You are on page 1of 24

TUJUAN PERNIKAHAN

KRISTEN
Wednesday, 06 December 2006

KEJADIAN 17:15

http://www.gpdi-lippocikarang.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=1315&Itemid=153

Selanjutnya Allah berfirman kepada Abraham: "Tentang isterimu Sarai, janganlah


engkau menyebut dia lagi Sarai, tetapi Sara, itulah namanya

Covenant terjadi dengan perubahan nama.

Sarai dirubah jadi Sarah. Di Perjanjian Baru begitu kita lahir baru maka kita
mendapat sebutan baru

"Kristen". Saudara mendapat nama "Kristus." Dalam pernikahan juga biasanya


terjadi pertukaran nama. Biasanya istri memakai nama suami. Sehingga kita
mengenal , "Nyonya......"
Covenant biasanya terjadi karena iman, seperti hubungan Abraham dengan Allah.
Begitu juga dalam pernikahan.Saudara saling mengucapkan janji,itu adalah
pengakuan iman.  “Mulai saat ini saya berjanji untuk mencintai......sampai maut
memisahkan kita.” Perjanjian seumur hidup, padahal mungkin waktu itu Saudara
baru 22 tahun!
Berapa banyak Saudara sadar bahwa hal tsb membutuhkan iman. Apakah Saudara
bisa yakin 100%bahwa Saudara akan tetap jatuh cinta dengan orang yang
sama, setia dengan dia? Kalau mau jujur, kita tidak punya jaminan 100%.
Tetapi Saudara mengambil langkah iman dan Saudara saling mempercayai.
“Mulai saat ini seterusnya....Saudara mengambil langkah iman.” Bagaimana
caranya masuk dalam christian covenant with trust? By faith!  “Orang benar
akan hidup oleh imannya. “Tanpa iman tidak mungkin berkenan pada Tuhan.”
Tanpa iman, maka mustahil juga kita bisa menyenangkan suami-istri kita.
Jadi kalau Saudara selalu curiga suami Saudara “ada main”, Saudara tidak punya
iman!  Kalau Saudara selalu curiga istri Saudara ada affair, Saudara tidak
punya iman. Pernikahan harus dibangun di atas dasar iman.
Jadi pernikahan itu bukan hanya hubungan legal, kontrak resmi dimana kita
mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk diri kita. Tidak –covenant
dibangun di atas dasar iman.
KEJADIAN 2:18
TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku
akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.
1.    Pernikahan adalah untuk PERTEMANAN

"Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Adam bukan gak ada kerjaan,
Dia sibuk mengurusi Taman Eden,  Dia punya pekerjaan yang excellent. Walaupun
ada banyak yang mengelilinginya, tetapi dia sendirian. Kesendirian serta
kesepiannya tidak baik untuk perkembangan pribadinya.

Jadi Tuhan menciptakan wanita untuk pria. Lewat pertemanan tsb maka kita
menjadi orang yang lebih baik. Inilah yang dihasilkan dari pernikahan, dan ini
membawa kepada point ke-2.

2.    Pernikahan adalah PEMBENTUKAN KARAKTER

Pernikahan adalah untuk memurnikan karakter. Jadi pernikahan dimaksudkan


untuk memperbaiki hal-hal yang buruk dari dua orang dewasa. Sebelum menikah
maka lajang bisa saja hanya memikirkan dirinya semau gue. Apa hal-hal buruk
yang bisa terjadi? Kalau kita semau gue, kita akan kehilangan teman.

Kalau Saudara menikah, kita tidak bisa semau gue. Kita kehilangan kebebasan
memilih yang kita inginkan, makan makanan yang kita inginkaN, tidur selama kita
mau, menonton acara TV, menciptakan pekerjaan yang kita tidak sukai, pergi ke
kota lain kalau Saudara memilih untuk bergabung dengan sirkus

berapa banyak Saudara sadar, dengan kata lain Saudara kehilangan kemampuan
untuk semau gue kalau kita tidak ingin membayar harga yang sangat mahal sekali.
Kalau Saudara ingin mempertahankan pernikahan, Saudara harus komit. Dan
komitmen adalah masalah karakter.

Jadi memang pasti ada masalah dan konflik dalam setiap pernikahan. Karena
pernikahan adalah menyatukan dua orang yang sama sekali berbeda, dari dua latar
belakang yang berbeda, dengan berbagai macam kekurangan dalam segi karakter.
Kita tidak sempurna, pasangan kita tidak sempurna.

Tetapi waktu kita belajar untuk saling bisa menerima kekurangan, mengatasi
perbedaan, melewati penderitaan bersama-sama maka Saudara akan diubahkan
makin serupa dengan karakter Kristus.

Jadi di situ ada kesempatan bagi Saudara untuk bertumbuh menjadi orang yang
dikehendaki Tuhan.Tidak semau gue, setia, sabar, mudah mengampuni, penuh
kemurahan hati, empati.Ini benar-benar tempat pemurnian karakter.

Kejadian 2:18
“.....Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.”
3.    Pernikahan membuat kita KOMPLIT
KEJADIAN 1:22-23
21 Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur,
TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat
itu dengan daging.
22 Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah
seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.
23 Lalu berkatalah manusia itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari
dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.
Waktu Adam melihat Hawa maka dia melihat dia sebagai pasangan yang
memperlengkapi dia.
Yang membuat dia komplit. Begitu juga Adam membuat Hawa komplit. Adam
punya segala-galanya pada waktu itu. Tetapi ada kekosongan di dalam dirinya
yang tidak bisa dipuaskan dengan segala yang dimilikinya. Hawa mengisi
kekosongan tsb dan memuaskan Adam. Tuhan menciptakan istri untuk
membuat para suami komplit.
KEJADIAN 2:24
Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu
dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging
4.    Pernikahan adalah PENYATUAN BARU
Saudara meninggalkan hubungan orang tua-anak untuk membangun hubungan
suami-istri.
Jadi pernikahan itu seperti menyatukan dua tanah liat, satu hijau gelap satunya
hijau muda.
Dari dekat memang terlihat bahan tsb dari dua bahan yang berbeda.
Tetapi dari jauh kelihatan hanya satu bahan saja.
Pernikahan adalah penyatuan, dimana dua orang dicampur satu dan tampil seolah
satu pribadi saja.
Jadi waktu Saudara menjadi satu daging, suami-istri, kelihatannya memang satu
tetapi masing-masing membawa identitasnya sendiri-sendiri, kepribadian
masing-masing.Tetapi dalam satu kehidupan ini ada dua kepribadian. Itu
sebabnya wanita bukan barang milik pria tapi partner.
Dalam suatu kesatuan dimana ada keterikatan rohani dan emosional yang begitu
mendalam dimana tidak ada spesies lain yang bisa menandingi, Karena ada
penyatuan roh, penyatuan pikiran, penyatuan emosi.
5.    Pernikahan adalah untuk KOMITMEN
Pernikahan adalah komitmen yang
a. monogami.
Artinya 1 suami, 1 istri
Tapi Pak, di Alkitab kan banyak tokoh-tokoh Alkitab yang poligami.
Tetapi sebenarnya pada mulanya tidak begitu Tuhan merancangnya.
Satu daging artinya satu daging!
Pria tidak bisa satu daging dengan wanita lain.
b. setia 
 satu daging artinya loyal, devotion, komitmen.
Sama seperti kalau tangan kiri saya pergi ke kiri, tidak mungkin tangan kanan saya
katakan, “Aku tidak mau ikut.” Mata juga komit sama hidung. Kaki dengan
kepala. Itu artinya satu daging.
Begitu juga dengan kita dengan pasangan kita. Pasangan kita ada di mana, kita
juga harus di situ. Jadi perzinahan dalam pernikahan itu seperti menusuk pisau
dari belakang. Hal itu akan “membunuh” pernikahan. Jadi pernikahan itu
adalah komitmen yang monogami dan menuntut kesetiaan.
6.    Pernikahan adalah untuk KESENANGAN
Bagaimana caranya menjadi satu daging?
Lewat hubungan sex. Jadi sex adalah rancangan Tuhan untuk pasangan yang
SUDAH MENIKAH.
Sex adalah idenya Tuhan.
Bukan idenya Hugh Hefner, Playboy, setan.
Mereka menyelewenkannya, Tetapi pada mulanya itu adalah idenya Tuhan.
Sex adalah alat bagi Saudara untuk menikmati pasangan Saudara.
AMSAL5:18 Diberkatilah kiranya sendangmu, bersukacitalah dengan isteri
masa mudamu:
5:19 rusa yang manis, kijang yang jelita; biarlah buah dadanya selalu
memuaskan engkau, dan engkau senantiasa berahi karena cintanya
Tuhan menganggap sex adalah sesuatu yang penting sehingga Dia menulis
sebuah buku “Kidung Agung” Pada jaman dahulu kalau Saudara belum
berumur 18 tahun Saudara tidak boleh membacanya, karena isinya terlalu
terang-terangan. Tetapi sex adalah idenya Tuhan, karena pernikahan adalah
untuk kesenangan Saudara.
7.    Pernikahan adalah untuk PROKREASI
Sebagai hasil hubungan sex yang menyenangkan maka suami-istri akan
menghasilkan anak-anak. Prokreasi ditempatkan di nomor 7 karena tujuan
menikah bukan semata-mata untuk mendapatkan keturunan, karena kita bukan
binatang.
Kejadian 1:28
Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah
dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah
atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang
yang merayap di bumi.
MAZMUR127:3 Sesungguhnya, anak-anak lelaki (KJV : children) adalah milik
pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah.
127:4 Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak
pada masa muda.
127:5 Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya
dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara
dengan musuh-musuh di pintu gerbang.
8.    Pernikahan adalah untuk KEINTIMAN
Agar pernikahan memuaskan maka perlu keintiman dalam segala aspek
kehidupan.
Ada 5 area :
a.    ROHANI
Saudara harus intim roh ke roh.
Saudara harus tahu dari hati ke hati.
Dari hati yang terdalam ke hati yang terdalam.
itu sebabnya keadaan akan menjadi sulit waktu Saudara menikahi orang yang
berbeda iman.
b.    EMOSI
Kalau Saudara tidak bisa “merasakan” cinta lagi, maka pernikahan tidak akan
menyenangkan lagi.
Kalau hati Saudara sudah dingin, maka pulang ke rumah di malam hari sudah tidak
menyenangkan lagi.
c.    INTELEKTUAL
d.    FISIK
e.    KEUANGAN
Keintiman adalah berbagi identitas.
Hubungan yang dicampur. Kita melebur jadi satu. Bukan no rekeningmu atau no
rekeningku; tapi rekening kita. Kamarmu, kamarku; tapi kamar kita.
Kendaraanmu, kendaraanku; tapi kendaraan kita.
Di dunia ini –bahkan di antara orang Kristen- banyak orang yang sudah menikah
tapi seperti masih lajang. Apa bedanya? Saudara tidur di ranjang yang
sama Tinggal di rumah yang sama. Tapi hidup masing-masing.
Jadi pernikahan adalah penyatuan emosi, sama seperti terjadi penyatuan tubuh.
Emosi memberi warna dalam kehidupan Saudara. Tapi keintiman emosi perlu
usaha yang lebih besar dari sekedar hubungan sex.
Jadi mungkin waktu masuk pernikahan suami-istri ada di level emosi yang berbeda
tetapi waktu Saudara  mulai belajar untuk memahami perasaan pasangan
Saudara maka Saudara menikmati keintiman emosional.
Tapi sebelum hal seperti itu bisa terjadi, “tembok-tembok emosional” harus
diruntuhkan, sehingga Saudara bisa berbagi perasaan. Kalau Saudara
membangun “tembok emosional yang tinggi”, maka memang tidak ada
perasaan buruk yang bisa mengalir tapi juga tidak ada perasaan baik yang bisa
mengalir.
Kalau Saudara membangun tembok, memang Saudara tidak akan terluka tapi
Saudara juga tidak bisa menerima atau mengalami kasih. Jadi apakah Saudara
membangun tembok di dalam kehidupan Saudara?  Jika Saudara ingin
memiliki hubungan emosional yang sehat, runtuhkan tembok-tembok tsb.
Maka Saudara bisa menikmati pernikahan yang bahagia

PERGAULAN MUDA-MUDI KRISTEN


(Pdt. Dr. Rubin Adi Abraham)

A.  PERGAULAN UMUM

 
Manusia diciptakan bukan saja sebagai makhluk individu, tetapi juga
sebagai makhluk sosial (Kejadian 2:18; 3:8). Artinya manusia tidak dapat
hidup sendiri, tetapi harus juga bergaul satu dengan yang lain. Pergaulan
juga merupakan alat sosialisasi bagi manusia, yang melaluinya kita
dipersiapkan untuk hidup bermasyarakat. Ternyata, hubungan antar
manusia (human relation) ini sangat menentukan keberhasilan dalam
kehidupan seseorang, baik dalam bidang pekerjaan maupun dalam hidup
berumahtangga. Karena itu penting sekali kita mempelajari seni bergaul
yang baik.

Ada beberapa pedoman yang perlu diperhatikan agar kita dapat bergaul
dengan baik di tengah-tengah masyarakat, yaitu :

1.      Tinggalkan persoalan sendiri dan pikirkan hal yang menarik perhatian
orang.

2.      Manfaatkan kebaikan dan abaikan kelemahan orang lain.

3.      Kembangkan sikap sopan santun dan keramahtamahan.

4.      Belajarlah mengingat nama orang lain (terutama yang telah kita kenal
atau temui).

5.      Biasakan senang mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf.

6.      Belajarlah untuk memuji dan memberi penghargaan kepada orang lain
dengan tulus.

7.      Berilah kesempatan dan dorongan agar orang lain mau bicara.

8.      Ucapkanlah kata-kata yang tepat, berguna dan bijaksana.

9.      Milikilah kejujuran dan ketulusan hati.

10   Selalu memohon kepada Tuhan untuk membentuk hidup kita lebih
baik.
 

B.  PERGAULAN KHUSUS : KENCAN

Pergaulan khusus antar lawan jenis terbagi atas kencan, pertunangan


dan pernikahan. Namun yang akan dibahas di sini adalah masalah
berkencan. Istilah kencan biasanya berkaitan dengan pengertian
seorang pria dan seorang wanita yang belum menikah, mengadakan
janji untuk bertemu dan pergi bersama.
 

Hubungan kencan ini dapat dibagi dalam :

1.     Kencan Biasa

Dalam bentuk kencan ini biasanya seorang pria belum mempunyai


perasaan khusus terhadap seoran wanita, demikian pula sebaliknya.
Walaupun akhirnya karena sering bertemu, pergi bersama, bisa saja
hubungan ini mengarah pada pacaran. Bentuk kencan ini bisa berupa
belajar bersama, mengikuti aktivitas gereja atau sekolah bersama, dsb.

Pada tahap ini teman kencan belum dibatasi dan biasanya sama sekali
belum memikirkan atau membicarakan kemungkinan hidup bersama.

2.     Kencan Khusus

Pada bagian ini biasanya mulai ada perasaan tertentu dari kedua belah
pihak, walaupun kata-kata cinta belum benar-benar terungkap. Salah
satu contohnya, kalau dia belum datang (di sekolah, di gereja atau di
tempat lain), jantung berdebar-debar bila ada tanda-tanda si dia, dsb.
Pada tahap ini teman kencan mulai dibatasi.

3.     Kencan Tetap atau Pacaran

Dalam tahap ini kedua pihak sudah saling menyatakan perasaan hatinya
sehingga masing-masing mulai belajar lebih mengenai satu dengan
yang lain secara lebih mendalam. Kemungkinan untuk hidup bersama
sudah mulai dibicarakan. Dan teman kencan dibatasi hanya pada satu
orang saja.

Kapan sebaiknya seorang mulai berpacaran ?

Bila sudah dewasa dan siap untuk menikah. Dianjurkan untuk tidak
berpacaran pada masa remaja atau pubertas, karena pada masa
tersebut seorang masih belum stabil (lebih mudah berubah), sehingga
belum dapat membedakan cinta sejati (yang berisi pengabdian,
pengertian dan tanggungjawab), dan cinta monyet (masih meletup-
letup dan mudah berubah).

C.  MEMILIH TEMAN HIDUP

Mendapatkan teman hidup yang sesuai dengan kehendak Allah adalah hal
yang sangat penting, karena dalam iman Kristen tidak boleh ada perceraian
(Mat 19:6).

Cara yang keliru yang harus dihindari misalnya :


1.      Menggunakan pelet atau guna-guna

2.      Sistem tunjuk Alkitab secar acak/menggunakan Alkitab sebagai buku


nujum

3.      Minta tanda-tanda secara magis, seperti horoscope dsb

4.      Tidak menggunakan standar Alkitabiah, seperti memilih berdasarkan


keinginan mata (Ams 31: 30), atau karena daya tarik materi.

Ada beberapa pedoman yang  perlu diperhatikan dalam berkencan yang


mengarah kepada pernikahan, yaitu :

1.     APAKAH KITA SEPADAN ?

a.   Dalam iman.  Carilah orang yang sudah lahir baru (II Kor 6:14).

b.      Dalam segi fisik.  Sebaiknya pria lebih tua sekitar 4 tahun.

c.       Dalam pendidikan. Bila ternyata tingkat pendidikan terlampau jauh


berbeda, maka biasanya akan menimbulkan masalah khususnya
didalam hal berkomunikasi. Dianjurkan bagi yang masih belajar
untuk menyelesaikannya terlebih dahulu dengan baik (Ams. 24:27; 
Kid. 3:5)

d.      Dalam segi sosial.  Perbedaan status sosial, tingkat ekonomi, adat
kebiasaan, suku atau bangsa perlu menjadi pertimbangan, sebab hal
ini sangat berpotensi untuk menimbulkan masalah yang
memerlukan banyak waktu untuk beradaptasi satu dengan yang
lain.

 
Untuk menentukan apakah kita sudah menemukan pasangan yang
sepdan dibutuhkan waktu. Cinta sejati tahan terhadap ujian waktu.
Cinta sejati tidak memudar, bahkan makin bertumbuh seiring dengan
berlalunya waktu.

2.     APAKAH ORANG TUA SETUJU ?

Efesus 6:1–3 memerintahkan kita agar taat dan hormat terhadap orang
tua. Banyak kita orang-orang muda sering menganggap orang tua
sebagai penghalang bagi keinginan hati kita, padahal Allah seringkali
menyatakan kehendakNya melalui orang tua kita (yang seiman).
Biasanya orang tua memiliki pandangan yang lebih realistis
dibandingkan dengan kita anak-anak muda, apalagi yang sedang jatuh
cinta. Jadi restu orang tua sangat penting bagi kebahagiaan hidup
rumah tangga kita.

3.     APAKAH KITA BERSIH SECARA MORAL ?

Kita harus senantiasa hidup menyenangkan dan memuliakan Tuhan (II


Kor. 5:9). Masa pacaran jangan digunakan untuk melampiaskan nafsu
berahi, namun untuk saling mengenal pribadi satu dengan yang lain
lebih mendalam. Karena itu hindarilah percumbuan, tempat-tempat
sepi dan gelap, dan hal-hal yang dapat menimbulkan nafsu berahi
(misalnya: nonton blue film, menggunakan pakaian yang merangsang,
dll). Sebaiknya isilah waktu pacaran dengan kegiatan yang positif
seperti : berolahraga, belajar bersama, mengikuti kegiatan gereja, dsb.

D. ETIKA YANG HARUS DIPERHATIKAN SELAMA BERPACARAN


 

1.      Tunjukkan sikap saling menghormati. Jangan biasakan meraba-raba.

2.      Pilih waktu dan tempat yang tepat dan layak untuk berpacaran

3.      Hindari kebiasaan yang dapat menimbulkan berahi. Contoh:


berciuman. Karena biasanya ciuman akan menimbulkan nafsu berahi.

4.      Jangan bertamu (wakuncar) sampai larut malam (terlalu lama).

5.      Hormati orang tuanya (cara berbicara dan bertingkah laku).

6.      Jangan terlalu demonstratif dalam berpacaran.

7.      Berpikirlah selalu dengan pikiran yang bersih dan memuliakan Tuhan.

E.      ALASAN UNTUK MENGHINDARI HUBUNGAN SEKS PRA-NIKAH

1.      Alkitab memandang hubungan seks itu baik hanya dalam konteks
pernikahan (Kej 1:27-28). Karena itu perlu sekali untuk menjaga
kesucian (Ibrani 13:4) selama berpacaran.

2.      Ada resiko hamil di luar nikah.

3.      Mengakibatkan rasa bersalah yang mendalam

4.      Menimbulkan ketidakpercayaan, ketakutan dan kecurigaan, bahkan


dapat menimbulkan perasaan benci (II Sam 13:15) – Kasus Amnon dan
Tamar.
5.      Merusak malam pertama pernikahan.

6.      Mengakibatkan hal-hal yang negatif secara rohani, yakni:

  Kedamaian dalam jiwa menjadi pudar (I Pet 2:11).

  Hubungan persekutuan dengan Tuhan akan terganggu, sehingga kita


seperti kehilangan gairah untuk hal-hal yang rohani (Yes 59:2 ; Yoh
3:20).

  Kegunaan kita bagi Tuhan akan berkurang (II Tim 2:21).

  Mengundang hukuman Allah.

Perhatikan proses jatuh ke dalam dosa seks pra nikah:

Selalu bersama-sama  berpegangan tangan  berpelukan 


berciuman   berciuman yang lama (bibir)  mulai berahi 
mulai meraba  saling terangsang  percumbuan ringan 
percumbuan berat  saling memainkan organ seks  hubungan
seks.

Jadi hindarilah tindakan-tindakan seksual pada taraf yang paling dini, agar
kita tidak “hangus terbakar”. Sebaliknya milikilah hubungan pergaulan
muda-mudi yang sehat yang berdasarkan Firman Tuhan.

 http://www.gbi-bethel.org/index.php?
option=com_content&view=article&id=119:pergaulan-muda-mudi-
kristen&catid=8:keluarga&Itemid=64
Nikah Muda=Nikah Dini=Seru!!!
1 01 2009

Hehehehe,,kaget dengan title nya??


Bukan gw aja lho yang menjadi “korban” (korban?? gw bingung apa
istilahnya,,,heheheheehe), tapi udah pasti suami gw juga!!hahahahaha,, selain
kami, ada juga temen gw yang malah udah punya anak. dan temen2 yang lain
yang sebenernya baraniat sudah membara (?), tapi ada satu dan lain hal yang
menjadi kendala (?) kenapa nikah dini?? okeh,,ga semua orang berpikir bahwa
nikah dini jauh lebih baik dari pada pacaran. Alasannya pastilah segudang.
Tapi menurut gw, banyak banget manfaat yang bisa kita ambil dari rezeki halal
yang satu ini. Selain karena kita telah menyempurnakan separuh agama kita, kita
juga menjadi manusia baru dengan satu jiwa dari 2 raga dengan lahir kewajiban
bersama. Sekali lagi, karena kita ga sendiri, kita ngejalanin semua bareng2.
(seberat apa pun akan terasa ringan ketika kita merasa kita ga sendiri, tapi kita
bersama,,,)
Selain itu, kadang perbedaan yang kita miliki ngebuat kita suka ada konslet2
kecil. ga masalah, karena setiap kalian menyelesaikan itu, WOW!! kita luar
biasa,,!!! bayangkan aja, kita akan bertambah cara berpikir, cara menyelesaikan
masalah, dan cara bersikap…
Ga selamanya nikah dini tu gampang. jangankan nikah dini, nikah yang berumur
normal (di atas 25thn) juga gitu kok… jujur, finansial emang sering jadi kendala.
gw pernah sampe sesunggukan nangisin hal yang satu ini. tapi suami gw malah
nenangin gw dengan bijaknya. gw ga di salahin, tapi gw di ajak berpikir:
SEBERAPA BESAR KEBERUNTUNGAN YANG SUDAH KITA DAPET
HINGGA SAAT INI,,,
Setiap orang udah dapet jalan rezekinya masing2,, begitu pula dengan setiap
hubungan keluarga yang terikat secara halal di dalam pernikahan. kadang
sekarang gw mikir, sampe detik ini gw nikah,gw ga pernah sampe kelaperan, gw
ga pernah sampe kedinginan karena ga ada tempat berteduh,,wajar kalo ngeluh??
kurang rasa syukur, suka buat orang lupa nikmat..
nikmat apa lagi yang mau di ingkarin??
ketika gw kangen suami gw,,itu pahala. beda dengan waktu pacaran. malaikat pun
nyatet:siapa elu kangen2 ma co itu?? (ya ga gini jg bahasanya)
ketika gw bilang sayang ke suami gw, itu pahala. beda dengan waktu pacaran,,
(tong kosong isinya,,)
yah banyak hal yang sekarang menjadi ladang amal pahala kami di dalam
kehidupan pernikahan,,,
nikah dini kadang emang di butuhkan kekuatan n kesabaran super ekstra. selain
karena faktor usia yang cenderung orang melihat kami belum matang, tapi juga
kesiapan mental untuk menghadapi setiap tahapan tantangan baru dalam
kehidupan pernikahan.
sekarang gw n suami masih kuliah,, tahapan ke dunia kerja dirasakan harus segera
mungkin dengan kecepatan 140km/jam untuk cepat diraih. atau tantangan yang
paling deket aja, bisa ga lulus dengan predikat baik di dunia kampus tanpa
menjadikan pernikahan suatu kendala??
gw ga suka kalo ada orang yang bilang “bisa kacau kuliahnya karena nikah.”
hah?? ga bisa lebih fleksibel apa pikirannya.. coba berpikirnya di ambil positif,,
seperti:
“kalo nikah, kan kita jadi tambah dewasa dalem bersikap, jadi kita ga akan
terburu2 dalam mutusin segala sesuatu, termasuk hal2 yang berhubungan dengan
kuliah. pengaturan strategi yang baik, biasa memperlancar jalan. dan masukan
juga bisa di dapet dari istri. jadi kemungkinan kita gegabah akan sangat minim…”
gimana???
atw kalo misalnya permasalahan finansial..
sebelum kita mutusin nikah, ortu pasti udah masalahin yang satu ini. tapi kita
harus bisa ngeyakinin ortu untuk tidak lupa bahwa ALLAH telah mengatur rezeki
tiap orang masing2. kita ga boleh ragu sedikit pun.
keutamaan menikah, adalah hal yang lebih indah untuk di jaga. kita juga harus
mempersiapkannya dengan baik. agar nikah tidak sekedar ajang maen2.
rencana2 ke depan yang kita susun sebelum nikah kita gambarkan dengan jelas
kepada ortu kita. baik finansial, tempat tinggal, jangan lupa visi misi (?), dan juga
target serta tujuan..
kita juga ga lupa bilang, kemungkinan kendala2 yang akan muncul, serta
cadangan solusi sementara kita. selebihnya, hubungan akan kita jalankan normal,
seperti pernikahan lainnya.
satu lagi, orang tua tu ga akan ngelepasin kita gitu aja, karena mereka akan
ngebimbing kita sepanjang masa. jadi konsepsi nikah dini itu ga hanya tertanam
baik di pasangan yang akan menikah saja, tapi juga di orang tua dan keluarga.
okeh,,masalah ini bisa panjang di bahas,, tapi segini dulu yah,, ntar lanjut lagi,,,
1. Bismillah…
Aku juga jadi pingin cepet2 nikah nih.
Allahumma, yassiralana…
Kalo umur 19 tahun, terlalu muda nggak ya?
Comment by hanif007 — February 28, 2008 @ 2:35 pm
2. menikah itu bukan karena patokan usia.
tapi kematangan jiwa, batin, pikiran, hati..
siap bukan sekedar di ucapan. karena perjuangannya membutuhkan tekad dan
kesungguhan.
dengan menikah, kita menyempurnakan separuh agama kita. bismillah, mohon
petunjuk Allah, dengan cara yang di ridhoi Allah, mudah2an menjadi kehidupan
yang penuh berkah.
saya doakan yang terbaik untuk kita semua
Comment by maskarina — March 11, 2008 @ 2:38 am
3. ukhti…mau nanya nech…
mang kalo mau nikah dini itu, kita harus mempertimbangkan apa aja?
maksudnya gini loh, apa yang harus kita timbang-timbang sebelum memutuskan
untuk nikah dini?
trus, gmn caranya meyakinkan ortu kita, kalo nikah dini itu gak jelek2 amat…
tolong di jawab… ^_^
thnx be4
Comment by rima — May 19, 2008 @ 6:24 am
4. cara meyakinkan ortu?
kenali watak ortu terlebih dahulu. artu kita tu yang tipe apa;
mengutamakan pendidikan, mengutamakan mapan, atau ternyata yang penting
anak bahagia..
ortu saya sangat mengutamakan pendidikan. bahkan ketika saya hamil, ibu saya
sedih, takut kuliah saya ga lulus. di sini tantangan kita untuk membuktikan kalo
nikah dini tuh malah baik. karena saya mendapat motivasi yang halal dari suami.
saya bertekad membuktikan kepada ortu kalo saya bisa lulus dengan hasil
maksimal. saya pun berhasil lulus. ortu saya tambah mendukung saya saat ini.
kenali ortu anda dulu. siapkan beberapa jawaban dari pertanyaan2 yang kira2
bakal muncul dengan mengenali watak ortu anda.jawaban itu di siapkan bersama
calon anda. jika sudah mantap dan satu tujuan, baru menghadap ke orang tua.
ungkapin aja kalo masih ada hal2 yang perlu ‘di sokong sementara’ oleh ortu.
seperti biaya. tapi yang utama, sampaikan niat ini untuk ibadah.
nikah muda tu ga segampang di ucap. perjuangannya lebih berat secara mental.
usia mempengaruhi cara mengambil keputusan ketika ada masalah. apa lagi kalo
pasangan sama2 muda, tidak ada yang lebih dewasa dalam berpikir.
tapi keuntungannya, kematangan yang di dapat dalam pernikahan dini sangat
besar. karena kita menjadi dewasa dalam cara berpikir, dan akan selalu bertambah
cara penyelesaian masalah setiap kita bisa menyelesaikan 1 masalah.
nanti saya post kiat2nya ya…
tunggu aja..oke..
Comment by maskarina — May 24, 2008 @ 11:59 pm
5. wah…subhanallah, gw makin tertarik aja ni nikah dini…
duh… gimana dunk, ada yang mau bantu gw ga?!gw butuh saran nih…
gw baru umur 19taun,gw mw nikah dini ma co umurnya 24taun..
gw bingung,gw masih kul smester 3 trus…ntar klu udah nikah kan hamil tu, nah
menurut kalian pada nie,, baik ga ya kalu gw nunda kehamilan gw mpe
klulusan???? otomatis gw punya motivasi buat cepet lulus…
trus gw kan anak bungsu tu, kaka2 gw dah pada jauh… tadinya gw pengen
ngontrak lah se’ganya abis nikah tu biar bisa blajar mandiri ma suami gw ntar,
tapi gw kasian juga ma nyokap gw yang udah usia lanjut…gimana…ada
sarankah?
asli gw bingung banget, terus knapa ya… gw kadang suka ragu buat nikah ma dia
padahal dia udah bener2 mu srius ma gw… dah bilang ma orang tuanya, nah
tinggal ma ortu gw nih…
gw kadang ragu ma yang dia ucapin ma kenyataannya. ya… kurang konsisten lah
ma apa yang dia ucapin..
disaat aku yakin, tapi juga kadang keraguan itu datang…
aduh… would u help me?
thanks ya!
Comment by mey — July 21, 2008 @ 4:05 am
6. sebenernya bukan karena nikah diusia mudanya juga si.. tapi kesiapan untuk
menjalankan pernikahan beserta semua konsekuensinya yang harus lebih
diutamakan..
perkaranya disini, aku n suami memutuskan sudah mantap nya ya pas usianya
masih tergolong muda dari pada usia menikah lainnya yang lebih umum..
pernikahan tu ga boleh dipaksakan. makanya ada kesempatan untuk memantapkan
hati,bisa dengan istikharah(solat mohon petunjuk),bisa ta’aruf(perkenalan)..
kalo kuliah;
pengalaman aku,,aku sangat memperhitungkan ke de[annya. ketika aku
menikah,aku tinggal skripsi.ketika pengen punya anak,aku itung pas lahir aku
udah lulus..
setidaknya diantara aku n suami udah ada yang bisa meluangkan waktunya
begitu..
apa lagi pasangan mey sudah 24thn,apa sudah ada penghasilan?kalo iya, berarti
mey nya yang muda aja kan,tapi kematangan keuangan sudah ada..
masalah ortu;
aku n suami sadar banget pengen n harus ngurus ortu. tapi untuk awal2 tahun
pernikahan kami, kami ingin pisah secara rumah terlebih dahulu karena ingin
menentukan ‘keluarga’ seperti apa kami ini..
bukan berarti ga mau ngurus ortu, tapi karena kami sedang mencari jati diri,dan
memantapkan kondisi keuangan dan lainnya..
kebetulan..ortu dari suami tinggal sama kakanya suami yang paling tua. dan ortu
ku tinggal di palembang,sedangkan suami masih kuliah di bandung.
jadi sejauh ini ga ada masalah..
kalo masih ada keraguan,mending solat aja,minta petunjuk,banyak
berdiskusi,banyak baca2,dan pendekatan ke keluarga yang lebih intens.
restu ortu itu penting…
Comment by maskarina — July 22, 2008 @ 2:47 am

http://delapan208.wordpress.com/2009/01/01/nikah-mudanikah-diniseru/

Nikah Dini, Kok Enak?!


1 01 2009

Oleh: Cak Kur*


Tag : Nikah Dini

Defiinisi

Nikah dalam bahasa Arab berakar kata pada bentuk fiil madhi nan ka ha yang
dalam banyak literatur fikih dipersamakan dengan alwathu, yang berarti
‘menekan’ yang kemudian dalam perkembangannya mengalami sublimisasi
makna menjadi disinonimkan dengan (nuwun sewu) ’jimak atau bersetubuh’. Hal
ini dapat dimaklumi karena, salah satu faktor utama pembentuk sebuah mahligai
pernikahan adalah hubungan sebadan antara suami istri. Karenanya, benar secara
kaidah bahasa, jika penulis menterjemahkan ayat fankihuu maa thaaba lakum
minan nisaai…. (QS 4: 3), dengan Setubuhilah Wanita-wanita yang kamu senangi.
Ada pula yang melontarkan adagium na ka ha sebagai bentuk akronim dari
nikmat, karamah, dan hamasah, karena memang pada kenyataannya, orang yang
sudah menikah dipastikan memperoleh kenikmatan yang luar biasa, kemulyaan
yang lebih dan semangat hidup yang berbeda dengan kehidupan sebelumnya.
Dalam bahasa yang sederhana meminjam bahasa slank JTV- akronim nun kaf ha
diterjemahkan dengan (maaf) nang kamar ho ho hi he (baca: sesuai dengan hasil
penafsiran anda).
Dalam konteks yang lain, Al-Quran lebih sering menggunakan kata tazawuj
sebagai khitab yang mengindikasikan arti bahasa pernikahan. Secara leterlijk kata
tazawuj berarti berpasangan yang merujuk pada sebuah mahligai pernikahan yang
tentu saja memasangkan antara laki-laki dan perempuan. Para Fuqaha sepakat,
bahwa yang dimaksud dengan Nikah adalah sebuah akad yang menghalalkan
hubungan sebadan antara seorang laki-laki dan perempuan, dengan syarat dan
rukun tertentu dengan niat ibadah kepada Allah SWT.
Definisi di atas juga direduksi di dalam Kompilasi Hukum Islam, bahwa yang
dimaksud dengan pernikahan adalah akad yang sangat kuat untuk menaati
perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah yang bertujuan untuk
membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Sementara
Negara dalam hukum formalnya menyebut pernikahan sebagai ikatan lahir batin
antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adapun istilah ‘Dini’ dalam ragam bahasa sehari-hari diartikan sebagai ‘awal,
permulaan dan segera’. Kasus yang sama dapat ditemukan dalam istilah ‘Dini
hari’ yang diartikan sebagai waktu-waktu awal dimulainya sebuah hari, waktunya
berkisar antara pukul 00.00 s/d pukul 03.00 (atau tepatnya sampai menjelang
subuh). Dini berarti ‘segera’ dapat kita temukan dalam ragam bahasa untuk
kondisi mendesak dan tergesa-gesa, dalam keadaan bencana atau perang
misalnya. Hector, panglima perang kerajaan Troya di film Troy, saat memberi
komando kepada bawahannya untuk segera mendatangkan bantuan, diucapkan
dengan komando make it sooner, yang berarti lakukan ‘sedini mungkin’, sama
dengan ‘lakukan sesegera mungkin’.
Dus, Pernikahan Dini dapat dimaknai sebagai pernikahan yang dilakukan di awal
batas minimal usia perkawinan menurut parameter tertentu. Atau pernikahan yang
dilakukan segera setelah batas minimal syarat dan rukun serta hal-hal lain yang
memperkenankan seseorang menikah, sudah terpenuhi. Karenanya, untuk
mengetahui kadar kedinian sebuah pernikahan, terlebih dahulu harus ditentukan
parameter minimal seseorang dibolehkan menikah. Parameter itu, lazimnya adalah
umur. Masalahnya, ukuran minimal umur ini antara satu masyarakat dengan yang
lainnya berbeda. Apalagi, meminjam istilah Emile Durkheim, dalam masyarakat
organik dan anorganik. Bisa jadi remaja putri usia 20 tahun disebut nikah dini
oleh masyarakat tertentu, padahal menurut ketentuan BW sudah tidak lagi, bahkan
tergolong pernikahan usang.

Karakteristik Pernikahan
Dari definisi pernikahan di atas, kiranya dapat disimpulkan karakteritik
pernikahan, antara lain:
a) Pernikahan merupakan ibadah yang paling enak
b) Berkait kelindan dengan hubungan sebadan
c) Penyatuan dua keluarga yang berbeda adat dan kebiasaannya
d) Penyatuan hati dua insan dengan banyak perbedaan
e) Mengandung kemuliaan di dalamnya
f) Memiliki dimensi ketertundukan kepada sang khalik dll.

Keindahan Pernikahan Dini


Pada dasarnya keindahan pernikahan dini sama dengan keindahan pernikahan
lainnya, hanya saja berdasar pada pengalaman pribadi penulis, yang notabene
menikah di usia muda, ada beberapa pengalaman empiris yang membuktikan
bahwa pernikahan dini memiliki kelebihan dibanding pernikahan jenis lain, hal itu
antara lain:
1) Masih muda saat meraih sukses keluarga
2) Masa muda adalah masa romantisme bertegangan tinggi
3) Memiliki waktu yang cukup untuk mengawal pertumbuhan anak
4) Masa muda adalah masa semangat ‘45
5) Masa muda adalah masa idealisme
Selain itu, ada juga beberapa hal negative yang sering terjadi pada pasangan nikah
dini, seperti egoisme masing-masing pasangan muda masih sangat tinggi,
sehingga tidak jarang terjadi pertengkaran sebab hal itu. Pasangan muda biasanya
juga sering tidak mau mengalah, bahkan hal buruk dapat terjadi sebab masih
labilnya emosi pasangan yang bersangkutan, apalagi kelabilan kondisi ekonomi.

Dibalik Tren Nikah Dini di Kalangan Remaja Muslim  Perkotaan


1 01 2009

Oleh: Yudhista Aditya.P *)


Tag : Nikah Dini
56% wanita Indonesia berusia 20-25, memilih menikah dlm usia muda. Demikian
hasil survey GroupM, sebuah perusahaan media specialist Indonesia (Jawa Pos
27/09/06). Sayangnya, tak diungkapkan juga kecenderungan lawan jenis di
kelompok usia yang sama. Padahal survey itu bisa dianggap menggambarkan peta
insight kecenderungan sosial kelas menengah masyarakat perkotaan di Indonesia.
Apakah angka itu cukup untuk membuat kesimpulan bahwa telah terjadi
perubahan sosial cukup signifikan dalam kecenderungan sosial remaja kita?!
Dalam pandangan hukum Indonesia, kisaran usia 20-25 tahun bagi wanita tidak
masuk dalam lingkup usia dini untuk menikah. Menurut UU Perkawinan nomor 1
tahun 1974 pasal 7, usia layak nikah untuk pria adalah 19 tahun, dan 16 tahun
bagi pihak perempuan. Peraturan ini banyak dianggap secara eksplisit
bertentangan dengan UU Perlindungan Anak yang mematok usia 18 ke bawah
dalam kategori anak-anak.
Meski demikian, selain patokan de jure, kita memiliki beberapa ukuran
kedewasaan secara sosial yang banyak ragamnya. Lingkungan masyarakat
perkotaan modern, menganggap remaja berusia 25 tahun sudah cukup dewasa dan
pantas untuk menikah. Namun hal itu masih dengan catatan sudah menyelesaikan
jenjang kuliah untuk perempuan, dan sudah memiliki sumber penghasilan bagi
laki-laki. Hal itu mencerminkan orientasi hidup perkotaan yang didominasi oleh
nilai-nilai material dan prestise. Sementara, data BKKBN mengungkapkan bahwa
lebih dari seperempat (26,9%) jumlah pernikahan melibatkan perempuan dalam
usia dibawah 16 tahun—alias pernikahan dini. Hal ini mengingat bahwa
mayoritas penduduk Indonesia tinggal di pedesaan dan dalam kelas ekonomi
menengah ke bawah. Dus, terlihat adanya rentang kesenjangan yang cukup lebar
berkenaan dengan pandangan tentang usia layak nikah bagi remaja diantara kedua
teritori sosial-ekonomi tersebut.
Di kalangan remaja muslim perkotaan, belakangan juga muncul kecenderungan
khusus berkenaan dengan isu pernikahan. Kemunculan wacana-wacana yang
mengajukan pernikahan di usia muda sebagai solusi, muncul melewati lingkup
halaqah pengajian ke toko-toko buku.
Beberapa buku yang mengupas tema ini pun mendapat sambutan antusias dari
para pembaca. Sebut saja buah pena M. Fauzil Adhim yang telah menelurkan
lebih dari lima judul buku yang menggali tema tentang pernikahan dini, dan dua
diantaranya tercatat sebagai best seller. Dalam termin tulisan-tulisannya, Fauzil
Adhim memang tak menyebutkan secara tersurat tentang usia dini dalam
pernikahan. Namun, dia menyebutkan indeks-indeks seperti usia kuliah atau masa
sebelum bekerja—dua hal yang menjadi patokan khas masyarakat urban
menengah-atas.
Survey GroupM nampaknya memang cukup memberi gambaran dukungan atas
realitas itu. Artinya, potensi keinginan menikah di usia muda tetap banyak
berkobar di benak remaja perempuan perkotaan. Sedangkan, kemunculan wacana-
wacana pernikahan dini mungkin hanya sedikit menyumbang kenaikan dalam
ekskalasi sosialnya. Wacana-wacana pernikahan dini, menemukan momentum
yang sangat kondusif untuk diterima publik. Para wanita muda dalam survey itu
menemukan dukungan moral yang mereka butuhkan dari buku-buku tentang
pernikahan dini.
Islam dan wacana antitrend pernikahan
Tren wacana nikah dini ini agaknya juga menyimpan potensi konflik sosial
antargenerasi. Bagaimana tidak?! Di saat wacana modern membuat generasi yang
sekarang berusia 40-55 tahun atau memiliki anak perempuan berusia 20-25
menginginkan anak perempuan mereka lulus kuliah baru menikah, sementara
remaja putri mereka ternyata memiliki keinginan yang berlawanan. Anak-anak
perempuan mereka ingin menikah dalam jenjang usia dimana semestinya mereka
masih harus menyelesaikan kuliahnya.
Di sisi lain, dalam budaya kita yang patriarkhis, remaja pria juga menghasung
beban status. Mereka harus membuktikan diri cukup layak masuk dalam hitungan
“kaum dewasa” dengan mendapatkan pekerjaan atau sumber penghasilan, baru
layak untuk menikah. Akan lebih berat lagi jika menengok kalangan tertentu di
kelompok sosial ini yang menganggap pekerjaan layak adalah tipe kerja kantoran.
Artinya, remaja pria belum dianggap benar-benar “bekerja” jika dia bekerja di
sektor informal atau tidak bekerja di instansi yang punya nama dalam tipe kerja
kerah putih (white collar job).
Secara kasatmata kita melihat anak-anak kita tumbuh lebih cepat dalam lahiriah
biologis dan intelektualnya. Hal ini tak lepas dari kualitas hidup dan kesehatan
yang lebih baik, dan dukungan media informasi-komunikasi yang makin beragam.
Sementara, secara sadar kita juga telah membonsai potensinya untuk hidup
mandiri dan produktif.
Konvensi-konvensi dunia modern membuat para orangtua merasa dipermalukan
atau “udik” jika anak mereka bekerja sebelum usianya yang dianggap layak—
apalagi menikah. Sebut saja misalnya Hak Reproduksi Remaja, dan konvensi
perlindungan anak, sebagai derivat dari konvensi HAM yang banyak dijadikan
acuan utama dalam kebijakan pendidikan dan hukum secara mondial.
Berbeda dengan patron budaya Barat sebagai kiblat modernitas, budaya kita tak
cukup memberikan ruang bagi remaja untuk mulai mandiri secara finansial
sebelum usia sekolahnya usai. Budaya kepriyayian, yang diadaptasi masyarakat
urban sebagai simbol status sosial, membuat para orangtua malu untuk
mendukung anak-anaknya mengerjakan hal-hal produktif dan ekonomis seperti
menjadi pengantar koran atau berjualan keliling. Kemampuan untuk memberikan
fasilitas material kepada anak dan membebaskan mereka dari pekerjaan ekonomis
seakan merupakan bagian dari prestise kaum urban. Maka, anak-anak perkotaan
dibiasakan untuk tidak produktif secara ekonomis dan tergantung sepenuhnya
secara finansial kepada orangtuanya.
Mempertimbangkan faktor-faktor di atas, jalan menuju pernikahan bagi pasangan
remaja urban yang ingin melangsungkan pernikahannya di tahap pencapaian
sosialnya yang masih hijau, merupakan jalan yang terjal. Hambatan yang
dihadapinya secara sosial tidaklah ringan.
Di lain pihak, hasil-hasil penelitian sosial yang dipublikasi akhir-akhir ini juga
cukup mengusik kekhawatiran para orangtua. Mereka khawatir anak-anak mereka
masuk dalam skup 20% dari 1.000 remaja yang pernah melakukan seks bebas
menurut sebuah penelitian di Bandung (Pikiran Rakyat, 08/08/04), atau 21-30%
remaja Indonesia di kota besar pernah melakukan seks pranikah menurut hasil
survey yang dikutip BKKBN. Dan jika anak mereka masuk dalam bilangan 20%
itu, bolehjadi pendidikan dan masa depan-nya terancam karena terpaksa
menikahkannya disebabkan “kecelakaan”. Maka tak heran kalau dalam penelitian
yang sama, 90% dari remaja putri yang hamil pra-nikah memilih jalan aborsi demi
“menyelamatkan” masa depannya. Lagi-lagi, langkah “penyelamatan” yang
dilakukan itu sarat dengan motif materialistik dan prestise sosial. Lagipula
memang sulit mengasumsikan pasangan remaja yang mayoritas masih belum
mandiri secara ekonomis itu mampu menjalani hidup rumahtangga secara normal.
Dalam percaturan budaya itu, para pendakwah muslim tentu melihat hal-hal yang
potensial untuk berseberangan dengan teks kanonikal Islam, Al-Quran dan
Sunnah, untuk dinetralisir dilakukan ishlah. Islam dianggap memiliki konsep ideal
yang berbeda dari konsepsi modern tentang keremajaan dan pernikahan. Dan
tentu saja konsepsi Islam bukanlah konsepsi prismatik yang berkecenderungan
integralis dan penuh kompromi.
Dari sekitar 57 ayat tentang nikah dan implikasinya (belum termasuk yang
membahas perceraian), tak satu pun menyebut spesifikasi usia, kecuali samar-
samar disebutkan dalam Al-Quran yang artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang
yang ‘sendirian’ (pria atau wanita lajang, belum atau sudah pernah menikah) di
antara kamu,” (Q.S. An-Nur 24: 32). Sedangkan Hadits yang dianggap sebagai
penafsir paling otentik dari Alquran, salah satunya menyebutkan “Seorang bocah
diaqiqahi pada hari ketujuh -…- bila ia sudah mencapai 16 tahun orangtuanya
akan mengawinkannya,” (HR. Abu al-Syeikh Ibn Habban). Selain hadits tersebut,
hadits-hadits yang lain biasanya menyebutkan indikasi-indikasi implisit tanpa
menyebutkan patokan pasti tentang usia cukup untuk menikah. Indikasi seperti
“mampu” atau “matang” kerap digunakan.
Sebagaimana agama lain, Islam sangat melarang perzinahan dalam segala
bentuknya (Q.S. Al-Isra 17:32). Sebagai konsesinya, Islam membuka pintu
kemudahan dan insentif-insentif spiritual bagi pasangan yang berkehendak
menikah. Bahkan, orangtua divonis berdosa jika tak memenuhi permintaan anak
perempuannya yang minta dinikahkan. Hal ini juga berkeseusian dengan konvensi
hak asasi internasional yang menyebutkan, perkawinan hanya dapat dilakukan
oleh dua orang yang secara sadar memang menginginkan untuk menikah dan
bebas dari paksaan pihak lain.
Pengejawantahan operasional dari konsep ini dapat kita lihat dalam masyarakat
Islam santri. Kaum santri menabukan hubungan romantik antar lawan jenis di luar
institusi pernikahan, dalam bentuk apapun. Satu-satunya lembaga yang sah untuk
mengakomodasinya adalah lembaga pernikahan. Maka tak heran jika praktik
nikah dini banyak terjadi dalam masyarakat santri, baik yang berada di pedesaan
atau perkotaan.
Agaknya, inilah yang menjadi dasar kecenderungan baru itu. Menilik
Kusumadjaya (2000), remaja perempuan yang merantau dan belum menikah
adalah ibarat anak yatim yang membutuhkan pengayom. Usia remaja, secara
psikologis mereka membutuhkan orang tuanya sebagai teman perjalanan untuk
saling berbagi dan berdiskusi. Namun tak banyak orangtua yang berkemampuan
menjalin hubungan emosional seperti itu dengan anak remajanya. Tak hanya bagi
para perantau, agaknya keterputusan kedekatan emosional remaja dengan
orangtua juga masuk dalam kias ini. Tak heran kalau untuk memenuhi kebutuhan
psikis dan biologis ini, remaja putri di Perancis, Inggris dan Amerika Serikat
sebanyak 10-11% memilih melakukan pernikahan sebelum usianya genap 18
tahun.
Remaja muslim perkotaan memang bagaikan anak yatim peradaban. Jumlah
kelompok usia mereka adalah yang terbesar di negeri ini. Namun, mereka mesti
memilih diantara beberapa pilihan yang tak mudah.
Memilih menunda pernikahan sampai dipandang cukup secara sosial, itu berarti
mengikuti kebiasaan sosial yang berlaku. Artinya, mereka harus bertahan dari
gejolak naluri seksual dan emosionalnya yang membutuhkan kedekatan romantik-
emosional dengan lawan jenisnya. Hal yang biasa ditempuh untuk melakukannya
adalah ikatan dalam bentuk pacaran. Padahal, menurut survey di atas, perilaku
seks pranikah mayoritas dilakukan dalam lingkup hubungan jenis ini.
Sedangkan untuk menikah di usia muda, itu berarti memilih mengikuti ideologi
agama sebagai prinsip utamanya. Di sisi lain, itu merupakan laku yang cukup
berpotensi ditentang oleh lingkungan sosial. Apalagi jika pasangan itu secara
sosial masih dianggap bau kencur karena belum lulus kuliah, atau masih punya
ketergantungan yang besar secara finansial kepada orangtuanya.
Penulis adalah pengasuh www.endonesa.net

Pernikahan usia dini memang

menimbulkan perdebatan sampai sekarang. Para agamawan, psikolog,


kalangan medis, sosiolog, sampai pemerintah, terus saja berbicara soal
masalah yang masih banyak ditemui di masyarakat ini. Ada yang pro,
banyak juga yang memilih kontra.

Sejak kasus Syeh Puji yang menikahi Lutfiana Ulfa, gadis 12 tahun
menjadi berita utama diberbagai media beberapa waktu lalu, 'masalah
klasik' ini ramai lagi dibicarakan.

Para ulama menilai pernikahan usia dini tidak menjadi masalah asalkan
kedua pihak sudah mencapai usia baligh. Sementara para sosiolog
menilai masalah itu bertentangan dengan hukum tata negara yang
mengatur soal perkawinan. Para psikolog juga memilih kontra karena
menilai jiwa remaja berusia pra-17 tahun, masih labil dan belum matang.

Pernikahan Dini dari Berbagai Sisi

Menurut Undang-undang perkawinan, seorang laki-laki boleh menikah


kalau sudah mencapai usia minimal 19 tahun, sementara pihak
perempuan minimal 16 tahun. Kebijakan yang diatur negara ini sudah
melewati banyak pertimbangan sebelum disahkan. Secara fisik dan
psikologis, usia-usia itu adalah batas minimal seseorang bisa memikul
sebuah tanggung jawab yang lebih besar.

Sementara pertimbangan dari sisi medis, pernikahan usia dini bisa


merugikan pihak perempuan. Kondisi rahim perempuan usia dini masih
belum cukup kuat untuk melahirkan anak. Sementara menurut pakar
sosiologi, pernikahan usia dini bisa lebih memicu konflik keluarga. Ini
disebabkan usia pasangan suami istri yang masih labil, belum matang
secara pikiran, dan penuh emosi.
Dalam prakteknya, banyak ditemui praktik pernikahan dini di pedesaan,
dan kondisi mereka baik-baik saja. Para sosiolog berpendapat, itu karena
masalah kultur yang tertanam kuat dalam masyarakat desa, dan belum
tentu terjadi pada masyarakat perkotaan yang punya kultur berbeda.

Pernikahan Dini Sesuai Agama

Biasanya, pernikahan usia dini dilaksanakan karena faktor agama. Banyak


masyarakat pedesaan yang menilai daripada anaknya bertingkah macam-
macam, lebih baik dinikahkan saja. Dalam Islam sendiri, salah satu syarat
menikah adalah jika sudah berusia baligh, yaitu jika laki-laki sudah
mengalami mimpi tanda dewasa, dan pihak perempuan sudah mengalami
menstruasi pertama.

Secara harfiah, mereka berdua sudah dinilai dewasa dalam Islam karena
sudah berhak mendapat pahala dan dosa. Sementara tujuan pernikahan
dalam Islam sendiri adalah menghindari zina dan meneruskan keturunan.
Tentu menikah diusia muda pun dalam kacamata agama, tidak menjadi
masalah.

Pernikahan usia dini yang sering muncul dalam masyarakat perkotaan


adalah pernikahan karena 'kecelakaan'. Misalnya, pihak perempuan hamil
diluar nikah dengan pacarnya. Ini lantas yang membuat kedua pihak
keluarga menikahkan anak mereka.

Para sosiolog mencermati masalah ini dari sisi kontrol dan peran orang
tua yang minim. Sementara kalangan agamis menentang keras praktek
ini. Anda memilih perspektif yang mana?
http://www.anneahira.com/pernikahan-usia-dini.htm

You might also like