You are on page 1of 29

SISTEM HUKUM DAN PERADILAN INTERNASIONAL

SISTEM HUKUM DAN PERADILAN INTERNASIONAL


A. Pengertian Hukum Internasional
Pada dasarnya yang dimaksud hukum internasional dalam pembahasan ini adalah hukum
internasional publik, karena dalam penerapannya, hukum internasional terbagi menjadi
dua, yaitu: hukum internasional publik dan hukum perdata internasional.
Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, yang bukan bersifat perdata.
Sedangkan hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang
mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara, dengan perkataan lain, hukum
yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing
tunduk pada hukum perdata yang berbeda. (Kusumaatmadja, 1999; 1)
Awalnya, beberapa sarjana mengemukakan pendapatnya mengenai definisi dari hukum
internasional, antara lain yang dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya De Jure Belli ac
Pacis (Perihal Perang dan Damai). Menurutnya “hukum dan hubungan internasional
didasarkan pada kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua negara. Ini
ditujukan demi kepentingan bersama dari mereka yang menyatakan diri di dalamnya ”.
Sedang menurut Akehurst : “hukum internasional adalah sistem hukum yang di bentuk
dari hubungan antara negara-negara”
Definisi hukum internasional yang diberikan oleh pakar-pakar hukum terkenal di masa
lalu, termasuk Grotius atau Akehurst, terbatas pada negara sebagai satu-satunya pelaku
hukum dan tidak memasukkan subjek-subjek hukum lainnya.
Salah satu definisi yang lebih lengkap yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai
hukum internasional adalah definisi yang dibuat oleh Charles Cheny Hyde :
“ hukum internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan hukum yang sebagian
besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negara-
negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka
satu dengan lainnya, serta yang juga mencakup :
a. organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional satu dengan lainnya,
hubungan peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga atau
antara organisasi internasional dengan negara atau negara-negara ; dan hubungan antara
organisasi internasional dengan individu atau individu-individu ;
b. peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan
subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities) sepanjang hak-hak dan
kewajiban-kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara tersebut bersangkut paut
dengan masalah masyarakat internasional” (Phartiana, 2003; 4)

Sejalan dengan definisi yang dikeluarkan Hyde, Mochtar Kusumaatmadja mengartikan


’’hukum internasional sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang
mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara, antara negara
dengan negara dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum
bukan negara satu sama lain’’. (Kusumaatmadja, 1999; 2)
Berdasarkan pada definisi-definisi di atas, secara sepintas sudah diperoleh gambaran
umum tentang ruang lingkup dan substansi dari hukum internasional, yang di dalamnya
terkandung unsur subyek atau pelaku, hubungan-hubungan hukum antar subyek atau
pelaku, serta hal-hal atau obyek yang tercakup dalam pengaturannya, serta prinsip-prinsip
dan kaidah atau peraturan-peraturan hukumnya.
Sedangkan mengenai subyek hukumnya, tampak bahwa negara tidak lagi menjadi satu-
satunya subyek hukum internasional, sebagaimana pernah jadi pandangan yang berlaku
umum di kalangan para sarjana sebelumnya.

B. Sejarah dan Perkembangan Hukum Internasional


Hukum internasional sebenarnya sudah sejak lama dikenal eksisitensinya, yaitu pada
zaman Romawi Kuno. Orang-orang Romawi Kuno mengenal dua jenis hukum, yaitu Ius
Ceville dan Ius Gentium, Ius Ceville adalah hukum nasional yang berlaku bagi
masyarakat Romawi, dimanapun mereka berada, sedangkan Ius Gentium adalah hukum
yang diterapkan bagi orang asing, yang bukan berkebangsaan Romawi.
Dalam perkembangannya, Ius Gentium berubah menjadi Ius Inter Gentium yang lebih
dikenal juga dengan Volkenrecth (Jerman), Droit de Gens (Perancis) dan kemudian juga
dikenal sebagai Law of Nations (Inggris). (Kusumaatmadja, 1999 ; 4)
Sesungguhnya, hukum internasional modern mulai berkembang pesat pada abad XVI,
yaitu sejak ditandatanganinya Perjanjian Westphalia 1648, yang mengakhiri perang 30
tahun (thirty years war) di Eropa. Sejak saat itulah, mulai muncul negara-negara yang
bercirikan kebangsaan, kewilayahan atau territorial, kedaulatan, kemerdekaan dan
persamaan derajat. Dalam kondisi semacam inilah sangat dimungkinkan tumbuh dan
berkembangnya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional. (Phartiana,
2003 ; 41)
Perkembangan hukum internasional modern ini, juga dipengaruhi oleh karya-karya tokoh
kenamaan Eropa, yang terbagi menjadi dua aliran utama, yaitu golongan Naturalis dan
golongan Positivis.
Menurut golongan Naturalis, prinsip-prinsip hukum dalam semua sistem hukum bukan
berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari prinsip-prinsip yang berlaku secara
universal, sepanjang masa dan yang dapat ditemui oleh akal sehat. Hukum harus dicari,
dan bukan dibuat. Golongan Naturalis mendasarkan prinsip-prinsip atas dasar hukum
alam yang bersumber dari ajaran Tuhan. Tokoh terkemuka dari golongan ini adalah Hugo
de Groot atau Grotius, Fransisco de Vittoria, Fransisco Suarez dan Alberico Gentillis.
(Mauna, 2003 ; 6)
Sementara itu, menurut golongan Positivis, hukum yang mengatur hubungan antar negara
adalah prinsip-prinsip yang dibuat oleh negara-negara dan atas kemauan mereka sendiri.
Dasar hukum internasional adalah kesepakatan bersama antara negara-negara yang
diwujudkan dalam perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan internasional. Seperti
yang dinyatakan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya Du Contract Social, La loi
c’est l’expression de la Volonte Generale, bahwa hukum adalah pernyataan kehendak
bersama. Tokoh lain yang menganut aliran Positivis ini, antara lain Cornelius van
Bynkershoek, Prof. Ricard Zouche dan Emerich de Vattel
Pada abad XIX, hukum internasional berkembang dengan cepat, karena adanya faktor-
faktor penunjang, antara lain : (1) Setelah Kongres Wina 1815, negara-negara Eropa
berjanji untuk selalu menggunakan prinsip-prinsip hukum internasional dalam
hubungannya satu sama lain, (2). Banyak dibuatnya perjanjian-perjanjian (law-making
treaties) di bidang perang, netralitas, peradilan dan arbitrase, (3). Berkembangnya
perundingan-perundingan multilateral yang juga melahirkan ketentuan-ketentuan hukum
baru.
Di abad XX, hukum internasional mengalami perkembangan yang sangat pesat, karena
dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut: (1). Banyaknya negara-negara baru yang lahir
sebagai akibat dekolonisasi dan meningkatnya hubungan antar negara, (2). Kemajuan
pesat teknologi dan ilmu pengetahuan yang mengharuskan dibuatnya ketentuan-ketentuan
baru yang mengatur kerjasama antar negara di berbagai bidang, (3). Banyaknya
perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat, baik bersifat bilateral, regional maupun
bersifat global, (4). Bermunculannya organisasi-organisasi internasional, seperti
Perserikatan Bangsa Bangsa dan berbagai organ subsidernya, serta Badan-badan Khusus
dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyiapkan ketentuan-ketentuan baru
dalam berbagai bidang. (Mauna, 2003; 7)

C. Sumber-sumber Hukum Internasional


Pada azasnya, sumber hukum terbagi menjadi dua, yaitu: sumber hukum dalam arti
materiil dan sumber hukum dalam arti formal. Sumber hukum dalam arti materiil adalah
sumber hukum yang membahas materi dasar yang menjadi substansi dari pembuatan
hukum itu sendiri.
Sumber hukum dalam arti formal adalah sumber hukum yang membahas bentuk atau
wujud nyata dari hukum itu sendiri. Dalam bentuk atau wujud apa sajakah hukum itu
tampak dan berlaku. Dalam bentuk atau wujud inilah dapat ditemukan hukum yang
mengatur suatu masalah tertentu.
Sumber hukum internasional dapat diartikan sebagai:
1. dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional;
2. metode penciptaan hukum internasional;
3. tempat diketemukannya ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dapat
diterapkan pada suatu persoalan konkrit. (Burhan Tsani, 1990; 14)
Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum
internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:
1. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum, maupun
khusus;
2. Kebiasaan internasional (international custom);
3. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-
negara beradab;
4. Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui
kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan. (Phartiana, 2003;
197)

D. Subyek Hukum Internasional


Subyek hukum internasional diartikan sebagai pemilik, pemegang atau pendukung hak
dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada awal mula, dari kelahiran
dan pertumbuhan hukum internasional, hanya negaralah yang dipandang sebagai subjek
hukum internasional
Dewasa ini subjek-subjek hukum internasional yang diakui oleh masyarakat
internasional, adalah:
1. Negara
Menurut Konvensi Montevideo 1949, mengenai Hak dan Kewajiban Negara, kualifikasi
suatu negara untuk disebut sebagai pribadi dalam hukum internasional adalah:
a. penduduk yang tetap;
b. wilayah tertentu;
c. pemerintahan;
d. kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain

1. Organisasi Internasional
Klasifikasi organisasi internasional menurut Theodore A Couloumbis dan James H.
Wolfe :
a. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan maksud dan
tujuan yang bersifat umum, contohnya adalah Perserikatan Bangsa Bangsa ;
b. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan tujuan
yang bersifat spesifik, contohnya adalah World Bank, UNESCO, International Monetary
Fund, International Labor Organization, dan lain-lain;
c. Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan tujuan
global, antara lain: Association of South East Asian Nation (ASEAN), Europe Union.

1. Palang Merah Internasional


Sebenarnya Palang Merah Internasional, hanyalah merupakan salah satu jenis organisasi
internasional. Namun karena faktor sejarah, keberadaan Palang Merah Internasional di
dalam hubungan dan hukum internasional menjadi sangat unik dan di samping itu juga
menjadi sangat strategis. Pada awal mulanya, Palang Merah Internasional merupakan
organisasi dalam ruang lingkup nasional, yaitu Swiss, didirikan oleh lima orang
berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin oleh Henry Dunant dan bergerak di bidang
kemanusiaan. Kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang Merah Internasional
mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara, yang kemudian membentuk Palang
Merah Nasional di masing-masing wilayahnya. Palang Merah Nasional dari negar-negara
itu kemudian dihimpun menjadi Palang Merah Internasional (International Committee of
the Red Cross/ICRC) dan berkedudukan di Jenewa, Swiss. (Phartiana, 2003; 123)

1. Tahta Suci Vatikan


Tahta Suci Vatikan di akui sebagai subyek hukum internasional berdasarkan Traktat
Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia dan Tahta Suci Vatikan
mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran tersebut pada sisi lain
dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas eksistensi Tahta Suci sebagai pribadi
hukum internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan kewenangannya, tidak
seluas tugas dan kewenangan negara, sebab hanya terbatas pada bidang kerohanian dan
kemanusiaan, sehingga hanya memiliki kekuatan moral saja, namun wibawa Paus sebagai
pemimpin tertinggi Tahta Suci dan umat Katholik sedunia, sudah diakui secara luas di
seluruh dunia. Oleh karena itu, banyak negara membuka hubungan diplomatik dengan
Tahta Suci, dengan cara menempatkan kedutaan besarnya di Vatikan dan demikian juga
sebaliknya Tahta Suci juga menempatkan kedutaan besarnya di berbagai negara.
(Phartiana, 2003, 125)

1. Kaum Pemberontak / Beligerensi (belligerent)


Kaum belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu
negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara
yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus
berkembang, seperti perang saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan
meluas ke negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil oleh adalah
mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri
sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh
pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti
bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati
status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional
1. Individu
Pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah hukum internasional yang memberikan
hak dan membebani kewajiban serta tanggungjawab secara langsung kepada individu
semakin bertambah pesat, terutama setelah Perang Dunia II. Lahirnya Deklarasi
Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada
tanggal 10 Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak asasi
manusia di berbagai kawasan, dan hal ini semakin mengukuhkan eksistensi individu
sebagai subyek hukum internasional yang mandiri.
7. Perusahaan Multinasional
Perusahaan multinasional memang merupakan fenomena baru dalam hukum dan
hubungan internasional. Eksistensinya dewasa ini, memang merupakan suatu fakta yang
tidak bisa disangkal lagi. Di beberapa tempat, negara-negara dan organisasi internasional
mengadakan hubungan dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang kemudian
melahirkan hak-hak dan kewajiban internasional, yang tentu saja berpengaruh terhadap
eksistensi, struktur substansi dan ruang lingkup hukum internasional itu sendiri.

E. Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional


Ada dua teori yang dapat menjelaskan bagaimana hubungan antara hukum internasional
dan hukum nasional, yaitu: teori Dualisme dan teori Monisme.
Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional, merupakan dua
sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum
nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai hubungan
superioritas atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum
nasional memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar
keduanya, maka yang diutamakan adalah hukum nasional suatu negara.
Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling
berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah
lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut
teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum
internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional.
(Burhan Tsani, 1990; 26)

F. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai.


Ketentuan hukum internasional telah melarang penggunaan kekerasan dalam hubungan
antar negara. Keharusan ini seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi mengenai
Penyelesaian Sengketa-Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag pada
tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat (3) Piagan
Perserikatan bangsa-Bangsa dan selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum
Internasional mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar Negara. Deklarasi
tersebut meminta agar “semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai
sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan internasional dan keadilan tidak sampai
terganggu”.
Penyelesaian sengketa secara damai dibedakan menjadi: penyelesaian melalui pengadilan
dan di luar pengadilan. Yang akan dibahas pada kesemapatan kali ini hanyalah
penyelesaian perkara melalui pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan dapat
ditempuh melalui:
1. Arbitrase Internasional
Penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase internasional adalah pengajuan
sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih secara bebas oleh para pihak, yang
memberi keputusan dengan tidak harus terlalu terpaku pada pertimbangan-pertimbangan
hukum. Arbitrase adalah merupakan suatu cara penerapan prinsip hukum terhadap suatu
sengketa dalam batas-batas yang telah disetujui sebelumnya oleh para pihak yang
bersengketa. Hal-hal yang penting dalam arbitrase adalah :
(1). Perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap proses arbitrase, dan
(2). Sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum. (Burhan Tsani, 1990; 211)
Secara esensial, arbitrase merupakan prosedur konsensus, karenanya persetujuan para
pihaklah yang mengatur pengadilan arbitrase.
Arbitrase terdiri dari seorang arbitrator atau komisi bersama antar anggota-anggota yang
ditunjuk oleh para pihak atau dan komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang
diajukan oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain.
Pengadilan arbitrase dilaksanakan oleh suatu “panel hakim” atau arbitrator yang dibentuk
atas dasar persetujuan khusus para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang telah ada.
Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan compromis (kompromi) yang memuat:
1. persetujuan para pihak untuk terikat pada keputusan arbitrase;
2. metode pemilihan panel arbitrase;
3. waktu dan tempat hearing (dengar pendapat);
4. batas-batas fakta yang harus dipertimbangkan, dan;
5. prinsip-prinsip hukum atau keadilan yang harus diterapkan untuk mencapai suatu
kesepakatan. (Burhan Tsani, 1990, 214)
Masyarakat internasional sudah menyediakan beberapa institusi arbitrase internasional,
antara lain:
1. Pengadilan Arbitrase Kamar Dagang Internasional (Court of Arbitration of the
International Chamber of Commerce) yang didirikan di Paris, tahun 1919;
2. Pusat Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Internasional (International Centre for
Settlement of Investment Disputes) yang berkedudukan di Washington DC;
3. Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Asia (Regional Centre for Commercial
Arbitration), berkedudukan di Kuala Lumpur, Malaysia;
4. Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Afrika (Regional Centre for Commercial
Arbitration), berkedudukan di Kairo, Mesir. (Burhan Tsani; 216)
1. Pengadilan Internasional
Pada permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa mendorong masyarakat internasional
untuk membentuk suatu badan peradilan yang bersifat permanent, yaitu mulai dari
komposisi, organisasi, wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat sebelumnya dan bebas
dari kehendak negara-negara yang bersengketa.
Pasal 14 Liga Bangsa-Bangsa menugaskan Dewan untuk menyiapkan sebuah institusi
Mahkamah Permanen Internasional. Namun, walaupun didirikan oleh Liga Bangsa-
Bangsa, Mahkamah Permanen Internasional, bukanlah organ dari Organisasi
Internasional tersebut. Hingga pada tahun 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia II,
maka negara-negara di dunia mengadakan konferensi di San Fransisco untuk membentuk
Mahkamah Internasional yang baru. Di San Fransisco inilah, kemudian dirumuskan
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional.
Menurut Pasal 92 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa disebutkan bahwa Mahkamah
Internasional merupakan organ hukum utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Namun sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional yang baru ini, pada dasarnya
hanyalah merupakan kelanjutan dari Mahkamah Internasional yang lama, karena banyak
nomor-nomor dan pasal-pasal yang tidak mengalami perubahan secara signifikan
Secara umum, Mahkamah Internasional mempunyai kewenangan untuk:
1. melaksanakan “Contentious Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara biasa, yang
didasarkan pada persetujuan para pihak yang bersengketa;
2. memberikan “Advisory Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang bersifat nasehat.
Advisory Opinion tidaklah memiliki sifat mengikat bagi yang meminta, namun biasanya
diberlakukan sebagai “Compulsory Ruling”, yaitu keputusan wajib yang mempunyai
kuasa persuasive kuat (Burhan Tsani, 1990; 217)
Sedangkan, menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber
hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:
1. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum, maupun
khusus;
2. Kebiasaan internasional (international custom);
3. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-
negara beradab;
4. Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui
kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan.

Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex aequo et bono,


yaitu didasarkan pada keadilan dan kebaikan, dan bukan berdasarkan hukum, namun hal
ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar negara-negara yang bersengketa. Keputusan
Mahkamah Internasional sifatnya final, tidak dapat banding dan hanya mengikat para
pihak. Keputusan juga diambil atas dasar suara mayoritas.
Yang dapat menjadi pihak hanyalah negara, namun semua jenis sengketa dapat diajukan
ke Mahkamah Internasional.
Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan oleh salah satu pihak secara unilateral,
namun kemudian harus ada persetujuan dari pihak yang lain. Jika tidak ada persetujuan,
maka perkara akan di hapus dari daftar Mahkamah Internasional, karena Mahkamah
Internasional tidak akan memutus perkara secara in-absensia (tidak hadirnya para pihak).
G. Peradilan-Peradilan Lainnya di Bawah Kerangka Perserikatan Bangsa-bangsa
1. Mahkamah Pidana Internasional (International Court of Justice/ICJ)
Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak pembentukannya telah memainkan peranan penting
dalam bidang hukum inetrnasional sebagai upaya untuk menciptakan perdamaian dunia.
Selain Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) yang berkedudukan
di Den Haag, Belanda, saat ini Perserikatan Bangsa-bangsa juga sedang berupaya untuk
menyelesaikan “hukum acara” bagi berfungsinya Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court/ICC), yang statuta pembentukannya telah disahkan melalui
Konferensi Internasional di Roma, Italia, pada bulan Juni 1998. Statuta tersebut akan
berlaku, jika telah disahkan oleh 60 negara.
Berbeda dengan Mahkamah Internasional, yurisdiksi (kewenangan hukum) Mahkamah
Pidana Internasional ini, adalah di bidang hukum pidana internasional yang akan
mengadili individu yang melanggar Hak Asasi Manusia dan kejahatan perang, genosida
(pemusnahan ras), kejahatan humaniter (kemanusiaan) serta agresi.
Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak secara otomatis terikat dengan
yurisdiksi Mahkamah ini, tetapi harus melalui pernyataan mengikatkan diri dan menjadi
pihak pada Statuta Mahkamah Pidana Internasional. (Mauna, 2003; 263)

2. Mahkamah Kriminal Internasional untuk Bekas Yugoslavia (The International


Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY)

Melalui Resolusi Dewan Keamanan Nomor 827, tanggal 25 Mei 1993, Perserikatan
Bangsa-Bangsa membentuk The International Criminal Tribunal for the Former
Yugoslavia, yang bertempat di Den Haag, Belanda. Tugas Mahkamah ini adalah untuk
mengadili orang-orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran-pelanggaran berat
terhadap hukum humaniter internasional yang terjadi di negara bekas Yugoslavia.
Semenjak Mahkamah ini dibentuk, sudah 84 orang yang dituduh melakukan pelanggaran
berat dan 20 diantaranya telah ditahan.
Pada tanggal 27 Mei 1999, tuduhan juga dikeluarkan terhadap pemimpin-pemimpin
terkenal, seperti Slobodan Milosevic (Presiden Republik Federal Yugoslavia), Milan
Milutinovic (Presiden Serbia), yang dituduh telah melakukan kejahatan terhadap
kemanusiaan dan melanggar hukum perang. (Mauna, 2003; 264)

3. Mahkamah Kriminal untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda)


Mahkamah ini bertempat di Arusha, Tanzania dan didirikan berdasarkan Resolusi Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 955, tanggal 8 November 1994. tugas
Mahkamah ini adalah untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku kejahatan
pembunuhan missal sekitar 800.000 orang Rwanda, terutama dari suku Tutsi. Mahkamah
mulai menjatuhkan hukuman pada tahun 1998 terhadap Jean-Paul Akayesu, mantan
Walikota Taba, dan juga Clement Kayishema dan Obed Ruzindana yang telah dituduh
melakukan pemusnahan ras (genosida) . Mahkamah mengungkap bahwa bahwa
pembunuhan massal tersebut mempunyai tujuan khusus, yaitu pemusnahan orang-orang
Tutsi, sebagai sebuah kelompok suku, pada tahun 1994.
Walaupun tugas dari Mahkamah Kriminal Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan
Mahkamah Kriminal untuk Rwanda belum selesai, namun Perserikatan Bangsa-Bangsa
juga telah menyiapkan pembentukan mahkamah- untuk Kamboja untuk mengadili para
penjahat perang di zaman pemerintahan Pol Pot dan Khmer Merah, antara tahun 1975
sampai dengan 1979 yang telah membunuh sekitar 1.700.000 orang.
Jika diperkirakan bahwa tugas Mahkamah Peradilan Yugoslavia dan Rwanda telah
menyelesaikan tugas mereka, maka Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan
mengeluarkan resolusi untuk membubarkan kedua Mahkamah tersebut, yang
sebagaimana diketahui memiliki sifat ad hoc (sementara). (Mauna, 2003; 265)

REFERENSI
Ardiwisastra Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional, Bunga Rampai, Alumni,
Bandung
Brownlie Ian, 1999, Principles of Public International Law, Fourth Edition, Clarendon
Press, Oxford
Burhantsani, Muhammad, 1990; Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta :
Penerbit Liberty.
Kusamaatmadja Mochtar, 1999, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan ke-9, Putra
Abardin
Mauna Boer, 2003, Hukum Internasional; Pengertian, Peran dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Cetakan ke-4, PT. Alumni, Bandung
Phartiana I Wayan, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Mandar maju,
Bandung
Situni F. A. Whisnu, 1989, Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum
Internasional, Penerbit Mandar Maju, Bandung

Sistem Hukum dan Perdilan Internasional

Standar Kompetensi : Menganalisis Sistem Hukum dan peradilan Internasional


Kompetensi Dasar : 1. Mendeskripsikan system hukum dan peradilan Internasional
2. Menjelaskan penyebab timbulnya sengketa internasional dan cara penyelesaian oleh
mahkamah internasional.
3. Menghargai putusan Mahkamah Internasional

A. Makna Hukum Internasional


Menurut Mochtar Kusumaatmaja, Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan
asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas Negara, antara Negara
dengan Negara, dan Negara dengan subyek hukum internasional bukan Negara, atau
antar subyek hukum internasional bukan Negara satu sama lain.
Hukum Internasional digolongkan menjadi hukum Internasional Publik dengan hukum
perdata internasional. Hukum Internasional Publik atau hukum antar negara, adalah asas
dan kaidah hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang bersifat pidana,
sedangkan hukuk perdata internasional atau hukum antar bangsa, yang mengatur masalah
perdata lintas Negara (perkawinan antar warga Negara suatu Negara dengan warga
Negara lain).
Wiryono Prodjodikoro, Hukum Internasional adalah hukum yang mengatur perhubungan
hukum antara berbagai bangsa di berbagai Negara.
J.G.Starke menyatakan, Hukum Internasional adalah sekumpulan hukum (body of low)
yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dank arena itu biasanya ditaati dalam hubungan
antar Negara.
B. Asas – asas hukum Internasional
Menurut Resolusi majelis Umum PBB No. 2625 tahun 1970, ada tujuh asas, yaitu :

1. Setiap Negara tidak melakukan ancaman agresi terhadap keutuhan wilayah dan
kemerdekaan Negara lain. Dalam asas ini ditekankan bahwa setiap Negara tidak
memberikan ancaman dengan kekuatan militer dan tidak melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan piagam PBB.
2. setiap Negara harus menyelesaikan masalah internasional dengan cara damai, Dalam
asas ini setiap Negara harus mencari solusi damai, menghendalikan diri dari tindakan
yang dapat membahayakan perdamaian internasional.
3. Tidak melakukan intervensi terhadap urusan dalam negeri Negara lain, Dalam asas ini
menekankan setip Negara memiliki hak untuk memilih sendiri keputusan politiknya,
ekonomi, social dan system budaya tanpa intervensi pihak lain.
4. Negara wajib menjalin kerjasama dengan Negara lain berdasar pada piagam PBB,
kerjasama itu dimaksudkan untuk menciptakan perdamaian dan keamanan internasional
di bidang Hak asasi manusia, politik, ekonomi, social budaya, tekhnik, perdagangan.
5. Asas persaman hak dan penentuan nasib sendiri, kemerdekaan dan perwujudan
kedaulatan suatu Negara ditentukan oleh rakyat.
6. Asas persamaan kedaulatan dari Negara, Setiap Negara memiliki persamaan
kedaulatan secara umum sebagai berikut :
a. Memilki persamaan Yudisial (perlakuan Hukum).
b. Memilikimhak penuh terhadap kedaulatan
c. Setiap Negara menghormati kepribadian Negara lain.
d. Teritorial dan kemerdekanan politi suatu Negara adalah tidak dapat diganggu gugat.
e. Setap Negara bebas untuk membangun system politik, soaial, ekonomi dan sejarah
bansanya.
f. Seiap Negara wajib untuk hidup damai dengan Negara lain.
7. Setiap Negara harus dapat dipercaya dalam memenuhi kewajibannya, pemenuhan
kewajiban itu harus sesuai dengan ketentuan hukum internasional.

B. Subyek Hukum Internasional


Adalah pihak-pihak yang membawa hak dan kewajiban hukum dalam pergaulan
internasional. Menurut Starke, subyek internasional termasuk Negara, tahta suci, Palang
merah Internasional, Organisasi internasional, Orang perseorangan (individu),
Pemberontak dan pihak-pihak yang bersengketa.

• Negara, negara sudah diakui sebagi subyek hukum internasional sejak adanya hukum
international, bahkan hukum international itu disebut sebagai hukum antarnegara.
• Tahta Suci (Vatikan) Roma Italia, Paus bukan saja kepoala gereja tetapi memiliki
kekuasaan duniawi, Tahta Suci menjadi subyek hukum Internasional dalam arti penuh
karena itu satusnya setara dengan Negara dan memiliki perwakilan diplomatic diberbagai
Negara termasuk di Indonesia.
• Palang Merah Internasional, berkedudukan di jenewa dan menjadi subyek hukum
internasional dalam arti terbatas, karena misi kemanusiaan yang diembannya.
• Organisasi Internasional, PBB, ILO memiliki hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam
konvensi-konvensi internasional, sehingga menjadi subyek hukum internasional.
• Orang persorangan (Individu), dapat menjadi subyek internasional dalam arti terbatas,
sebab telah diatur dalam perdamaian Persailes 1919 yang memungkinkan orang
perseorangan dapat mengajukan perkara ke hadapat Mahkamah Arbitrase Internasional.
• Pemberontak dan pihak yang bersengketa, dalam keadaan tertentu pemberontak dapat
memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dan mendapat
pengakuan sedbagai gerakan pembebasan dalam memuntut hak kemerdekaannya. Contoh
PLO (Palestine Liberalism Organization) atau Gerakan Pembebasan Palestina.

C. Sumber-Sumber Internasional
Adalah sumber-sumber yang digunakan oleh Mahkamah Internasional dalam
memutuskan masalah-masalah hubungan internasional. Sumber hukum internasional
dibedakan menjadi sumber hukumdalam arti materil dan formal. Dalam arti materil,
adalah sumber hukum internasional yang membahas dasar berlakunya hukum suatu
Negara. Sedangkan sumber hukum formal, adalah sumber dari mana untuk mendapatkan
atau menemukan ketentuan-ketentuan hukum internasional.
Menurut Brierly, sumber hukum internasional dalam arti formal merupakan sumber yang
paling utama dan memiliki otoritas tertinggi dan otentik yang dipakai Mahkamah
internasional dalam memutuskan suatu sengketa internasional.
Sumber hukum internasional formal terdapat dalam pasal 38 Piagam Mahkamah
Internasional Permanen 1920, sebagai berikut :
1. Perjanjian Internasional (traktat), adalah perjanjian yang diadakan antaranggota
masyarakat bangsa-bangsa dan mengakibatkan hukum baru.
2. Kebiasaan Internasional yang diterima sebagai hukum, jadi tidak semua kebiasaan
internasional menjadi sumber hukum. Syaratnya adalah kebiasann itu harus bersifat
umum dan diterima sebagi hukum.
3. Asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab, adalah asas hukum yang
mendasari system hukum modern. Sistem hukum modern, adalah system hukum positif
yang didasarkan pada lembagaa hukum barat yang berdasarkan sebagaian besar pada asas
hukum Romawi.
4. Keputusan-keputusan hakim dan ajaran para ahli hukum Internasional,adalah sumber
hukum tambahan (subsider), artinya dapat dipakai untuk membuktikan adanya kaidah
hukum internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan pada sumber hukum
primer atau utama yaitu Perjanjian internasional, kebiasaan internasional, dan asas hukum
umum.
Yang disebut denga keputusan hakim, adalah keputusan pengadilan dalam arti luas yang
meliputi segala macam peradilan internasional dan nasional, termasuk mahkamah
arbitrase. Ajaran para ahli hukum internasional itu tidak bersifat mengikat, artinya tidak
dapat menimbulkan suatu kaidah hukum.

D. Lembaga Peradilan Internasional

1. Mahkamah Internasional :

Mahkamah internasional adalah lembaga kehakiman PBB berkedudukan di Den Haag,


Belanda. Didirikan pada tahun 1945 berdasarkan piagam PBB, berfungsi sejak tahun
1946 sebagai pengganti dari Mahkamah Internasional Permanen.
Mahkamah Internasional terdiri dari 15 hakim, dua merangkap ketua dan wakil ketua,
masa jabatan 9 tahun. Anggotanya direkrut dari warga Negara anggota yang dinilai cakap
di bidang hukum internasional. Lima berasal dari Negara anggota tetap Dewan
Keamanan PBB seperti Cina, Rusia, Amerika serikat, Inggris dan Prancis.

Fungsi Mahkamah Internasional:


Adalah menyelesaikan kasus-kasus persengketaan internasional yang subyeknya adalah
Negara. Ada 3 kategori Negara, yaitu :
• Negara anggota PBB, otomatis dapat mengajukan kasusnya ke Mahkamah
Internasional.
• Negara bukan anggota PBB yang menjadi wilayah kerja Mahkamah intyernasional. Dan
yang bukan wilayah kerja Mahkamah Internasional boleh mengajukan kasusnya ke
Mahkamah internasional dengan syarat yang ditentukan dewan keamanan PBB.
• Negara bukan wilayah kerja (statute) Mahkamah internasional, harus membuat
deklarasi untuk tunduk pada ketentuan Mahjkamah internasional dan Piagam PBB.

Yuridikasi Mahkamah Internasional :


Adalah kewenangan yang dimilki oleh Mahkamah Internasional yang bersumber pada
hukum internasional untuk meentukan dan menegakkan sebuah aturan hukum.
Kewenangan atau Yuridiksi ini meliputi:
• Memutuskan perkara-perkara pertikaian (Contentious Case).
• Memberikan opini-opini yang bersifat nasehat (Advisory Opinion).

Yuridikasi menjadi dasar Mahkamah internasional dalam menyelesaikan sengketa


Internasional. Beberapa kemungkinan Cara penerimaan Yuridikasi sbb :
• Perjanjian khusus, dalam mhal ini para pihak yang bersengketa perjanjian khusus yang
berisi subyek sengketa dan pihak yang bersengketa. Contoh kasus Indonesia degan
Malaysia mengenai Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
• Penundukan diri dalam perjanjian internasional, Para pihak yang sengketa
menundukkan diri pada perjanjian internasional diantara mereka, bila terjadi sengketa
diantara para peserta perjanjian.
• Pernyataan penundukan diri Negara peserta statute Mahkamah internasional, mereka
tunduk pada Mahkamah internasional, tanpa perlu membuat perjanjiankhusus.
• Keputusan Mahkamah internasional Mengenai yuriduksinya, bila terjadi sengketa
mengenai yuridikasi Mahkamah Internasional maka sengketa tersebut diselesaikan
dengan keputusan Mahkamah Internasional sendiri.
• Penafsiran Putusan, dilakukan jika dimainta oleh salah satu atau pihak yang
bersengketa. Penapsiran dilakukan dalambentuk perjanjian pihak bersengketa.
• Perbaikan putusan, adanya permintaan dari pihak yang bersengketa karena adanya fakta
baru (novum) yang belum duiketahui oleh Mahkamah Internasional.

2. Mahkamah Pidana Internasional :


Bertujuan untuk mewujudkan supremasi hukum internasional dan memastikan pelaku
kejahatan internasional. Terdiri dari 18 hakim dengan masa jabatan 9 tahun dan ahli
dibidang hukum pidana internasional. Yuridiksi atau kewenangan yang dimiliki oleh
Mahkamah Pidana Internasional adalah memutus perkara terhadap pelaku kejahatan berat
oleh warga Negara dari Negara yang telah meratifikasi Statuta Mahkamah.

3. Panel Khusus dan Spesial Pidana internasional :


Adalah lembaga peradilan internasional yang berwenang mengadili para tersangka
kejahatan berat internasional yang bersifat tidak permanen atau sementara (ad hoc) dalam
arti setelah selesai mengadili maka peradilan ini dibubarkan. Yuridiksi atau kewenangan
darai Panel khusus dan special pidana internasional ini, adalah menyangkut tindak
kejahatan perang dan genosida (pembersihan etnis) tanpa melihat apakah Negara dari si
pelaku itu telah meratifikasi atau belum terhadap statute panel khusus dan special pidana
internasional ini. Contoh Special Court for East Timor dan Indonesia membentuk
Peradilan HAM dengan UU No. 26 tahun 2000.

D. Sebab-sebab terjadinya Sengketa Internasional


Sengketa internasional (International despute), adalah perselisihan yang terjadi antara
Negara dengan Negara, Negara dengan individu-individu, atau Negara dengan lembaga
internasional yang menjadi subyek hukum internasional.
Sebab-sebab sengketa internasional :
1. Salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dalam mperjanjiann internasional.
2. Perbedaan penafsiran mengenai isi perjanjian internasional
3. Perebutan sumber-sumber ekonomi
4. Perebutan pengaruh ekonomi, politik, atau keamanan regional dan internasional.
5. Adanya intervensi terhadap kedayulatan Negara lain.
6. Penghinaan terhadap harga diri bangsa.

E. Cara penyelesaian Sengketa internasional


Ada dua cara penyelesaian segketa internasional, yaitu secara damai dan paksa,
kekerasan atau perang.
• Penyelesaian secara damai, meliputi :
Arbitrase, yaitu penyelesaian sengketa internasional dengan cara menyerahkannya
kepada orang tertentu atau Arbitrator, yang dipilih secara bebas oleh mereka yang
bersengketa, namun keputusannya harus sesuai dengan kepatutan dan keadilan ( ex aequo
et bono).
Prosedur penyelesaiannya, adalah :
1. Masing-masing Negara yang bersengketa menunjuk dua arbitrator, satu boleh
berasal dari warga negaranya sendiri.
2. Para arbitrator tersebut memilih seorang wasit sebagai ketua dari pengadilan
Arbitrase tersebut.
3. Putusan melalui suara terbanyak.

Penyelesaian Yudisial, adalah penyelesaian sengketa internasional melalui suatu


pengadilan internasional dengan memberlakukan kaidah-kaidah hukum.
Negosiasi, tidak seformal arbitrase dan Yudisial. Terlebih dahulu dilakukan konsultasi
dan komunikasi agar negosiasi dapat berjalan semestinya.
Jasa-jasa baik atau mediasi, yaitu cara penyelesaian sengketa internasional dimana
Negara mediator bersahabat dengan para pihak yang bersengketa, dan membantu
penyelesaian sengketanya secara damai. Contoh Dewan Keamanan PBB dalam
penyelesaian konplik Indonesia Belanda tahu 1947. Dalam penyelesaina dengan Jasa baik
pihak ketiga menawarkan penyelesaian, tapi dalam Penyelesaian secara Mediasi, pihak
mediator berperan lebih aktif dan mengarahkan pihak yang bersengketa agar
penyelesaian dapat tercapai.
Konsiliasi, dalam arti luas adalah penyelesaian sengketa denga bantuan Negara-negara
lain atau badan-badan penyelidik dan komite-komite penasehat yang tidak berpihak.
Konsiliasi dalam arti sempit, adalah suatu penyelesaian sengketa internasional melalui
komisi atau komite dengan membuat laporan atau ussul penyelesaian kepada pihak
sengketa dan tidak mengikat.
Penyelidikan, adalah biasanya dipakai dalam perselisioshan batas wilayah suatu Negara
dengan menggunakan fakta-fakta untuk memperlancar perundingan.
Penyelesian PBB, Dididrikan pada tanggal 24 Oktober 1945 sebagai pengganti dari LBB
(liga Bangsa-Bangsa), tujuan PBB adalah menyelesaikan sengketa internasional secara
damai dan menghindari ancaman perang.

• Penyelesaian secara pakasa, kekerasan atau perang :


Perang dan tindakan bersenjata non perang, bertujuan untuk menaklukkan Negara lawan
dan membebankan syarat penyelesaian kepada Negara lawan.
Retorsi, adalah pembalasan dendam oleh suatu Negara terhadap tindakan – tindakan tidak
pantas yang dilakukan Negara lain. Contoh menurunkan status hubungan diplomatic, atau
penarika diri dari kesepakatan-kresepakatan fiscal dan bea masuk.
Tindakan-tindakan pembalasan, adalah cara penyelesaian sengketa internasional yang
digunakan suatu Negara untuk mengupayakan memperoleh ganti rugi dari Negara lain.
Adanya pemaksaan terhadap suatu Negara.
Blokade secara damai. Adalah tindakan yang dilakukan pada waktu damai, tapi
merupakan suartu pembalasan. Misalnya permintaan ganti rugi atas pelabuhan yang di
blockade oleh Negara lain.
Intervensi (campur tangan),adalah campur tanagn terhadap kemerdekaan politik tertentu
secara sah dan tidak melanggar hukum internasional. Contohnya :
1. Intervensi kolektif sesuai dengan piagam PBB.
2. Intervesi untuk melindungi hak-hak dan kepentingan warga negaranya.
3. Pertahanan diri.
4. Negara yang menjadi obyek intervensi dipersalahkan melakukan pelanggaran
berat terhadap hukum internasional.

F. Penyelesaian melalui Mahkamah internasional


Ada dua mekanisme penyelesaian sengketa internasional melalui Mahkamah
internasional, yaitu mekanisme normal dan khusus.
• Mekanisme Normal :
1. Penyerahan perjanjian khusus yng berisi tdentitas para pihak dan pokok persoalan
sengketa.
2. Pembelaan tertulis, berisi fakta, hukum yang relevan, tambahan fakta baru, penilakan
atas fakta yang disebutkan dan berisi dokumen pendukung.
3. Presentasi pembelaan bersifat terbuka dan umum atautertutup tergantung pihak
sengketa.
4. Keputusan bersifat menyetujui dan penolakan. Kasus internasional dianggap selesai
apa bila :
Para pihak mencapai kesepakatan
Para pihak menarik diri dari prose persidangan Mahkamah internasional.
Mahkamah internasional telah memutus kasus tersebut berdasarkan pertimbangan dan
telah dilakukan ssuai proses hukum internasional yang berlaku.

• Mekanisme Khusus :
1. Keberatan awal karena ada keberatan dari pihak sengketa Karen mahkamah
intrnasional dianggap tidak memiliki yusidiksi atau kewenangan atas kasus tersebut.
2. Ketidak hadiran salah satu pihak yang bersengketa, biasanya dilakukan oleh Negara
tergugat atau respondent karena menolak yuridiksi Mahkamah Internasional.
3. Keputusan sela, untuk memberikan perlindungan terhadap subyek persidangan, supaya
pihak sengketa tidak melakukan hal-hal yang mengancah efektivitas persidangan
Mahkamah internasional.
4. Beracara bersama, beberapa pihak disatukan untuk mengadakan sidang bersama karena
materi sama terhadap lawan yang sama.
5. Intervensi, mahkamah internasional memberikan hak kepada Negara lain yang tidak
terlibat dalam sengketa untuk me;lakkan intervensi atas sengketa yangsedang
disidangkan bahwa dengan keputusan Mahkamah internasional ada kemungkinan Negara
tersebut dirugikan.

G. Contoh Keputusan/kasus Mahkamah Internasioanal


• Amerika serikat di Filipina : tahun 1906 tentara AS melakukan pembunuhan warga
Filipina, membunuh dan membakar 600 rakyat desa itu. Para pelakunya telah di sidang di
pengadilan militer amun banyak yang dibebaskan.
• Amerika serikat di Cina : pada tahun 1968 terjadi pristiwa My lai Massacre. Kompi
Amerika menyapu warga desa denga senjata otomatis dan menewaskan 500 orang. Pra
pelakunya telah disidang dan dihukum.
• Amerika serikat di Jepang : pada tahun 1945 lebih dari 40.000 rakyat Jepang meninggal
akibat Bom Atom.
• Pembersihan etnis yahudi oleh Nazi Di jerman atas pimpinan Adolf Hitler, Mahkamah
Internasional telah mengadili dan menhukum pelaku.
• Jepang banyak membunuh rakyat Indonesia dengan Kerja paksa dan 10.000 rakyat
Indonesia hilang. Pengadilan internasional telah dijalankan dan menghukum para
penjahatnya.
• Serbia di Bosnia dan Kroasia: anatar 1992-1995 pembersihan etnis kroasia dan Bosnia
oleh Kroasia danmembunuh sekitar 700.000 warga Bosnia dan Kroasia. Para penjahat
perangnya sampai sekarang masih menjalani proses persidangan di Den Haag,Belanda.
• Pemerintah Rwanda terhadap etniks Hutu : Selama tiga bulan di tahu 1994 antara 500
samapai 1 juta orang etnis Hutu dan Tutsi telah dibunuh ioleh pemerintah Rwanda. PBB
menggelar pengadilan kejahatan perang di Arusha Tanzania dan hanya menyeret 29
penjahat perangnya.
• Indonesia dengan Malaysia terhadap kasus Pulau sipadan dan Ligitan, dan Mahkamah
internasional memenangkan pihak Malaysia pada ahun 2003. Malaysia adalah pemilik ke
dua pulau tersebut. Indonesia menghormatikeputusan tersebut.
• Kasaus Timor TImur diselesaikan secara Intrnasional dengan referendum. Dan sejak
tahun 1999 Timor-Timur berdiri sebagai sebuah Negara bernama Republik Tomor
Lorosae /Timor Leste.

Kompetensi Dasar:

1. Mendeskripsikan sistem hukum dan peradilan internasional


2. Menjelaskan penyebab timbulnya sengketa internasional dan cara penyelesaian
oleh Mahkamah Internasional
3. Menghargai putusan Mahkamah Internasional

Basic Competency:

1. Describe the legal and International judicial system


2. Explaining the cause of international disputes and the solution by the International
Court
3. Appreciating the decision of the International Court

Handout

1. International law is classified into two international civil law and public
international law:
1. Private international law is the overall rules and principles of law
governing civil relationships that cross state boundaries.
2. Public international law is the overall rules and legal principles that
govern relationships or issues that cross state boundaries are not of civil
2. The term “international law” can refer to three distinct legal disciplines:
1. Public international law, which governs the relationship between
provinces and international entities, either as an individual or as a group. It
includes the following specific legal field such as the treaty law,law of
sea, international criminal law and the international humanitarian law.
2. Private international law, or conflict of laws, which addresses the
questions of (1) in which legal jurisdiction may a case be heard; and (2)
the law concerning which jurisdiction(s) apply to the issues in the case.
3. Supranational law or the law of supranational organizations, which
concerns at present regional agreements where the special distinguishing
quality is that laws of nation states are held inapplicable when conflicting
with a supranational legal system.
(wikipedia)
3. Considering that the progressive development and codification of the following
principles:

o (a) The principle that States shall refrain in their international relations
from the threat or use of force against the territorial integrity or political
independence of any State, or in any other manner inconsistent with the
purposes of the United Nations,
o (b) The principle that States shall settle their international disputes by
peaceful means in such a manner that international peace and security and
justice are not endangered,
o (c) The duty not to intervene in matters within the domestic jurisdiction of
any State, in accordance with the Charter,
o (d) The duty of States to co-operate with one another in accordance with
the Charter,
o (e) The principle of equal rights and self-determination of peoples,
o (f) The principle of sovereign equality of States,
o (g) The principle that States shall fulfil in good faith the obligations
assumed by them in accordance with the Charter,

PENGERTIAN HUKUM INTERNASIONAL


Hugo de Groot (Grotius) dalam bukunya De Jure belli ac pacis (perihal perang dan
damai), mengemukakan bahwa hukum dan hubungan internasional didasarkan pada
kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua negara.
Pandangan klasik/tradisional mengartikan bahwa hukum internasional adalah sistem
hukum yang mengatur hubungan negara-negara (antar negara).
Prof. Hyde mengemukakan bahwa hukum internasional adalah sekumpulan hukum yang
sebagian besar terdiri atas asas-asas dan peraturan -peraturan tingkah laku yang mengikat
negara-negara dan ditaati dalam hubungan negara-negara satu sama lain.

SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL


Subjek hukum internasional adalah sebagai berikut

1. Negara
2. Vatikan
3. PMI
4. Organisasi Internasional
5. Perseorangan
6. Pemberontak

SUMBER HUKUM DAN PERADILAN INTERNASIONAL

Landasan hukum yang menjadi sumber hukum internasional adalah:


1. Pasal 7 Konvensi ke-12 di Den Haag tanggal 18 oktober 1907
2. Pasal 38 Statuta Mahkamam Internasional tanggal 16 desember 1920

PENYEBAB SENGKETA INTERNASIONAL

Beberapa hal yang menyebabkan sengketa internasional adalah sebagai berikut:


1. Masalah Wilayah
2. Masalah Politik
3. Masalah Ekonomi
4. Masalah HAM
CARA PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL OLEH MAHKAMAH
INTERNASIONAL

a. AJUDIKASI (ADJUDICATION)
b. ARBITRASE (ARBITRATION)

BUAT BANGSA INDONESIA.......RENUNGKANLAH....


"Hari ini, pada sidang yang dimulai pada pukul 10 pagi waktu Deen Haag,atau pukul
4 sore waktu Jakarta, Mahkamah Internasional pada pukul 17.45 (WIB) telah
mengeluarkan keputusannya tentang kedaulatan atas pulau Sipadan dan pulau
Ligitan antara Indonesia dan Malaysia....Dan akhirnya sesuai keputusan Mahkamah
Internasional pulau tersebut mennjadi milik MALAYSIA....
(Jakarta, 17 Desember 2002. Pernyataan pers dari DR.N.Hassan Wirajuda, Menteri
luar negeri Indonesia).

Generasi muda coba deh tunjukkan cintamu untuk Indonesia !.


dan kita harus bangga menjadi orang Indonesia....betul ga'?
BUKTIKAN!!!

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem peradilan internasional adalah salah satu proses yang menjelaskan tentang
hubungan peradilan yang bekerja sama secara luas dengan bangsa lain. Karena
sisrtem peradilan internasional bersikap luas, maka masyarakat pun juga mengambil
andil di dalam pelaksanaannya.

Tujuan utama, yakni mengetahui peradilan internasional secara luas. Selain itu
Negara Indonesia juga bisa mengambil contoh peradilan di Negara-negara lain.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, hukum di
negara Indonesia menjadi lemah atau tidak menjunjung tinggi keadilan di dalam
hukum.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah memperoleh gambaran
tentang sistem peradilan internasional dan menjelaskan tentang proses hukum yang
adil (layak).

1.3 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud Sistem Peradilan Internasional?

2. Terdiri dari apa saja komponen-komponen lembaga Peradilan Internasional?

3. Bagaimana hukum pidana secara layak dan adil itu terlaksana?


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sistem Peradilan Internasional

Kata sistem dalam kaitannya dengan peradilan internasional adalah unsur-unsur


atau komponen-komponen lembaga peradilan internasional yang secara teratur saling
berkaitan sehingga membentuk suatu kesatuan dalam rangka mencapai keadilan
internasional. Komponen-kompenen tersebut terdiri dari mahkamah internasional,
mahkamah pidana internasional dan panel khusus dan spesial pidana internasional.

Setiap sistem hukum menunjukkan empat unsur dasar, yaitu: pranata peraturan,
proses penyelenggaraan hukum, prosedur pemberian keputusan oleh pengadilan dan
lembaga penegakan hukum. Dalam hal ini pendekatan pengembangan terhadap sistem
hukum menekankan pada beberapa hal, yaitu: bertambah meningkatnya diferensiasi
internal dari keempat unsur dasar system hukum tersebut, menyangkut perangkat
peraturan, penerapan peraturan, pengadilan dan penegakan hukum serta pengaruh
diferensiasi lembaga dalam masyarakat terhadap unsur-unsur dasar tersebut.

Dengan demikian tinjauan perkembangan hukum difokuskan pada hubungan


timbal balik antara diferensiasi hukum dengan diferensiasi sosial yang dimungkinkan
untuk menggarap kembali peraturan-peraturan, kemampuan membentuk hukum,
keadilan dan institusi penegak hukum. Diferensiasi itu sendiri merupakan ciri yang
melekat pada masyarakat yang tengah mengalami perkembangan. Melalui
diferensiasi ini suatu masyarakat terurai ke dalam bidang spesialisasi yang masing-
masing sedikit banyak mendapatkan kedudukan yang otonom. Perkembangan
demikian ini menyebabkan susunan masyarakat menjadi semakin komplek. Dengan
diferensiasi dimungkinkan untuk menimbulkan daya adaptasi masyarakat yang lebih
besar terhadap lingkungannya.
Sebagai salah satu sub-sistem dalam masyarakat, hukum tidak terlepas dari
perubahan-perubahan yang terjadi masyarakat. Hukum disamping mempunyai
kepentingan sendiri untuk mewujudkan nilai-nilai tertentu di dalam masyarakat
terikat pada bahan-bahan yang disediakan oleh masyarakatnya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di
sekelilingnya.

Menurut Wolfgang Friedmann perubahan hukum dalam masyarakat yang sedang


berubah meliputi perubahan hukum tidak tertulis (common law), perubahan di dalam
menafsirkan hukum perundang-undangan, perubahan konsepsi mengenai hak milik
umpamanya dalam masyarakat industri moderen, perubahan pembatasan hak milik
yang bersifat publik, perubahan fungsi dari perjanjian kontrak, peralihan tanggung
jawab dari tuntutan ganti rugi ke ansuransi, perubahan dalam jangkauan ruang
lingkup hukum internasional dan perubahan-perubahan lain.

2.2 Mahkamah Internasional

MI adalah organ utama lembaga kehakiman PBB, yang kedudukan di Den Haag,
Belanda. Mahakamah ini mulai berfungsi sejak tahun 1946 sebagai pengganti MIP.
Fungsi utama MI adalah untuk menjelaskan kasus-kasus persengkataan intersional
yang subjeknya adalah negara. Statuta adalah hukum-hukum yang terkandung.

Pasal 9 Statuta MI menjelaskan, komposisi MI terdiri dari 15 hakim. Ke-15 calon


hakim tersebut direkrut dari warga negara anggota yang dinilai cakap dibidang
hukum internasional, untuk memilih anggota mahkamah dilakukan pemungutan suara
secara independen oleh majelis MU dan Dewan Keamanan (DK). Biasanya 5 hakim
MI berasal dari anggota tetap DK PBB, tugasnya untuk memeriksa dan memutuskan
perkara yang disidangkan baik yang bersifat sengketa maupun yang bersikap nasihat.

Yurisdiksi adalah kewenangan yang dimiliki oleh MI yang bersumber pada


hukum internasional untuk menentukan dan menegakan sebuah aturan hukum,
meliputi: memutuskan perkara-perkara pertikaian dan memberikan opini-opini yang
bersifat nasihat. Beberapa kemungkinan cara penerimaan tersebut:

1. perjanjian khusus
2. Penundukkan diri dalam perjanjian Internasional.
3. Pernyataan penundukan diri negara peserta statuta MI
4. Keputusan MI mengenai Yurisdiksinya
5. Penafsiran putusan
6. Perbaikan putusan

2.3 Mahkamah Pidana Internasional

MPI adalah Mahkamah Pidana Internasional yang berdiri permanen berdasarkan


traktat multilateral, yang mewujudkan supremasi hukum internasional yang
memastikan bahwa pelaku kejahatan berat internasional di pidana.

Jenis kejahatan berat pada pasal 5-8 statuta yaitu sebagai berikut:

1. Kejahatan genosida
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan
3. Kejahatan perang
4. Kejahatan agresi

2.4 Panel khusus dan spesial pidana internasional

Panel khusus pidana internasional (PKPI) dan Panel spesial pidana internasional
(PSPI) adalah lembaga peradilan internasional yangberwenang mengadili para
tersangka kejahatan berat internasional yang bersifat tidak permanen. Artinya selesai
mengadili, peradilan ini dibubarkan.
Perbedaan antara PKPI dan PSPI terletak pada komposisi penuntut dan hakim ad
hoc-nya. Pada PSPI komposisi penuntut dan hakim ad hoc-nya merupakan gabungan
antara peradilan nasional dan internasional. Sedangkan pada PKPI komposisi
sepenuhnya ditentukan berdasarkan ketentuan peradilan internasional.

2.5 Proses Hukum yang Adil atau Layak

Di dalam pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat
merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang dalam bahasa
Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak.

Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya
dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu Negara pada
seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas
dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap
batin penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia
menjadi pelaku kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan
dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk
didengar pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat
hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk
disidang dimuka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak.

Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak tersebut ialah
sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana
sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum
yang menghormati hak-hak warga masyarakat.
Dengan keberadaan UU No.8 Tahun 1981, kehidupan hukum Indonesia telah
meniti suatu era baru, yaitu kebangkitan hukum nasional yang mengutamakan
perlindungan hak asasi manusia dalam sebuah mekanisme sistem peradilan pidana.

Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan
ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum berdasarkan undang-undang
tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggung jawab.

Namun semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan
pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur yang terlibat
didalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling interrelasi dan saling mempengaruhi
satu sama lai

INSTRUMEN HUKUM DAN PERADILAN INTERNASIONAL HAM

1. INSTRUMEN HAM INTERNASIONAL


Banyak pakar HAM yang berpendapat bahwa lahirnya gagasan
terhadap jaminan hak asasi manusia dimulai dengan adanya perjanjian
Magna Charta. Akan tetapi tidak sedikit pula yang meyakini bahwa
jaminan HAM sesungguhnya telah tertampung sejak 600 tahun
sebelumnya tepatnya dengan lahirnya piagam Madinah pada masa
awal Islam. Bahkan menurut Almaududi, perlindungan yang terangkum
dalam Piagam Madinah ini lebih komperhensif jika dibandingkan
dengan konsep Ham dalam Magna Charta.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa untuk mendapatkan
pengakuan terhadap HAM harus melalui perjalanan yang sangat
panjang. Oleh karena itu patut kita syukuri bahwa sekarang HAM
sudah diakui secara Internasional. Dengan demikian HAM dapat
ditegakkan tanpa batas ruang dan waktu.
Pengakkan HAM secara internasional dapay didasarkan pada
instrument Ham internasional yang terdiri atas berbagai jenis dasar
hokum seperti berikut :
A. Declaration by United Nation (Deklarasi Perserikatan Bangsa –
Bangsa)
Deklarasi Perserikatan Bangsa – Bangsa diterbitkan pada tanggal
1 January 1942. Pernyataan tentang HAM dalam deklarasi PBB ini
tercermin dalam penggalan kalimat yang berbunyi “bahwa
kemenangan adalah penting untuk menjaga kehidupan, kebebasan,
independence, dan kebebasan beragama serta untuk
mempertahankan Hak Asasi Manusia dan keadilan.”
Berkaitan dengan hal tersebut Presiden Amerika Serikat, Franklin
D. Rossevelt, memberikan pesan yang ditujukan kepada kongres
tentang 4 (The four freedom) yang diupayakan untuk dipertahankan di
dalam perang. 4 kebebasan tersebut sebagai beikut :
1. Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan (Freedom of Speech)
2. Kebebasan beragama (Freedom of Religion)
3. Kebebasan dari ketakutan (Freedom from Fear)
4. Kebebasan dari kekurangan (Freedom from Want)

B. Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal


HAM)
Setelah perang dunia II selesai, PBB akhirnya dapat
menghasilkan Uiversal Declaration of Human Rights pada tanggal 10
Desember1948 yang terdiri atas 30 pasal. Pernyataan umum HAM atau
Deklarasi Universal HAM ini dipengaruhi oleh 4 macam kebebasan
yang disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Rossevelt
yang telah dijelaskan di atas. Adapun rincian Ham dalam piagam HAM
PBB sebagai berikut :
1. Hak Kebebasan Politik (Pasal 2 – 21), berisi kebebasan mengeluarkan
pendapat dan berserikat
2. Hak Sosial (Pasal 22 – 23), berisi antara lain kebebasan memperoleh
pekerjaan
3. Hak Beristirahat dan Hiburan (Pasal 24)
4. Hak akan Tingkatan Dasar Penghidupan yang Cukup Bagi Penjagaan
Kesehatan dan Keselamatan serta Keluarganya
5. Hak Asasi Pendidikan (Pasal 26), antara lain berisi kebebasan
memperoleh pendidikan
6. Hak Asasi dalam Bidang Kebudayaan (pasal 27)
7. Hak Asasi menikmati kehidupab social dan internasional (Pasal 28)
8. Kewajiban – kewajiban yang harus dipenuhi dalam melaksanakan hak
asasi (Pasal 29 – 30)

Meskipun pernyataan HAM PBB tersebut bukan merupakan


konvension atau perjanjian yang harus ditaati oleh semua anggota
PBB, semua anggota PBB secara moral berkewajiban untuk
melaksanakan pernyataan tersebut. Sekalipun suatu Negara berusaha
untuk mengikuti pernyataan tersebut, pada kenyataan
pelaksanaannya disesuaikan dengan kepentingan nasional tiap – tiap
Negara.

C. Deklarasi Wina tentang HAM bagi NGO


Pada tahun 1973, 2 tahun setelah bubarnya Uni Soviet, di Wina
diadakan kofrensi tentang HAM untuk organisasi – organisasi non
pemerintah yang menghasilkan deklarasi Wina tentang HAM bagi NGO.
Deklarasi ini mengeaskan keuniversalan HAM dan keharusan
penerapannya secara menyeluruh atas umat manusia tanpa
memperhatikan perbedaan latar belakang budaya dan hukum
setempat. Deklarasi ini juga menolak klaim nuansa perbedaan HAM
antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya.

2. KASUS – KASUS PELANGGARAN HAM INTERNASIONAL


Pada dasarnya kasus – kasus terjadinya pelanggaran HAM sangat
marak terjadi dan telah berlangsung sejak lama. Akan tetapi, perhatian
dunia internasional yang diwakili oleh PBB tampak meningkat setelah
terjadinya Perang Dunia II yang telah menewaskan banyak umat
manusia.
Diantara contoh pelanggarn HAM Internasional yang terjadi
menurut urutan waktu sebagai berikut :
a. 1924 di Italia
Benito Mussolini telah mendirikan sekaligus memimpin [aham
fasisme di Italia. Ia telah memerintah pada tahun 1924 – 1943 dengan
sangat otoriter. Lawan – lawan politik yang tidak segaris dengan
pemikirannya ditangkap dan dibunuh. Mussolini telah menduduki
Negara asing seoerti Etiophia dan Albania. Ia juga salah seorang
pencetus Perang Dunia II dan berkoalisi dengan Hitler untuk melawan
sekutu
b. 1933 di Jerman
Adolf Hitler yang berhasil memenangkan pemilu melalui Partai
Buruh Jerman Sosialis memimpin Jerman dengan sangat otoriter.
Banyak kejahatan kemanusiaan pada waktu itu. Misalnya dengan
penangkapan secara masal terhadap lawan – lawan politiknya,
pembasmian terhadap orang – orang yahudi, menduduki
Chekoslovakia dan Austria serta memicu tejadinya PD II.
c. 1960 di Republik Afrika Selatan
Ketika rezim apartheid yang didominasi orang – orang kulit putih
berhasil menguasai pemerintahan di Afrika Selatan, mereka
melakukan kebijakan yang merugikan warga kulit hitam. Diantara
peristiwa yang memakan korban adalah terbunuhnya 77 orang dari
kalangan sipil pada peristiwa Sharpeville. Demikian juga pada tahun
1976 terjadi peristiwa berdarah yang menewaskan banyak warga sipil,
terutama murid – murid sekolah.
d. 1979 di Uni Soviet
Negara Uni Soviet atau sekarang Rusia telah melakukan
penyerangan berkepanjangan di Afganistan yang berlangsung pada
tahun 1979 hingga 1990 an. Sejumlah pasukan perang sebanyak 85
ribu tentara didatangklan dari Uni Soviet untuk bertempur di
Afganistan sehingga makan banyak korban, baik militer maupun sipil.
e. 1992 – 1995 di Serbia Bosnia
Pada tahun 1992 – 1995 terjadi perang di Bosnia yang dipimpin oleh
Radofan Karadzic. Dalam perang di Bosnia tersebut terjadi
pembunuhan masal terhadap 8000 warga muslim Bosnia di Srebenica.
Srebenica adalah daerah kantong bagi penduduk Muslim Bosnia.
Dalam perang tersebut Radofan Karadzic bertekad untuk melakukan
pembersihan etnis kepada warga non Serbia.

3. PERADILAN INTERNASIONAL HAM


Peradilan Internasional mengandung pengertian upaya
penyelesaian masalah dengan menerapkan ketentuan – ketentuan
hokum internasional yang dilakukan oleh peradilan internasional yang
dibentuk secara teratur. Peradilan internasional ini dilakukan oleh
Mahkamah Internasional dan badan – badan peradilan lainnya.
Berkaitan dengan upaya penanganan pelanggaran HAM internasional,
ada beberapa peradilan yang mempunyai kewenangan untuk
melakasanakannya seperti berikut.
a. Mahkamah Pidana Internasional (Intenational Crime Court)
International Crime Court merupakan pengadilan internasional
yang bersifat permanent untuk mengadili para pelaku kejahatan
internasional. ICC dibentuk berdasarkan perjanjian antarnegara yang
diber nama Rome Statute of the International Criminal Court atau
popular dengan sebutan Statuta Roma tahun 1998. Komunitas
internasional melalui Statuta Roma telah menyepakati adanya 4 jenis
kejahatan yang masuk dalam kategori kejahatan internasional sebagai
berikut :
1) Kejahatan genosida (The crime of genocide)
2) Kejahatan kemanusiaan (Crimes against humanity)
3) Kejahatan perang (War crimes)
4) Kejahatan perang agresi (The crime of aggression)
Berdasarkan Statuta Roma, Mahkamah Pidana Internasional
memiliki yurisdiksi untuk mengadili dan meminta pertanggungjawaban
individu/perseorangan (Individual criminal responsibility) yang
melakukan, memfasilitasi, dan memberikan perintah sheingga
menyebabkan terjadinya kejahatan – kejahatan yang berada dalam
lingkup kejahatan internasional. Keberadaan ICC telah efektif sejak
tanggal 1 Juli 2002 setelah 60 negara meratifikasinya. Namun, ICC
berlaku bagi Negara – Negara yang telah meratifikasinya. ICC
mempunyai wewenang untuk mengadili kejahatan – kejahatan HAM
internasional seperti yang tercantum dalam Statuta Roma.
Selain itu, ICC juga dapat mengadili kasus pelanggaran dengan
didasarkan ata resolusi PBB, jika Negara yang bersangkutan dianggap
tidak memiliki atau kemauan. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa ICC merupakan pengadilan komplementar dari suatu
pengadilan nasional. ICC ini berbeda dengan International Court of
Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional. Perbedaannya terletak pada
kewenangannya. Mahkamah internasional mempunyai kewenangan
untuk memeriksa dan memutus kasus sengketa antar Negara
(Contentious case) yang lebih bersifat keperdataan serta memberikan
fatwa (advisory opinion).

You might also like