You are on page 1of 10

Asean Free Trade Area (AFTA) adalah bentuk dari kerjasama perdagangan dan ekonomi

di wilayah ASEAN yang berupa kesepakatan untuk menciptakan situasi perdagangan yang
seimbang dan adil melalui penurunan tarif barang perdagangan dimana tidak ada hambatan tariff
(bea masuk 0 – 5 %) maupun hambatan non tariff bagi negara-negara anggota ASEAN.

AFTA disepakati pada tanggal 28 Januari 1992 di Singapura. Pada awalnya ada enam
negara yang menyepakati AFTA, yaitu: Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina,
Singapura dan Thailand. Vietnam bergabung dalam AFTA tahun 1995, sedangkan Laos dan
Myanmar pada tahun 1997, kemudian Kamboja pada tahun 1999.

Tujuan AFTA adalah meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan
menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia, untuk menarik investasi dan
meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN. Dalam kesepakatan, AFTA direncanakan
berpoerasi penuh pada tahun 2008 namun dalam perkembangannya dipercepat menjadi tahun
2003.

Mekanisme utama untuk mencapai tujuan di atas adalah skema “Common Effective
Preferential Tariff” (CEPT) yang bertujuan agar barang-barang yang diproduksi di antara negara
ASEAN yang memenuhi ketentuan setidak-tidaknya 40 % kandungan lokal akan dikenai tarif
hanya 0-5 %. Anggota ASEAN mempunyai tiga pengecualian CEPT dalam tiga kategori :

(1) pengecualian sementara,

(2) produk pertanian yang sensitif

(3) pengecualian umum lainnya (Sekretariat ASEAN 2004)

Untuk kategori pertama, pengecualian bersifat sementara karena pada akhirnya


diharapkan akan memenuhi standar yang ditargetkan, yakni 0-5 %. Sedangkan untuk produk
pertanian sensitif akan diundur sampai 2010. Dapat disimpulkan, paling lambat 2015 semua tarif
di antara negara ASEAN diharapkan mencapai titik 0 %.
AFTA dicanangkan dengan instrumen CEPT, yang diperkenalkan pada Januari 1993.
ASEAN pada 2002, mengemukakan bahwa komitmen utama dibawah CEPT-AFTA hingga saat
ini meliputi 4 program, yaitu :

1. Program pengurangan tingkat tarif yang secara efektif sama di antara negara- negara
ASEAN hingga mencapai 0-5 persen.

2. Penghapusan hambatan-hambatan kuantitatif (quantitative restrictions) dan hambatan-


hambatan non-tarif (non tariff barriers).

3. Mendorong kerjasama untuk mengembangkan fasilitasi perdagangan terutama di


bidang bea masuk serta standar dan kualitas.

4. Penetapan kandungan lokal sebesar 40 persen.

PEMBAHASAN

Untuk Indonesia, kerjasama AFTA merupakan peluang yang cukup terbuka bagi kegiatan
ekspor komoditas pertanian yang selama ini dihasilkan dan sekaligus menjadi tantangan untuk
menghasilkan komoditas yang kompetitif di pasar regional AFTA.

Upaya ke arah itu, nampaknya masih memerlukan perhatian serta kebijakan yang lebih
serius dari pemerintah maupun para pelaku agrobisnis, mengingat beberapa komoditas pertanian
Indonesia saat ini maupun di masa yang akan datang masih akan selalu dihadapkan pada
persoalan-persoalan dalam peningkatan produksi yang berkualitas, permodalan, kebijakan harga
dan nilai tukar serta persaingan pasar di samping iklim politis yang tidak kondusif bagi sektor
pertanian.

Diharapkan dengan diberlakukannya otonomi daerah perhatian pada sektor agribisnis


dapat menjadi salah satu dorongan bagi peningkatan kualitas produk pertanian sehingga lebih
kompetitif di pasar lokal, regional maupun pasar global, dan sekaligus memberikan dampak
positif bagi perekonomian nasional maupun peningkatan pendapatan petani dan pembangunan
daerah.
Secara umum, situasi ekonomi Indonesia sangat sulit. Perdagangan Indonesia dalam
kurun 2000-2002 melemah, baik dalam kegiatan ekspor maupun impor. Kondisi ekonomi makro
ditambah stabilitas politik yang tidak mantab serta penegakan hukum dan keamanan yang buruk
ikut mempengaruhi daya saing kita dalam perdagangan dunia.

Memang, secara umum, beberapa produk kita siap berkompetisi. Misalnya, minyak
kelapa sawit, tekstil, alat-alat listrik, gas alam, sepatu, dan garmen. Tetapi, banyak pula yang
akan tertekan berat memasuki AFTA. Di antaranya, produk otomotif, teknologi informasi, dan
produk pertanian.

Dalam AFTA, peran negara dalam perdagangan sebenarnya akan direduksi secara
signifikan. Sebab, mekanisme tarif yang merupakan wewenang negara dipangkas. Karena itu,
diperlukan perubahan paradigma yang sangat signifikan, yakni dari kegiatan perdagangan yang
mengandalkan proteksi negara menjadi kemampuan perusahaan untuk bersaing. Tidak saja
secara nasional atau regional dalam AFTA, namun juga secara global. Karena itu, kekuatan
manajemen, efisiensi, kemampuan permodalan, dan keunggulan produk menjadi salah satu kunci
keberhasilan.

Persoalan yang dihadapi oleh Indonesia

Dalam menghadapi AFTA, Indonesia sebagai salah satu Negara anggota ASEANmasih
memiliki beberapa kendala yang menunjukan ketidaksiapan kita dalam menghadapi AFTA,
diantanya adalah; dari segi penegakan hukum, sudah diketahui bahwa sektor itu termasuk buruk
di Indonesia. Jika tak ada kepastian hukum, maka iklim usaha tidak akan berkembang baik, yang
mana hal tersebut akan menyebabkana biaya ekonomi tinggi yang berpengaruh terhadap daya
saing produk dalam pasar internasional.

Faktor lain yang amat penting adalah lembaga-lembaga yang seharusnya ikut
memperlancar perdagangan dan dunia usaha ternyata malah sering diindikasikan KKN. Akibat
masih meluasnya KKN dan berbagai pungutan yang dilakukan unsure pemerintah di semua
lapisan, harga produk yang dilempar ke pasar akan terpengaruhi. Otonomi daerah yang
diharapkan akan meningkatkan akuntabilitas pejabat publik dan mendorong ekonomi lokal
ternyata dipakai untuk menarik keuntungan sebanyak-banyaknya dari dunia usaha tanpa
menghiraukan implikasinya. Otonomi malah menampilkan sisi buruknya yang bisa
mempengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar dunia.

Persoalan lain yang harus dihadapi adalah kenyataan bahwa perbatasan Indonesia sangat
luas, baik berupa lautan maupun daratan, yang sangat sulit diawasi. Akibatnya, terjadi banjir
barang selundupan yang melemahkan daya saing industri nasional. Miliaran dolar amblas setiap
tahun akibat ketidakmampuan menjaga perbatasan dengan baik. Menurut taksiran kemampuan
TNI-AL, sekitar 40 persen dari seharusnya digunakan untuk mengamankan lautan akibat
kekuarangan dana dan sarana yang lain. Kendala utama bagi masyarakat Indonesia adalah
mengubah pola pikir, baik di kalangan pejabat, politisi, pengusaha, maupun tenaga kerja.
Mengubah pola pikir ini sangat penting bagi keberhasilan kita memasuki AFTA.

Namun, selain menghadapi berbagai persoalan, AFTA jelas juga membawa sejumlah
keuntungan. Pertama, barang-barang yang semula diproduksi dengan biaya tinggi akan bisa
diperoleh konsumen dengan harga lebih murah. Kedua, sebagai kawasan yang terintegrasi secara
bersama-sama, kawasan ASEAN akan lebih menarik sebagai lahan investasi. Indonesia dengan
sumber daya alam dan manusia yang berlimpah mempunyai keunggulan komparatif. Namun,
peningkatan SDM merupakan keharusan. Ternyata, kemampuan SDM kita sangat payah
dibandingkan Filipina atau Thailand.

Berdasarkan peraturan Pemerintah Nomer 63 tahun 1999, pihak asing dimungkinkan


untuk mempunyai saham hampir 99 persen. Jadi jika ingin menambah sahamnya, sedangkan
partner lokalnya tidak mampu, maka saham partner lokal menjadi terdivestasi.

Dampak AFTA

Ada banyak dampak suatu perjanjian perdagangan bebas, antara lain spesialisasi dan peningkatan
volume perdagangan. Sebagai contoh, ada dua negara yang dapat memproduksi dua barang,
yaitu A dan B, tetapi kedua negara tersebut membutuhkan barang A dan B untuk dikonsumsi.
Secara teoretis, perdagangan bebas antara kedua negara tersebut akan membuat negara
yang memiliki keunggulan komparatif (lebih efisien) dalam memproduksi barang A (misalkan
negara pertama) akan membuat hanya barang A, mengekspor sebagian barang A ke negara
kedua, dan mengimpor barang B dari negara kedua.

Sebaliknya, negara kedua akan memproduksi hanya barang B, mengekspor sebagian


barang B ke negara pertama, dan akan mengimpor sebagian barang A dari negara pertama.
Akibatnya, tingkat produksi secara keseluruhan akan meningkat (karena masing-masing negara
mengambil spesialisasi untuk memproduksi barang yang mereka dapat produksi dengan lebih
efisien) dan pada saat yang bersamaan volume perdagangan antara kedua negara tersebut akan
meningkat juga (dibandingkan dengan apabila kedua negara tersebut memproduksi kedua jenis
barang dan tidak melakukan perdagangan).

Saat ini AFTA sudah hampir seluruhnya diimplementasikan. Dalam perjanjian


perdagangan bebas tersebut, tarif impor barang antarnegara ASEAN secara berangsur-angsur
telah dikurangi. Saat ini tarif impor lebih dari 99 persen dari barang-barang yang termasuk dalam
daftar Common Effective Preferential Tariff (CEPT) di negara-negara ASEAN-6 (Brunei,
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) telah diturunkan menjadi 5 persen
hingga 0 persen.

Sesuai dengan teori yang dibahas di atas, AFTA tampaknya telah dapat meningkatkan
volume perdagangan antarnegara ASEAN secara signifikan. Ekspor Thailand ke ASEAN,
misalnya, mengalami pertumbuhan sebesar 86,1 persen dari tahun 2000 ke tahun 2005.
Sementara itu, ekspor Malaysia ke negara-negara ASEAN lainnya telah mengalami kenaikan
sebesar 40,8 persen dalam kurun waktu yang sama.

Adanya AFTA telah memberikan kemudahan kepada negara-negara ASEAN untuk


memasarkan produk-produk mereka di pasar ASEAN dibandingkan dengan negara-negara non-
ASEAN. Untuk pasar Indonesia, kemampuan negara-negara ASEAN dalam melakukan penetrasi
pasar kita bahkan masih lebih baik dari China. Hal ini terlihat dari kenaikan pangsa pasar ekspor
negara ASEAN ke Indonesia yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan pangsa pasar
China di Indonesia.
Pada tahun 2001 pangsa pasar ekspor negara-negara ASEAN di Indonesia mencapai 17,6
persen. Implementasi AFTA telah meningkatkan ekspor negara-negara ASEAN ke Indonesia.
Akibatnya, pangsa pasar ASEAN di Indonesia meningkat dengan tajam. Dan pada tahun 2005
pangsa pasar negara-negara ASEAN di Indonesia mencapai 29,5 persen.

Berbeda dengan anggapan kita selama ini bahwa ternyata daya penetrasi produk-produk
China di Indonesia tidak setinggi daya penetrasi produk-produk negara ASEAN. Pada tahun
2001 China menguasai sekitar 6,0 persen dari total impor Indonesia. Pada tahun 2005 baru
mencapai 10,1 persen, masih jauh lebih rendah dari pangsa pasar negara-negara ASEAN. Jadi,
saat ini produk-produk dari negara ASEAN lebih menguasai pasar Indonesia dibandingkan
dengan produk-produk dari China.

Sebaliknya, berbeda dengan negara-negara ASEAN yang lain, tampaknya belum terlalu
diperhatikan potensi pasar ASEAN, dan lebih menarik dengan pasar-pasar tradisional, seperti
Jepang dan Amerika Serikat. Hal ini terlihat dari pangsa pasar ekspor kita ke negara-negara
ASEAN yang tidak mengalami kenaikan yang terlalu signifikan sejak AFTA dijalankan. Pada
tahun 2000, misalnya, pangsa pasar ekspor Indonesia di Malaysia mencapai 2,8 persen. Dan pada
tahun 2005 hanya meningkat menjadi 3,8 persen. Hal yang sama terjadi di pasar negara-negara
ASEAN lainnya.

Produsen internasional tidak harus mempunyai pabrik di setiap negara untuk dapat
menyuplai produknya ke negara-negara tersebut. Produsen internasional dapat memilih satu
negara di kawasan ini untuk dijadikan basis produksinya dan memenuhi permintaan produknya
di negara di sekitarnya dari negara basis tersebut. Turunnya tarif impor antarnegara ASEAN
membuat kegiatan ekspor-impor antarnegara ASEAN menjadi relatif lebih murah dari
sebelumnya. Tentunya negara yang dipilih sebagai negara basis suatu produk adalah yang
dianggap dapat membuat produk tersebut dengan lebih efisien (spesialisasi).

Negara-negara di kawasan ini tentunya berebut untuk dapat menjadi pusat produksi untuk
melayani pasar ASEAN karena semakin banyak perusahaan yang memilih negara tersebut untuk
dijadikan pusat produksi, akan semakin banyak lapangan kerja yang tersedia. Sayangnya,
Indonesia tampaknya masih tertinggal dalam menciptakan daya tarik untuk dijadikan pusat
produksi.

Kesiapan Indonesia

Infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia dinilai belum siap menghadapi
ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau pasar bebas ASEAN mulai 2015. “Kita semua tahu
bagaimana kualitas SDM dan infrastruktur kita, padahal pasar bebas ASEAN itu tidak lama
lagi,” kata pengamat politik ekonomi internasional UI, Beginda Pakpahan, di Jakarta. Ia
mengatakan pada dasarnya FTA (Free Trade Area) sangat potensial untuk memperluas jejaring
pasar sekaligus menambah insentif, karena tidak adanya lagi pembatasan kuota produk.

Namun, bagi Indonesia bukan melulu keuntungan, sebab FTA juga bisa menjadi ancaman
bila pemerintah RI tidak mempersiapkan SDM dan infrastruktur dalam negeri. Dampak terburuk
justru mengancam masyarakat lapisan paling bawah, seperti petani gurem dan pedagang kecil.
Saat ini Indonesia setidaknya berada di peringkat keenam di ASEAN di luar negara-negara yang
baru bergabung (Kamboja, Vietnam, Laos, dan Myanmar).

Selain SDM, infrastruktur di tanah air juga belum mendukung untuk menghadapi AFTA.
Indonesia harus bisa menjadi pengelola atau tidak melulu menjadi broker atau mediator dalam
perdagangan bebas. Agenda terdekat menjelang era pasar bebas, Indonesia harus bisa
membenahi dan menyelesaikan kepemimpinan nasional, mewujudkan “good corporate
governance“, dan membenahi birokrasi sekaligus memberantas korupsi. Selain itu, DPR juga
harus sejalan dengan pemerintah dalam masa-masa krisis dan membenahi jajaran TNI/POLRI.

Yang harus dilakukan Indonesia agar dapat dengan baik menghadapi AFTA dan dapat
bersaing dengan Negara-negara lain di dalamnya adalah :

1. Pemantapan Organisasi Pelaksanaa AFTA

AFTA sebagai suatu kegiatan baru dalam kerjasama ASEAN harus didukung oleh
struktur organisasi yang kuat agar pelaksanaannya dapat berjalan sebagaimana

mestinya. Struktur organisasi yang kuat sangat diperlukan karena AFTA harus dilaksanakan
dengan baik, adil dan terarah sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal dan merata. Juga
diperlukan pengawasan yang ketat untuk menjaga agar jangan sampai terjadi kecurangan dalam
pelaksanaan perdagangan yang akan merugikan negara tertentu.

1. Promosi dan Penetrasi Pasar

Kenyataan menunjukkan bahwa volume perdagangan Indonesia dibandingkan dengan


negara-negara ASEAN lainnya, adalah nomor dua terkecil setelah Filipina, sedangkan volume
perdagangan Indoensia dengan Singapura hanya 5,1 persen dari seluruh perdagangan intra-
ASEAN. Keadaan tersebut

terutama disebabkan oleh komoditas ekspor Indonesia belum banyak dikenal oleh negara-negara
ASEAN. Karena itu, keikutsertaan dalam pameran perdagangan internasional perlu ditingkatkan.
Peningkatan kunjungan dagang sangat besar pula artinya dalam melakukan promosi dan
penetrasi pasar hasil produksi Indonesia.

1. Peningkatan Efisiensi Produksi Dalam Negeri

Untuk meningkatkan efisiensi produksi dalam negeri, perlu diciptakan kondisi persaingan
yang sehat di antara sesama pengusaha agar tidak terdapat “distorsi harga” bahan baku. Di
samping itu, biaya-biaya non produksi secara keseluruhan dapat ditekan. Dalam kaitan ini,
kebijakan deregulasi yang telah dijalankan Pemerintah sejak beberapa tahun yang lalu perlu terus
dilanjutkan dan diperluas kepada sektor-sektor riil yang langsung mempengaruhi kegiatan
produksi dan selanjutnya perlu diusahakan agar pemberian fasilitas-fasilitas yang cenderung
menciptakan kondisi monopoli dalam pengelolaan usaha perlu dihilangkan.

1. Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia

Kualitas sumberdaya manusia Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan kualitas
sumberdaya manusia negara ASEAN lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka menghadapi AFTA,
usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia perlu lebih ditingkatkan dengan
mengembangkan sekolah kejuruan dan politeknik di masa mendatang.
1. Perlindungan Terhadap Industri Kecil

Pelaksanaan AFTA akan mengakibatkan tingginya tingkat persaingan, sehingga hanya


perusahaan besar yang mampu terus berkembang. Perusahaan besar tersebut di-perkirakan terus
menekan industri kecil yang pada umumnya kurang mampu bersaing dengan para konglomerat.
Untuk melindungi industri kecil tersebut, perlu diwujudkan sebuah undang-undang anti
monopoli atau membentuk suatu organisasi pemersatu perusahaan-perusahaan berskala kecil.

1. Upaya Meningkatkan Daya Saing Sektor Pertanian

Dalam upaya meningkatkan peran ekspor sektor pertanian, perlu dikembangkan produk-
produk unggulan yang mampu bersaing di pasar, baik pasar domestik maupun pasar
internasional. Pengembangan produk-produk unggulan dilaksanakan melalui serangkaian proses
yang saling terkait serta membentuk suatu sistem agribisnis yang terdiri dari sistem pra produksi,
produksi, pengolahan dan pemasaran (Kartasasmita, 1996).

KESIMPULAN

AFTA adalah bentuk dari Free Trade Area di kawasan Asia Tenggara merupakan
kerjasama regional dalam bidang ekonomi mempunyai tujuan untuk meningkatkan volume
perdagangan di antara negara anggota melalui penurunan tarif beberapa komoditas tertentu,
termasuk di dalamnya beberapa komoditas pertanian, dengan tarif mendekati 0-5 persen. Inti
AFTA adalah CEPT (Common Effective Preferential Tariff), yakni barang-barang yang
diproduksi di antara negara ASEAN yang memenuhi ketentuan setidak-tidaknya 40 %
kandungan lokal akan dikenai tarif hanya 0-5 %.

Sampai saat ini, CEPT masih merupakan hal yang sulit untuk dijalankan oleh Negara-
negara di ASEAN, hanya Singapura saja yang sudah dapat mengurangi hambatan tarifnya
sebesar 0 %, sedangakan Negara-negara ASEAN lainnya masih berusaha untuk mencoba
mengurangi hambatan tarifnya.
Indonesia sebagai Negara yang menyetujui AFTA, sebentar lagi akan masuk ke dalam
era perdagangan bebas, sehingga bangsa ini akan bersaing dengan bangsa-bangsa ASEAN
lainnya. Dengan kondisi bangsa Indonesia dan perekonomian Indonesia saat ini, Indonesia dapat
dikatakan masih belum siap dalam menghadapi persaingan global. Sumber daya manusia
Indonesia dengan masih banyaknya masyarakat dengan tingkat pendidikan dan keahlian yang
minim membuat Indonesia diprediksikan akan kalah dalam persaingan. Situasi politik dan
hukum di Indonesia yang amat sangat tidak pasti juga menambah jumlah nilai minus Indonesia
dalam menghadapi AFTA.

You might also like