Professional Documents
Culture Documents
Kehadiran Islam di Inggris bisa dilacak sejak 300 tahun yang lalu, yakni berawal dari
rekrutmen para pelaut yang dilakukan oleh East India Company dari Yaman, Gujarat,
SInd, Assam, dan Bengal. Mereka dijadikan laskar. Sebagian kecil dari mereka lalu
menetap di kota-kota pelabuhan di Inggris, terutama London, Cerdiff, Liverpool, South
Shields, dan Tyneside. Muslim di negara itu memiliki akar budaya yang berbeda satu
sama lain.
Sekitar abad ke-19, sejumlah pengusaha Muslim juga telah berniaga ke kerajaan itu.
Salah satunya adalah perusahaan terkenal ‘Mohamed’s Baths’ yang didirikan di Brighton
oleh Sake Deen Mohammed (1750-1851). Selain pekerja dan pedagang, pada akhir abad
ke-19 mulai masuk juga kelompok intelektual ke Inggris. Hal ini bisa terlihat tatkala pada
periode antara 1893 hingga 1908, sebuah jurnal mingguan bernuansa islami, The Cresent,
mulai disebarkan di Liverpool. Pendiri jurnal ini adalah William Henry Quilliam (yang di
komunitas Muslim dikenal sebagai Syaikh Abdullah Quillam), yang berprofesi sebagai
pengacara. Dia masuk Islam pada 1887 setelah lama bermukim di Aljazair dan Maroko.
Ditambah lagi dengan adanya gelombang migrasi kaum Muslim secara besar-besaran ke
Inggris tahun 1950-an.
Pada 1951, penduduk Muslim di negara itu diperkirakan baru mencapai 23 ribu jiwa.
Sepuluh tahun belakangan, populasi penduduk Muslim di Inggris menjadi 82 ribu, dan
pada 1971 sudah mencapai 369 ribu jiwa. Saat ini, jumlah penduduk Muslim di Inggris
sekitar 2 juta jiwa. Membengkaknya angka migrasi ini, terutama dari negara bekas
jajahan Inggris seperti Pakistan dan Bangladesh, disebabkan adanya peluang ketersediaan
lapangan pekerjaan di Inggris, terutama industri baja dan tekstil yang berkembang pesat
di Yokshire dan Lanchasire. Terbitnya Commonwealth Immigration Act of 1962, yang
semakin memberikan kemudahan untuk menjadi warga negara Inggris bagi warga negara
bekas jajahan Inggris, juga turut mendorong laju migrasi ini.
Sebelum Tragedi 11 September, perkembangan Islam di negeri ini sangat pesat. Dari segi
kuantitas bisa dilihat dari perkembangan yang disebut di atas. Demikian juga dari segi
kualitas, kaum Muslim di sana tidak banyak mendapatkan kesulitan yang berarti tatkala
berusaha mengimplementasikan keberagamaannya. Hal ini didukung oleh kebijakan
pemerintah Inggris yang secara tegas membebaskan seluruh warganya untuk memeluk
dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Artinya, setiap warga negara Inggris tidak
dibatasi dan dilarang untuk memeluk suatu agama apa pun. Negara tidak mengeluarkan
agama resmi yang diakui oleh negara. Setiap warga negara dapat memeluk agama apa
pun (termasuk di dalamnya tidak beragama sekalipun) walaupun agama tersebut baru,
termasuk menjalankan seluruh ajarannya. Di samping itu, ini didukung pula oleh sikap
masyarakat Inggris yang sangat tak acuh pada keberadaan agama selama mereka tidak
merasa terganggu. Dari sinilah akhirnya perkembangan Islam begitu cepat.
Namun, di balik kebebasan yang ada masih terdapat ganjalan-ganjalan secara kolektif
yang dikembangkan baik oleh pemerintah maupun kelompok-kelompok yang ada.
Sebagai contoh, hingga saat ini, banyak dari kalangan generasi muda Muslim yang rata-
rata berasal dari Asia Selatan tengah mengalami pergulatan hebat yang kompleks,
terutama terkait dengan persoalanan identitas mereka sebagai Muslim. Mereka cenderung
mudah teralienasikan dari bingkai kemuslimannya sebagai akibat tingginya angka
pengangguran, rendahnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan, kualitas iman,
persoalan kehidupan wanita dalam ruang publik, perspektif yang bias dari media hingga
isu-isu rasial.
Apalagi pasca Tragedi 11 September 2001, yang ternyata memberikan dampak yang
sangat hebat bagi Muslim di Inggris. Bukan lagi seputar isu, namun lebih dari itu,
tindakan rasial yang selama ini hanya sedikit jumlahnya menimpa kaum Muslimin di
sana, setelah tragedi tersebut, dari sisi kuantitas semakin sering dialami oleh kaum
Muslim di berbagai sektor kehidupan. Sikap rasis jamak dilihat di tempat-tempat pusat
kebudayaan Islam. Sering terjadi, sebagian dari kaum Muslim yang bepergian mengalami
tindakan serupa di bandar udara atau stasiun kereta api internasional. Untuk meredam
kemungkinan dampak negatif yang dialami komunitas Muslim, sehari setelah serangan
itu, Perdana Menteri Tony Blair menyatakan, “Tindakan yang tercela (pengeboman
WTC) itu sangat kontras dengan nilai-nilai Islam. Mayoritas Muslim secara luas sangat
luwes, orang-orang jujur, yang juga mengalami kengerian yang sama terhadap apa yang
telah terjadi.”
Namun, pasca tragedi ini pula terjadi perubahan sikap pemerintah terhadap komunitas
Muslim. Saat ini telah ditunjuk secara khusus oleh parlemen Inggris beberapa tenaga ahli
yang ditugasi untuk mempelajari Islam secara mendetil untuk membantu pengambilan
keputusan politik yang terkait dengan komunitas Islam. Dari sinilah posisi kaum Muslim
di sana mulai mengalami sejumlah hambatan hingga marjinalisasi sistemik.
Jika kita lihat lebih dalam, seolah-olah kebijakan yang diambil oleh PM Tony Blair
terkait dengan kebijakan dalam dan luar negerinya bertentangan satu dengan lainnya.
Namun, jika ditilik lebih lanjut, ternyata apa yang diambil justru saling menguatkan.
Memang, jika ditilik dari kebijakan luar negerinya, Inggris cenderung memusuhi Islam.
Kondisi ini tampak pada bagaimana kengototan Inggris bersama AS menggempur
Afganistan dan Irak yang menyiratkan secara tegas kebenciannya pada Islam. Belum lagi
jika ditilik dari akar sejarah, Inggrislah yang menghancurkan Daulah Khilfah Islamiyah
di Istambul Turki. Melalui konspirasi yang keji bersama antek-anteknya (Mustafa Kemal,
dll), mereka secara berlahan tetapi pasti merongrong dan selanjutnya menggulingkan
Khilafah sekaligus menggantinya dengan pemerintahan sekular ala Inggris. Dari sini
dapat dipahami mengapa dalam kerangka politik luar negerinya, Inggris begitu ‘gelap
mata’ terhadap negeri-negeri Islam.
Namun, kebijakan sebaliknya, yaitu melindungi warga Muslim, diambil dalam kebijakan
politik dalam negeri Inggris. Bukan hanya warga Muslim yang sudah sejak lama menjadi
warga negaranya, namun tokoh-tokoh Muslim pelarian dari berbagai negeri Muslim pun
dapat dengan mudah mendapatkan suaka untuk selanjutnya melanjutkan aktivitasnya
seperti yang dilakukan di negeri asalnya. Artinya, seluruh kaum Muslim, selama dia
masih menjadi warga negara Inggris, akan senantiasa dibela dan dilindungi, baik tatkala
dia berada di dalam wilayah Inggris maupun bukan. Walaupun secara ide mereka sangat
berseberangan atau cenderung bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah, mereka
bebas melakukannya.
Kebijakan yang seolah-olah ambigu antara satu dengan yang lain, jika kita telusuri lebih
jauh tidak bertentangan satu sama lain. Justru yang ada adalah sesuai dengan doktrin
politik luar negerinya, yaitu melindungi keamanan dan meningkatkan pengaruh Inggris di
dunia Internasional, serta mendukung terciptanya suatu tatanan internasional yang tertib
dan aman.
Namun, secara praktis kebijakan di atas muncul sebagai akibat dari pertama: institusi
Inggris mengatur dan melindungi kebebasan setiap individu untuk berekspresi dan
mengeluarkan pendapatnya. Pemerintah Inggris ingin tetap mencitrakan diri sebagai
negara demokratis yang senantiasa menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi dan
HAM. Oleh karena itu, setiap warga negara dijamin kebebasannya mengeluarkan
pendapatnya walau berseberangan dengan pemerintah atau bahkan cenderung menghina.
Sebagai contoh apa yang terjadi dalam demonstrasi menentang kebijakan Blair
menggempur Irak. Para demonstran menggambarkan Blair sebagai kaki tangan Bush
dengan replikasi Bush sebagai tuan sedangkan Blair sebagai anjing piaraan. Penghinaan
ini tidak dituntut sama sekali oleh pemerintah. Kondisi ini menunjukkan betapa
kebebasan mengeluarkan pendapat sangat dijunjung tinggi. Tokoh-tokoh Islam dapat
dengan leluasa—tanpa ada rasa khawatir terkena undang-undang anti-subversif—
menyampaikan ide-ide Islam yang notabene bertentangan secara frontal dengan ideologi
sekular yang diusung oleh pemerintah Inggris. Dengan kebebasan ini pula, mereka dapat
dengan mudah menyampaikan ide-ide Islam kepada khalayak ramai untuk kemudian
mengajak mereka menerapkan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, untuk menghadapi politik Amerika. Kita tahu persis bahwa tokoh-tokoh Islam
yang bersuara vokal tersebut pada intinya senantiasa menyerang politik AS. Kondisi ini
menghasilkan keuntungan tersendiri bagi Inggris. Walaupun secara ideologi tidak ada
perbedaan, terjadi perbedaan kepentingan antara Inggris dengan AS, baik dalam ekonomi
atau dalam sejumlah hal lainnya. Perbedaan ini kemudian memicu Inggris mencoba
menerjemahkan kebijakannya agar doktrin politik luar negerinya tetap tercapai. Di satu
sisi Inggris adalah sekutu setia AS yang akan senantiasa diminta bantuan untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada. Namun di sisi lain, Inggris sebetulnya merupakan
rival AS yang harus diperhitungkan. Kebijakan politik luar negeri Inggris yang hampir
sama dengan AS jelas akan mengakibatkan terjadinya benturan kepentingan. Contohnya
adalah dalam kasus perebutan kepentingan ekonomi di kawasan Timur Tengah. Inggris
sudah sejak lama menanamkan agen-agennya di Timur Tengah untuk mengamankan
kepentingannya. Namun, sejak Perang Teluk I usai, kestabilan kepentingan dan
keberadaan agen-agen Inggris di Timur Tengah mulai bergeser atau bahkan mulai
terkikis oleh kepentingan dan agen AS. Ladang-ladang minyak dan hasil bumi lainnya
mulai tersedot ke Amerika. Belum lagi tingkat loyalitas para pemimpin di negeri Muslim.
Pada awalnya, bisa dipastikan bahwa mereka semua adalah agen Inggris. Namun, pasca
Perang Teluk I kondisinya mulai berubah. Mereka mulai memberikan loyalitasnya
kepada AS. Kondisi ini tentu sangat merugikan kepentingan Inggris.
Dari sinilah mengapa pada akhirnya dengan masuknya para tokoh Islam yang kritis
terhadap AS di Inggris justru menjadi ‘berkah’ tersendiri bagi Inggris. Keberadaan
mereka kemudian disulap menjadi bentuk dukungan real dari salah satu komponen
masyarakat untuk memenangkan persaingan dengan AS. Selain itu, mereka juga
dijadikan tempat produksi ‘senjata’ kritik ampuh yang mudah didapat untuk digunakan
mengkritisi kebijakan AS. Namun, justru kebijakan ini pun menjadi ‘berkah’ lain bagi
perkembangan Islam di Inggris.
Dari sini tampak jelas, bahwa walaupun kelihatan bertentangan, pada hakikatnya
kebijakan luar dan dalam negeri Inggris tetap sama, yaitu untuk kemajuan dan kejayaan
Inggris sendiri
Menurut The Almanac Book of Facts, jumlah penduduk dunia meningkat 173%
selama satu dasa warsa terakhir. Pemeluk Kristen meningkat 46%,
sementara
pemeluk Islam meningkat 235%. Di Amerika saja, menurut sebuah survei
terakhir, sebanyak 100 ribu orang setiap tahunnya menjadi muslim. Di
Islamic Cultural Center, New York (Masjid terbesar di kota itu), selama
Ramadhan tahun lalu rata-rata 10 orang setiap pekan memeluk Islam,
menurut
Imam Masjid Ustadz Muhammad Syamsi Ali.
Di Inggris saat ini terdapat 14200 mualaf berkulit putih ? datang dari
kalangan bagsawan, pejabat sampai celebritis, yang berbondong-bondong
bersyahadat sesudah kecewa dengan gersangnya nilai-nilai kehidupan
Barat.
Menariknya, jumlah perempuan yang memeluk Islam jumlahnya empat kali
lipat
dari jumlah mualaf pria. Menurut survei, salah satu sebabnya karena
mereka
menilai Islam sangat memuliakan kaum wanita.
Yahya Birt (was Jonathan Birt), anak Lord Birt, mantan Bos BBC,
mengungkapkan hasil penelitiannya, saat ini ada 14200 mualaf kulit
putih
di Inggris. Birt sendiri seorang doktor Lulusan Universitas Oxford yang
kemudian menjadi muslim dan aktif berdakwah di Inggris. Awalnya, Birt
tidak mampu menjelaskan ketertarikannya pada Islam. "Saya terus menerus
berfikir (sampai akhirnya) kesempurnaan, kesimbangan, ikatan, dan
spiritualitas jalan hidup seorang muslimlah yang meyakinkan saya untuk
memeluk Islam."
Charles Le Gai Eaton, seorang Diplomat dan penulis buku "Islam and The
Destiny of Man" berkata, "Saya menerima surat dari beberapa orang yang
merasa agama Kristen terlalu plin-plan dalam menghadapi dunia modern.
Mereka tengah mencari agama yang mempunyai aturan yang jelas dan tidak
terlalu mengikuti arus dunia modern."
Ustadz Syamsi Ali mengatakan, bahwa sebagian besar yang masuk Islam
memang
dari kaum wanita dan dari kalangan etnis Latin. Salah satu perempuan
itu
Samantha Sanchez, ahli Antropologi kebudayaan yang kemudian menjadi
aktifis LADO (Lation American Dawah Organization) yang berbasis di New
York. Didirikan pada September 1997. Tujuan organisasi ini adalah
memperkenalkan Islam lewat bahasa Spanyol dan Porto. Organisasi ini
terbuka bagi semua ras, tetapi LADO menilai sangat penting untuk
meningkatkan kesempatan dakwah di antara sesama muslim Amerika Latin.