You are on page 1of 40

TINJAUAN YURIDIS PEMBENTUKAN PENGADILAN HAK

ASASI MANUSIA (HAM) DI INDONESIA SEBAGAI SUATU


PROSES POLITIK HUKUM

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Politik Hukum

Dosen Pembina:

Prof. Dr. I. Gede Pantja Astawa, S.H, M.H

Disusun oleh :

Nin Yasmine Lisasih 110120100040

PROGAM MAGISTER ILMU HUKUM - HUKUM BISNIS

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG
2

2010

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................................... 4
B. Perumusan Masalah...................................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 9
1. Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi Manusia (HAM).......................... 9
a) Pengertian Hak Asasi Manusia........................................................ 9
b) Hak-hak yang diproklamasikan dalam Deklarasi Universal
Hak-hak Asasi Manusia................................................................... 9
c) Hak-hak yang bersifat Derogable Rights dan Non derogable
rights…………………………………………………………………… 10
2. Tinjauan Umum Tentang Pelanggaran HAM berat.............................. 12
a) Pengertian pelanggaran HAM berat................................................ 12
b) Macam-macam pelanggaran HAM berat........................................ 13
3. Tinjauan Umum Tentang Pengadilan HAM ad hoc............................. 14
a) Pengertian Pengadilan HAM.......................................................... 14
b) Pengertian Pengadilan HAM ad hoc.............................................. 15
c) Lingkup Kewenangan Pengadilan HAM ad hoc............................ 16
BAB III PEMBAHASAN...................................................................................... 19
A. Latar belakang Pembentukan Pengadilan HAM dalam
Penyelesaian Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
Berat Timor Timur................................................................................ 20
1. Latar Belakang Pembentukan Pengadilan HAM............................. 20
2. Landasan Yuridis Terbentuknya Undang-Undang

2
3

Pengadilan HAM........................................................................... 23
3. Legitimasi Berdirinya Pengadilan HAM Ad Hoc............................ 25
B. Tinjauan Yuridis Pembentukan Pengadilan HAM sebagai
Suatu Proses Politik Hukum................................................................ 30
BAB IV PENUTUP................................................................................................. 35
A. Simpulan...................................................................................................... 35
B. Saran............................................................................................................ 36
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 37

3
4

BAB I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Satjipto Raharjo, politik hukum adalah aktivitas untuk menentukan


suatu pilihan mengenai tujuan hukum dalam masyarakat. Politik hukum
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika masyarakat
karena politik hukum diarahkan kepada ius constituendum, hukum yang
seharusnya berlaku. Dalam konsep demokrasi, dengan memperhatikan dinamika
masyarakat yang berkembang sejauh ini, beberapa hal mengharuskan penegakan
HAM sebagai akibat dari perkembangan politik hukum yang terjadi, karena
disanalah menjadi nilai penting sebagai salah satu penghargaan atas entitas
manusia secara individual. HAM menjadi masalah yang cukup krusial dengan
mempertimbangkan kecenderungan ancaman konflik dan kekerasan, yang
didalam demokrasi selalu mengedepankan aspek itu. Namun, masalah HAM
barangkali, kendatipun ada elemen muncul dari nilai yang diyakini sejauh ini
relatif beririsan. Bisa seiring, tapi bisa pula bertubrukan. Permasalahan HAM ini
menjadi permasalahan penting dalam politik hukum suatu negara.

Sejak hukum membuat tradisi untuk dituliskan (written law), maka


penafsiran terhadap teks hukum tidak dapat dihindarkan. Hampir tidak mungkin
hukum bisa dijalankan tanpa ruang bagi penafsiran. Teks-teks itu ditafsirkan oleh
karena ia merupakan “a finitive-closed scheme of permessible justification”,
sedang alam dan kehidupan sosial itu bukan suatu “scheme” yang “finite closed”,
melainkan terus berubah, bergerak secara dinamis. Saat ini tengah berkembang
bahwa hukum harus dilihat sebagai bangunan rasional, yang memiliki metode
rasional pula bagi upaya untuk mengembangkannya. Beberapa tokoh positivisme

4
5

hukum seperti Hans Kelsen, John Austin, Lon Fuller, Hart, Ronald Dworkin dan
banyak lagi lainnya, mencoba membuat kerangka bangunan hukum yang serba
tertib, teratur dan formal, dan struktur ilmu pun menjadi kaku dan bersifat positif-
legalistik. Pandangan ini telah berkembang luar biasa masif, menghegemoni
banyak pemikir hukum dan berakhir pada klaim absoluditas penjelasan yang
dapat diterima. Realitas hukum termarjinalisasi dan pencarian kebenaran alternatif
menjadi terhambat.

Fenomena tersebut diatas ternyata juga terjadi di Indonesia, salah satunya


adalah dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur pasca
jajak pendapat tanggal 30 Agustus 1999. Kasus Timor Timur bermula ketika
Pemerintah Republik Indonesia (RI) mengeluarkan dua opsi pada tanggal 27
Januari 1999, yaitu menerima atau menolak otonomi khusus melalui jajak
pendapat. Pada tanggal 5 Mei 1999 Pemerintah RI melakukan perjanjian dengan
Portugal di New York di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
tentang penyelenggaraan jajak pendapat di Timor Timur termasuk pengaturan
pemeliharaan perdamaian dan keamanan di Timor Timur. Dalam Pasal 3
Perjanjian New York dinyatakan bahwa: “Pemerintah Indonesia akan
bertanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan keamanan di Timor Timur
agar penentuan pendapat dapat dilaksanakan secara adil dan damai dalam
suasana yang bebas dari intimidasi, kekerasan dan campur tangan dari pihak
manapun”.

Hasil jajak pendapat menunjukkan sebagian besar rakyat Timor Timur


memilih berpisah dari Indonesia. Setelah pengumuman hasil jajak pendapat,
terjadi sejumlah tindak kekerasan yang menimbulkan korban jiwa maupun
terjadinya kerusakan dalam skala besar terhadap rumah-rumah penduduk serta
harta benda lainnya, bahkan terjadi pemindahan penduduk secara meluas.
Berdasarkan hal-hal tersebut diduga telah terjadi pelanggaran berat HAM dan
pelanggaran hukum humaniter. Menyikapi kekerasan yang terjadi di Timor Timur,

5
6

pada tanggal 15 September 1999 Dewan Keamanan PBB (DK PBB)


mengeluarkan Resolusi Nomor 1264 yang mengutuk tindak kekerasan yang
terjadi di Timor Timur dan mendesak Pemerintah Indonesia mengadili pihak-
pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan. Tak hanya itu, Komisi
Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa pada tanggal 23-27 September 1999
menyelenggarakan special session mengenai situasi di Timor Timur. Special
session tersebut menghasilkan Resolusi Nomor 1999/S-4/1 yang menuntut kepada
pemerintah Indonesia, antara lain dalam kerja sama dengan Komnas HAM
menjamin orang-orang yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan dan
pelanggaran sistematis terhadap HAM akan diadili. Kemudian Pemerintah
Indonesia melalui Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran
HAM di Timor Timur (KPP-HAM) pada tanggal 22 September 1999 dengan
masa kerja terhitung sejak 23 September 1999 hingga akhir Desember 1999, yang
kemudian diperpanjang hingga 31 Januari 2000.

Dalam laporan yang disusun di Jakarta pada tanggal 31 Januari 2000, KPP-
HAM menyatakan telah menemukan adanya pelanggaran berat HAM, yaitu
mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, dan pemindahan
paksa serta lain-lain tindakan tidak manusiawi terhadap penduduk sipil, ini adalah
pelanggaran berat atas hak hidup, hak atas integritas fisik, hak atas kebebasan,
hak akan kebebasan bergerak dan bermukim serta hak milik. Pada bagian
kesimpulan, KPP-HAM menyatakan telah berhasil mengumpulkan fakta dan
bukti yang menunjukkan indikasi kuat telah terjadi pelanggaran berat HAM yang
dilakukan secara terencana, sistematis, serta dalam skala besar dan luas berupa
pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa,
kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, pengungsian paksa,
pembumihangusan dan perusakan harta benda yang kesemuanya merupakan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Pemerintah Indonesia pun diminta untuk
membentuk Pengadilan HAM yang berwenang mengadili perkara-perkara

6
7

pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengacu pada


hukum nasional dan internasional, padahal pada saat itu Indonesia belum
memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak asasi
manusia maupun pengadilan hak asasi manusia. Bahwa kemudian Pemerintah
Indonesia menyusun dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada tanggal 23 September 1999 dan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
(HAM) pada tanggal 23 November 2000.

Menurut Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, yang
berwenang mengadili kasus pelanggaran HAM berat adalah Pengadilan HAM dan
berada di lingkungan Peradilan Umum. Pembentukan Pengadilan HAM tersebut
pada awalnya didasarkan pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) Nomor 1 Tahun 1999 yang mengatur tentang Pengadilan HAM, namun
Perpu tersebut kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) Undang-
Undang pengadilan HAM mengatur bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi
sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diperiksa dan
diputus oleh Pengadilan Ham ad hoc, dengan kata lain baik Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 maupun Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
diberlakukan secara ex post facto. Pembentukan pengadilan HAM di Indonesia
merupakan suatu proses politik hukum dalam pendiriannya. Adanya kemauan
pemerintah bersama warga negaranya untuk mengadopsi nilai-nilai yang
menjunjung tinggi HAM dalam setiap produk hukum yang dibuatnya. Oleh
karena itu hukum sebagai produk politik, dalam arti politik determinan atas
hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak
politik yang saling berinteraksi dan bersaingan..

Berangkat dari terpenuhinya sistem hukum yang mengakomodir seperangkat


peraturan perundang-undangan di bidang HAM tersebut (law making policy)

7
8

maka terbentuk pula politik hukum pemerintah terhadap hal-hal yang berkaitan
mengenai HAM, salah satunya adalah Peradilan HAM., dalam kerangka
membangun hukum Indonesia yang progresif dari rule of law menuju rule of
social justice. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, penulis
tertarik untuk meneliti dan menuangkan dalam paper dengan judul “TINJAUAN
YURIDIS PEMBENTUKAN PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
(HAM) DI INDONESIA SEBAGAI SUATU PROSES POLITIK HUKUM“.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah digunakan untuk mengetahui dan menegaskan masalah-


masalah apa yang hendak diteliti. Untuk mempermudah dalam pembahasan
permasalahan yang akan diteliti maka penulis merumuskan masalah sebagai
berikut:

1. Bagaimanakah mekanisme proses pembentukan pengadilan HAM di


Indonesia terkait kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur?
2. Bagaimanakah tinjauan yuridis pembentukan pengadilan HAM di Indonesia
sebagai suatu proses politik hukum?

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

8
9

1. Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi manusia

a. Pengertian Hak Asasi Manusia

Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi


Manusia pada Pasal 1 angka 1 BAB I tentang Ketentuan Umum, yang
dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Konsep hak-hak
asasi manusia mempunyai dua pengertian dasar. Pertama, bahwa hak-hak
yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut adalah hak manusia karena ia seorang
manusia. Hak-hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan
setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin martabat setiap
manusia. Kedua, hak-hak menurut hukum yang dibuat sesuai dengan proses
pembentukan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik secara nasional maupun
internasional. Dasar dari hak-hak ini adalah persetujuan dari yang diperintah,
yaitu persetujuan dari para warga yang tunduk kepada hak-hak itu dan tidak
hanya tata tertib alamiah yang merupakan dasar dari arti yang pertama.

b. Hak-hak yang diproklamasikan dalam Deklarasi Universal Hak-Hak


Asasi Manusia

Hak-hak dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dapat


dibagi dalam dua macam hak, yaitu:

1) Hak-hak yang berhubungan dengan hak-hak sipil dan politik


termasuk hak untuk hidup, kebebasan, keamanan pribadi kebebasan
dari penganiayaan dan perbudakan, partisipasi politik, hak-hak atas
harta benda, perkawinan dan kebebasan dasar untuk menyatakan

9
10

pendapat, ungkapan, pikiran, suara hati dan agama, kebebasan untuk


berkumpul dan bersidang.
2) Hak ekonomi, sosial dan kebudayaan yang berhubungan dengan
pekerjaan, tingkat kehidupan yang pantas, pendidikan, kebebasan
hidup berbudaya.
Selain itu, pasal pertama dari Deklarasi menyatakan kemutlakan hak-hak
itu dipandang dari sudut persamaan martabat manusia, Pasal 2 menyatakan
hak semua orang atas hak yang telah ditetapkan tanpa diskriminasi apapun.
Prioritas yang mendasari hak-hak yang diumumkan dalam deklarasi itu
dimuat dalam Mukadimah Deklarasi, dimulai dengan pengakuan martabat dan
hak yang sama dan yang tidak dapat dicabut dari semua anggota umat
manusia.

c. Hak-hak yang bersifat Derogable Rights dan Non Derogable Rights


Istilah derogable rights diartikan sebagai hak-hak yang masih dapat
ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh negara dalam
kondisi tertentu. Sementara itu istilah non derogable rights maksudnya adalah
ada hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi)
pemenuhannya oleh negara, meskipun dalam kondisi darurat sekalipun. Dua
kovenan penting tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yaitu
Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik (SIPOL) dan Kovenan Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya (EKOSOSBUD) sesungguhnya memuat jenis-jenis hak
yang memiliki sifat berbeda dalam pelaksanaannya. Kovenan Hak SIPOL
yang tergolong dalam non derogable rights diantaranya memuat hak-hak
seperti:

a) hak hidup;
b) hak bebas dari perbudakan dan penghambaan;
c) hak untuk tidak dijadikan obyek dari perlakuan penyiksaan-perlakuan
atau penghukuman keji;

10
11

d) hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan tidak direndahkan


martabatnya sebagai manusia;
e) hak untuk mendapatkan pemulihan menurut hukum;
f) hak untuk dilindungi dari penerapan hukum pidana karena hutang;
g) hak untuk bebas dari penerapan hukum pidana yang berlaku surut; dan
h) hak diakui sebagai pribadi didepan hukum; kebebasan berpikir dan
berkeyakinan agama.
Dengan demikian, tidak dibernarkan suatu negara manapun mengurangi,
membatasi atau bahkan mengesampaikan pemenuhan dari hak-hak di atas.
Jika pembatasan terpaksa harus dilakukan, hanya dan bila hanya syarat-syarat
komulatif yang ditentukan oleh Kovenan tersebut dipenuhi oleh negara yang
bersangkutan.

Syarat komulatif yang dimaksud adalah sebagai berikut:

(1) sepanjang ada situasi mendesak yang secara resmi dinyatakan


sebagai situasi darurat yang mengancam kehidupan bernegara;
(2) penangguhan atau pembatasan tersebut tidak boleh didasarkan
pada diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama
atau asal-usul sosial; dan
(3) pembatasan dan penangguhan yang dimaksud harus dilaporkan
kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Sementara itu yang dimaksudkan sebagai hak yang bersifat dapat
ditangguhkan atau dibatasi oleh negara pemenuhannya adalah yang dimuat
dalam Kovenan kedua, yaitu Kovenan Hak EKOSOSBUD. Diantaranya yang
dimaksud sebagai derobagle rights adalah:
(a) hak untuk bekerja;
(b) hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan baik;
(c) hak untuk membentuk dan ikut dalam organisasi;
(d) hak mendapatkan pendidikan;

11
12

(e) hak berpartisipasi dan berbudaya.


Namun sama halnya seperti hak SIPOL, penangguhan atau pembatasan
juga diperketat yaitu dalam hal pembatasan tersebut harus diatur oleh hukum
dan dengan maksud semata-mata untuk memajukan kesejahteraan umum
dalam suatu masyarakat yang demokratis (Pasal 4 Kovenan Hak Ekososbud).
Oleh karena dua Kovenan di atas merupakan bagian dari The Internasional
Bill of Rights yang bersifat universal dan berlaku sebagai hukum yang
mengikat semua negara, maka suatu negara tidak bisa mengabaikan hak-hak
warga negaranya hanya dengan dalih demi melindungi kepentingan umum,
tanpa adanya aturan yang sudah dinyatakan sebelumnya dalam suatu Undang-
Undang yang berlaku efektif di negara tersebut. Terlebih lagi pemenuhan hak-
hak SIPOL, dimana jika salah satu atau dua syarat saja yang dijelaskan di atas
terpenuhi, masih belum cukup kuat untuk dijadikan dasar bagi negara
melakukan pembatasan dan penangguhan.

2. Tinjauan Umum tentang Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) Berat

a. Pengertian Pelanggaran HAM Berat

Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi


Manusia pada Pasal 1 angka 6, dinyatakan bahwa Pelanggaran hak asasi
manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk
aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan
tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian
hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pasal 1 angka 2, yang dimaksud

12
13

Pelangggaran Hak Asasi Manusia yang Berat adalah pelanggaran hak asasi
mnusia sebagimana dimaksud dalam undang-undang ini, kemudian dalam
pasal 7 dinyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

b. Macam-Macam Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) Berat.

Macam-macam pelanggaran HAM berat dalam hukum positif nasional dan


yang diatur dalam Statuta Roma 1998 terdapat perbedaaan, hal ini terjadi
karena Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma 1998, serta mengenai
kejahatan perang dan kejahatan agresi masih terdapat perbedaan pendapat
diantara negara-negara anggota mengenai pengaturannnya.

1) Jenis-jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia menurut Undang-Undang


Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dapat
diketahui dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9.

2) Perbuatan tersebut adalah merupakan bagian dari serangan yang dilakukan


secara meluas atau sistematik.

3) Serangan tersebut diketahui ditujukan secara langsung terhadap penduduk


sipil.

Jenis-jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia berdasarkan Pasal 5 Statuta


Roma 1998 (Rome Statute of the International Criminal Court), yang
termasuk kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) berat (the most serious
crimes) ada 4 macam, yaitu:

a. kejahatan genosida;

b. kejahatan terhadap kemanusiaan;

c. kejahatan perang;

13
14

d. kejahatan agresi.

Mengenai “Elements of Crime” dalam kejahatan genosida dan kejahatan


kemanusian dalam Statuta Roma adalah sama dengan dengan “elements of
crime” yang telah dijelaskan sebelumnya, karena Indonesia hanya mengadopsi
ketentuan tersebut dari Statuta Roma 1998.

3. Tinjauan Umum Tentang Pengadilan HAM AD HOC

a. Pengertian Pengadilan HAM.

Pengertian Pengadilan Hak Asasi Manusia atau Pengadilan HAM dalam


Pasal 1 angka 3 adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang
berat. Jika pengertian Pengadilan HAM pada Pasal 1 angka 3 dikaitkan dengan
Pasal 2 yang menentukan bahwa Pengadilan HAM merupakan pengadilan
khusus yang berada di lingkungan peradilan umum, dan Pasal 4 yang
menentukan bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran HAM yang berat, maka menjadi jelas bahwa
yang dimaksud dengan Pengadilan HAM adalah pengadilan yang berada
dilingkungan Peradilan umum yang hanya bertugas dan berwenang untuk
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat saja. (R.
Wiyono, 2006:9).

Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000


disebutkan bahwa dibentuknya Pengadilan HAM dilaksanakan atas
pertimbangan sebagai berikut:

1. Pelanggaran HAM yang berat merupakan extra ordinary crimes dan


berdampak secara luas, baik pada tingkat nasional maupun
internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam
KUHP serta menimbulkan kerugian, baik materiil maupun
immateriil yang mengakibatkan perasan tidak aman, baik terhadap

14
15

perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan


dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian,
ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh
masyarakat Indonesia.
2. Terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat diperlukan langkah-
langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan yang
bersifat khusus, yaitu:
a. diperlukan penyelidikan dengan membentuk tim ad hoc,
penyidikan ad hoc, penuntut umum ad hoc dan hakim ad hoc.
b. diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan
oleh Komnas HAM, sedangkan penyidik tidak
berwenangmenerima laporan atau pengaduan sebagaimana
diatur dalam KUHAP.
c. diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk
melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
pengadilan.
d. diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
e. diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa
bagim pelanggaran HAM yang berat.

b. Pengertian Pengadilan HAM Ad hoc

Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak ada ketentuan


yang menyebutkan pengertian dari Pengadilan HAM Ad hoc, tetapi jika
ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 dikaitakan dengan Pasal 43 ayat (1) yang
menentukan bahwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diperiksa dan
diputus oleh Pengadilan HAM Ad hoc. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa yang dimaksud Pengadilan HAM Ad hoc adalah pengadilan khusus

15
16

yang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat,


yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 pada tanggal 23 November 2000.

c. Lingkup Kewenangan Pengadilan HAM Ad hoc

1. Kewenangan Absolut

a. Memeriksa dan memutus pelanggaran HAM yang berat yang


terjadi sebelum berlakukanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 pada tanggal 23 November 2000.

b. Memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat sesuai


Pasal 7 Undang-Undang Pengadilan HAM yaitu kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Undang-undang Pengadilan HAM tidak memuat seluruh jenis 


pelanggaran HAM yang terdapat dalam Statuta Roma 1998,
Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra (yang pada tahun 2001 masih
menjabat sebagai Menteri Kehakiman RI) memberikan
penjelasan mengenai beberapa pertimbangan yang ditempuh
Pemerintah Indonesia:
1. Pertama, dua jenis pelanggaran HAM lainnya ( kejahatan
perang dan agresi) sampai saat ini masih dalam perdebatan
negara anggota PBB dan Indonesia belum menentukan
sikapnya secara tegas terhadap keduanya.
2. Kedua, Statuta Roma 1998 sudah diadopsi dalam Konferensi
Diplomatik di Roma namun  Indonesia belum meratifikasi
Statuta Roma 1998 sehingga tidak ada kewajiban
pemerintah Indonesia untuk memenuhi seluruh ketentuan
dalam Statuta Roma tersebut. Jika Undang-undang Nomor

16
17

26 tahun 2000 mengadopsi sebagian ketentuan dalam


Statuta Roma tersebut adalah dilatarbelakangi kepentingan
Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
3. Ketiga, kepentingan pemerintah untuk mengundangkan UU
nomor 26 tahun2000 didorong oleh kehendak untuk
memenuhi prinsip Komplementaritas (complementarity
principles) yang dianut oleh Statuta Roma 1998 tersebut
sehingga dengan cara demikian Undang-undang nasional
Indonesia (UU Nomor 26 tahun 2000) mengenai peradilan
atas perkara Pelanggaran HAM Berat sudah memenuhi
standar minimum hukum internasional tersebut.
4. Keempat, karena Statuta Roma 1998 tersebut merupakan
perjanjian internasional yang tidak boleh direservasi sama
sekal maka ratifikasi terhadap Statuta Roma tersebut
berdampak mengikat secara penuh negara peratifikasi
sehingga pemerintah Indonesia masih harus berhati-hati
untuk meratifikasinya. Untuk kepentingan Indonesia
kebijakan pemerintah yang telah mengadopsi beberapa
prinsip dan ketentuan dalam Statuta Roma tersebut
merupakan kebijakan yang dianggap tepat untuk saat ini
dan tidak akan membahayakan kedaulatan negara RI.
2. Kewenangan relatif

Kompetensi relatif atau wewenang relatif, menjawab pertanyaan


Pengadilan Negeri mana yang berwenang untuk mengadili perkara.
Kewenangan Relatif atau kompetensi relatif dari Pengadilan HAM
ad hoc adalah seperti yang ditentukan dalam Keputusan Presiden
tentang Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, misalnya Keputusan
Presiden Nomor 53 Tahun 2000 yang diubah dengan Keputusan

17
18

Presiden Nomor 96 Tahun 2001 telah dibentuk Pengadilan HAM ad


hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam Keppres tersebut
ditentukan bahwa Pengadilan HAM ad hoc pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat mempunyai wewenang untuk memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor Timur
dalam wilayah hukum Liquica, Dilli dan Soae pada bulan April 1999
dan bulan September 1999 dan yang terjadi di Tanjung Priok pada
bulan September 1984.

Secara terinci berikut adalah pengadilan negeri yang memiliki


kewenangan relatif mengadili pelanggaran HAM, yaitu:

a. Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Jakarta pusat


dengan daerah hukum meliputi: DKI Jakarta, Jawa Barat,
Banten, Sumatra Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan
Barat dan Kalimantan Tengah.

b. Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Surabaya dengan


daerah hukum meliputi: Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara
Barat, Nusa Tenggara Timur dan Daerah Istimewa
Yogyakarta.

c. Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makasar dengan


daerah hukum meliputi: Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara dan Irian
Jaya.

18
19

BAB III

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Mekanisne Proses Pembentukan Pengadilan HAM di


Indonesia Terkait Kasus Pelanggaran HAM Berat di Timor-Timur.
1. Latar Belakang Pembentukan Pengadilan HAM.
Orde Baru yang berkuasa selama 33 tahun (1965-1998) telah banyak
dicatat melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM. Orde baru yang
memerintah secara otoriter selama lebih dari 30 tahun telah melakukan

19
20

berbagai tindakan pelanggaran HAM karena perilaku Negara dan aparatnya.


Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) dalam laporan
tahunnya menyatakan bahwa pemerintah perlu menuntaskan segala bentuk
pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia sebagai akibat dari
struktur kekuasaan yang otoriter.

Selanjutnya, pasca Orde Baru pelanggaran HAM yang berbentuk aksi


kekerasan massa, konflik antar etnis yang banyak menelan korban jiwa dan
pembumihangusan di Timor Timur pasca jajak pendapat menambah panjang
sejarah pelanggaran HAM. Berbagai pelanggaran HAM yang terjadi belum
pernah terselesaikan secara tuntas sedangkan gejala pelanggaran kian
bertambah. Penyelesaian kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, Papua dan kasus
Pelanggaran HAM berat di Timor Timur selama pra dan pasca jajak pendapat
belum ada yang terselesaikan. Atas kondisi ini sorotan dunia internasional
terhadap Indonesia semakin menguat.

Berdasarkan laporan hasil penyelidikan oleh Komisi Penyelidik


Pelanggaran HAM (KPP-HAM), telah ditemukan fakta, dokumen, keterangan
dan kesaksian dari berbagai pihak yang mengarah pada tindakan yang dapat
digolongkan sebagai pelanggaran berat HAM yang menjadi tanggung jawab
negara (state responsibilities). Pelanggaran tersebut mencakup pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, pengusiran, pemindahan paksa dan lain-lain
tindakan tidak manusiawi terhadap penduduk sipil. Berikut adalah fakta
pelanggaran yang diperoleh KPP-HAM:

Tabel 1: Pelanggaran yang ditemukan oleh KPP-HAM

Pelanggaran Keterangan

Pembunuhan Terdapat cukup banyak keterangan dan bukti-bukti,


massal dan telah terjadi berbagai tindak kekerasan dan upaya

20
21

sistematis pembunuhan terhadap sejumlah orang atas dasar


alasan-alasan politik maupun bentuk diskriminasi
lainnya, berlangsung kejam dan brutal serta extra
judicial. Kasus pembunuhan terjadi di pemukiman
penduduk sipil, di gereja, termasuk di
penampungan pengungsi di markas militer dan
polisi.

Penyiksaan dan Hampir dalam setiap kasus tindak kekerasan yang


penganiayan dilakukan anggota TNI, Polri dan milisi terdapat
bukti tentang penyiksaan dan penganiayaan
terhadap penduduk sipil yang memiliki keyakinan
politik berbeda. sebelum jajak pendapat,
penganiayaan dilakukanoleh milisi tehadap warga
sipil yang menolak untuk bergabung atau menjadi
anggota milisi. Sesudah pengumuman jajak
pendapat, penganiayaan merupakan bagian dari
tindakan teror dan ancaman pembunuhan yang
terjadi dalam setiap penyerangan, penyerbuan dan
pemusnahan prasarana fisik termasuk berbagai
kasus penyergapan terhadap iring-iringan
pengungsi.

Penghilangan Paksa Penghilangan paksa terjadi sejak diumumkannya


dua opsi. Warga penduduk sipil yang berseberangan
keyakinan politiknya telah diintimidasi, diancam
dan dihilangkan. Penghilangan paksa ini dilakukan
oleh kelompok-kelompok milisi yang diduga
memperoleh bantuan dari aparat keamanan dengan
cara menculik atau menangkap untuk kemudian

21
22

beberapa diantaranya dieksekusi seketika.

Kekerasasn Kasus kekerasan terhadap perempuan yang


Berbasis Gender dihimpun KPP-HAM menyangkut penyiksaan,
pemaksaan perempuan dibawah umur melayani
kebutuhan seks para milisi, perbudakan seks dan
perkosaan. Perkosaan tersebut memiliki bentuk:(a)
seorang pelaku terhadap satu perempuan, (b) lebih
dari satu pelaku terhadap satu perempuan, (c) lebih
dari satu pelaku terhadap sejumlah perempuan
secara bersamaan di satu lokasi, dan (d)
penggunaan satu lokasi tertentu dimana tindak
perkosaan dilakukan secara berulang kali.

Pembumihangusan KPP-HAM di Timor Timur telah menemukan bukti


bahwa telah terjadi suatu pengrusakan,
penghancuran dan pembakaran secara massal,
terencana dan sistematis di berbagai kota seperti
Dili, Suai, Liquisa dan lainnya. Pembumihangusan
ini dilakukan terhadap rumah-rumah penduduk,
kebun dan ternak, toko, warung, penginapan, dan
gedung-gedung perkantoran, rumah ibadah, sarana
pendidikan, rumah sakit dan prasarana umum
lainnya serta instalasi militer maupun polisi.
Diperkirakan tingkat kehancuran mencapai 70-
80%.

Sumber: Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X tahun 2005
tentang KOMNAS HAM yang diterbitkan oleh ELSAM

22
23

Kasus pembumihangusan di Timor Timur telah mendorong dunia


internasional agar dibentuk peradilan internasional (international tribunal)
bagi para pelakunya. Desakan untuk adanya peradilan internasional khususnya
bagi pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor Timur semakin
menguat bahkan Komisi Tinggi HAM untuk hak-hak asasi manusia telah
mengeluarkan resolusi untuk mengungkapkan kemungkinan terjadinya
pelanggaran HAM berat di Timor Timur. Atas resolusi tersebut Indonesia
secara tegas menolak dan akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM
dengan menggunakan ketentuan nasional karena konstitusi Indonesia
memungkinkan untuk menyelenggarakan peradilan hak asasi manusia.

Mekanisme penyelesaian secara hukum atas pelanggaran berat HAM


pada dasarnya mengacu kepada prinsip exhaustion of local remedies yang
mengutamakan penyelesaian secara hukum di forum pengadilan nasional.
Namun, fakor-faktor ketidakmauan dan ketidakmampuan dari Negara pelaku
pelanggaran HAM berat dapat menyebabkan mekanisme internasional
mengambil alih fungsi pengadilan nasional. Akan tetapi, faktor inability pada
kenyataannya tidak secara otomatis menyebabkan penyelesaian dilakukan
melalui mekanisme internasional, tetapi melalui hybrid tribunal yang
merupakan internasionalisasi pengadilan nasional. Dengan demikian sistem
hukum nasional tetap merupakan pilihan utama (primary fora) untuk
menegakkan pertanggungjawaban tersebut. Hal ini sesuai dengan kewajiban
negara untuk menegakkan prinsip supremasi hukum. Pertimbangan lain
adalah kedekatannya dengan tempat, suasana dan iklim pada saat kejahatan
terjadi, dan kedekatannya dengan pelaku serta korban. Tribunal ad hoc
internasional sekalipun menggunakan istilah ‘primacy’ terhadap pengadilan
nasional, pada dasarnya tetap memberikan kesempatan mengadili terlebih
dahulu kepada sistem pengadilan nasional. Istilah yang digunakan dalam
Preamble ICC lebih jelas yakni ‘complementary’.

23
24

Meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa sistem pengadilan


nasional tidak mungkin dapat menerapkan jurisdiksi atas semua kejahatan
tanpa mempedulikan di mana kejahatan tersebut terjadi. Jurisdiksi nasional
tersebut harus mentaati ketentuan-ketentuan baik yang diatur oleh hukum
nasional maupun asas-asas hukum internasional.

2. Landasan Yuridis Terbentuknya Undang-Undang Pengadilan HAM


Berdasarkan kondisi tentang perlunya instrumen hukum untuk berdirinya
sebuah pengadilan HAM secara cepat maka pemerintah menerbitkan Perpu
Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Perpu ini telah menjadi
landasan yuridis untuk adanya penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat
Timor Timur oleh Komnas HAM. Karena berbagai alasan Perpu Nomor 1
Tahun 1999 kemudian ditolak oleh DPR untuk menjadi Undang-Undang.
Alasan mengenai ditolaknya Perpu tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara konstitusional pembentukan Perpu tentang Pengadilan HAM


dengan mendasarkan pada Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
yang berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang
dijadikan dasar untuk mengkualifikasikan adanya kegentingan yang
memaksa dianggap tidak tepat.
2. Substansi yang diatur dalam Perpu tersebut masih terdapat kekurangan
atau kelemahan.
Setelah adanya penolakan Perpu tersebut oleh DPR maka pemerintah
kemudian mengajukan rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan HAM.
Dalam Penjelasan pengajuan RUU tentang pengadilan HAM tersebut
disebutkan sebagai berikut:

a. Merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai salah


satu anggota PBB. Dengan demikian merupakan salah satu misi yang
mengembangkan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung

24
25

tinggi dan melaksanakan deklarasi HAM yang ditetapkan oleh PBB, serta
yang terdapat dalam berbagai instrument hukum lainnya yang mengatur
mengenai HAM yang telah ada atau diterima oleh Negara Indonesia.

b. Dalam rangka melaksanakan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM


dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang No. 39
Tahun 1999.

c. Untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu di bidang keamanan dan


ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan pengadilan
HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan
masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan hukum dan
jaminan kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia.

Dari ketiga alasan di atas, landasan hukum bahwa perlu adanya


pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran HAM berat adalah alasan
yang kedua dimana terbentuknya pengadilan HAM ini adalah pelaksanaan
dari Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut
dari Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Dalam Pasal 104
ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
Komnas HAM menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM berat
dibentuk pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum, ayat (2)
menyatakan “pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk
dengan Undang-Undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun”.
Tidak sampai empat tahun, Undang-Undang yang khusus mengatur tentang
Pengadilan HAM terbentuk yaitu Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

3. Legitimasi Berdirinya Pengadilan HAM Ad Hoc


Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang
dilakukan sebelum adanya Undang-Undang No. 26 tahun 2000.

25
26

Legitimasi atas adanya pengadilan HAM ad hoc didasarkan pada Pasal 43


Undang-Undang No. 26 tahun 2000 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43

(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM ad hoc.

(2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk
atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan
peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.

(3) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana di maksud dalam ayat (1) berada di
lingkunganPeradilan Umum.

Dalam penjelasannya, DPR yang juga sebagai pihak yang mengusulkan


dibentuknya pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan
terjadinya pelanggaran HAM berat yang dibatasi pada locus delicti dan
tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang
ini.

Pertimbangan hukum pembentukan pengadilan HAM yang tertuang


dalam Undang-Undang Pengadilan HAM oleh Mahkamah konstitusi dalam
Putusan Perkara Nomor 065/PUU-II/2004 Tentang Penerapan Asas Berlaku
Surut Dalam Kasus Pelanggaran HAM Berat yang dimohonkan oleh Abilio
Jose Osorio Soares, didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, untuk menjawab sejumlah persoalan HAM yang selalu berulang


(recurrent) yang telah dihadapi bangsa Indonesia dari masa ke masa dalam
rentang waktu yang relatif lama sehingga pengadilan HAM ini diharapkan
dapat menyelesaikan sejumlah persoalan HAM masa lalu agar tidak selalu
menjadi ganjalan yang tidak terselesaikan;

26
27

Kedua, untuk menjawab sejumlah persoalan yang bersifat kontemporer


atau muncul sebagai ”burning issues” yang berdimensi luas mengingat
Indonesia tidak dapat mengisolasi dirinya dari sejumlah persoalan hak
asasi manusia yang dihadapi oleh bangsa-bangsa didunia sebagai
persoalan kolektif hak asasi manusia kontemporer;

Ketiga, untuk memberdayakan institusi-institusi hak asasi manusia dalam


menjawab sejumlah persoalan HAM di masa kini dan masa mendatang.

Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang pengadilan HAM tidak mengatur


secara jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana proses perjalanan
pembentukan pengadilan HAM ad hoc setelah adanya penyelidikan dari
Komnas HAM tentang adanya pelanggaran HAM berat. Dalam penyelesaian
kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur pengadiln HAM ad hoc yang
terbentuk melalui mekanisme sebagai berikut:

a. Atas dasar ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1), Komnas HAM melakukan
penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum
berlakunya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000.
Penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM juga sesuai dengan
Perpu No. 1 Tahun 1999, dalam Perpu tersebut dinyatakan pihak yang
berwenang melakukan penyelidikan adalah Komnas HAM. Komnas HAM
lalu membentuk KPP-HAM yang memiliki ruang lingkup tugas yaitu
mengumpulkan fakta dan mencari berbagai data, informasi tentang
pelanggaran HAM di Timor Timur. Dengan memberikan perhatian khusus
pada pelanggaran berat HAM antara lain genocide, massacre, torture,
enforced displacement, crime against woman and children. Menyelidiki
tingkat keterlibatan aparatur Negara dan atau badan nasional dan
internasional lain dalam pelanggaran HAM di Timor Timur.

27
28

b. Hasil penyelidikan tersebut diserahkan kepada Kejaksaan Agung dan jika


sudah lengkap, maka atas dasar ketentuan Pasal 21 ayat (1), Jaksa Agung
selaku penyidik menindaklanjuti hasil penyelidikan dengan melakukan
penyidikan.
c. Hasil penyidikan menunjukkan adanya cukup alat bukti bahwa telah
terjadi pelanggaran HAM berat, maka diserahkan kepada Presiden.
d. Presiden mengirimkan surat kepada DPR lalu DPR mengeluarkan
rekomendasi agar pemerintah membentuk pengadilan ham ad hoc.
e. DPR sependapat dengan Jaksa Agung, maka DPR mengajukan usul
kepada presiden untuk dikeluarkan Keputusan Presiden tentang
pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.
Setelah melalui proses persetujuan DPR dari hasil usulan sidang
Pleno DPR melalui Keputusan DPR-RI No. 44/DPR-RI/III/2001 tanggal
21 Maret 2001.

f. Presiden mengeluarkan Keppres yang melandasi dibentuknya pengadilan


HAM ad hoc.
Presiden mengeluarkan dua buah Keppres yaitu Keppres No. 53
Tahun 2001 dan Keppres No.96 Tahun 2001. Keluarnya dua buah Keppres
ini karena Keppres No. 53 Tahun 2001 oleh Pemerintah dianggap
mempunyai wilayah yurisdiksi yang terlalu luas (tidak membatasi secara
spesifik baik wilayah maupun waktunya). Kemudian wilayah dan waktu
ini dipersempit dengan Keppres No.96 Tahun 2001 dan yurisdiksi menjadi
tiga wilayah yaitu wilayah Liquica, Dili, dan Suai dengan batasan waktu
antara bulan April sampai dengan September 1999 (penyempitan
yurisdiksi ini menimbulkan konsekuensi yaitu kasus pelanggaran HAM
dalam rentang pasca jajak pendapat tidak semuanya dapat diungkap,
termasuk para pelakunya sehingga kesempatan untuk membuktikan
adanya unsur sistematik dan meluas sedikit banyak terhalang).

28
29

Surat ke DPR

1 2 3
Komnas Ham Jaksa Agung Presiden DPR
penyelidikan penyidikan

Penuntutan 4

6 5 Rekomendasi

Pengadilan HAM ad
Keppres Pengadilan HAM
hoc

ad hoc

Gambar.2

Skema alur pengadilan HAM ad Hoc

Dari proses menuju pengadilan HAM ad hoc ini, sorotan yang paling
tajam adalah adanya kewenangan DPR untuk dapat mengusulkan adanya
pengadilan HAM ad hoc. DPR sebagai lembaga politik dianggap sebagai
pihak yang dapat menentukan untuk mengusulkan adanya pengadilan HAM
ad hoc untuk pelanggaran HAM yang berat di masa lalu karena pelanggaran
HAM yang berat tersebut lebih banyak bernuansa politik. Adanya ketentuan
ini dianggap sebagai kontrol atas adanya pengadilan HAM ad hoc, dimana
pengadilan ini tidak dapat terbentuk bila tanpa adanya rekomendasi atau
usulan dari DPR secara implisit sama halnya dengan memberikan
kewenangan kepada DPR memandang pelanggaran HAM berat dalam konteks
politik.

29
30

II. Tinjauan Yuridis Pembentukan Pengadilan HAM sebagai Suatu Proses


Politik Hukum.

HAM yang melekat pada manusia secara kodrati merupakan seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yamng Maha Esa dan merupakan anugeah-Nya yang wajib dihormati, dijujung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang. Hak-hak
ini tidak dapat diingkari oleh siapapun juga. Pengingkaran terhadap hak prinsipil
tersebut berarti mengingkari martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa. Oleh karena itulah baik negara, pemerintah maupun organisasi
apapun harus mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi
manusia pada tiap manusia tanpa terkecuali. Hal ini mengandung maksud bahwa
HAM harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan
kehidupan bemasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Di Indonesia pembahasan mengenai HAM terdapat dalam UUD 1945 Pasal


28 A – 28 J (Bab X A), Ketetapan MPR RI Nomor.XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi manusia dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta UU Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang kemudian diikuti oleh asas-asas
hukum internasional seperti Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia
(DUHAM) dan Konvensi-konvensi Internasional yang telah diratifikasi dalam
bentuk UU seperti UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,
Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, sebagai salah satu
contohnya.

Penegasan mengenai HAM dalam setiap bentuk peraturan perundang-


undangan Indonesia seperti disebut di atas, merupakan terdapatnya politik hukum
pemerintah dalam melaksanakan nilai-nilai esensial yang terkandung di dalam

30
31

HAM. Pergeseran paradigma dari sistem pemerintahan yang otoriter kepada


sistem pemerintahan yang cenderung demokratis saat ini dapat telihat dengan
jelas dari karakteristik produk hukum yang dihasilkannya. Hal ini dapat dijelaskan
dalam konfigurasi politik dan produk hukum bahwa dalam sistem yang
demokratis maka menghasilkan produk hukum yang berkarakter responsif 1.
Produk hukum yang responsif ialah produk hukum yang mencerminkan rasa
keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya
memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau
individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-
tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat2.

Pernyataan bahwa “hukum adalah produk politik” adalah benar jika


didasarkan pada Das Sein dengan mengonsepkan hukum sebagai undang-undang.
Dalam faktanya jika hukum dikonsepkan sebagai undang-undang yang dibuat
oleh lembaga legislatif maka tak seorang pun dapat membantah bahwa hukum
adalah produk politik sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi
dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi
politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar. Dalam
konsep dan konteks inilah terletak kebenaran pernyataan bahwa ”hukum
merupakan produk politik”3

Roscoe Pound dan Von Savigny masing-masing mengatakan bahwa “law is


a tool of social engineering” (hukum determinan atas masyarakat) dan “society
changes,so does law as well” (masyarakat determinana atas hukum). Hal
tersebut menegaskan bahwa hukum dapat berubah-ubah sesuai dengan apa yang
berkembang di tengah-tengah masyarakat. Demikian pula halnya yang terjadi
pada salah satu bidang peegakan hukum, dimana adanya keinginan masyarakat
1
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta : LP3ES Inonesia, 2001) hal 15
2
Ibid, hal. 25
3
Dikemukakan oleh Prof. Koesnoe dalam ceramah Ilmiah di Fakultas Hukum UII, Yigyakarta. 5 Juni
1981 (tanpa menyebut sumber)

31
32

baik nasional atau internasional untuk segera memiliki atau membentuk institusi
peradilan yang khusus mengenai masalah HAM di wilayah Indonesia.

Politik hukum HAM merupakan kebijakan hukum (legal policy) tentang


HAM yang mencakup kebijakan Negara tentang bagaimana hukum tentang HAM
itu telah dibuat dan abagiamana pula seharusnya hukum tentang HAM itu dibuat
untuk membangun masa depan yang lebih baik, yakni kehidupan Negara yang
bersih dari pelanggaran-pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh
penguasa4. Dengan demikian, UU Nomor 26 Tahun 2000 merupakan pengganti
dari Perpu Nomor 1 Tahun 1999 tentang hal yang sama, maka ada beberapa hal
pertimbangan Pemerintah dalam penyusunan tentang RUU Pengadilan HAM,
antara lain adalah sebagai berikut :

Pertama, merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai


salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan demikian
merupakan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjujung tinggi dan
melaksanakan Delarasi Universal HAM yang ditetapkan PBB., serta yang
terdapat dalam berbagai instrument hukum lainnya yang mengatur mengenai
HAMyang telah dan atau diterima oleh Negara Republik Indonesia.

Kedua, dalam rangka melaksanakan TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998


tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM. Hal ini mengingat kebutuhan yang sangat mendesak, baik
ditinjau dari sisi kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan
Internasional, maka segera dibentuk Pengadilan HAM sebagai Pengadilan
khusus untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang berat.

Ketiga untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu di bidang keamanan dan
ketertiban, termasuk perkonomian nasional. Keberadaan Pengadilan HAM ini
4
Moh. Mahfud. MD, Politik Hukum Hak Asasi Manusia, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru
Besar Madya dalam Ilmu Politik Hukum yang disampaikan dalam Sidang Terbuka Senat Universitas
Islam Indonesia (UII) (Yogyakarta 23 Sepember 2000), hal. 4

32
33

sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepecayaaan masyarakat dan


duinia Internasional terhadap penegakana hukum dan jaminana kepastian
hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia5.

Bila diamati lebih lanjut maka berdasarkan segala pertimbangan tersebut,


pada prinsipnya dapat disimpulkan perlu membentuk suatu pertauran perundang-
undangan yang mengakomodir mengenai institusi peradilan khusus yang bersifat
permanen dalam mengangani masalah pelanggaran HAM (Pengadilan HAM). Ha
ini sangat penting untuk menjaga reformasi dalam langkah demokrasi politik ke
depan yang dapat diwujudkan dari politik hukum pemerintah, dimana salah
satunya merevisi perundnag-undnagan di bidang kehakiman dan pemberlakuan
UU HAM dan Pengadilan HAM6. Oleh sebab itu jika dikaitkan dengan politik
hukum, maka dalam sistem yang demokratis akan menghasilkan produk yang
responsif, hal ini dikarenakan politik hukum lahir dari suatu tatanan Negara yang
ingin lebih demokratis maka menghasilkan produk hukum yang lebih responsive
salah satunya dibentuk UU mengenai HAM, Pengadilan HAM dan KKR.

5
Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, Catatan dan Gagasan :Prof. Dr.
Yusril Ihza Mahendra, (Tim Pakar Hukum Departeman Kehakiman dan HAM, 2002) Hal. 75-77
6
Ramli Hutabarat, ”Pemerintahan Soeharto secara Konstitusional hanya berlangsung 1966-1998 ,
http://hukumonline.com/detailasp?id=9553&d=Berita, diakses tanggal 10 Sepember 2005

33
34

BAB IV.

PENUTUP

A. Simpulan
1. Prinsip tanggung jawab Negara merupakan prinsip dalam hukum internasional
yang menyatakan bahwa suatu Negara memiliki tanggung jawab apabila
melanggar kewajiban internasional baik untuk berbuat sesuatu maupun tidak
berbuat sesuatu. Bentuk penerapan tanggung jawab Negara atas pelanggaran
berat HAM dapat dilakukan melalui forum pengadilan di tingkat nasional
maupun internasional. Mekanisme penyelesaian secara hukum atas
pelanggaran berat HAM pada dasarnya mengacu kepada prinsip exhaustion of
local remedies yang mengutamakan penyelesaian secara hukum di forum
pengadilan nasional. Namun, fakor-faktor ketidakmauan dan ketidakmampuan
dari Negara pelaku pelanggaran HAM berat dapat menyebabkan mekanisme
internasional mengambil alih fungsi pengadilan nasional. Dalam penyelesaian
kasus pelanggaran berat HAM Timor Timur, Indonesia menunjukkan
memiliki kemauan dan kemampuan untuk menyelesaikan kasus tersebut
melalui mekanisme pengadilan nasional dengan membentuk Pengadilan HAM
ad hoc berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

34
35

Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang


Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diberlakukan surut.
2. Pembentukan hukum mengenai Pengadilan HAM merupakan upaya
membangun hukum yang responsif dimana didahului dengan demokratisasi
dalam kehidupan politik sebab setiap karakter produk hukum sangat
dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang menghasilkannya. Pembentukan
Peradilan HAM secara menyeluruh dipertimbangkan berdasarkan adanya
desakan perubahan masyarakat , baik nasional maupun internasional dalam
memahami suatu keberadaan institusi yang menangani masalah HAM,
Pelanggaran HAM merupakan bentuk kejahatan luar biasa, Hukum Acaranya
memerlukan penanganan khusus, Pelaksanaan dari tindak lanjut UU Nomor
39 tahun 1999 dan mengembalikan kepercayaan masyarakat dan internasional
terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian HAM di Indonesia.

B. Saran
1. Penerapan prinsip tanggung jawab Negara atas pelanggaran HAM berat
sebagaimana diatur dalam hukum internasional, pelaksanaannya sangat
bergantung dari kemauan Negara yang menjadi pelanggarnya. Oleh karena
itu, agar penerapan prinsip tanggung jawab Negara dapat mengikat secara
hukum diperlukan instrument hukum yang lebih mengikat dalam bentuk
perjanjian internasional atau treaty.
2. Pemerintah segera menyidangkan perkara-perkara pelanggaran HAM berat
yang terjadi di masa lalu, melakukan rekonsiliasi nasional mengenai
pemberian pengampunan atas segala pelanggaran yang terjadi di masa lalu
serta menghindari terulangnya/terjadinya pelanggaran HAM berat. Apabila
terjadi kembali, ancaman hukuman seberat-beratnya dapat diberikan tanpa
pandang bulu (equality before the law).

35
36

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009

Prof. Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama.


Jakarta. 2008

Moh. Mahfud. MD, Politik Hukum Hak Asasi Manusia, Pidato Pengukuhan dalam
Jabatan Guru Besar Madya dalam Ilmu Politik Hukum yang disampaikan
dalam Sidang Terbuka Senat Universitas Islam Indonesia (UII) (Yogyakarta
23 Sepember 2000).

Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, Catatan dan


Gagasan :Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, (Tim Pakar Hukum Departeman
Kehakiman dan HAM, 2002)

Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I (Stelsel pidana, Tindak Pidana,
Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana). PT.
RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2002.

Ahmad Gunawan dan Mu’ammar Ramadhan. Menggagas Hukum Progresif


Indonesia. Semarang: Pustaka Pelajar, IAIN Walisongo Semarang dan
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. 2006.

36
37

Andrey Sujatmoko. Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM


Indonesia, Timor Leste, Dan Lainnya. Gramedia. Jakarta. 2005.

Anthon Freddy Susanto. Semiotika Hukum (Dari Dekonstruksi Teks Menuju


Progresivitas Makna). PT Refika Aditama. Bandung. 2005.

Antonius Sujata. Reformasi dalam Penegakan Hukum. Djambatan. Jakarta. 2000.

Barda Nawawi Arief. Kapita Selekta Hukum Pidana.. Citra Aditya Bakti.Bandung.
2003.

C. De Rover. To serve & To Protect Acuan Universal Penegakan HAM. RajaGrafindo


Persada. Jakarta. 2000.

Henry Campbell Black, Joseph R. Nolan, Jacqueline M. Nolan. Black’s Law


Dictionary With Pronounciations. ST Paul, Minn West Publishing. USA.
1990.

Human Rights Watch. Genosida Kejahatan Perang dan Kejahatan Terhadap


Kemanusiaan (Saripati kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat dalam
Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda) Jilid I. Elsam. Jakarta. 2007.

Johnny Ibrahim. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayumedia


Publishing. Malang. 2006

Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung.


2009

Muladi. Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat). Refika Aditama. Bandung. 2005.

I Wayan Parthiana. Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi. CV. Yrama Widya. .
Bandung. 2004.

Masyhur Effendi. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses
Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM). Ghalia
Indonesia. Bogor. 2005.

37
38

Nyoman Serikat Putra Jaya. Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum


Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2008.

Otje Salman dan Anton F. Susanto. Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka kembali). Refika Aditama. Bandung. 2005

P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti.


Bandung. 1997

Peter Mahmud Marzuki.. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
2006

R. Wiyono. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Kencana Prenada Media


Group. Jakarta. 2006.

Majalah, Makalah dan Jurnal

Edy Herdyanto. “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Sebagai Alternatif lain dalam
Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu”. Majalah Hukum Yustisia.
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2005.

Muladi. “Mekanisme Domestik Untuk Mengadili Pelanggaran HAM Berat Melalui


Sistem Pengadilan Atas Dasar Undang-Undang No. 26 Tahun 2000”.
Makalah Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). 2005.

Satjipto Rahardjo. Reformasi Menuju Hukum Progresif. Jurnal UNISIA:


Rekonstruksi Indonesia. Edisi No. 53/XXVII/III/2004. 2004.

Sriyana. “Komisi Nasional Hak Asasi Manusia”. Makalah Seri Bahan Bacaan
Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005. Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (Elsam). 2005.

Zainal Abidin. “Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia”. Makalah Seri Bahan
Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005. Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (Elsam). 2005.

Internet

38
39

Ramli Hutabarat, ”Pemerintahan Soeharto secara Konstitusional hanya berlangsung


1966-1998 , http://hukumonline.com/detailasp?id=9553&d=Berita, diakses
tanggal 10 Sepember 2005

Backil. Pengantar Ilmu Hukum. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-


makalah/pengantar-ilmu-hukum/makalah-pengantar-ilmu-hukum. [7
November 2009 pukul 20.00]

Budi Santoso. Evaluasi Kritis Atas Kelemahan UU Peradilan HAM.


http://pusham.uii.ac.id/upl/article/id_budi%20santoso.pdf. [3 Februari 2010
pukul 11.15 WIB]

Isharyanto. Tuntutan Dan Kebijakan Penyelesaian Kasus-Kasus Pelanggaran Hak


Asasi Manusia Dalam Kerangka Transisi Ke Demokrasi Di
Indonesia.http://isharyanto-hukum.com/Tuntutan_Penyelesaian_Kasus. [18
Januari 2010 pukul 14.30 WIB].

Laode Muh. Syahartian. Mengkritisi Undang-Undang Pengadilan HAM Pasca


Bebasnya Eurico Gueteres.
http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/04/12/mengkritisi-uu-pengadilan-
ham-pasca-bebasnya-eurico-gueteres/. [3 Februari 2010 pukul 11.00 WIB]

Yuzril Ihza Mahendra. Pelanggaran HAM Berat dan Pengadilan HAM Ad


hoc.http://legalitas.org. [7 November 2009 pukul 20.45 WIB]

Peraturan Perundang-undangan dan Instrumen Hukum Internasional

Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945

Batang Tubuh Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 200 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human


Rights)

Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (Iinternational Covenan on


Civil and Political Rights)

39
40

Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

Konvensi Amerika tentang Hak-hak Asasi Manusia

Konvensi tentang Tidak Dapat Ditetapkannya Pembatasan Statuta pada Kejahatan


Perang dan Kejahatan kemanusiaan

Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional

Piagam PBB (UN Charter), Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986

40

You might also like