Professional Documents
Culture Documents
A. Judul:
Perilaku Memilih Kepala Daerah Bagi Masyarakat di Kecamatan Sokaraja Kabupaten
Banyumas Menjelang Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung.
B. Latar Belakang
Pasca reformasi 1998, banyak perubahan yang terjadi di Indonesia. Perubahan
konstitusi melalui Amandemen ke-4 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengubah
mekanisme politik terutama dalam perekrutan anggota badan perwakilan, presiden
dan wakilnya serta kepala daerah secara langsung.
Pemilu yang dilaksanakan pertama kali untuk memilih badan perwakilan,
presiden dan wakilnya berjalan dengan sukses. Untuk menyesuaikan mekanisme
pemilu dalam memilih pemimpin negara secara langsung, maka diadakanlah
pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkadal) seperti yang disebutkan pada pasl
6A Amandemen ke-4 UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan langsung oleh
rakyat.”
Akan tetapi mekanisme dalam pemilihan kepala daerah secara langsung tidak
secara tegas diamanatkan dalam Amandemen ke-4 UUD 1945 yang berisi:
“Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah
provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”
Pasal tersebut tidak secara khusus menyatakan kepala daerah harus dipilih
secara langsung. Untuk menunjukkan peningkatan kualitas demokrasi di suatu
negara, khususnya Indonesia ditentukan antara lain oleh seberapa besar peranan
masyarakat dalam menentukan pemimpin.
Pilkadal dilaksanakan ketika jabatan kepala daerah berakhir. Pada tahun 2004
terdapat 3 gubernur, 32 bupati dan walikota yang sudah berakhir masa tugasnya.
Tahun 2005 ada 8 gubernur, 148 bupati, 34 walikota yang berakhir masa tugasnya
dan di tahun 2006 sampai dengan tahun 2008 terdapat 21 provinsi dan 39
kabupaten/kota yang menyusul mengadakan Pilkadal. Dengan demikian, sampai
1
Bambang Purwoko, 2005, Isu-Isu Strategis Pilkada Langsung; Ekspresi Kedaulatan Untuk
Kesejahteraan Rakyat, di dalam Jurnal Ilmu Politik dan Pembangunan, Volome 6 No. 1 April 2005,
Laboratorium Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Halaman 4-5.
2
Ibid
calon kepala daerah, konflik massa dengan aparat (kepolisian maupun KPU). Hal
tersebut mengindikasikan adanya ketidakpercayaan rakyat terhadap wakilnya dalam
menyampaikan aspirasi mereka.
Tentunya dari persoalan Pilkadal yang pernah dilaksanakan oleh daerah-
daerah yang terdahulu bisa dijadikan pelajaran dan pertimbangan bagi Kabupaten
Banyumas dalam penyelenggaraan Pilkadal. Sehingga panitia pemilu perlu untuk
lebih mendekatkan aspirasi masyarakat dalam memilih kepala daerah.
Dalam hal ini, penulis tertarik untuk meneliti di Kecamatan Sokaraja karena
Kecamatan Sokaraja mempunyai penduduk yang bervariasi dari sudut pandang sosial
dan ekonomi.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis ingin mengkaji tentang:
1. “Faktor apakah yang paling dominan dalam perilaku memilih Kepala Daerah
secara langsung (Pilkadal) bagi masyarakat di Kecamatan Sokaraja?”
2. “Mengapa faktor tersebut menjadi dominan dalam penentuan kepala daerah
bagi masyarakat di Kecamatan Sokaraja?”
Sesuai dengan permasalahan penelitian yang dikaji, penelitian ini bermaksud
untuk menjelaskan faktor yang sangat mempengaruhi masyarakat dalam memilih
kepala daerah secara langsung di Kecamatan Sokaraja.
C. Kerangka teori
1. Partisipasi politik
Partisipasi politik merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perilaku
politik warga negara. Huntington dan Nelson3 memberikan definisi bahwa partisipasi
politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang
dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah.
Dari definisi tersebut, beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan adalah
partisipasi politik bukan semata sikap-sikap, namun merupakan kegiatan-kegiatan
yang bersifat empiris , merupakan kegiatan warga negara asli (preman), bukan
3
Miriam Budiardjo (Penyunting), 1998, Partisipasi dan Partai Politik : Sebuah Bunga Rampai, Edisi
Ketiga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Halaman 3.
4
Ibid
5
Ramlan Surbakti, 1992, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Halaman 13.
6
Sudijono Sastroatmodjo, 1995, Perilaku Politik, IKIP Semarang Press, Semarang. Halaman 24-25.
7
Ibid
8
Ramlan Surbakti, op.cit. Halaman 145-146.
Teori yang menggunakan pendekatan ini adalah contagion theory atau teori
penularan. Menurut teori ini, pilihan politik seseorang dan partisipanship (semangat
berpartisipasi seseorang dalam kehidupan politik) dapat menular kepada orang lain
melalui kontak sosial seperti penyakit infeksi. Dengan kata lain, perilaku politik
seseorang disebabkan apa yang dibicarakan bersama yang akhirnya menjadi pilihan
bersama11.
Jadi, menurut pandangan-pandangan dalam pendekatan sosiologis ini, faktor
eksternal sangat dominan dalam membentuk kondisi sosiologis yang membentuk
perilaku politik dari luar melalui nilai-nilai yang ditanamkan dalam proses sosialisasi
yang dialami individu seumur hidupnya. Ada beberapa kritik dalam pendekatan
sosiologis ini yaitu kenyataan bahwa perilaku memilih tidak hanya suatu tindakan
9
Muhammad Asfar, 2006, Pemilu dan Perilaku Memilih, Pustaka Eureka, Surabaya. Halaman 137.
10
Riswanda Imawan dan Affan Gaffar, 1993, Analisis Pemilihan Umum 1992 di Indonesia, Laporan
Penelitian Fakultas ISIPOL, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Halaman 15.
11
Martin Harrop dan William Miller, 1987, Election and Voters (A Comparative Introduction), The
Macmillan Press Ltd, London. Halaman 209.
kolektif tetapi merupakan tindakan individual. Dapat saja seseorang dijejali dengan
berbagai norma sosial yang berlaku, tetapi tidak ada jaminan bahwa ketika akan
memberikan suara, individu tersebut tidak akan menyimpang dari norma dan nilai
yang dimilikinya. Selalu ada kemungkinan individu tersebut menyimpang dari
keyakinan kelompoknya ketika dia akan melakukan tindakan politik.
Pendekatan yang kedua adalah pendekatan psikologis. Pendekatan ini
dikembangkan sebagai respons atas pendekatan sosiologis. Pendekatan psikologis
dikembangkan di University of Michigan di Amerika Serikat, sehingga kemudian
pndekatan perilaku memilih ini dikenal dengan sebutan mahzab Michigan (Michigan
School). Pelopor pendekatan ini adalah August Campbell12.
Kemunculan pendekatan ini merupakan reaksi atas ketidakpuasan mereka
terhadap pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis dianggap secara metodologis
sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial,
tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Apalagi pendekatan ini hanya sebatas
menggambarkan dukungan suatu kelompok terhadap kandidat atau partai politik
tertentu. Tidak sampai pada penjelasan mengapa suatu kelompok tertentu
memilih/mendukung suatu partai tertentu sementara yang lain tidak.
Menurut pendekatan ini, salah satu kekuatan politik adalah produk dari sikap
dan disposisi seorang pemilih. Pendekatan ini lebih mendasarkan faktor psikologis
dalam diri seseorang. Faktor psikologis ini, menurut Riswanda Imawan13 dideteksi
dengan dua konsep:
• Political involvement, yakni perasaan penting atau tidak ingin terlibat
dalam isu-isu politik yang bersifat umum.
• Party identification, yakni preferensi (perasaan suka atau tidak suka
seseorang terhadap satu partai politik atau kelompok elit tertentu).
memilih maupun perilaku politik seseorang, bukan karakter sosiologis. Selain itu,
pendekatan ini juga menjelaskan bahwa sikap seseorang sebagai refleksi kepribadian
seseorang merupakan variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi
perilaku politik seseorang. Oleh karena itu, pendekatan psikologis menekankan pada
tiga aspek utama yaitu, ikatan emosional pada partai politik atau kandidat, orientasi
terhadap isu-isu, dan orientasi pada kandidat.
Selain dua pendekatan tersebut, perilaku dapat didekati dengan pendekatan
rasional. Pendekatan ini berkembang atas kritik kepada kedua pendekatan dalam
perilaku memilih baik pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologis yang
menempatkan pemilih pada waktu dan ruang yang kosong. Pemilih seakan-akan
menjadi pion yang mudah ditebak langkahnya. Dengan demikian, penjelasan-
penjelasan perilaku memilih tidaklah harus permanen, seperti karakteristik sosiologis
dan identifikasi partai tetapi berubah-ubah sesuai dengan waktu dan peristiwa-
peristiwa dramatik yang juga menyangkut peristiwa-peristiwa yang mendasar.
Penggunaan pendekatan rasional dalam perilaku memilih oleh ilmuwan
politik sebenarnya diadaptasi dari ilmu ekonomi. Masyarakat dapat bertindak
rasional, yaitu menekan ongkos sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya. Maka dalam perilaku memilih rasional (rational choice), pemilih
bertindak rasional yaitu memilih kandidat atau partai politik yang dianggap
mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan menekan kerugian sekecil-
kecilnya. Dengan begitu, para pemilih diasumsikan mempunyai kemampuan untuk
menilai isu-isu politik yang diajukan dan mampu menilai isu-isu tersebut. Penilaian
rasional terhadap isu politik dan kandidat ini dapat berupa jabatan, informasi, pribadi
yang popular karena prestasi di bidangnya masing-masing seperti seni, olahraga, film,
organisasi politik, dan semacamnya.
Dalam khasanah perilaku memilih, pilihan pemilih berdasarkan pertimbangan
isu dan kandidat di atas juga dikenal dengan teori spasial14. Teori ini mengasumsikan
bahwa para pemilih memilih kandidat yang paling mewakili posisi kebijakan dan
14
Muhammad Asfar. op.cit. Halaman 148.
15
Bambang Kuncoro, 1998, (Tesis) Perilaku Politik Warga Pinggiran: Studi Tentang Perubahan
Perilaku Memilih Warga Desa Pada Pemilu Tahun 1971-1997 Di Desa Sunyalangu, Kabupaten
Banyumas, Jawa Tengah. Universitas Airlangga, Surabaya.
16
Jurnal Ilmu Politik dan Pembangunan, Volume 6 Nomor 1 April 2004, Laboratorium Ilmu Politik
FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Halaman 30.
17
Ibid
18
Udin Hamin, 2004, (Tesis) Perilaku Memilih Etnis Gorontalo Pada Pelaksanaan Pemilihan Kepala
Daerah Langsung di Kota Tidore Kepulauan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
19
Darussalam, 2004, (Tesis) Media Televisi dan Perilaku Memilih Masyarakat: Perolehan Suara
Partai Amanat Nasional pada Pemilu Legislatif dan Amien Rais pada Pemilu Presiden Pertama
Tahun 2004, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
20
Winarno Surahmad, 1970, Pengantar Metodologi Penulisan Ilmiah, CV. Carsito, Bandung. Halaman
12.
21
Bogdan dan Taylor, 1992, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif: Suatu Pendekatan
Fenomenologis Terhadap Ilmu-Ilmu Sosial, Penerbit Usaha Nasional, Surabaya. Halaman 2.
22
Prof. Dr. Sugiyono, 2006, Statistika Untuk Penelitian, CV Alfabeta, Bandung. Halaman 61.
23
HB. Sutopo, 1998, Pengantar Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar Teoritis dan Praktis, Pusat
Penelitian UNS, Surakarta. Halaman 31.
24
Mathew B. Milles dan A. Michael Hubberman, 1984, Qualitative Data Analysis, A Source Book of
New Methods, Sage Publication Beverly Hills London, New Delhi. Halaman 21-23.
Selain itu, argumen yang sama juga dikatakan oleh Mas Arief, selaku Kepala Dusun 1
di Desa Sokaraja Tengah Kecamatan Sokaraja:
“Masyarakat neng kene senenge karo wonge dewek. Soale angger ana apa-apa bias
langsung nglurug omahe.”
(Masyarakat di sini sangat menyukai bila dipimpin oleh orang sendiri <asli
Banyumas>. Karena jika terjadi kesalahan atau ada permasalahan, masyarakat bias
langsung datang ke rumahnya).
“Wong neng kene ora apa-apa angger dipimpin karo dudu wong Sokaraja. Sing
penting wong Banyumas.”
(Masyarakat di Sokaraja tidak menjadi masalah jika tidak dipimpin oleh orang
Sokaraja. Yang penting berasal dari Daerah Kabupaten Banyumas dan sekitarnya).
25
Owabong merupakan aset wisata yang menjadi kebanggaan daerah Purbalingga. Di sana terdapat
tempat pemandian, kolam renang bertaraf internasional dan juga sirkuit gokart.
26
Muhammad Asfar, op.cit. Halaman 140.
27
Jurnal Ilmu Politik dan Pembangunan, Volume 6 Nomor 1 April 2004, loc.cit.
sosiologis yang lain, seperti kelas sosial, jenis kelamin, agama, usia dan lain
sebagainya kurang mendapatkan perhatian yang kuat dari masyarakat di Kecamatan
Sokaraja. Hal inipun senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh J. Kristiadi28
yang memberikan argumen bahwa tingkat pendidikan, profesi, struktur usia, tidak
mempengaruhi perilaku memilih dan Affan Gaffar29 yang menyimpulkan bahwa kelas
yang diukur dengan tingkat pendidikan, kepemilikan tanah, dan kedudukan tidak
mempengaruhi perilaku memilih artinya tidak ada perbedaan antara mereka yang
statusnya kelas atas, menengah dan kelas bawah dalam menentukan pilihan. Begitu
juga Udin Hamin30, yang menjelaskan bahwa lingkungan sosial cukup berperan
dalam perilaku memilih. Akan tetapi, Darussalam tidak sependapat dengan mereka.
Darussalam menjelaskan bahwa faktor sosiologis, baik agama maupun kultur sosial
tidak berpengaruh terhadap perilaku memilih di Indonesia.
Posisi contagion theory, teori penularan dalam pendekatan sosiologis
mendapat perhatian yang penting dalam penelitian ini. Masyarakat Sokaraja Tengah
yang mempunyai wilayah yang berdekatan dengan Kabupaten Purbalingga banyak
mendapatkan informasi-informasi dan kabar bahwa kepala daerah yang berasal dari
daerahnya sendiri akan membangun daerahnya dengan sungguh-sungguh. Kontak
sosial antara warga di Kabupaten Purbalingga dan warga Kecamatan Sokaraja
membentuk pemahaman bersama masyarakat Kecamatan Sokaraja dalam hal memilih
kepala daerahnya.
3. Faktor “Asal Daerah” dalam Konteks Psikologis
Dalam mengkaji perilaku memilih di Kecamatan Sokaraja, nampaknya peran
faktor psikologis tidak bisa dijadikan rujukan. Masyarakat Kecamatan Sokaraja yang
sebagian besar berasal dari daerah Banyumas, yang sejak turun-temurun tinggal,
menetap dan mencari nafkah di Daerah Kabupaten Banyumas memiliki ikatan
psikologis yang kuat di daerahnya bukan kepada kandidat yang akan dipilihnya.
Mereka mengidentifikasikan dirinya dengan daerahnya yang sudah ditinggalinya
28
Ibid
29
Ibid
30
Udin Hamin, loc.cit.
sejak turun-temurun. Selaras dengan argumen tersebut, warga Sokaraja yang tidak
memberikan jati dirinya memberi sebuah komentar:
“Bertahun-tahun kami ingin dipimpin sama orang sendiri. Kami bangga kalau
dipimpin wonge dewek. Angger ana apa-apa mesti tak bantu.”
(Bertahun-tahun kami ingin dipimpin oleh pemimpin dari daerah kami sendiri
(Banyumas dan sekitarnya). Kalaupun ada masalah yang krusial, pasti kami
bantu).
Dari wawancara tersebut, penulis melihat adanya sifat loyalitas yang ada di
masyarakat Kecamatan Sokaraja bila mereka dipimpin oleh warga daerahnya sendiri.
Loyalitas tersebut dikarenakan orientasi mereka terhadap kandidat dari daerah sendiri
yang tercermin dalam kebanggaannya walaupun mereka belum mengenal tokoh yang
akan menjadi kandidat. Nampaknya, hasil wawancara tersebut tidak sejalan dengan
hasil penelitian Bambang Kuncoro yang menunjukkan bahwa faktor psikologis cukup
relevan untuk menjelaskan perubahan perilaku memilih warga Desa Sunyalangu
dalam menentukan OPP. Begitupula Darussalam, yang menyimpulkan bahwa peran
psikologis sangat menentukan dalam perilaku pemilih di Indonesia. Tetapi, dalam
beberapa kasus seperti penelitian Bowler dan Lanoue di Kanada pada dekade 1990-an
menunjukkan menurunnya pengaruh identifikasi yang ia sebut dengan istilah
loyalitas. Proses sosialisasi masyarakat Sokaraja dengan lingkungan di daerahnya
baik ketika mereka kecil dan juga ketika mereka dewasa berkembang yang akhirnya
membentuk ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan daerahnya, yang
akhirnya membentuk sikap mereka terhadap pilihan politiknya.
Untuk menjelaskan faktor psikologis ini, nampaknya konsep yang
dikemukakan oleh Riswanda Imawan dapat ditelaah lebih jauh. Masyarakat merasa
penting untuk terlibat dalam pemilihan kepala daerah secara langsung dan mereka
sangat antusias dan merasa suka dengan kandidat yang berasal dari daerahnya sendiri
yakni dari daerah Banyumas dan sekitarnya.
4. Faktor “Asal Daerah” dalam Konteks Rational Choice
Di dalam kajian ini, nampaknya peran rational choice berkembang dan dapat
dijelaskan. Para pemilih di Kecamatan Sokaraja hanya memilih berdasarkan asal
daerahnya saja. Mereka tidak serta-merta melihat program atau prestasi yang diraih
para kandidat. Bagi mereka, “putra daerah” saja sudah cukup mewakili selera dan
harapan mereka guna memimpin daerahnya.
Akan tetapi, jika diperhatikan secara seksama hasil wawancara di atas,
ternyata variabel-variabel yang lain ikut menentukan dalam perilaku memilih pemilih
di Kecamatan Sokaraja. Ada faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam
mempengaruhi perilaku politik mereka.
Masyarakat lebih rasional dalam menilai isu-isu politik kontemporer, seperti
pembangunan daerah. Seperti komentar yang telah diungkapkan oleh salah satu
informan di atas bahwa masyarakat Kecamatan Sokaraja mempunyai aspek rasional
dalam memilih. Dengan memilih kepala daerah dari daerahnya sendiri, mereka bisa
memberi tuntutan, dukungan langsung kepada calon kepala daerahnya dengan leluasa
karena setidaknya mereka mempunyai perasaan se-daerah. Masyarakat menganggap,
dengan dipimpin oleh kepala daerah yang berasal dari wilayah Kabupaten Banyumas
dan sekitarnya, mereka lebih cepat dalam memberikan masukan, tuntutan, dan
dukungan karena mereka bisa juga memberikan masukan, tuntutan maupun dukungan
kepada keluarga atau sanak familinya yang ada di daerahnya.
Nampaknya, apa yang dikatakan oleh Him Melweit dan koleganya tentang
“Consumer Model of Party Choice”, yang menyatakan bahwa perilaku memilih
merupakan pengambilan keputusan bersifat instant, tergantung pada situasi politik
tertentu, tidak berbeda dengan pengambilan keputusan-keputusan yang lain tidak
selaras dengan hasil penelitian ini. Penulis beranggapan, perilaku memilih rasional
bukanlah bersifat instant, tetapi terbentuk dari banyak faktor. Dalam penelitian ini,
pemilih membutuhkan banyak pertimbangan dalam memilih kandidat yang bertujuan
dan diharapkan mewakili kepentingannya dan kemajuan daerahnya. Hal inilah yang
menjadikan pemilih tersebut bersifat rasional.
Teori spasial yang mengasumsikan bahwa para pemilih memilih kandidat
yang paling mewakili posisi kebijakan dan kandidat yang dapat memaksimalkan
suara mereka didukung dalam kajian perilaku memilih di Kecamatan Sokaraja. Isu
mereka sangat antusias dan merasa suka dengan kandidat yang berasal dari
daerah Banyumas dan sekitarnya.
3. Teori spasial yang mengasumsikan bahwa pemilih memilih kandidat yang
paling mewakili posisi kebijakan dan kandidat yang dapat memaksimalkan
suara mereka didukung dalam kajian perilaku memilih di Kecamatan
Sokaraja. Isu politik berupa pembangunan menjadi harapan mereka setelah
mereka mendapatkan informasi dan analisis sederhana mereka ketika mereka
membandingkan daerahnya dengan daerah yang lain yakni Kabupaten
Purbalingga.
4. Consumer model of party choice, yang menganggap perilaku memilih
merupakan pengambilan keputusan yang instant, tidak didukung dalam
penelitian ini. Masyarakat Sokaraja membutuhkan banyak pertimbangan
dalam memilih kepala daerahnya yang diharapkan dapat mewakili
kepentingannya dan kemajuan di daerahnya.
Saran
Pemilihan kepala daerah langsung merupakan salah satu prasyarat
demokratisasi. Pemilihan kepala daerah dapat menimbulkan efek negatif dan efek
positif. Efek negatif yang terjadi apabila kesempatan untuk menggunakan ruang
demokrasi tidak digunakan dengan baik oleh rakyat yang akhirnya ruang tersebut
digunakan oleh sekelompok elit. Efek positif yang ditimbulkan adalah adanya peran
serta masyarakat dalam partisipasi menentukan hidupnya dengan cara memilih
pemimpin lewat prosedur yang telah ditentukan. Efek positif berupa partisipasi dapat
berjalan dengan baik bila masyarakat menggunakan dengan sebaik-baiknya ruang
demokrasi ini. Masyarakat dapat mempertimbangkan para kandidat demi kepentingan
dan kemajuan daerahnya. Pendeknya, demokratisasi dapat berjalan dengan baik
ketika masyarakat lebih rasional dalam menentukan tindakan politik mereka.
Perlunya sosialisasi politik berupa komunikasi politik dan pendidikan politik
bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat menggunakan hak pilih dan hak
politiknya dengan baik. Untuk itu, tugas kitalah baik ilmuwan, kalangan akademisi,
pers, politikus, lembaga-lembaga politik baik yang berasal dari pemerintah maupun
non-pemerintah untuk mensosialisasikan hal ini. Dengan membentuk masyarakat
yang rasional dalam politik, maka demokratisasi dapat berjalan dengan dinamis tanpa
“pembajakan”.
DAFTAR PUSTAKA
Asfar, Muhammad, 2006, Pemilu dan Perilaku Memilih, Pustaka Eureka, Surabaya.
Hamin, Udin, 2004, (Tesis) Perilaku Memilih Etnis Gorontalo Pada Pelaksanaan
Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Kota Tidore Kepulauan, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Harrop, Martin dan William Miller, 1987, Election and Voters (A Comparative
Introduction), The Macmillan Press Ltd, London.
Imawan, Riswanda dan Affan Gaffar, 1993, Analisis Pemilihan Umum 1992 di
Indonesia, Laporan Penelitian Fakultas ISIPOL, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Kuncoro, Bambang, 1998, (Tesis) Perilaku Politik Warga Pinggiran: Studi Tentang
Perubahan Perilaku Memilih Warga Desa Pada Pemilu Tahun 1971-1997 Di
Desa Sunyalangu, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Universitas
Airlangga, Surabaya.