You are on page 1of 32

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Salah satu hal yang sejak dulu menjadi permasalahan dalam masyarakat dan

membutuhkan perhatian khusus adalah penyalahgunaan obat-obatan. Pada awalnya

penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang terbatas pada dunia kedokteran

namun belakangan terjadi penyimpangan fungsi dan penggunaannya tidak lagi

terbatas pada dunia kedokteran (Budiarta 2000). Penggunaan berbagai macam jenis

obat dan zat adiktif atau yang biasa disebut narkoba dewasa ini cukup meningkat

terutama di kalangan generasi muda. Morfin dan obat-obat sejenis yang semula

dipergunakan sebagai obat penawar rasa sakit, sejak lama sudah mulai

disalahgunakan. Orang-orang sehat pun tidak sedikit yang mengkonsumsi obat-

obatan ini. Maraknya peredaran dan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan

terlarang diakui banyak kalangan menjadi ancaman yang berbahaya bagi bangsa

Indonesia. Sianipar (2004) mengatakan bahwa berdasarkan survey nasional

penyalahgunaan narkoba yang dilaksanakan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

terhadap 13.710 responden yang terdiri dari pelajar SLTP, SLTA dan mahasiswa

pada tahun 2003 diperoleh data bahwa dalam setahun terakhir terdapat 3,9%

responden yang menyalahgunakan narkoba. Penelitian tersebut juga menunjukan

semakin dininya usia penyalahgunaan narkoba, dengan usia termuda adalah 7 tahun.

Ditambah pula oleh Sianipar bahwa jenis narkoba yang sering digunakan adalah

inhalan, sementara itu pada usia 8 tahun ada yang sudah menggunakan ganja dan
pada usia 10 tahun telah menggunakan narkoba dengan jenis yang bervariasi, yaitu pil

penenang, ganja dan morphin.

Motivasi dan penyebab mengapa orang mengkonsumsi obat-obatan tersebut

dapat bermacam-macam antara lain sebagai tindakan pemberontakan karena adanya

penolakan oleh lingkungan seperti adanya perasaan minder, latar belakang dari

keluarga yang berantakan, patah hati, atau hal-hal lain. Penyebab lain adalah sebagai

tindakan untuk mengurangi stres dan depresi, sekedar mencoba untuk mendapatkan

perasaan nyaman dan menyenangkan, sebagai tindakan agar diterima dalam

lingkungan tertentu dan adanya rasa gengsi atau sebagai tindakan untuk lari dari

realita kehidupan. Banyak kejadian dimana remaja menggunakan narkoba hanya

untuk mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari orang lain, contohnya ketika

seorang anak sedang mengalami konflik, anak membutuhkan kehadiran serta

perlindungan dari orangtuanya namun ketika anak tidak pernah mendapatkan

penyelesaian dari orangtua maka dirinya mencari penyelesaian dari lingkungan dan

teman-temannya. Hal tersebut hanyalah manifestasi dari kebutuhan mereka akan

penghargaan dan pengakuan dari orangtua mereka sendiri (Staf iqeq 1998).

Disamping itu, alasan utama seseorang mencoba obat-obatan adalah karena rasa ingin

tahu mereka terhadap efek yang menyenangkan dari narkoba dan keinginan untuk

mengikuti bujukan orang lain terutama dari lingkungan pergaulan mereka (McInthosh

2002).

Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang

pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan di

sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila

dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama (Wartono,
dkk 1999). Penggunaan narkotika secara berlebihan dapat mengakibatkan dampak

yang berbahaya, baik terhadap individu maupun terhadap masyarakat. Narkotika itu

sendiri merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintetis maupun

semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

mengurangi bahkan menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan

ketergantungan (Budiarta 2000).

Pemakaian dan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan yang tidak sesuai

aturan, dapat menimbulkan beberapa dampak negatif baik bagi pemakai itu sendiri

maupun bagi lingkungan di sekitar pemakai. Menurut Wartono, dkk (1999), dampak

yang ditimbulkan antara lain dapat berupa gangguan konsentrasi dan penurunan daya

ingat bagi pemakai, sedangkan dampak sosialnya dapat menimbulkan kerusuhan di

lingkungan keluarga yang menyebabkan hubungan pemakai dengan orangtua menjadi

renggang, serta menimbulkan perilaku yang tidak diinginkan seperti pencurian atau

penodongan. Disamping itu, penggunaan narkotika yang terlalu banyak atau

overdosis akan dapat menyebabkan kematian karena dosis yang digunakan makin

lama makin bertambah banyak sedangkan daya tahan tubuh makin lama makin

berkurang. Dikarenakan banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan akibat

penggunaan narkoba secara bebas dan tidak sesuai aturan, maka diperlukan perhatian

khusus untuk menanggulangi masalah ini. Banyak cara dilakukan untuk

menanggulangi masalah ini baik secara preventif maupun represif. Menurut Budiarta

(2000), upaya preventif merupakan pencegahan yang dilakukan agar seseorang jangan

sampai terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan narkoba.

Sedangkan upaya represif artinya usaha penanggulangan dan pemulihan pengguna

narkoba yang mengalami ketergantungan. Budiarta menambahkan bahwa usaha-


usaha represif dapat dilakukan dengan mendirikan panti-panti rehabilitasi maupun

Rumah Sakit Ketergantungan Obat. Di dalam RSKO atau panti Rehabilitasi itulah

nantinya dilaksanakan program-program pemulihan bagi pengguna narkoba. Menurut

Wresniwiro (1999), rehabilitasi merupakan usaha untuk menolong, merawat dan

merehabilitasi korban penyalahgunaan obat terlarang, sehingga diharapkan para

korban dapat kembali ke dalam lingkungan masyarakat atau dapat bekerja serta

belajar dengan layak.

Di dalam proses pemulihan, disamping faktor-faktor dari luar seperti mengikuti

program-program pemulihan di panti rehabilitasi, ada faktor lain yang tampaknya

juga penting, yaitu faktor dari dalam. Salah satu faktor yang berasal dari dalam adalah

adanya keinginan individu untuk berhenti menggunakan narkoba serta memiliki

keyakinan bahwa dirinya akan mampu melepaskan diri dari pengaruh narkoba

tersebut. Kesadaran yang dimiliki seseorang bahwa mereka telah kecanduan dapat

memakan banyak waktu dari beberapa minggu hingga beberapa bulan atau bahkan

tahunan dan tergantung pada obat yang digunakan dan kemampuan para pecandu

untuk mengatasi kebiasaannya tersebut (McIntosh 2002). Banyak orang yang

mengalami masalah dengan obat-obatan tetap terperosok dalam tahap perenungan

untuk merubah kebiasaan mereka. Perenungan tersebut tetap tidak berkembang

karena mereka merasa tidak mampu untuk lepas dari obat-obatan dan bahkan mereka

tidak berusaha untuk berhenti (Broad & Hall dalam Bandura 1995).

Oleh karena itu, adanya keyakinan dari dalam diri individu bahwa dirinya mampu

untuk melepaskan diri dari ketergantungan obat-obatan ini merupakan faktor yang

dianggap penting dalam proses pemulihan. Istilah keyakinan ini disebut dengan self-

efficacy. Self-Efficacy adalah keyakinan bahwa seseorang mampu menghadapi situasi


tertentu. Self-efficacy tersebut mempengaruhi persepsi, motivasi dan tindakannya

dalam berbagai cara (Zimbardo dan Gerrig 1999). Schwarzer (dalam Zimbardo dan

Gerrig 1999) mengatakan bahwa self-efficacy mempengaruhi seberapa banyak usaha

yang digunakan dan berapa lama seseorang dapat bertahan dalam mengatasi situasi

kehidupan yang sulit. Disamping itu Kaplan, dkk (1993) menyebutkan self-efficacy

ini sebagai sebuah konsep yang bermanfaat untuk memahami dan memprediksi

tingkah laku. Menurut Bandura (dalam www.altavista.com/self-efficacy 2002),

eseorang yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan membangun lebih banyak

kemampuan-kemampuan melalui usaha-usaha mereka secara terus-menerus,

sedangkan self-efficacy yang rendah akan menghambat dan memperlambat

perkembangan dari kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan seseorang. Bandura

juga mengatakan bahwa individu dengan self-efficacy yang rendah cenderung percaya

bahwa segala sesuatu sangat sulit dibandingkan keadaan yang sesungguhnya

sedangkan orang yang memiliki perasaan self-efficacy yang kuat akan

mengembangkan perhatian dan usahanya terhadap tuntutan situasi dan dipacu oleh

adanya rintangan sehingga seseorang akan berusaha lebih keras. Begitu pula halnya

pada individu yang sedang menjalani rehabilitasi atau biasa disebut dengan residen.

Menurut penulis, tingginya self-efficacy yang dimiliki oleh residen memungkinkan

dirinya memiliki motivasi untuk melakukan tindakan dan usaha untuk berhenti

sehingga pemulihannya akan semakin cepat dan nantinya akan berhasil, sebaliknya

semakin rendah self-efficacy yang dimiliki maka seseorang kurang memiliki

dorongan yang kuat dalam dirinya untuk berubah dan orang tersebut enggan untuk

berusaha melakukan tindakan-tindakan untuk melepaskan diri dari pengaruh narkoba

sehingga pemulihannya pun akan terhambat dan semakin lama.


Dari uraian diatas maka permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini

adalah apakah ada hubungan antara self-efficacy dengan pemulihan pada pengguna

narkoba?

Dari latar belakang tersebut maka peneliti merasa tertarik untuk

mengadakan penelitian mengenai “Pengaruh komunikasi keluarga terhadap

kenakalan remaja di surabaya”.

II. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat diambil suatu perumusan

masalah pokok yaitu “Seberapa besarkah Pengaruh komunikasi keluarga

terhadap kenakalan remaja di surabaya?”.

I. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1.Tujuan penelitian

Untuk mengetahui apakah dengan adanya komunikasi yang sering

terhadap keluarga dapat mempengaruhi tingkat kenakalan remaja di

surabaya

2.Manfaat penelitian

a. Manfaat Teoritis

Sebagai pembanding antara pengetahuan teoristis yang penulis

dapatkan dengan kenyataan yang ada, sehingga penulis

memperoleh kesempatan yang baik dalam memahami sikap dan

berfikir, kritis untuk mengembangkan pengetahuan teoritis

b. Manfaat Praktis
Dapat memberikan tambahan wawasan bagi semua pihak

khususnya bagi para orang tua terhadap pentingnya komunikasi

kepada remaja

1.IV.1.1. KERANGKA TEORI

Menurut Onong Uchjana Effendy, Istilah komunikasi atau dalam

bahasa inggris “communication” berasal dari bahasa latin “communicatio”,

yang berarti sama, sama disini, adalah sama makna.( Onong Uchjana

Effendy,1992:4)

Berlangsungnya komunikasi menyebabkan terjadinya hubungan

antara penyampai pesan dengan penerima pesan. Menurut Bimo Walgito

(1990:42-43) Baik tidaknya hubungn sosial seseorang sebenarnya dapat

dilihat dari segi, yaitu:

1. Segi Frekwensi Hubungan

Adalah sering tidaknya seseorang mengadakan hubungna/kontak sosial

dengan orang lain. Makin sering seseorang mengadakan hubungan dengan

orang lain, makin baik hubungan sosialnya.

2. Segi Intensitas Hubungan

Yaitu mendalam atau tidaknya seseorang dalam mengadakan

hubungan/kontak sosialnnya.

3. Segi Popularitas Hubungan

Yaitu banyak atau sedikitnya teman dlam hubungan sosial.

Agar bisa menerima hubungan yang baik, komunikator sebagai

penyampai pesan dengan baik, yang kemudian diterima, dimengerti dan


selanjutnya ditanggapi oleh komunikan. Tanggapan/reaksi dari komunikan ini

penting, karena merupakan umpan balik (feed back) yang menunjukan

bagaimana pesan itu diterima oleh komunikan.

Beberapa pakar komunikasi mengemukakan bahwa pengaruh

komunikasi tidak semata-mata merupakan respons langsung dan berdiri

sendiri dari penerima (khalayak), melainkan melalui langkah-langkah yang

agak rumit dan panjang dengan melibatkan orang lain yang terpercaya dan

diasumsikan dapat mempengaruhi keputusan penerima komunikasi.

Dalam keluarga, hubungan antara anggotanya didasarkan atas

persamaan cinta kasih yang murni dan tidak ada maksud untuk

menguntungkan diri pribadi dan merugikan orang lain.

Orangtua (ayah dan ibu) memegang peranan dalam pembinaan

kesejahteraan keluarga bersama secara fisik, materi, dan spiritua , serta

meningkatkan kedudukan keluarga dalam masyarakat. Peran keluarga atau

orangtua dalam perkembangan kedewasaan remaja untuk tumbuh normal

dalam melakukan peran sertanya bermasyarakat. Kurangnya kontrol sosial

keluarga pada anak yang menginjak dewasa (remaja) akan menyebabkan

kesulitan seorang remaja dalam menemukan identitas sesungghunya (identity

diffusion atau role-confusion). Hal tersebut jika tidak disikapi dengan bijak

akan membawa dampak negatif pada perilaku remaja.

Keluarga merupakan lembaga tertua yang terjadi karena ikatan

perkawinan. Adanya ayah, ibu dan anak, serta unsur-unsur kasih sayang dan

tanggung jawab diantara anggotanya. Sekalipun hanya sedikit anggota


keluarga tersebut, namun mereka sudah merupakan masyarakat yang

mengandung sifat hidup bersama, berbentuk kesatuan yang harmonis baik

hidup kejiwaan maupun lahirnya (Alex Sobur,1985)

Sebagai suatu sistem, keluarga juga merupakan bagian dari

masyarakat yang terkecil dimana keluarga berhubungan dengan masyarakat

atau lingkungannya. Keluarga sebagai suatu sistem berarti dalam keluarga

terdapat unsur-unsur atau individu-individu yang saling berkaitan dan tidak

dapat berdiri sendiri-sendiri. Ini menunjukkan bahwa diantara anggota-

anggota tersebut ada interaksi. Dan ada ketergantungan antara satu dengan

yang lainnya. Adanya interaksi yang baik antara ayah, ibu, dan anak akan

mendukung keberhasilan komunikasi, komunikasi yang efektif ini juga harus

didukung oleh adanya keterbukaan dan rasa saling percaya diantara anggota

keluarga yang terlibat dalam aktifitas komunikasi tersebut. Hal ini

menunjukkan bahwa hubungan yang baik diantara anggota keluarga sangat

mendukung dalam pencapaian komunikasi yang efektif.

4.1 Komunikasi Dan Proses Komunikasi

“ Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antar manusia yang

dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain

dengan menggunkan bahasa sebagai alat penyalurnya”. (Effendy, 2000:28)

Lebih lanjut Effendy (2000:28) mengatakan dalam “bahasa” komunikasi,

pernyataan dinamakan pessan (message), orang yang menyampaikan pesan

disebut komunikator (communicator), sedangkan orang yang menerima

pernyataan diberi nama komunikan (communicate). Untuk tegasnya,


komunikasi berarti prose penyampaian pesan oleh komunikator kepada

komunikan. Jika di analisis pesan komunikasi terdiri dari 2 aspek, yaitu :

1). Isi pesan (The Content Of The Message)

2). Lambang (symbol)

Untuk lebih jelasnya, maka kita kategorikan proses komunikasi dengan

peninjauan dari 2 prospektif, yaitu :

1). Prose komunikasi dalam prespektif psikologis

Konkretnya isi pesan itu adalah pikiran atau perasaan, sedangkan

lambang adalah bahas. “Walter Lippman menyebut isi pesan itu ‘Picture in

our head’ “, sedangkan Walter Hagemam menamakanya “ das be wust

seini halte”. Prose “Mengemas” atau membungkus pikiran dengan bahasa

yang dilakukan komunikator dalam bahasa komunikasi dinamakan

encoding. Hasil encoding berupa pesan yang kemudian di

transmisikan/dioperkan/dikirimkan kepada komunikan. Proses dalam diri

komunikan disebut decoding yang seolah-olah membuka kemasan/bungkus

pesan yang diterima dari komunikator tadi. Isi bungkusan tadi adalah

pikiran komunikator. Apabila komunikan mengerti isi pesan/pikiran

komunikator, maka terjadilah komunikasi.

2). Proses komunikasi dalam perspektif mekanistik

Dapat diklasifikasikan menjadi proses komunikasi secara :

a). Primer (Primary Process)

Adalah proses penyampaian pikiran oleh komunikator kepada

komunikan dengan menggunakan suatu lambang (symbol) sebagai


media/saluran. Lambang ini umumnya bahasa, tetapi dalam situasi-

situasi komunikasi tertentu, lambang-lambang yang dipergunakan

dapat berupa kial (gesture), yaitu gerak anggota tubuh, gambar, warna,

dll.

b). Sekunder (Secondary Process)

Adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada

komunikan dengan menggunakan alat atau saran sebagai media kedua

setelah memakai lambang sebagai media pertama. Komunikasi dalam

proses secara sekunder ini semakin lama semakin efektif dan efisien

karena didukung oleh teknik komunikasi yang semakin canggih yang

bisa mencapai tempat yang jauh dan banyak jumlahnya, misalnya

radio, telepon, satelit komunikasi, dsb. (Effendy, 2000:31-32)

Didalam melakukan komunikasi secara efektif itu tidaklah mudah. Bahkan

beberapa ahli komunikasi menyatakan bahwa tidak mungkin seseorang

melakukan komunikasi yang sebenar-benarnya efektif. Ada juag banyak

hambatan yang bisa merusak komunikasi. Berikut ini adalah beberapa hal

yang merupakan hambatan komunikasi :

1). Gangguan (Noise)

Menurut sifatnya dapat diklasifikasikan sebagai :

- Gangguan Mekanik (Mechanical Noise)

Adalah gangguan yang disebabkan saluran komunikasi atau

kegaduhan yang bersifat fisik.

- Gangguan Semantik (Semantic Noise)


Gangguan semantik ini bersangkutan dengan pesan komunikasi yang

pengertianya menjadi rusak. Gangguan semantik tersaring kedalam pasan

melalui penggunaan bahasa. Lebih banyak kekacauan mengenai

pengertian suatu istilah atau konsep yang terdapat pada komunikator,

akan lebih bnayak gangguan semantik dalam pesannya. Gangguan

semantik terjadi dalam salah pengertian.

Semantik adalah pengetahuan mengenai pengertian kata-kata.

Lambang kata yang sama mempunyai pengertian yang berbeda untuk

ornag-ornag yang berlainan.

2). Kepentingan (Interest)

Kepntingan akan membuat seseorang selektif dalam menggapi atau

menghayati suatu pesan. Kepentingan bukan hanya mempengaruhi

perhatian kita saja tetapi juga menentukan daya tanggap, perasaan, pikiran,

dan tingkah laku kita akan merupakan sifat reaktif terhadap segala

perangsangg yang tidak bersesuaian atau bertentangan dengan suatu

kepentingan.

3). Motivasi Terpendam

Motivasi terpendam ini akan mendorong seseorang berbuat sesuatu yang

sesuai dengan keinginan, kebutuhan, dan kekurangannya keinginan,

kebutuhan dan kekurangan seseorang berbeda dengan orang lainnya, dari

waktu ke waktu dan dri tempat ke tempat, sehingga karenanya motivasi itu

berbeda dalam intensitasnya. Demikian pula intensitas tanggapan

seseorang terhadap suatu komunikasi.


Semakain sesuai komunikasi dengan motivasi seseorang semakin besar

kemungkinan komunikasi itu dapat diterima dengan baik oleh pihak yang

bersangkutan. Sebaliknya komunikan akan mengabaikan suatu komunikasi

yang tidak sesuai dengan motivasinya.

4). Prasangka

Merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat bagi suatu kegiatan

komunikasi. Oleh karena orang yang mempunyai prasangka selalu

bersikap curiga dan menentang komunikator yang hendak melancarkan

komunikasi. Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik

kesimpulan atas dasar prasangka tanpa menggunakan pikiran yang

rasional. Emosi seringkali membutakan pikiran dan pandangan kita

terhadap fakta yang nyata bagaimanapun, sehingga seseorang tidak akan

dapat berpikir secara obyektif. (Effendy, 2000:45-49)

4.2 Tatanan Komunikasi

Secara umum tatanan komunikasi dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian,

yaitu komunikasi pribadi, komunikasi kelompok dan komunikasi massa.

Berikut penjelasan dari masing-masing bagian tersebut

1. Komunikasi Pribadi

Komunikasi pribadi (personal Communication) adalah komunikasi seputar

diri seseorang, baik dalam fungsinya sebagai komikator maupun sebagai

komunikan. Tatanan komunikasi (setting of communication) ini terdiri dari

dua jenis, yaitu

a. Komunikasi intrapribadi
Komunikasi intrapribadi adalah komunikasi yang berlangsung dalam

diri seorang. Orang itu berperan sebagai komunikator maupun sebagai

komunikan. Ia berbicara kepada diri sendiri, dia berdialog dengan

dirinya sendiri. Dia bertanya dengan dirinya sendiri dan dijawab oleh

dirinya sendiri.

Memang tidak salah kalau komunikasi intrapribadi disebut melamun

tetapi jika melamun biasa mengenai segal hal misalnya melamun jadi

orang kaya, melamun kawin lagi, dan lain sebagainya, komunikasi

intrapribadi berbicara dengan diri sendiri dan bertanya-jawab dengan

diri sendiri dalam rangka berkomunikasi dengan orang lain, dan orang

lain ini bisa satu orang, sekolompok orang, atau masyarakat

keseluruhan. Jadi sebelum berkomunikasi dengan orang lain, dengan

lain perkataan sebelum melakukan komunikasi sosial seseorang

melakukan komunikasi intrapribadi dahulu.

b. Komunikasi antar pribadi (interpersonal communication)

Komunikasi antar pribadi didefinisikan oleh Joseph A. Devita dalam

bukunya (Devito,194) sebagai :

“ Proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang,

atau diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan

beberapa umpan balik seketika”

Berdasarkan definisi Devito itu, komunikasi antarpribadi dapat

berlangsung antara dua orang yang memang sedang berdua-duan sperti

suami istri yang sedang bercakap-cakap, atau dua orang dalam suatu
pertemuan, misalnya antara penyaji makalah dengan salah seorang

pesarta suatu seminar.

Pentingnya situasi komunikasi antarpribadi ialah karena prosesnya

memungkinkan berlangsung secara dialogis. Komunikasi yang

berlangsung secara dialogis selalu lebih baik daripada secara

monologis. Monolog menunjukkan suatu bentuk komunikasi di mana

seorang berbicara, yang lain mendengarkan, jadi tidak terdapat

interaksi. Yang aktif hanya komunikator saja, sedangkan komunikan

bersikap pasif. Situasi komunikasi seperti ini terjadi misalnya ketika

seorang ayah memberikan nasihat pada anaknya yang nakal, seorang

istri cerewet yang tengah memarahi suami sabar yang memang

melakukan kesalahan, sorang instruktur yang memberikan petunjuk

tentang pengoperasian mesi, dan sebagainya.

2. Komunikasi Kelompok

Sebagaimana halnya seputar bidang komunikasi, tantanan komunikasi,

metode komunikasi, teknik komunikasi, dan lain sebagainya, para pakar

komunikasi, tidak mempunyai pendapat yang sama, demikian pula

mengenai komunikasi kelompok.

Komunikasi kelompok berarti komunikasi yang berlangsung antara

seorang komunikator dengan sekelompok orang yang jumlahnya lebih

dari dua orang. Sekelompok orang yang menjadi komunikan itu bisa

sedikit, bisa banyak. Apabila jumlah orang yang dalam kelompok itu

sedikit berarti kelompok itu kecil, jika jumlahnya banya yang berarti
kelompoknya besar. Dengan demikian komunikasi kelompok dapat dibagi

menjadi dua yaitu :

a. Komunikasi Kelompok Kecil

Komunikasi kelompok kecil adalah komunikasi yang :

- ditujukan kepada kognisi komunikan

- prosesnya berlangsu secara dialogis

Dalam komunikasi kelompok kecil komunikator menunjukkan

pesanya dalam benak atau pikiran komunian, misalnya kuliah,

ceramah, diskusi, seminar, rapat, dan lain-lain. Dalam situasi

komunikasi seperti itu logika berperan penting, komunikan akan dapat

menilai logis tidaknya uraian komunikator

Ciri kedua dari komunikasi kelompok kecil adalah bahwa prosesnya

berlangsung secara dialogis, tidak linier, melainkan sirkular. Umpan

balik terjadi secara verbal. Komunikan dapat menaggapi uraian

komunikator, bisa bertanya jika tidak mengerti, dapat menyangga bila

tidak setuju, dan lain sebagainya.

b. Komunikasi kelompok besar

Sebagai kebalikan dari komunikasi kelompok kecil, komunikasi

kelompok besar adalah komunikasi yang :

- ditujukan kepada efeksi komunikan

- prosesnya berlangsung secara linier

Pesan yang disampaikan oleh kominikator dalam situasi komunikan

kelompok besar, ditujukan kepada efeksi komunikan, kepada hatinya


atau kepada perasaanya. Contoh untuk komunikasi kelompok besar

adalah misalnya rapat raksasa di sebuah lapangan. Jika komunikan

pada komunikasi kelompok kecil umumnya bersifat homogen ( antara

lain sekelompok orang yang asma jenis kelaminya, sama

pendidikannya, sama status sosialnya), maka komunikan pada

komunikasi kelompok besar umumnya bersifat heterogen

3. Komunikasi massa

Yang dimaksud dengan komunikasi masa ( mass communication) disini

ialah komunikasi melalui media massa modern, yang meliputi surat kabar

yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang

ditujukan kepada umum, dan film yang dipertunjukkan digedung-gedung

bioskop.

Lazimnya media massa modern menunjukkan seluruh sistem di mana

pesan-pesan diproduksikan, dipilih, disiarkan diterima dan ditanggapi.

Melakukan kegiatan komunikasi massa jauh lebih sukar daripada

komunikasi antarpribadi. Seorang komunikator yang menyampaikan pesan

kepada ribuan pribadi yang berbeda paa saat yang sama, tidak akan bisa

menyesuaikan harapannya untuk memperoleh tanggapan mereka secara

pribadi. Suatu pendekatan yang bisa meregangkan kelompok lainya.

Seorang komunikator melalui media massa yang mahir adalah seseorang

yang berhasil menemukan metode yang tepat untuk menyiarkan pesanya

guna membina empathy dengan jumlah terbanyak diantara komunikannya.

4.3 Komunikasi Non Vebal


Kita mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya:

bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing, dan

sebainya). Namun juga melalui perilaku nonverbal ini “ bukan apa yang

dikatakan”, “melainkan bagaimana ia mengatakannya”. Lewat perilaku

nonverbalnya, kita dpaat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia

sedang bahagia, bingung, atau sedih. Kesan awal kita pada seseorang sering

didasarkan perilaku nonverbalnya, yang mendorong kita untuk mengenalnya

lebih jauh. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang

bukan kata-kata. Menurut Larry A. Samovar dan Ricahard E. Porter dalam

Mulyana (2003:308) komunikasi non verbal mencakup semua rangasangan

(kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan

oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai

nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima.

Jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja

sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan suatu misal kita

mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan

tersebut bermakna bagi orang lain.

William Condon dalam Mulyana (2004:310) memberikan tanggapan

bahwa bahasa nonverbal sebangun dengan bahasa verbalnya. Artinya, pada

dasarnya suatu kelompok yang pun bahasa verbal khas juga dilengkapi

dengan bahasa nonverbal khas yang sejajar dengan bahasa verbal tersebut.

Beliau menganalisi ucapan dan gerakan tubuh secara terperinci, dengan

menggunakan kamera film berkecepatan tinggi yang dilengkapi suara.


Condon menduga bahwa tidak ada isyarat, bahkan tidak ada kedipan mata,

yang bersifat acak. Setiap gerakan sinkron dengan ucapan. Salah satu cara

untuk mengetahui sinkronya gerakan dan ucapan itu adalah dengan

memperhatikan film atau telenovela asing yang telah disulisuara., yang

melukiskan banyak adegan janggal, karena bahasa kedua yang digunakan

tidak sinkron dengan gerkan yang hanya sinkron dengan bahasa aslinya”.

Perilaku nonverbal mempunyai beberapa fungsi, Paul Ekman dalam

Mulyana (2004:314) menyebutkan lima fungsi pesan nonverbal, seprti yang

dapat dilukiskan dengan perilaku mata, yakni sebagai :

1. Emblem. Gerakan mata tertentu merupakan simbol yang memiliki

kesetaraan dengan simbol verbal. Kedipan mata dapat mengatakan, “ saya

tidak sungguh – sungguh”

2. Ilustrator. Pandangan ke bawah dapat menunjukkan depresi atau

kesedihan

3. Regulator. Kontak mata berarti saluran percakapan terbuka.

Memalingkan muka menandakan ketidaksediaan berkomunikasi.

4. Penyesuaian. Kedipan mata yang cepat meningkat ketika orang

berada dalam tekanan. Itu merupakan respon yang tidak disadari yang

merupakan upaya tubuh untuk mengurangi kecemasan.

5. Effect display. Pembesaran manik-mata (pupil dilation)

menunjukkan peningkatan emosi. Isyarat wajah lainnya menunjukkan

perasaan takut, terkejut, atau senang.


Dengan demikian kita biasanya lebih mempercayai pesan nonverbal,

yang menunjukkan pesan sebenarnya, karena pesan nonverbal itu lebih sulit

daripada pesan verbal. Kita dapat mengendalikan sedikit perilaku nonverbal;

namun kebanyakan perilaku nonverbal di luar kesadaran kita. Kita dapat

memutuskan dengan siapa dan kapan berbicara serta topik-topik apa yang

akan kita bicarakan, tetapi sulit mengendalikan ekspresi waja senang, malu,

ngambek, cuek; anggukan atau gelengan kepala; kaki yang mengetuk-ngetuk

lantai; dan sebagainya

4.4 Definisi Keluarga

Secara hukum keluarga adalah sekelompok orang yang terikat oleh

darah, perkawinan atau adopsi. “ Namun dalam sebuah survei nasional yang

melibatkan 1.200 oran gdewasa yang dipilih secara acak, hanya 22 persen

yang merasa puas dengan definisi itu. Hampir 75 persen menyukai definisi “

sekolompok orang yang saling mencintai dan saling mempedulikan”

( seligman dalam Stewart dan Sylvia, 1996:215).

Salah saatu definisi keluarga yang luas dan berguna adalah : “ jaringan

orang-orang yang berbagi kehidupan mereka dalam jangka waktu yang lama;

yang terikat oleh perkawinan, darah, atau komitmen, legal atau tidak; yang

menganggap diri mereka sebagai keluarga; dan yang berbagai pengharapan-

pengharapan masa depan mengenai hubungan yang berkaitan” (Galvin dan

Brommel dalam Stewart dan Sylvia, 1996:215)


4.5 Komunikasi dalam keluarga

Keluarga adalah unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer

bagi perkembnagan anak. Sedang lingkungan sekitar dan sekolah ikut

memberikan nuansa pada perkembangan anak. Karena itu baik buruknya

struktur keluarga dan masyarakat sekita memberikan pengaruh baik atau

buruknya pertumbuhan kepribadian anak (Kartini Kartono, 1992:57)

Hal ini disebabkan karena keluargalah merupakan lingkungan pertama

yang berhubungan dengan kegiatan individu sejak lahir sampai dewasa.

Dalam rentang kehidupan individu, keluarga mempunyai peranan penting

terhadap seluruh aspek kepribadiannya (Praktikto, 1982:40)

Komunikasi yang terjadi antara anggota yang satu dengan yang lain

berbeda, tergantung pada kepekaan tiap-tiap keluarga dan hubungan diantara

anggota keluarga tersebut. Kualitas komunikasi mempunyai peran yang

sangat penting dalam pengembangan hubungan interpersonal yang positif

diantara anggota keluarga. Dengan kata lain, komunikasi dalam keluarga

akan berjalan baik apabila didukung oleh hubungan baik diantara anggota

keluarga tersebut. Komunikasi adalah proses pengalihan informasi dari satu

orang atau sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol tertentu

kepada satu orang atau satu kelompok lain. Proses pengalihan informasi

tersebut selalu mengandung pengaruh tertentu. Proses pengaruh tersebut

merupakan suatu proses yang bersifat psikologis yang pada gilirannya

membentuk proses sosial.


Pada hakikatnya komunikasi antar pribadi adalah komunikasi antara

seseorang komunikator dengan seorang komunikan. Jenis komunikasi

tersebut dianggap paling efektif untuk mengubah sikap, pendapat, atau

perilaku manusi berhubung prosesnya yang dialogis (Liliweri, 1997:50)

Untuk mengubah sebuah perilaku komunikasi yang terjadi haruslah

bersifat terbuka dari dua arah. Masing-masing pihak haruslah ada

keterbukaan antara satu dengan yang lain sehingga terjadi saling pengertian

diantara keduanya.

Menurut Praktiko (1982:45) menyatakan bahwa keterbukaan dalam

sebuah proses komunikasi antara anak dan orang tua merupakan hal

terpenting untuk menciptakan salaing pengertian diantara keduanya.

Tingkat keterbukaan dalam sebuah proses komunikasi tergantung dari

seberapa dekat orang tua terhadap anak sehingga anak merasa aman ketika ia

mencurahkan isi hatinya secara menyeluruh kepada orang tua seperti halnya

dikatakan oleh Mark and Miller (1994:60) bahwa kedekatan (proximity)

antara anak dan kedua orang tua merupakan hal yang mutlak untuk dapat

mengetahui apa yang menjadi keinginan dan pengukapan perasaan diri anak

secara menyeluruh dalam sebuah proses komunikasi. hal ini menjadikan anak

lebih dihargai dan merasa diperhatikan sehingga anak pun akan membuka diri

terhadap apa yang dinasehatkan orang tua kepadanya.

Adapun Bochner dan Eisenberg, Galvin dan Brommel dalam Stewart

dan Sylvia (1996:217) menyatakan diantara banyak teori yang digunakan

oleh para ahli untuk menjelaskan keluarga, dua variabel yang penting adalah
kohesi (kepaduan) dan adaptasi. Kedua dimensi ini mempengaruhi dan

dipengaruhi komunikasi.

Kohesi merujuk kepada seberapa dekat keterkaitan anggota-anggota

keluarga. Pada suatu titik ekstrem ada keluarga-keluarga memiliki sedikit

otonomi atau sedikit kesempatan untuk mencapai kebutuhan dan tujuan

pribadi. Keluarga-keluarga demikian memiliki sedikit pembatas. Anggota-

anggota keluaraga berbagai segala sesuatu. Tingkat emosional dan fisik

mereka cenderung tinggi. Mereka punya sedikit privacy, karena setiap

anggota mengetahui urusan anggota lainnya. Galvin dan Brommel dalam

Stewart dan Sylvia (1996:217)

Dalam keluarga-keluarga yang tingkat kepaduannya sangat rendah,

sebaliknya, anggota-anggota keluarga secara fisik dan emosional terpisah,

tidak terlibat, jadi ada sedikit saja hubungan diantara mereka. Sedikit saja

kegiatan yang mereka lakukan bersama: kegiatan keluarga menempati

prioritas yang rendah, dan setiap anggota tampaknya punya jadwal kegiatan

masing-masing. Ketika menulis tentang bagaimana teknologi modern

mengikis kehidupan kontemper, seorang psikog melukiskan pola ini ketika

menyinggung “Hubungan gelombang mikro” (Microwave relationship)

dalam kehidupan keluarga pada saat rumah menjadi kurang berfungsi sebagai

tempat berteduh keluarga (Gergen dalam Stewart dan Sylvia, 1996:217)

Suatu dimensi lainnya yang penting dalam komunikasi keluarga adalah

adaptasi terhadap perubahan : Meskipun ahli-ahli teori terdahulu memandang

keluarga sebagai suatu sistem yang tetap seimbang dan tetap, jelas bahwa
sister-sister keluarga berubah. Terkadang secara tiba-tiba (Bochner dan

Eisenberg dalam Stewart dan slyvia, 1996:218)

Ada keluarga-keluarga yang sulit menyesuaikan diri mereka dengan

setiap perubahan yang terjadi. Keluarga-keluarga demikian dianggap kaku;

mereka hidup dengan aturan-aturan yang tidak luwes Satir dan Stewart dan

Sylvia (1996:218) menulis bahwa dalam suatu sistem yang tertutup aturan-

aturan tidak manusiawi. Kebanyakan keluarga berada diantara kedua titik

eksterm ini dan punya kemampuan beradaptasi yang bervariasi terhadap

perubahan. Meskipun semua keluarga mengalami tekanan, cara keluarga

menangani tekanan itulah yang menentukan.

4.6 Masa remaja dan perkembangannya

Anak remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Ia tidak

termasuk golonangan anak, tetapi ia tidak pula termasuk golongan orang

dewasa. Remaja ada diantara anak dan orang dewasa. Remaja masih belum

mampu untuk menguasai fungsi-fisik maupun psikisnya. Ditinjau dari segi

tersebut mereka masih tergolongan kanak-kanak, mereka masih harus

menemukan tempat dalam masyarakat. Pada umumnya mereka masih belajar

disekolah atau perguruan tinggi. Bila mereka bekerja mereka melakukan

pekerjaan sambilan dan belum mempunyai pekerjaan yang tetap.

Ausubel (1965) menyebut status orang dewasa sebagai status primer,

artinya status itu diperoleh berdasarkan kemampuan dan usaha sendiri. Status

anak adalah status diperoleh (derived), artinya tergantung daripada apa yang
diberikan oleh orang tua (dan masyarakat). Remaja ada dalam status interim

sebagai akibat daripada posisi yang sebagian diberikan oleh orang tua dan

sebagian diperoleh melalui usaha sendiri yang selanjutnya memberikan

prestise tertentu padanya. Status interim berhubungan dengaan masa

peralihan yang timbul sesudah pemasakan seksual (pubertas). Masa peralihan

tersebut diperlukan untuk mempelajari remaja mampu memikul tanggung

jawabnya nanti dalam masa dewasa. Makin maju masyarakat makin sukar

tugas remaja untuk mempelajari tanggung jawab ini.

Dalam publikasinya Havighurst (1976) mengemukakan sejumlah

tugas-tugas perkembangan, berasal dari data penelitian-penelitian lintas-

budaya. Bagi usia 12-18 tahun tugas perkembangan adalah :

1. Perkembangan aspek-aspek biologis

2. Menerima peranan dewasa berdasarkan pengaruh kebiasaan masyarakat

sendiri

3. Mendapatkan emansipasional dari orang tua dan/atau orang dewasa

lainnya.

4. Mendapatkan pandangan hidup sendiri

5. Merealisasikan suatu identitas sendiri dan dapat mengadakan partisipasi

dalam kebudayaan pemuda sendiri.

Dalam perkembangan sosial remaja dapat dilihat adanya dua macam

gerak; pertama yaitu memisahkan diri dari orang tua dan yang lainya adalah

menuju kearah teman-teman sebaya. Dua macam arah gerak ini tidak
merupakan dua hal yang berurutan meskipun yang satu dapat terkait pada

yang lain.

Dalam masa remaja, remaja berusaha untuk melepaskan diri dari

milieu orang tua dengan maksud untuk menemukan dirinya, Erikson

menamakan proses tersebut sebagai proses mencari identitas ego. Sudah

barang tentu pembentukan identitas, yaitu perkembangan ke arah

individualitas yang mantap; merupakan aspek yang penting dalam

perkembangan berdiri sendiri.

Menurut Marcia (1980) berpendapat bahwa perkembangan identitas

itu terjadi selain dari mencari secara aktif (eksplorasi) juga tergantung

daripada adanya “Commitments”. Dalam proses perkembangan identitas

maka seseorang dapat berada dalam status yang berbeda-beda. Marcia

membedakan antara menemukan identitas sesudah mengadakan eksplorasi

yang disebut “achievement”; kemudian status “moratorium” yang

menggambarkan remaja masih sedang sibuk-sibuknya mencari identitas;

status “foreclosure” yaitu menemukan identitas tanpa mengalami krisis atau

eksplorasi terlebih dahulu, dan keadaan tanpa bisa menemukan identitas

sesungghunya (identity diffusion atau role-confusion).

4.7 Remaja dalam masyarkat

Hubungan seseorang dengan masyarakatnya menjadi semakin penting

pada masa remaja. Khususnya dalam proses emansipasi perlu ada tinjauan

bagaimana hubungan remaja dengan masyarakat.


Dalam mendidik remaja perlu diarahkan kepada hal-hal yang baik

untuk menjaga keselarasan antara individu dan masyarakat. Jadi apa yang

baik untuk menjaga kelestarian “social order”. Hal ini sering menimbulkan

bahan konflik karena remaja mempunyai ideal dan cita-cita sendiri yang tidak

ditemukan dalam masyarakat. Remaja mengalami pertentangan antara apa

yang diidam-idamkan dengan kenyataan yang ada.

Pertentangan antara remaja dan masyarakat ini menurut Mollenhauer

ada 6 macam yaitu :

1. Pertentangan antara integrasi dan partisipasi kritis.

Supaya masyarakat bisa berfungsi dengan baik, maka semua warganya

perlu memikul tanggung jawab bersama dan para remaja perlu

dipersiapkan untuk hal tersebut. Namun sebaliknya banyak diketemukan

hambatan dan rintangan bagi remaja untuk bisa ikut berpartisipasi secara

kritis dalam berbagai institusi seperti keluarga, sekolah, serta kehidupan

usaha. Sebagian besar remaja telah mengambil sikap komformistis

sehingga lebih menyesuaikan diri dengan pola masyarakat daripada

dengan cita-cita sendiri.

2. Pertentangan antara kesempatan dan usaha kearah peningkatan status

sosial

Cita-cita mengenai adanya kesempatan yang sama bagi semua orang

( warga masyarakat) sangat disetujui oleh masyarakat namun banyak

gejala ditemukan bahwa seseorang sulit meningkatkan status sosial bila

ia terlanjur masuk suatu kelompok sosial, yaitu misalnya anak seorang


buruh akan tetap berada dalam kelompok buruh tadi. Anak seorang buruh

juga akan menjadi buruh.

Di indonesia terdapat keadaan yang agak lain. Berhubung mobilitas orang

meningkat maka banyak anak dari kelompok sosial ekonomi lebih rendah

dapat keluar dari kelompoknya tersebut dengan cara menuntut pendidikan

yang lebih tinggi dan akhirnya dapat menempatkan dirinya dalam status

sosial yang lebih baik.

3. Pertentangan antara sugesti mengenai kehidupann yang serba enak

dengan kenyataan yang ada : masih tergantung orang tua.

Ideal perkembangan seseorang adalah mencapai aktualisasi diri atau

perwujudan diri. Remaja masih diliputi penuh cita-cita akan kehidupan

yang lebih bebas, mandiri lepas dari ikatan rumah dan lingkungannya.

Kenyataannya adalah bahwa remaja masih terikat akan sejarah hidupnya,

masih juga meniti jalan yang sudah “ditentukan“ baginya oleh pendidikan

dan lingkungannya. Dalam waktu luang remaja sering melamunkan

kehidupan yang lebih menyenangkan, misalnya membeli barang-barang

yang disenangi.

4. Pertentangan antara perhatian mengenai faktor ekonomi dan pembentukan

kepribadian

Pertentangan yang terjadi disini adalah pertentangan yang sungguh-

sungguh; numerus fixus dan pengstrukturan kembali sistem pengajaran

yang bersifat ilmiah. Makin banyak remaja yang ingin melanjutkan ke

perguruan tinggi sebagai akibat situasi hidup yang lebih baik.


Dalam keseluruhan pendidikan makin nampak bahwa kebutuhan ekonomi

makin menguasai pembentukan kepribadian anak. Tetapi disamping itu

nampak pula bahwa pendidikan seringkali bertujuan untuk membuat anak

politis dewasa dan mencapai emansipasi yang kurang ada hubungannya

dengan keadaan orde ekonomi yang ada.

5. Pertentangan antara fungsi politis dalam pembentukan kepribadian

dengan sifat sebenarnya yang tidak politis

Pengertian pembentukan kepribadian yang berasal dari pemikiran neo-

humanisme, semula tidak berhubungan dengan pengetahuan dasar umum

yang begi dibutuhkan oleh setiap orang yang hidup dalam masyarakat

yang maju. Pembentukan kepribadian berarti perkembangan sifat-sifat

kemanusiaan lepas dari pekerjaan yang dimiliki seseorang. Dalam makna

semula maka hal itu juga berarti keikutsertaan orang dalam kejadian yang

ada dalam masyarakatnya. Dalam kasus ini mungkin hal itu berarti

kesadaran bermasyarakat.

6. Pertentangan antara tuntutan rasional dengan kenyataan yang irrasional.

Remaja sering diberi pengertian bahwa sikap yang rasional sangat dibutuhkan

dalam masyarakat maju. Tetapi kenyataan yang ada sangat bertentangan.

Rasionalisasi berarti bahwa semua yang terjadi harus bisa dikontrol,

dilaksanakan secara terbuka. Meskipun begitu, proses demokratis yang ada

dalam masyarakat yang telah maju tidak bisa terlaksana dengan baik dengan

dalih tidak ada penilai-penilai yang ckup mampu atau demi efisiensi

pengambilan keputusan (Selactik, Wolters, 1974).


4.8 Kenakalan Remaja

Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan fondasi

primer bagi perkembangan anak. Sedangkan lingkungan sekitar dan sekolah

ikut memberikan nuansa pada perkembangan anak. Karena itu baik-buruknya

struktur keluarga dan masyarakat sekitar memberikan pengaruh baik atau

buruknya pertumbuhan anak.

Menurut Kartini Kartono (2003) Delinkuensi yang dilakukan oleh

anak-anak, para remaja itu pada umumnya merupakan produk dari konstitusi

defektif mental orang tua, anggota keluarga dan lingkungan tentangga

terdekat, ditambah dengan nafsu primitif dan agresivitas yang tidak

terkendalikan.

Kualitas rumah tangga atau kehidupan keluarga jelas memainkan

peranan paling besar dalam membentuk kepribadian remaja delinkuen.

Misalnya, rumah tangga yang berantakan disababkan oleh kematian ayah atau

ibu, perceraian diantara bapak dan ibu, hidup terpisah, poligami, keluarga

yang diliputi konflik keras, semua itu merupakan sumber yang subur untuk

memunculkan delinkuensi remaja, sebabnya antara lain :

a. Anak kurang mendapat perhatian, kasih

sayang dan tuntunan pendidikan

orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-

masing sibuk mengurusi permasalahan serta konflik batin sendiri.


b. Kebutuhan fisik maupun psikis anak-anak

remaja menjadi tidak terpenuhi. Keinginan dan harapan anak-anak tidak

bisa tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan kompensasinya.

c. Akan-anak tidak pernah mendapat latihan

fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk hidup susila. Meraka tidak

dibiasakan dengan disiplin dan kontrol-diri yang baik.

Sebagai akibat ketiga bentuk pengabaian diatas, anak menjadi bingung,

risau, sedih, malu, sering diliputi perasaan dendam, benci sehingga anak

menjadi kacau dan liar. Di kemudian hari mereka mencari kompensasi bagi

kerisauan batin sendiri diluar lingkungan keluarga,yaitu menjadi anggota dari

suatu gang kriminal; lalu melakukan banyak perbuatan brandalan atau

kriminal.

Fakta menunjukkan bahwa tingkah-laku delinkuen tidak hanya terbatas

pada strata sosial bawah dan strata ekonomi rendah saja; akan tetapi juga

muncul pada semua kelas, khususnya di kalangan keluarga berantakan.

4.9 Hipotesis

Menurut Sugiyono (2000:39), “Hipotesis merupakan jawaban

sementara terhadap rumusan permasalahan, karena sifatnya sementara maka

perlu dibuktikan kebenarannya melalui data empirik yang terkumpul.”

Hipotesis dalam penelitian ini merupakan suatu pernyataan mengenai

hubungan antara dua variabel yang masih harus di uji kebenarannya

berdasarkan data yang terkumpul.


Berdasarkan uraian dan permasalahan diatas maka hipotesis yang

diajukan adalah sebagai berikut :

“Diduga ada pengaruh yang signifikan antara komunikasi keluarga terhadap

kenakalan remaja di surabaya”

You might also like