You are on page 1of 8

MEMAHAMI PLURALITAS SEBAGAI FAKTA KEBANGSAAN

HMA Sahal Mahfudh

PENGANTAR

Tulisan ini akan meninjau aspek pluralisme dalam konteks ke-Indonesiaan secara umum,

tanpa sudut pandang sektarian tertentu. Meskipun demikian, dalam beberapa bagiannya

akan tak terhindarkan untuk membicarakan hal ini melalui sudut pandang keagamaan

(baca: Islam). Permohonan maaf saya atas "penyimpangan" itu saya dasarkan pada dua

kenyataan: Pertama, saya adalah seorang muslim dan karena itu lebih memahami segala

sesuatu dari sudut pandang agama Islam daripada sudut pandang lain. Kedua, secara

demografis Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim yang sangat besar.

Betapapun beragam tingkat pemahaman dan penghayatan ke-Islaman mereka, saya masih

percaya bahwa agama memegang peran signifikan dalam menangani masalah pluralisme.

Meskipun tidak dipretensikan sebagai paper yang sistematis, tulisan ini dibagi dalam 3

bagian utama, setelah bagian pembuka yang menggambarkan secara sederhana problem

pluralisme di Indonesia saat ini. Bagian 1 meninjau berbagai hal yang melahirkan dan

menguatkan pluralitas. Bagian 2 mencoba memahami pluralitas sebagai potensi (positif

dan negatif), dilanjutkan bagian 3 yang menawarkan beberapa alternatif jalur solusi.

PLURALITAS SEBAGAI MASALAH AKTUAL-KRUSIAL

Sejak didera krisis ekonomi kurang-lebih 7 tahun lalu, bangsa ini semakin terperosok

dalam jurang masalah yang nyaris tanpa ujung. Bertentangan dengan harapan dan

optimisme yang menyertai masa awalnya, krisis ekonomi justru berkembang menjadi

krisis multi-dimensional, menyentuh hampir seluruh aspek kebangsaan dan kemanusiaan

kita.
2

Keynote Speech Semiloka "PLURALISME DALAM AKSI"


Dewan Riset Daerah Jawa-Tengah, 29 Mei 2003
Salah satu dari rangkaian masalah yang membelit bangsa ini adalah semangat anti

pluralisme yang semakin mengemuka dan ekspresif. Pecahnya kerusuhan antar-etnis dan

tuntutan separatisme menjadi dua tanda besar bagaimana perbedaan dan keragaman tidak

dicoba untuk difahami tetapi justru diingkari. Penanganan atas konflik-konflik itu sejauh

ini belum menunjukkan titik cerah yang, paling tidak, membuahkan harapan bahwa suatu

ketika di masa mendatang konflik-konflik itu akan mampu diselesaikan secara permanen.

Kondisi bangsa Indonesia saat ini menyajikan kenyataan ironis dalam bidang pluralisme.

Pada masa lalu, di mana pluralitas ditekan sedemikian rupa dalam semangat mewujudkan

keseragaman, pluralisme tumbuh dan berkembang secara baik, tetapi justru pada saat hak-

hak dan keberadaannya dilindungi secara sah dan formal, pluralisme terpojok di jalan

buntu dan menjelma sebagai ancaman serius bagi kelangsungan eksistensi kita sebagai

komunitas kebangsaan.

AKAR PENUNJANG PLURALITAS

Praktik dasar pluralisme adalah kemampuan untuk memahami dan menghargai keragaman.

Karena itu, kebutuhan untuk menerapkan pluralisme dalam suatu komunitas sangat

dipengaruhi oleh akar dan potensi keragaman dalam komunitas itu sendiri.

Dalam konteks Indonesia, akar dan potensi keragaman itu terpengaruh oleh beberapa

faktor berikut:

Asal-usul Historis

Kontribusi terbesar atas pluralitas bangsa Indonesia diberikan oleh keanekaragaman asal-

usul warganya. Keragaman asal-usul ini bahkan dapat kita tarik dari masa 4.000-an tahun

lampau, ketika segelombang masyarakat baru datang ke wilayah Nusantara, mendesak

penduduk lama yang lebih dulu mendiami negeri ini. Peristiwa ini terulang lagi 15 abad

kemudian dalam bentuk kedatangan masyarakat lebih baru yang meskipun diperkirakan
3

seasal dengan gelombang pendatang terdahulu ternyata memiliki pola-pola kebudayaan

yang relatif berbeda.

Sejarah mempercayai bahwa setiap gelombang masyarakat baru itu tidak berhasil hidup

berdampingan dengan penduduk lama, tetapi justru mendesak mereka ke bagian-bagian

lain negeri kepulauan ini, dan mengakibatkan lahir dan menguatnya pola-pola kebudayaan

yang sejak semula sudah berbeda.

Dalam konteks sejarah yang lebih modern, keragaman penduduk Indonesia semakin

diperkaya oleh masuknya berbagai bangsa yang sama sekali baru dan berbeda dari mereka

yang dianggap sebagai "penduduk asli" kepulauan Nusantara.

Kondisi Geografis

Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan menyumbangkan pluralitas

terutama dari perannya sebagai sekat-sekat sangat kuat yang tidak mudah ditembus bahkan

oleh kemajuan teknologi transportasi modern yang ada hingga saat ini. Jika kita mendapati

bahwa sebagian masyarakat Indonesia di satu tempat telah mampu menikmati kemajuan

teknologi modern mutakhir sementara di bagian lain masih ada yang terkungkung dalam

pola kehidupan "primitif", maka salah satu penalaran sederhana yang dapat menjelaskan

hal itu adalah kondisi geografis yang secara praktis "memecah-belah" negara kesatuan ini.

Sekat-sekat geografis ini secara efektif menjaga dan melahirkan kesenjangan dalam

berbagai aspek: ideologi hingga ekonomi, mata pencarian sampai selera kebudayaan.

Keyakinan Keagamaan

Indonesia adalah negara dengan fakta keagamaan yang nyaris unik. Sebagaimana banyak

bangsa lain, bangsa Indonesia dari satu generasi ke generasi berikutnya selalu meyakini

adanya suatu daya maha tinggi yang mengatur manusia, baik sebagai pribadi maupun

sebagai unsur semesta raya. Keunikan keyakinan keagamaan di Indonesia terletak pada

kenyataan bahwa tidak satu agamapun pernah menjadi agama tunggal bangsa Indonesia.
4

Secara tradisional umumnya dipercaya bahwa animisme adalah "agama" tertua penduduk

Nusantara, kemudian disusul kedatangan berbagai agama dari seluruh penjuru dunia. Yang

kita dapati saat ini, bukan saja agama-agama besar menemukan representasinya, bahkan

animisme pun masih mempunyai pengikutnya di Indonesia.

Silang Budaya Globalisasi

Kemajuan teknologi informasi melahirkan arus besar yang lazim disebut globalisasi.

Sekat-sekat geografis diyakini tidak lagi ada pengaruhnya dalam membendung trend

budaya global. Kemajuan telah mengubah bumi dari sekumpulan negara menjadi

"kampung besar" di mana perbedaan geografis tidak mampu menghalangi arus informasi

dari satu tempat ke tempat lainnya. Globalisasi dipercaya telah melakukan akselerasi

pembauran, menembus batas-batas ruang, waktu, dan tradisi.

Barangkali betul bahwa globalisasi membuka peluang keadilan informasi (dalam

pengertian bahwa setiap orang di bumi ini mungkin mendapatkan informasi sama dengan

yang orang lain dapatkan). Tetapi bersamaan dengan itu, kita mendapati bahwa bukan saja

kemajuan teknologi mempengaruhi umat manusia, tetapi ia juga dipengaruhi oleh

kepentingan individu manusia.

Maka meskipun secara teknis keadilan informasi itu mungkin diselenggarakan, pada

kenyataannya ia belum pernah diberikan. Harus pula diperhitungkan bahwa keadilan

informasi tidak dengan sendirinya melahirkan kesempatan yang sama, karena fungsi

informasi tidak hanya berkaitan dengan kesempatan mendapatkannya tetapi juga dengan

bagaimana menggunakannya.

Dalam konteks internasional, globalisasi mungkin saja meruntuhkan sekat-sekat budaya,

tetapi dalam konteks lokal Indonesia ia justru melahirkan sekat budaya baru, di mana

mereka yang menikmati arus informasi itu justru membentuk klas, pola fikir, dan budaya

baru yang berbeda dengan budaya lingkungannya.


5

Tentu ada banyak akar lain yang menunjang pluralitas bangsa Indonesia, tetapi empat

faktor di atas setidaknya dapat menarikkan kesimpulan bahwa bangsa ini memiliki "bakat"

untuk memelihara dan mengembangkan pluralitas secara terus-menerus.

PLUS-MINUS PLURALITAS: KASUS BANGSA-BANGSA

Bisa muncul debat teoretik berkepanjangan untuk menjawab apakah pluralitas memiliki

potensi dan dampak baik atau justru buruk. Potensi positif pluralitas diperoleh dari

kemungkinan munculnya beragam pola solusi atas berbagai masalah, hal mana berarti

beragam alternatif yang dapat dipilih sesuai kebutuhan, situasi, dan kondisi. Di sisi lain,

harus pula disadari bahwa meskipun menyukai keragaman alternatif, pada dasarnya

manusia cenderung tidak menyukai perbedaan. Manusia akan merasa aman dan nyaman

jika dirinya tidak berbeda dengan lingkungannya.

Karena debat teoretik akan cenderung bertele-tele, ada baiknya kita meninjau potensi dan

dampak pluralitas dari kasus-kasus nyata berbagai negara di mana pluralitas menjadi

bagian nyata kehidupan masyarakatnya.

Pluralitas sebagai faktor konflik dan disintegrasi: Kasus India dan Uni Soviet

India bisa menjadi contoh sempurna pergulatan suatu bangsa menghadapi pluralitasnya

sendiri. India tidak mendapatkan pluralitasnya dari perspektif geografis (karena

keseluruhan India yang besar terletak dalam satu bidang wilayah sangat luas). Potensi

konflik India diakibatkan oleh kegagalan umat Hindu dan Islam untuk hidup

berdampingan tanpa ketegangan.

Agama sebagai kambing hitam konflik telah menjadi sejarah permanen bangsa India. Pada

masa pemerintahan Akbar (abad ke-16), negara bahkan mencoba memaksakan

sinkretisme. Upaya-upaya untuk meredakan konflik keagamaan tidak pernah berjalan

efektif, dan memuncak pada pembentukan negara Pakistan. Karena faktor geografis dan

lain-lain, Pakistan kemudian juga melahirkan pecahan baru: Bangladesh. Pembentukan


6

negara baru berbasis perbedaan agama warga ini juga tidak mengakhiri konflik. Untuk satu

dan lain alasan, hingga saat ini konflik India-Pakistan tetap "terpelihara dengan baik".

Dengan latar belakang yang agak berbeda, pluralitas yang coba dikungkung dalam negara

totaliter Uni Soviet juga berakhir tragis dalam bentuk kelahiran negara-negara baru di atas

puing keruntuhan Uni Soviet.

Upaya menghargai pluralitas: Kasus Amerika Serikat dan Perancis

Amerika Serikat dan Perancis dapat menjadi contoh yang baik bagaimana suatu bangsa

dapat mengelola dan menghormati pluralitas masyarakatnya. Kedudukan Amerika Serikat

sebagai "negara para imigran" dan Perancis yang sangat terbuka melahirkan pilihan untuk

menghadapi pluralitas dengan semangat mengekplorasi persamaan, bukannya

mengeksploitasi perbedaan.

Dengan tidak menutup mata terhadap masih adanya letupan-letupan ekspresi anti-

pluralisme, harus diakui bahwa upaya untuk menghargai pluralisme di kedua negara

tersebut dapat dianggap berjalan lebih baik, setidaknya jika dibandingkan dengan negara-

negara lain.

BEBERAPA ALTERNATIF JALUR SOLUSI

Tinjauan-tinjauan di atas sebetulnya mengantar kita pada asumsi pahit bahwa pada

dasarnya pluralitas an-sich adalah sebuah potensi problem. Tapi bersamaan dengan itu kita

juga mendapati pluralitas itu sebagai kenyataan yang tak terelakkan.

Jika pluralitas adalah problem tak terelakkan, maka pluralisme dengan sendirinya menjadi

agenda paling penting dan, dalam kondisi bangsa seperti saat ini, paling urgen.

Belajar dari sejarah bangsa-bangsa, agenda pluralisme menjadi sangat krusial terutama

karena kita tidak mungkin memilih penyelesaian model India-Pakistan, tidak pula seperti

Uni Soviet yang kehilangan kebesarannya karena gagal mengelola pluralitasnya.


7

Kabar baiknya, pluralitas pada dasarnya "hanya" sebuah potensi konflik, dalam pengertian

bahwa ia tidak mungkin meledak ketika pemicunya dapat dijauhkan. Picu itu bisa berupa

apa saja, sejauh merefleksikan bentuk ketimpangan atau kesenjangan sosial.

Secara teknis, perumusan kebijakan untuk menghalangi munculnya faktor pemicu harus

dilakukan melalui kajian multi-kompleks. Untuk menuju ke arah itu, beberapa faktor

berikut dapat dipertimbangkan sebagai alternatif jalur solusi.

Demokratisasi Sistem Politik

Politik memegang peranan sangat penting dalam segala hal, termasuk dalam mengelola

pluralitas. Secara teoretis, demokratisasi dapat diharapkan memberikan sumbangan besar

dalam masalah ini, karena demokrasi mendasarkan dirinya pada keragaman dan perbedaan.

Tetapi demokratisasi sebagai sarana pengembangan pluralisme tidak cukup jika dibatasi

hanya sebagai sistem kelembagaan dan formalitas politik. Lebih dari itu, ia juga harus

menjadi tradisi politik dan sistem moral, karena hanya pada titik inilah demokrasi dapat

menghadirkan rasa sama, bersama, dan kebersamaan di tengah fakta perbedaan dan

keragaman.

Keadilan Ekonomi

Pemenuhan kebutuhan ekonomi adalah kebutuhan utama manusia. Kesejahteraan ekonomi

memang tidak dengan sendirinya berarti perbaikan dalam segala hal, tetapi ia dapat

menjadi pendukung terbaik bagi terjaganya sistem moral dan perilaku yang ideal.

Tantangannya adalah bagaimana bangsa ini dapat menciptakan sistem perekonomian yang

berkeadilan, tidak dalam pengertian sama rasa sama rata, tetapi bahwa perbedaan tidak

akan menjadi bagian yang diperhitungkan dalam upaya perekonomian, bahwa setiap

orang, terlepas dari berbagai latar-belakang yang menyertai kemanusiaannya, akan

memperoleh kesempatan yang sama untuk mengupayakan kesejahteraan dan kemakmuran.

Pemahaman Keagamaan
8

Agama, tentu saja, bukan sebuah potensi problem, tetapi masalahnya menjadi berbeda di

level penganutnya. Dalam konteks interaksi sosial, agama mengajarkan sejumlah prinsip

yang harus ditafsir dan diterjemahkan untuk dipraktikkan di dunia nyata. Interpretasi dan

pemahaman umat terhadap agama inilah yang sering menjadi pintu masuk bagi

absolutisme, lawan sejati pluralisme.

Pemahaman dan penghayatan keberagamaan dalam kerangka tafsir yang menghargai

pluralitas akan merupakan sumbangan besar bagi bangsa ini, karena bagaimanapun juga

agama masih memiliki pengaruh signifikan bagi bangsa Indonesia.

Pluralitas adalah masalah lama bangsa Indonesia. Ungkapan Bhinneka Tunggal Ika yang

kita warisi dari zaman Majapahit menunjukkan betapa pluralitas adalah pengalaman nyata

bangsa ini. Kenyataan bahwa bangsa ini mampu survive hingga saat ini adalah bukti bahwa

sesungguhnya pluralitas pernah dan akan selalu membuka kemungkinan menuju

perbaikan. Sekali lagi, pluralitas bukan untuk (dan memang tidak mungkin) dihindari,

tetapi untuk dihormati.

Dari manakah kita bisa memulai, jika tidak dari diri sendiri?

Kajen, 22 Mei 2003

You might also like