You are on page 1of 17

Asuhan Keperawatan Bermutu di Rumah Sakit

Pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan bentuk pelayanan yang diberikan kepada
klien oleh suatu tim multi disiplin termasuk tim keperawatan. Tim keperawatan
merupakan anggota tim kesehatan garda depan yang menghadapi masalah kesehatan
klien selama 24 jam secara terus menerus.

Tim pelayanan keperawatan memberikan pelayanan kepada klien sesuai dengan


keyakinan profesi dan standar yang ditetapkan. Hal ini ditujukan agar pelayanan
keperawatan yang diberikan senantiasa merupakan pelayanan yang aman serta dapat
memenuhi kebutuhan dan harapan klien.

Pelayanan kesehatan pada masa kini sudah merupakan industri jasa kesehatan utama
dimana setiap rumah sakit bertanggung gugat terhadap penerima jasa pelayanan
kesehatan. Keberadaan dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan ditentukan oleh
nilai-nilai dan harapan dari penerima jasa pelayanan tersebut. Disamping itu, penekanan
pelayanan kepada kualitas yang tinggi tersebut harus dapat dicapai dengan biaya yang
dapat dipertanggung-jawabkan.

Dengan demikian, semua pemberi pelayanan ditekan untuk menurunkan biaya pelayanan
namun kualitas pelayanan dan kepuasan klien sebagai konsumen masih tetap menjadi
tolak ukur (“benchmark”) utama keberhasilan pelayanan kesehatn yang diberikan
(Miloney, 2001).

Para penerima jasa pelayanan kesehatan saat ini telah menyadari hak-haknya sehingga
keluhan, harapan, laporan, dan tuntutan ke pengadilan sudah menjadi suatu bagian dari
upaya mempertahankan hak mereka sebagai penerima jasa tersebut. Oleh karena itu
industri jasa kesehatan menjadi semakin merasakan bahwa kualitas pelayanan merupakan
upaya kompetentif dalam rangka mempertahankan eksistensi pelayanan tersebut.

Selayaknaya industri jasa pelayanan menaruh perhatian besar dan menyadari bahwa
kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan ditentukan pula oleh kualitas berbagai
komponen pelayanan termasuk keperawatan dan sumber daya manusianya.

Kegiatan pelayanan keperawatan berkualiatas telah dimulai sejak seorang perawat


Muslim pertama yaitu Siti Rufaida pada jaman Nabi Muhammad S.A.W selalu berusahan
memberikan pelayanan terbaiknya bagi yang membutuhkan tanpa membedakan apakah
kliennya kaya atau miskin.

Demikian pula Florence Nightingale pada tahun 1858, telah berupaya memperbaiki
kondisi pelayayanan keperawatan yang diberikan kepada serdadu pada perang Krimen.
Dengan terjadinya perubahan diberbagai aspek kehidupan keperawatan pada saat ini telah
berkembang menjadi suatu profesi yang memiliki keilmuan unik yang menghasilkan
peningkatan minat dan perhatian diantara anggotanya dalam meningkatkan
pelayanannya.
Tujuan penulisan ini adalah menjelaskan tentang asuhan keperawatan bermutu di rumah
sakit, faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan, kendala serta upaya yang perlu
dilakukan agar asuhan keperawatan bermutu ini dapat dicapai dan dipertahankan.
Diharapkan, melalui tulisan yang sangat terbatas ini dapat diambil inti dan manfaatnya
sehingga dapat membantu meningkatkan asuhan keperawatan yang ada dan kemudian
akan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit seperti yang diharapkan.

Pelayan dan Asuhan Keperawatan

Pelayanan dan asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien merupakan bentuk
pelayanan profesional yang bertujuan untuk membantu klien dalam pemulihan dan
peningkatan kemampuan dirinya memalui tindakan pemenuhan kebutuhan klien secara
komprehensif dan berkesinambungan sampai klien mampu untuk melakukan kegiatan
rutinitasnya tanpa bantuan.

Bentuik pelayanan ini seyogyanya diberikan oleh perawat yang memiliki kemampuan
serta sikap dan kepribadian yang sesuai dengan tuntutan profesi keperawatan; dan untuk
itu tenaga keperawatan ini harus dipersiapkan dan ditingkatkan secara teratur, terrencana,
dan kontinyu.

Pelayanan keperawatan yang dilakukan di rumah sakit merupakan sistem pengelolaan


asuahan keperawatan yang diberikan kepada klien agar menjadi berdaya guna dan
berhasil guna. Sistem pengelolaan ini akan berhasil apabila seseorang perawat yang
memiliki tanggung jawab mengelola tersebut mempunyai pengatahuan tentang
manajemen keperawatan dan kemampuan meminpin orang lain di samping pengetahuan
dan keterampilan klinis yang harus dikuasainya pula.

Keberhasilan pengelola pelayanan keperawatan akan menimbulkan keberhasilan asuhan


keperawatan yang diberikan oleh para perawat pelaksananya. Demikian pula sebaliknya,
keberhasilan kerja para perawat pelakasana akan sangat tergantung dari upaya menejerial
keperawatan.

Pelayanan keperawatan di ruang rawat terdiri dari serangkaian kegiatan yang


dikoordinatori dan menjadi tanggung jawab kepala ruang rawat yang berperan sebagai
manajer. Pelayanan keperawatan profesional berfokus pada berbagai kegiatan pemenuhan
kebutuhan klien melalui intervensi keperawatan yang berlandaskan kiat dan ilmu
keperawatan.

Para manajer keperawatan senantiasa harus menjamin bahwa pelayanan yang diberikan
oleh para pelaksana keperawatan adalah pelayanan yang aman dan mementingkan
kenyamanan klien. Selain itu, para manajer perawat seyogyanya menggunakan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan/keperawatan sebagai upaya
untuk mewujudkan praktik keperawatan yang berdasarkan pengetahuan dan fakta
(knowledge/evidence based nursing practice) (Nurchmah, 2000).
Kelancaran pelayanan keperawatan di suatu ruang rawat baik rawat inap maupun rawat
jalan dipengaruhi oleh beberapa aspek anatara lain adanya;

• Visi, misi dan tujuan rumah sakit yang dijabarkan secara lokal ruang rawat.
• Struktur organisasi local, mekanisme kerja (standar-standar) yang diberlakukan di
ruang rawat.
• Sumber daya manusia keperawatan yang memadai baik kuantitas mapun kualitas.
• Metoda penugasan/pemberi asuhan dan landasan model pendekatan kepada klien
yang ditetapkan.
• Tersedianya berbagai sumber/fasilitas yang mendukung pencapaian kualitas
pelayanan yang diberikan.
• Kesadaran dan motivasi dari seluruh tanaga keperawatan yang ada.
• Komitmen dari pimpinan rumah sakit ( Nurachmah, 2000).

Seluruh aspek pelayanan keperawatan di atas sudah lama menjadi tuntutan suatu sistem
pelayanan kesehatan di rumah sakit agar pelayanan yang diberikan dapat memuaskan
klien dan keluarga pengguna jasa pelayanan kesehatan.

Tuntutan ini terjadi karena beberapa situasi yang telah terjadi pada dekade terakhir ini
menunjukkan bahwa;

• Keadaan ekonomi negara telah mempengaruhi aspek ekonomi sistem pelayanan


kesehatan termasuk sistem pembayaran pelayanan kesehatan dan asuransi
kesehatan.
• Makin meningkatnya tuntutan terhadap hasil pelayanan kesehatan yang
berkualitas.
• Ketatnya tuntutan dari profesi keperawatan yang sesuai standar dan
pemberdayaan tenaga keperawatan.
• Dampak perkembangan IPTEK kesehatan telah meningkatkan tekanan terhadap
pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien namun aman bagi konsumen
(Swansburg & Swansburg, 1999).

Dengan demikian, terwujudnya suatu bentuk pelayanan yang profesional ditentukan oleh
berbagai aspek yang perlu diperhatikan oleh setiap pimpinan dan penanggung jawab
pelayanan kesehatan demi untuk memnuhi kepentingan masyarakat yang dilayaninya.

Asuhan Keperawatan Bermutu

Asuhan keperawatan profesional diberikan kepada klien oleh tenaga keperawatan yang
memiliki kewenangan dan kompetensi yang telah ditetapkan oleh profesi. Asuhan
keperawatan ini seyogyanya berlandskan ilmu pengetahuan, prinsip dan teori
keperawatan serta keterampilan dan sikap sesuai dengan kompetensi dan kewenangan
yang diemban kepada perawat tersebut.

Asuhan keperawatan yang bermutu merupakan asuhan manusiawi yang diberikan kepada
klien, memenuhi standar dan kriteria profesi keperawatan, sesuai dengan standar biaya
dan kualitas yang diharapkan rumah sakit serta mampu mencapai tingkat kepuasan dan
memenuhi harapan klien. Kualitas asuhan keperawatan sangat ditentukan oleh berbagai
faktor antara lain: kondisi klien, pelayanan keperawatan termasuk tenaga keperawatan di
dalamnya, sistem manajerial dan kemampuan rumah sakit dalam melengkapi sarana
prasarana, serta harapan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan/keperawatan yang
diberikan di rumah sakit tersebut.

Asuhan keperawatan yang bermutu dan dapat dicapai jika pelaksanaan asuhan
keperawatan dipersepsikan sebagai suatu kehormatan yang dimiliki oleh para perawat
dalam memperlihatkan sebagai suatu kehormatan yang dimiliki oleh perawat dalam
memperlihatkan haknya untuk memberikan asuhan yang manusiawi, aman, serta sesuai
dengan standar dan etika profesi keperawatan yang berkesinambungan dan terdiri dari
kegiatan pengkajian, perencanaan, implementasi rencana, dan evaluasi tindakan
keperawatan yang telah diberikan.

Untuk dapat melaksanakan asuhan keperawatan dengan baik seorang perawat perlu
memiliki kemampuan untuk (1) berhubungan dengan klien dan keluarga, serta
berkomunikasi dengan anggota tim kesehatan lain; (2) mengkaji kondisi kesehatan klien
baik melalui wawancara, pemeriksaan fisik maupun menginterpretasikan hasil
pemeriksaan penunjang; (3) menetapkan diagnosis keperawatan dan memberikan
tindakan yang dibutuhkan klien; (4) mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah
diberikan serta menyesuaikan kembali perencanaan yang telah dibuat.

Disamping itu, asuhan keperawatan bermutu dapat dilaksanakan melalui pendekatan


metodologis keperawatan. Pendekatan ini dapat berupa pendekatan keperawatan tim,
modular, kasus, atau keperawatan primer (Grohar-Murray & DiCroce, 1997). Penetapan
pendekatan ini sangat dipengaruhi oleh visi, misi, dan tujuan rumah sakit dan ruang
rawat, ketersediaan tenaga keperawatan baik jumlah mapun kualifikasi, fasilitas fisik
ruangan, tingkat ketergantungan dan mobilitas klien, tersedianya prosedur dan standar
keperawatan, sifat ruangan dan jenis pelayanan keperawatan yang diberikan.

Dalam mewujudkan asuhan keperawatan bermutu diperlukan beberapa komponen yang


harus dilaksanakan oleh tim keperwatan yaitu (1) terlihat sikap caring ketika harus
memberikan asuhan keperawatan kepada klien, (2) adanya hubungan perawat - klien
yang terapeutik, (3) kolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain, dan (4) kemampun
dalam memenuhi kebutuhan klien, serta (5) kegiatan jaminan mutu (quality assurance).
Dengan demikian, upaya pimpinan rumah sakit dan manajerial keperawatan seyogyanya
difokuskan pada kelima komponen kegiatan tersebut yang akan diuraikan berikut ini.

a. Sikap “caring” perawat

Asuhan keperawatan bermutu yang diberikan oleh perawat dapat dicapai apabila perawat
dapat memperlihatkan sikap “caring” kepada klien. Dalam memberikan asuhan, perawat
menggunakan keahlian, kata-kata yang lemah lembut, sentuhan, memberikan harapan,
selalu berada disamping klien, dan bersikap “caring” sebagai media pemberi asuhan
(Curruth, Steele, Moffet, Rehmeyer, Cooper, & Burroughs, 1999). Para perawat dapat
diminta untuk merawat, namun meraka tidak dapat diperintah untuk memberikan asuhan
dengan menggunakan spirit “caring”.

Spirit “caring” seyogyanya harus tumbuh dari dalam diri perawat dan berasal dari hati
perawat yang terdalam. Spritit “caring” bukan hanya memperlihatkan apa yang
dikerjakan perawata yang bersifat tindakan fisik, tetapi juga mencerminkan siapa dia.
Oleh karenanya, setiap perawat dapat memperlihatkan cara yang berada ketika
memberikan asuhan kepada klien.

“Caring” merupakan pengetahuan kemanusiaan, inti dari praktik keperawatan yang


bersifat etik dan filosofikal. “Caring” bukan semata-mata perilaku. “Caring” adalah cara
yang memiliki makna dan memotivasi tindakan (Marriner-Tomey, 1994). “Caring”juga
didefinisikan sebagai tindakan yang bertujuan memberikan asuhan fisik dan perhatikan
emosi sambil meningkatkan rasa aman dan keselamatan klien (Carruth et all, 1999).

Sikap ini diberikan memalui kejujuran, kepercayaan, dan niat baik. Prilaku “caring”
menolong klien meningkatkan perubahan positif dalam aspek fisik, psikologis, spiritual,
dan sosial. Diyakini, bersikap “caring” untuk klien dan bekerja bersama dengan klien dari
berbagai lingkungan merupakan esensi keperawatan.

Watson menekankan dalam sikap”caring” ini harus tercermin sepuluh faktor kuratif
yaitu:

• Pembentukan sistem nilai humanistic dan altruistik. Perawat menumbuhkan rasa


puas karena mampu memberikan sesuatu kepada klien. Selain itu, perawat juga
memperlihatkan kemapuan diri dengan memberikan pendidikan kesehatan pada
klien.
• Memberikan kepercayaan - harapan dengan cara memfasilitasi dan meningkatkan
asuhan keperawatan yang holistik. Di samping itu, perawat meningkatkan prilaku
klien dalam mencari pertolngan kesehatan.
• Menumbuhkan sensitifan terhadap diri dan orang lain. Perawat belajar
menghargai kesensitifan dan perasaan kepada klien, sehingga ia sendiri dapat
menjadi lebih sensitif, murni, dan bersikap wajar pada orang lain.
• Mengembangan hubungan saling percaya. Perawat memberikan informasi dengan
jujur, dan memperlihatkan sikap empati yaitu turut merasakan apa yang dialami
klien.
• Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif klien. Perawat
memberikan waktunya dengan mendengarkan semua keluhan dan perasaan klien.
• Penggunaan sistematis metoda penyalesaian masalah untuk pengambilan
keputusan. Perawat menggunakan metoda proses keperawatan sebagai pola pikir
dan pendekatan asuhan kepada klien.
• Peningkatan pembelajaran dan pengajaran interpersonal, memberikan asuhan
mandiri, menetapkan kebutuhan personal, dan memberikan kesempatan untuk
pertumbuhan personal klien.
• Menciptakan lingkungan fisik, mental, sosiokultural, dan spritual yang
mendukung. Perawat perlu mengenali pengaruhi lingkungan internal dan
eksternal klien terhadap kesehatan kondisi penyakit klien.
• Memberi bimbingan dalam memuaskan kebutuhan manisiawi. Perawat perlu
mengenali kebutuhan komperhensif diri dan klien. Pemenuhan kebutuhan paling
dasar perlu dicapai sebelum beralih ke tingkat selanjutnya.
• Mengijinkan terjadinya tekanan yang bersifat fenomologis agar pertumbuhan diri
dan kematangan jiwa klien dapat dicapai. Kadang-kadang seseorang klien perlu
dihadapkan pada pengalaman/pemikiran yang bersifat profokatif. Tujuannya
adalah agar dapat meningkatkan pemahaman lebih mendalam tentang diri sendiri.

Kesepuluh faktor karatif ini perlu selalui dilakukan oleh perawat agar semua aspek dalam
diri klien dapat tertangani sehingga asuhan keperawatan profesional dan bermutu dapat
diwujudkan. Selain itu, melalui penerapan faktor karatif ini perawat juga dapat belajar
untuk lebih memahami diri sebelum mamahami orang lain.
Keperawatan merupakan suatu proses interpersonal yang terapeutik dan signifikan. Inti
dari asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien adlah hubungan perawat-klien yang
bersifat profesional dengan penekanan pada bentuknya tinteraksi aktif antara perawat dan
klien. Hubungan ini diharapkan dapat memfasilitasi partisipasi klien dengan memotivasi
keinginan klien untuk bertanggung jawab terhadap kondisi kesehatannya.

b. Hubungan perawat-klien

Hubungan perawat dan klien adalah suatu bentuk hubungan terapeutik/profesional dan
timbal balik yang bertujuan untuk meningkatkan efektifitas hasil intervensi keperawatan
melalui suatu proses pembinaan pemahaman tentang dua pihak yang sedang
berhubungan. Hubungan profesional ini diprakasai oleh perawat melaui sikap empati dan
keinginan berrespon (“sense of responsiveness”) serta keinginan menolong klien (“sense
of caring”).

Menurut Peplau, dalam membina hubungan profesional ini, kedua pihak seyogyanya
harus melewati beberapa tahapan (Marriner-Tomey, 1994) yaitu : (1) tahap orientasi ; (2)
tahap identifikasi ; (3) tahap eksploitasi ; dan tahap resolusi.

Pada tahap orientasi, setelah saling memperkenalkan diri, perawat berupaya menolong
klien mengidentifikasi maslah yang sedang dihadapi klien. Penjelasan, penekanan perlu
dikemukakan oleh perawat agar klien menyakini masalah atau beberapa masalah yang
perlu diatasi. Tahap identifikasi terjadi ketika klien mampu mampu mengidentifikasi
sesorang atau beberapa orang yang dapat menolongnya. Pada tahap ini perawat memberi
kesempatan klien untuk mengkaji lebih jauh perasaan tentang diri, penyakit, dan
kemampuan yang dimilikinya.

Tujuannnya adalah agara perawat dapat membimbing klien periode penyakitnya sebagai
pengalaman yang memungkinkan klien mengenali kembali perasaan dan kekuatan
internal yang pernah dimiliki sehingga dapat memberikan kepuasan yang diperlukan
klien.
Tahap eksploitasi terjadi ketika klien mampu menguraikan nilai dan penghargaan yang
dia peroleh dari hubungan profesional dari hubungan profesional antara perawat dan
dirinya. Beberapa tujuan baru yang perlu dicapai melalui upaya diri klien dapat
dikemukakan oleh perawat, dan kekuatan akan dialihkan oleh perawata kepada klien
apabila klien mengalami hambatan akibat ia tidak mampu mencapai tujuan baru tersebut.

Tahap akhir dari hubungan profesional perawat - klien adalah tahap resolusi ditandai
dengan tercapainya tujuan yang telah ditetapkan dan tidak lagi menjadi prioritas kegiatan
klien. Pada tahap ini klien membebaskan diri dari keterkaitannya dengan perawat dan
menunjukkan kemampuannya untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan dirinya.
Keempat tahapan dalam hubungaan profesional ini dapat terjadi tumpang tindih antara
satu tahapan dengan tahapan berikutnya.

Dalam membina hubungan profesional, asuhan keperawatan juga merupakan media


edukatif dimana suatu kekuatan internal yang kokoh dari seseorang perawat dapat
mempengaruhi klein untuk meningkatkan perilaku dan kepribadian klein selama sakit ke
arah kehidupan yang kreatif, konstruktif, dan produktif. Bberapa peran perlu diemban
opelh perawat ketika menjalankan dan membina hubungan profesional yaitu : (1) peran
sebagai orang asing (“starnger”), (2) narasumber (“resource person”), (3) pendidik
(‘teacingrole”), (4) pemimpin (“leadersip role”), dan (5) peran pengganti (“surrogate
role”) (Marriner-Tomey, 1994).

Keberhasilahn hubungan profesional/terapeutik anatara perawat dan klien sangat


menentukan keberhasilan hasil tindakan yang diharapkan. Disamping itu, hubungan
profesional yang baik anatara perawat-klien dapat menghindari, memprediksi, dan
mengantisipasi berbagai penyulit yang mungkin terjadi. Oleh karena itu, berbagai peran
diatas seyogyanya menjadi fokus perhatian perawat ketika menolong klien melewati
tahapan dlam hubungan profesionalnya dengan perawat (Nurachah, 2000).

c. Kemampuan perawat dalam memenuhi kebutuhan klien

Asuhan keperawatan bermutu marupakan rangkaian kegiatan keperawatan yang


diorientasi pada klein. Asuhan keperawatan bermutu yang diberikan kepada klien
dipengaruhi oleh kemampuan perawat dalam berrespon terhadap keluhan dan masalah
klien serta upaya memenuhi kebuutuhan klien. Hendreson menetapkan 14 kebutuhan
klien yang seyogyanya dapat dipenihi oleh perawat (Marriner-Tomey, 1994). Namun,
karena masalah klien sangat unik dan kebutuhannya sangat individual maka perawat
senatiasa harus meningkatkan diri agar selalu memiliki kemapuan dan pengetahuan yang
diperlukan dalam membantu klien menyelesaikan masalahnya.

Kemampuan perawat memenuhi kebutuhan klien dapat dipengaruhi beberapa oleh faktor
antara lain: tingkat ketergantungan klien, sistem penugasan, kelengkapan fasilitas,
kewenangan dan kompetensi yang dimiliki oleh tanaga keperawatan sebagai
pelaksana dan kemampuan manajer keperawatan adalam mengorganisasikan
pekerjaan kepada bawahan.
Seorang perawat profesional yang telah dibekali dengan pengetahuan mengelola
pelayanan keperawatan dan keterampilan klinis yang mamadai akan mampu
mengorganisir dan menyesuaikan antara pekerjaan yang akan dilaksanakan, sarana yang
tersedia, dan kemampuan tenaga perawatnya. Selain itu dalam mengelola ruangan
khususnya tenaga keperawatan, maka perawat manajer juga harus mampu menjamin
bahwa para perawat pelaksana memiliki kemampuan untuk meberikan asuhan
keperawatan bermutu. Untuk itu ia harus merancang program peningkatan kemapuan
perawata baik melalui jalur pendidikan formal maupun informal.

Peningkatan kemampuan perawat melalui jalur formal dapat ditempuh melalui berbagai
tingkatan yaitu pendidikan ners generalis, ners spesialis, mapun ners konsultan. Selain
itu, dapat ditempuh melalui jalur informal yaitu program pendidikan perawat berlanjut
(“continuing nurse education”). Program ini dapat diselenggarakan oleh rumah sakit
bekerja sama dengan institusi pendidikan tinggi keperawatan dan dengan organisasi
profesi. Kedua program peningkatan kemampuan perawat ini memerlukan suatu
rancangan ketenagaan yang matang dan sesuai dengan visi dan misi serta tujuan rumah
sakit.

Disamping kedua jalur pendidikan tersebut di atas, kemapuan dan pengetahuan perawat
dapat juga dicapai melalui kegiatan komunitas profesi di rumah sakit. Komunitas profesi
ini memfasilitasi dan menyelenggaarakan berbagai kegiatan ilmiah antara lain diskusi
kasus, pembahasan jurnal keperawatan, artikel/riset keperawatan, dan melakukan riset
keperawatan klinik bersama atau individual. Selain itu, sistem menorship atau
perceptorship akan dapat membantu mewujudkan situasi kerja yang kondusif untuk
belajar bagi semua pearawat.

d. Kolaborasi/kemitraan

Kaloborasi merupakan salah satu model interaksi yang terjadi diantara dan antar praktisi
klinik selama pemberian pelayanan kesehatan/keperawatan. Kolaborasi meliputi kegiatan
berkomunikasi parallel, berfungsi parallel, bertukar informasi, berkoordinasi,
berkonsultasi, mengelola kasus bersama (ko-manajemen), serta merujuk.

Kolaborasi merupakan suatu pengakuan keahlian seseorang oleh orang lain di dalam
maupun di luar profesi orang tersebut (ANA, 1995, 12). Kaloborasi ini juga merupakan
proses interpersonal dimana dua orang atau lebih membuat suatu komitmen untuk
berinteraksi secara kontruktif untuk menyelesaikan masalah klien dan mencapai tujuan,
target atau hasil yang ditetapkan.

Para individu ini mengenali dan mengartikulasikan nilai-nilai yang membuat komitmen
ini menjadi terwujud. Kemampuan mewujudkan komitmen untuk berinteraksi secara
kontruktif tergantung dari persamaan persepsi, tentang tujuan bersama, kompetensi
klinik, dan kemapuan interpersonal, humor, keprcayaan, menghargai dan menghormati
pengetahuan dan praktik keilmuan yang berbeda (Hanson & Spross, 1996).
Terwujudnya suatu kolaborasi tergantung pada beberapa kreiteria yaitu (1) adanya rasa
saling percaya dan menghormati, (2) saling memahami dan menerima keilmuan masing-
masing, (3) memiliki citra diri positif, (4) memiliki kematangan profesional yang setara
(yang timbul dari pendidikan dan pengalaman), (5) mengakui sebagai mitra kerja bukan
bawahan, dan (6) keinginan untuk bernegosiasi (Hanson & Spross, 1996).

Inti dari suatu hubungan kolaborasi adalah adanya perasaan saling tergantung
(interdependensi) untuk kerja sama dan bekerja sama. Bekerja bersama dalam suatu
kegiatan dapat memfasilitasi kolaborasi yang baik. Kerjasama mencerminkan proses
koordinasi pekerjaan agar tujuan auat target yang telah ditentukan dapat dicapai. Selain
itu, menggunakan catatan klien terintegrasi dapat merupakan suatu alat untuk
berkomunikasi anatar profesi secara formal tentang asuhan klien.

e. Kegiatan menjamin mutu

Asuhan keperawatan bermutu hanya dapat dicapai dan dipertahankan apabila disertai
dengan kegiatan dan rencana untuk mempertahankan mutu asuhan tersebut. Kegiatan
jaminan mutu (“quality assurance”) adalah membandingkan antara standar yang telah
ditetapkan dengan tingkat pencapaian hasil.

Kegiatan jaminan kualitas pelayanan/asuhan keperawatan merupakan kegiatan menilai,


memantau, atau mengatur pelayanan yang berorientasi pada konsumen (klien). Dalam
keperawatan, tujuan asuhan bermutu adalah untuk menjamin mutu sambil pada saat yang
sama mencapai tujuan institusi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Keberhasilan pelaksanaan kegiatan menjamin mutu dipengaruhi oleh beberapa faktor


anatara lain dukungan dari manager puncak (pimpinan rumah sakit), terutama terkait
dengan dukungan biaya dan sumebr daya manusia. Selain itu, pencapaian kriteria
keberhasilan perlu disepakati. Seandainya instuisi menginginkan pelayanan keperawatan
adalah pelayanan terbaik di suatu wilayah, maka standar dan kriteria keberhasilannya
perlu ditetapkan optimal dan bukan minimal.

Kegiatan jaminan mutu dapat meliputi aspek struktur, proses, dan outcome. Kegiatan
penilaian dan pemantauan dalam pelayanan keperawatan juga selayaknya diarahkan pada
ketiga aspek tersebut. Oleh karena itu, standar pelayanan, kriteria keberhasilan, alat
pengukur perlu dikembangkan, dan tahapan dlam pelaksanaan kegiatan menjamin mutu
perlu ditetapkan.

Strategi untuk kegiatan jaminan mutu antara lain dengan benchmarking dan manajemen
kualitas total (total quality management) (Marquis & Huston, 1998). Benchmarking atau
meneliti praktik terbaik (“best practice research”) adalah kegaiatan mengkaji kelemahan
tertentu instiusi dan kemudian mengidentifikasi instuisi lain yang memiliki keunggulan
dalam aspek yang sama. Kegaiatan dilanjutkan dengan berkomunikasi, menetapkan
kesepakatan kerjasama untuk mendukung dan meningkatkan kelemahan tersebut
(Marquis & Huston, 1998).
Manajer pelayanan keperawatan di rumah sakit dapat pula bekerjasama dengan rumah
sakit lain yang tidak saling berkompetensi untuk meningkatkan satu atau beberapa aspek
yang dianggap lemah. Kerjasama ini bersifat konfidensial dan hanya meningkatkan aspek
yang dianggap masih lemah.

Manajemen kualitas total dilakukan berdasarkan harapan bahwa individu merupakan


fokus produksi dan pelayanan. Penakanan manajeman kualitas total adalah
mengidentifikasi dan melakukan kegiatan dengan benar, cara yang benar, waktu yang
sesuai dan mencegah masalah. Strategi menjamin kualitas ini sangat menyerap biaya
karena proses ini terus menerus, dan setiap subyek maupun kegiatan diarahkan pada
peningkatan secara berkesinambungan.

Strategi lain dari kegiatan jaminan mutu ynag bersifat kontemporer adalah penggunaan
“critical patways”. Critical pathways adalah menetapkan kemajuanj yang harus dicapai
klien sejak saat klien diterima di rumah sakit. Keuntungan cara ini adalah standar
pencapaian yang ditetapkan untuk seorang klien dapat diterapkan untuk klien lain yang
berdiagnosis sama. Namun, kelemahannya adalah tidak dapat mengakomodasi keunikan
individual klien. Selain itu, pendokumentasian critical pathways memerlukan banyak
catatan dan pengkajian ulang (Marquis & Huston).

Pelaksanaan kegiatan jaminan mutu pelayanan keperawatan di rumah sakit dapat pula
dilakukan dalam bentuk kegiatan pengendalian mutu (“quality control”). Kegaiatannya
dapat dilaksanakan dalam dua tingkat yaitu tingkat rumah sakit dan tingkat ruang rawat.
Tingkat rumah sakit dapat dilaksanakan dengan cara mengembangkan tim gugus kendali
mutu yang memiliki program baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Kegiatan menilai mutu pada tingkat rumah sakit, akan diawali dengan penetapan kriteria
pengendalian, mengidentifikasi informasi yang relevan dengan kriteria, menetapkan cara
mengumpulakan informasi/data, mengumpulkan dan menganailisis informasi/data,
membandingkan informasi dengan kriteria yang telah ditetapkan, menetapkan keputusan
tentang kualitas, memperbaiki situasi sesuai hasil yang diperoleh, dan menetapkan
kembali cara mengumpulkan informasi (Marquis & Huston, 2000).

Ada 10 indikator kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit yaitu : (1) angka infeksi
nosokomial, (2) angka kejadian klien jatuh/kecelakaan, (3) tingkat kepuasan klien
terhadap pelayanan kesehatan, (4) tingkat kepusan klien terhadap pengelolaan nyeri dan
kenyamanan, (5) tingkat kepuasan klien terhadap informasi/pendidikan kesehatan, (6)
tingkat kepuasan klien terhadap asuhan keprawtan, (7) upaya mempertahankan integritas
kulit, (8) tingkat kepasan perawat, (9) kombinasi kerja anatara perawat profesional dan
non profesional, (10) total jam asuhan keperawatan per klien per hari (Marquis & Huston,
1998).

Pada tingkat ruangan, selain ada individu ruangan yang duduk sebagai wakil pada tim
gugus kendali mutu rumah sakit, maka seyogyanya dibentuk pula tim ruangan yang
disebut tim sirkulasi kualitas. Tim sirkulus kualitas yang terdiri dari tiga sampai empat
orang perawat ruangan ini berfungsi untuk mengidentifikasi masalah-masalah pelayanan
keperawatan tingkat ruangan, membahas masalah di dalam tim, menyusun beberapa
alternatif solusi, dan menyampaikan kepada kepala ruangan untuk ditetapkan solusi yang
akan diambil dan dilaksanakan oleh ruangan. Sementara itu, tim ini akan bekerjasama
kembali mengidentifikasikan masalah-masalah lain yang terjadi. Siklus kegiatan akan
berjalan seperti sebelumnya.

Faktor yang perlu dipertimbangkan

Ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan oleh para manajer keperawatan di
rumah sakit dalam meningkatkan dan mempertahankan asuhan keperawatan yang
bermutu yaitu persepsi dari klien, profesi keperawatan, dan dari pimpinan rumah sakit.
Berbagai persepsi ini perlu untuk dijadikan asupan dan dikaji lebih lanjut untuk
menetapkan kegiatan peningkatan kualitas asuhan keperawatan. Berikut ini dijelaskan
tentang persepsi dari ketiga pihak tersebut.

Persepsi klien tentang asuhan keperawatan bermutu dan tingkat kepuasan

Asuhan keperawatan bermutu dipersepsikan klien dan keluarga sebagai pelayanan yang
dapat memenuhi harapan klien. Klien mengharapkan penghargaan atas uang yang telah
mereka berikan dan mengharapkan kualitas pelayanan sesuai dengan yang dibutuhkan.
Pada saat ini makin banyak klien yang menuntut untuk diberikan informasi tentang
kondisi kesehatannya dan keputusan yang terkait dengan tindakan medik/keperawatan
yang akan diterimanya. Perhatian mereka diarahkan seluruhnya pada spektrum pelayanan
kesehatan yang merka terima selama berada di rumah sakit (Wesley, 1992).

Klein menghargai perawat sebagai seseorang yang memiliki kualitas diri, sikap, cara dan
kepribadian yang spesifik, serta selalu berada dengan klien dan bersedia setiap saat
menolong klien (Kitson, 1998). Perawat diharapkan perannya untuk selalu berada di
saping tempat tidur klien, siap setiap saat ketika diperlukan, cepat tanggap terhadap
berbagai keluhan, dan turut melaksanakan apa yang klien sedang alami.

Klien menginginkan perawat yang melayaninya memiliki sikap baik, murah senyum,
sabar, mampu berbahasa yang mudah difahami, serta berkeinginan menolong yang tulus
dan mampu menghargai klien dan pendapatnya. Mereka mengharapkan perawat memiliki
pengetahuan yang memadai tantang kondisi penyakitnya sehingga perawat mampu
mengatasi setiap keluhan yang dialami oleh individual klien (Meyers & Gray, 2001).

Selama perawatan di rumah sakit, klein yang sedang mengalami kondisi kritis kadang-
kadang menganggap dirinya berada di luar tubunh dan lingkungannya. Kesatua erat
antara diri dan tubuhnya menjadi terganggu. Ia mengganggap tubuhnya merupakan benda
asing yang sering tidak bisa bekerjasama lagi selama sakitnya (Morse, Bottorff, &
Hutchinson, 1995). Hal ini menyebabkan ia merasa sangat tergantung pada perawat. Bagi
klien dalam kondisi seperti apapun perawat tidak memiliki hak untuk menolak keinginan
dan harapan klien (Kitson,1998).

Kepuasan klien merupakan suatu situasi dimana klien dan keluarga mengganggap bahwa
biaya yang dikeluarkan sesuai dengan kualitas pelayanan yang diterima dan tingkat
kemajuan kondisi kesehatan yang dialaminya. Mereka merasa pelayanan yang diberikan
merupakan penghargaan terhadap diri dan kehormatan yang dimilikinya. Selain itu
mereka merasakan manfaat lain setelah dirawat yaitu pengetahuan tentang penyakit dan
dirinya menjadi bertambah. Namun sebaliknya, klien jarang untuk mencoba
mempertimbangkan apakah pelayanan keperawatan yang diberikan itu merupakan upaya
yang efektif dan efisien dilihat dari segi waktu, tenaga, dan sumber daya yang digunakan
(Wensley, 1992).

Persepsi profesi keperawatan tentang asuhan keperawatan bermutu

Asuhan keperawatan bermutu menurut persepsi para pelaksanan keperawatan akan dapat
dipenuhi tergantung dari beberapa faktor yaitu : (1) apabila perawat diberikan
kewenangan utuh untuk mendesain, mengatur, melaksanakan, dan mengevaluasikan
pelayanan keperawatan yang diberikan ; (2) pelayanan keperawatan diberikan dalam
lingkungan kerja praktik keperawatan profesional ; (3) kualifikasi dan jumlah tenaga
keperawatan memadai ; (4) tersedianya sarana dan prasarana yang dapat memperlancar
kegiatan keperawatan seperti peralatan medik (obat-obatan, set infus, katater, dll),
peralatan keperawatan (alat tenun cukup, materi pencegahan infeksi, nosokomial, dll),
peralatan pendukung keperawatan (formulir rencana keperawatan, dll); (5)
diberlakukannya sistem penghargaan (promosi dan kompensasi) memadai yang
memungkinkan perawat tidak harus berpikir tentang kepentingan diri, pendidikan, dan
masa depan karirinya.

Asuhan keperawatan yang bermutu dapat dicapai apabila perawat yang memberikan
asuhan tersebut memiliki kompetensi dan kewenangan melalui pendidikan keperawtan
yang sesuai. Menurut Lydia Hall, yang mengembangkan teori care, core dan cure serta
Henderson yang mengembangkan model pemenuhan 14 kebutuhan klien bahwa hanya
perawat yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi keperawatan yang mampu
memberikan asuhan keperawatan profesional, karena mereka telah dibekali dengan
pengetahuan dan kemampuan menyelesaikan masalah klien secara memadai (Marriner-
Tomey,1994).

Persepsi manajer RS terhadap asuhan keperawatan bermutu

Palayanan kesehatan yang bermutu termasuk pelayanan keperawatan adlah pelayanan


yang diberikan oleh tim kesehatan dimana pelayanan tersebut diberikan secara efektif dan
efisien. Bagi manajer rumah sakit, kualitas dinilai dari besaran biaya yang terkendali.
Selain itu, menurut manajer rumah sakit, asuhan keperawatan bermutu dapat dicapai
apabila perawat memperlihatkan kinerjanya dengan baik, patuh pada pimpinan,
melaksanakan keinginan klien, dan ramah terhadap klien serta keluarganya. Disamping
itu, perawat juga ditekankan untuk menggunakan sumber-sumber secara efisien.

Asuhan keperawatan yang bermutu sering dipersepsikan memiliki indikator tunggal yaitu
tingkat kemampuan tenaga keperawatan dalam memberikan pelayanan kepada klien.
Asuhan keperawawatan yang tidak sesuai dengan harapan klien. Keperawatan menjadi
kambing hitam yang tidak berdaya. Hal ini karena tenaga keperawatan merupakan tenaga
kesehatan yang berada paling lama bersama klien.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa asuhan keperawatan tidak dapat


dilaksanakan dengan baik apabila situasi dan proses kegiatan pelaksanaan pekerjaan tidak
memadai. Oleh karena itu, sudah selayaknya pimpinan rumah sakit memberikan cukup
perhatian pada kondisi kerja yang dapat memprihatinkan yang berpotensi menimbulkan
ketidak-puasan kerja sehingga dapat menurunkan kualitas pelayanan (Reuters Health,
2001).

Kendala dalam mewujudkan asuhan keperawatan bermutu

Asuhan kesehatan bermutu dapat diwujudkan apabila terdapat di rumah sakit khususnya
keperawatan. Upaya untuk mewujudkan asuhan keperawatan bermutu tidak selalu dapat
berjalan lancar. Ada beberapa kendala yang perlu diperhatikan oleh setiap pimpinan
rumah sakit dan para manajer keperawatan di rumah sakit, yaitu;

• Perubahan status rumah sakit menjadi perusahaan jawatan swadana. Perubahan ini
menjadi rumah sakit memiliki nilai sosial yang minimal dan mulai berorientasi
pada profit. Pada situasi seperti ini rumah sakit akan menakankan efisiensi dan
efektifitas. Kualitas pelayanan yang sifatnya kompetitif harus dapat dicapai dalam
rentang biaya yang terkendali (“cost containtment”).
• Kemampuan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan
khususnya keperawatan. Dengan adanya anggaran biaya yang terkendali
pimpinan rumah sakit akan lebih berfokus pada penyediaan pelayanan dan
peralatan yang bernilai jual tinggi.
• Pemahaman pimpinan rumah sakit tentang pelayanan keperawatan profesional
dimana bentuk praktik keperawatan profesional. Banyak pimpinan rumah sakit
yang tidak memahami praktik keperawtan profesional dimana bentuk praktik ini
memungkinkan perawat memiliki otonomi penuh terhadap pelayanan yang
diberikan.
• Pemahaman para perawat pelaksana tentang visi, misi, dan tujuan rumah sakit.
Kurangnya sosialisasi tentang visi, misi, dan tujuan rumah sakit menyebabkan
perawat pelaksana tidak memahami arah dan tujuan yang akan dicapai.
• Ketersediaan tenaga perawat profesional yang mampu melaksanakan asuhan
keperawtan profesional. Banyak rumah sakit yang lebih tenaga keperawatan
profesional dibandingkan dengan profesional. Perawat non profesional
dibandingkan yang dapat dipertanggung jawabkan dan hanya menjalankan
instruksi tim medik sehingga asuhan keparawatan menjadi terfragmentasi dan
tidak manusiawi.
• Kewenangan yang dimiliki oleh bidang keperawatan dalam mendesain, mengatur,
melaksanakan, dan menilai sistem pelayanan keperawatan di rumah sakit. Bidang
keperawatan tidak memiliki kewenangan penuh terhadap bidang tanggung
jawabnya menyebabkan pengambilan keputusan menjadi terhambat dan
pelaksanaan tindakan menjadi tidak lancar.
• Pemahaman manajer keperawatan tentang peran yang diemban. Masih banyak
kepala bidang keperawatan yang tidak menyadari perannya sebagai pemantau
kualitas kinerja dan pelayanan keperawatan , sebagai supervisor ruangan yang
aktif, fasilitator pendidikan keperawatan berlanjut, koordinator pelaksana
berbagai kebijakan rumah sakit, inisiator perubahan, negosietor, fasilitator dan
motivasor kinerja serta iklim kerja yang kondusif, collective bargainer dan
problem solver.
• Sistem penghargaan bagi tenaga keperawatan. Banyak rumah sakit yang belum
membakukan sistem penghargaan yang dapat memotivasi kinerja keperawatan.
• Pengakuan keprofesian keperawatan. Keperawatan masih belum diakui secara
penuh sebagai profesi kesehtan sehingga menimbulkan keragu-raguan dikalangan
keprawatan untuk dapat berkontribusi seperti anggota profesi kesehatan lain.
• Penghargaan masyarakat. Perawat dihargai secara tinggi karena perawatan dan
dukungan psikososial yang telah diterima masyarakat. Namun masyarakat masih
belum menghargai perawat seperti mereka menghargai dokter.
• Metoda kombinasi tenaga profesional dan non profesional keperawatan. Banyak
rumah sakit yang mengkombinasikan tenaga keperawatan profesional dan non
profesional dalam proporsi yang memprihatinkan sehingga menyulitkan
terwujudnya asuhan keperawatan bermutu.

Semua kendala di atas memerlukan pemikiran dan tindak lanjut yang tegas dan jelas agar
tujuan rumah sakit untuk mewujudkan pelayanan keperawatan yang bermutu dapat
dicapai. Untuk itu, diperlukan terobosan dan partisipasi aktif dari seluruh komponen
rumah sakit. Selain itu, komitmen dan keterbukaan diantara pimpinan rumah sakit dan
bidang keperawatan perlu ditingkatkan untuk mempermudaah upaya pencapaian tujuan.

Penutup

Pelayanan keperawatan di rumah sakit merupakan bagian utama dari pelayanan kesehatan
yang diberikan kepada klien. Oleh karena itu, kualitas pelayanan kesehatan sangat
ditentukan oleh kualitas pelayanan keperawatan. Kualitas pelayanan keperawatan
dipengaruhi oleh keefektifan perawat dalam memberikan asuhan kepada klien. Berbagai
persepsi tentang kualitas asuhan perlu menjadi asupan positif bagi para manajer
keperawatan. Hal ini agar tujuan rumah sakit untuk memberikan pelayanan kesehatan
berkualitas dapat dipenuhi.

Asuhan keperawatan bermutu dapat diberikan oleh tenaga keperawatan yang telah
dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan klinik yang memadai serta memiliki
kemapuan : mebina hubungan profesional dengan klien, berkolaborasi dengan anggota
tim kesehatan lain, melaksanakan kegiatan menjamin mutu, kemampuan memenuhi
kebutuhan klien, dan memperlihatkan sikap”caring”. Asuhan keperawatan bermutu
seyogyanya berorientasi pada klien sehingga klien dapat mencapai tingkat kepuasan
terhadap pelayanan yang diterima.

Beberapa kendala dapat terjadi dan menghambat terwujudnya asuhan keperawatan


bermutu. Namun demikian, upaya yang bersifat manajerial dan non manajerial dapat
dilakukan untuk meminimalisasi kendala tersebut.

Dalam usaha memperkecil pengaruh case mix untuk menilai tingkat efisiensi digunakan indikator yang lebih
tajam, indikator yang dimaksud adalah:
y

Av LOS pasien prabedah


Pasien yang akan dioperasi biasanya harus menjalani pemeriksaan radiologi dan laboratorium serta perlu
observasi t erhadapkeadaan tertentu. Jadi sebelum operasi pasien t elah menggunakan jasa r umah sakit
yang
tidaksedikit. Lebihbanyakpe m eriksaan atau lebihlamaobs ervasi tentunyal ebihbanyakm enggunakans um ber
daya rumahsakit. A garefisiensimakapem borosan harus ditekan. Bertambahsingkat Av LOSprabedah,
bertambah hemat atau bertambah efisien pelayanan yang diberikan.
y

Av LOS penyakit tertentua tautr acer conditions.


Telah disusun k elompok-kelompok diagnosis penyakit yang tidak berbeda banyak cara penganannya mediknya,
tidakberbedabanyak Av LOS-nya, dan hampirsamamenyerap sumber dayanya. Kelompokpenyakit ini disebut
Diagnosis Related Group (DRG). Dalam DRG ini ada 83kelompok diagnesisy ang masih terbagi lagi menjadi 383
subkelompok.
INDIKATOR PENILAIAN
Untuk menilai pemanfaatan tenaga dipergunakan indikator:
y

-Rasio kunjungan dengan jumlah tenagaperawat jalan.


y

-Rasio jumlah hariperawatan dengan jumlah tenagaperawat inap.


y

-Rasio jumlahpaisien intensif dengan jumlah tenagaperawat yangm elayani.


y

-Rasio persalinan dengan tenagabidan yangm elayani.


Indikator untuk penilaian cakupan pelayanan adalah:
y

-Rata-rata kunjunganper hari


y

-Rata-rata kunjunganbaru per hari


y

-Rasio kunjunganbaru dengan total kunjungan


y

-J um lah rata-ratapasienugdper hari


y

-Rata-ratapasien intensif per hari


y

-Rata-ratapasien intensif perhari


y

-Rata-ratape m eriksaan radiologiper hari


y

-Prosentase r/ yang dilayani terhadap r/ rumahsakit


y

-Prosentase item obat dalam formularium


y

-J um lahpe layanan ambulans


y

-Rasio b anyaknyacucian denganpasien rawat inap


y

-Prosentase penyediaanmakanan khusus


y

-Rasio p asien rawat jalan terhadap jumlahpenduduk dalam, catchment area


y

- Admission use rate


y

- Hospitalization rate
Mutu pelayananditinjaudari GDR & NDR
1. Angka Kematian Kasar/CDR (%) = <45%
2. Angka Kematian Netto/NDR (%) = <25%

STANDAR PELAYANAN MINIMAL RUMAH SAKIT


1.Standard Pelayanan Rumah Sakit
Adalah penyelenggaraan pelayanan manajemen r umah sakit, pelayanan medik, pelayanan penunjang dan
pelayanan keperawatan baik rawat inap maupun rawat jalan yang minimalharusdiselenggarakan oleh
rumahsakit.
2. Indikator
Merupakan variabel ukuran atautolok ukur yang dapat menunjukkan indikasi-indikasi t erjadinya perubahan
tertentu. Untukm engukur kinerja rumahsakit adabe berapa indikator, yaitu:
a. I nput, yang dapatm engukurpadabahan alatsistem prosedur atau o rang yangm em berikanpe layanan
misalnya jumlah dokter, kelengkapan alat, prosedur t etapdan lain-lain.
b. Proses, yang dapat mengukur perubahan pada saat pelayanan yang misalnya kecepatan pelayanan,
pelayanan dengan ramah dan lain-;ain.
c. Output, yang dapat menjadi tolok ukur pada hasil yang dicapai, misalnya jumlah yang dilayani, jumlah
pasien yang dioperasi, kebersihan ruangan.
d. Outcome, yangmenjadi tolokukur danmerupakan dampak dari hasil pelayanansebagaimisalnya
keluhanpasien yangm erasa tidakpuas terhadap pelayanan danlain-lain.

e. Benefit, adalah tolok ukur dari keuntungan yang diperoleh pihak rumah sakit maupun penerima pelayanan atau pasien
yang misal biaya pelayanan yang lebih murah, peningkatan pendapatan rumah sakit.

f. Impact, adalah tolok ukur dampak pada lingkungan atau masyarakat luas misalnya angka kematian ibu
yangm enurun,m eningkatnya derajat kesehatanmasyarakat,m eningkatnya kesejahteraan karyawan.
3. Standar adalah spesifikasi t eknisatau sesuatu yang dibakukan sebagai patokan dalam melakukan
kegiatan. Standar ini dapat ditentukanberdasarkan kesepakatanpropinsi, kabupaten/kotas es uai dengan
evidence base.
4. Bahwa rumah Sakit sesuai dengan tuntutan daripada kewenangan wajib yang harusdilaksanakan oleh
rumahsakitpropinsi/kabupaten/kota,maka harus memberikanpe layananuntuk keluargamiskin dengan
biaya ditanggung oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
5.Secara khusus selain pelayanan yang harusdiberikan kepada masyarakat wilayah setempat maka rumah
sakit juga harus meningkatkan manajemen di dalamrumah sakit yaitu meliputi:
a. M anajemen SumberdayaManusia.
b. Manajemen Keuangan.
c. Manajemen Sistem Informasi Rumah Sakit, kedalam dan keluar rumah sakit.
d. Saranaprasarana.
e. Mutu Pelayanan.

Pelayanan Medik

Kode Etik Kedokteran Indonesia

Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety), Depkes 2006

Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP), KKP-RS, 2007

Standar Pelayanan Rumah Sakit, Depkes, 1999

Petunjuk Pelaksanaan Indikator Mutu Pelayanan Rumah Sakit, WHO-Depkes, 2001

Indikator Kinerja Rumah Sakit, Depkes, 2005


Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Yang Baik Di Indonesia, KKI, 2006

Manual Komunikasi Efektif Dokter-Pasien, KKI, 2006

You might also like