Professional Documents
Culture Documents
PENGANTAR
Tulisan ini akan meninjau aspek pluralisme dalam konteks ke-Indonesiaan secara umum,
tanpa sudut pandang sektarian tertentu. Meskipun demikian, dalam beberapa bagiannya
akan tak terhindarkan untuk membicarakan hal ini melalui sudut pandang keagamaan
(baca: Islam). Permohonan maaf saya atas "penyimpangan" itu saya dasarkan pada dua
kenyataan: Pertama, saya adalah seorang muslim dan karena itu lebih memahami segala
sesuatu dari sudut pandang agama Islam daripada sudut pandang lain. Kedua, secara
demografis Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim yang sangat besar.
Betapapun beragam tingkat pemahaman dan penghayatan ke-Islaman mereka, saya masih
percaya bahwa agama memegang peran signifikan dalam menangani masalah pluralisme.
Meskipun tidak dipretensikan sebagai paper yang sistematis, tulisan ini dibagi dalam 3
bagian utama, setelah bagian pembuka yang menggambarkan secara sederhana problem
pluralisme di Indonesia saat ini. Bagian 1 meninjau berbagai hal yang melahirkan dan
dan negatif), dilanjutkan bagian 3 yang menawarkan beberapa alternatif jalur solusi.
Sejak didera krisis ekonomi kurang-lebih 7 tahun lalu, bangsa ini semakin terperosok
dalam jurang masalah yang nyaris tanpa ujung. Bertentangan dengan harapan dan
optimisme yang menyertai masa awalnya, krisis ekonomi justru berkembang menjadi
kita.
2
pluralisme yang semakin mengemuka dan ekspresif. Pecahnya kerusuhan antar-etnis dan
tuntutan separatisme menjadi dua tanda besar bagaimana perbedaan dan keragaman tidak
dicoba untuk difahami tetapi justru diingkari. Penanganan atas konflik-konflik itu sejauh
ini belum menunjukkan titik cerah yang, paling tidak, membuahkan harapan bahwa suatu
ketika di masa mendatang konflik-konflik itu akan mampu diselesaikan secara permanen.
Kondisi bangsa Indonesia saat ini menyajikan kenyataan ironis dalam bidang pluralisme.
Pada masa lalu, di mana pluralitas ditekan sedemikian rupa dalam semangat mewujudkan
keseragaman, pluralisme tumbuh dan berkembang secara baik, tetapi justru pada saat hak-
hak dan keberadaannya dilindungi secara sah dan formal, pluralisme terpojok di jalan
buntu dan menjelma sebagai ancaman serius bagi kelangsungan eksistensi kita sebagai
komunitas kebangsaan.
Praktik dasar pluralisme adalah kemampuan untuk memahami dan menghargai keragaman.
Karena itu, kebutuhan untuk menerapkan pluralisme dalam suatu komunitas sangat
dipengaruhi oleh akar dan potensi keragaman dalam komunitas itu sendiri.
Dalam konteks Indonesia, akar dan potensi keragaman itu terpengaruh oleh beberapa
faktor berikut:
Asal-usul Historis
Kontribusi terbesar atas pluralitas bangsa Indonesia diberikan oleh keanekaragaman asal-
usul warganya. Keragaman asal-usul ini bahkan dapat kita tarik dari masa 4.000-an tahun
penduduk lama yang lebih dulu mendiami negeri ini. Peristiwa ini terulang lagi 15 abad
kemudian dalam bentuk kedatangan masyarakat lebih baru yang meskipun diperkirakan
3
Sejarah mempercayai bahwa setiap gelombang masyarakat baru itu tidak berhasil hidup
lain negeri kepulauan ini, dan mengakibatkan lahir dan menguatnya pola-pola kebudayaan
Dalam konteks sejarah yang lebih modern, keragaman penduduk Indonesia semakin
diperkaya oleh masuknya berbagai bangsa yang sama sekali baru dan berbeda dari mereka
Kondisi Geografis
terutama dari perannya sebagai sekat-sekat sangat kuat yang tidak mudah ditembus bahkan
oleh kemajuan teknologi transportasi modern yang ada hingga saat ini. Jika kita mendapati
bahwa sebagian masyarakat Indonesia di satu tempat telah mampu menikmati kemajuan
teknologi modern mutakhir sementara di bagian lain masih ada yang terkungkung dalam
pola kehidupan "primitif", maka salah satu penalaran sederhana yang dapat menjelaskan
hal itu adalah kondisi geografis yang secara praktis "memecah-belah" negara kesatuan ini.
Sekat-sekat geografis ini secara efektif menjaga dan melahirkan kesenjangan dalam
berbagai aspek: ideologi hingga ekonomi, mata pencarian sampai selera kebudayaan.
Keyakinan Keagamaan
Indonesia adalah negara dengan fakta keagamaan yang nyaris unik. Sebagaimana banyak
bangsa lain, bangsa Indonesia dari satu generasi ke generasi berikutnya selalu meyakini
adanya suatu daya maha tinggi yang mengatur manusia, baik sebagai pribadi maupun
sebagai unsur semesta raya. Keunikan keyakinan keagamaan di Indonesia terletak pada
kenyataan bahwa tidak satu agamapun pernah menjadi agama tunggal bangsa Indonesia.
4
Secara tradisional umumnya dipercaya bahwa animisme adalah "agama" tertua penduduk
Nusantara, kemudian disusul kedatangan berbagai agama dari seluruh penjuru dunia. Yang
kita dapati saat ini, bukan saja agama-agama besar menemukan representasinya, bahkan
Kemajuan teknologi informasi melahirkan arus besar yang lazim disebut globalisasi.
Sekat-sekat geografis diyakini tidak lagi ada pengaruhnya dalam membendung trend
budaya global. Kemajuan telah mengubah bumi dari sekumpulan negara menjadi
"kampung besar" di mana perbedaan geografis tidak mampu menghalangi arus informasi
dari satu tempat ke tempat lainnya. Globalisasi dipercaya telah melakukan akselerasi
pengertian bahwa setiap orang di bumi ini mungkin mendapatkan informasi sama dengan
yang orang lain dapatkan). Tetapi bersamaan dengan itu, kita mendapati bahwa bukan saja
Maka meskipun secara teknis keadilan informasi itu mungkin diselenggarakan, pada
informasi tidak dengan sendirinya melahirkan kesempatan yang sama, karena fungsi
informasi tidak hanya berkaitan dengan kesempatan mendapatkannya tetapi juga dengan
bagaimana menggunakannya.
tetapi dalam konteks lokal Indonesia ia justru melahirkan sekat budaya baru, di mana
mereka yang menikmati arus informasi itu justru membentuk klas, pola fikir, dan budaya
Tentu ada banyak akar lain yang menunjang pluralitas bangsa Indonesia, tetapi empat
faktor di atas setidaknya dapat menarikkan kesimpulan bahwa bangsa ini memiliki "bakat"
Bisa muncul debat teoretik berkepanjangan untuk menjawab apakah pluralitas memiliki
potensi dan dampak baik atau justru buruk. Potensi positif pluralitas diperoleh dari
kemungkinan munculnya beragam pola solusi atas berbagai masalah, hal mana berarti
beragam alternatif yang dapat dipilih sesuai kebutuhan, situasi, dan kondisi. Di sisi lain,
harus pula disadari bahwa meskipun menyukai keragaman alternatif, pada dasarnya
manusia cenderung tidak menyukai perbedaan. Manusia akan merasa aman dan nyaman
Karena debat teoretik akan cenderung bertele-tele, ada baiknya kita meninjau potensi dan
dampak pluralitas dari kasus-kasus nyata berbagai negara di mana pluralitas menjadi
Pluralitas sebagai faktor konflik dan disintegrasi: Kasus India dan Uni Soviet
India bisa menjadi contoh sempurna pergulatan suatu bangsa menghadapi pluralitasnya
keseluruhan India yang besar terletak dalam satu bidang wilayah sangat luas). Potensi
konflik India diakibatkan oleh kegagalan umat Hindu dan Islam untuk hidup
Agama sebagai kambing hitam konflik telah menjadi sejarah permanen bangsa India. Pada
efektif, dan memuncak pada pembentukan negara Pakistan. Karena faktor geografis dan
negara baru berbasis perbedaan agama warga ini juga tidak mengakhiri konflik. Untuk satu
dan lain alasan, hingga saat ini konflik India-Pakistan tetap "terpelihara dengan baik".
Dengan latar belakang yang agak berbeda, pluralitas yang coba dikungkung dalam negara
totaliter Uni Soviet juga berakhir tragis dalam bentuk kelahiran negara-negara baru di atas
Amerika Serikat dan Perancis dapat menjadi contoh yang baik bagaimana suatu bangsa
sebagai "negara para imigran" dan Perancis yang sangat terbuka melahirkan pilihan untuk
mengeksploitasi perbedaan.
Dengan tidak menutup mata terhadap masih adanya letupan-letupan ekspresi anti-
pluralisme, harus diakui bahwa upaya untuk menghargai pluralisme di kedua negara
tersebut dapat dianggap berjalan lebih baik, setidaknya jika dibandingkan dengan negara-
negara lain.
Tinjauan-tinjauan di atas sebetulnya mengantar kita pada asumsi pahit bahwa pada
dasarnya pluralitas an-sich adalah sebuah potensi problem. Tapi bersamaan dengan itu kita
Jika pluralitas adalah problem tak terelakkan, maka pluralisme dengan sendirinya menjadi
agenda paling penting dan, dalam kondisi bangsa seperti saat ini, paling urgen.
Belajar dari sejarah bangsa-bangsa, agenda pluralisme menjadi sangat krusial terutama
karena kita tidak mungkin memilih penyelesaian model India-Pakistan, tidak pula seperti
Kabar baiknya, pluralitas pada dasarnya "hanya" sebuah potensi konflik, dalam pengertian
bahwa ia tidak mungkin meledak ketika pemicunya dapat dijauhkan. Picu itu bisa berupa
Secara teknis, perumusan kebijakan untuk menghalangi munculnya faktor pemicu harus
dilakukan melalui kajian multi-kompleks. Untuk menuju ke arah itu, beberapa faktor
Politik memegang peranan sangat penting dalam segala hal, termasuk dalam mengelola
dalam masalah ini, karena demokrasi mendasarkan dirinya pada keragaman dan perbedaan.
Tetapi demokratisasi sebagai sarana pengembangan pluralisme tidak cukup jika dibatasi
hanya sebagai sistem kelembagaan dan formalitas politik. Lebih dari itu, ia juga harus
menjadi tradisi politik dan sistem moral, karena hanya pada titik inilah demokrasi dapat
menghadirkan rasa sama, bersama, dan kebersamaan di tengah fakta perbedaan dan
keragaman.
Keadilan Ekonomi
memang tidak dengan sendirinya berarti perbaikan dalam segala hal, tetapi ia dapat
menjadi pendukung terbaik bagi terjaganya sistem moral dan perilaku yang ideal.
Tantangannya adalah bagaimana bangsa ini dapat menciptakan sistem perekonomian yang
berkeadilan, tidak dalam pengertian sama rasa sama rata, tetapi bahwa perbedaan tidak
akan menjadi bagian yang diperhitungkan dalam upaya perekonomian, bahwa setiap
Pemahaman Keagamaan
8
Agama, tentu saja, bukan sebuah potensi problem, tetapi masalahnya menjadi berbeda di
level penganutnya. Dalam konteks interaksi sosial, agama mengajarkan sejumlah prinsip
yang harus ditafsir dan diterjemahkan untuk dipraktikkan di dunia nyata. Interpretasi dan
pemahaman umat terhadap agama inilah yang sering menjadi pintu masuk bagi
pluralitas akan merupakan sumbangan besar bagi bangsa ini, karena bagaimanapun juga
Pluralitas adalah masalah lama bangsa Indonesia. Ungkapan Bhinneka Tunggal Ika yang
kita warisi dari zaman Majapahit menunjukkan betapa pluralitas adalah pengalaman nyata
bangsa ini. Kenyataan bahwa bangsa ini mampu survive hingga saat ini adalah bukti bahwa
perbaikan. Sekali lagi, pluralitas bukan untuk (dan memang tidak mungkin) dihindari,
Dari manakah kita bisa memulai, jika tidak dari diri sendiri?