You are on page 1of 36

Masail Fiqhiyah terurai dari kata 

mas’alah dalam bentuk mufrad (singular) yang dijamakkan (plural)


dan dirangkaikan dengan kata fiqih. Masail fiqihiyah adalah masalah yang terkait dengna fiqih, dan
yang dimaksud masalah fiqih pada term masail fiqihiyah ialah persoalan – persoalan yang muncul
pada konteks kekinian sebagai refleksi kompleksitas problematika pada suatu tempat, kondisi dan
waktu. Dan persoalan tersebut belum pernah terjadi pada waktu yang lalu, karena adanya
perbedaan situasi yang melingkupinya.
Ruang Lingkup
Dengan lahirnya masail fiqihiyah atau persoalan-persoalan kontemporer, baik yang sudah terjawab
maupun sedang diselesaikan bahkan prediksi munculnya persoalan baru mendorong kaum muslimin
belajar dengan giat mentelaah berbagai metodologi penyelesaian masalah mulai dari metode ulama
aklasik sampai ulama kontemporer.
Untuk itu tujuan mempelajari masail fiqhiyah secara garis besar diorientasikan kepada mengetahui
jawaban dan mengetahiui proses penyelesaian masalah melalui metodologi ilmiah, sistematis dan
analisis. Dari sudut fiqh penyelesaian suatu masalah dikembalikan kepada sumber pokok (Al-Qur’an
dan Al-Sunnah), ijma’, qiyas dan seterusnya. Sehingga nilai yang dihasilkan senantiasa berada
dalam koridor . penetapan hukum akan difokuskan kepada tiga aspek :

1. Memperbaiki manusia secara individu dan kolektif agar dapat menjadi sumber kebaikan
bagi masyarakat.
2. Menegakkan keadilan dalam masyarakat Islam.
3. Hukum Islam terkandung didalamnya sasaran pasti yaitu mewujudkan kemaslahatan. Tidak
ada hal yang sia-sia di dalam syari’at melalui Al-Qur’an dan al-Sunnah kecuali terdapat
kemaslahatan hakiki di dalamnya.

Langkah -Langkah Penyelesaian Masail Fiqhiyah


Dasar –dasar penyelesaian masalah dalam bentuk beberapa kaidah penting
1. Menghindari sifat taqlid dan fanatisme
Upaya menghindarkan diri dari fanatisme mazhab tertentu dan taqlid buta terhadap pendapat
ulama klasik seperti pendapat Umar bin al-Khattab, Zaid bin Tsabit atau pendapat ualama
moderen, kecuali ia adalah seorang yang bodoh dan telah melakukan kesalahan. Pelakunya
disebut muqallid yang dilawankan dengn muttabi’. Yaitu muttabi’ dengan kriteria sebagai berikut :

 Menetapkan suatu pendapat yang dianutnya dengan dalil-dalil yang kuat, diakui dan tidak
mengundang kontroversi.
 Memiliki kemampuan untuk mentarjih beberapa pendapat yang secara lahiriyah terjadi
perbedaan melalui perbandingan dalil-dalil yang digunakan masing-masing.
 Diharapkan memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan berijtihad terhadap hukum
persoalan tertentu yang tidak didapati jawabannya pada ulama terdahulu.

2. Prinsip mempermudah dan menghindarkan kesulitan


Kaedah ini patut diperlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan nash qath’i atau kaidah
syari’at yang bersifat pasti. Dengan dua pertimbangan sebagai berkut:
 Bahwa keberadaan syari’at didasarkan kepada prinsip mempermudah dan menghindarkan
kesulitan manusia seperti sakit, dalam perjalanan, lupa,  tidak tahu dan tidak sempurna
akal. Taklif Allah atas hambanya disesuaikan dengan kadar kemampuan yang dimiliki.
 Memahami situasi dan kondisi suatu zaman yang dialami pada saat munculnya persoalan.
Adapun kriteria maslahat sebagaimana yang biasa dikenal adalah menrealisasikan lima
kepentingan pokok dan disebut dengan darurat khomsa, yaitu memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara harta, memelihara keturunan.

3. Berdialog dengan masyarakat melalui bahasa kondisi masanya dan melalui pendekatan persuasif
aktif serta komunikatif.
Ketentuan hukum yang akan diputuskan harus disesuaikan masyarakat yang diinginkannya dan
menggunakan bahasa layak sebagaimana bahasa masyarakat dimana persoalan itu muncul. Bahasa
masyarakat yang ideal :

 bahasa yang dapat dipahami sebagai bahasa sehari-hari dan mampu menjangkau
pemahaman umum.
 Menghindarkan istilah-istilah rumit yang mengundang pengertian kontroversi.
 Ketetapan hukum bersifat ilmiah karena didasarkan pertimbangan hikmah, illat, filisofis
dan Islami.

4. Bersifat moderat terhadap kelompok tekstualis dan kelompok kontekstualis.


Dalam merespon persoalan baru yang muncul, ulama bersandar kepada al-nash sesuai bunyi literal
ayat tanpa menginterpretasi lebih lanjut diluar teks itu. Dipihak lain, kelompok kontekstualis lebih
berani menginterprestasikan produk hukum al-nash dengan melihat kondisi zaman dan lingkungan.
Sementara kelompok ini dinilai terlalu berani bahkan dianggap melampaui kewenangan ulama salaf
yang tidak diragukan kehandalannya dalam masalah ini. Menurut mereka perbedaan masa,
masyarakat, geografis, pemerintahan dan perkembangan teknologi moderen patut dipertimbangkan
serta layak mendapat perhatian.
5. Ketentuan hukum bersifat jelas tidak mengandung interpretasi.
Bahasa hukum relatif tegas dan membutuhkan beberapa butir alternatif keterangan dan diperlukan
pengecualian-pengecualian pada bagian tersebut. Pengecualian ini merupakan langkah elastis guna
menjangkau kemungkinan lain diluar jangkauan ketentuan yang ada. Misalnya ketentuan hukum
potong tangan terhadap pencuri sebuah barang yang telah mencapai nisab. Umar bin Khatthab
pernah tidak memberlakukan hukum ”had” atau potong tangan terhadap pencuri barang tuannya,
karena sang tuan pelit, dan tidak membayar upah si pelayan, maka ia memcuri barang sang tuan
demi kebutuhan mendesak yaitu kelaparan.
Hikmah percaya kepada takdir

“Tiada suatu bencana pun yg menimpa di bumi dan tiada menimpa dirimu kecuali telah tertulis
di dalam kitab sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yg demikian itu adl mudah bagi
Allah. Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yg luput darimu dan supaya kamu tidak
merasa bangga dgn apa yg telah diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai tiap orang yg
sombong lagi membanggakan diri.” . Beriman kepada qadar baik dan buruk adl salah satu rukun
iman yg wajib diyakini oleh tiap mukmin. Itu merupakan awal dari tawakal kepada Allah dalam
segala usaha yg dilakukannya. Dengan iman pada qadar tiap mukmin akan optimis dan selalu
optimis dalam segala tindak tanduk dan perbuatan serta usahanya. Karena setelah ia mencurahkan
segala kemampuan yg ada padanya ia akan bertawakkal kepada Allah semata dalam hasil yg akan
dicapainya. Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Dia tidak melakukan dan menetapkan
sesuatu pada hamba-Nya kecuali ada hikmahnya. Lagi pula Dialah yg mengetahui apa yg baik dan
buruk bagi hamba-Nya. Dengan modal iman akan qadar baik dan buruk dan bahwa semua itu telah
ditulis di al-Lauh al-Mahfuzhseorang mu’min akan siap jiwa raga menerima apa pun hasil yg diraih
apa pun yg menimpanya. Jika buruk yg dicapai atau musibah yg menimpa itu tidak akan
membuatnya sedih dan larut dalam kesedihan dan duka lara. Jika ia tidak mencapai apa yg
diinginkannya walau pun sudah mengerahkan segala daya upaya ia tidak akan berkecil hati
karenanya. Ia tahu bahwa apa yg disukainya belum tentu baik baginya dan apa yg dibencinya
belum tentu buruk baginya. Sebaliknya jika kesuksesan dan keberhasilan serta untung yg diraihnya
ia tidak serta merta merasa bahwa itu semua merupakan hasil jerih payahnya semata. Ia sadar
bahwa semua itu adl karunia Allah semata. Ia tidak akan menyombongkan dirinya dgn segala
keberhasilan itu. Tentunya dgn menyadari ini semua ia tidak akan kikir atau pelit dalam berbagi
dgn sesama sebagian dari keberhasilan dan keuntungan yg diraihnya. Jika iman akan qadar baik
dan buruknya kurang mantap hal itu akan membawa dampak negatif pada seseorang dalam
menyikapi segala yg terjadi dalam kehidupan dunia ini. Apabila buruk yg diraih dan menimpanya ia
akan larut dalam kesedihan dan kepesimisan. Bahkan akan mudah tumbuh subur di hatinya rasa
dengki dan iri terhadap orang lain yg berhasil. Namun jika keberhasilan dan kesuksesan yg
diraihnya secara perlahan akan tumbuh rasa bangga dan sombong dalam jiwanya krn merasa
bahwa apa yg diraihnya adl hasil usahanya semata. Akibatnya ia akan membanggakan diri pada
orang lain kikir dan pelit utk berbagi kecuali ada tujuan tertentu. Itulah sifat si Qarun yg dulunya
miskin kemudian menjadi kaya raya setelah Allah mengabulkan doa nabi Musa ‘Alaihissalaam utk si
Qarun. Kekayaannya melimpah ruah sampai-sampai kunci gudang-gudang penyimpanan hartanya
tidak mampu diangkat oleh beberapa orang yg kuat. Tetapi rupanya dia tidak tahu diri dan tidak
mau bersyukur. Dia malah membanggakan dirinya bahwa apa yg dimilikinya adl krn kepintarannya.
Dia lupa bagaimana dia dulu merengek-rengek kepada nabi Musa‘Alaihissalaam agar didoakan
supaya Allah memberinya kekayaan. Dia kikir dan pelit luar biasa krn baginya ia tidak perlu
berbagi dgn orang-orang miskin yg bodoh menurutnya. Akhirnya Allah menenggelamkan si Qarun
dan seluruh harta kekayaannya ke dalam perut bumi tanpa ada yg tersisa. Itulah salah satu contoh
orang congkak akan segala ni’mat yg diraihnya. Ia tidak menyadari bahwa baik dan buruk
merupakan qadar yg sudah Allah tetapkan di al-Lauh al-Mahfuzh dan bahwa semua itu adl ujian
baginya. Kalaulah seseorang menyadari hal yg demikian ia akan sadar bahwa ia tidak punya alasan
utk menyombongkan diri atas orang lain apalagi di hadapan Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Wallahu
a’lam. Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Alhamdulillah segala puji bagi Allah yg telah memberikan ni’mat Iman dan Islam kepada kita. Aku
bersaksi tiada Tuhan yg wajib disembah kecuali Allah. Tiada sekutu baginya. Dialah yg memiliki
kerajaan langit dan bumi. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adl utusan Allah. Semoga
shalawat dan salam selalu tercurahkan kepadanya kepada shahabat dan kepada kerabatnya. Amma
ba’duWahai kaum Muslimin rahimakumullah! Allah SWT telah berfirman yg artinya “Hai orang-
orang yg beriman jika datang kepada kamu orang fasik membawa berita periksalah dgn teliti
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yg menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” Allah SWT telah begitu tegas
memberikan panduan kepada kaum muslimin di dalam menyikapi suatu informasi telitilah beritayg
dibawa atau disiarkan oleh orang-orang fasik. Artinya jangan mudah percaya begitu saja kepada
suatu berita kabar opini atau informasi yg disebarkan oleh orang-orang fasik. Siapakah orang-orang
yg disebut fasikitu?Kata fasik berasal dari kata dasar al-fisq yg berarti “keluar” . Para ulama
mendefinisikan fasik sebagai “orang yg durhaka kepada Allah SWT krn meninggalkan perintah-Nya
atau melanggar ketentuannya.” Orang fasik adl orang yg melakukan dosa besar dan sering
melakukan dosa kecil. Jika tidak cermat memang tidak mudah bagi kita utk memahami arti kata
fasik. Karena di dalam Al-Qur’an kata fasik muncul dalam berbagai konteks. Kategori fasik bisa
terjadi akibat dosa besar atau dosa kecil. Adapun kategori kafir hanya terjadi akibat tidak beriman
atau dosa besar yg memang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam seperti syirik akbar
meyakini bolehnya meninggalkan shalat fardhu lima waktu dan dosa-dosa lain yg memenuhi syarat
utk menjadikan pelakunya kafir. Jadi orang fasik belum tentu kafir tetapi orang kafir sudah tentu
adl fasik. Sebagian ulama mazhab Syafi’i menyatakan bahwa seseorang dapt dikatakan tidak fasik
apabila kebaikannya lbh banyak dari kejahatannya dan tidak terbukti bahwa ia sering berdusta.
Kaum Muslimin rahimakumullah!Tigkat penerimaan atau kepercayaan kita terhadap suatu
informasi antaraberita atau informasi mengenai masalah agama yaitu yg bersumber Al-Qur’an dan
As-Sunnah dgn kabar berita masalah lainnya tidaklah sama. Mengapa dikatakan tidak sama?
Bukankah sama-sama kabar/berita/informasi? Islam memiliki mekanisme yg cukup rapi terpercaya
dan meyakinkan di dalam konsep penyampaianberita/informasi. Islam menempatkan identifikasi
“kefasikan” dan “keadilan” sebagai hal yg penting. Para ulama ahli hadits telah melakukan
suatu penelitian dan penilaian terhadap sifat keadaan dan perilaku seseorang yg meriwayatkan
sebuah hadits. Al-Mawardi meriwayatkan sebuah hadits Nabi SAW “Umumkanlah orang fasik dgn
kondisi yg ada padanya agar masyarakat mewapadainya.” Imam Thabrani juga meriwayatkan
sebuah hadits dgn sanad hasan “Sampai kapan kamu enggan menyebut tentang orang pendusta ?
Umumkanlah sampai masyarakat mengetahuinya.” Para imam hadits tidak sembarang dalam
menerima tiap sanad yg disebutkan orang tetapi mereka menyeleksi tiap perawi yg ada dalam
sanad dgn ketat. Para perawi hadits itu diteliti kecerdasannya akhlaknya guru-gurunya dan juga
murid-muridnya. Jika tidak jelas hadits yg bersumber dari perawi tersebut ditolak. Para perawi
hadits disyaratkan harus jujur kuat hafalan adil dan disiplin. Berdasarkan seleksi para pakar hadits
itulah mereka kemudian membuat kategorisasi hadits dan membaginya ke dalam tiga kelompok

Hadits Mutawatir yakni hadits yg diriwayatkan banyak sahabat banyak tabi’in dan
seterusnya yg dipastikan mereka tidak mungkin bersepakat berbohong. Hadits tingkat ini
dapat diyakini kebenaran secara pasti bahwa kabar atau berita itu berasal dari Nabi SAW.
Hadits Masyhur yaitu hadits yg diriwayatkan oleh satu atau dua orang sahabat tetapi tidak
sampai mencapai derajat mutawatir lalu diriwayatkan oleh generasi sesudahnya dgn
derajat mutawatir.
Hadits Ahad yaitu hadits yg seluruh perawinya mulai generasi sahabat tabi’in dan tabi’it
tabi’in tidak mencapai derajat mutawatir. Kemudian macam hadits yg ketiga yaitu hadits
ahad dikelompokkan lagi menjadi tiga macam yaitu
Hadits Sahih yaitu hadits yg diriwayatkan oleh perawi yg adil sempurna ketelitiannya
sanadnya bersambung sampai kepada Nabi SAW tidak mempunyai cacat dan tidak
bertentangan periwayatan orang yg lbh terpercaya.
Hadits Hasan yaitu hadits yg diriwayatkan oleh perawi yg adil tetapi kurang ketelitiannya
sanadnya bersambung sampai Nabi SAW tidak mempunyai cacat dan tidak bertentangan
dgn periwayatan orang yg lbh terpercaya. Jadi bedanya dgn hadits sahih terdapat pada
ketelitian perawi.
Hadits Dha’if yakni hadits yg tidak memenuhi syarat sahih maupun hasan. Adapun hadits
dha’if ini banyak jenisnya yaitu maudhu’ mursal munqathi’ mu’allaq mudallas mudraj
munkar dan mubham. Saudara kaum Muslimin yg berbahagia!Ternyata di dalam agama
Islam utk menerima suatu hadits atau kabar yg diterima dari Rasulullah SAW memiliki
syarat-syarat yg sangat berat. Ini merupakan suatu mekanisme yg sangat berharga bagi
agama yg lurus ini dimana agama-agama lain di dunia tidak memiliki mekanisme sumber-
sumber berita keagamaan yg dapat dipercaya. Kalau kita bertanya kepada ummat Nashrani
misalnya mengapa kitab injil yg saudara yakini kebenarannya itu terjadi perbedaan di
antara kitab-kitab Injil yg ada di dunia? Bagaimana bisa berbeda? Bisakah menelusuri siapa-
siapa saja yg telah meriwayatkan ayat-ayat yg ada dalam kitab Injil? Menelusuri siapa yg
meriwayatkanberita saja tidak mampu bagaimana mungkin berita itu layak dipercayai
apalagi diyakini menjadi suatu keyakinan!? Tetapi di dalam Islam siapa saja yg ingin
membuktikan Al-Qur’an dimana pun Anda berada pasti kalimat dan maknanya sama baik
Al-Qur’an cetakan Belanda maupun Al-Qur’an Indonesia. Dan lbh menakjubkan lagi jika
kita kumpulkan anak-anak remaja yg hafal Al-Qur’an barapa banyak mereka sungguh
melimpah ruah apalagi orang-orang dewasa. Mereka hafal Al-Qur’an krn dibimbing oleh
gurunya yg hafal gurunya dari guru gurunnya dan seterusnya sambung-menyambung hingga
dari Rasulnya Muhammad SAW. Begitulah sekelumit di antara tanda-tanda kebenaran
kabar beritayg dibawa Muhammad SAW hingga hari ini dismping seabreg tanda-
tanda lainnya jika kita mau memaparkannya. Kaum Muslimin rahimakumullah!Demikianlah
kajian dakwah jumat yg singkat ini semoga dapat bermanfaat utk kita semua sebagai
bahan renungan bagi kita bahwa nilai kabar mengenai agama kita hingga hari ini detik ini
adl suatu kabar yg dapat diyakini dgn pasti kebenarannya. Sehingga dengannya keyakinan
kita bertambah mantap bertambah yakin dan bertambah kuat keimanan kita amin.
. Hukum Adopsi Anak

Tidak mengapa bila selama masa penantian dan berdoa itu, anda berniat untuk memelihara anak orang
lain. Istilah yang tepat bukan adopsi melainkan hadhanah. Artinya adalah mengasuh atau memelihara.

Hadhanah ini berbeda dengan adopsi. Sebab dalam proses adopsi yang legal itu sampai mengubah
nasab anak tersebut di dalam dokumennya. Padahal anak itu punya nasab sendiri, dia punya ayah dan
ibu yang sah, tetapi kemudian secara legal hukum diubah sedemikian rupa menjadi anak anda.

Bahkan dalam implemantasinya, anak itu seharinya-hari dibohongi seumur hidup dengan mengatakan
bahwa diri anda adalah ayahnya. Bahkan menyapa anda dengan panggilan khas seorang anak kepada
ayahnya.

Maka adopsi yang seperti ini tegas diharamkan dalam syariah Islam. Di antara dalilnya adalah firman
Allah SWT:

Panggilah mereka dengan nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika
kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi apa yang disengaja oleh
hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Ahzab: 5).

Dalam ayat di atas kita dilarang untuk memanggil seseorang dengan nama ayah yang bukan ayah
kandungnya. Seperti nama orang tua angkat. Dan penisbahan nasab seseorang kepada yang bukan
haknya hanya akan melahirkan kerancuan dalam hukum Islam.

Untuk itu bila anda ingin memelihara anak orang lain, pastikan anda tidak mengubah nasabnya, juga
tidak membohonginya dengan mengatakan bahwa anda adalah ayahnya. Tidak mengapa sejak awal
anak itu tahu bahwa anda bukan ayahnya. Sebab yang menjadi inti masalah bukan status, tetapi
bagaimana sikap dan perlakuan anda kepadanya. Sebab memang hal itulah yang secara langsung anak
itu rasakan.

Untuk apa anda berbohong mengatakan bahwa anda adalah ayah kandungnya, sementara anda justru
tidak pernah punya waktu untuk menemaninya bermain, belajar dan mengisi hari-hari?

2. Bayi Tabung

Pada dasarnya, upaya untuk mengusahakan terjadinya pembuahan yang tidak alami tersebut hendaknya
tidak ditem puh, kecuali setelah tidak mungkin lagi mengusahakan terja dinya pembuahan alami dalam
rahim isteri, antara sel sperma suami dengan sel telur isterinya.

Dalam proses pembuahan buatan dalam cawan untuk mengha silkan kelahiran tersebut, disyaratkan sel
sperma harus milik suami dan sel telur harus milik isteri. Dan sel telur isteri yang telah terbuahi oleh sel
sperma suami dalam cawan, harus diletakkan pada rahim isteri.

Hukumnya haram bila sel telur isteri yang telah ter buahi diletakkan dalam rahim perempuan lain yang
bukan isteri, atau apa yang disebut sebagai “ibu pengganti” (surrogate mother). Begitu pula haram
hukumnya bila proses dalam pembuahan buatan tersebut terjadi antara sel sperma suami dengan sel
telur bukan isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri. Demikian
pula haram hukumnya bila proses pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma bukan suami dengan
sel telur isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri.

BID'AH ADOPSI

Islam sangat berusaha keras untuk menjaga harga diri dan keturunan dari kerancuan. Diantara aturan yang
ditetapkan oleh syari'at Islam dalam hal ini ialah larangan mengadopsi.

Yang dimaksud dengan adopsi ialah, sepasang suami istri mengambil anak laki-laki atau perempuan dari pasangan
suami istri lain untuk dirawat seperti anak kandung sendiri. Bahkan ada beberapa pasangan suami istri yang
kemudian menisbatkan nama si anak kepada nama mereka.

Adopsi ini dilarang oleh syari'at Islam yang hanif, karena akan menimbulkan kerancuan dalam keturunan dan nasab.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih
adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka
sebagai)saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu
khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha
Penyayang" [Al-Ahzab : 5]

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah dalam kitab Tafsirnya, III/466 mengatakan "Inilah hukum yang menasakh atau
menghapuskan diperbolehkannya mengadopsi anak seperti yang terjadi pada zaman permulaan Islam. Allah
menyuruh untuk  mengembalikan nasab anak-anak yang diadopsi tersebut kepada bapak-bapak mereka yang
sebenarnya. Dan itulah yang namanya keadilan dan kebaktian".

Terdapat riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berisi ancaman keras terhadap orang yang mengaku-ngaku
nasab keturunan. Beliau bersabda.

"Artinya : Adalah kafir seseorang yang mendakwakan (mengaku-ngaku) nasab keturunan yang tidak ia kenal, atau
yang mengingkarinya, walaupun secara  halus" [Hadits Hasan ini diriwayatkan oleh Ibnu Al-Qath Than dalam 
tambahannya terhadap kitab Al-Sunan Ibn Majah (2744) dengan sanad yang hasan dari hadits Abdullah bin Amr bin
Al-Ash]

Diantara efek buruk adopsi adalah.

1.Anak yang diadopsi mungkin akan melihat apa yang tidak boleh dilihat pada isteri dan puteri-puteri orang yang
mengadopsinya, karena statusnya adalah orang lain, sehingga mereka tidak boleh memperlakukan anak yang
diadopsi tersebut sebagai mahram.

2. Anak-anak yang diadopsi ikut bersama dalam hak pusaka dan hak-hak lain yang bersifat syar'iyah. Jadi kesannya
seolah-olah ia adalah salah seorang anak kandung orang yang mengadopsinya sehingga bisa ikut memakan hak
anak-anak kandungannya sendiri.

3. Mengharamkan sesuatu yang tidak ada dalam aturan syari'at Islam, yakni pernikahan anak yang diadopsi dengan
puteri-puteri orang yang mengadopsinya.

4. Kemungkinan terjadinya pernikahan anak yang diadopsi dengan saudara-saudara perempuannya dari ibunya
yang asli, karena nasab anak yang diadopsi berbeda nasab dengan sauadara-saudara perempuannya tersebut yang
sesungguhnya adalah nasab yang sebenarnya.

Dan masih banyak lagi efek-efek negatif lainnya.

[Disalin dari kitab 30 Bid'ah Wanita oleh Amru Abdul Mun'im, hal 122-125,Pustaka Al-Kautsar]

 
ADOPSI DAN HUKUMNYA

Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta

Pertama : Adopsi anak sudah dikenal sejak zaman jahiliyah sebelum ada risalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Dahulu anak adopsi dinasabkan kepada ayah angkatnya, bisa menerima waris, dapat menyendiri dengan
anak serta istrinya, dan istri anak adopsi haram bagi ayah angkatnya (pengadopsi). Secara umum anak adopsi
layaknya anak kandung dalam segala urusan. Nabi pernah mengadopsi Zaid bin Haritsah bin Syarahil Al-Kalbi
sebelum beliau menjadi Rasul, sehingga dipanggil dengan nama Zaid bin Muhammad. Tradisi ini berlanjut dari
zaman jahiliyah hinga tahun ketiga atau ke empat Hijriyah.

Kedua : Kemudian Allah memerintahkan anak-anak adopsi untuk dinasabkan ke bapak mereka (yang sebenarnya)
bila diketahui, tetapi jika tidak diketahui siapa bapak yang asli, maka mereka sebagai saudara seagama dan loyalitas
mereka bagi pengadopsi juga orang lain. Allah mengharamkan anak adopsi dinasabkan kepada pengadopsi (ayah
angkat) secara hakiki, bahkan anak-anak juga dilarang bernasab kepada selain bapak mereka yang asli, kecuali
sudah terlanjur salah dalam pengucapan. Allah mengungkapkan hukum tersebut sebagai bentuk keadilan yang
mengandung kejujuran dalam perkataan, serta menjaga 
nasab dari keharmonisan, juga menjaga hak harta bagi orang yang berhak memilikinya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah
perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama-nama bapak mereka, itulah yang lebih baik dan
adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu 
terhadaap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [Al-Ahzab : 4-5]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

"Artinya : Barangsiapa yang disebut bukan kepada bapaknya atau berafiliasi bukan kepada walinya, maka baginya
laknat Allah yang berkelanjutan" [Hadits Riwayat Abu Daud]

Ketiga : Dengan keputusan Allah yang membatalkan hukum adopsi anak (yaitu pengakuan anak yang tidak
sebenarnya alias bukan anak kandung) dengan keputusan itu pula Allah membatalkan tradisi yang berlaku sejak
zaman jahiliyah hingga awal Islam berupa.

[1]. Membatalkan tradisi pewarisan yang terjadi antara pengadopsi (ayah angkat) dan anak adopsi (anak angkat)
yang tidak mempunyai hubungan sama sekali. Dengan kewajiban berbuat baik antara keduanya serta berbuat baik
terhadap wasiat yang ditinggalkan setelah kematian (ayah angkat) pengadopsi selama tidak lebih dari sepertiga
bagian dari hartanya. Hukum waris serta golongan yang berhak menerimanya telah dijelaskan secara terperinci
dalam syari'at Islam. Dalam rincian tersebut tidak disebutkan adanya hak waris di antara keduanya. Dijelaskan pula
secara global perintah berbuat baik dan sikap ma'ruf dalam bertindak.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam
Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada
saudara-saudaramu (seagama)" [Al-Ahzab : 6]

[b]. Allah membolehkan pengadopsi (ayah angkat) nikah dengan bekas istri anak angkat setelah berpisah darinya,
walaupun diharamkan di zaman jahiliyah. Hal tersebut dicontohkan oleh Rasulullah sebagai penguat keabsahannya
sekaligus sebagai pemangkas adat jahiliyah yang mengharamkan hal tersebut.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

"Artinya : Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya). Kami kawinkan kamu
dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka,
apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi" [Al-Ahzab : 37]
Nabi menikahi Zaenab binti Jahsy atas perintah Allah setelah suaminya Zaid bin Haritsah menceraikannya.

Keempat : Dari uraian diatas, maka menjadi jelas bahwa pembatalan terhadap hukum adopsi bukan berarti
menghilangkan makna kemanusiaan serta hak manusia berupa persaudaraan, cinta kasih, hubungan sosial,
hubungan kebajikan dan semua hal berkaitan dengan semua perkara yang luhur, atau mewasiatkan perbuatan baik.

[a]. Seseorang boleh memanggil kepada yang labih muda darinya dengan sebutan "wahai anakku" sebagai
ungkapan kelembutan, kasih sayang, serta perasaan cinta kasih sayang kepadanya, agar ia merasa nyaman
dengannya dan mendengarkan nasehatnya atau memenuhi kebutuhannya. Boleh juga memanggil orang yang
usianya lebih tua dengan panggilan, "wahai ayahku" sebagai penghormatan terhadapnya, mengharap kebaikan serta
nasehatnya, sehingga menjadi penolong baginya, agar budaya sopan santun merebak dalam masyarakat, simpul-
simpul antar individu menjadi kuat hingga satu sama lain saling 
merasakan persaudaraan seagama yang sejati.

[b]. Syari'at Islam telah menganjurkan untuk bertolong menolong dalam rangka kebajikan dan ketakwaan serta
mengajak semua manusia berbuat baik dan menebarkan kasih sayang.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaijkan dan takwa, dan jangan tolong menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran" [Al-Maidah : 2]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Peumpamaan orang-orang mukmin dalam masalah kecintaan dan kasih sayang serta pertolongan di antara
mereka bagaikan satu tubuh. Jika salah satu organ mengeluh kesakitan, niscaya seluruh tubuh ikut panas dan tak
dapat tidur" [Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim]

Dan sabda beliau.

"Artinya : Seorang mukmin terhadap orang mukmin lainnya bagaikan suatu bangunan sebagiannya menopang
sebagian yang lain" [Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, dan An-Nasa'i]

Termasuk dalam hal tersebut mengurusi anak yatim, fakir miskin, tuna karya dan anak-anak yang tidak mempunyai
orang tua, yaitu dengan mangasuh dan berbuat baik kepadanya. Sehingga di masyarakat tidak terdapat orang yang
terlantar dan tak terurus. Karena ditakutkan umat akan tertimpa akibat buruk dari buruknya pendidikan serta sikap
kasarnya, ketika ia merasakan perlakuan kasar serta sikap acuh dari masyarakat.

Kewajiban pemerintah Islam adalah mendirikan panti bagi oran tidak mampu, anak yatim, anak pungut, anak tidak
berkeluarga dan yang senasib dengan itu. 
Bila keuangan Baithul Mal tidak mencukupi, maka bisa meminta bantuan kepada orang-orang mampu dari kalangan
masyarakat, sabda nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Siapapun seorang mukmin mati meninggalkan harta pusaka, hendaknya diwariskan kepada ahli warisnya
yang berhak, siapapun mereka. Tetapi jika meninggalkan utang atau kerugian hendaklah dia mendatangiku, karena
aku walinya" [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Inilah yang disepakati bersama, semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi
Muhammad , keluarga serta sahabatnya.

Benarkah adopsi itu anak kita? Jawabnya di bawah

Menjawab pertanyaan ini saya saya mencoba mengkaji dari sisi hukum negara kita.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Menegaskan adopsi hanya bisa
dilakukan demi kepentingan terbaik anak.
* Peraturan Per-Undang-undangan :
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara
hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan
orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka
terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang
tua kandung dan anak tersebut.
* Berdasarkan konsep Islam, pengangkatan seorang anak tidak boleh memutus nasab antara si anak
dengan orang tua kandungnya. Hal ini kelak berkaitan dengan sistem waris dan perkawinan. Dalam
perkawinan misalnya, yang menjadi prioritas wali nasab bagi anak perempuan adalah ayah kandungnya
sendiri. Dalam waris, anak angkat tidaktermasuk ahli waris. Konsep adopsi dalam Islam lebih dekat
kepada pengertian pengasuhan alias hadhanah.
* Adopsi menurut hukum adat berbeda-beda. Masyarakat Jawa umumnya masih menganut prinsip yang
hampir sama dengan Islam: adopsi tidak menghapus hubungan darah anak dengan orang tua kandung.
Tetapi di Bali, misalnya, pengangkatan anak adalah melepaskan anak dari keluarga asal ke keluarga
baru. Anak tersebut akan menjadi anak kandung dari orang tua yang mengangkatnya.
Saya menegaskan bahwa anak adposi adalah anak yang harus diberi hak untuk mendapatkan yang
terbaik bagi kehidupan dan masa depannya, walaupun kita bukan orang tua Biologis darinya.
Salam

Adopsi anak dalam pandangan Islam


Mimbar Jumat
NASIR

Allah Swt berfirman : Dia (Allah) dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri),
hanyalah perkataanmu dimulutmu saja, dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yan
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi All
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-mau
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu, dan a
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab : 4-5)

Ayat di atas menginformasikan kepada kita tentang anak angkat atau mengadopsi anak orang lain sehingga menj
sendiri, pada gilirannya menimbulkan konsekuensi hukum tertentu dalam pandang Islam seperti perwalian, waris
sebagainya.

Adopsi di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2003), diartikan sebagai pengangkatan anak orang
dan di dalam Bahasa Arab disebut dengan istilah attabanni.

Tradisi mengadopsi anak telah terjadi pada zaman jahiliyah di mana seseorang dibolehkan memungut anak orang
sebagai anak kandung sendiri, dan berhak dibangsakan namanya kepada orang tua angkatnya, dan berikut berlak
antara anak angkat dan orang tua angkat. Hal itu pernah terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw dengan mengado
seorang hamba sahaya yang dihadiahkan oleh isterinya Khadijah kepada Nabi Saw untuk merawatnya. Lalu kare
kepada Zaid, beliau angkat menjadi anaknya sendiri, sehingga nama Zaid dipanggil oleh orang banyak menjadi Z
Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, Turmuzi dan Nasai, dari Ibnu Umar radhiallahu‘anhu : Tidakla
bin Harisah melainkan dengan panggilan Zaid bin Muhammad.

Tradisi jahiliyah tersebut tidak dibatalkan dalam Islam secara keseluruhan, artinya pengangkatan anak orang lain
sendiri tetap dianjurkan dalam Islam, akan tetapi hukumnya tidak sama dengan hukum adopsi yang berlaku pada
lain tidak boleh dinisbahkan namanya kepada orang tua angkatnya, tidak mewarisi, tidak berlaku seperti mahram
kebiasaan jahiliyah tersebut Allah Swt menurunkan ayat 4-5 surah al-Ahzab di atas, dan peristiwa itu dikenal den
ibthaluttabanni (pembatalan hukum anak angkat), maka pembatalan itu direalisasikan oleh Nabi Saw dengan men
bin Haritsah, yang mana sebelumnya orang beranggapan bahwa isteri Zaid bin Haritsah yaitu Zainab binti Jahsy
Muhammad Saw. Dengan kata lain, nikahnya Nabi Saw dengan Zainab binti Jahsy pupuslah anggapan orang ten
kandung Rasul Saw, dan mulai saat diturunkan ayat di atas Rasul Saw memanggil Zaid bin Harisah dan berkata :
Haritsah bin Syarahil.

Perkawinan Rasul Saw dengan Zainab binti Jahsy adalah atas perintah Allah Swt dalam firman-Nya : Maka tatka
keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi
(mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluann
adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (QS. Al-Ahzab : 37)

Perkawinan Rasul Saw dengan Zainab binti Jahsy setelah diceraikan oleh Zaid dan habis masa tunggunya (iddah
dalam Fikih Islam untuk tidak memberlakukan anak angkat seperti anak kandung, dan berlakulah seperti orang la
pula menutup kemungkinan untuk berbuat baik kepada anak angkat, atas prinsip tolong menolong, dalam berbua

Allah Swt berfirman : Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
dosa dan pelanggaran dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-M
dalam hal perwarisan, anak angkat tidak mendapat pusaka dari orang tua angkatnya dan tidak ada bagian tertentu
ditinggalkan ayah angkatnya. Akan tetapi jika orang tua angkat ingin berbuat baik kepada anak adopsinya karena
kecil, disekolahkan dan memanjakan seperti anak kandungnya sendiri, Islam membolehkan untuk memberikan s
anak angkatnya dengan cara berwasiat secara tertulis atau diucapkan oleh ayah angkatnya sebelum meninggal du
tidak sepertiga dari harta warisan. Demikian pula hibbah, karena wasiat dan hibbah dalam hukum Islam tidak dit
orang-orang yang menerimanya. Dasar hukumnya adalah firman Allah Swt : Hai orang-orang yang beriman, apa
menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang a
Al-Maidah : 106) dan ketentuan untuk tidak melebihkan dari sepertiga. Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqas
dibolehkan sepertiga dari harta peninggalan. (HR. Bukhari, Muslim)

Selain daripada itu, konsekuensi hukum dari pembatalan anak angkat adalah tidak boleh memanggil nama anak a
tua angkat karena dengan status anak angkat tidak memutuskan ketetapan nasab yang sebenarnya yaitu ayah biol
disamakan dengan memanggil adalah menulis nama anak angkat di dalam KTP, Pasport, Akte Kelahiran, Ijazah,
menisbahkannya kepada ayah angkatnya sendiri. Oleh sebab itu Allah Swt berfirman : Semua itu adalah perkataa
Allah Swt mengatakan yang sebenarnya, dan menunjukkan kamu ke jalan yang sebenarnya. (QS. Al-Ahzab : 4)

Ayat di atas dipertegas lagi oleh Nabi Saw : Siapa-siapa yang memanggil seseorang kepada yang bukan nama ay
dia bukan ayahnya maka diharamkan kepadanya masuk surga. (HR. Bukhari Muslim dari Sa’ad bin Abi Waqqas

Senada dengan hadis di atas : Siapa-siapa yang memanggil kepada yang bukan nama ayahnya, atau menghubung
yang bukan maulanya, maka atasnya laknat Allah dan malaikat, dan manusia semuanya, Allah tidak menerima se
persaksiannya. (HR. Bukhari, Muslim)

Alakullihal, Islam menganjurkan untuk membantu orang-orang yang tidak mampu mengasuh keluarganya denga
anaknya, atau menikahi janda-janda yang ditinggal suami, namun tetap memperhatikan aturan-aturan yang ditent
antara lain :Tidak mengganggu hubungan keluarga lama, karena dengan mengadopsi anak berarti telah terbentuk
dan kewajibannya berlaku pada keluarga baru. Tidak menimbulkan permusuhan dan persengketaan terutama dal
dan sebagainya.Tidak terjadi kesalahpahaman, dan pencampuradukan halal haram dalam keluarga, misalnya ana
melihat atau menampakkan auratnya kepada keluarga angkatnya. Tetap menegakkan kebenaran, salah satunya se
DR. Wahbah Zuhaily di dalam Fikih Islam wa adillallatuhu ; melarang pengangkatan anak (adopsi) jika merobah
Islam seperti merobah keturunan, perwalian, warisan kemahraman dan lain-lain. Wallahua’lam

Hubungan
Antara Orang
Tua Dan Anak

3.3.1 Islam
Memelihara Nasab

Anak adalah rahasia


orang tua dan
pemegang
keistimewaannya.
Waktu orang tua
masih hidup, anak
sebagai penenang,
dan sewaktu ia
pulang ke
rahmatullah, anak
sebagai pelanjut dan
lambang keabadian.

Anak mewarisi
tanda-tanda
kesamaan orang tua,
termasuk juga ciri-
ciri khas, baik
maupun buruk,
tinggi maupun
rendah. Dia adalah
belahan jantungnya
dan potongan dari
hatinya.

Justru itu Allah


mengharamkan zina
dan mewajibkan
kawin, demi
melindungi nasab,
sehingga air tidak
tercampur, anak
bisa dikenal siapa
ayahnya dan ayah
pun dapat dikenal
siapa anaknya.

Dengan
perkawinan,
seorang isteri
menjadi hak milik
khusus suami dan
dia dilarang
berkhianat kepada
suami, atau
menyiram
tanamannya dengan
air orang lain. Oleh
karena itu setiap
anak yang
dilahirkan dari
tempat tidur suami,
mutlak menjadi
anak suami itu,
tanpa memerlukan
pengakuan atau
pengumuman dari
seorang ayah; atau
pengakuan dari
seorang ibu, sebab
setiap anak adalah
milik yang
seranjang. Begitulah
menurut apa yang
dikatakan oleh
Rasulullah s.a.w.26

3.3.2 Ayah Tidak


Boleh Mengingkari
Nasab Anaknya

Dari sini seorang


suami tidak boleh
mengingkari anak
yang dilahirkan oleh
isterinya yang
seranjang dengan
dia dalam
perkawinan yang
sah. Pengingkaran
seorang suami
terhadap nasab
anaknya akan
membawa bahaya
yang besar dan
suatu aib yang
sangat jelek, baik
terhadap isteri
maupun terhadap
anaknya itu sendiri.
Justru itu seorang
suami tidak boleh
mengingkari
anaknya karena
suatu keraguan, atau
dugaan atau karena
ada berita tidak baik
yang mendatang.

Adapun apabila
seorang isteri
mengkhianati suami
dengan beberapa
bukti yang dapat
dikumpulkan dan
beberapa tanda
(qarinah) yang tidak
dapat ditolak, maka
syariat Islam tidak
membiarkan
seorang ayah harus
memelihara seorang
anak yang menurut
keyakinannya bukan
anaknya sendiri;
dan memberikan
waris kepada anak
yang menurut
keyakinannya tidak
berhak
menerimanya; atau
paling tidak anak
yang selalu
diragukan
identitasnya
sepanjang hidup.

Untuk memecahkan
problem ini, Islam
membuat jalan ke
luar, yang dalam
ilmu fiqih dikenal
dengan nama li'an.
Maka barangsiapa
yakin atau
menuduh, bahwa
isterinya telah
membasahi
ranjangnya dengan
air orang lain
kemudian si isteri
itu melahirkan
seorang anak
padahal tidak ada
bukti yang tegas,
maka waktu itu
suami boleh
mengajukan ke
pengadilan,
kemudian
pengadilan
mengadakan
mula'anah (sumpah
dengan melaknat)
antara kedua belah
pihak, yang
penjelasannya
sebagaimana
diterangkan dalam
al-Quran:

"Para suami yang


menuduh isterinya
padahal mereka
tidak mempunyai
saksi melainkan
dirinya sendiri,
maka kesaksian tiap
orang dari mereka
ialah empat kali
kesaksian dengan
nama Allah, bahwa
ia termasuk orang-
orang yang benar.
Sedang yang
kelimanya ialah,
bahwa laknat Allah
akan menimpa
kepadanya jika dia
termasuk orang-
orang yang
berdusta. Dan
dihilangkan dari
perempuan itu
siksaan (dera)
lantaran dia bersaksi
empat kali
kesaksian dengan
nama Allah, bahwa
dia (laki-laki)
termasuk orang-
orang yang
berdusta. Sedang
yang kelimanya:
bahwa murka Allah
akan menimpa
kepadanya
(perempuan) jika
dia (laki-laki) itu
termasuk orang-
orang yang benar."
(an-Nur: 6-9)

Sesudah itu
keduanya diceraikan
untuk selama-
lamanya, dan
anaknya ikut kepada
ibunya.

3.3.3 Mengambil
Anak Angkat
Hukumnya Haram
dalam Islam

Kalau seorang ayah


sudah tidak
dibolehkan
memungkiri nasab
anak yang
dilahirkan di tempat
tidurnya, maka
begitu juga dia tidak
dibenarkan
mengambil anak
yang bukan berasal
dari keturunannya
sendiri.

Orang-orang Arab
di masa jahiliah dan
begitu juga bangsa-
bangsa lainnya,
banyak yang
menisbatkan orang
lain dengan
nasabnya dengan
sesukanya, dengan
jalan mengambil
anak angkat.

Seorang laki-laki
boleh memilih
anak-anak kecil
untuk dijadikan
anak, kemudian
diproklamirkan.
Maka si anak
tersebut menjadi
satu dengan anak-
anaknya sendiri dan
satu keluarga, sama-
sama senang dan
sama-sama susah
dan mempunyai hak
yang sama.

Mengangkat
seorang anak seperti
ini sedikitpun tidak
dilarang, kendati si
anak yang diangkat
itu jelas jelas
mempunyai ayah
dan nasabnya pun
sudah dikenal.

Islam datang,
sedang masalah
pengangkatan anak
ini tersebar luas di
masyarakat Arab,
sehingga Nabi
Muhammad sendiri
mengangkat seorang
anak, yaitu Zaid bin
Haritsah sejak
zaman jahiliah. Zaid
waktu itu seorang
anak muda yang
ditawan sejak kecil
dalam salah satu
penyerbuan jahiliah,
yang kemudian
dibeli oleh Hakim
bin Hizam untuk
diberikan bibinya
yang bernama
Khadijah, dan
selanjutnya
diberikan oleh
Khadijah kepada
Nabi Muhammad
s.a.w. sesudah
beliau kawin
dengan dia.

Setelah ayah dan


pamannya
mengetahui
tempatnya,
kemudian mereka
minta kepada Nabi,
tetapi oleh Nabi
disuruh memilih.
Namun Zaid lebih
senang memilih
Nabi sebagai ayah
daripada ayah dan
pamannya sendiri.
Lantas oleh Nabi
dimerdekakan dan
diangkatnya sebagai
anaknya sendiri dan
disaksikan oleh
orang banyak.

Sejak itu Zaid


dikenal dengan
nama Zaid bin
Muhammad, dan dia
termasuk pertama
kali bekas hamba
yang memeluk
Islam.

3.3.3.1 Bagaimana
Pandangan Islam
Terhadap
Peraturan Jahiliah
Ini?

Islam berpendapat
secara positif,
bahwa
pengangkatan anak
adalah suatu
pemalsuan terhadap
realita, suatu
pemalsuan yang
menjadikan
seseorang terasing
dari lingkungan
keluarganya. Dia
dapat bergaul bebas
dengan perempuan
keluarga baru itu
dengan dalih
sebagai mahram
padahal hakikatnya
mereka itu
samasekali orang
asing. Isteri dari
ayah yang
memungut bukan
ibunya sendiri,
begitu juga anak
perempuannya,
saudara
perempuannya atau
bibinya. Dia sendiri
sebenarnya orang
asing dari semuanya
itu.

Anak angkat ini


dapat menerima
waris dan
menghalangi
keluarga dekat asli
yang mestinya
berhak menerima.
Oleh karena itu
tidak sedikit
keluarga yang
sebenarnya merasa
dengki terhadap
orang baru yang
bukan dari kalangan
mereka ini yang
merampas hak milik
mereka dan
menghalang pusaka
yang telah menjadi
harapannya.

Kedengkian ini
banyak sekali
membangkitkan hal-
hal yang tidak baik,
dapat menyalakan
api fitnah dan
memutus famili dan
kekeluargaan.

Justru itu al-Quran


menghapus aturan
jahiliah ini dan
diharamkan untuk
selama-lamanya
serta dihapusnya
seluruh pengaruh-
pengaruhnya.

Firman Allah:

"Allah tidak
menjadikan anak-
anak angkatmu itu
sebagai anak-
anakmu sendiri,
yang demikian itu
adalah omongan-
omonganmu dengan
mulut-mulutmu,
sedang Allah
berkata dengan
benar dan Dialah
yang menunjukkan
ke jalan yang lurus.
Panggillah mereka
(anak-anak) itu
dengan bapa-bapa
mereka, sebab dia
itu lebih lurus di sisi
Allah. Jika kamu
tidak mengetahui
bapa-bapa mereka,
maka mereka itu
adalah saudaramu
seagama dan
kawan-kawanmu."
(al-Ahzab: 4-5)

Baiklah kita
renungkan
ungkapan al-Quran
yang bersih ini,
yaitu kalimat:
"Allah tidak
menjadikan anak-
anak angkatmu itu
sebagai anak-
anakmu sendiri,
yang demikian itu
adalah omongan-
omonganmu dengan
mulut-mulutmu."

Kalimat ini
memberi
pengertian, bahwa
pengakuan anak
angkat itu hanya
omongan kosong, di
belakangnya tidak
ada realita
sedikitpun.

Perkataan lidah
tidak dapat
mengganti
kenyataan dan tidak
dapat mengubah
realita, tidak dapat
menjadikan orang
luar sebagai kerabat,
dan orang asing
sebagai pokok
nasab, dan tidak
pula anak angkat
sebagai anak betul-
betul.

Perkataan mulut
tidak dapat
mengalirkan darah
ke dalam urat dan
tidak dapat
membentuk
perasaan kebapaan
ke dalam hati
seseorang, dan tidak
pula mengalir dalam
kalbu anak angkat
jiwa kehalusan
sebagai anak betul;
dia tidak dapat
mewarisi
keistimewaan-
keistimewaan
khusus dari ayah
angkatnya dan ciri-
ciri keluarga, baik
jasmaniah, intelek
maupun
kejiwaannya.

Islam telah
menghapuskan
seluruh pengaruh
yang ditimbulkan
oleh aturan ini,
misalnya tentang
warisan dan
dilarangnya kawin
dengan bekas isteri
anak angkat.

Dalam masalah
warisan, karena
tidak ada hubungan
darah, perkawinan
dan kerabat yang
sebenarnya, maka
oleh al-Quran hal
itu samasekali tidak
bernilai dan tidak
menjadi penyebab
mendapat warisan.
Bahkan al-Quran
mengatakan:

"Keluarga sebagian
mereka lebih berhak
terhadap sebagian,
menurut kitabullah."
(al-Anfal: 75)

Dan dalam hal


perkawinan, al-
Quran telah
mengumandangkan,
bahwa di antara
perempuan-
perempuan yang
haram dikawin ialah
bekas isteri anak
betul-betul, bukan
bekas isteri anak
angkat.

Firman Allah:

"Dan bekas isteri-


isteri anakmu yang
berasal dari tulang
rusukmu sendiri."
(an-Nisa': 24)

Oleh karena itu


seseorang
dibenarkan kawin
dengan bekas isteri
anak angkatnya,
karena perempuan
tersebut pada
hakikatnya adalah
bekas isteri orang
lain. Justru itu tidak
salah kalau dia
mengawininya
apabila telah dicerai
oleh suaminya.

3.3.3.2 Lembaga
Anak Angkat
Dihapus dengan
praktek, Setelah
Dihapusnya
dengan Perkataan

Persoalan ini tidak


begitu mudah, sebab
masalah anak
angkat sudah
menjadi aturan
masyarakat dan
berakar dalam
kehidupan bangsa
Arab. Oleh karena
itu dalam
kebijaksanaan Allah
untuk menghapus
dan memusnahkan
pengaruh-pengaruh
perlembagaan ini
tidak cukup dengan
omongan saja,
bahkan dihapusnya
dengan omongan
dan sekaligus
dengan praktek.

Hikmah
kebijaksanaan Allah
dalam persoalan ini
telah memilih
Rasulullah s.a.w.
sebagai pelakunya,
untuk
menghilangkan
setiap keragu-
raguan dan demi
menolak setiap
keberatan orang
mu'min tentang
dibolehkannya
mengawini bekas
isteri anak-anak
angkatnya; dan
supaya mereka
yakin, bahwa apa
yang disebut halal,
yaitu semua yang
dihalalkan Allah;
dan apa yang
disebut haram, yaitu
semua yang
diharamkan Allah.
Zaid bin Haritsah
yang kita kenal
sebagai Zaid bin
Muhammad, telah
dikawinkan dengan
Zainab binti Jahsy
sepupu Nabi sendiri.
Tetapi karena
kehidupan mereka
berdua selalu
goncang dan Zaid
sendiri sudah
banyak mengadu
kepada Nabi tentang
keadaan isterinya,
sedang Nabi sendiri
juga mengetahui
keinginan Zaid
untuk mencerainya,
dan dengan wahyu
Allah, Zainab akan
dikawin oleh Nabi,
tetapi kelemahan
manusia tempoh-
tempoh sangat
mempengaruhi,
maka Nabi takut
bertemu dengn
orang banyak. Oleh
karena itu dia
katakan kepada
Zaid: "Tahanlah
isterimu itu dan
takutlah kepada
Allah!"

Di sinilah ayat al-


Quran kemudian
turun untuk
menegur sikap
Nabi. Dan seketika
itu beliau
menyingsingkan
lengan bajunya
untuk tampil ke
tengah-tengah
masyarakat, guna
menghapus sisa-sisa
aturan kuno dan
tradisi yang sudah
usang yang
mengharamkan
seseorang
mengawini bekas
isteri anak
angkatnya yang
pada hakikatnya dia
adalah orang asing
itu. Maka
berfirmanlah Allah:

"Dan (ingatlah)
ketika engkau
berkata kepada
orang yang telah
diberi nikmat oleh
Allah dan engkau
juga telah memberi
kenikmatan
kepadanya (Zaid bin
Haritsah): 'tahanlah
untukmu isterimu
dan takutlah kepada
Allah', dan engkau
menyembunyikan
dalam hatimu apa
yang Allah
tampakkan, dan
engkau takut
manusia, padahal
Allahlah yang lebih
berhak engkau
takutinya. Maka
tatkala Zaid
memutuskan untuk
mencerai Zainab,
kami (Allah)
kawinkan engkau
dengan dia, supaya
tidak menjadi beban
bagi orang-orang
mu'min tentang
bolehnya
mengawini bekas
isteri anak-anak
angkatnya apabila
mereka itu telah
memutuskan
mencerainya, dan
keputusan Allah
pasti terlaksana."
(al-Ahzab: 37)

Kemudian al-Quran
meneruskan untuk
melindungi pribadi
Nabi Muhammad
s.a.w. dalam
perbuatan ini dan
memperkuat
perkenannya serta
menghilangkan
anggapan dosa
karena
perbuatannya itu.
Maka berkatalah al-
Quran:

"Tidak boleh ada


keberatan atas diri
Nabi dalam hal
yang telah
diwajibkan oleh
Allah kepadanya
menurut sunnatullah
pada orang-orang
yang telah lalu
sebelumnya, sebab
perintah Allah itu
suatu ketentuan
yang telah
ditentukan, (yaitu)
orang-orang yang
menyampaikan
suruhan Allah dan
mereka takut
kepadaNya, dan
tidak takut kepada
siapapun kecuali
kepada Allah; dan
kiranya cukuplah
Allah sebagai
pengira. Tidaklah
Muhammad itu
ayah bagi seseorang
dari laki-laki kamu,
tetapi dia adalah
utusan Allah dan
penutup bagi
sekalian Nabi, dan
Allah Maha
Mengetahui tiap-
tiap sesuatu." (al-
Ahzab: 38-40)

3.3.3.3
Mengangkat Anak
dengan Arti
Mendidik dan
Memelihara

Begitulah
pengangkatan anak
yang dihapus oleh
Islam; yaitu seorang
menisbatkan anak
kepada dirinya
padahal dia tahu,
bahwa dia itu anak
orang lain. Anak
tersebut dinisbatkan
kepada dirinya dan
keluarganya, dan
baginya berlaku
seluruh hukum
misalnya: bebas
bergaul, menjadi
mahram, haram
dikawin dan berhak
mendapat waris.

Di sini ada
semacam
pengangkatan anak
yang diakui oleh
beberapa orang,
tetapi pada
hakikatnya bukan
pengangkatan anak
yang diharamkan
oleh Islam. Yaitu
seorang ayah
memungut seorang
anak kecil yatim
atau mendapat di
jalan, kemudian
dijadikan sebagai
anaknya sendiri
baik tentang
kasihnya,
pemeliharaannya
maupun
pendidikannya;
diasuh dia,
diberinya makan,
diberinya pakaian,
diajar dan diajak
bergaul seperti
anaknya sendiri.
Tetapi bedanya, dia
tidak menasabkan
pada dirinya dan
tidak diperlakukan
padanya hukum-
hukum anak seperti
tersebut di atas.

Ini suatu cara yang


terpuji dalam
pandangan agama
Allah, siapa yang
mengerjakannya
akan beroleh pahala
kelak di sorga.
Seperti yang
dikatakan sendiri
oleh Rasululfah
s.a.w. dalam
hadisnya:

"Saya akan bersama


orang yang
menanggung anak
yatim, seperti ini
sambil ia menunjuk
jari telunjuk dan jari
tengah dan ia
renggangkan antara
keduanya. (Riwayat
Bukhari, Abu Daud
dan Tarmizi)

Laqith (anak
yangdipungut di
jalan) sama dengan
anak yatim. Tetapi
untuk anak seperti
ini lebih patut
dinamakan Ibnu
Sabil (anak jalan)
yang oleh Islam kita
dianjurkan untuk
memeliharanya.

Apabila seseorang
yang memungutnya
itu tidak
mempunyai
keluarga, kemudian
dia bermaksud akan
memberikan
hartanya itu kepada
anak pungutnya
tersebut, maka dia
dapat menyalurkan
melalui cara hibah
sewaktu dia masih
hidup, atau dengan
jalan wasiat dalam
batas sepertiga
pusaka, sebelum
meninggal dunia.
(sebelum, sesudah)

Halal dan Haram dalam Islam


Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi
Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy
Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993

Hukum Menikahi Orang Musyrik

Ditulis oleh DR. Amir Faishol FathSenin, 12 May 2008 03:06

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.


Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman

Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah:221)

 ‫ َولَ ْو‬ ‫ة‬
ٍ ‫ش ِر َك‬ْ ‫ ُّم‬ ‫ ِ ّمن‬ ‫خ ْي ٌر‬ َ  ‫ة‬ ٌ ‫ ُّم ْؤ ِم َن‬ ‫ة‬ٌ ‫ َوأل َ َم‬ ‫ن‬ َ  ِ‫ش ِر َكات‬
َّ ‫ ُي ْؤ ِم‬ ‫ح َّتى‬ ْ ‫م‬ ُ ‫ا ْل‬ ‫حو ْا‬ُ ِ‫تَنك‬ َ ‫َوال‬
‫ ُّم‬ ‫ ِ ّمن‬ ‫**ر‬
ٌ ‫خ ْي‬َ  ‫ن‬ ٌ ‫ ُّم ْؤ ِم‬ ‫ َولَ َع ْب** ٌد‬ ‫ ُي ْؤ ِم ُنو ْا‬ ‫ح َّتى‬ َ  ‫ين‬
َ ‫ش ِر ِك‬
ِ ‫م‬ ُ ‫حو ْاا ْل‬ ِ ‫ ُتن‬ َ ‫ َوال‬ ‫ُم‬
ُ ‫ك‬ َ ‫أَ ْع‬
ْ ‫جبَ ْتك‬
َ ‫ َوا ْل‬ ‫ة‬
‫م‬ َ ‫ا ْل‬ ‫إِلَى‬ ‫يَ ْد ُع َو‬ ‫ار َوالل ّ ُه‬
ِ ‫ج َّن‬ ِ ‫ال َّن‬ ‫إِلَى‬  َ‫يَ ْد ُعون‬ ‫ك‬ َ ِ‫ ُأ ْولَـئ‬ ‫ُم‬ َ ‫أَ ْع‬ ‫ َولَ ْو‬ ‫ك‬
ْ ‫جبَك‬ ٍ ‫ش ِر‬
ْ
َ‫يَ َت َذ َّك ُرون‬ ‫م‬ْ ‫لَ َعلَّ ُه‬ ‫اس‬
ِ ‫لِل َّن‬ ‫ه‬ِ ِ‫آيَات‬ ‫ن‬ ُ ّ ‫ َو ُيبَ ِي‬ ‫ه‬
ِ ِ‫بِ ِإ ْذن‬ ‫ْغ ِف َر ِة‬
Kata musyrikah atau musyrik dalam ayat di atas artinya seorang yang menyekutukan Allah.
Imam Al Ashfahani membagi makna al syirk dua macam:

(a) Al Syirkul adziim (syirik besar) yaitu menetapkan sekutu bagi Allah. Termasuk kategori
ini makna firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang
besar” (An-Nisa:48). Dalam ayat lain: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa
mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah,
Maka Sesungguhnya ia Telah tersesat sejauh-jauhnya”. (An-Nisa:116)

(b) Al Syirkush Shaghiir (syirik kecil) yaitu mendahulukan selain Allah dalam tindakan
tertentu, seperti riya’ (ingin dipuji orang), termasuk dalam kategori ini pengertian ayat:
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan
mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)” (Yusuf:106), maksudnya
mengutamakan kepentingan-kepentingan dunia di atas tujuan-tujuan akhirat (lihat Al
Ashfahani, Mufradat alfaadzil Qur’an, h.452).

Para ahli tafsir, dalam menjelaskan kata musyrik selalu mencontohkan dengan agama
majusi (penyembah api) dan watsani (penyembah berhala). Ada juga sebagai mufassir yang
mendefinisikan musyrik dengan “semua orang kafir yang tidak bergama Islam. Dengan
pengertian ini maka umat Yahudi dan Nasrani tergolong musyrik. Dan ayat di atas dengan
tegas melarang pernikahan seorang mukmin dengan wanita musyrikah begitu juga
sebaliknya seorang mu’minah dengan lelaki musyrik. Mengapa? Karena batasan yang
sangat fundamental yaitu perbedaan aqidah. Dari perbedaan aqidah ini akan lahir
perbedaan tujuan dan pandangan hidup. Maka tidak mungkin seorang mukmin atau
mu’minah yang benar-benar jujur dengan keimanannya rela mengorbankan aqidahnya demi
kepentingan dunia. Imam Al Qurthubi menyetir ketetapan ijma’ul ummah bahwa seorang
musyrik tidak boleh menikahi seorang mu’minah apapun alasan nya. Imam Asyaukani
menyebutkan sebuah riwayat bahwa seorang sahabat bernama Murtsid bin Abi Murtsid
pernah didatangi bekas orang yang pernah dicintainya dulu waktu di zaman jahiliyah.
Wanita itu lalu minta untuk dizinahi. Murtsid segera menjawab: Wah, itu tidak mungkin,
sebab saya sudah masuk Islam, dan Islam telah menjadi penghalang di antara kita. Lalu
wanita itu minta agar dinikahi saja. Murtsid berkata: kalau begitu saya akan menemui
Rasulullah dulu. Lalu turunlah ayat di atas. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadiir: vol.1,
h.244). Dari sini jelas bahwa tidak mungkin seorang yang beriman menikah dengan seorang
yang masih kafir. Maka jika ada seorang yang mengaku mu’min atau mu’minah, kemudian
ia ternyata rela dan berani melakukan pernikahan dengan seorang yang musyrik atau
musyrikah, itu berarti dalam keimanannya ada masalah. Sebab dengan terang-terangan ia
telah berani melanggar ketentuan Allah seperti dalam ayat di atas.

Menikahi Wanita Ahlul Kitab (Kitabiyah)

Dalam ayat di atas, hanya disebutkan istilah musyrikah atau musyrik, tetapi belum
disebutkan istilah ahlul kitab, sementara di tempat lain Al Qur’an menggunakan istilah ahlul
kitab untuk umat Yahudi dan Nasrani. Allah berfirman: “(Kami turunkan Al-Quran itu) agar
kamu (tidak) mengatakan: “Bahwa Kitab itu Hanya diturunkan kepada dua golongan saja
sebelum kami (yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani)” (Al-An’am:156). Pertanyaannya
sekarang apakah ahlul kitab termasuk golongan musyrikiin? Menurut definisi di atas maka
ahlul kitab termasuk kaum musyrikiin. Jika demikian bolehkah seorang mu’min menikahi
wanita ahlul kitab?

Mayoritas ulama (jumhur) membolehkan seorang mu’min menikah dengan wanita ahlul
kitab (dari umat Yahudi atau Nasrani). Dan ini pendapat yang kuat (rajih). Bahkan ada
sebagian yang mengatakan –seperti Imam Al Jashshash - tidak ada khilaf di dalamnya,
kecuali Abdullah bin Umar yang memandangnya makruh (lihat Al Jashshash, Ahkamul
Qur’an, vol. 2, h.324). Namun kendati demikian menikah dengan wanita muslimah tetap
harus diutamakan. Sebab pada hakekatnya, di antara hikmah dibolehkannya adalah dalam
rangka untuk mengislamkannya. Dan seorang suami mu’min sebagai kepala rumah tangga
tentu sangat berperan dan menentukan dalam proses tersebut. Berbeda halnya jika sang
istri muslimah dan suami non-muslim. Sang istri tentu sangat berat untuk mempengaruhi
sang suami, bahkan bisa dipastikan sang istri akan kewalahan. Sebab tabiat seorang istri
biasanya selalu ikut apa kata suami. Atas dasar ini mengapa seorang muslimah tidak boleh
bersuamikan seorang ahlul kitab.

Beberapa alasan yang menguatkan bolehnya seorang muslim beristrikan wanita ahlul kitab
sebagai berikut:

(a) Bahwa kata musyrikaat pada ayat di atas tidak termasuk ahlul kitab, dalilnya: Orang-
orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya
sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu” (Al-Baqarah:105) Di sini nampak dibedakan
antara orang-orang musyrik dengan ahlul kitab. Begitu juga dalam surat Al Bayyinah Allah
berfirman: “Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan
bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti
yang nyata”. (Al-Bayyinah:1). Dikatakan bahwa wawu athf menunjukkan perbedaan
(almughayarah). Dengan ini jelas bahwa ahlul kitab bukan orang-orang musyrik. Toh
kalaupun dikatakan bahwa mereka tergolong musyrik, maka dengan ayat tersebut nampak
adanya pengkhususan, seakan dikatakan: “Tidak boleh menikah dengan wanita musyrikah
kecuali wanita ahlul kitab.

(b) Allah berfirman: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-
wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum
Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi” (Al-
Maidah:5). Ini menunjukkan bahwa menikah dengan wanita ahlul kitab hukumnya boleh.

(c) Diriwayatkan bahwa Utsman bin Affan ra. menikah dengan Nailah Al Kalbiyah, wanita
Yahudi, begitu juga Thalhah bin Ubaidillah ra. menikah dengan wanita Yahudi dari penduduk
Syam. Itu pun tidak ada satupun riwayat yang mengatakan bahwa salah seorang sahabat
menentang pernikahan tersebut. Dari sini nampak bahwa mereka bersepakat atas bolehnya
menikah dengan wanita ahlul kitab.

Walhasil, bahwa sekalipun pernikahan dengan wanita ahlul kitab hukumnya boleh, namun
lebih utama seorang muslim tidak melakukannya. Salah seorang alim besar dalam Madzhab
Hanafi, Kamal bin Hammam berkata: Memang boleh menikah dengan wanita ahlul kitab,
tetapi lebih baiknya seorang muslim tidak melakukannya, kecuali dalam kondisi darurat”
(lihat Al kamal bin Hammam, Fathul Qadiir, Syarhul Hidayah fii fqhil hanafiyah, vol.2,
h.372). Pesan Kamal bin Hammam ini ternyata ada dasarnya: diriwayatkan bahwa Umar bin
Khattab pernah menyuruh sahabatnya Hudzaifah untuk menceraikan istrinya yang tergolong
kaum Yahudi. Hudzaifah bertanya: Apakah kamu melihat bahwa pernikahan seperti ini
hukumnya haram? Umar menjawab: Tidak, tetapi saya takut hal ini kelak menjadi contoh
yang diikuti banyak orang. Umar benar dalam sikapnya ini, sebab jika kemudian pernikahan
seperti tersebut, benar-benar menjadi fenomena umum, bagaimana nantinya nasib wanita-
wanita muslimah? Dan perlu diingat bahwa diantara hikmah dibolehkannya menikah dengan
kitabiyah adalah supaya wanita kitabiyah itu masuk ke pangkuan Islam melalui pernikahan.
Jika diperkirakan itu tidak mungkin terjadi, para ulama memakruhkan. Oleh sebab itu ada
kondisi di mana seorang muslim dimakruhkan menikah dengan kitabiyah: Pertama, wanita
tersebut harbiyah (mempunyai jiwa menyerang, tidak mungkin dipengaruhi dan bahkan
mungkin akan menyebabkan hancurnya moral anak-anak yang dilahirkan, serta tidak
mustahil ia akan mempengaruhi sang suami) (lihat, Ibid, vol.2. h. 372). Kedua, adanya
wanita muslimah yang bisa dinikahi. Imam Ibn Taymiah mengatakan: “Makruh hukumnya
menikah dengan wanita kitabiyah sementara di saat yang sama masih ada wanita-wanita
muslimah”(lihat, alikhtiyaraat alfiqhiyah min fatawa syaikhil Islam Ibn Taymiah, h. 217).

Menikah Dengan Laki-laki Ahlul Kitab

Ayat di atas menegaskan: dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Dalam konteks ini tidak ditemukan ayat
lain yang mengkhususkannya, seperti ayat mengenai menikah dengan wanita kitabiyah.
Artinya tidak ada keterangan lain mengenai hukum boleh-tidaknya menikah dengan laki-laki
ahlul kitab, kecuali ayat di atas. Bila disebutkan bahwa ahlul kitab tergolong orang-orang
musyrik, maka berdasarkan ayat di atas tidak boleh seorang muslimah menikah dengan
laki-laki musyrik. Berbeda jika wanitanya ahlul kitab dan calon suamimya muslim, itu
dibolehkan karena adanya ayat lain yang menegaskan bolehnya sebagaimana telah
diterangkan tadi.

Jelasnya, bahwa seorang wanita muslimah tidak boleh dalam kondisi apapun menikah
dengan seorang yang musyrik, termasuk laki-laki Yahudi dan Nasrani, karena al Qur’an
telah menyebutkan bahwa mereka tergolong kafir. Allah berfirman: “Orang-orang kafir
yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan
meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”. (QS. 98:1).
Lebih dari itu mereka juga akan selalu mempengaruhi istrinya agar menjadi kafir, yang
dengannya ia bisa masuk neraka, Allah berfirman pada ayat di atas: mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya”.

Kerena itulah Allah menekankan dengan sangat tegas bahwa menikah dengan seorang
mukmin tetap lebih utama, sekalipun ia seorang budak: walaamatun mu’minatun khairun
min musyrikatin walau a’jabatkum (Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu). Lalu dipertegas lagi pada ayat
berikutnya: wala ‘abdun mu’minun khairun min musyrikin walau a’jabakum (Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu).
Perhatikan, penegasan ini tidak mengandung penfsiran lain keculai bahwa yang harus
diutamakan dalam pernikahan adalah kesamaan akidah. Sebab dari kesamaan akidah akan
mudah menentukan kesamaan tujuan sekaligus kesamaan cara hidup. Dan hanya dengan
ini kelak upaya untuk saling membantu dalam mentaati Allah (at ta’aawun bil birri wat
taqwa) akan lebih tercipta, di mana dari sini kebahagiaan hakiki akan dicapai, tidak saja di
dunia melainkan juga di akhirat. Wallhu a’lam bish shawab.

Oleh: DR. Amir Faishol Fath


Pengertian bayi tabung
posted in Pengetahuan, Persiapan, Proses |

Sering kali kita mendengar ‘ikut bayi tabung aja…’ atau ’anaknya dia dari hasil bayi tabung’. Apa sih

sebenarnya definisi atau pengertian bayi tabung itu? Apakah ini adalah cara untuk mendapatkan

anak?

Kalau dilihat dari kata ‘bayi’ & ‘tabung’, mungkin bayi tabung berarti bayi dari hasil pembuahan di

tabung. Ada juga yang bilang bayi tabung adalah bayi dari hasil tabungan … memang benar juga

sih soalnya proses bayi tabung itu tidak murah alias menguras kantong.

Tetapi bayi tabung itu sebenarnya adalah proses pembuahan sel telur dan sperma di luar tubuh
wanita, dalam istilah kerennya in vitro vertilization (IVF).

In vitro adalah bahasa latin yang berarti dalam gelas/tabung gelas (nah nyambung juga kan

dengan kata tabung). Dan vertilization adalah bahasa Inggrisnya pembuahan.

Dalam proses bayi tabung atau IVF, sel telur yang sudah matang (seperti masak telur saja ya)

diambil dari indung telur lalu dibuahi dengan sperma di dalam sebuah medium cairan. Setelah

berhasil, embrio kecil yang terjadi dimasukkan ke dalam rahim dengan harapan dapat berkembang

menjadi bayi…

You might also like