Professional Documents
Culture Documents
I. PENDAHULUAN
1
terbuang sia-sia. Hal ini akan mengakibatkan lambatnya perkembangan kemampuan
verbal serta menimbulkan masalah soaial dan akademik. 3,4
Penanganan yang paling efektif untuk mengatasi masalah pendengaran dan
bahasa diperoleh melalui intervensi dini. Bayi dengan gangguan pendengaran yang
tak terdeteksi hingga umur 6 bulan akan mengalami perlambatan perkembangan
bicara dan bahasa. Intervensi sebelum umur tersebut akan dapat membantu anak yang
terganggu pendengarannya untuk dapat berkembang dengan normal dalam hal
bahasa. Diagnosis dini dan pemberian program pendidikan khusus lebih awal dapat
membantu memaksimalkan pendenran anak.3,4
Tuna rungu wicara biasanya terjadi yang diawali dengan tuna rungu
(gangguan pendengaran) pada awal anak tersebut lahir, baik dapatan ataupun
kongenital. Selanjutnya tuna rungu ini, anak dengan tuna rungu ini disertai dengan
gangguan keterbelakangan mental, gangguan emosional, gangguan bahasa atau bicara
(tuna wicara). Gangguan pendengaran dibedakan antara tuli sebagian (hearing
impaired) dan tuli total (deaf). Tuli sebagian (hearing impaired) adalah keadaan
fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan untuk
berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat bantu dengar, sedangkan tuli total
(deaf) adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya sehingga
tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi (amplikasi).5
Data Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian
mengungkapkan di negara maju, angka tuli kongenital atau tuli yang dibawa sejak
lahir berkisar antara 0,1 - 0,3 % kelahiran hidup. Sedangkan di Indonesia berdasarkan
survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan di tujuh Provinsi pada tahun 1994
- 1996 tercatat sebesar 0,1 %. Tuli kongenital di Indonesia diperkirakan sebanyak
214.100 orang dari jumlah penduduk sebesar 214.100.000 juta (Profil Kesehatan
2005). Jumlah ini akan bertambah setiap tahun dengan adanya pertambahan
penduduk akibat tingginya angka kelahiran sebesar 0,22 persen. Di lain pihak, Badan
2
Kesehatan Dunia WHO memperkirakan setiap tahun terdapat 38.000 anak tuli lahir di
Asia Tenggara. 6
II. DEFINISI
Menurut sejarah, istilah bisu-tuli digunakan untuk mengidentifikasi seseorang
yang tuli dan tidak dapat berbicara. Dulu, istilah bisu-tuli diterima secara social untuk
menggambarkan orang-orang yang menggunakan bahasa isyarat. Namun saat ini
istilah bisu-tuli lebih bermakna konotasi. Istilah bisu-tuli pertama kali di disebutkan
dalam Kode Hammurabi, sebuah undang-undang hokum timur pada tahun 1700 SM.
Selanjutnya, istilah bisu tuli digunakan untuk merujuk pada orang-orang tuli yang
tidak dapat berbicara.7 Di Indonesia, bisu-tuli diperhalus dengan “Tuna Rungu
Wicara”
Menurut Aristoteles, orang yang bisu dan tuli adalah orang yang tidak dapat
mendengar juga tidak dapat mengajar, belajat dan berfikir sebagaimana seseorang
yang normal. Menurutnya, jika seseorang tidak dapat berbicara maka orang tersebut
juga tidak mampu membangun kemampuan kognitifnya. Beberapa tahun selanjutnya
terjadi perubahan bahwa seseorang yang menderita ketulian tidak berarti dia tidak
mampu berkomunikasi sama sekali. Mereka menggunakan bahasa isyarat, membaca
gerak bibir dan berbagai cara lain untuk tetap berkomunikasi dengan yang lainnya.8
Defenisi penyandang tuna rungu wicara menurut dinas Sosial adalah
seseorang yang tidak dapat mendengar dan berbicara dengan baik sehingga menjadi
hambatan dalam melakukan kegiatan sehari – hari secara layak / wajar dengan
kriteria :9
1. Tidak dapat mendengar atau memahami perkataan yang disampaikan pada
jarak 1 meter tanpa alat bantu dengar.
2. Tidak dapat bicara sama sekali atau berbicara tidak jelas ( pembicaraannya
tidak dapat dimengerti ).
3. Mengalami hambatan atau kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain.
3
III. ANATOMI TELINGA
Secara anatomi telinga dibagi atas 3 yaitu telinga luar, telinga tengah dan
telinga dalam.5
1. Telinga Luar
Telinga luar terdiri daun telinga (aurikula) dan liang telinga (meatus
akustikus eksternus) sampai membrane timpani. Aurikula terdiri dari kulit dan
tulang rawan elastin yang dilindungi oleh perikondrium. Meatus akustikus
eksternus (MAE) berbentuk huruf S dengan rangka tulang rawan pada sepertiga
luar, sedangkan pada dua pertiga bagian dalam terdiri dari tulang. Panjangnya kira-
kira 2,5-3 cm. MAE pada anak lebih pendek dan lurus sehingga membrane timpani
lebih mudah diperiksa tanpa menggunakan spekulum. Pada sepertiga kulit telinga
terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasi kelenjar keringat) dan rambut.
Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian
dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.5
4
2. Telinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus (kotak). Dinding posteriornya lebih luas
daripada dinding anterior sehingga kotak tersebut berbentuk baji dengan batas-
batas sebagai berikut :5
• Batas luar : membrane timpani
• Batas depan : tuba eustachius
• Batas bawah : vena jugularis
• Batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
• Batas atas : tegmen timpani
• Batas dalam : kanalis semisirkularis horizontalis,kanalis fasialis, tingkap
lonjong, tingkap bundar dan promontorium
Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosessus
longus maleus melekat pada membrane timpani, maleus melekat pada inkus, dan
inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan
dengan koklea. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang
menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.5
3. Telinga Dalam
Terdiri dari koklea yang berupa 2,5 lingkaran dan vestibuler yang terdiri
dari 3 buah kanalis semisirkularis. Puncak koklea disebut helikotrema, yang
merupakan pertemuan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli. Pada irisan
melintang koklea tampak skala vestibule disebelah atas, skala timpani di sebelah
bawah dan skala media diantaranya. Skala vestibule dan skala timpani berisi
perilimfa dan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibule disebut membran
Reissner sedangkan dasar skala media adalah membrane basalis. Pada membrane
ini terdapat organ corti.5
5
Gambar 2 Koklea
Dikutip dari kepustakaan 11
6
Proses perkembangan bicara melibatkan banyak fungsi khusus yang
terintegrasi. Diperoleh fungsi pendengaran untuk menerima informasi dari luar,
fungsi saraf perifer untuk penghantaran, saraf pusat untuk pengolahan informasi,
fungsi luhur, komponen motorik serta otot-otot yang kesemuanya bekerja dengan
baik. Yang bertanggung jawab untuk kemampuan berbicara adalah daerah broca
yang terletak di lobus frontalis kiri dan berkaitan erat dengan daerah korteks dan
mengontrol otot-otot penting untuk artikulasi. Sedangkan daerah yang bertanggung
jawab untuk pemahaman bahasa baik tertulis maupun lisan adalah daerah wernicke
bertanggung jawab untuk memformulasikan pola pembicaraan koheren yang
disalurkan melalui seberkas serat ke daerah brocca yang kemudian mengontrol
artikulasi pembicaraan. Daerah wernicke menerima masukan dari korteks auditorius
di lobus temporalis yang merupakan suatu jalur yang penting untuk memahami
bahasa lisan.13
Urutan proses yang terlibat sewaktu mendengar dan berbicara adalah sebagai
berikut :14
1. Sinyal bunyi mula-mula diterima oleh area auditorik primer yang natinya
akan menjadikan sinyal tadi dalam bentu kata-kata.
2. Kata-kata lalu diinterpretasikan di area wernicke.
3. Penentuan buah pikiran dan kata-kata yang akan diucapkan juga terjadi di
dalam area wernicke.
4. Penjalaran sinyal-sinyal dari area wernicke ke area broca melalui fasikulus
arkuatus.
5. Aktivitasi program keterampilan motorik yang terdapat di area broca untuk
mengatur pembentukan kata.
6. Penjalaran sinyal yang sesuai ke korteks motorik untuk mengatur otot-otot
bicara.
V. ETIOPATOGENESIS
7
Tuna rungu wicara merupakan akibat gangguan pendengaran pada anak,
sedangkan gangguan pendengaran pada anak dibedakan menjadi penyebab pada masa
prenatal, perinatal dan postnatal.5
1. Masa Prenatal
a. Genetik Herediter, bila salah satu dari orang tua menderita jenis ketulian
yang bersifat dominan, kemungkinan 50% dari anak-anak akan tuli. Hal ini
terdapat pada 10% dari semua jenis ketulian yang bersifat herediter,
sedangkan 90% lainnya bersifat resesif. Pada sindrom Waardenburg (tuli
herediter) kedua iris warnanya berbeda (heterokrimia iridum), jarak kedua
mata lebih lebar akibat lipatan kulit epikantus yang lebih jelas dan terdapat
sekelompok rambut putih di bagian muka dari kepala. Sindrom Tietz,
merupakan tuli herediter dengan fenilketonuria, biasanya disertai retardasi
mental.15
b. Non Genetik seperti gangguan/kelainan pada masa kehamilan, kelainan
struktur anatomi dan kekurangan zat gizi ( misalnya defesiensi Jodium).5
2. Masa Perinatal
8
Penyebab ketulian pada saat lahir antara lain lahir prematur, berat
badan kurang dari 1500 gram, tindakan dengan alat pada saat proses kelahiran
(ekstraksi vakum, forcep), dan bayi kuning (hiperbilirubinemia), bayi yang lahir
tidak langsung menangis (asfiksia), dan hipoksia otak (nilai Apgar kurang dari 5
pada 5 menit pertama. Biasanya jenis ketulian yang terjadi akibat faktor prenatal
dan perinatal ini adalah tuli syaraf dengan derajat ketulian umumnya berat atau
sangat berat terjadi pada kedua telinga (bilateral).5
3. Masa Postnatal
9
9. Terdapat kelainan yang terdapat pada kepala leher.
10. Meningitis bakterialis (infeksi selaput otak).
a. 0-4 bulan :
10
b. 4-9 bulan :
1. Menolehkan mata kea rah sumber suara ketika mendengar suara yang
dikenalinya.
2. Tersenyum ketika ada yang mengajaknya bicara
3. Member perhatian pada mainan yang bersuara
4. Cara menangis yang berbeda untuk permintaan yang berbeda
5. Mempu mengoceh
6. Mengerti kata-kata sederhana seperti da-da dengan melambaikan tangan
c. 9-15 bulan
d. 15-24 bulan
11
Bertumbuhnya bayi menjadi balita, maka tanda-tanda gangguan pendengaran
pada anak adalah sebagai berikut :4
12
sumber bunyi sederhana dapat digunakan tepukan tangan, tambur, bola plastic
berisi pasir, remasan kertas minyak, bel, terompet, mainan yang mempunyai
frekuensi tinggi dll. Dinilai kemampuan anak dalam memberikan respon
terhadap sumber bunyi tersebut.5
b. Behavioral Obsevastion (0-6 Bulan)
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengamati respon terhadap sumber bunyi
berupa perubahan sikap atau reflex yang terjadi pada bayi yang sedang
diperiksa. Bila tidak ada respon terhadap stimuli bunyi, pemeriksaan diulangi
sekali lagi. Kalau tetap tidak berhasil pemeriksaan ketiga dilakukan 1 minggu
kemudian. Seandainya tetap tidak ada respon, harus dilakukan pemeriksaan
audiologi lanjut yang lebih lengkap.5
c. Conditioned Test (2-4 tahun)
Sebelum pemeriksaan anak dilatih untuk melakukan suatu permaian dan
mendengar stimuli bunyi permaian tersebut. Setelah anak terbiasa, dilakukan
pemeriksaan yang sebenarnya dengan menggunakan sumber bunyi tersebut
yang diketahui frekuensi dan intensitasnya.5
d. Audiometri Nada Murni
Pemeriksaan ini dilakukan pada anak yang berusia lebih dari 4 tahun.
Pemeriksaan ini menggunakan audiometric. Sumber suara berupa nada murni.
Pemeriksaan inidilakukan pada ruang kedap suara. Suara dengan intensitas
terendah dicatat pada audiogram.5
e. BERA (Brain Evoked Respone Audiometry)
Penggunaan BERA sangat objektif, penggunaan yang mudah, tidak invasive
dan dapat dilakuakn pada pasien koma sekalipun. Tes BERA ini menilai
fungsi pendengaran bayi anak yang tidak koperatif dan tidak dapat diperiksa
dengan cara konvensionil. Reaksi yang timbul sepanjang jaras-jaras saraf
pendengaran dapat dideteksi berdasarkan waktu yang dibutuhkan (satuan
13
milidetik) mulai dari saat pemberian impuls sampai sampai menimbulkan
reaksi dalam bentuk gelombang. 5
f. Ottoaucoustic Emissions (OAE)
Menilai fungsi koklea secara obyektif dan dapat dilakukan dalam waktu yang
sangat singkat. Sangat bermanfaat untuk program skrining pendengaran pada
bayi dan anak. Prinsip pemeriksaan ini adalah merekam suara yang terbentuk
pada telinga dalam. Suara dapat terdeteksi pada telinga yang dapat mendengar
dengan normal. Suara ini mencerminkan adanya struktur dan fungsi normal
yang dibutuhkan oleh telinga untuk mendengar. OAE dapat dilakukan dengan
cepat, tidak mahal dan mudah dilakukan dengan pelatihan ringan. Earphone
dipasang pada telinga bayi kemudian mesin akan mencatat stimulus yang
diberikan serta respon yang timbul. 5,18
VIII. PENATALAKSANAAN
Setelah diketahui seorang anak menderita ketulian upaya habilitasi harus
dilakukan sedini mungkin. Usia kritis dalam proses belajar mendengar dan berbicara
adalah sekitas 2-3 tahun.5
Anak dengan tuli saraf berat harus segera memulai memakai alat bantu dengar
(ABD) yang sesuai. Alat ini paling banyak digunakan, biasanya dipasang di dalam
saluran telinga dengan sebuah penutup kedap udara atau sebuah selang kecil yang
terbuka.19
a. Alat Bantu Dengar Yang Dipasang Di Badan
Digunakan pada penderita tuli dan merupakan alat bantu dengar yang paling kuat.
Alat ini disimpan dalam saku kemeja atau celana dan dihubungkan dengan sebuah
kabel ke alat yang dipasang di saluran telinga. Alat ini seringkali dipakai oleh bayi
dan anak-anak karena pemakaiannya lebih mudah dan tidak mudah rusak.
14
Digunakan untuk penderita gangguan fungsi pendengaran sedang sampai berat.
Alat ini dipasang di belakang telinga dan relatif tidak terlihat oleh orang lain.
c. Alat Bantu Dengar Hantaran Tulang
Alat ini digunakan oleh penderita yang tidak dapat memakai alat bantu dengar
hantaran udara, misalnya penderita yang terlahir tanpa saluran telinga atau jika
dari telinganya keluar cairan (otore). Alat ini dipasang di kepala, biasanya di
belakang telinga dengan bantuan sebuah pita elastis. Suara dihantarkan melalui
tulang tengkorak ke telinga dalam. Beberapa alat bantu dengar hantaran tulang
bisa ditanamkan pada tulang di belakang telinga.
Pencangkokan koklea (implan koklea) dilakukan pada penderita tuli berat
bilateral atau total bilateral yang tidak dapat mendengar meskipun telah
menggunakan alat bantu dengar. Alat ini dicangkokkan di bawah kulit di belakang
telinga dan terdiri dari 4 bagian: 19
• Sebuah mikrofon untuk menangkap suara dari sekitar
• Sebuah prosesor percakapan yang berfungsi memilih dan mengubah suara
yang tertangkap oleh mikrofon.
• Sebuah transmiter dan stimulator/penerima yang berfungsi menerima sinyal
dari prosesor percakapan dan merubahnya menjadi gelombang listrik.
• Elektroda, berfungsi mengumpulkan gelombang dari stimulator dan
mengirimnya ke otak.
Suatu implan tidak mengembalikan ataupun menciptakan fungsi pendengaran
yang normal, tetapi bisa memberikan pemahaman auditoris kepada penderita tuli dan
membantu mereka dalam memahami percakapan. Implan koklea sangat berbeda
dengan alat bantu dengar. Alat bantu dengar berfungsi memperkeras suara. Implan
koklea menggantikan fungsi dari bagian telinga dalam yang mengalami kerusakan.
Jika fungsi pendengaran normal, gelombang suara diubah menjadi gelombang listrik
oleh telinga dalam. Gelombang listrik ini lalu dikirim ke otak dan kita menerimanya
sebagai suara. Implan koklea bekerja dengan cara yang sama. Secara elektronik,
15
implan koklea menemukan bunyi yang berarti dan kemudian mengirimnya ke otak.
Untk anak yang mengalami tuli berat sejak lahir, sebaiknya implan dipasang pada
usia 2 tahun.19
Sebelum dirujuk ke SLB, sebelumnya anak diperiksa oleh psikolog untuk
menilai tingkat intelejensinya, kemudian dilakukan proses habilitasi di SLB B, untuk
anak tuna rungu, jika disertai dengan retardasi mental, maka dirujuk ke SLB C.
Pendidikan khusus dapat dimulai pada usia 2 tahun. Proses habilitasi untuk anak tuna
rungu membutuhkan kerjasama antara berbagai disiplin, antara lain dokter spesialis
THT, audiologist, ahli terapi wicara, psikolog anak, guru khusus untuk tuna rungu
dan keluarga penderita.5
IX. PROGNOSIS
Screening sebaiknya dilakukan pada semua bayi baru lahir normal maupun
bayi lahir dengan resiko karena telah terbukti 50 persen dengan ketulian terjadi pada
bayi normal tanpa resiko. Yoshinaga-Itano pada tahun 1995 menemukan bahwa
penemuan gangguan pendengaran dibawah enam bulan akan memberikan respon
yang sangat baik terhadap tumbuh kembang anak. Proses habilitasi untuk anak tuna
rungu yang telah dimulai sebelum usia 3 tahun hasilnya lebih baik dibandingkan
dengan sesudahnya.5,17
16