You are on page 1of 24

1

A. Judul:
Perilaku Memilih Kepala Daerah Bagi Masyarakat di Kecamatan Sokaraja Kabupaten
Banyumas Menjelang Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung.
B. Latar Belakang
Pasca reformasi 1998, banyak perubahan yang terjadi di Indonesia. Perubahan
konstitusi melalui Amandemen ke-4 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengubah
mekanisme politik terutama dalam perekrutan anggota badan perwakilan, presiden
dan wakilnya serta kepala daerah secara langsung.
Pemilu yang dilaksanakan pertama kali untuk memilih badan perwakilan,
presiden dan wakilnya berjalan dengan sukses. Untuk menyesuaikan mekanisme
pemilu dalam memilih pemimpin negara secara langsung, maka diadakanlah
pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkadal) seperti yang disebutkan pada pasl
6A Amandemen ke-4 UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan langsung oleh
rakyat.”
Akan tetapi mekanisme dalam pemilihan kepala daerah secara langsung tidak
secara tegas diamanatkan dalam Amandemen ke-4 UUD 1945 yang berisi:
“Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah
provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”
Pasal tersebut tidak secara khusus menyatakan kepala daerah harus dipilih
secara langsung. Untuk menunjukkan peningkatan kualitas demokrasi di suatu
negara, khususnya Indonesia ditentukan antara lain oleh seberapa besar peranan
masyarakat dalam menentukan pemimpin.
Pilkadal dilaksanakan ketika jabatan kepala daerah berakhir. Pada tahun 2004
terdapat 3 gubernur, 32 bupati dan walikota yang sudah berakhir masa tugasnya.
Tahun 2005 ada 8 gubernur, 148 bupati, 34 walikota yang berakhir masa tugasnya
dan di tahun 2006 sampai dengan tahun 2008 terdapat 21 provinsi dan 39
kabupaten/kota yang menyusul mengadakan Pilkadal. Dengan demikian, sampai

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


2

dengan akhir 2009 terdapat 33 pemilihan gubernur, dan 434 pemilihan


bupati/walikota secara langsung1.
Berikut disajikan masa berakhirnya jabatan kepala daerah di beberapa
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2005.
Tabel 1. Daftar Akhir Masa Jabatan Kepala Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah
pada Tahun 2005
No. Kabupaten/Kota Tanggal Berakhir
1. Kota Pekalongan 6/1/2005
2. Kabupaten Kendal 13/6/2005
3. Kota Semarang 19/1/2005
4. Kabupaten Semarang 22/9/2005
5. Kabupaten Rembang 25/1/2005
6. Kabupaten Blora 29/2/2005
7. Kabupaten Sragen 5/5/2005
8. Kota Surakarta 10/4/2005
9. Kabupaten Wonogiri 1/11/2005
10. Kabupaten Sukoharjo 5/2/2005
11. Kabupaten Klaten 2/12/2005
12. Kabupaten Boyolali 15/3/2005
13. Kota Magelang 5/2/2005
14. Kabupaten Purworejo 30/10/2005
15. Kabupaten Wonosobo 23/10/2005
16. Kabupaten Kebumen 23/3/2005
17. Kabupaten Purbalingga 22/3/2005
Sumber: Jurnal Politik dan Pembangunan, 2005 Universitas Jenderal Soedirman2
Pilkadal yang pernah dilaksanakan dari tahun 2000 sampai tahun 2006 di
beberapa daerah sarat dengan berbagai persoalan baik konflik antara pendukung

1
Bambang Purwoko, 2005, Isu-Isu Strategis Pilkada Langsung; Ekspresi Kedaulatan Untuk
Kesejahteraan Rakyat, di dalam Jurnal Ilmu Politik dan Pembangunan, Volome 6 No. 1 April 2005,
Laboratorium Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Halaman 4-5.
2
Ibid

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


3

calon kepala daerah, konflik massa dengan aparat (kepolisian maupun KPU). Hal
tersebut mengindikasikan adanya ketidakpercayaan rakyat terhadap wakilnya dalam
menyampaikan aspirasi mereka.
Tentunya dari persoalan Pilkadal yang pernah dilaksanakan oleh daerah-
daerah yang terdahulu bisa dijadikan pelajaran dan pertimbangan bagi Kabupaten
Banyumas dalam penyelenggaraan Pilkadal. Sehingga panitia pemilu perlu untuk
lebih mendekatkan aspirasi masyarakat dalam memilih kepala daerah.
Dalam hal ini, penulis tertarik untuk meneliti di Kecamatan Sokaraja karena
Kecamatan Sokaraja mempunyai penduduk yang bervariasi dari sudut pandang sosial
dan ekonomi.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis ingin mengkaji tentang:
1. “Faktor apakah yang paling dominan dalam perilaku memilih Kepala Daerah
secara langsung (Pilkadal) bagi masyarakat di Kecamatan Sokaraja?”
2. “Mengapa faktor tersebut menjadi dominan dalam penentuan kepala daerah
bagi masyarakat di Kecamatan Sokaraja?”
Sesuai dengan permasalahan penelitian yang dikaji, penelitian ini bermaksud
untuk menjelaskan faktor yang sangat mempengaruhi masyarakat dalam memilih
kepala daerah secara langsung di Kecamatan Sokaraja.
C. Kerangka teori
1. Partisipasi politik
Partisipasi politik merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perilaku
politik warga negara. Huntington dan Nelson3 memberikan definisi bahwa partisipasi
politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang
dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah.
Dari definisi tersebut, beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan adalah
partisipasi politik bukan semata sikap-sikap, namun merupakan kegiatan-kegiatan
yang bersifat empiris , merupakan kegiatan warga negara asli (preman), bukan

3
Miriam Budiardjo (Penyunting), 1998, Partisipasi dan Partai Politik : Sebuah Bunga Rampai, Edisi
Ketiga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Halaman 3.

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


4

individu-individu yang bermain di wilayah pemerintahan; pokok perhatiannya adalah


kegiatan yang mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah, dan kegiatan
tersebut tidak memperdulikan berhasil atau tidaknya tujuan yang hendak dicapai,
yaitu mempengaruhi keputusan dan tindakan pemerintah.
Partisipasi politik banyak diwujudkan dalam berbagai bentuk. Beberapa
diantaranya adalah lobbying, kegiatan organisasi, mencari koneksi (contacting),
tindak kekerasan (violence), dan kegiatan pemilihan. Kegiatan yang terakhir ini
mencakup suara sekaligus sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam
suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang
bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan.
Secara lebih spesifik, Budiardjo4 mendefinisikan partisipasi politik sebagai
kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung
atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini
mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri
rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan
hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau parlemen dan sebagainya.
2. Perilaku Politik
Perilaku politik merupakan interaksi antara aktor-aktor politik baik
masyarakat, pemerintah, dan lembaga dalam proses politik. Paling tidak dalam proses
politik ada pihak yang memerintah, ada yang menentang dan ada yang menaati serta
mempengaruhi dalam proses politik, baik dalam pembuatan, pelaksanaan dan
penegakkan kebijakan. Perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang
berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik5.
Kecenderungan perilaku politik masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh
budaya masyarakat. Menurut Zainuddin A. Rakhman6, secara sosiokultural,

4
Ibid
5
Ramlan Surbakti, 1992, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Halaman 13.
6
Sudijono Sastroatmodjo, 1995, Perilaku Politik, IKIP Semarang Press, Semarang. Halaman 24-25.

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


5

masyarakat Indonesia memiliki elemen-elemen budaya yang bersifat dualis dalam


pola-pola budaya politiknya. Dualisme tersebut secara garis besar berkaitan dengan
tiga hal, yaitu (1) dualisme antara kebudayaan yang mengutamakan keharmonisan
dan kedinamisan, (2) dualisme antara budaya dan tradisi yang mengutamakan
keleluasaan dan keterbatasan, dan (3) dualisme yang merupakan implikasi masuknya
nilai-nilai barat di dalam masyarakat Indonesia.
Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, perilaku politik masyarakat
juga dipengaruhi oleh agama dan keyakinan. Agama telah memberikan nilai-nilai
etika dan moral politik yang memberikan pengaruh bagi masyarakat dalam perilaku
politiknya. Keyakinan dan agama apapun merupakan pedoman dan acuan yang penuh
dengan norma-norma dan kaidah-kaidah yang dapat mendorong dan mengarahkan
perilaku politik sesuai dengan agama dan keyakinannya. Proses-proses politik dan
partisipasi warga paling tidak dapat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pemahaman
seseorang7.
3. Pendekatan Perilaku Memilih
Perilaku politik warga negara seringkali dikaitkan dengan kegiatan mereka
dalam memilih wakilnya maupun pemimpinnya dalam pemilihan umum yang
diadakan oleh negara yang demokratis. Oleh karena itu, tepat kiranya untuk
menjelaskan beberapa pendekatan dalam perilaku memilih yang diklasifikasikan oleh
beberapa ilmuwan politik.
Menurut Ramlan Surbakti8, pendekatan dalam perilaku memilih dapat
dibedakan menjadi lima, yakni:
• Pendekatan struktural yang melihat kegiatan memilih sebagai produk dari
konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem
pemilihan umum, permasalahan, dan program yang ditonjolkan oleh setiap
partai.

7
Ibid
8
Ramlan Surbakti, op.cit. Halaman 145-146.

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


6

• Pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam


kaitan dengan konteks sosial. Kongkretnya, pilihan seseorang dalam
pemilihan umum dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi,
seperti jenis kelamin, tempat tinggal (kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas,
pendapatan dan agama.
• Pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerahpemilihan
terdapat perbedaan karakteristik pemilih berdaarkan unit territorial, seperti
desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten.
• Pendekatan psikologi sosial merujuk pada persepsi pemilih atas partai-partai
yang ada atau keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu.
• Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk
kalkulasi untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos”
memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang
diharapkan tetapi juga melihat alternatif lain yang menguntungkan.
Pendekatan-pendekatan tersebut berasumsi memilih merupakan kegiatan yang
otonom, tanpa ada desakan dan paksaan dari pihak lain. Akan tetapi, dalam negara-
negara berkembang, masih tersdapat paksaan dari pihak luar dan kelompok
kepentingan.
Kelima pendekatan perilaku memilih yang diklasifikasikan oleh Ramlan
Surbakti tersebut, dapat dijelaskan secara rinci dengan pendekatan-pendekatan yang
dikaji oleh beberapa ilmuwan politik Amerika. Pendekatan perilaku memilih tersebut
adalah pendekatan sosiologis (Mahzab Columbia) dan pendekatan psikologis
(Mahzab Michigan).
Pendekatan yang pertama adalah pendekatan sosiologis. Pendekatan ini
merupakan pendekatan perilaku memilih yang berasal dari Eropa, kemudian
dikembangkan oleh ilmuwan sosial yang berlatar belakang pendidikan Eropa.
Pendekatan ini disebut dengan Mahzab Columbia. Sedangkan Flanagan
menyebutnya sebagai model sosiologi politik Eropa. Ketika David Denver

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


7

menggunakan pendekatan ini untuk menjelaskan perilaku memilih masyarakat


Inggris, ia menyebutnya dengan sosial determinism approach9.
Pendekatan ini lebih menekankan faktor-faktor sosiologis dalam membentuk
perilaku politik seseorang. Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa
karakteristik sosial dan pengelompokkan-pengelompokkan sosial mempunyai
pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang.
Karakteristik sosial seperti pekerjaan, pendidikan, organisasi dan sebagainya serta
karakteristik sosiologis seperti agama, umur, jenis kelamin, dan sebagainya
merupakan faktor penting untuk menjelaskan pilihan politik. Pendeknya, perilaku
memilih dapat dijelaskan akibat pengaruh identifikasi seseorang terhadap suatu
kelompok sosial dan norma-norma yang dianut oleh kelompok atau organisasinya.
Lazarsfeld10 menjelaskan perilaku politik sosiologis merupakan
“A person thinks, politically as he is sosially. Sosial characteristics determine
political reference.”

Teori yang menggunakan pendekatan ini adalah contagion theory atau teori
penularan. Menurut teori ini, pilihan politik seseorang dan partisipanship (semangat
berpartisipasi seseorang dalam kehidupan politik) dapat menular kepada orang lain
melalui kontak sosial seperti penyakit infeksi. Dengan kata lain, perilaku politik
seseorang disebabkan apa yang dibicarakan bersama yang akhirnya menjadi pilihan
bersama11.
Jadi, menurut pandangan-pandangan dalam pendekatan sosiologis ini, faktor
eksternal sangat dominan dalam membentuk kondisi sosiologis yang membentuk
perilaku politik dari luar melalui nilai-nilai yang ditanamkan dalam proses sosialisasi
yang dialami individu seumur hidupnya. Ada beberapa kritik dalam pendekatan
sosiologis ini yaitu kenyataan bahwa perilaku memilih tidak hanya suatu tindakan

9
Muhammad Asfar, 2006, Pemilu dan Perilaku Memilih, Pustaka Eureka, Surabaya. Halaman 137.
10
Riswanda Imawan dan Affan Gaffar, 1993, Analisis Pemilihan Umum 1992 di Indonesia, Laporan
Penelitian Fakultas ISIPOL, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Halaman 15.
11
Martin Harrop dan William Miller, 1987, Election and Voters (A Comparative Introduction), The
Macmillan Press Ltd, London. Halaman 209.

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


8

kolektif tetapi merupakan tindakan individual. Dapat saja seseorang dijejali dengan
berbagai norma sosial yang berlaku, tetapi tidak ada jaminan bahwa ketika akan
memberikan suara, individu tersebut tidak akan menyimpang dari norma dan nilai
yang dimilikinya. Selalu ada kemungkinan individu tersebut menyimpang dari
keyakinan kelompoknya ketika dia akan melakukan tindakan politik.
Pendekatan yang kedua adalah pendekatan psikologis. Pendekatan ini
dikembangkan sebagai respons atas pendekatan sosiologis. Pendekatan psikologis
dikembangkan di University of Michigan di Amerika Serikat, sehingga kemudian
pndekatan perilaku memilih ini dikenal dengan sebutan mahzab Michigan (Michigan
School). Pelopor pendekatan ini adalah August Campbell12.
Kemunculan pendekatan ini merupakan reaksi atas ketidakpuasan mereka
terhadap pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis dianggap secara metodologis
sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial,
tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Apalagi pendekatan ini hanya sebatas
menggambarkan dukungan suatu kelompok terhadap kandidat atau partai politik
tertentu. Tidak sampai pada penjelasan mengapa suatu kelompok tertentu
memilih/mendukung suatu partai tertentu sementara yang lain tidak.
Menurut pendekatan ini, salah satu kekuatan politik adalah produk dari sikap
dan disposisi seorang pemilih. Pendekatan ini lebih mendasarkan faktor psikologis
dalam diri seseorang. Faktor psikologis ini, menurut Riswanda Imawan13 dideteksi
dengan dua konsep:
• Political involvement, yakni perasaan penting atau tidak ingin terlibat
dalam isu-isu politik yang bersifat umum.
• Party identification, yakni preferensi (perasaan suka atau tidak suka
seseorang terhadap satu partai politik atau kelompok elit tertentu).

Seperti namanya, pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep


psikologi terutama konsep sosialisasi dan sikap untuk menjelaskan perilaku memilih.
Menurut pendekatan ini, sosialisasilah yang sebenarnya menentukan perilaku
12
Muhammad Asfar, op.cit. Halaman 141.
13
Riswanda Imawan dan Affan Gaffar, op.cit. Halaman 12-13.

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


9

memilih maupun perilaku politik seseorang, bukan karakter sosiologis. Selain itu,
pendekatan ini juga menjelaskan bahwa sikap seseorang sebagai refleksi kepribadian
seseorang merupakan variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi
perilaku politik seseorang. Oleh karena itu, pendekatan psikologis menekankan pada
tiga aspek utama yaitu, ikatan emosional pada partai politik atau kandidat, orientasi
terhadap isu-isu, dan orientasi pada kandidat.
Selain dua pendekatan tersebut, perilaku dapat didekati dengan pendekatan
rasional. Pendekatan ini berkembang atas kritik kepada kedua pendekatan dalam
perilaku memilih baik pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologis yang
menempatkan pemilih pada waktu dan ruang yang kosong. Pemilih seakan-akan
menjadi pion yang mudah ditebak langkahnya. Dengan demikian, penjelasan-
penjelasan perilaku memilih tidaklah harus permanen, seperti karakteristik sosiologis
dan identifikasi partai tetapi berubah-ubah sesuai dengan waktu dan peristiwa-
peristiwa dramatik yang juga menyangkut peristiwa-peristiwa yang mendasar.
Penggunaan pendekatan rasional dalam perilaku memilih oleh ilmuwan
politik sebenarnya diadaptasi dari ilmu ekonomi. Masyarakat dapat bertindak
rasional, yaitu menekan ongkos sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya. Maka dalam perilaku memilih rasional (rational choice), pemilih
bertindak rasional yaitu memilih kandidat atau partai politik yang dianggap
mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan menekan kerugian sekecil-
kecilnya. Dengan begitu, para pemilih diasumsikan mempunyai kemampuan untuk
menilai isu-isu politik yang diajukan dan mampu menilai isu-isu tersebut. Penilaian
rasional terhadap isu politik dan kandidat ini dapat berupa jabatan, informasi, pribadi
yang popular karena prestasi di bidangnya masing-masing seperti seni, olahraga, film,
organisasi politik, dan semacamnya.
Dalam khasanah perilaku memilih, pilihan pemilih berdasarkan pertimbangan
isu dan kandidat di atas juga dikenal dengan teori spasial14. Teori ini mengasumsikan
bahwa para pemilih memilih kandidat yang paling mewakili posisi kebijakan dan
14
Muhammad Asfar. op.cit. Halaman 148.

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


10

kandidat yang dapat memaksimalkan aspirasi mereka. Hucfedlt Carmines


menjelaskan bahwa perilaku memilih yang didasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan rasional dan kepentingan diri sendiri disebut sebagai tradisi ekonomi
politik (political economy tradition) .
4. Penelitian Terdahulu
1. Bambang Kuncoro15 melakukan penelitian di Desa Sunyalangu Kabupaten
Banyumas menemukan bahwa karakteristik sosiologis, subkultur aliran dan
identifikasi partai cukup relevan untuk menjelaskan perubahan perilaku
memilih warga Desa Sunyalangu dalam menentukan OPP. Masyarakat Desa
Sunyalangu mempunyai kecenderungan memilih OPP lebih besar karena
ajakan tetangga daripada program yang ditawarkan OPP.
2. J. Kristiadi16 menjelaskan bahwa tingkat pendidikan, profesi, struktur usia,
dan tempat tinggal (desa-kota) tidak mempengaruhi perilaku memilih.
3. Affan Gaffar17 menyimpulkan bahwa kelas yang diukur dengan tingkat
pendidikan, kepemilikan tanah, dan kedudukan tidak mempengaruhi perilaku
memilih artinya tidak ada perbedaan antara mereka yang statusnya kelas atas,
menengah, dan kelas bawah dalam menentukan pilihan.
4. Udin Hamin18 yang melakukan penelitian perilaku memilih etnis di Kota
Tidore Kepulauan menjelaskan bahwa rasionalitas, pertimbangan program
partai, identifikasi partai, budaya dan lingkungan sosial berpengaruh kuat
terhadap perilaku memilih kepala daerah pada masyarakat.

15
Bambang Kuncoro, 1998, (Tesis) Perilaku Politik Warga Pinggiran: Studi Tentang Perubahan
Perilaku Memilih Warga Desa Pada Pemilu Tahun 1971-1997 Di Desa Sunyalangu, Kabupaten
Banyumas, Jawa Tengah. Universitas Airlangga, Surabaya.
16
Jurnal Ilmu Politik dan Pembangunan, Volume 6 Nomor 1 April 2004, Laboratorium Ilmu Politik
FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Halaman 30.
17
Ibid
18
Udin Hamin, 2004, (Tesis) Perilaku Memilih Etnis Gorontalo Pada Pelaksanaan Pemilihan Kepala
Daerah Langsung di Kota Tidore Kepulauan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


11

5. Darussalam19 menemukan bahwa faktor psikologis sangat besar peranannya


untuk menjelaskan perilaku memilih di Indonesia. Sedangkan faktor
sosiologis dan faktor rasional tidak terlihat dampaknya terhadap perilaku
memilih di Indonesia.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh ilmuwan-
ilmuwan politik di atas, penelitian perilaku memilih tidak hanya memfokuskan pada
salah satu pendekatan saja malainkan mengkaji berbagai pendekatan yang ada baik
pendekatan sosiologis, psikologis, dan rasional. Nampaknya, berbagai pendekatan
dalam perilaku memilih ini dapat saling melengkapi baik dalam hal penjelasan
maupun kesimpulan.
D. Hipotesa
Menurut Winarno Surahmad20, yang dimaksud dengan hipotesa adalah
sebagai dugaan sementara atau asumsi awal yang menaruh jalan penelitian. Hipotesa
ini diadakan untuk menguji kebenarannya. Dengan asumsi awal ini, paling tidak
dapat menuntun penulis dalam menjelaskan jawaban pertanyaan penelitian.
Asumsi awal penelitian ini adalah faktor yang paling dominan dalam
menentukan kepala daerah di Kabupaten Banyumas adalah faktor sosiologis yang
berupa daerah asal calon kepala daerah tersebut. Asumsi ini muncul ketika penulis
banyak membaca berita tentang isu-isu “putra daerah” yang sering muncul di dalam
pemilihan kepala daerah di daerah-daerah lain.
E. Metode Penelitian dan Analisis Data
Sasaran penelitian ini adalah seluruh masyarakat Kecamatan Sokaraja yang
memenuhi syarat sebagai pemilih pada Pilkadal Kabupaten Banyumas tahun 2004
yang berlokasi di Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah.

19
Darussalam, 2004, (Tesis) Media Televisi dan Perilaku Memilih Masyarakat: Perolehan Suara
Partai Amanat Nasional pada Pemilu Legislatif dan Amien Rais pada Pemilu Presiden Pertama
Tahun 2004, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
20
Winarno Surahmad, 1970, Pengantar Metodologi Penulisan Ilmiah, CV. Carsito, Bandung. Halaman
12.

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


12

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode


kualitatif deskriptif, yakni penelitian yang menggunakan ucapan, tulisan dan perilaku
yang diamati dari orang-orang (subyek) penelitian21. Oleh karenanya, pengambilan
sampel dilakukan dengan purposive sampling22, yakni memilih informan yang
dianggap cocok sebagai sumber penelitian. Informan tersebut adalah Pengurus KPU
Banyumas, Ketua Panitia Pengawas Pemilu di Kecamatan Sokaraja dan Kepala
Dusun 1 di Desa Sokaraja Tengah serta beberapa warga di Kecamatan Sokaraja.
Informan tersebut terpilih karena penulis menganggap mereka mengetahui seluk-
beluk pemilih di dalam masyarakatnya. Selain itu, paling tidak informasi yang
diterima akan berguna bagi penulis dalam memperjelas jawaban penelitian ini.
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah wawancara mendalam
dengan beberapa informan yang terpilih dan kemudian hasil wawancara tersebut akan
dibandingkan dengan literatur yang ada. Sumber informasinya berupa orang yang
biasanya disebut informan. Kepada infoman tersebut, penulis mengajukan
pertanyaan-pertanyaan secara lisan. Pertanyaan tersebut langsung ditanyakan di
rumah atau kantor masing-masing informan. Karena kebetulan, selama penelitian ini
dilakukan sedang minggu tenang, yaitu libur perkuliahan semester 2.
Untuk mengecek validitas data, penulis menggunakan triangulasi sumber
dengan membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat
dan pandangan orang yang memiliki latar belakang berbeda. Kemudian, penulis juga
menggunakan triangulasi teori, yakni menggunakan beberapa teori sebagai bahan
penjelasan perbandingan23.
Analisis penelitian ini secara sederhana menggunakan model interaktif24,
yakni: pertama, melakukan reduksi data yaitu menyederhanakan data yang diperoleh,

21
Bogdan dan Taylor, 1992, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif: Suatu Pendekatan
Fenomenologis Terhadap Ilmu-Ilmu Sosial, Penerbit Usaha Nasional, Surabaya. Halaman 2.
22
Prof. Dr. Sugiyono, 2006, Statistika Untuk Penelitian, CV Alfabeta, Bandung. Halaman 61.
23
HB. Sutopo, 1998, Pengantar Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar Teoritis dan Praktis, Pusat
Penelitian UNS, Surakarta. Halaman 31.
24
Mathew B. Milles dan A. Michael Hubberman, 1984, Qualitative Data Analysis, A Source Book of
New Methods, Sage Publication Beverly Hills London, New Delhi. Halaman 21-23.

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


13

yang dikategorikan sesuai dengan varian-variannya; kedua, bahan yang telah


direduksi, kemudian disajikan dalam bentuk narasi atau table dengan didukung
dengan teori yang relevan; dan ketiga, penarikan kesimpulan atau verifikasi, yakni
melakukan penafsiran terhadap makna dari hasil sajian tersebut dengan mencatat
keteraturannya, pola-polanya, maupun proposisinya.
F. Definisi Konsepsional
Definisi konsepsional merupakan batasan-batasan istilah penting yang
dijadikan pedoman penelitian ini, sehingga arahnya tidak menyimpang. Adapun
batasan-batasannya adalah sebagai berikut:
a. Pendidikan adalah usaha yang dilakukan seseorang bertujuan menuntun
perilaku melalui institusi pendidikan.
b. Pekerjaan adalah usaha yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan nafkah.
c. Jenis kelamin adalah hal yang membedakan manusia berdasarkan ciri fisik
manusia.
d. Agama adalah keyakinan dan kepercayaan manusia terhadap Tuhan
berdasarkan Amandemen ke-4 Undang-Undang Dasar 1945.
e. Perilaku memilih adalah tingkah laku seseorang dalam menentukan pilihan
yang paling disukai.
f. Kepala daerah adalah seseorang yang dipercaya masyarakat untuk memimpin
daerah lewat mekanisme pemilu.
g. Pemilihan umum (pemilu) adalah proses pemilihan oleh warga negara yang
mempunyai hak pilih untuk memilih wakil mereka dalam parlemen
(legislative) maupun dalam pemerintahan (eksekutif) menurut peraturan yang
berlaku.
h. Pemilih dalam pemilu adalah penduduk yang sudah berusia sekurang-
kurangnya 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin.
i. Tempat Pemungutan Suara (TPS) adalah tempat pemilih memberikan suara
pada hari pemungutan suara.

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


14

j. Masyarakat Kecamatan adalah orang-orang yang mendiami dan tinggal di


wilayah kecamatan.
k. Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal) adalah mekanisme rekrutmen
kepala daerah di mana masyarakat dapat secara langsung memilih kepala
daerahnya.
l. Tempat tinggal adalah daerah yang pernah didiami oleh seseorang dan orang
tuanya.
G. Pembahasan
1. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Memilih
Dalam menggambarkan faktor yang paling berpengaruh dalam perilaku
memilih masyarakat Kecamatan Sokaraja dalam pemilihan kepala daerah yang
dilaksanakan beberapa tahun yang akan datang, nampaknya faktor “daerah asal”
menjadi sangat kuat. Masyarakat Kecamatan Sokaraja menaruh banyak harapan
kepada kandidat calon kepala daerahnya yang asli putra daerah untuk memajukan
daerahnya.
Mereka menganggap, jika daerahnya dipimpin oleh asli warga Kabupaten
Banyumas, maka Kabupaten Banyumas akan lebih cepat maju. Hal tersebut
diungkapkan oleh Iksanto, BSc selaku pengurus Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Kabupaten Banyumas ketika diwawancarai penulis di kantornya:
“Dari pengamatan saya, kandidat calon kepala daerah yang paling besar bukan
pada pilihan partai, akan tetapi isu-isu putra daerah. Masyarakat di Purwokerto
selalu membanding-bandingkan dengan kemajuan Kabupaten Purbalingga yang
dipimpin oleh Bupati yang merupakan asli putra daerah.”

Selain itu, argumen yang sama juga dikatakan oleh Mas Arief, selaku Kepala Dusun 1
di Desa Sokaraja Tengah Kecamatan Sokaraja:
“Masyarakat neng kene senenge karo wonge dewek. Soale angger ana apa-apa bias
langsung nglurug omahe.”
(Masyarakat di sini sangat menyukai bila dipimpin oleh orang sendiri <asli
Banyumas>. Karena jika terjadi kesalahan atau ada permasalahan, masyarakat bias
langsung datang ke rumahnya).

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


15

“Wong neng kene ora apa-apa angger dipimpin karo dudu wong Sokaraja. Sing
penting wong Banyumas.”
(Masyarakat di Sokaraja tidak menjadi masalah jika tidak dipimpin oleh orang
Sokaraja. Yang penting berasal dari Daerah Kabupaten Banyumas dan sekitarnya).

Dari berbagai komentar informan di atas, nampaknya sebagian masyarakat di


Kecamatan Sokaraja menginginkan untuk dipimpin oleh pemimpin dari daerahnya
sendiri (yang masih di wilayah Kabupaten Banyumas).
2. Faktor “Asal Daerah” dalam Konteks Sosiologis
Faktor sosiologis nampaknya sangat mempengaruhi sikap masyarakat
Kecamatan Sokaraja dalam memilih kepala daerah yang ada di Kabupaten Banyumas.
Faktor “asal daerah” menunjukkan bahwa ikatan kedaerahan sangat kuat dalam
mempengaruhi masyarakat dalam memilih kepala daerah. Hal ini diungkapkan oleh
Mantan Ketua Pengawas Pemilu di Kecamatan Sokaraja yang diwawancarai penulis
di rumahnya:
“Masyarakat Sokaraja senang dengan kepala daerah yang asli daerahnya
sendiri. Seperti yang ada di Purbalingga itu lho, Mas. Sekarang jadi maju.
Jalan aspalnya mulus-mulus, udah buat Owabong25 lagi.”

Berdasarkan wawancara di atas, masyarakat Sokaraja lebih tertarik dengan


kepala daerah yang merupakan warga atau lahir di daerah Banyumas. Mereka melihat
perkembangan pembangunan yang di wilayah lainnya yang dikaitkan dengan
kemajuan yang terjadi di daerahnya sendiri.
Penelitian ini senada dengan penelitian Potosky dalam bukunya yang berjudul
“Southern Politics” yang diterbitkan pada tahun 1949 yang menunjukkan bahwa para
kandidat biasanya diterima dan dipilih dari kota yang sama. Potosky menyebut
perilaku memilih semacam ini dengan nama localism, atau perilaku memilih friends
dan neighbours26. Akan tetapi, J. Kristiadi27 dalam hasil penelitiannya menemukan
fakta bahwa asal kota-desa atau daerah tidak mempengaruhi perilaku memilih. Faktor

25
Owabong merupakan aset wisata yang menjadi kebanggaan daerah Purbalingga. Di sana terdapat
tempat pemandian, kolam renang bertaraf internasional dan juga sirkuit gokart.
26
Muhammad Asfar, op.cit. Halaman 140.
27
Jurnal Ilmu Politik dan Pembangunan, Volume 6 Nomor 1 April 2004, loc.cit.

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


16

sosiologis yang lain, seperti kelas sosial, jenis kelamin, agama, usia dan lain
sebagainya kurang mendapatkan perhatian yang kuat dari masyarakat di Kecamatan
Sokaraja. Hal inipun senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh J. Kristiadi28
yang memberikan argumen bahwa tingkat pendidikan, profesi, struktur usia, tidak
mempengaruhi perilaku memilih dan Affan Gaffar29 yang menyimpulkan bahwa kelas
yang diukur dengan tingkat pendidikan, kepemilikan tanah, dan kedudukan tidak
mempengaruhi perilaku memilih artinya tidak ada perbedaan antara mereka yang
statusnya kelas atas, menengah dan kelas bawah dalam menentukan pilihan. Begitu
juga Udin Hamin30, yang menjelaskan bahwa lingkungan sosial cukup berperan
dalam perilaku memilih. Akan tetapi, Darussalam tidak sependapat dengan mereka.
Darussalam menjelaskan bahwa faktor sosiologis, baik agama maupun kultur sosial
tidak berpengaruh terhadap perilaku memilih di Indonesia.
Posisi contagion theory, teori penularan dalam pendekatan sosiologis
mendapat perhatian yang penting dalam penelitian ini. Masyarakat Sokaraja Tengah
yang mempunyai wilayah yang berdekatan dengan Kabupaten Purbalingga banyak
mendapatkan informasi-informasi dan kabar bahwa kepala daerah yang berasal dari
daerahnya sendiri akan membangun daerahnya dengan sungguh-sungguh. Kontak
sosial antara warga di Kabupaten Purbalingga dan warga Kecamatan Sokaraja
membentuk pemahaman bersama masyarakat Kecamatan Sokaraja dalam hal memilih
kepala daerahnya.
3. Faktor “Asal Daerah” dalam Konteks Psikologis
Dalam mengkaji perilaku memilih di Kecamatan Sokaraja, nampaknya peran
faktor psikologis tidak bisa dijadikan rujukan. Masyarakat Kecamatan Sokaraja yang
sebagian besar berasal dari daerah Banyumas, yang sejak turun-temurun tinggal,
menetap dan mencari nafkah di Daerah Kabupaten Banyumas memiliki ikatan
psikologis yang kuat di daerahnya bukan kepada kandidat yang akan dipilihnya.
Mereka mengidentifikasikan dirinya dengan daerahnya yang sudah ditinggalinya
28
Ibid
29
Ibid
30
Udin Hamin, loc.cit.

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


17

sejak turun-temurun. Selaras dengan argumen tersebut, warga Sokaraja yang tidak
memberikan jati dirinya memberi sebuah komentar:
“Bertahun-tahun kami ingin dipimpin sama orang sendiri. Kami bangga kalau
dipimpin wonge dewek. Angger ana apa-apa mesti tak bantu.”
(Bertahun-tahun kami ingin dipimpin oleh pemimpin dari daerah kami sendiri
(Banyumas dan sekitarnya). Kalaupun ada masalah yang krusial, pasti kami
bantu).

Dari wawancara tersebut, penulis melihat adanya sifat loyalitas yang ada di
masyarakat Kecamatan Sokaraja bila mereka dipimpin oleh warga daerahnya sendiri.
Loyalitas tersebut dikarenakan orientasi mereka terhadap kandidat dari daerah sendiri
yang tercermin dalam kebanggaannya walaupun mereka belum mengenal tokoh yang
akan menjadi kandidat. Nampaknya, hasil wawancara tersebut tidak sejalan dengan
hasil penelitian Bambang Kuncoro yang menunjukkan bahwa faktor psikologis cukup
relevan untuk menjelaskan perubahan perilaku memilih warga Desa Sunyalangu
dalam menentukan OPP. Begitupula Darussalam, yang menyimpulkan bahwa peran
psikologis sangat menentukan dalam perilaku pemilih di Indonesia. Tetapi, dalam
beberapa kasus seperti penelitian Bowler dan Lanoue di Kanada pada dekade 1990-an
menunjukkan menurunnya pengaruh identifikasi yang ia sebut dengan istilah
loyalitas. Proses sosialisasi masyarakat Sokaraja dengan lingkungan di daerahnya
baik ketika mereka kecil dan juga ketika mereka dewasa berkembang yang akhirnya
membentuk ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan daerahnya, yang
akhirnya membentuk sikap mereka terhadap pilihan politiknya.
Untuk menjelaskan faktor psikologis ini, nampaknya konsep yang
dikemukakan oleh Riswanda Imawan dapat ditelaah lebih jauh. Masyarakat merasa
penting untuk terlibat dalam pemilihan kepala daerah secara langsung dan mereka
sangat antusias dan merasa suka dengan kandidat yang berasal dari daerahnya sendiri
yakni dari daerah Banyumas dan sekitarnya.
4. Faktor “Asal Daerah” dalam Konteks Rational Choice
Di dalam kajian ini, nampaknya peran rational choice berkembang dan dapat
dijelaskan. Para pemilih di Kecamatan Sokaraja hanya memilih berdasarkan asal

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


18

daerahnya saja. Mereka tidak serta-merta melihat program atau prestasi yang diraih
para kandidat. Bagi mereka, “putra daerah” saja sudah cukup mewakili selera dan
harapan mereka guna memimpin daerahnya.
Akan tetapi, jika diperhatikan secara seksama hasil wawancara di atas,
ternyata variabel-variabel yang lain ikut menentukan dalam perilaku memilih pemilih
di Kecamatan Sokaraja. Ada faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam
mempengaruhi perilaku politik mereka.
Masyarakat lebih rasional dalam menilai isu-isu politik kontemporer, seperti
pembangunan daerah. Seperti komentar yang telah diungkapkan oleh salah satu
informan di atas bahwa masyarakat Kecamatan Sokaraja mempunyai aspek rasional
dalam memilih. Dengan memilih kepala daerah dari daerahnya sendiri, mereka bisa
memberi tuntutan, dukungan langsung kepada calon kepala daerahnya dengan leluasa
karena setidaknya mereka mempunyai perasaan se-daerah. Masyarakat menganggap,
dengan dipimpin oleh kepala daerah yang berasal dari wilayah Kabupaten Banyumas
dan sekitarnya, mereka lebih cepat dalam memberikan masukan, tuntutan, dan
dukungan karena mereka bisa juga memberikan masukan, tuntutan maupun dukungan
kepada keluarga atau sanak familinya yang ada di daerahnya.
Nampaknya, apa yang dikatakan oleh Him Melweit dan koleganya tentang
“Consumer Model of Party Choice”, yang menyatakan bahwa perilaku memilih
merupakan pengambilan keputusan bersifat instant, tergantung pada situasi politik
tertentu, tidak berbeda dengan pengambilan keputusan-keputusan yang lain tidak
selaras dengan hasil penelitian ini. Penulis beranggapan, perilaku memilih rasional
bukanlah bersifat instant, tetapi terbentuk dari banyak faktor. Dalam penelitian ini,
pemilih membutuhkan banyak pertimbangan dalam memilih kandidat yang bertujuan
dan diharapkan mewakili kepentingannya dan kemajuan daerahnya. Hal inilah yang
menjadikan pemilih tersebut bersifat rasional.
Teori spasial yang mengasumsikan bahwa para pemilih memilih kandidat
yang paling mewakili posisi kebijakan dan kandidat yang dapat memaksimalkan
suara mereka didukung dalam kajian perilaku memilih di Kecamatan Sokaraja. Isu

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


19

politik berupa pembangunan menjadi harapan mereka setelah mereka mendapatkan


informasi dan analisis sederhana mereka ketika mereka membandingkan daerahnya
dengan daerah yang lain, yakni Kabupaten Purbalingga.
H. Kesimpulan
Mekanisme politik banyak mengalami perubahan pasca reformasi 1998,
terutama ditujukan pada sistem pemilihan umum yang diamanatkan melalui
Amandemen ke-4 Undang-Undang Dasar 1945 yaitu perekrutan anggota badan
perwakilan, presiden dan wakilnya serta kepala daerah secara langsung.
Sampai dengan tahun 2004, pemilihan kepala daerah secara langsung telah
dilakukan. Terdapat 3 gubernur, 32 bupati, dan 1 walikota yang harus berakhir masa
jabatannya. Tahun 2005 ada 8 gubernur, 148 bupati dan 34 walikota yang berakhir
masa tugasnya di tahun 2006. Sampai dengan tahun 2008 terdapat 21 provinsi dan 39
kabupaten/kota yang menyusul akan menyelenggarakan Pilkadal.
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
faktor yang paling dominan dalam perilaku memilih kepala daerah secara langsung
bagi masyarakat Kecamatan Sokaraja adalah faktor “asal daerah”. Faktor “asal
daerah” merupakan salah satu bentuk faktor sosiologis. Akan tetapi, jika ditilik lebih
jauh, kita dapat mendekatinya dengan pendekatan sosiologis dan rational choice akan
tetapi tidak dapat didekati dengan pendekatan psikologis.
• Pendekatan sosiologis
Ikatan kedaerahan sangat kuat dalam perilaku memilih kepala daerah pada
masyarakat Kecamatan Sokaraja. Hal tersebut terjadi karena adanya kontak sosial
antara warga di Kabupaten Purbalingga yang berdekatan dengan wilayah Sokaraja
terutama menyangkut pembangunan daerahnya ketika dipimpin oleh kepala daerah
yang asli warga Purbalingga dengan warga Sokaraja yang akhirnya membentuk
pemahaman bersama masyarakat Sokaraja dalam memilih kepala daerahnya.
• Pendekatan psikologis

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


20

Masyarakat Kecamatan Sokaraja yang sebagian besar secara turun-temurun


berasal, tinggal, menetap, dan mencari nafkah di Wilayah Banyumas dan sekitarnya
memiliki ikatan psikologis yang kuat dengan daerahnya bukan dengan kandidat yang
akan dipilihnya. Mereka mengidentifikasikan diri mereka dengan daerahnya yang
sudah ditinggalinya turun-temurun. Di samping itu, dengan dipimpin oleh kandidat
dari daerahnya sendiri (Banyumas dan sekitarnya) tercermin kebanggaan mereka
walaupun mereka belum mengenal tokoh yang akan dijadikan kandidat.
• Pendekatan rational choice
Masyarakat lebih rasional dengan menilai isu-isu kontemporer, yakni
pembangunan daerah. Masyarakat menganggap dengan dipimpin oleh kandidat dari
daerahnya sendiri (Banyumas dan sekitarnya) pembangunan akan lebih cepat
terwujud karena dengan dipimpin oleh kepala daerah dari daerahnya sendiri, kepala
daerah tersebut lebih tahu seluk-beluk kelemahan dan kelebihan daerahnya
disbanding dengan kepala daerah dari daerah lain.
Implikasi Teori
1. Contagion theory (teori penularan) yang dikemukakan oleh Harrop dan
Miller, mendapat perhatian dari tulisan ini. Masyarakat Kecamatan Sokaraja
mendapatkan banyak informasi dari warga Purbalingga yang wilayahnya
berdekatan dengan Sokaraja tentang kepala daerahnya (Purbalingga) yang
berasal dari daerah Purbalingga sendiri dan bekerja dengan sungguh-
sungguh untuk masyarakatnya. Hal tersebut dibuktikan dengan
pembangunan di daerahnya yakni jalan-jalan di pedesaan yang sudah
beraspal. Kontak sosial ini membentuk pemahaman bersama masyarakat
Sokaraja dalam memilih kepala daerahnya.
2. Political involvement dan party identification yang dikemukakan oleh
Riswanda Imawan tidak didukung dalam penulisan ini. Masyarakat merasa
penting untuk terlibat dalam pemilihan kepala daerah secara langsung dan

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


21

mereka sangat antusias dan merasa suka dengan kandidat yang berasal dari
daerah Banyumas dan sekitarnya.
3. Teori spasial yang mengasumsikan bahwa pemilih memilih kandidat yang
paling mewakili posisi kebijakan dan kandidat yang dapat memaksimalkan
suara mereka didukung dalam kajian perilaku memilih di Kecamatan
Sokaraja. Isu politik berupa pembangunan menjadi harapan mereka setelah
mereka mendapatkan informasi dan analisis sederhana mereka ketika mereka
membandingkan daerahnya dengan daerah yang lain yakni Kabupaten
Purbalingga.
4. Consumer model of party choice, yang menganggap perilaku memilih
merupakan pengambilan keputusan yang instant, tidak didukung dalam
penelitian ini. Masyarakat Sokaraja membutuhkan banyak pertimbangan
dalam memilih kepala daerahnya yang diharapkan dapat mewakili
kepentingannya dan kemajuan di daerahnya.
Saran
Pemilihan kepala daerah langsung merupakan salah satu prasyarat
demokratisasi. Pemilihan kepala daerah dapat menimbulkan efek negatif dan efek
positif. Efek negatif yang terjadi apabila kesempatan untuk menggunakan ruang
demokrasi tidak digunakan dengan baik oleh rakyat yang akhirnya ruang tersebut
digunakan oleh sekelompok elit. Efek positif yang ditimbulkan adalah adanya peran
serta masyarakat dalam partisipasi menentukan hidupnya dengan cara memilih
pemimpin lewat prosedur yang telah ditentukan. Efek positif berupa partisipasi dapat
berjalan dengan baik bila masyarakat menggunakan dengan sebaik-baiknya ruang
demokrasi ini. Masyarakat dapat mempertimbangkan para kandidat demi kepentingan
dan kemajuan daerahnya. Pendeknya, demokratisasi dapat berjalan dengan baik
ketika masyarakat lebih rasional dalam menentukan tindakan politik mereka.
Perlunya sosialisasi politik berupa komunikasi politik dan pendidikan politik
bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat menggunakan hak pilih dan hak
politiknya dengan baik. Untuk itu, tugas kitalah baik ilmuwan, kalangan akademisi,

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


22

pers, politikus, lembaga-lembaga politik baik yang berasal dari pemerintah maupun
non-pemerintah untuk mensosialisasikan hal ini. Dengan membentuk masyarakat
yang rasional dalam politik, maka demokratisasi dapat berjalan dengan dinamis tanpa
“pembajakan”.

DAFTAR PUSTAKA

Asfar, Muhammad, 2006, Pemilu dan Perilaku Memilih, Pustaka Eureka, Surabaya.

Bogdan dan Taylor, 1992, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif: Suatu


Pendekatan Fenomenologis Terhadap Ilmu-Ilmu Sosial, Penerbit Usaha
Nasional, Surabaya.

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


23

Budiardjo, Miriam (Penyunting), 1998, Partisipasi dan Partai Politik : Sebuah


Bunga Rampai, Edisi Ketiga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Darussalam, 2004, (Tesis) Media Televisi dan Perilaku Memilih Masyarakat:


Perolehan Suara Partai Amanat Nasional pada Pemilu Legislatif dan Amien
Rais pada Pemilu Presiden Pertama Tahun 2004, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.

Hamin, Udin, 2004, (Tesis) Perilaku Memilih Etnis Gorontalo Pada Pelaksanaan
Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Kota Tidore Kepulauan, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.

Harrop, Martin dan William Miller, 1987, Election and Voters (A Comparative
Introduction), The Macmillan Press Ltd, London.

HB. Sutopo, 1998, Pengantar Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar Teoritis dan


Praktis, Pusat Penelitian UNS, Surakarta.

Imawan, Riswanda dan Affan Gaffar, 1993, Analisis Pemilihan Umum 1992 di
Indonesia, Laporan Penelitian Fakultas ISIPOL, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.

Kuncoro, Bambang, 1998, (Tesis) Perilaku Politik Warga Pinggiran: Studi Tentang
Perubahan Perilaku Memilih Warga Desa Pada Pemilu Tahun 1971-1997 Di
Desa Sunyalangu, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Universitas
Airlangga, Surabaya.

Milles, Mathew B. dan A. Michael Hubberman, 1984, Qualitative Data Analysis, A


Source Book of New Methods, Sage Publication Beverly Hills London, New
Delhi.

Purwoko, Bambang, 2005, Isu-Isu Strategis Pilkada Langsung; Ekspresi Kedaulatan


Untuk Kesejahteraan Rakyat, di dalam Jurnal Ilmu Politik dan Pembangunan,
Volome 6 No. 1 April 2005, Laboratorium Ilmu Politik FISIP Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Sastroatmodjo, Sudijono, 1995, Perilaku Politik, IKIP Semarang Press, Semarang.

Sugiyono, Prof. Dr., 2006, Statistika Untuk Penelitian, CV Alfabeta, Bandung.

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06


24

Surahmad, Winarno, 1970, Pengantar Metodologi Penulisan Ilmiah, CV. Carsito,


Bandung.

Surbakti, Ramlan, 1992, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana


Indonesia, Jakarta.

Benny Nuggraha/Perilaku Politik/S2 Ilmu Politik 06

You might also like