You are on page 1of 7

Adanya dualisme pengaturan mengenai kompetensi dalam menyelesaikan perkara ekonomi

syariah berdampak tidak adanya kepastian hukum. Lembaga mana yang berhak untuk
menanganinya.

Sebelum UU No. 7/1989 diubah dengan UU No. 3/2006 dan UU No.50/2009 Tentang Peradilan
Agama, pengadilan agama berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf
dan shadaqah serta ekonomi syari’ah.

Namun setelah adanya perubahan tersebut. Peradilan Agama kemudian diberi tambahan
kewenangan yaitu zakat; infaq dan ekonomi syari’ah. Namun kewenangan untuk mengadili
perkara ekonomi syariah, direduksi oleh Pasal 55 UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah. 

Disebutkan dalam Pasal 55  ayat (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Sementara pada Ayat (2) dikatakan ”Dalam hal
para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.”

Nah, dalam seminar yang diberi judul ”Bedah Buku tentang kompetensi Peradilan Agama dalam
menyelesaikan perkara ekonomi syariah” yang diselenggarakan di Universitas Jayabaya. Rabu,
12 Januari 2011, membedah dengan gamblang persoalan kompetensi absolut yang dimiliki PA
dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. 

Dr. Hasbi Hasan, SH, MH  mengatakan adanya dualisme pengaturan tersebut telah mereduksi
kompetensi peradilan agama menjadi sekadar alternatif forum pilihan (choice of forum).
Pengaturan tersebut juga berakibat bukan hanya disparitas dan ketidakpastian hukum, namun juga
dapat menimbulkan kekacauan hukum (legal disorder). ”Perundang-undangan yang tidak sinkron
satu dengan yang lainnya, saling bertentangan akan menimbulkan disparitas hukuman antara satu
hakim dengan yang lainnya,” tulisnya.

Meskipun terdapat undang-undang yang memberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa


ekonomi syariah, walaupun begitu menurut Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH pada waktu
menjadi narasumber dalam seminar tersebut mengatakan pada kenyataannya perbankan syariah
masih belum cukup terlindungi.

Menurutnya, hal tersebut dikarenakan masih rancunya akan tempat peradilan yang mungkin bisa
ditempuh masyarakat apabila menghadapi permasalahan dalam bidang ekonomi
syariah.Pemerintah dinilai enggan untuk mengeluarkan undang-undang syariah tentang siapa
yang berhak menaungi permasalahan - permasalahan dalam perekonomian syariah. hal itu
dikarenakan, investor asing nantinya tidak akan masuk bila penanganan masalah perbankan
syariah diatasi di peradilan agama. 

Hal yang sama juga dikemukakan oleh beberapa kalangan yang berpendapat penyelesaian perkara
ekonomi syariah tidak tepat bila melalui Peradilan Agama, karena hukum Islam yang hidup dan
berlaku di Indonesia bukanlah hukum yang positif dan dapat diberlakukan.
Namun ada pula yang berpendapat kompetensi penyelesaian perkara ekonomi syariah tidak perlu
diperdebatkan lagi, sebab ekonomi menganut prinsip kebebasan berkontrak (choice of law).
Sehingga dalam penegakan hukum, yang bersengketa dapat memilih di mana mengajukan
perkara. Badan arbitrase, Peradilan Umum, atau Peradilan Agama?

Dr. Hasbi Hasan, SH, MH memaparkan peradilan yang cocok untuk menaungi permasalahan
perbankan syariah adalah peradilan agama bukan peradilan umum. Dengan lahirnya UU tersebut,
semestinya peradilan agama sudah secara praktis berwenang dalam menangani perkara ekonomi
syariah.

Wawancara :
Dr.Hasbi Hasan MH, Dosen Paska Sarjana Universitas Jayabaya

“Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah Terkesan Dibagi-Bagi”

Dualisme pengaturan sengketa ekonomi syari’ah menimbulkan ketidakpastian hukumBerikut


penjelasan Dosen Paska Sarjana Universitas Jayabaya yang juga sebagai Hakim Yustisial/Kabag
Sespim Mahkamah Agung. Dr. Hasbi Hasan, MH melalui email yang dikirimkan kepada Fathul
Ulum dan Syaichun dari FORUM pekan lalu. Berikut petikannya. 

Pasal 55 Ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008 mengatakan penyelesaian sengketa perbankan syariah
dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Sementara  Ayat (2)
mengecualikan. Apakah ini tidak kontradiktif?

Saya berpendapat tidak hanya kontradiktif melainkan bertentangan dengan Pasal 49 UU No. 3
Tahun 2006 yang merupakan UU organik peradilan agama yang mengatur mengenai
penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Sementara UU No. 21 tahun 2008 hanya mengenai
Perbankan Syariah. Olehkarenanya, secara yuridis formal ketika terjadi konflik hukum (conflict
of law) antara kedua UU tersebut, maka yang menjadi pegangan para hakim adalah undang-
undang organik peradilan agama yang secara absolut, memberikan kewenangan kepada
pengadilan agama.

Seperti apa idelanya proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah, apakah satu atap atau multy
choice seperti yang sekarang ini?

Persoalan ini dalam implementasinya membuat masyarakat bingung, utamanya pihak perbankan,
di satu sisi peradilan agama melalui Undang-Undang No. 3 tahun 2006, diberikan kewengan
absolut dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah, di sisi lain dalam implementssinya masih
banyak menemukan kendala. Misalnya. Pertama,  dalam fatwa DSN-MUI pasca lahirnya UU No.
3 Tahun 2006 belum satupun klausul penyelesaian perkara memberikan alternatif penyelesaian
melalui peradilan agama.

Padahal dari beberapa seminar dan diskusi yang saya ikuti,  banyak pertanyaan dari pihak
perbankan yang operasionalnya berdasarkan prinsip syariah menunggu dicantumkan klausul
penyelesaian sengketa ekonomi syariah di lingkungan peradilan agama. 
Apakah tepat bila pengaturan mengenai proses penyelesaiaan ekonomi syariah juga diatur
dalam pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008?

Masalah sekarang bukan tepat dan tidak tepat, tetapi terlampau banyak asumsi-asumsi dan
kepentingan-kepentingan seputar penyelesaian perkara ekonomi syariah. Asumsi yang
dikembangkan bahwa performa Sumber Daya Manusia (SDM) Peradilan Agama dianggap tidak
capable dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah karena dianggap tidak familiar terhadap
perkara komersial dan bisnis, padahal mayoritas hakim peradilan agama  memiliki gelar
kesarjanaan syariah dan hukum (double degree), sebagian besar (ratusan) menyandang magister
hukum bisnis, bahkan puluhan telah menyandang doktor. Asumsi seperti itu menurut saya sesat
dan menyesatkan. 

Bila ada dua pengaturan mengenai kewenangan mengadili dalam  proses penyelesaiaan
sengketa ekonomi syariah. Bukankah menjadi rancu?

Kita sepakat bahwa dalam penyelesaian perkara dikenal dua forum, litigasi dan non litigasi
(choice of  Forum) seperti musyawarah, mediasi dan arbitrase. Para pihak bisa memilih salah satu
forum tersebut, tetapi pemberian satu kewewenangan  kepada dua lembaga peradilan [(litigasi)
Choice of Litigation], akan berdampak pada disparitas putusan dan ketidakpastian hukum.
Perkara ekonomi syariah mengandung  makna penerapan hukum substantif dan prosedural yang
sama dan berlaku pada setiap orang  tanpa memandang perbedaan agama. Dengan demikian,
tidak semestinya ada forum yang berbeda yang bebas dipilih (choice of Forum) oleh yang
mengajukan sengketa, Suatu pilihan yang opportunistic bukan saja akan menimbulkan disparitas
dan ketidakpastian hukum, bahkan lebih jauh akan menimbulkan kekacauan hukum (legal
disoders).

Dengan aturan yang demikian, apakah ini akan menguntungkan para pihak yang bersengketa
atau justru membuat kerancuan dalam mengadili?

Persoalan bukan masalah menguntungkan atau tidak, masyarakat pencari keadilan, sangat
mengharapkan penegakan hukum, kepastian hukum dan keadilan, tentunya juga tidak
mengabaikan kemanfaatan hukum. Sekarang yang terjadi karena terlampau banyak peraturan
yang kontradiktif, overlapping, dan tidak sinkron. Nah, ada kesan kompetensi peradilan agama
dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah ini dibagi-bagi (distribution of Competency) sesuai
dengan selera pihak-pihak yang berkepentingan, hal ini akan membingungkan para pihak pencari
keadilan. (Syaichun & Fathul Ulum)

Majalah Forum No.40/31 Januari - 06 Februari 2011

 
 

Comments  

 
+3 # H. M. Abduh A. Ramly 2011-02-08 10:12
Memang ironis, sampai saat ini peradilan agama masih menjadi lembaga peradilan yang belum
dipercaya untuk menegakkan hukum ekonomi syari'ah. Namun demikian, kita tetap berusaha
agar pasal-pasal yang dinilai bertentangan sebagaimana dibahas dalam tulisan ini diamandemen,
agar peradilan agama menjadi peradilan yang satu-satunya menangani kasus ekonomi syari'ah.
Alasan SDM sudah tidak relevan lagi karena SDM peradilan agama sudah sangat bagus.
Reply | Reply with quote | Quote
 
 
+3 # H. M. Abduh A. Ramly 2011-02-08 10:16
Setuju agar pasal-pasal atau UU yang bertentangan dengan UU organik peradilan agama
diamandemen, alasan SDM adalah adalah yang dibuat-dibuat, karena saat ini SDM peradilan
agama sudah sejajar dengan peradilan umum.
Reply | Reply with quote | Quote
 
 
+2 # M. Syaefuddin-PA.Sgu 2011-02-08 10:19
Sudahlah... kalau memeng kewenangan peradilan agama (ekonomi syari'ah)mau direduksi dg
memberi kebebasan memilih (distribution of competency), yg penting sekarang kita mantapkan
kualitas SDM agar nantinya masyarakat dapat menilai dan merasakan produk putusan mana yang
lebih berkualitas dan berkeadilan.
Reply | Reply with quote | Quote
 
 
+3 # H. M. Abduh A. Ramly 2011-02-08 10:19

setuju agar pasal-pasan atau UU atau peraturan yang bertentangan dengan UU organik peradilan
agama diamandemen saja. Alasan SDM peradilan agama sudah tidak urgen lagi, karena saat ini
SDM sudah memadai.
Reply | Reply with quote | Quote
 
 
+3 # H. M. Abduh A. Ramly 2011-02-08 10:21
Setuju agar segala aturan yang bertentangan dengan UU organik peradilan agama
diamandemen dan dinyatakan tidak berlaku. Alasan SDM adalah alasan yang dibuat-buat, karena
saat ini SDM peradilan agama sudah sama dengan peradilan umum
Reply | Reply with quote | Quote
 
 
+2 # M.Tobri -PA kuningan 2011-02-08 11:04
Dualisme pengaturan sengketa ekonomi syari’ah menimbulkan ketidakpastian hukum, setuju
dengan pernyataan tersebut. sebab sesuatu permasalahan apabila diatur oleh dualisme pengaturan
akan menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian. akhirnya petugas di lapangan menjadi tidak
karuan, karena tidak ada kepastian.
mudah-mudahan permasalahan ini bisa segera diselesaikan, demi adanya kepastian bagi para
pencari keadilan.
Reply | Reply with quote | Quote
 
 
+2 # Drs.H.Burhanudin Ali 2011-02-08 11:09
Kita sebagai umat Islam yang mempunyai ghirah terhadap penegakan syariat Islam, jelas harus
mempunyai rasa memiliki terhadap Peradilan Agama yang dilatarbelakang i sejarah penegakan
syariat Islam dari masa ke masa, sehingga peradilan haruslah menjadi badan peradilan yang
mampu menyelesaikan sengketa ekonomi syariah secara umum sebagaimana Undang_undang
Nomor 3 Tahun 2006.
Reply | Reply with quote | Quote
 
 
+2 # Asep Mohan PA Cjr 2011-02-08 12:25
Sangat subjektif & terlalu dipaksakan kalau masalah kewenangan memeriksa suatu perkara
dikaitkan dengan SDM yang belum pernah diadakan sebuah pengujian resmi, untuk itu mari kita
buktikan kalau SDM di Peradilan Agama mampu menyelesaikan sengketa ekonomi syari'ah
kalau kesempatan tersebut diberikan kepada PA. Termasuk dalam masalah kependudukan
seharusnya penetapan anak bagi orang Islam menjadi kewenangan PA.
Reply | Reply with quote | Quote
 
 
+2 # yunadi MSy Sinabang 2011-02-08 12:27
DIsparity, ketidakpastian hukum, serta legal disorder harus dituntaskan juga melalui mekanisme
hukum, alternatif non ligitasi sangat dimungkinkan, tetapi jika terjadi kebuntuan nonligitasi,
maka harus diselesaikan melalui ligitasi, untuk menentukan peradilan mana yang berwenang
dengan berpijak pada kedua undang-undang tersebut, perlu adanya uji materil di MK sehingga
dapat mengakhiri kesimpangsiuran ini.sebagai langkah terhadap kesadaran dan ketaatan hukum
Reply | Reply with quote | Quote
 
 
+3 # Suryadi-PA.Tondano 2011-02-08 13:30
Ekonomi Syariah telah menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama berdasarkan UU Nomor 3
tahun 2006 jo UU Nomor 50 Tahun 2009 semoga para stakeholder ekonomi syariah di Indonesia
dapat berpedoman pada UU tersebut.
Reply | Reply with quote | Quote
 
 
+2 # Rio Satria 2011-02-08 13:35
Masyarakat perlu adanya kepastian hukum, seharusnya undang-undang yang kontradiktif
tersebut ditinjau kembali. Undang-undang No.3 tahun 2006 adalah diantara aturan yang
menjelaskan kompetensi absolut PA di Indonesia, semestinya aturan yang lahir bukan terkait
dengan aturan kompetensi peradilan tidak boleh menyimpang dari aturan yang sudah ada.
Reply | Reply with quote | Quote
 
 
+2 # Masrinedi-PA.Painan 2011-02-08 14:20
Adanya Dualisme Peradilan Perkara Ekonomi Syariah adalah salah satu bukti betapa belum
tuntasnya permasalahan di seputar kompetensi absolut peradilan yang perlu disikapi oleh pihak
yang berwenang untuk segera dilakukan peninjauan ulang sekaligus amandemen peraturan
perundang-undangannya. Semoga dualisme ini segera berakhir dengan adanya amandemen itu
nantinya. Amin !
Reply | Reply with quote | Quote
 
 
+2 # Dalih Effendy PA Krw 2011-02-08 15:14
" LAKSANA NASI SUDAH JADI BUBUR "
Ayat (2) dari pasal 55 UU Nomor 21/2008 itu sudah dsahkan. yang kita jaga adalah ayat (1)nya.
Saya pikir itu solusi bagi yang sudah terlanjur diperjanjikan menggunakan selain PA, katakan
arbitrase bukan PNdan ini tidak banyak. yang penting ke depan bagaimana para pelaku ekonomi
syariah tidak punya pilihan kecuali sesuai ayat (1) itu. Bagaimana upaya kita mengajak pelaku
bisnis syariah
bukan hanya perbankan untuk tahu dan menggunakan pasal 49 UU No. 3/2006 bahwa mereka
membuat perjanjian jika terjadi sengketa tidak ada choice of forum kecuali ke PA. caranya antara
lain buktikan bahwa warga PA SDM nya lebih unggul lebih punya moral/integritas dibandingkan
yang lain. Anggap saja sebelum tahun 2006 dulu kewarisan umat Islam juga ada choice of forum
and toh pada akhirnya ke PA juga yang dipilih. SELAMAT BERJUANG PAK DOKTOR
HASBI KAMI ADA DI BELAKANG MU.
Reply | Reply with quote | Quote
 
 
+2 # Suhadak 2011-02-08 15:50
Perlu perjuangan dari para tokoh islam dan warga PA, ingat ketika sengketa milik dulu belum
menjadi kompetensi PA, dan juga perkara warisan, tetapi kini telah menjadi kewenangan. begitu
juga dualisme ini, perlu perjuangan.mari teruskita dukung sang pejuang untuk kompetensi PA.
Reply | Reply with quote | Quote
 
 
+2 # Faisal Saleh 2011-02-08 22:35
Indonesia adalah negara hukum. Dengan kata lain, dalam setiap transaksi yang dilakukan oleh
setiap warga negara Indonesia tentu ada hukum yang mengaturnya (satu hukum selama dalam
wilayan Indonesia), termasuk ekonomi syariah. Sangat rancu atau mungkin salah kaprah, apabila
dua orang atau lebih warga negara indonesia yang akan melakukan transaksi ekonomi syariah
harus terlebih dahulu memilih hukum yang akan digunakannya (Choice of law) dalam perjanjian
transaksinya.
Pada hakekatnya hukum perjanjian syariah hanya satu yaitu yang bersumber ajaran hukum
Islam, tapi kok harus ada istilah Choice of law (pilihan hukum)???!!!yang benar itu adalah
choice of forum.. artinya tempat penyelesaian sengketa itu pilihan bisa di PN atau PA namun
tetap menggunakan hukum yang satu, bukannya harus memilih hukum lagi.
Reply | Reply with quote | Quote
 
 
+2 # Insyafli PTA Padang 2011-02-09 08:56
MUI sebagai salah satu lembaga perjuangan dan pengayoman milik umat Islam, sudah
seharusnya kita dorong agar memperlihatkan keberpihakannya kepada badan Peradilan milik
umat Islam khususnya yang berkenaan dengan kompetensi penyelesaian sengketa Ekonomi
syari'ah. Oleh karena itu DSN yang nota bene dewannya MUI sudah saatnya merancang agar
setiap akad yang dibuat dalam kegiatan ekonomi syaria'h mencantunkan satu klausul, bila terjadi
sengketa akan diselesaikan di Peradilan Agama. Kita seluruh warga Peradilan Agama agar
merapatkan barisan ke MUI milik kita semua.
Reply | Reply with quote | Quote
 
 
+2 # Korik Agustian,M.Ag. 2011-02-09 09:32
Menurut saya selain solusi uji materil pasal 55 ayat (2) UU No.21/2008 ke MK utk mengakhiri
polemik dualisme penyelesain sengketa ekonomi syariah, juga pak Tuada Uldilag d Pak dirjen
badilag perlu mengadakan dialog dgn Pengurus MUI pusat dan pemerintah serta pihak terkait utk
menyelesaikan persoalan ini dan mencarikan solusi yg lbh baik.
Reply | Reply with quote | Quote
 
 
+2 # askonsri pa.kotobaru 2011-02-09 14:55
bila dualisme penanganan ekonomi syari,ah tidak segera diselesaikan, maka kepastian hukum
juga akan mengambang !! atau mungkin memang sengaja dibuat seperti itu !! ini adalah
tantangan bagi kita dan buktikan bahwa kita memang bisa untuk menyelesaikan perkara ekonomi
syari,ah !! kalau tidak kapan lagi !!!

You might also like