You are on page 1of 14

BAB II

KAJIAN TEORI

1. Sejarah Pengiring Keberadaan Permainan Tradisional

Sejarah yang kami tulis dalam Karya Tulis Permainan Tradisional ini

sengaja diambil dari daerah Yogyakarta mengingat keterbatasan literatur yang

ada. Sejarah keberadaan permainan tradisional memang tidak dapat diketahui

secara pasti. Demikian pula tentang macam dan jumlahnya, serta apa maksud

semulanya.

Dari zaman Mataram misalnya kita mengenal cerita/dongengan Raden

Rangga yang suka bermain gatheng, dengan menggunakan batu yang besar-besar.

Peninggalan batu gatheng yang digunakan bermain Raden Rangga hingga

sekarang masih tersimpan di Kotagede. Kemudian cerita permainan watangan

semasa zaman Mataram, seperti yang dikisahkan oleh pengarang Yasawidagda

dalam bukunya Sangkan Paran. Buku ini menceritakan bahwa setiap hari Sabtu

para pemuda zaman Mataram suka bermain watang dengan mengendarai kuda di

alun-alun. Latihan ini bertujuan untuk melatih kewiraan atau kemiliteran.

Ungkapan terkenal yang muncul sehubungan dengan permainan watang adalah

Belo Melu Seton. Semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I, dalam

buku Patilasan Pasanggrahan Taman Sari oleh A. S Dwidjosarogo yang

menerangkan bahwa pembuatan Sumur Gumuling digunakan keluarga raja untuk

bermain Jethungan yang merupakan latihan kecekatan bergerak demi ketangkasan

militer. Selain itu pada masa Kesultanan Ngayogyakarta, diceritakan bahwa di


Alun-alun selatan dahulunya sering digunakan untuk berlatih para putri Kraton

menggunakan lembing yang dikenal dengan Langenkusuma, ada pula permainan

di tempat yang sama untuk menguji keberanian yaitu harimau yang

dipertontonkan pada rakyat kerajaan dan dikelilingi oleh pengamanan dengan

senjata tombak. Masa kanak-kanak Sri Sultan Hamengkubuwono juga dipenuhi

oleh koleksi permainan tradisional yang hingga sekarang juga masih disimpan

sebagai benda pusaka Kraton. Bukti bahwa permainan tradisional telah ada sejak

zaman dulu adalah ditulisnya beberapa kitab yang isinya mengenai permainan

tradisional. Beberapa diantaranya adalah Serat Tatacara (Ki Padmasusastra,

1893), Een Blik in het Javaansche Volksleven (l. Th. Mayer, 1897) serta Serat

Raya Saraja (KPA Koesoemadiningreat, 1913).

2. Permainan Tradisional dan Permainan Modern

Semua kebudayaan berasal dari permainan (Filsuf Belanda, Johan

Huizinga). Menurutnya, permainan adalah awal pertama dan merupakan suatu

kondisi yang perlu bagi tumbuhnya suatu kebudayaan. Salah satu aspek

permainan yang sangat signifikan adalah kesenangan. Permainan sendiri adalah

fungsi paling fundamental yang melahirkan semua kebudayaan sejak dari awal.

Selama tiga dasawarsa ini muncul suatu fenomena baru dalam hal permainan di

Indonesia, yaitu maraknya persebaran mainan (toys) dan permainan (games) yang

berasal dari luar negri. Fenomena perubahan yang terjadi ini mudah saja dilihat

disekitar kita, misalnya di toko-toko yang menjual beragam pernak-pernik

mainan, banyak ditemukan berbagai mainan hasil pengadopsian tokoh-tokoh


kartun (anime) yang tidak jarang sedang booming di kalangan anak-anak bahkan

dewasa. Melihat ciri-ciri tersebut, jelas berbagai mainan tersebut merupakan

produk budaya asing yang mayoritas berasal dari Amerika dan Jepang. Selain itu,

berbagai macam permainan elektronik yang menggunakan teknologi mutakir juga

bersebaran di berbagai kota di Indonesia, bahkan seiring perkembangannya

permainan tersebut telah merambah daerah-daerah di Indonesia. Permainan

modern tersebut dapat dengan mudah ditemukan karena permainan tersebut

dikomersialkan dalam bentuk penyewaan (for rent). Kemunculan permainan

modern tersebut lambat-laun dapat mengancam keberadaan permainan tradisional

utamanya permainan tradisional Jawa yang kaya akan corak dan ragamnya.

Berbagai macam reaksi masyarakatpun muncul dalam fenomena

perkembangan permainan ini. Reaksi positif, agak negatif dan netral merupakan

macam reaksi tersebut. Reaksi positif memberikan pengertian pada seseorang

yang memainkan permainan modern tersebut menjadi bertambah wawasan akan

permainan serapan dari budaya asing, diharapkan pada pemainnya dapat

mensikretiskan permainan tradisional dengan permainan modern yang tengah

berkembang. Umbul merupakan contoh permainan yang mensikretiskan

permainan modern dari budaya asing dengan permainan tradisional, dimana

permainan ini asli dari Indonesia khususnya Jawa, yang sekarang dimainkan

dengan tokoh-tokoh kartun sebagai background gambar kartunya, dahulunya

permainan ini menggunakan wayang sebagai background kartunya. Reaksi kedua

adalah agak negatif, reaksi ini cenderung muncul dari kalangan intelektual,

dikatakan agak negatif karena belum ada rekasi secara langsung yang menolak
akan keberadaan permainan modern tersebut. Reaksi ini lebih condong pada

kekawatiran, terutama anak-anak yang dikawatirkan merengek-rengek untuk

kepemilikan akan permainan modern tersebut. Kreativitas anak yang dikendalikan

oleh otak kanan akan mati seiring ketergantungan dengan permainan modern yang

masuk juga dikawatirkan oleh kaum intelektual. Reaksi ketiga adalah netral atau

acuh tak acuh, reksi ini menekankan pada rasa tidak kawatir dan tidak gembira

akan pengaruh masuknya permainan modern terhadap keberadaan permainan

tradisional, karena pada dasarnya orang Indonesia mempunyai kemampuan local

genius atau kemampuan untuk menyaring/menyesuaikan budaya permainan asing

dengan budaya permainan tradisional.

3. Penggolongan Permainan Tradisional

A. Berdasarkan sarana dan ketersediaan pemainnya, permainan Jawa

dapat dibagi menjadi:

1. Berdasarkan pemainnnya:

a. Khusus Perempuan : Dhakon, Gatheng

b. Khusus Pria : Pathon, Layangan

c. Perempuan/Pria : Angklek, Gobag sodor, Mul-mulan

d. Perempuan & Pria : Angklek, Dham-dhaman.

2. Berdasarkan pola perlawanan:

a. Berpasangan/Satu Lawan Satu : Dhakon, Mul-mulan, Dham-

dhaman

b. Perorangan/Individual : Jamuran, Layangan


c. Kelompok Lawan Kelompok : Gobag Sodor

d. Satu Lawan Satu, Satu Lawan Kelompok, Kelompok Lawan

Kelompok : Bengkat

3. Berdasarkan sarana dan prasarana yang digunakan:

a. Berupa benda : Layangan (Layang-layang)

b. Arena tertentu : Gobag sodor (Tanah Lapang)

c. Arena dan alat : Mul-mulan

4. Disertai Lagu/Nyanyian : Jamuran, Cublak-cublak Suweng

5. Konsekuensi Hukuman : Kauman, Tikusan

6. Dengan Udu/Modal : Citit (Karet gelang), Umbul (Kartu

wayang)

7. Konsekuensi Kerusakan : Layangan, Pathon

8. Dengan Kekuatan Gaib/Magis : Nini Tthowong.

B. Selain itu pengklasifikasian permainan Jawa dalam masa kanak-

kanak menurut filosofi yang terkandung didalamnya dapat dibagi menjadi:

1. Permainan yang bersifat menirukan suatu perbuatan:

Sifat alami menirukan sesuatu dalam proses sosialisasi untuk pencarian

jati diri (imitasi) sudah ada sejak manusia masih kanak-kanak.

Permainan pasaran jawa, permainan mempelai, dan berjamu yang

masing-masing mengandung filosofi dalam aktivitas di pasar,

pernikahan tradisional Jawa, dan mengajarkan pada anak-anak

mengenai tata cara bertamu merupakan beberapa contoh permaian Jawa

yang bersifat menirukan suatu perbuatan. Permainan tersebut dilakukan


dengan asyiknya sehingga para pelakunya seolah-olah mengalami

kejadian yang sesunguhnya.

2. Permainan mencoba kekuatan dan kecakapan:

Permainan ini dengan tidak disadari mempunyai maksud untuk melatih

kekuatan dan kecakapan jasmani. Permainan ini misalnya gobag sodor,

gobag bunder, bandhulan dan uncal.

3. Permainan yang semata-mata bertujuan untuk melatuh panca indra:

Dalam permainan ini termasuk latihan kecakapan meraba dengan

tangan, menghitung bilangan, menghitung jarak, menajamkan alat

penglihatan, menggambar dan menajamkan alat pendengaran.

Permainan yang masuk dalam kategori ini misalnya gatheng, dhakon,

pathon, jirak serta menggambar di tanah. Permainan tersebut erat

kaitannya dengan keolahragaan.

4. Permainan dengan latihan bahasa:

Setiap adanya perkumpulan anak pasti terdapat suatu dongeng atau

cerita pengalamannya, dengan itu timbullah fantasi yang sebesar-

besarnya. Tentu saja, konteks yang dimaksudkan adalah permainan

berupa percakapan. Perkumpulan tersebut merupakan tempat

berkembangnya kemampuan otak dan kecakapan bahasa. Selain itu,

muncullah suatu teka-teki dari suatu anak dalam permulaannya yang

harus ditebak oleh anak lainnya, kemudian muncullah teka-teki lain dari

anak yang berbeda setelah teka-teki sebelumnya berhasil ditebak.

5. Permainan dengan gerak lagu dan wirama:


Permainan yang beserta lagu dan wirama sangatlah luas serta banyak

perinciannya, dibawah ini adalah keterangan singkatnya:

a. Golongan permainan yang lagunya menjadi lagu pokok:

Lagu yang terdapat dalam permainan ini mempunyai makna

sebagai lagu biasa, mengajak kawan bermain, mengharap

kedatangan angin, mencela kawan, mengutuk binatang,

menguji kebagusan orang/hewan, mendatangkan

bidadari/sukma halus dan lain sebagainya. Lagu-lagu tersebut

misalnya padang bulan, wulung gawekna sumur bandung, sikil

bumbung mata laron, widadari tumuruna dan lain sebagainya.

b. Golongan lagu yang disertai gerak permainan:

Golongan ini dibedakan menjadi:

1. Lagu yang menjadi pengantar suatu permainan,

misalnya jamuran, cublak-cublak suweng, bibi tumbas

timun.

2. Lagu sebagai pengiring tari atau gerak wirama,

dimana anak-anak di dalam menyanyikan sesuatu baris

lagu/sebagian, disertai menggerakkan anggota tubuhnya

dengan irama. Misalnya menggelengkan kepala,

mengangkat kaki, menyodongkan lambung dan lain

sebagainya.

3. Lagu yang bersifat undian, maksudnya adalah

sewaktu menyanyikan lagu tersebut ada seseorang yang


menunjuk kawannya satu persatu, dan siapa yang jatuh

pada tunjukan penghabisan pada akhir suku kata lagu, maka

dialah yang dihukum. Lagu-lagu itu misalnya bang-bang

thut, cacah bencah dan sobyung.

4. Lagu yang berisi semacam teka-teki, yaitu dengan

meneruskan perkataan yang telah diucapkan lebih dahulu

dengan perkataan lain yang berawal dengan suku kata

terakhir dari perkataan yang ada terlebih dahulu. Seperti lur

kilir, kilur kombang, mbang, bangku dhuwur, wur, wora-

wari, ri, rina wengi, ngi, ngidul ngetan, tan, tanggal siji, ji,

jiman tholo, lo, lobak lapis, pis, pista raja, ja, jaka bagus,

gus, gusti kula, la, lombok abang,, bang, bangku dhuwur,

wur dan seterusnya.

5. Lagu yang dipakai pada suatu permainan yang

membawa suasana mendalam bagi si pelaku, misalnya

oncit, wedhus prucul dan lain sebagainya.

4. Unsur-unsur Nilai Budaya Yang Terkandung Dalam Permainan

Tradisional

Pada permainan tradisional terdapat unsur-unsur yang terkandung di dalamnya,

tentunya permainan tersebut mulai berkembang sejak masa kanak-kanak,

beberapa diantaranya akan kami ulas. Unsur tersebut antara lain:

A. Rasa senang:
Tentunya seorang anak akan merasa senang bila diajak bermain dengan

temannya, dengan rasa senang tersebut tentu menimbulkan sutu fase

kemajuan untuk kedepannya bagi masing-masing anak.

B. Rasa bebas:

Seseorang yang sedang bermain dan mengikuti alur permainan tersebut

tentu saja merasa bebas dari segala tekanan. Hal tersebut membuat suatu

individu mudah menerima pengaruh baru dari lingkungan sekitarnya.

Tentu saja kesempatan tersebut harus diisi dengan suatu permainan yang

cukup terarah ke unsur pendidikan yang bersifat luhur dan bermoral.

C. Rasa berteman:

Beruntung sekali dalam kehidupan masyarakat kita dapat mempunyai

banyak teman, karena dengan berteman kita dapat mengenal lebih dari

satu karakter tiap individu yang kedepannya dapat diaplikasikan dalam

pergaulan bertetangga. Permainan tradisional dengan bersama-sama lebih

dari satu orang tentu saja yang dimaksudkan dalam konteks ini.

D. Rasa demokrasi:

Dalam bermain, maka setiap anggota mempunyai kedudukan yang sama,

baik dari anak orang kaya, anak pejabat tinggi maupun anak buruh.

Mereka berkedudukan sama sebagai pemain dalam permainan tersebut.

Akan terasa sekali demokrasi dalam permainan tersebut karena masing-

masing pemain bergantian kedudukan (sebagai pihak menang, kalah dan

yang jadi).

E. Bawang kothong:
Dalam berbagai permainan Jawa terdapat suatu status sebagai bawang

kothong atau pupuk bawang, status ini diberikan kepada peserta yang

berhasrat sekali dalam bermain tetapi masih belum cukup umur.

F. Pimpinan kelompok:

Dalam permainan yang berkelompok sudah tidak dapat dipungkiri lagi

untuk memilih ketua kelompok sebagai pimpinan kelompok permainan

tersebut. Hal semacam itu menimbulkan suatu rasa demokrasi pada

masing-masing pemain yang biasanya dilakukan secara sungguh-sungguh,

baik dan penuh tanggung jawab sesuai dengan anjuran/perintah dari

pimpinan.

G. Penuh tanggung jawab:

Permainan Jawa yang dilakukan satu lawan satu tentu saja harus dilakukan

dengan penuh tanggung jawab untuk mencapai suatu kemenangan.

Kemenangan tunggal yang dicapai pemain tersebut berpengaruh pada

pertumbuhan/perkembangan jiwanya. Selain itu, dalam permainan satu

lawan satu juga terdapat penonton yang mengawasi jalannya permainan.

H. Rasa saling membantu dan menjaga:

Poin ini diperlukan untuk menjaga keutuhan suatu kelompok, karena

biasanya poin ini terdapat pada permainan kelompok melawan kelompok.

Dalam konteks ini setiap peserta kelompok harus solid, saling membantu,

saling menolong dan saling menjaga kelompoknya untuk memperoleh

kemenangan atas kelompok lawan.

I. Rasa patuh terhadap peraturan:


Setiap permainan tentu ada suatu peraturan yang harus dipatuhi oleh setiap

pemainnya. Apabila diantara mereka ada yang melanggarnya pasti

diperolok oleh temannya, sehingga timbullah rasa malu pada setiap

pemain yang melanggar setiap aturan yang berlaku. Keseluruhan dari itu,

hal tersebut memberikan pendidikan kepada anak untuk selalu mematuhi

peraturan yang ada, karena dengan melanggar peraturan dalam suatu

forum, akan menimbulkan rasa malu.

J. Melatih keseimbangan dan memperkirakan:

Beberapa permainan Jawa terdapat permainan yang menggunakan gerak

langkah keseimbangan seperti angklek. Gerak langkah keseimbangan ini

memerlukan suatu pemusatan perhatian, jadi melakukannya penuh

keseriusan dan tak mungkin dilakukan secara ngawur atau acak-acakan.

Dalam teknik memperkirakan dibutuhkan dalam suatu permainan Jawa

misalnya melempar kereweng pada suatu kotak yang dibutuhkan ketepatan

untuk memulai suatu permainan.

K. Melatih cakap hitung menghitung:

Perlu kemampuan yang cermat untuk menghitung dalam suatu permainan

Jawa. Misalnya dhakon, permainan tersebut menuntut kita untuk dapat

memperkirakan perhitungan memasukkan biji kecik kedalam lubang yang

kosong sehingga memungkinkan kita untuk dapat mengambil biji kecik

lawan. Dengan demikian permainan dhakon dapat digunakan bagi

pemainnya untuk berlatih cakap menghitung yang meliputi penambahan,

pengurangan, perkalian dan pembagian.


L. Melatih kecakapan berpikir:

Dalam berbagai permainan Jawa seperti macanan dan mul-mulan

diperlukan suatu pemikiran untuk melangkah selanjutnya dalam

kesempatan bermain. Konteks tersebut menuntut para pemainnya untuk

bersifat pethung dalam menetukan langkah kedepannya. Seperti kita

ketahui gerak langkah yang sudah berlalu tidak mungkin dihapuskan atau

dikembalikan lagi, sehingga membutuhkan kecermatan dalam berpikir.

M. Melatih bandel:

Seperti kita ketahui bahwa sifat asli dari anak adalah cengeng/mudah

menangis. Permainan gobag sodor, gobag bunder dan gobag gendul dapat

melatih anak menjadi bandel dan tidak cengeng. Misalnya dalam bermain

kita mengalami kejadian terjungkal/terjatuh, pasti secara reflek naluri

menuntun untuk menangis, tetapi dengan kehadiran banyak teman, tidak

mungkin kita akan menangis karena pasti akan dipermalukan dan

ditertawakan oleh teman yang melihat kita sedang menangis.

N. Melatih berani/kendel:

Permainan Jawa dilakukan pada siang hari atau malam hari dalam suatu

lingkup wilayah tertentu. Pada malam hari misalnya, setiap pemain tentu

harus mempunyai keberanian dalam ikut serta bermain permainan

tersebut.

O. Melatih mengenal lingkungan:

Jethungan atau jelungan merupakan permainan Jawa yang menuntut setiap

pemainnya untuk mengenal lingkungan karena jethungan dilakukan pada


ruang lingkup wilayah yang luas dan pada waktu malam hari. Tentu saja

setiap pemain harus mengenal jalan-jalan kecil dan tempat gelap untuk

persembunyiannya.

P. Sifat jujur dan sportif:

Permainan Jawa juga menuntut setiap pemainnya untuk bertindak jujur

dan sportif demi kelancaran saat permainan berlangsung. Konsekuensi

setiap pemain yang tidak jujur dan sportif adalah diolok-olok oleh para

teman yang mengawasinya, oleh karena itu timbullah efek jera dengan

adanya rasa malu.

Q. Bertingkah sopan:

Permainan Jawa yang mengandung unsur nyanyian atau irama

memerlukan kesopanan dalam memainkannya. Misalnya gerakan wanita

harus disesuaikan dengan norma yang berhubungan dengan kehidupan

wanita, begitupun gerakan laki-laki harus disesuaikan dengan norma

kesopanan yang berlaku dalam kehidupan laki-laki itu sendiri.

5. Contoh Permainan Tradisional Jawa

1. Cublak-cublak suweng:

Dinamakan cublak-cublak suweng mungkin karena pada mulanya yang

dicublek-cublek (ditonjok-tonjokkan) adalah suweng(subang) yang terbuat

dari tanduk (uwer). Permainan ini biasa dilakukan pada sore/malam hari di

teras rumah dan bertujuan untuk melatih pemainnya agar tidak

clingus/pemalu, berani, aktif serta mudah bergaul.Permainan ini dapat


dimainkan oleh laki-laki atau wanita dan berjumlah antara 5-7 orang.

Permainan ini menggunakan uwer/kerikil/biji-bijian sebagai alat bermain

dan syair lagu yang berbunyi:

Cublak-cublak suweng

Suwenge ting gelenter

Mambu ketundhung gudel

Pak empong orong-orong

Sapa jaluk dhelekake

Sir-sir pong dhele gosong

Sir-sir pong dhele gosong

You might also like