You are on page 1of 14

Aqidah Islam.

Yaitu, kepercayaan yang mantap kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab suci-
Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir, qadar yang baik dan yang buruk, serta seluruh
muatan Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah Ash-Shahihah berupa pokok-pokok agama,
perintah-perintah dan berita-beritanya, serta apa saja yang disepakati oleh generasi
Salafush Shalih (ijma’), dan kepasrahan total kepada Allah Ta’ala dalam hal
keputusan hukum, perintah, takdir, maupun syara’, serta ketundukan kepada
Rasulullah  dengan cara mematuhinya, menerima keputusan hukumnya dan
mengikutinya. 3

AQIDAH ISLAMIYAH
DAN KEISTIMEWAANNYA
November 13, 2006
oleh abu salma

AQIDAH ISLAMIYAH DAN KEISTIMEWAANNYA


 

Oleh :

Fadhilatus Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd

Definisi Aqidah Menurut Bahasa

Kata “aqidah” diambil dari kata al-‘aqdu, yakni ikatan dan tarikan yang kuat. Ia juga
berarti pemantapan, penetapan, kait-mengait, tempel-menempel, dan penguatan.

Perjanjian dan penegasan sumpah juga disebut ‘aqdu. Jual-beli pun disebut ‘aqdu,
karena ada keterikatan antara penjual dan pembeli dengan ‘aqdu (transaksi) yang
mengikat. Termasuk juga sebutan ‘aqdu untuk kedua ujung baju, karena keduanya
saling terikat. Juga termasuk sebutan ‘aqdu untuk ikatan kain sarung, karena diikat
dengan mantap. 1

Definisi Aqidah Menurut Istilah Umum

Istilah “aqidah” di dalam istilah umum dipakai untuk menyebut keputusan pikiran
yang mantap, benar maupun salah.
Jika keputusan pikiran yang mantap itu benar, maka itulah yang disebut aqidah yang benar, seperti keyakinan umat
Islam tentang ke-Esa-an Allah. Dan jika salah, maka itulah yang disebut aqidah yang batil, seperti keyakinan umat
Nashrani bahwa Allah adalah salah satu dari tiga oknum tuhan (trinitas).

Istilah “aqidah” juga digunakan untuk menyebut kepercayaan yang mantap dan
keputusan tegas yang tidak bisa dihinggapi kebimbangan. Yaitu apa-apa yang
dipercayai oleh seseorang, diikat kuat oleh sanubarinya, dan dijadikannya sebagai
madzhab atau agama yang dianutnya, tanpa melihat benar atau tidaknya. 2

Aqidah Islam.

Yaitu, kepercayaan yang mantap kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab suci-
Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir, qadar yang baik dan yang buruk, serta seluruh
muatan Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah Ash-Shahihah berupa pokok-pokok agama,
perintah-perintah dan berita-beritanya, serta apa saja yang disepakati oleh generasi
Salafush Shalih (ijma’), dan kepasrahan total kepada Allah Ta’ala dalam hal
keputusan hukum, perintah, takdir, maupun syara’, serta ketundukan kepada
Rasulullah  dengan cara mematuhinya, menerima keputusan hukumnya dan
mengikutinya. 3

Topik-Topik Ilmu Aqidah.

Dengan pengertian menurut Ahli Sunnah wal Jama’ah di atas, maka “aqidah” adalah
sebutan bagi sebuah disiplin ilmu yang dipelajari dan meliputi aspek-aspek tauhid,
iman, Islam, perkara-perkara ghaib, nubuwwat (kenabian), takdir, berita (kisah-
kisah), pokok-pokok hukum yang qath’iy (pasti), dan masalah-masalah aqidah yang
disepakati oleh generasi Salafush Shalih, wala’ (loyalitas) dan bara’ (berlepas diri),
serta hal-hal yang wajib dilakukan terhadap para sahabat dan ummul mukminin (istri-
istri Rasulullah ).

Dan termasuk di dalamnya adalah penolakan terhadap orang-orang kafir, para Ahli
bid’ah, orang-orang yang suka mengikuti hawa nafsu, dan seluruh agama, golongan,
ataupun madzhab yang merusak, aliran yang sesat, serta sikap terhadap mereka, dan
pokok-pokok bahasan aqidah lainnya. 4

Nama-Nama Ilmu Aqidah

Pertama: Nama-Nama Ilmu Aqidah Menurut Ahli Sunnah wal Jama’ah 5


Ilmu aqidah menurut Ahli Sunnah wal Jama’ah memiliki beberapa nama dan sebutan yang menunjukkan pengertian
yang sama. Antara lain:

Aqidah, I’tiqad, dan Aqo’id.

Maka disebut Aqidah Salaf, Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, dan Aqidah Ahli Hadis.

Kitab-kitab yang menyebutkan nama ini adalah :

1. Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama’ah karya Al-Lalika’iy (wafat:418 H)
2. Aqidah As-Salaf Ashab Al-Hadits karya Ash-Shobuni (wafat:449 H)
3. Al-I’tiqad karya Al-Baihaqi (wafat:458 H).

Tauhid.

Kata “tauhid” adalah bentuk mashdar dari kata wahhada – yuwahhidu – tauhiid.
Artinya: menjadikan sesuatu menjadi satu. Jadi “tauhid” menurut bahasa adalah
memutuskan bahwa sesuatu itu satu. Menurut istilah, “tauhid” berarti meng-Esa-kan
Allah dan menunggalkan-Nya sebagai satu-satunya Dzat pemilik rububiyah, uluhiyah,
asma’, dan sifat.Ilmu Aqidah disebut Tauhid karena tauhid adalah pembahasan
utamanya, sebagai bentuk generalisasi.

Kitab-kitab aqidah yang menyebut nama ini adalah kitab :

1. At-Tauhid min Shahih Al-Bukhari yang terdapat di dalam Al-Jami’ Ash-Shahih


karya Imam Bukhari (wafat: 256 H)
2. I’tiqad At-Tauhid karya Abu Abdillah Muhammad Khafif (wafat: 371 H)
3. At-Tauhid wa Ma’rifat Asma’ Allah wa Shifatihi ‘Ala Al-Ittifaq wa At-Tafarrud
karya Ibnu Mandah (wafat: 395 H)
4. At-Tauhid karya Imam Muhammad bin Abdul Wahhab (wafat: 1206 H).
5. At-Tauhid karya Ibnu Khuzaimah. 6

Sunnah.

Kata As-Sunnah di dalam bahasa Arab berarti cara dan jalan hidup.

Sedangkan di dalam pemahaman syara’, istilah As-Sunnah dipakai untuk menyebut


beberapa pengertian menurut masing-masing penggunaannya. Ia dipakai untuk
menyebut Hadis, mubah, dan sebagainya.

Alasan penyebutan Ilmu Aqidah dengan Sunnah adalah karena para penganutnya
mengikuti Sunnah Nabi  dan sahabat-sahabatnya. Kemudian sebutan itu menjadi
syiar (simbol) bagi Ahli Sunnah. Sehingga dikatakan bahwa Sunnah adalah antonim
(lawan kata) bid’ah. Juga dikatakan: Ahli Sunnah dan Syi’ah.
Demikianlah. Banyak ulama menulis kitab-kitab tentang Ilmu Aqidah dengan judul “Kitab As-Sunnah”. Di
antaranya:

1. Kitab As-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hambal (wafat:241 H)


2. As-Sunnah karya Al-Atsram (wafat:273 H)
3. As-Sunnah karya Abu Daud (wafat:275 H)
4. As-Sunnah karya Abu Ashim (wafat:287 H)
5. As-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad bin Hambal (wafat:290 H)
6. As-Sunnah karya Al-Khallal (wafat:311 H)
7. As-Sunnah karya Al-Assal (wafat:349 H)
8. Syarh As-Sunnah karya Ibnu Abi Zamnin (wafat:399 H)

Syari’ah.

Syari’ah dan Syir’ah adalah agama yang ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah,
seperti puasa, shalat, haji, dan zakat. Kata syari’ah adalah turunan (musytaq) dari
kata syir’ah yang berarti pantai (tepi laut). Allah Ta’ala berfirman, “Untuk tiap-tiap
umat di antara kamu Kami berikan syir’ah dan minhaj.” (QS. Al-Maidah:48)

Di dalam tafsir ayat ini dikatakan: Syir’ah adalah agama, sedangkan minhaj adalah
jalan. Jadi “syari’ah” adalah sunnah-sunnah petunjuk yang ditetapkan oleh Allah dan
7

Rasul-Nya . Dan yang paling besar adalah masalah-masalah aqidah dan keimanan.

Kata “syari’ah” –seperti halnya kata “sunnah”- digunakan untuk menyebut sejumlah makna:

1. Digunakan untuk menyebut apa yang diturunkan oleh Allah kepada para Nabi-Nya, baik yang bersifat
ilmiah (kognitif) maupun amaliyah (aplikatif).
2. Digunakan untuk menyebut hukum-hukum yang diberikan oleh Allah kepada
masing-masing Nabi agar diberlakukan secara khusus bagi masing-masing
umatnya yang berbeda dengan dakwah Nabi lain, meliputi minhaj, rincian
ibadah, dan muamalah. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa semua agama itu
asalnya adalah satu, sedangkan syariatnya bermacam-macam.
3. Terkadang juga digunakan untuk menyebut pokok-pokok keyakinan, ketaatan,
dan kebajikan yang ditetapkan oleh Allah bagi seluruh Rasul-Nya, yang tidak
ada perbedaan antara Nabi yang satu dengan Nabi lainnya. Sebagaimana dalam
firman Allah Ta’ala,

“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa-apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa.” (QS. Asy-
Syuura:13)

1. Dan secara khusus digunakan untuk menyebut aqidah-aqidah yang diyakini oleh Ahli Sunnah sebagai
bagian dari iman. Sehingga mereka menyebut pokok-pokok keyakinan mereka dengan istilah “syari’ah”.

Iman.
Istilah “iman” digunakan untuk menyebut Ilmu Aqidah dan meliputi seluruh masalah
I’tiqadiyah. Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang kafir terhadap iman, maka
terhapuslah (pahala) amalnya.” (QS. Al-Maidah:5) Kata “iman” di sini berarti tauhid. 8

Kitab-kitab aqidah yang ditulis dengan judul “iman” adalah :

1. Al-Iman karya Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam

2. Al-Iman karya Ibnu Mandah.

3.   Ketahuilah bahwa sumber aqidah Islam ialah kitab Allah, Sunnah Rasul-Nya s.a.w. yang
sahih dan Ijma’ al-Salaf al-Soleh. Ini merupakan perkara yang pasti di dalam agama Islam.
Kita wajib mengambil segala perkara berkaitan aqidah dari al-Quran dan al-Sunnah. Ini
kerana Allah s.w.t. telah menjamin sesiapa sahaja yang berpegang kepada keduanya tidak
akan sesat di dunia dan tidak akan binasa di akhirat.
Allah berfirman:
‫ش ًة‬ َ ‫ض عن ِذك ِْري فإنَّ له م ِع ْي‬ َ ‫أع َر‬ ْ ‫ ومن‬,‫شقَى‬ ْ َ‫ل وال ي‬ ُّ ‫ض‬ ِ َ‫داي فال ي‬َ ‫ه‬
ُ ‫ع‬ َ َ‫ن اتَّب‬ِ ‫م‬َ ‫هدى َف‬ً ‫ُم ِمنِّي‬ْ ‫َفإ َّما يأتِيَ َّنك‬
‫مى‬ َ
َ ‫ة أ ْع‬ ِ ‫م القيام‬ َ ‫ش ُر ُه يو‬ ُ ‫ح‬ْ َ‫ض ْنكا ون‬ َ
Maksudnya: Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti
petunjuk-Ku ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling
dari peringatan-Ku, maka baginya kehidupan yang sempit, dan kami akan
menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keaadaan buta. (surah Thaha: 123-124)
Allah juga berfirman:
َ‫م والهم يح َز ُنون‬ ْ ‫عليه‬
ِ ٌ‫داي فال خوف‬ َ ‫ه‬
ُ ‫ع‬ َ ِ‫من تَب‬
َ ‫هدى ف‬ً ْ ‫َفإ َّما يأتِيَ َّنك‬
‫ُم ِمنِّي‬
Maksudnya: Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang
mengikuti petunjuk-Ku, nescaya tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. (surah al-Baqarah: 38) Juga firman-Nya:
َ‫م ًة لقوم يؤم ُِنون‬ َ ‫ح‬ ْ ‫وهدى َو َر‬
ً ‫م الذي اختلفوا فيه‬ ُ َ‫ن ل‬
ُ ‫ـه‬ َ ّ ‫لتبَ ِي‬
ُ ‫اب إال‬ َ ‫ك َت‬ ِ ‫ك ال‬ َ ‫َومآ أن َز ْلناَ علَ ْي‬
Maksudnya: Dan kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) ini melainkan agar
kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (surah al-Nahl: 64)
Juga firman-Nya:
‫م ْي ِد‬ِ ‫العزيز الح‬
ِ ‫م إلى صراط‬ ْ ‫ن ربِّ ِه‬
ِ ‫ُّور بإ ْذ‬
ُ ‫ماتِ إلى الن‬ َ ‫اس من الظُّ ُل‬ َ ‫ج ال َّن‬ َ ‫خ ِر‬ْ ‫ك ل ُِت‬َ ‫اب أَن َز ْلناَ ُه إلَ ْي‬
ٌ ‫كِ َت‬
Maksudnya: (Ini adalah) kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan
manusia dari gelap-gelita kepada cahaya terang benderang dengan izin Rabb mereka,
(yaitu)

4. menuju jalan Rabb yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (surah Ibrahim: 1)
Nabi s.a.w. bersabda:
‫ـه َم َع ُه‬ُ َ‫تاب و ِم ْثل‬
َ َ‫ت الكِـ‬ُ ‫أال إنِّي ُأ ْوتِ ْي‬
Ketahuilah aku telah diberikan al-Kitab (al-Quran) dan bersamanya yang sepertinya. (iaitu al-
Sunnah). Hadis riwayat Ahmad, 4/131-132, hadis sahih.
Al-Kitab dan al-Sunnah cukup sebagai pegangan sehingga tidak memerlukan kepada
selainnya. Allah berfirman:
َ‫ه أولِيآء قليال ً ما تَ َذك َُّرون‬ِ ِ‫ُم وال تتبعوا من دون‬ ْ ‫ل إلَيك‬
ْ ‫ُم ّمِن َّربِّك‬ َ ‫أنز‬
ِ ‫اتَّبِ ُعوا مآ‬
Maksudnya: Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran
daripadanya. (surah al-A’raf:3).
Imam Ibnu Kathir berkata dalam menafsirkan ayat ini: “Ikutilah apa yang diturunkan
kepadamu dari Rabbmu) iaitu ikutilah peninggalan-peninggalan Nabi yang ummi yang
datang kepada kamu membawa kitab (al-Quran) yang telah diturunkan kepada kamu dari
Penguasa dan Pemilik segala sesuatu. (Dan janganlah kamu mengikuti pemimpin selain-Nya)
iaitu janganlah kamu keluar dari apa yang dibawa oleh rasul kepadamu menuju selainnya,
sehingga kamu menyimpang dari hukum Allah kepada hukum selainnya”. (Tafsir Ibnu Kathir
surah al-A’raf: 3)
Nabi s.a.w. bersabda:
‫ه‬
ِ ‫كتاب هللا وسن َة رسول‬
َ ْ ‫سـ ْك ُت‬
:‫م بِهما‬ َّ ‫م‬ َ َ‫ضلُّوا ما ت‬
ِ َ‫ن لن ت‬
ِ ‫ُم أ ْم َر ْي‬
ْ ‫ْت فِ ْيـك‬
ُ ‫ت َرك‬
Aku telah tinggalkan untuk kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang
kepada keduanya: Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadis sahih lighairihi, riwayat Malik,
al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nasr, Ibn Hazm. Disahihkan oleh Syeikh Salim al-Hilali dalam
Ta’zim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm.12-13.)
Adapun Ijma’ al-Salaf al-Soleh juga merupakan hujah, kerana kesepakatan mereka
merupakan kebenaran sehingga wajib diikuti.
Nabi s.a.w. bersabda:
‫ة‬ٍ ‫يجمع أ َّمتي أو قال أ َّم ُه محم ٍد على ضالل‬ُ ‫هللا ال‬
َ ‫إن‬.
Sesungguhnya Allah tidak akan menghimpunkan umatku (atau beliau bersabda umat
Muhammad) di atas kesesatan. (Hadis riwayat Tirmizi, no 2167 dan lafaz ini dari Abu Daud
no 4253.)
Oleh kerana umat Islam umat yang adil seperti firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat
143, maka kesepakatan mereka adalah hak (kebenaran) sehingga Ijma’ mereka merupakan
hujah. Penyimpangan
Setelah mengetahui penjelasan di atas kita dapati ramai di antara umat Islam yang
terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan yang tidak diizinkan oleh Agama. Sebahagian
orang menjadikan akal dan logik sebagai sumber aqidah dan hukum. Mereka meletakkan
akal manusia yang terbatas berada di atas wahyu Allah sehingga mereka meninggalkan
wahyu dengan alasan logik dan akal, sepertimana Muktazilah dan semacamnya.
Sebahagiannya menyebut diri mereka Rationalist. Padahal wahyu merupakan kebenaran
mutlak. Kemudian akal siapakah yang dipakai sebagai ukuran untuk menolak wahyu? Kalau
akal orang-orang kafir, seperti Iblis, Fir’aun, Abu Lahab atau Abu Jahal maka sangatlah
wajar mereka menolak wahyu kerana mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Namun jika
akal Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali pastilah akal mereka ini menerima wahyu tanpa
keraguan.
Sebahagian orang menjadikan perkataan imam-imam atau tokoh-tokoh yang dianggap
maksum sebagai sumber aqidah, sepertimana Rafidhah (Syiah) dan firqah-firqah Batiniyyah.
Padahal tidak ada peribadi yang maksum dikalangan umat ini setelah Nabi Muhammad
s.a.w. sehingga perkataan sesiapapun kecuali rasulullahdapat diterima atau ditolak dilihat
dari segi kebenarannya. Ibnu Abbas berkata: “Tidak ada seorangpun perkataanya diambil
dan ditolak kecuali Nabi”. (Hadis riwayat Tabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir no. 11941).
Maknanya perkataan nabi semuanya wajib diterima.
Sebahagian lain menjadikan perasaan, mimpi, hikayat dan kasyaf sebagai (boleh melihat
perkara ghaib) sebagai sumber aqidah. sepertimana keadaan puak-puak sufi dan tarikat.
Padahal semua perkara tersebut tidak ada jaminan kebenarannya, sehingga tidak boleh
dijadikan sumber aqidah.
Sebagian yang lain pula menjadikan hadis-hadis lemah dan palsu sebagai sumber agama
termasuk aqidah. Ibnu Taimiyyah berkata: Adapun Ahli Bid’ah maka mereka ialah ahli ahwa’
dan ahli syubhat. Mereka mengikuti persangkaan dan apa-apa yang disukai hawa nafsu.
Padahal telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka. Setiap kelompok dari ahli
bid’ah telah membuat sendiri kaedah agama untuk dirinya sendiri. Kemungkinan dengan
akal fikirannya dan perbandingan secara logik, dia namakan sebagai perkara-perkara yang
ditetapkan akal. Kemungkinan dengan perasaannya dan hawa nafsunya yang dia namakan
perkara-perkara yang ditetapkan perasaan.
Dan kemungkinan dengan apa yang dia tafsirkan dari al-Quran dan dia merubah-rubah
kalimat-kalimat al-Quran dari tempat-tempatnya dalam masa yang sama dia mendakwa dia
semata-mata mengikuti al-Quran sebagaimana Khawarij.
Dan kemungkinan dengan apa yang dia anggap sebagai hadis atau sunnah padahal ianya
palsu dan lemah. Sebagaimana yang disangka oleh kelompok Rafidhah (Syiah). Kebanyakan
mereka yang mereka-reka agama dengan fikiran atau perasaannya dia berhujah dengan al-
Quran mengikut kehendak nafsunya. Dia menjadikan al-Quran hanya sebagai hujah bukan
pegangan. Tetapi dasar sebenarnya akal fikirannya seperti Jahmiyyah dan Muktazilah dalam
masalah sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Allah. (al-Nubuwwat hlm.129)
Kesimpulannya inilah sumber-sumber aqidah Islam iaitu al-Quran, sunnah serta Ijmak al-
Salaf al-Soleh. Adapun keadaan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran menjadikan
akal fikiran, hawa nafsu, perasaan, mimpi serta hadis-hadis yang lemah dan palsu sebagai
sumber aqidah mereka. Kesemuanya adalah batil. Semoga Allah selalu membimbing kita di
atas jalan kebenaran. (dipetik dari majalah as-Sunnah).
CIRI-CIRI AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd

Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki ciri-ciri khusus. Adapun ciri-ciri itu dpt dijelaskan
sebagai berikut.

[1] Sumber pengambilan bersih dan akurat. Hal ini krn aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
berdasarkan Kitab dan Sunnah serta Ijma’ para Salafush Shalih, yg jauh dari keruh hawa nafsu dan
syubhat.

[2] Ia ialah aqidah yg berlandaskan penyerahan total kpd Allah dan Rasul-Nya. Sebab aqidah ini
ialah iman kpd sesuatu yg ghaib. Karena itu, beriman kpd yg ghaib mrpk sifat orang-orang mukmin
yg paling agung, sehingga Allah memuji mereka : ” Kitab (Al-Qur’an) ini tdk ada keraguan pada ;
petunjuk bagi orang yg bertakwa, (yaitu) mereka yg beriman kpd yg ghaib”. [Al-Baqarah : 2-3].
Hal itu krn akal tdk mampu mengetahui hal yg ghaib, juga tdk dpt berdiri sendiri dalam memahami
syari’at, krn akal itu lemah dan terbatas. Sebagaimana pendengaran, penglihatan dan kekuatan
manusia itu terbatas, demikian pula dgn akalnya. Maka beriman kpd yg ghaib dan menyerah
sepenuh kpd Allah ialah sesuatu yg niscaya.

[3] Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ialah aqidah yg sejalan dgn fithrah dan logika yg benar,
bebas dari syahwat dan syubhat.

[4] Sanad bersambung kpd Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sahabat, tabi’in dan para
imam, baik dalam ucapan, peruntukan maupun keyakinan. Ciri ini banyak diakui oleh para
penentangnya. Dan memang -Alhamdulillah- tdk ada suatu prinsip pun dari aqidah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah yg tdk memiliki dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah atau dari Salafus Shalih. Ini tentu
berbeda dgn aqidah-aqidah bid’ah lainnya.

[5] Ia ialah aqidah yg mudah dan terang, seterang matahari di siang bolong. Tidak ada yg rancu,
masih samar-samar maupun yg sulit. Semua lafazh-lafazh dan makna jelas, bisa dipahami oleh
orang alim maupun awam, anak kecil maupun dewasa. Ia ialah aqidah yg berdasar kpd Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Sedangkan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah laksana makanan yg bermanfaat
bagi segenap manusia. Bahkan seperti air yg bermanfaat bagi bayi yg menyusu, anak-anak, orang
kuat maupun lemah.

[6] Selamat dari kekacauan, kontradiksi dan kerancuan. Betapa tdk, ia ialah bersumber kpd wahyu
yg tak mungkin datang kpd kebatilan, dari manapun datangnya. Dan kebenaran tdk mungkin
kacau, rancu dan mengandung kontradiksi. Sebaliknya, sebagian membenarkan sebagian yg lain.
Allah berfirman : “Kalau sekira Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendptkan
pertentangan yg banyak di dalamnya” [An-Nisaa : 82]

[7] Mungkin di dalam terdpt sesuatu yg mengandung perdebatan, tetapi tdk mungkin mengandung
sesuatu yg mustahil. Dalam aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ada hal-hal yg di luar jangkauan
akal, atau tdk mampu dipahami. Seperti seluruh masalah ghaib, adzab dan nikmat kubur, shirath,
haudh (telaga), surga dan neraka, serta kaifiyah (penggambaran) sifat-sifat Allah. Akal manusia
tdk mampu memahami atau mencapai berbagai persoalan di atas, tetapi tdk menganggap
mustahil. Sebalik ia menyerah, patuh dan tunduk kpdnya. Sebab semua datang dari wahyu, yg tdk
mungkin berdasarkan hawa nafsu.

[8] Ia ialah aqidah yg universal, lengkap dan sesuai dgn setiap zaman, tempat, keadaan dan umat.
Bahkan kehidupan ini tdk akan lurus kecuali dgnnya.

[9] Ia ialah aqidah yg stabil, tetap dan kekal. Ia tetap teguh menghadapi berbagai benturan yg
terus menerus dilancarkan musuh-musuh Islam, baik dari Yahudi, Nashrani, Majusi maupun yg
lainnya. Ia ialah akidah yg kekal hingga hari kiamat. Ia akan dijaga oleh Allah sepanjang generasi.
Tak akan terjadi penyimpangan, penambahan, pengurangan atau penggantian. Betapa tdk, krn
Allah-lah yg menjamin penjagaan dan kekalannya. Ia tdk menyerahkan penjagaan itu kpd
seorangpun dari mahluk-Nya, Alah berfirman : “Sesungguh Kamilah yg menurunkan Al-Qur’an dan
Kamilah yg akan menjaganya”. [Al-Hijr : 9]

[10] Ia ialah sebab ada pertolongan, kemenangan dan keteguhan. Hal itu krn ia ialah aqidah yg
benar. Maka orang yg berpegang teguh kpd akan menang, berhasil dan ditolong. Hal itu
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Akan senantiasa ada sekelompok dari
umatku yg membela kebenaran, yg tdk akan membahayakan mereka orang yg merendahkan
mereka sampai datang keputusan Allah, dan mereka dalam keadaan demikian”. [Hadits Riwayat
Muslim 3/1524]. Maka barangsiapa mengambil aqidah tersebut, niscaya Allah akan memuliakan
dan barangsiapa meninggalkannya, niscaya Allah akan menghinakannya. Hal itu telah diketahui
oleh setiap orang yg membaca sejarah. Sehingga, ketika umat Islam menjauhi agamanya,
terjadilah apa yg terjadi, sebagaimana yg menimpa Andalusia (Spanyol) dan yg lain.

[11] Ia mengangkat derajat para pengikutnya. Barangsiapa memegang teguh aqidah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah, semakin mendalami ilmu tentangnya, mengamalkan segala konsekwensinya, serta
mendakwahkan kpd manusia, niscaya Allah akan meninggikan derajatnya, meluaskan kemasyhura
serta keutamaan akan tersebar, baik sebagai pribadi maupun jama’ah. Hal itu krn akidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah ialah akidah terbaik yg sesuai dgn segenap hati dan sebaik-baik yg diketahui
akal. Ia menghasilkan berbagai pengetahuan yg bermanfaat dan akhlak yg tinggi.

[12] Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ialah kapal keselamatan. Maka barangsiapa berpegang
teguh dgnnya, niscaya akan selamat. Sebalik barangsiapa meninggalkannya, niscaya tenggelam dan
binasa.

[13] Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ialah aqidah kasih sayg dan persatuan. Karena, tdklah umat
Islam itu bersatu dalam kalimat yg sama di berbagai masa dan tempat kecuali krn mereka
berpegang teguh dgn aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebaliknya, mereka akan berpecah belah
dan saling berselisih pendpt jika menjauh darinya.

[14] Aqidah Ahlus Suannah wal Jama’ah ialah aqidah istimewa. Para pengikut ialah orang-orang
istimewa, jalan mereka lurus dan tujuan-tujuan jelas.

[15] Ia menjaga para pengikut dari bertindak tanpa petunjuk, mengacau dan sikap sia-sia. Manhaj
mereka satu, prinsip mereka jelas, tetap dan tdk berubah. Karena itu para pengikut selamat dari
mengikuti hawa nafsu, selamat dari bertindak tanpa petunjuk dalam soal wala’ wal bara’ (setia
dan berlepas diri dari orang lain), kecintaan dan kebencian kpd orang lain. Sebaliknya, ia
memberikan ukuran yg jelas, sehingga tdk akan keliru selamanya. Dengan demikian ia akan
selamat dari perpecahan, bercerai berai dan kesia-siaan. Ia akan tahu kpd siapa hrs membenci,
dan mengetahui pula hak serta kewajibannya.

[16] Ia akan memberikan ketenangan jiwa dan pikiran kpd pengikutnya. Jiwa tdk akan gelisah, tdk
akan ada kekacauan dalam pikirannya. Sebab akidah ini menghubungkan antara orang mukmin dgn
Tuhannya. Ia akan rela Allah sebagai Tuhan, Pencipta, Hakim dan Pemuntuk Syari’at. Maka hati
akan merasa aman dgn takdir-Nya, dada akan lapang atas ketentuan-ketentuan hukum-Nya, dan
pikiran akan jernih dgn mengetahui-Nya.
[17] Tujuan dan amal pengikut aqidah ini mejadi selamat. Yakni selamat dari penyimpangan dalam
beribadah. Ia tdk akan menyembah selain Allah dan akan mengharapkan kpd selain-Nya.

[18] Ia akan mempengaruhi prilaku, akhlak dan mua’malah. Aqidah ini memerintahkan pengikut
melakukan setiap kebaikan dan mencegah mereka melakukan setiap kejahatan. Ia memerintahkan
keadilan dan berlaku lurus serta mencegah mereka dari kezhaliman dan penyimpangan.

[19] Ia mendorong setiap pengikut bersungguh-sungguh dan bersemangat dalam segala sesuatu.

[20] Ia membangkitkan jiwa mukmin agar mengagungkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab ia
mengetahui bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah ialah haq, petunjuk dan rahmat, krn itu mereka
mengagungkan dan berpegang teguh pada keduanya.

[21] Ia menjamin kehidupan yg mulia bagi pengikutnya. Di bawah naungan aqidah ini akan
terwujud keamanan dan hidup mulia. Sebab ia tegak atas dasar iman kpd Allah dan kewajiban
beribadah kpd-Nya, dan tdk kpd yg lain. Dan hal itu -dgn tdk diragukan lagi- menjadi sebab
keamanan, kebaikan dan kebahagiaan dunia-akhirat. Keamanan ialah sesuatu yg mengiringi iman.
Maka, barangsiapa kehilangan iman, ia akan kehilangan keamanan. Allah berfirman : “Orang-orang
yg beriman dan tdk mencampuradukkan iman mereka dgn kezhaliman (syirik), mereka itulah
orang-orang yg mendpt keamanan dan mereka itulah orang-orang yg mendpt petunjuk”. [Al-An’am
: 82]. Jadi orang-orang yg bertakwa dan beriman ialah mereka yg memiliki kemanan yg sempurna
dan petunjuk yg sempurna pula, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, orang-orang musyrik
dan pelaku maksiat ialah orang-orang yg selalu ketakutan. Mereka senantiasa diancam dgn
berbagai siksaan di setiap saat.

[22] Aqidah ini menghimpun semua kebutuhan ruh, hati dan jasmani.

[23] Mengakui akal, tetapi membatasi perannya. Ia ialah aqidah yg menghormati akal yg lurus dan
tdk mengingkari perannya. Jadi, Islam justru tdk rela jika seorang muslim memadamkan cahaya
akalnya, lalu ha bertaklid buta dalam persoalan aqidah dan lainnya. Meskipun begitu, peran akal
tetaplah terbatas.

[24] Mengakui perasaan manusia dan membimbing pada jalan yg benar. Perasaan ialah sesuatu yg
alami pada diri manusia dan tak seorangpun manusia yg tdk memilikinya. Aqidah ini ialah aqidah
yg dinamis, tdk kaku dan beku, ia mengaku ada perasaan manusia serta menghormatinya, tetapi
bukan berarti ia mengumbarnya. Sebalik ia meluruskan dan membimbing sehingga menjadi sarana
perbaikan dan pembangunan, tdk sebagai alat perusak dan penghancur.

[25] Ia menjamin untuk memberi jalan keluar setiap persoalan, baik sosial, politik, ekonomi,
pendidikan atau persoalan lainnya.

Dengan aqidah ini, Allah telah menyatukan hati umat Islam yg berpecah belah, hawa nafsu yg
bercerai berai, mencukupkan setelah kemiskinan, mengajari ilmu setelah kebodohan, memberi
penglihatan setelah buta, memberi makan dari kelaparan dan memberi mereka keamanan dari
ketakutan.

[Tasharrufan (saduran) dari Mukhtasar Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Muhammad bin
Ibrahim Al-Hamd, Buletin AN NUR Thn. IV/No. 139/Jum’at I/R.Awal 1419H]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=884&bagian=0
Ciri-Ciri Akidah Islam (1) - Asas Akidah 1.
Akidah Islam – satu kepercayaan yang tetap dan tidak berubah sampai bila-bila masa, tidak
berubah dengan berlakunya apa-apa perubahan di alam ini dan bergantian para Rasul a.s.
(berbeza dengan syariat).

1. Akidah yang jelas dan terang

Akidah Islam yang dibawa oleh para Rasul a.s adalah jelas, mudah difahami dan tidak
menimbulkan kesulitan untuk memahaminya. Di sebalik alam ini, ada Tuhan yang
berkuasa menciptakannya daripada tiada. Tuhan ini tiada yang setara denganNya, tidak
mempunyai anak dan isteri serta tiada sekutu bagiNya.

Dalam prinsip akidah Islam – tidak ada suatu ajaran yang sukar difahami, misalnya –
triniti – konsep penigaan Tuhan. Kepercayaan ini bermaksud bahawa agama Kristian
mempercayai Tuhan terdiri daripada tiga oknum – Tuhan Bapa ( God the Father), Tuhan
Anak (God the Son) dan Tuhan Roh al-Qudus (God The Holy Spirit) ~ kesatuan tiga
personaliti yang saling melengkapi di dalam satu zat iaitu zat Tuhan.

Jesus (Tuhan Anak) – penebus dosa warisan melalui pensaliban dirnya.

Holy Spirit – pembimbing Jesus dan pembersih jiwa manusia melalui kepercayaan tentang
kesucian pensaliban tersebut.

Tuhan Bapa – mencipta kedua-duanya sebagai tanda kasih Tuhan kepada makhlukNya.
(Subhanallah). (Al-Maidah:72-73)

Penyaksian bahawa tiada Tuhan melainkan Allah s.w.t dan Nabi Muhammad s.a.w adalah
Rasulullah secara jelas dan terang meletakkan penyaksian, ikrar dan pengiktirafan dengan
lisan dan hati – kedudukan Allah s.w.t sebagai Tuhan yang berhak disembah dan Nabi
Muhammad s.a.w sebagai nabi yang wajib diikuti.

Dua penyaksian ini diletakkan dalam satu rukun kerana ia saling berkait. Setiap amalan
tidak akan diterima kecuali ikhlas kerana Allah dan selaras dengan apa yang diajarkan oleh
Nabi Muhammad s.a.w. Akidah Islam menyediakan dua rujukan utama : Al-Quran dan Al-
Sunnah.

Dalam akidah Islam – alam terbahagi kepada dua : alam nyata yang boleh difikirkan oleh
akal dan ditanggapi oleh pancaindera dan alam ghaib yang berada di luar pengetahuan
manusia dan hanya boleh diketahui melalui saluran wahyu, Al-Hasyr:22. (reason why we
need Nabi s.a.w – we Muslim don’t simply make assumptions we follow our Prophet s.a.w,
he received direct guidance from Allah s.w.t)
Sumber : Asas Akidah I, Modul I, Usuluddin, 2010

You might also like