a adalah: memasukan jarinya diantara kedua bibir orang
yang meninggal tepat diatas giginya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh ulama mazhab
Syâf'î.

APAKAH KUKU DAN RAMBUT MAYAT YANG TUMBUH DIBAGIAN


BAWAH PERUT HARUS DIPOTONG?

Kami tidak mengetahui satu nash hadits pun yang diriwayatkan dari Rasulullah s.a.w tentang hal
ini, baik perintah maupun larangan. Oleh sebab itu maka yang menjadi standar adalah dalil al-
barâ'ah al-ashliyah, yakni; dibolehkan memotong kuku dan mencukur rambut yang tumbuh pada
bagi bawah perut mayat. Hal ini juga termasuk dari kemaslahatan si mayat tersebut.

Namun sebagian ulama ada yang menyimpulkan kebolehan tersebut berdasarkan hadits Abu
Hurairah r.a tentang kisah wafatnya Khubaib, yang mana disebutkan dalam riwayat tersebut: …
maka orang-orang membawa Khubaib dan Zaid ibn ad-Datsnah, kemudian mereka menjual
keduanya setelah peperangan Badar. Maka keluarga laki-laki al-Hârits ibn 'Âmir ibn Naufal
membeli Khubaib. Sementara itu –ketika terjadinya peperangan Badar- Khubaib adalah orang
yang telah membunuh al-Hârits bin Naufal. Maka Khubaibpun –setelah dibeli- mereka jadikan
sebagai tawanan perang. Sampai akhirnya mereka sepakat untuk membunuhnya.

Setelah kesepakatan tersebut. sebelum dibunuh, Khubaib meminjam sebuah pisau kecil dari
keluarga perempuan al-Hârits untuk terlebih dahulu memotong kuku dan rambut bagian bawah
perutnya. Dan merekapun meminjamkannya[2]…

Dari redaksi riwayat yang berbunyi: "memotong kuku dan rambut bagian bawah perut", mereka
menyimpulkan bahwa hal tersebut dibolehkan, sebab Khubaib melakukannya untuk bersiap-siap
menerima ajal. Karena ia tahu –ketika berada ditangan orang-orang musyrik- mereka tidak akan
melakukannya setelah ia meninggal dunia.

Diantara ulama yang menjadikan kisah ini sebagai dalil untuk masalah diatas, adalah: Imam
Baihaqi r.a dengan perkataannya –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya as-Sunan al-
Kubra (3/390): Bab: orang sakit dibolehkan memotong kuku dan mencukur rambut bagian
bawah perutnya.

Dibawah ini sebagian perkataan dan pendapat ulama tentang masalah diatas:
* Dalam kitabnya al-Mushannaf (3/247) Ibnu Abi Syaibah r.a berkata:
Diriwayatkan dari Ismail ibn 'Aliyyah, dari Khalid al-Hidzâ', dari Abu Qilâbah, bahwasanya
Sa'ad pernah memandikan orang mati, lalu beliau meminta pisau kecil untuk menggundulinya.
(Para periwayatnya adalah orang-orang tsiqah[3])
Riwayat ini juga disebutkan oleh Abdu ar-Razzâq r.a dalam kitabnya al-Mushannaf
(3/437), dan –telah diisyaratkan oleh- Imam Baihaqi r.a dalam kitabnya as-Sunan al-
Kubra (3/390).

* Ibnu Abi Syaibah r.a juga menyebutkan (3/247) :


Diriwayatkan dari Yazîd ibn Hârûn, dari Humaid dari Bakr[4]; bahwasanya apabila Beliau
melihat rambut atau kuku yang panjang pada seorang mayat maka beliau memotongnya.
(Shahih dari Bakr)

* Ibnu Abi Syaibah r.a menyebutkan lagi (3/246) :


Diriwayatkan dari at-Tsaqafî, dari Ayyûb, dari Muhammad[5], bahwa beliau tidak suka
memotong kuku atau mencukur rambut yang tumbuh pada bagian bawah perut dari orang yang
telah meninggal dunia. Beliau berkata: seyogianya keluarga orang yang sedang sakit, melakukan
hal tersebut disaat dia sedang sakit keras.
(Shahih dari Ibnu Sîrîn)

Riwayat ini juga disebutkan oleh Abdu ar-Razzâq r.a dalam kitabnya al-Mushannaf
(3/436)

* Ibnu Abi Syaibah r.a juga menyebutkan:


Diriwayatkan dari Abdullah ibn Mubârak, dari Hisyâm, dari Muhammad; bahwa beliau sangat
setuju apabila sakit seseorang sudah sangat parah, untuk mencukur kumis, memotong kuku dan
rambut yang tumbuh pada bagian bawah perutnya. Sehingga apabila orang itu telah meninggal
dunia maka rambut dan kuku tersebut tidak perlu lagi ditanggalkan darinya.
(Shahih dari Ibnu Sîrîn)

* Beliau menyebutkan lagi (3/247) :


Diriwayatkan dari Ismail ibn 'Aliyyah, dari Syu'bah, dari Manshûr, dari al-Hasan, beliau
berkata: Dianjurkan untuk memotong kuku orang yang telah meninggal. Syu'bah berkata: hal
tersebut aku tanyakan kepada Hammâd, ternyata beliau tidak menerimanya, lalu beliau berkata:
apakah seandainya orang yang meninggal tersebut tidak berkhitan, lantas ia harus dikhitan juga?"
(Shahih)

* Imam Syâf'î r.a berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Umm (1/248):
Apabila terdapat pada tangan orang yang telah meninggal –kuku- dan pada bagian bawah
perutnya rambut. Maka sebagian ulama tidak setuju menanggalkannya dari mayat tersebut.
Namun ada juga sebagian ulama yang membolehkan mencukurnya dengan obat penghilang
bulu/rambut, atau dengan gunting, dan memotong kukunya setelah orang tersebut meninggal
dunia. Sebab bagi seorang mayat hal tersebut –ketika masih hidup- termasuk dari al-fitrah
(kesucian).

Namun tidak dibolehkan mencukur rambut kepala dan janggutnya. Sebab hal tersebut hanya
dilakukan untuk keindahan atau diwaktu menunaikan ibadah haji dan umrah saja.

* Dalam kitabnya al-Muhazzab (5/178) Imam as-Syairâzî r.a berkata:


Ada dua pendapat yang berbeda, tentang memotong kuku, mencukur rambut yang tumbuh pada
bagian bawah perut, atau menggunting kumis dari orang yang telah meninggal dunia:
Pertama: hal tersebut harus dilakukan sebab ia termasuk pembersihan, maka untuk
merealisasikannya, ia tetap dianjurkan sekalipun setelah meninggal dunia.
Kedua: Hukumnya makruh. Pendapat ini telah dikatakan oleh al-Muznî r.a, karena hal tersebut
sama dengan memotong bagian tubuhnya, oleh sebab itu sama hukumnya dengan mengkhitan
orang mati. Yakni; hukumnya makruh.

* Imam Nawawi r.a berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Majmû'-:
Ada dua pendapat yang berbeda yang telah diriwayatkan dari Imam Syâf'î r.a, tentang memotong
kuku, mencukur rambut yang tumbuh pada bagian bawah perut, atau menggunting kumis dan
mencabut bulu ketiak dari orang yang telah meninggal dunia:
Qaul Jadîd (pendapat Imam Syâf'î r.a yang beliau katakana setelah berada di Mesir): Hal
tersebut tetap harus dilakukan.
Qaul Qadîm: Hal tersebut tidak perlu dilakukan.

Sebagian ulama mengatakan, bahwa setelah dimandikan maka mayat tersebut harus dikeringkan
dengan handuk atau sejenisnya:

* Disebutkan dalam kitabnya al-Mughni (2/464):


Syarah masalah: Dan mayat tersebut harus dikeringkan dengan baju.. Pada kesimpulannya:
apabila seseorang telah selesai memandikan mayat, maka ia dianjurkan untuk mengeringkannya
dengan baju, agar kain kafannya tidak ikut menjadi basah.

* Imam Syâf'î r.a berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitanya al-Umm (1/249):
Kemudian mayat tersebut –setelah dimandikan- dikeringkan dengan selembar baju, dan apabila
telah kering maka barulah dibungkus kedalam kain kafannya.

* Imam Nawawi r.a berkata –dalam kitanya al-Majmû' (5/176):


Imam Syâf'î r.a dan murid-muridnya mengatakan: apabila seseorang telah selesai memandikan
orang yang meninggal, maka disunnahkan untuk mengeringkan tubuhnya dengan baju sampai
kering total. Hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama.

Murid-murid Imam Syâf'î r.a berkata: ini bebeda dengan orang yang selesai mandi dari hadats
besar atau selesai berwudhu –keduanya disunnahkan untuk tidak mengeringkan tubuh atau
anggota tubuh yang disiram dengan air wudhu-. Karena mayat yang telah dimandikan, tubuhnya
harus dalam keadaan kering, agar tidak menyebabkan kain kafannya menjadi basah.

[1]. Aku menambahkan: akan tetapi ada sedikit keringanan jika orang yang memandikan, dengan
mayat tersebut memiliki hubungannya sebagai suami istri, maka hal tersebut dibolehkan. Ini
berdasarkan pendapat yang mengatakan,  bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu.

Dalam kitabnya al-Majmû' (5/138) Imam Nawawi r.a berkata: apabila seorang suami
memandikan istrinya yang meninggal, atau sebaliknya (istri memandikan suaminya yang
meninggal), maka seyogianya ia membungkus tangannya dengan selembar kain, agar tidak
menyentuh langsung kulit orang yang dimandikan. Namun apabila ia tidak melakukannya
(membungkus tangan dengan selembar kain), maka al-Qadhi al-Husin dan pengikutnya
berpendapat: mandi mayat tersebut hukumnya sah, dan hukum ini tidak ada kaitannya dengan
pendapat yang mengatakan bahwa menyentuh wanita –yang bukan mahram- membatalkan
wudhu. Sebab syara' telah membolehkan menyentuhnya –tanpa dilapisi oleh sesuatu- ketika hal
tersebut diperlukan. Adapun orang yang menyentuh, maka al-Qadhi al-Husin menegaskan bahwa
wudhunya menjadi batal. Dan disana ada pendapat lain, namun sangat lemah, sebagaimana yang
telah kita bahas pada bab: sesuatu yang membatalkan wudhu.

Aku mengomentari: bahkan pendapat yang mengatakan bahwa menyentuh kulit wanita yang
bukan mahram tanpa dilapisi sesuatu dapat membatalkan wudhu, adalah pendapat yang lemah.
Dan masalah ini telah kami kupas ketika memaparkan pembahasan tentang al-thahârah, yakni
pembahasan yang berjudul: apakah batal wudhu seorang laki-laki yang hanya sekedar
menyentuh wanita –tidak sampai memasukan penis kedalam lubang vagina-?. Silakan lihat
kembali.

[2] . Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari r.a (hadits no. 3989), Imam Ahmad r.a
(2/294 dan 310), Abu Daud r.a (2660 dan 2661) dan yang lainnya. Riwayat ini dapat dilihat lebih
lengkapnya dalam buku kami: as-Shahîh al-Musnad min Fadhâ'il al-Shahâbah.
[3] . Riwayat ini dikhawatirkan telah dimursalkan oleh Abu Qilâbah, sebab dia adalah orang yang
sering memursalkan riwayat, dan kami tidak pernah mengetahui suatu bukti yang menegaskan
bahwa telah mendengarnya dari Sa'ad r.a.
[4] . Dia adalah Bakr ibn Abdullah al-Muznî r.a.
[5] . Dia adalah Muhammad ibn Sîrîn r.a.

You might also like