You are on page 1of 10

KONTRIBUSI PEMAKAIAN ALAT KONTRASEPSI TERHADAP FERTILITAS

(ANALISIS LANJUT SDKI 2007)

Tanggal : Jumat, 12 Maret 2010 @ 14:47:31

Peneliti : Sumini, Yam'ah Tsalatsa, Wahyono Kuntohadi

Department : PUSNA

Kontribusi pemakaian Alat kontrasepsi terhadap fertilitas

Penulis

Sumini,
Yam’ahTsalatsa,
Wahyono Kuntohadi

RINGKASAN

Akhir-akhir ini banyak ahli dan pengamat kependudukan memberikan perhatian pada studi
keluarga berencana (Wiyono, 2008). Setidaknya terdapat tiga alasan utama mengapa titik
perhatian tertuju pada program keluarga berencana. Pertama, keberhasilan program keluarga
(KB) di masa orde baru dalam menekan laju pertumbuhan penduduk sarat dengan
sentralisme. Kedua, KB tidak lagi menjadi prioritas pembangunan di era otonomi daerah. Ketiga,
kekhawatiran terjadinya ledakan penduduk (baby boom) di tahun 2015 yang diperkirakan
mencapai 300 juta jiwa apabila program KB tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu,
program keluarga berencana perlu kembali digalakkan sebagai bagian penting untuk
mengendalikan angka kelahiran.

Berbagai tulisan menunjukkan keberhasilan program KB dalam mengendalikan angka


kelahiran yang ditandai dengan penurunan Total Fertility Rate (TFR). Sejak tahun 1970 hingga
tahun 1991 TFR menurun hingga mencapai 3,0. Tahun 1995 TFR mengalami penurunan menjadi
2,8, dan mencapai 2,6 di tahun 2007. Penurunan angka kelahiran tersebut berkaitan dengan
pemakaian alat kontrasepsi. Data menunjukkan adanya pola hubungan antara pemakaian alat
kontrasepsi dengan rendahnya fertilitas. Beberapa provinsi di Indonesia yang angka fertilitasnya
rendah seperti di Provinsi DIY (1,8) memiliki angka prevalensi kontrasepsi yang tinggi (66
persen), sedangkan di Provinsi NTT fertilitasnya cukup tinggi (4,1) ternyata angka prevalensi
kontrasepsinya hanya 42 persen. Namun demikian ditemukan pula provinsi dengan tingkat
fertilitas rendah dan angka prevalensi kontrasepsi yang juga rendah. Sebagai contoh di Provinsi
DKI Jakarta angka kelahirannya 2,1, sedangkan angka prevalensi kontrasepsi hanya 60 persen
(dibawah angka nasional 61 persen). Kondisi ini mengindikasikan pemakaian alat kontrasepsi
sebagai salah satu variabel yang secara langsung berpengaruh terhadap fertilitas kontribusinya
tidak sama di tiap daerah. Untuk itu perlu dilakukan studi lanjut mengenai kontribusi pemakaian
alat kontrasepsi terhadap fertilitas.

Penelitian ini bertujuan untuk :


1. Mengetahui kontribusi pemakaian alat kontrasepsi terhadap fertillitas
2. Mengidentifikasi metode kontrasepsi yang efektif dalam menekan fertilitas
3. Menganalisis faktor-faktor yang bersosiasi dengan pemakaian alat kontrasepsi

Secara demografis, fertilitas diartikan sebagai hasil reproduksi yang ditunjukkan dengan
banyaknya bayi lahir hidup (Hartanto, 1994). Fertilitas ini merupakan salah satu penyumbang
tingginya angka kelahiran selain mortalitas dan migrasi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk mengendalikan angka kelahiran adalah melalui Program Keluarga Berencana (KB), salah
satunya melalui pemakaian alat kontrasepsi oleh pasangan usia subur.

Pemakaian kontrasepsi merupakan salah satu dari sekian banyak variabel yang secara
langsung berpengaruh terhadap angka kelahiran (lihat Freedman, 1975 ; Davis and Blake 1956).
Adapun cara kontrasepsi yang termasuk di dalamnya adalah IUD, pil hormon, suntikan hormon,
kondom, sterilisasi, dan norplant (Singarimbun, 1987; Hatcher, et.al, 1997).

Dari berbagai studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa pemakaian alat kontrasepsi
terbukti mampu menurunkan angka kelahiran (Ananta, et.al, 1993; Bongaarts, 1978; Hull, 1976;
Becker, 1960; Easterlin, 1958). Sebagai contoh di Nepal, penggunaan alat kontrasepsi berhasil
menurunkan angka kelahiran menjadi 4,2, sementara di India angka ini mencapai 3,5 dan
Bangladesh sebesar 2 (Mishra, Jayaraman dan Arnold, 2009). Sementara itu penelitian
Boongaarts, 2003; Blacher, et al, 2005 menyebutkan pemakaian alat kontrasepsi pada perempuan
berpendidikan lebih tinggi dibandingkan yang tidak berpendidikan.

Studi yang lain menemukan tingkat pendidikan akan meningkatkan kontrol terhadap alat
kontrasepsi dan pengendalian fertilitas (UN, 1993). Pendidikan memfasilitasi perolehan
informasi tentang keluarga berencana, meningkatkan komunikasi suami-istri, dan akan
meningkatkan pendapatan yang memudahkan pasangan untuk menjangkau alat kontrasepsi.
Faktor lain yang berasosiasi dengan pemakaian alat kontrasepsi adalah kondisi sosial ekonomi.
Kondisi perekonomian rumah tangga yang kurang baik ditandai oleh rendahnya daya beli
masyarakat termasuk kemampuan mereka untuk membeli alat kontrasepsi. (Bongaarts,
2001;USAID, 2007)

Pemakaian alat kontrasepsi tidak terlepas dari peran serta penggunanya. Kajian Oppong
(1984) di Ghana dan Nigeria menunjukkan rendahnya peran serta suami dalam penggunaan alat
kontrasepsi. Peran serta suami dalam proses pengambilan keputusan pemakaian alat kontrasepsi
lebih dipengaruhi oleh pengalaman hidup yang dijalani semenjak masih kanak-kanak (Miller,
1992). Idealnya, terkait dengan upaya penundaan kehamilan atau kelahiran anak berikutnya
setelah anak pertama lahir, hal yang penting dilakukan adalah mengatur jarak kehamilan. Upaya
untuk mengatur jarak kehamilan atau kelahiran ini dapat dilakukan dengan menggunakan
kontrasepsi (Sunarto, 2009).

Penelitian ini merupakan analisis data sekunder Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2007 dengan responden wanita pernah kawin usia 15-49 tahun dan tidak sedang
hamil. Teknik analisis yang digunakan adalah tabulasi silang dengan uji asosiasi dan tingkat
korelasi ordinal, regresi linier berganda untuk melihat apakah layanan KB dan penggunaan alat
kontrasepsi memiliki kontribusi pada perubahan tingkat fertilitas, serta regresi logistic binary.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Rincian Variabel Penelitian

Hasil analisis dan pembahasan :


Karakteristik Responden
Rata-rata umur responden adalah 33 tahun, sekitar 19 persen responden berumur antara 30-
34 tahun, dan 17 persen berumur antara 25-29 tahun. Ibu-ibu dewasa yang berumur antara 40-44
tahun dan 45-49 tahun masing-masing 17 persen dan 14 persen, sedangkan ibu muda (umur 15-9
tahun) jumlahnya kurang dari tiga persen. Lebih dari separoh responden yang diteliti bertempat
tinggal di desa (59 persen), dan beragama Islam (89 persen). Berdasarkan tingkat pendidikannya,
33 persen responden tamat pendidikan dasar, 19 persen tamat SMU, dan sebagian kecil tamat
akademik atau perguruan tinggi (masing-masing tiga persen).

Responden yang diteliti sebagian (61 persen) mempunyai anak 1-2 orang dan sebagian kecil
(sembilan persen) mempunyai anak lebih dari 5 orang. Rata-rata 15 persen responden
memutuskan untuk menggunakan alat kontrasepsi ketika sudah memiliki 1-2 orang anak dan
hanya tiga persen yang memutuskan menggunakan alat kontrasepsi setelah memiliki anak lebih
dari lima.

Pemakaian dan masalah kesehatan selama pemakaian alat kontrasepsi


Keberhasilan Program Keluarga Berencana (KB) dapat dilihat dari tingkat pemakaian alat
kontrasepsi. Delapan puluh tujuh persen responden yang diteliti menggunakan alat kontrasepsi.
Pemakaian alat kontrasepsi ini meningkat seiring dengan semakin baiknya tingkat pendidikan
dan juga status ekonomi. Sementara itu wanita yang tinggal di kota cenderung menggunakan alat
kontrasepsi dibandingkan yang tinggal di desa. Perbandingannya adalah 87 persen dan 86 persen.
Perbedaan yang tidak terlalu besar ini mengindikasikan pelayanan KB telah tersebar merata baik
di daerah perkotaan maupun perdesaan.

Data menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata rata-rata jumlah anak yang diinginkan
menurut tingkat pendidikan, daerah tempat tinggal, dan indeks kesejahteraan kuintil. Sementara
itu wanita menikah umur 15-49 tahun rata-rata menginginkan anak tidak lebih dari dua. Hal ini
tidak terlepas dari kampanye Program Keluarga Berencana yang menginformasikan arti keluarga
kecil bahagia.

Berdasarkan jenis alat kontrasepsi yang digunakan, sebagian besar responden menggunakan
suntik tiga bulanan dan pil. Dibandingkan dengan alat/cara KB modern, cara tradisional lebih
banyak tidak digunakan oleh responden. Sebagai contoh penggunaan alat kontrasepsi tradisional
berupa pantang berkala, kemudian kalender dan kondom yaitu masing-masing tiga persen, dua
persen dan kurang dari satu persen.

Alat/cara KB modern populer di antara wanita di semua kelompok umur. Namun pemakaian
kontrasepsi pada wanita yang berumur lebih muda (15-19 tahun) dan yang berumur tua (45-49
tahun) lebih rendah dibandingkan mereka yang berumur 20-39 tahun. Wanita muda cenderung
menggunakan cara KB suntikan dan pil KB, sementara mereka yang lebih tua cenderung
memilih kontrasepsi IUD.

Pemakaian alat kontrasepsi pada responden yang diteliti sebagian besar didasarkan persetujuan
pasangan atau suami. Tujuh puluh delapan persen responden didukung oleh suaminya untuk
memakai alat kontrasepsi jenis tertentu. Sedangkan responden yang tidak mendapat dukungan
suami karena tidak memakai alat kontrasepsi jenis tertentu sebanyak 49 persen. Angka ini
merupakan temuan yang menggembirakan karena mengindikasikan adanya partisipasi dan
dukungan suami terhadap program KB.

Tabel 3.1 menggambarkan distribusi persentase pemakaian alat kontrasepsi di masa mendatang
menurut keinginan punya anak lagi. Data menunjukkan rencana pemakaian alat kontrasepsi di
masa depan cenderung rendah pada responden yang saat ini tidak lagi menginginkan anak (24
persen) atau masih belum mengambil keputusan (28 persen). Hal ini menunjukkan kurangnya
perencanaan bagi mereka yang justru tidak menginginkan anak lagi. Sementara, tingginya
persentase rencana pemakaian alat kontrasepsi diantara responden yang menginginkan anak lagi
(60 persen) menunjukkan bahwa telah terjadi perencanaan waktu yang baik untuk memiliki anak
tersebut.
Tabel 3.1
Pemakaian alat kontrasepsi menurut keinginan punya anak lagi (%)
Akan pakai alat Menginginkan anak lagi Total
kontrasepsi dimasa Ya Tidak lagi Tidak pasti
mendatang
Tidak 30,7 69,5 47,3 50,1
Ya 59,8 24,1 28,3 41,3
Tidak tahu 9,5 6,4 24,5 8,6
Total 4714 4746 364 9842
Sumber: SDKI 2007, diolah

Rencana pemakaian jenis alat kontrasepsi tertentu di masa mendatang berkaitan dengan efek
samping yang dirasakan responden di masa lalu. Data SDKI 2007 memperlihatkan 25 persen
responden mengalami masalah kesehatan selama menggunakan alat kontrasepsi. Persentase
terbesar yang mengalami gangguan kesehatan selama menggunakan alat kontrasepsi adalah
mereka yang menggunakan suntik 3 bulan (30 persen) dibandingkan dengan metode yang lain.
Masalah kesehatan tersebut di antaranya sakit kepala, tidak mengalami menstruasi, masalah
kesehatan lainnya, dan mengalami kenaikan berat badan. Keluhan sakit kepala dan mual banyak
dialami oleh mereka yang menggunakan metode pil (42 persen). Responden yang paling banyak
mengalami gangguan tidak haid adalah mereka yang menggunakan suntik 3 bulan (30 persen).
Ini merupakan tantangan kedepan bagi pemerintah untuk menyediakan layanan keluarga
berencana yang lebih baik, yaitu tersedianya alat kontrasepsi yang betul-betul aman, memiliki
daya lindung tinggi terhadap kemungkinan terjadinya kehamilan, serta tidak menimbulkan
gangguan kesehatan bagi penggunanya. Hal ini penting karena aspek tersebut seringkali menjadi
tolak ukur bagi responden untuk terus memakai atau tidak memakai alat kontrasepsi.

Layanan KB
Salah satu faktor yang penting diperhatikan dalam layanan KB adalah faktor informasi.
Informasi yang memadai mengenai berbagai metode KB akan membantu klien untuk
menentukan pilihan alat kontrasepsi, baik informasi mengenai efek samping maupun alternatif
metode KB. Studi ini menemukan 63 persen responden mengaku tidak mendapatkan informasi
mengenai efek samping saat pemakaian alat kontrasepsi. Sementara itu responden yang
mengetahui efek samping pemakaian alat kontrasepsi, mengaku mendapatkan informasi tersebut
dari televisi (26 persen), bidan atau perawat (15 persen), petugas KN (sembilan persen), dan
sumber lainnya seperti PKK dan tokoh agama.

Upaya tindak lanjut yang rutin dan memadai merupakan hal yang penting dalam rangka
mendorong keberlangsungan pemakaian kontrasepsi. Dari 29.258 responden yang diteliti, 61
persen diantaranya tidak melakukan tindak lanjut rutin mengunjungi fasilitas kesehatan untuk
memperoleh informasi mengenai alat kontrasepsi yang sedang dipakainya. Kemungkinan
responden merasa cukup aman dan terlindungi dari risiko kehamilan setelah memakai jenis alat
kontrasepsi tertentu dan tidak perlu melakukan pemeriksaan kesehatan. Sementara itu, petugas
KB cenderung bersifat pasif tidak mengunjungi klien untuk memberikan penjelasan ataupun
pemeriksaan kesehatan klien. Data menunjukkan hanya lima persen responden yang mengaku
dikunjungi petugas KB dalam enam bulan terakhir.

Analisis variabel-variabel yang berasosiasi dengan pemakaian alat kontrasepsi


Hasil analisis tabulasi silang dengan uji asosiasi dan tingkat korelasi ordinal menunjukkan
pemakaian alat kontrasepsi berkaitan dengan umur responden dan tingkat pendidikan, tapi tidak
berkaitan dengan agama dan wilayah tempat tinggal. Meningkatnya umur cenderung
menurunkan pemakaian alat kontrasepsi. Namun sebaliknya, meningkatnya level pendidikan
akan meningkatkan pula penggunaan alat kontrasepsi.

Berdasarkan tingkat ekonomi rumah tangga, tampak adanya korelasi positif, yaitu
pemakaian alat kontrasepsi semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kondisi ekonomi
rumah tangga. Faktor melek informasi memiliki asosiasi positif dengan pemakaian alat
kontrasepsi. Semakin tinggi frekuensi penyerapan informasi akan semakin meningkatkan
kemungkinan pemakaian alat kontrasepsi. Berdasarkan tingkat korelasinya, televisi merupakan
media dengan tingkat korelasi terkuat terhadap pemakaian alat kontrasepsi, diikuti dengan koran
dan radio.

Pada aspek perencanaan keluarga, seluruh variabel berasosiasi dengan pemakaian alat
kontrasepsi. Berdasarkan tingkat korelasinya, pemakaian alat kontrasepsi cenderung rendah pada
responden dengan intercoursepertama pada usia muda, responden yang memiliki jarak lahir
singkat antara anak ke-1 dan ke-2, responden dengan durasi breastfeeding yang singkat,
responden dengan umur anak terakhir yang tidak lagi muda, dan responden yang tidak mendapat
persetujuan dari suaminya untuk menggunakan alat kontrasepsi.
Berdasarkan aspek layanan dan informasi KB, tampak kunjungan responden ke fasilitas
kesehatan dalam enam bulan terakhir berkorelasi positif dengan pemakaian alat kontrasepsi.
Sementara itu, penggunaan alat kontrasepsi tidak berasosiasi dengan kunjungan petugas dalam
enam bulan terakhir. Hal ini bisa dipahami dalam konteks otonomi daerah, hampir tidak ada
PLKB di lapangan.

Di sisi lain, informasi KB dari media massa berasosiasi positif dengan penggunaan alat
kontrasepsi, kecuali informasi yang berasal dari radio yang tidak memiliki tingkat asosiasi yang
signifikan. Jika dilihat berdasarkan tingkat korelasinya, informasi KB yang memiliki korelasi
kuat dengan penggunaan alat kontrasepsi, secara berturut-turut adalah koran/majalah, poster,
pamflet, dan televisi. Sedangkan pada faktor petugas pemberi informasi KB, ternyata hanya
petugas KB, bidan/perawat, dan petugas PKK yang memiliki asosiasi dengan penggunaan alat
kontrasepsi. Ketiganya memiliki korelasi positif, dan berturut-turut yang terkuat adalah
bidan/perawat, petugas KB, dan petugas PKK. Hal ini mengindikasikan peran bidan/perawat,
petugas KB, dan petugas PKK cukup besar dalam pelaksanaan program KB.

Analisis Persamaan Regresi Linier Berganda Pemakaian Alat Kontrasepsi terhadap


Fertilitas
Pada dua model persamaan regresi linier yang dihasilkan, didapatkan bukti bahwa
persamaan kedua ternyata memiliki kekuatan model yang lebih baik. Peningkatan R-square dari
67,8 persen menjadi 70,4 persen dan adjusted R-square dari 65,3 persen menjadi 69,1 persen
menunjukkan membaiknya tingkat determinasi model terhadap variasi data. Selain itu, nilai F-
test yang meningkat dari 27,358 menjadi 52,935 dengan signifikansi uji yang tetap sempurna
sebesar 0,000, menunjukkan bahwa tingkat residual atau kesalahan taksir dari model regresi telah
menurun. Secara umum, jika seluruh variabel independent dianggap bernilai sama pada kedua
persamaan regresi, maka nilai konstanta β0 akan menurun dari 2,436 pada persamaan pertama
(tidak menggunakan alat kontrasepsi) menuju 1,579 pada persamaan kedua (menggunakan alat
kontrasepsi), yang juga bermakna menurunnya tingkat fertilitas akibat pemakaian alat
kontrasepsi.
Umur responden memiliki parameter positif. Artinya, semakin tua umur responden akan
semakin tinggi pula angka kelahiran hidup darinya. Akan tetapi, nilai parameter tersebut lebih
rendah pada mereka yang menggunakan alat kontrasepsi. Hal ini terlihat dari penurunan
parameter dari 0,191 menjadi 0,163. Sementara itu faktor agama tidak memiliki pengaruh
terhadap fertilitas pada responden tanpa alat kontrasepsi.

Perbedaan tempat tinggal memberikan fakta yang menarik. Pada mereka yang tidak
menggunakan alat kontrasepsi, tingkat fertilitas responden dari wilayah rural adalah lebih tinggi.
Sebaliknya, pada mereka yang menggunakan alat kontrasepsi, responden dari wilayah rural
secara signifikan memiliki tingkat fertilitas yang lebih rendah. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa alat kontrasepsi lebih efektif untuk menurunkan tingkat fertilitas pada mereka yang
tinggal di wilayah rural.

Berdasarkan tingkat ekonomi rumah tangga, penggunaan alat kontrasepsi memiliki


pengaruh sistematis terhadap penurunan fertilitas. Di antara mereka yang menggunakan alat
kontrasepsi dapat dilihat bahwa semakin tinggi tingkat ekonomi responden, maka semakin
menurun nilai parameter β-nya, artinya semakin rendah pula tingkat fertilitasnya.

Berdasarkan akses terhadap informasi media, hanya media televisi yang memiliki peran
berarti dalam penurunan tingkat fertilitas, baik pada responden yang menggunakan alat
kontrasepsi maupun bagi mereka yang tidak menggunakan. Jika dibandingkan secara ekstrim
antara mereka yang tidak pernah melihat televisi dengan yang hampir tiap hari melihatnya, maka
penurunannya adalah signifikan secara statistik. Sedangkan media koran/majalah memiliki
pengaruh meningkatkan fertilitas hanya pada mereka yang menggunakan alat kontrasepsi. Secara
umum hal tersebut mungkin saja terjadi, mengingat bahwa variabel informasi yang dianalisis di
sini adalah ‘informasi umum’, dan tidak terfokus pada masalah KB atau alat kontrasepsi.

Pada variabel-variabel ‘perencanaan keluarga’, beberapa nilai parameter persamaan regresi


lebih mewakili hubungan linier daripada hubungan sebab akibat. Hal ini disebabkan pemilihan
variabel dependen fertilitas “jumlah anak masih hidup” yang tidak selalu merupakan ‘akibat
langsung’ dari beberapa variabel independent yang juga merupakan ukuran “saat ini”. Jika
dilihat berdasarkan usia saat intercourse pertama kali, tampak nilai parameter yang negatif,
artinya semakin muda usia intercourse, maka semakin tinggi fertilitasnya. Akan tetapi, pada
responden yang menggunakan alat kontrasepsi, pengaruh tersebut semakin mengecil, ditandai
dengan parameter yang berubah dari -0,169 menjadi -0,149. Hal ini mengindikasikan semakin
homogennya tingkat fertilitas jika menggunakan alat kontrasepsi.

Apabila dikaitkan dengan keinginan memiliki anak, responden yang tidak menginginkan
anak lagi memiliki parameter positif yang signifikan pada kedua persamaan regresi dibandingkan
dengan mereka yang masih ingin memiliki anak. Berdasarkan nilainya, mereka yang
menginginkan anak lagi adalah mereka yang memiliki fertilitas lebih rendah dibandingkan
dengan yang tidak menginginkan anak lagi (dari 0,223 turun ke nol ‘0’ dan 0,183 turun ke nol
‘0’). Lebih jauh lagi, jika dibandingkan penurunan nilainya, ternyata selisihnya lebih kecil pada
responden yang menggunakan alat kontrasepsi, yang dapat diartikan bahwa tingkat fertilitasnya
relatif menjadi lebih homogen jika menggunakan alat kontrasepsi.

Berdasarkan umur anak terakhir, terlihat bahwa semakin muda anak terakhir dari
responden, maka semakin tinggi fertilitasnya. Peningkatannya lebih kecil pada responden yang
menggunakan alat kontrasepsi dibandingkan dengan yang tidak menggunakan alat kontrasepsi
(0,15 dibandingkan 0,182).

Identik dengan umur anak terakhir, pada variabel jarak lahir antara anak ke-1 dan ke-2
terlihat bahwa rentang yang semakin lebar identik dengan fertilitas yang semakin rendah. Jika
dilihat pada rentang yang sama, maka menurunnya fertilitas pada responden yang memakai alat
kontrasepsi akan lebih rendah (0,013 dibandingkan dengan 0,016).

Pada aspek persetujuan suami atas pemakaian alat kontrasepsi pada istrinya, data
menunjukkan bahwa ketidak-setujuan suami pada responden yang menggunakan alat kontrasepsi
ada kaitannya dengan tingkat fertilitas yang rendah, didukung oleh β sebesar -0,261. Sebaliknya,
pada pasangan yang belum jelas persetujuan sang suami, tingkat fertilitasnya adalah yang
tertinggi. Pada aspek pengambil keputusan penggunaan alat kontrasepsi, keputusan yang
didominasi oleh suami berkaitan dengan tingkat fertilitas yang tinggi dibandingkan dengan jika
keputusannya diambil oleh istri saja (0,474 dibanding 0).
Untuk faktor-faktor yang terkait dengan layanan dan informasi KB, analisis hanya
dilakukan pada responden yang menggunakan alat kontrasepsi. Baik faktor kunjungan petugas
KB dalam enam bulan terakhir maupun aktifitas responden mengunjungi fasilitas kesehatan,
keduanya memiliki hubungan dengan tingkat fertilitas yang menurun. Akan tetapi, secara
statistik penurunan tersebut belum signifikan.

Terkait dengan pemberian informasi tentang masalah yang mungkin timbul dengan
pemakaian alat kontrasepsi, tindakan yang harus diambil jika masalah tersebut muncul, serta
alternatif pilihan metode KB yang lain, ternyata efek linier hanya signifikan pada aspek yang
pertama, yaitu informasi tentang permasalahan yang mungkin timbul. Positifnya nilai β (0,212)
menunjukkan bahwa responden yang pernah diberitahu kemungkinan adanya masalah dengan
penggunaan kontrasepsi adalah mereka yang memiliki fertilitas lebih tinggi. Hal ini bisa jadi
karena klien merasa takut atau khawatir untuk menggunakan alat kontrasepsi yang mendorong
mereka untuk tidak memakai alat kontrasepsi sehingga cenderung anaknya lebih banyak
(bandingkan hasil penelitian Singarimbun, 1994).

Sumber-sumber informasi KB dari berbagai media ternyata tak ada satu pun yang secara
signifikan memiliki hubungan linier dengan perubahan tingkat fertilitas. Berdasarkan informasi
KB dari beberapa pihak, ada empat pihak yang memiliki parameter hubungan linier signifikan.
Keberadaan informasi dari tokoh agama memiliki hubungan linier terkuat dengan tingkat
fertilitas pengguna alat kontrasepsi (β= -0,794), diikuti oleh informasi dari bidan/perawat (β=
-0,116), informasi dari PKK (β=0,341), dan informasi dari pemimpin desa (β=0,507).

Analisis Hubungan antara Jenis Pemakaian Alat Kontrasepsi dengan Tingkat Fertilitas
Analisis ini bertujuan untuk mengeksplorasi perilaku wanita pernah kawin usia 15-49 tahun
dalam memilih kategori alat kontrasepsi berdasarkan tingkat fertilitasnya. Pemodelan yang
digunakan adalah analisis regresibinary logistic, yaitu jenis alat kontrasepsi merupakan variabel
dependen, sedangkan jumlah Anak Masih Hidup (AMH) sebagai indikator fertilitas merupakan
variabel independen. Pemodelan dilakukan terpisah untuk setiap alat kontrasepsi. Analisis
dipusatkan pada signifikansi parameter regresi dan nilai odds-ratio. Selain itu, besarnya sampel
turut pula dipertimbangkan dalam analisis.

Beberapa alat kontrasepsi memiliki parameter positif yang signifikan, yaitu semakin tinggi nilai
AMH akan meningkatkan kecenderungan penggunaan alat kontrasepsi. Berdasarkan nilai
parameter tersebut dan mempertimbangkan ukuran sampel, berturut-turut penggunaan alat
kontrasepsi yang tingkat kecenderungannya meningkat adalah sterilisasi perempuan (odds-
ratio=1,699), sanggama terputus (odds-ratio=1,251), metode kalendar (odds-ratio=1,110),
implant 3 tahun (odds-ratio=1,086), dan implant 5 tahun (odds-ratio=1,078).

Penggunaan metode injeksi 1-bulan dan injeksi 3-bulan memiliki odds-ratio<1. Ini berarti
memberi makna kecenderungan penggunaan yang lebih tinggi pada responden dengan AMH
rendah. Sedangkan nilai parameter yang tidak signifikan pada alat kontrasepsi yang memiliki
sampel yang besar – yaitu pil dan kondom – memberikan kemungkinan penggunaannya tidak
memiliki pola kecenderungan peningkatan atau penurunan seiring dengan meningkatnya AMH.
Secara grafis, hal tersebut tersaji pada Gambar 3.1

Gambar 3.1
Pola Pemakaian Alat Kontrasepsi terhadap Jumlah Anak Masih Hidup
Sumber: SDKI 2007, diolah

Kesimpulan dan Rekomendasi


Secara keseluruhan penelitian ini didasarkan pada analisis kuantitatif. Uji statistik sederhana dan
lanjut digunakan untuk menguji hubungan antar variabel sesuai kajian teoritis, sehingga akurasi
hasil dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Namun informasi mendetail mengenai pola
hubungan antar variabel tidak dapat dijelaskan hanya dari analisis kuantitatif, sehingga kedepan
diharapkan penelitian mengenai tema serupa dapat dilakukan dengan mengkombinasikan
pendekatan kuantitatif dan kualitatif.

Berdasarkan hasil analisis pada bagian sebelumnya, temuan penelitian ini mendukung teori pada
studi literatur, yaitu.
1. Pemakaian alat kontrasepsi terbukti memiliki kontribusi terhadap fertilitas (Ananta,
et.al,1993: Bongaarts, 1978: Hull, 1976 : Becker,1960: Easterlin, 1958)
2. Latar belakang karakeristik sosio demografi seperti umur, pendidikan, status ekonomi,
penyerapan informasi KB, layanan KB, jarak kelahiran, usia pertama kali intercourse, terbukti
berasosiasi dengan pemakaian alat kontrasepsi dalam menurunkan angka kelahiran (Davis dan
Blake, Mhloyi, 1986, Bongaarts, 1978, Goni, 2008, Bongaarts, 2001).
3. Pemakaian alat kontrasepsi pada responden yang tinggal di desa lebih mampu menekan
angka kelahiran secara signifikan dibanding yang tinggal di kota
4. Peran serta suami terutama berkaitan dengan persetujuan suami dalam pemakaian alat
kontrasepsi istri terbukti berasosiasi terhadap pemakaian alat kontrasepsi.
5. Alat kontrasepsi yang memiliki daya tahan terhadap kemungkinan kehamilan adalah
sterilisasi perempuan, sanggama terputus, metode kalendar, implant 3 tahun, dan implant 5
tahun. Metode ini juga tidak banyak memberi dampak kesehatan bagi pemakainya.

Dengan mendasarkan pada temuan-temuan tersebut, maka beberapa hal yang dapat
direkomendasikan adalah sebagai berikut.
1. Perlunya peningkatan layanan KB, yaitu pemberian informasi yang benar dan lengkap
tentang KB dan informasi kesehatan reproduksi secara menyeluruh, upaya tindak lanjut rutin
baik secara aktif maupun pasif agar kondisi fisik dan kesehatan klien dapat terus terpantau,
serta pelayanan yang adil kepada semua klien, dan tepat sasaran
2. Perlunya pemantapan dan insentif pemakaian alat kontrasepsi terutama pada mereka yang
tinggal di desa, status ekonominya rendah, pasangan muda, memiliki jarak lahir dan
durasi breastfeeding yang singkat, tidak mengunjungi atau dikunjungi petugas KB dalam
enam bulan terakhir, serta tidak mendapat p

You might also like