Professional Documents
Culture Documents
Sebagian perubahan-perubahan yang terjadi pada diri seseorang merupakan bagian dari
pertumbuhan dan perkembangannya, sedangkan sebagian lagi dari perubahan-perubahan itu
tidak ada kaitannya sama sekali.
Perkembangan fisik mencakup pertumbuhan biologis. Misalnya, pertumbuhan otak, otot, tulang
serta penuaan dengan berkurangnya ketajaman pandangan mata dan berkurangnya kekuatan otot-
otot.
Sejak tahun 1980-an semakin diakui pengaruh keturunan terhadap perbedaan individu. Menurut
Santrok (1992) semua aspek dalam perkembangan dipengaruhi oleh faktor genetik. Aspek-aspek
yang paling banyak diteliti sehubungan dengan pengaruh genetik ini ialah kecerdasan dan
temperamen.
Arthur Jensen (1969) melontarkan pendapatnya bahwa kecerdasan itu diwariskan, dengan
pengaruh yang sangat minimal dari lingkungan dan budaya. Menurut Jensen pengaruh keturunan
terhadap kecerdasan sebesar 80 persen, sedangkan menurut ahli lain sebesar 50 persen.
Temperamen adalah gaya perilaku atau karakteristik dalam merespons lingkungan. Ada bayi
yang sangat aktif dengan menggerak-gerakan tangan, kaki dan mulutnya dengan keras, ada pula
yang lebih tentang. Ada bayi yang merespons orang lain dengan hangat, ada pula yang pasif dan
acuh tidak acuh.
Menurut Thomas & Chess (1991) ada tiga dasar temperamen yaitu yang mudah, yang sulit dan
yang lambat untuk dibangkitkan. Beberapa ahli perkembangan berpendapat bahwa temperamen
adalah karakteristik bayi yang baru lahir yang akan dibentuk dan dimodifikasi oleh pengalaman-
pengalaman masa kecil yang ditemui dalam lingkungannya. Dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa terdapat interaksi antara keturunan dan lingkungan dalam terjadinya perkembangan.
Menurut Santrok dan Yussen (1992) perkembangan adalah pola gerakan atau perubahan yang
dimulai sejak saat pembuahan dan berlangsung terus selama siklus kehidupan. Pola gerakan ini
kompleks dan merupakan produk dari beberapa proses yaitu: biologis, kognitif dan sosial.
Pembagian waktu dalam perkembangan disebut fase-fase perkembangan. Santrok dan Yussen
membaginya atas lima fase yaitu: fase pranatal (saat dalam kandungan); fase bayi (sejak lahir
sampai umur 18 atau 24 bulan), fase kanak-kanak awal sampai umur 5 - 6 tahun, kadang-kadang
disebut fase pra sekolah; fase kanak-kanak tengah dan akhir, sampai umur 11 tahun, sama
dengan usia sekolah dasar terakhir fase remaja yang merupakan transisi dari masa kanak-kanak
ke masa dewasa awal, antara umur 10/13 sampai 18/22 tahun.
Robert J. Havighurst mengemukakan bahwa pada usia-usia tertentu seseorang harus mampu
melakukan tugas-tugas perkembangan. Kemampuan merupakan keberhasilan yang memberikan
kebahagiaan serta memberi jalan bagi tugas-tugas berikutnya, dan terdiri dari tugas
perkembangan;
Menurut Havighurst setiap tahap perkembangan individu harus sejalan dengan perkembangan
aspek-aspek lainnya, yaitu fisik, psikis, emosional, moral dan sosial.
Hukum-Hukum Perkembangan
Dalam perkembangan manusia terdapat hukum-hukum yang diperoleh melalui penelitian, kajian
teori dan praktek. Carol Gestwicki (1995) mengemukakan bahwa:
Belajar adalah perubahan perilaku sebagai fungsi pengalaman. Di dalamnya tercakup perubahan-
perubahan afektif, motorik dan kognitif yang tidak dihasilkan oleh sebab-sebab lain.
Albert Bandura (1969) menjelaskan sistem pengendalian perilaku Belajar adalah perubahan
perilaku sebagai fungsi pengalaman. Didalamnya tercakup perubahan-perubahan afektif, motorik
dan kognitif yang tidak dihasilkan oleh sebab-sebab lain.
Albert Bandura (1969) menjelaskan sistem pengendalian perilaku. Stimulus control. Perilaku
yang muncul di bawah pengendalian stimulus eksternal, seperti bersin, bernafas dan
mengedipkan mata. Outcome control. Perilaku yang dilakukan untuk mencapai hasilnya,
berorientasi pada hasil yang akan dicapai. Symbolic control. Perilaku yang diarahkan oleh kata-
kata yang dirumuskan, atau diarahkan oleh antisipasi yang diimajinasikan dari hasil yang akan
dicapai.
Gaya belajar adalah kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pekerjaan, di sekolah dalam
situasi-situasi antara pribadi. Kepada guru diharapkan untuk menyadari bahwa setiap orang
mempunyai cara yang tertentu untuk mempelajari informasi baru agar tercapai semaksimum
mungkin. Pengalaman belajar seseorang sangat erat kaitannya dengan gaya belajar, cara
belajarnya, yang dipengaruhi oleh berbagai variabel, yaitu faktor-faktor fisik, emosional,
sosiologis dan lingkungan.
Pada awal pengalaman belajar, langkah pertama yang perlu dilakukan ialah mengenali modalitas
kita masing-masing yaitu bagaimana menyerap informasi dengan mudah. Apakah modalitas kita
visual, yaitu belajar melalui apa yang dilihat, apakah auditorial yaitu belajar melalui apa yang
didengar, apakah kinestetik, yaitu belajar melalui gerak dan sentuhan.
Sebenarnya pribadi anak itu tidak dapat dipecah-pecah beberapa bagian yang terpisah-pisah.
Dalam segala tindakannya manusia itu bersikap sebagai suatu keseluruhan yang utuh.
MODUL 2
KARAKTERISTIK ANAK USIA SD
1. Perkembangan fisik atau jasmani anak sangat berbeda satu sama lain, sekalipun anak-
anak tersebut usianya relatif sama, bahkan dalam kondisi ekonomi yang relatif sama pula.
Sedangkan pertumbuhan anak-anak berbeda ras juga menunjukkan perbedaan yang
menyolok. Hal ini antara lain disebabkan perbedaan gizi, lingkungan, perlakuan orang tua
terhadap anak, kebiasaan hidup dan lain-lain.
2. Nutrisi dan kesehatan amat mempengaruhi perkembangan fisik anak. Kekurangan nutrisi
dapat menyebabkan pertumbuhan anak menjadi lamban, kurang berdaya dan tidak aktif.
Sebaliknya anak yang memperoleh makanan yang bergizi, lingkungan yang menunjang,
perlakuan orang tua serta kebiasaan hidup yang baik akan menunjang pertumbuhan dan
perkembangan anak.
3. Olahraga juga merupakan faktor penting pada pertumbuhan fisik anak. Anak yang kurang
berolahraga atau tidak aktif sering kali menderita kegemukan atau kelebihan berat badan
yang dapat mengganggu gerak dan kesehatan anak.
4. Orang tua harus selalu memperhatikan berbagai macam penyakit yang sering kali diderita
anak, misalnya bertalian dengan kesehatan penglihatan (mata), gigi, panas, dan lain-lain.
Oleh karena itu orang tua selalu memperhatikan kebutuhan utama anak, antara lain
kebutuhan gizi, kesehatan dan kebugaran jasmani yang dapat dilakukan setiap hari
sekalipun sederhana.
1. Perkembangan intelektual anak sangat tergantung pada berbagai faktor utama, antara lain
kesehatan gizi, kebugaran jasmani, pergaulan dan pembinaan orang tua. Akibat
terganggunya perkembangan intelektual tersebut anak kurang dapat berpikir operasional,
tidak memiliki kemampuan mental dan kurang aktif dalam pergaulan maupun dalam
berkomunikasi dengan teman-temannya.
2. Perkembangan emosional berbeda satu sama lain karena adanya perbedaan jenis kelamin,
usia, lingkungan, pergaulan dan pembinaan orang tua maupun guru di sekolah. Perbedaan
perkembangan emosional tersebut juga dapat dilihat berdasarkan ras, budaya, etnik dan
bangsa.
3. Perkembangan emosional juga dapat dipengaruhi oleh adanya gangguan kecemasan, rasa
takut dan faktor-faktor eksternal yang sering kali tidak dikenal sebelumnya oleh anak
yang sedang tumbuh. Namun sering kali juga adanya tindakan orang tua yang sering kali
tidak dapat mempengaruhi perkembangan emosional anak. Misalnya sangat dimanjakan,
terlalu banyak larangan karena terlalu mencintai anaknya. Akan tetapi sikap orang tua
yang sangat keras, suka menekan dan selalu menghukum anak sekalipun anak membuat
kesalahan sepele juga dapat mempengaruhi keseimbangan emosional anak.
4. Perlakuan saudara serumah (kakak-adik), orang lain yang sering kali bertemu dan bergaul
juga memegang peranan penting pada perkembangan emosional anak.
5. Dalam mengatasi berbagai masalah yang sering kali dihadapi oleh orang tua dan anak,
biasanya orang tua berkonsultasi dengan para ahli, misalnya dokter anak, psikiatri,
psikolog dan sebagainya. Dengan berkonsultasi tersebut orang tua akan dapat melakukan
pembinaan anak dengan sebaik mungkin dan dapat menghindarkan segala sesuatu yang
dapat merugikan bahkan memperlambat perkembangan mental dan emosional anak.
6. Stres juga dapat disebabkan oleh penyakit, frustasi dan ketidakhadiran orang tua, keadaan
ekonomi orang tua, keamanan dan kekacauan yang sering kali timbul. Sedangkan dari
pihak orang tua yang menyebabkan stres pada anak biasanya kurang perhatian orang tua,
sering kali mendapat marah bahkan sampai menderita siksaan jasmani, anak disuruh
melakukan sesuatu di luar kesanggupannya menyesuaikan diri dengan lingkungan,
penerimaan lingkungan serta berbagai pengalaman yang bersifat positif selama anak
melakukan berbagai aktivitas dalam masyarakat.
Perkembangan Bahasa
Bahasa telah berkembang sejak anak berusia 4 - 5 bulan. Orang tua yang bijak selalu
membimbing anaknya untuk belajar berbicara mulai dari yang sederhana sampai anak memiliki
keterampilan berkomunikasi dengan mempergunakan bahasa. Oleh karena itu bahasa
berkembang setahap demi setahap sesuai dengan pertumbuhan organ pada anak dan kesediaan
orang tua membimbing anaknya.
Fungsi dan tujuan berbicara antara lain: (a) sebagai pemuas kebutuhan, (b) sebagai alat untuk
menarik orang lain, (c) sebagai alat untuk membina hubungan sosial, (d) sebagai alat untuk
mengevaluasi diri sendiri, (e) untuk dapat mempengaruhi pikiran dan perasaan orang lain, (f)
untuk mempengaruhi perilaku orang lain.
Potensi anak berbicara didukung oleh beberapa hal. Yaitu: (a) kematangan alat berbicara, (b)
kesiapan mental, (c) adanya model yang baik untuk dicontoh oleh anak, (d) kesempatan berlatih,
(e) motivasi untuk belajar dan berlatih dan (f) bimbingan dari orang tua.
Di samping adanya berbagai dukungan tersebut juga terdapat gangguan perkembangan berbicara
bagi anak, yaitu: (a) anak cengeng, (b) anak sulit memahami isi pembicaraan orang lain.
1. Kepada orang tua sangat dianjurkan bahwa selain memberikan bimbingan juga harus
mengajarkan bagaimana anak bergaul dalam masyarakat dengan tepat, dan dituntut
menjadi teladan yang baik bagi anak, mengembangkan keterampilan anak dalam bergaul
dan memberikan penguatan melalui pemberian hadiah kepada ajak apabila berbuat atau
berperilaku yang positif.
2. Terdapat bermacam hadiah yang sering kali diberikan kepada anak, yaitu yang berupa
materiil dan non materiil. Hadiah tersebut diberikan dengan maksud agar pada kemudian
hari anak berperilaku lebih positif dan dapat diterima dalam masyarakat luas.
3. Fungsi hadiah bagi anak, antara lain: (a) memiliki nilai pendidikan, (b) memberikan
motivasi kepada anak, (c) memperkuat perilaku dan (d) memberikan dorongan agar anak
berbuat lebih baik lagi.
4. Fungsi hukuman yang diberikan kepada anak adalah: (a) fungsi restruktif, (b) fungsi
pendidikan, (c) sebagai penguat motivasi.
5. Syarat pemberian hukuman adalah: (a) segera diberikan, (b) konsisten, (c) konstruktif, (d)
impresional artinya tidak ditujukan kepada pribadi anak melainkan kepada perbuatannya,
(e) harus disertai alasan, (f) sebagai alat kontrol diri, (g) diberikan pada tempat dan waktu
yang tepat.
MODUL 3
PERBEDAAN INDIVIDUAL DAN JENIS KEBUTUHAN ANAK USIA SEKOLAH DASAR
1. Perbedaan individual seorang anak akan terjadi pada setiap aspek perkembangan anak itu.
Aspek perkembangan tersebut di antaranya adalah pada aspek perkembangan fisik,
intelektual, moral, maupun aspek kemampuan.
2. Perbedaan pada aspek perkembangan fisik jelas terlihat dari perbedaan bentuk, berat, dan
tinggi badan. Selain itu, perbedaan fisik juga dapat diidentifikasi dari segi kesehatan
anak. Sedangkan perbedaan pada aspek perkembangan intelektual dapat dilihat sejalan
dengan tahapan usia, kemampuan anak pun meningkat. Namun demikian, karena
pengaruh berbagai faktor, kemampuan di antara anak-anak tersebut bisa berbeda.
Misalnya, si A pada usia 7 tahun sudah bisa membuat suatu karangan yang bersifat
aplikasi dari suatu konsep, tetapi si B pada usia yang sama belum bisa melakukan hal
yang dilakukan A.
3. Piaget dan Kohlberg masing-masing mempunyai pandangan tersendiri tentang perbedaan
pada aspek perkembangan moral. Piaget mempunyai pandangan bahwa moralitas
berkembang pada 2 tahap utama, yaitu tahap hambatan moralitas dan moralitas kerja
sama sedangkan Kohlberg melukiskan 3 tingkatan alasan moral, yaitu pra-conventional
morality, conventional morality dan post-conventional morality.
4. Perbedaan kemampuan seorang anak bisa mencakup perbedaan dalam berkomunikasi,
bersosialisasi atau perbedaan kemampuan kognitif. Faktor yang menonjol dalam
membentuk kemampuan kognitif adalah faktor pembentukan lingkungan alamiah dan
yang dibuat.
MODUL 4
PERKEMBANGAN ANAK USIA SEKOLAH MENENGAH
Ada beberapa butir penting yang dipaparkan dari Kegiatan Belajar 1 ini, yaitu:
1. Perkembangan fisik pada siswa usia sekolah menengah ditandai dengan adanya
perubahan bentuk, berat, dan tinggi badan. Selain hal itu, perkembangan fisik pada usia
ini ditandai pula dengan munculnya ciri-ciri kelamin primer dan sekunder. Hormon
testoterone dan estrogen juga turut mempengaruhi perkembangan fisik.
2. Perkembangan intelektual siswa SLTP ditandai dengan berkembangnya kemampuan
berpikir formal operasional. Selain itu, kemampuan mengingat dan memproses informasi
cukup kuat berkembang pada usia ini
3. Perkembangan pemikiran sosial dan moralitas nampak pada sikap berkurangnya
egosentrisme. Siswa SLTP dan SMU juga telah mempunyai pemikiran politik dan
keyakinan yang lebih rasional.
4. Terdapat berbagai mazhab atau aliran dalam pendidikan yang membahas faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan anak. Di antaranya adalah aliran nativisme,
empirisme, dan konvergensi.
5. Papalia dan Olds (1992:7-8) menyebutkan faktor internal dan eksternal yang telah
memberi pengaruh besar terhadap perkembangan anak. Urie Bronfenbrenner menyatakan
ada 4 tingkatan pengaruh lingkungan seperti, sistem mikro, meso dan exo yang
membentuk pribadi anak. Sedangkan pandangan konvensional menyatakan bahwa ada 3
faktor dominan yang mempengaruhi perkembangan siswa SLTP dan SMU, yaitu
pembawaan, lingkungan dan waktu.
1. Secara garis besar, perbedaan individu dikategorikan menjadi 2, yaitu perbedaan secara
fisik, dan psikis. Perbedaan secara psikis meliputi perbedaan dalam tingkat
intelektualitas, kepribadian, minat, sikap dan kebiasaan belajar.
2. Dalam pandangan yang lain, perbedaan individual siswa sekolah menengah dibedakan
berdasarkan perbedaan dalam kemampuan potensial dan kemampuan nyata. Kemampuan
nyata dapat disebut sebagai prestasi belajar.
3. Indikator perilaku intelegen menurut Witherington antara lain:
a. Kemudahan dalam menggunakan bilangan.
b. Efisiensi dalam berbahasa.
c. Kecepatan dalam pengamatan.
d. Kemudahan dalam mengingat.
e. Kemudahan dalam memahami hubungan.
f. Imajinasi.
4. Gage dan Berlinier (1984:165) mempunyai pandangan tentang kepribadian sebagai
berikut. Personality is the integration of all of persons traits abilities, motives as well as
his or her temperament, attitudes, opinios, beliefs, emotional responses, cognitive styles,
characters and morals.
5. Menurut Murray, kebutuhan individu dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu
viscerogenic dan psychogenic. Kemudian kebutuhan psychogenic dibagi lagi menjadi 20
kebutuhan.
6. Kebutuhan yang cenderung dominan pada siswa sekolah menengah berdasarkan 20
kebutuhan menurut konsep Murray, adalah seperti ini:
a. Need for affiliation
b. Need for aggression
c. Autonomy needs
d. Conteraction
e. Need for dominance
f. Exhibition
g. Sex.
MODUL 5
PERKEMBANGAN ORANG DEWASA
Untuk lebih memantapkan pemahaman Anda terhadap materi yang telah Anda pelajari, bacalah
rangkuman berikut ini.
1. Perkembangan fungsi aspek-aspek fisik orang dewasa terus berjalan sesuai dengan jenis
pekerjaan, pendidikan dan latihan serta hobi-hobi aktivitas fisik. Usia dewasa merupakan
usia yang secara fisik sangat sehat, kuat, dan cekatan dengan tenaga yang cukup besar.
Kekuatan dan kesehatan ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi, kebiasaan
hidup, kebiasaan makan, dan pemeliharaan kesehatan.
2. Kualitas kemampuan berpikir kelompok dewasa muda terus berkembang lebih meluas
atau komprehensif dan mendalam. Perkembangan ini tergantung pada pengetahuan dan
informasi yang dikuasai. Semakin tinggi dan luas ilmu pengetahuan, dan informasi yang
dimiliki, semakin tinggi kualitas kemampuan berpikir.
3. Pada masa dewasa, berlangsung pengalaman moral. Melalui pengalaman moral, orang
dewasa mengubah pemikiran-pemikiran moral menjadi perbuatan moral.
4. Bekerja untuk pengembangan karier merupakan tuntutan dan karakteristik utama dari
masa dewasa.
Untuk lebih memantapkan pemahaman Anda terhadap materi yang dibahas kegiatan belajar ini,
bacalah rangkuman berikut ini.
1. Menurut aliran nativisme, perkembangan orang dewasa ditentukan oleh faktor yang
dibawa sejak lahir (pembawaan/hereditas).
2. Aliran empirisme, berpendapat bahwa perkembangan orang dewasa semata-mata
tergantung pada faktor lingkungan.
3. Aliran konvergensi menyatakan bahwa perkembangan orang dewasa ditentukan oleh
faktor pembawaan dan lingkungan.
4. Faktor-faktor yang mempermudah perkembangan orang dewasa adalah kekuatan fisik,
kemampuan motorik, kemampuan mental, motivasi untuk berkembang, dan model peran.
1. Kebutuhan Biologis
2. Kebutuhan Rasa Aman
3. Kebutuhan Sosial
4. Kebutuhan akan Harga Diri
5. Kebutuhan untuk Berbuat yang Terbaik.
1. Kebutuhan berprestrasi
2. Kebutuhan rasa hormat
3. Kebutuhan orang dewasa menurut Murray dan Edwards.
4. Kebutuhan berprestrasi
5. Kebutuhan rasa hormat
6. Kebutuhan keteraturan
7. Kebutuhan memperlihatkan diri
8. Kebutuhan otonomi
9. Kebutuhan afiliasi
10. Kebutuhan intrasepsi
11. Kebutuhan berlindung
12. Kebutuhan dominan
13. Kebutuhan merendah
14. Kebutuhan memberi bantuan
15. Kebutuhan perubahan
16. Kebutuhan ketekunan
17. Kebutuhan heteroseksual
18. Kebutuhan agresi.
MODUL 6
IMPLIKASI KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK TERHADAP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
Kegiatan Belajar 1
Pendidikan Bagi Anak Usia Sekolah Dasar
Untuk memantapkan pemahaman Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1, bacalah rangkuman
berikut!
1. Karakteristik anak usia SD adalah senang bermain, senang bergerak, senang bekerja
dalam kelompok, serta senang merasakan/ melakukan sesuatu secara langsung. Oleh
karena itu, guru hendaknya mengembangkan pembelajaran yang mengandung unsur
permainan, memungkinkan siswa berpindah atau bergerak dan bekerja atau belajar dalam
kelompok, serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat langsung dalam
pembelajaran.
2. Menurut Havighurst tugas perkembangan anak usia SD adalah sebagai berikut:
a. menguasai keterampilan fisik yang diperlukan dalam permainan dan aktivitas
fisik,
b. membina hidup sehat,
c. belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok,
d. belajar menjalankan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin
e. belajar membaca, menulis, dan menghitung agar mampu berpartisipasi dalam
masyarakat,
f. memperoleh sejumlah konsep yang diperlukan untuk berpikir efektif,
g. mengembangkan kata hati, moral, dan nilai-nilai
h. mencapai kemandirian pribadi.
Karakteristik yang menonjol pada anak usia sekolah menengah adalah sebagai berikut.
a. Menerapkan model pembelajaran yang memisahkan siswa pria dan wanita ketika
membahas topik-topik yang berkenaan dengan anatomi dan fisiologi;
b. Menyalurkan hobi dan minat siswa melalui kegiatan-kegiatan yang positif;
c. Menerapkan pendekatan pembelajaran yang memperhatikan perbedaan individual atau
kelompok kecil;
d. Meningkatkan kerja sama dengan orang tua dan masyarakat untuk mengembangkan
potensi siswa;
e. Menjadi teladan atau contoh, serta
f. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar bertanggung jawab.
Satuan pendidikan pada tingkat SLTP meliputi rumpun SLTP (SLTP negeri dan swasta,
Madrasah Tsanawiyah (Mts) negeri dan swasta, SMP Kecil, dan SLTP Terbuka), SLTP Luar
Biasa (Sekolah Luar Biasa dan SLTP Terpadu), dan Pendidikan Luar Sekolah (Paket B, Ujian
Persamaan SLTP, Diniyah Wustho, dan Pondok Pesantren).
Satuan pendidikan pada tingkat SLTA meliputi Sekolah Menengah Umum (SMU), Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah negeri dan swasta, serta Pondok Pesantren.
Satuan pendidikan pada tingkat SLTP meliputi rumpun SLTP (SLTP negeri dan swasta,
Madrasah Tsanawiyah (Mts) negeri dan swasta, SMP Kecil, dan SLTP Terbuka), SLTP Luar
Biasa (Sekolah Luar Biasa dan SLTP Terpadu), dan Pendidi
Di sini kita akan mempertimbangkan apakah perbedaan temperamental terkait dengan aspek lain
dari perkembangan anak-anak. It must be emphasized that temperament is concerned with
individual differences and therefore the impact on development centres on associations between
temperament and variations in children's cognitive and social development. Harus ditekankan
bahwa temperamen berkaitan dengan perbedaan individu dan oleh karena itu berdampak pada
pusat-pusat pengembangan hubungan antara temperamen dan variasi dalam pengembangan
kognitif anak-anak dan sosial. There are several ways in which this can occur and these will be
considered in turn. Ada beberapa cara di mana ini bisa terjadi dan ini akan dipertimbangkan
secara bergantian.
Clearly factors such as task orientation will have a direct impact on the child's ability to gain
from learning experiences. Jelas faktor-faktor seperti orientasi tugas akan berdampak langsung
pada kemampuan anak untuk memperoleh hasil dari pengalaman belajar. Other temperamental
influences will have more indirect effects on academic attainment. pengaruh temperamental lain
akan memiliki efek yang lebih langsung pada pencapaian akademis. For example, reactivity is
more likely to influence pupil–teacher and pupil–pupil interaction and thereby the social context
within which learning takes place. Sebagai contoh, reaktivitas lebih mungkin untuk
mempengaruhi murid-guru dan interaksi murid-murid dan dengan demikian konteks sosial di
mana pembelajaran terjadi.
Direct effect of child temperament on parents Langsung pengaruh temperamen anak pada
orang tua
One of the central concepts in current thinking about child development is that of the child
influencing its own development, ie not just being a passive receiver of externally determined
experiences. Salah satu konsep sentral dalam pemikiran terkini tentang perkembangan anak
adalah bahwa anak yang mempengaruhi perkembangannya sendiri, yaitu tidak hanya menjadi
penerima pasif dari pengalaman eksternal ditentukan. Bell (1968) and Sameroff and Chandler
(1975) are widely recognized as bringing this transactional model to the fore. Bell (1968) dan
Sameroff dan Chandler (1975) secara luas diakui sebagai membawa model transaksional
kedepan. Under this model the child plays a significant role in producing its own experiences
both directly by its own selection of activities but, more importantly for the young child, by the
influence its behaviour has upon caretakers (Sameroff and Fiese, 1990). Dengan model ini anak
memainkan peran penting dalam memproduksi pengalaman sendiri baik secara langsung melalui
seleksi sendiri kegiatan tetapi, yang lebih penting untuk anak muda, oleh pengaruh perilaku
perusahaan telah pada pengasuh (Sameroff dan Fiese, 1990).
Indirect effect via 'goodness of fit' Efek tidak langsung 'via' baik kecocokan
There has been a strand of thinking linked with the study of temperament that has emphasized
that the significance of individual differences in temperament has to be considered in relation to
specific environments. Ada seuntai pemikiran terkait dengan studi temperamen yang telah
menekankan bahwa pentingnya perbedaan individu dalam temperamen harus dipertimbangkan
dalam kaitannya dengan lingkungan tertentu. A child who is very low on adaptability and very
high on rhythmicity using will have a more aversive experience if cared for by parents who are
very erratic in their pattern of child care. Seorang anak yang sangat rendah pada adaptasi dan
sangat tinggi pada rhythmicity menggunakan akan memiliki pengalaman yang lebih tidak
menyenangkan jika dirawat oleh orang tua yang sangat tidak menentu dalam pola pengasuhan
anak mereka. The same child will be well suited to parents who are more regular in their routines
of eating and sleeping. Anak yang sama akan cocok untuk orang tua yang lebih teratur dalam
rutinitas mereka makan dan tidur. This suggests that the impact of temperament on development
has to be analysed as an interaction between the child's characteristics and features of the
environment including parenting. Hal ini menunjukkan bahwa dampak dari temperamen
terhadap pembangunan harus dianalisis sebagai interaksi antara karakteristik anak dan fitur dari
lingkungan, termasuk orangtua.
There have been several temperament theorists who have taken this position. Ada beberapa teori
temperamen yang telah mengambil posisi ini.
One of the most extensive research studies with this goodness of fit orientation is that of Lerner
and colleagues: Salah satu studi penelitian yang paling luas dengan orientasi kebaikan fit adalah
bahwa dari Lerner dan rekan:
The 'goodness of fit' concept emphasizes the need to consider both the characteristics of
individuality of the person and the demands of the social environment, as indexed for instance by
expectations or attitudes of key significant others with whom the person interacts (eg parents,
peers or teachers). The 'baik kecocokan konsep menekankan kebutuhan untuk
mempertimbangkan baik karakteristik individualitas orang tersebut dan tuntutan lingkungan
sosial, sebagai diindeks misalnya dengan harapan atau sikap orang lain yang signifikan kunci
dengan siapa orang berinteraksi (orang tua misalnya, rekan-rekan atau guru). If a person's
characteristics of individuality match, or fit, the demands of a particular social context then
positive interactions and adjustment are expected. Jika karakteristik seseorang pertandingan
individualitas, atau pas, tuntutan konteks sosial tertentu maka interaksi positif dan penyesuaian
yang diharapkan. In contrast, negative adjustment is expected to occur when there is a poor fit
between the demands of a particular social context and the person's characteristics of
individuality. Sebaliknya, selisih negatif diperkirakan akan terjadi ketika ada kecocokan miskin
antara tuntutan konteks sosial tertentu dan karakteristik seseorang individualitas. (Lerner, et al.,
1989, p. 510) (Lerner, et al, 1989, hal 510.)
As an illustration of this notion of the goodness of fit between the child's temperament and
parental behaviour Lerner et al. Sebagai ilustrasi dari pengertian tentang kebaikan kesesuaian
antara temperamen anak dan perilaku orangtua et al Lerner. (1989) discussed some of the
evidence concerning temperament and maternal employment outside the home. (1989)
membahas beberapa bukti tentang temperamen dan kerja ibu di luar rumah. Of course a wide
variety of social and economic pressures will be influencing the decision to work outside the
home. Tentu saja berbagai macam tekanan sosial dan ekonomi akan mempengaruhi keputusan
untuk bekerja di luar rumah. However, in addition they suggest that there could be two plausible
routes whereby difficult temperament could influence mothers' decisions on whether to work
outside the home. Namun, di samping mereka menyarankan bahwa mungkin ada dua rute yang
masuk akal dimana temperamen sulit bisa mempengaruhi keputusan ibu apakah akan bekerja di
luar rumah. The first could be that mothers find the problems of rearing the child with difficult
temperament too aversive and therefore opt to go out to work to avoid the hassles of daily child
care. Yang pertama bahwa ibu bisa menemukan masalah membesarkan anak dengan temperamen
sulit juga permusuhan dan karenanya memilih untuk pergi keluar untuk bekerja untuk
menghindari kerepotan pengasuhan anak sehari-hari.
The second route could be that the difficult child is so unpredictable in its eating and sleeping
habits and protests intensely when left with unfamiliar people that the mother feels constrained
not to go out to work because the child cannot fit in with the externally required constraints of
the mother attending the work place at fixed times for fixed periods. Rute kedua bisa bahwa anak
sulit sangat tidak terduga dalam Surat makan dan tidur kebiasaan dan protes intens ketika
dibiarkan dengan orang asing bahwa ibu merasa dibatasi untuk tidak pergi keluar untuk bekerja
karena anak tidak bisa cocok dengan kendala eksternal yang diperlukan dari ibu menghadiri
tempat kerja pada waktu yang tetap untuk jangka waktu tetap.
The goodness of fit approach suggests that which of these processes operates will depend on the
fit between the child's temperament and the mother's tolerance. Kebaikan menyarankan
pendekatan fit yang beroperasi proses ini akan tergantung pada kesesuaian antara temperamen
anak dan toleransi ibu. It will not be possible to predict the consequences of difficult
temperament on the mother's decision to return to work with knowledge of her attitudes towards
child rearing and towards time keeping at work. Tidak akan mungkin untuk memprediksi
konsekuensi dari temperamen sulit pada keputusan ibu untuk kembali bekerja dengan
pengetahuan tentang sikap ke arah membesarkan anak dan menjaga terhadap waktu di tempat
kerja.
Lerner and Galambos (1985) found that mothers of children with difficult temperament tended to
have more restricted work histories than other children. Lerner dan Galambos (1985)
menemukan bahwa ibu dari anak-anak dengan temperamen sulit cenderung memiliki sejarah
bekerja lebih terbatas daripada anak-anak lainnya.
One problem with this finding is that mothers' reports on their infants' 'difficulty' may be biased
by factors that also affect work performance, such as depression. Satu masalah dengan temuan
ini adalah bahwa 'laporan pada bayi mereka' ibu 'kesulitan' mungkin bias oleh faktor-faktor yang
juga mempengaruhi kinerja kerja, seperti depresi. Hyde et al. Hyde et al. (2004) examined this
possibility in a study which found that the consensus infant temperament judgements of fathers
and mothers were still a good predictor of mothers' work outcomes. (2004) meneliti
kemungkinan ini dalam sebuah studi yang menemukan bahwa keputusan konsensus temperamen
bayi dari ayah dan ibu masih merupakan prediksi yang baik dari hasil kerja ibu. This study also
found evidence that a mediating factor between infant temperament and maternal work outcome
is maternal mood: difficult infants are likely to make mothers more depressed and diminish their
sense of competence, thus affecting their work performance. Penelitian ini juga menemukan
bukti bahwa faktor mediasi antara temperamen bayi dan hasil kerja ibu adalah suasana hati ibu:
bayi sulit cenderung membuat ibu lebih tertekan dan mengurangi rasa kompetensi mereka,
sehingga mempengaruhi kinerja mereka. The Lerner and Galambos (1985) study also found that
it seemed to be harder for parents to make satisfactory day-care arrangements for difficult
infants. Para Lerner dan Galambos (1985) studi juga menemukan bahwa tampaknya lebih sulit
bagi orang tua untuk membuat perjanjian penitipan memuaskan untuk bayi sulit.
Indirect effect via susceptibility to psychosocial adversity Efek tidak langsung melalui
kerentanan terhadap kesulitan psikososial
Temperament may also be related to differences in vulnerability to stress. Temperamen juga
mungkin berhubungan dengan perbedaan dalam kerentanan terhadap stres. Not all children are
adversely affected by the experience of specific stresses, such as admission to hospital. Tidak
semua anak-anak sangat dipengaruhi oleh pengalaman spesifik menekankan, seperti masuk ke
rumah sakit. Pre-school children repeatedly hospitalized are at risk for later educational and
behavioural difficulties but only if they come from socially disadvantaged backgrounds (Quinton
and Rutter, 1976). Pra-sekolah anak-anak berulang kali dirawat beresiko untuk kesulitan
kemudian pendidikan dan perilaku, tetapi hanya jika mereka datang dari latar belakang sosial
yang kurang beruntung (Quinton dan Rutter, 1976).
It has proved more difficult to establish whether temperament does influence susceptibility to
adverse experiences. Hal ini terbukti lebih sulit untuk menentukan apakah temperamen tidak
kerentanan pengaruh terhadap pengalaman buruk. Dunn and Kendrick (1982) have shown that an
older child's response to the arrival of a new sibling is systematically related to their
temperament as measured whilst their mother was pregnant. Dunn dan Kendrick (1982) telah
menunjukkan bahwa respon anak yang lebih tua untuk kedatangan saudara baru secara sistematis
berkaitan dengan temperamen mereka sebagai diukur sementara ibu mereka sedang hamil.
Most children respond to this event with some upsurge of behavioural disturbance, such as an
increase in demands for parental attention or in crying. Kebanyakan anak merespons acara ini
dengan beberapa munculnya gangguan perilaku, seperti peningkatan permintaan untuk perhatian
orang tua atau menangis. Which behavioural response is shown is related to prior temperament.
Respon perilaku yang ditampilkan berhubungan dengan temperamen sebelumnya. Unfortunately
their data do not suggest any clear pattern of any one aspect of temperament being more
significant than any other. Sayangnya data mereka tidak menyarankan ada pola yang jelas dari
satu aspek dari temperamen yang lebih penting dari yang lain. However, there were indications
that increases in fears, worries and 'ritual' behaviours were associated with a high degree of
temperamental Intensity and Negative Mood measured before the arrival of the second child.
Namun, ada indikasi bahwa perilaku 'ritual' kenaikan ketakutan, kekhawatiran dan dikaitkan
dengan tingkat tinggi Intensitas temperamental dan Mood Negatif diukur sebelum kedatangan
anak kedua.
These alternative mechanisms for the impact of temperament on the environments the child
experiences can be classified into three types of gene-environment correlation. Mekanisme
alternatif ini dampak dari temperamen terhadap lingkungan pengalaman anak dapat
dikelompokkan menjadi tiga jenis korelasi gen-lingkungan. Scarr and McCartney (1983) have
suggested that children's genetic make-up comes to influence the environments they experience
through three routes. Scarr dan McCartney (1983) telah menyarankan bahwa anak-anak genetik
make-up datang untuk mempengaruhi lingkungan yang mereka alami melalui tiga rute. These
can be illustrated for temperament. Ini dapat digambarkan untuk temperamen. One is passive
gene-environment correlations which are produced when the child is being cared for by parents
who share similar temperaments to the child. Salah satunya adalah pasif gen-lingkungan korelasi
yang dihasilkan ketika anak sedang dirawat oleh orang tua yang berbagi temperamen mirip
dengan anak. A child with a high intensity of reaction is more likely than other children to be
cared for by a parent who has a similarly high intensity of reaction. Seorang anak dengan
intensitas tinggi reaksi lebih mungkin daripada anak-anak lain yang akan dirawat oleh orang tua
yang memiliki intensitas yang sama tinggi reaksi. Such parent–child pairs are likely to be
creating experiences for the child which will be eliciting much aversive stimulation for the child.
Seperti orang tua-anak pasangan mungkin akan menciptakan pengalaman untuk anak yang akan
memunculkan rangsangan permusuhan banyak untuk anak. Evocative gene environment
correlations are created when the child's behaviour evokes specific types of responses from
carers. korelasi gen menggugah lingkungan tercipta saat perilaku anak jenis tertentu
membangkitkan tanggapan dari wali. This was illustrated in the earlier example of sociable
children evoking more social stimulation from carers. Hal ini diilustrasikan dalam contoh
sebelumnya anak-anak bergaul membangkitkan rangsangan sosial yang lebih dari penjaga. The
third type is active gene-environment correlation which arises from the child actively seeking
environments that suit its behavioural predispositions. Jenis ketiga adalah aktif gen-lingkungan
korelasi yang timbul dari anak aktif mencari lingkungan yang sesuai dengan kecenderungan
perilaku tersebut. Children with a low threshold of responsiveness are likely to seek less extreme
and more predictable environments. Anak-anak dengan ambang rendah tanggap cenderung
mencari lingkungan yang lebih ekstrim dan lebih mudah diprediksi.
An important feature of the Scarr and McCartney theory is that they propose that as the child
becomes older the mix of these correlations will change. Sebuah fitur penting dari teori Scarr dan
McCartney adalah bahwa mereka mengusulkan bahwa sebagai anak menjadi lebih tua campuran
korelasi ini akan berubah. Initially the passive and evocative correlations will dominate.
Awalnya korelasi pasif dan menggugah akan mendominasi. The evocative effects will remain
fairly constant. Efek menggugah akan tetap cukup konstan. The significance of passive effects
decline in importance as the child encounters a wider range of people than just primarily the
parents. Signifikansi penurunan efek pasif pentingnya dengan anak bertemu dengan jangkauan
yang lebih luas dari sekedar orang terutama orang tua. Clearly active gene-environment effects
are likely to become dominant as the child has greater and greater freedom to select its own
activities. Jelas aktif gen-pengaruh lingkungan cenderung menjadi dominan sebagai anak
memiliki kebebasan lebih besar dan lebih besar untuk memilih kegiatan sendiri.
These different attachment styles are seen as important because they are associated with
variations in children's subsequent development; secure attachment is generally associated with
more positive outcomes. Gaya ini lampiran yang berbeda yang dianggap penting karena mereka
berhubungan dengan variasi dalam perkembangan selanjutnya anak-anak; lampiran aman
umumnya dikaitkan dengan hasil yang lebih positif. Since the formation of attachment is bound
up with how an infant behaves towards the caregiver during the first year of life it would seem
likely that infant temperament is a significant element. Karena pembentukan lampiran terikat
dengan bagaimana bayi berperilaku terhadap pengasuh selama tahun pertama kehidupan
tampaknya mungkin bahwa temperamen bayi adalah elemen yang signifikan. It is surprising,
then, that although some research has found that infant irritability and negative emotionality are
linked with the avoidant type of insecure attachment, numerous studies have found no evidence
that infant temperamental differences are associated directly with secure versus insecure
attachment classifications in typical development (Goldsmith and Alansky, 1987). Hal ini
mengejutkan, kemudian, bahwa meskipun beberapa penelitian telah menemukan bahwa bayi
lekas marah dan emosi negatif yang terkait dengan jenis avoidant dari lampiran tidak aman,
banyak penelitian tidak menemukan bukti bahwa perbedaan temperamental bayi berhubungan
langsung dengan mengelompokkan lampiran aman versus tidak aman dalam pembangunan khas
(Goldsmith dan Alansky, 1987).
One feature of caregiver behaviour during child's first year that has been widely found to
influence attachment quality is 'sensitivity' (De Wolff and Van IJzendoorn, 1997), namely, the
extent to which the caregiver is attentive to the infant's state, behaviour and communication, and
responds appropriately. Salah satu fitur perilaku pengasuh selama tahun pertama anak yang telah
banyak ditemukan untuk mempengaruhi kualitas lampiran adalah 'kepekaan' (De Wolff dan Van
IJzendoorn, 1997), yaitu, sejauh mana pengasuh yang memperhatikan, perilaku negara bayi dan
komunikasi , dan merespon dengan tepat. It might be expected that caregiver personality
differences would thus be found to be associated with infant attachment security, but here again
few direct effects have been found (Egeland and Farber, 1984). Mungkin diharapkan bahwa
pengasuh perbedaan kepribadian demikian akan ditemukan terkait dengan keamanan bayi
lampiran, tetapi efek langsung di sini lagi beberapa telah ditemukan (Egeland dan Farber, 1984).
What has been found, however, is that the combination of child and caregiver individual
characteristics does predict attachment security (Belsky and Isabella, 1988; Notaro and Volling,
1999) lending support to a transactional model of the process. Apa yang telah ditemukan,
bagaimanapun, adalah bahwa kombinasi dari karakteristik anak dan pengasuh individu tidak
memprediksi keamanan lampiran (Belsky dan Isabella, 1988; Notaro dan Volling, 1999)
dukungan pinjaman kepada sebuah model transaksional proses.
Neither mothers' nor infants' characteristics, taken alone, were good predictors of infants'
attachment classification. Baik ibu maupun bayi karakteristik, diambil sendiri, adalah prediktor
baik klasifikasi lampiran bayi '. However, when the joint effects of both mother and infant
factors were examined, it was found that infants were classed as securely attached if they showed
more positive emotions and fewer fearful reactions in the temperament assessments, but only if
their mothers also showed more positive emotionality. Namun, ketika efek gabungan dari kedua
faktor ibu dan bayi yang diperiksa, ditemukan bahwa bayi yang diklasifikasikan sebagai
terpasang jika mereka menunjukkan lebih emosi positif dan reaksi takut sedikit dalam penilaian
temperamen, tetapi hanya jika ibu mereka juga menunjukkan emosi yang lebih positif . These
secure infants were also rated low in the IBQ on activity level and the amount of distress they
showed to novelty but, again, only if their mothers also rated high on Constraint (self-control,
conventionality) in the MPQ. Bayi ini aman juga dinilai rendah dalam IBQ pada tingkat aktivitas
dan jumlah kesusahan mereka menunjukkan untuk hal-hal baru tapi, sekali lagi, hanya jika ibu
mereka juga dinilai tinggi pada Kendala (pengendalian diri, konvensionalitas) di MPQ.
The researchers comment on these findings that: Para peneliti mengomentari temuan ini bahwa:
The results of this investigation suggest that any individual characteristic of either child or
mother may be less important than the relationship context within which that characteristic
occurs. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik individu baik anak atau ibu
mungkin kurang penting daripada konteks hubungan di mana karakteristik yang terjadi.
Mangelsdorf et al. Mangelsdorf et al. (2000) p. (2000) p. 188. 188.
Summary Ringkasan
b. Sifat-Sifat
Sifat-sifat yang dimiliki oleh seseorang adalah salah satu aspek yang diwarisi dari ibu, ayah atau
nenek dan kakek. Bermacam-macam sifat yang dimiliki manusia, misalnya: penyabar, pemarah,
kikir, pemboros, hemat dan sebagainya.
Sifat-sifat tersebut dibawa manusia sejak lahir. Ada yang dapat dilihat atau diketahui selagi anak
masih kecil dan ada pula yang diketahui sesudah ia besar. Misalnya sifat keras (pelawan atau
bandel) sudah dapat dilihat sewaktu masih berumur kurang dari satu tahun, sedangkan sifat
pemawah baru dapat diketahui setelah anak lanar berbicara, yaitu sekitar 5 tahun.
c. Bakat
Bakat adalah kemampuan khusus yang menonjol di antara berbagai jenis kemampuan yang
dimiliki seseorang. Kemampuan khusus itu biasanya berbentuk keterampilan atau suatu bidang
ilmu, misalnya kemampuan khusus (bakat) dalam bidang seni musik, seni suara, olahraga,
matematika, bahasa, ekonomi, teknik, keguruan, sosial, agama, dan sebagainya. Seseorang
umumnya memiliki bakat tertentu yang terdiri dari satu atau lebih kemampuan khusus yang
menonjol dari bidang lainnya. Tetapi ada juga yang tidak memiliki bakat sama sekali, artinya
dalam semua bidang ilmu dan keterampilan dia lemah. Ada pula sebagian orang memiliki bakat
serba ada, artinya hampir semua bidang ilmu dan keterampilan, dia mampu dan menonjol. Ornag
seperti itu tergolong istimewa dan sanggup hidup di mana saja.
Bakat (kemampuan khusus) sebagaimana halnya dengan inteligensi merupakan warisan dari
orang tua, nenek, kakek dari pihak ibu dan bapak. Warisan dapat dipupuk dan dikembangkan
dengan bermacam cara terutama dengan pelatihan dan didukung dana yang memadai. Seseorang
yang memiliki bakat tertentu sejak kecilnya, namun tidak memperoleh kesempatan untuk
mengembangkannya sebab tidak memiliki dana untuk latihan, maka bakatnya tidak dapat
berkembang. Hal seperti ini dikatakan bakat terpendam.
Pada umumnya anak-anak mempunyai bakat dapat diketahui orang tuanya dengan
memperhatikan tingkah laku dan kegiatan anaknya sejak dari kecil. Biasanya anak yang
memiliki bakat dalam suatu bidang dia akan gemar melakukan atau membicarakan bidang
tersebut.
INTELIGENSI (KECERDASAN)
a. Pengertian tentang inteligensi:
Andaikata pikiran kita umpamakan sebagai senjata, bagaimanakah kualitas dari senjata itu, tajam atau
tidakkah? Membicarakan tentang tajam atau tidaknya kemampuan berpikir tidak lain kita
membicarakan inteligensi (kecerdasan). Sehubungan dengan ini perlu diketahui lebih dahulu apakah
intelek dan apakah inteligensi itu.
Intelek : (pikiran) dengan intelek ornag dapat menimbang, menguraikan, menghubung-hubungkan
pengertian satu dengan yang lain dan menarik kesimpulan.
Inteligensi : (kecerdasan pikiran), dengan inteligensi fungsi pikir dapat digunakan dengan cepat dan
tepat untuk mengatasi suatu situasi/untuk memecahkan suatu masalah. Dengan lain perkataan
inteligensi adalah situasi kecerdasan berpikir, sifat-sifat perbuatan cerdas (inteligen). Pada umumnya
inteligen ini dapat dilihat dari kesanggupannya bersikap dan berbuat cepat dengan situasi yang sedang
berubah, dengan keadaan di luar dirinya yang biasa maupun yang baru. Jadi perbuatan cerdas dicirikan
dengan adanya kesanggupan bereaksi terhadap situasi dengan kelakuan baru yang sesuai dengan
keadaan baru.
b. Tingkat-tingkat Kecerdasan :
Kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru tidak sama untuk tiap-tiap makhluk.
Tiap-tiap orang mempunyai cara-cara sendiri. Maka dapat dikatakan, bahwa kecerdasan beringkat-
tingkat. Mungkin ada berbagai-bagai tingkatan kecerdasan, tetapi dalam uraian ini hanya akan
diutarakan beberapa tingkat kecerdasan anak kecil yang belum dapat berbahasa dan tingkat kecerdasan
manusia.
1) Kecerdasan binatang
Pada mulanya banyak orang berkeberatan digunakan istilah inteligensi pada binatang, karena mereka
hanya mau menggunakan istilah itu pada manusia saja. Menurut hasil penyelidikan para ahli, ternyata
bahwa kecerdasan itu bertingkat-tingkat.
2) Kecerdasan anak-anak
Yang dimaksudkan anak-anak di sini adalah anak-anak kecil lebih kurang umur 1 tahun dan belum dapat
berbahasa. Kecerdasan anak-anak dipelajari terutama berdasarkan percobaan yang telah dipraktekkan
dalam menyelidiki kecerdasan binatang.
Usaha-usaha memperbandingkan perbuatan kera dengan anak-anak kecil membantu para ahli dalam
mengadakan penyelidikan terhadap kecerdasan anak.
3) Kecerdasan manusia
Sesudah anak dapat berbahasa tingkat kecerdasan anak lebih tinggi daripada kera. Tingkat kecerdasan
mausia (bukan anak-anak) tidak sama dengan jera dan anak-anak. Beberapa hal yang merupakan ciri
kecerdasan manusia antara lain:
a) Pengguna bahasa
Kemampuan berbahasa mempunyai faedah yang besar terhadap perkembangan pribadi.
- Dengan bahasa, manusia dapat menyatakan isi jiwanya (fantasi, pendapat, perasaan dan sebagainya).
- Dengan bahasa, manusia dapat berhubungan dengan sesama, tingkat hubungannya selalu maju dan
masalahnya selalu meningkat
- Dengan bahasa, manusia dapat membeberkan segala sesuatu, baik yang lalu, yang sedang dialami, dan
yang belum terjadi, baik mengenai barang-barang yang konkret maupun hal-hal yang abstrak
- Dengan bahasa, manusia dapat membangun kebudayaan.
b) Penggunaan perkakas
Kata Bergson, perkakas adalah merupakan sifat terpenting daripada kecerdasan manusia, dengan kata
lain: perkataan, perbuatan cerdas manusia dicirikan dengan bagaimana mendapatkan, bagaimana
membuat dan bagaimana mempergunakan perkakas.
Perkakas adalah sifat, tetapi semua alat merupakan perkakas. Alat merupakan perantara antara
makhluk yang berbuat atau objek yang diperbuat. Perkakas mempunyai fungsi yang sama, tetapi
mempunyai pengertian yang lebih luas. Perkakas adalah objek yang telah dibuat/dibulatkan dan diubah
sedemikian rupa sehingga dengan mudah dan dengan cara yang tepat dapat dipakai untuk mengatasi
kesulitan atau mencapai suatu maksud.
HASIL PENELITIAN
Ada beberapa anak yang bernama Tuti Lestari dan 5 orang lagi adiknya. 4 orang diantaranya mempunyai
wajah yang kurang normal seperti manusia biasanya. Faktor tersebut terjadi karena adanya turunan dari
gen sang ayah yang berwajah kera (monyet), tapi sang Ibu berwajah normal seperti biasanya. Tapi 2
orang lagi berwajah normal selayaknya manusia biasa. Mereka mempunyai watak sikap yang sangat jauh
berbeda apalagi dalam bidang IQ (kecerdasan). Yang berwajah kkurang normal sifatnya rendah diri, ada
rasa malu, baik dan juga suka menolong. Dan IQ mereka bisa dikatakan cukup bagus, diosekolah mereka
selalu mendapatkan juara kelas. Kalau mengaji suaranya juga bagus dan mereka juga rajin menolong
ibunya. Dibandingkan yang berwajah normal sngat lain, wataknya keras kepala, pelawan dan juga malas.
iQnya juga rendah. Masyarakat sekitar juga kurang suka pada sifat dan tingkah laku mereka.
Objek Penelitian
Nama : TUTI LESTARI
Sekolah : MAN Kisaran
Kelas : 2 SMA
Umur : 17 tahun
Anak dari : Danil Nainggolan
2. DEFINISI KEPRIBADIAN
Pada dasarnya istilah kepribadian digunakan untuk pengertian yang ditujukan pada individu atau
perorangan. Artinya, yang mempunyai kepribadian adalah individu. Kemudian istilah
kepribadian digunakan pula untuk kelompok individu atau masyarakat, selain dikenal adanya
kepribadian si Fulan, juga dikenal dengan adanya kepribadian Minangkabau, kepribadian Jawa,
kepribadian pegawai negeri, kepribadian Indoneis, dan sebagainya.
Kepribadian Indonesia disamakan pengertiannya dengan manusia Indonesia, ukuran satuan atau
unitnya dalam pengertian sifat, ciri, karakter, watak, jiwa, moral, semangat, kebiasaan, tingkah
laku, dan lain-lain.
Gordon W. Allport (1937) memberikan definisi kepribadian sebagai berikut :
Personality is the dynamic organization within the individual of those psychophysical system
that determine his unique adjustment to his environment.
“Kepribadian ialah organisasi sistem jiwa raga yang dinamis dalam diri individu yang
menentukan penyesuaian dirinya yang unik terhadap lingkungannya”.
Kalau definisi tersebut dianalisis, maka kepribadian adalah:
a. Merupakan suatu organisasi dinamis, yaitu suatu kebulatan keutuhan, organisasi atau sistem
yang mengikat dan mengaitkan berbagai macam aspek atau komponen kepribadian. Organisasi
tersebut dalam keadaan berproses, selalu mengalami perubahan dan perkembangan.
b. Organisasi itu terdiri atas sistem-sistem psychiphysical atau jiwa raga. Term ini menunjukkan
bahwa kepribadian itu tidak hanya terdiri atas mental, rohani, jiwa atau hanya jasmani saja tetapi
organisasi itu mencakup semua kegiatan badan dan mental yang menyatu kedalam kesatuan
pribadi yang berbeda dalam individu.
c. Organisasi itu menentukan penyesuaian dirinya, artinya menunjukkan bahwa kepribadian
dibentuk oleh kecenderungan yang berperan secara aktif dalam menentukan tingkah laku
individu yang berhubungan dengan dirinya sendiri dan lingkungan masyarakat. Kepribadian
adalah sesuatu yang terletak di belakang perbuatan khas yang berbeda dalam individu.
d. Penyesuaian diri dalam hubungan dengan lingkungan itu bersifat unik, khas, atau khusus,
yakni mempunyai ciri-ciri tersendiri dan tidak ada yang menyamainya. Tiap penyesuaian
kepribadian tidak ada dua yang sama dan karena itu berbeda dengan penyesuaian kepribadian
yang lain, walaupun seandainya dua kepribadian anak kembar berasal dari satu telur. Tiap-tiap
penyesuaian terarah pada diri sendiri, lingkungan masyarakat, ataupun kebudayaan.
Dari definisi diatas diperoleh pengertian sebagai berikut:
a. Bahwa kepribadian adalah organisasi yang dinamis, artinya suatu organisasi yang terdiri dari
sejumlah aspek/unsur yang terus tumbuh dan berkembang sepanjang hidup manusia.
b. Aspek-aspek tersebut adalah mengenai psiko-fisik (rohani dan jasmani) antara lain sifat-sifat,
kebiasaan, sikap, tingkah laku, bentuk-bentuk tubuh, ukuran, warna kulit dan sebagainya.
Semuanya tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi yang dimiliki seseorang.
c. Semua Aspek kepribadian, baik sifat-sifat maupun kebiasaan, sikap, tingkah laku, bentuk
tubuh, dan sebagainya, merupakan suatu sistem (totalitas) dalam menentukan cara yang khas
dalam mengadakan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Ini mengandung arti bahwa setiap
orang memiliki cara yang khas atau penampilan yang berbeda dalanm bertindak atau bereaksi
terhadap lingkungannya.
Dengan kata lain dapat dikatakan kepribadian yang mencakup semua aktualisasi dari
(penampilan) yang selalu tampak pada diri seseorang, merupakan bagian yang khas atau ciri-ciri
dari seseorang. Misalnya ada orang yang memiliki sifat pemarah tetapi jujur, tekun bekerja, suka
menolong, rajin bekerja, senang berolahraga, suka berpakaian yang sederhana dan sebagainya.
TIPE-TIPE KEPRIBADIAN
Berdasarkan persamaan aspek kepribadian pada sejumlah orang tertentu, maka para ahli
mengadakan pembagian/penggolongan kepribadian manusia bermacam-macam tipe. Beberapa
macam pembagiannya ialah:
a. Menurut Galenus
Galenus seorang dokter bangsa Romawi (129 – 199 M) membagi temperamen manusia menjadi
4 tipe berdasarkan jenis cairan yang paling berpengaruh pada tubuh manusia.
Pembagian tersebut adalah:
1) Cholericus : Empedu kuning (chole) yang paling berpengaruh. Orang ini besar dan kuat
tubuhnya, penarik darah, sukar mengendalikan diri.
2) Sanguinicus: darah (sanguis) yang lebih besar pengaruhnya. Orang ini wajahnya selalu
berseri-seri, periang, dan berjiwa kekanak-kanakan
3) Flegmeticus: lendis (flegma) yang paling berpengaruh. Orang ini pembawaannya tenang,
pemalas, pesimis, dan wajahnya selalu pucat
4) Melancholicus: empedu hitam (melanchole) yang lebih berpengaruh. Orang-orang dengan tipe
ini selalu bersikap murung dan mudah menaruh syak (curiga).
b. Menurut Heymans
Heymans memperoleh 7 macam tipe manusia yaitu:
1) Gapasioneerden (orang hebat): orang yang aktif dan emosional serta fungsi sekundernya kuat.
2) Cholerici (orang garang): orang aktif dan emosional tetapi fungsi sekundernya lemah
3) Sentimentil (orang perayu): orang yang tidak aktif, emosional dan fungsi sekundernya kuat.
4) Nerveuzen (orang penggugup): orang yang tidak aktif dan fungsi sekundernya lemah tetapi
emosinya kuat.
5) Flegmaciti (orang tenang): orang yang tak aktif dan fungsi sekundernya kuat.
6) Sanguinici (orang kekanak-kanakan): orang yang tidak aktif, tidak emosional, tetapi fungsi
sekundernya kuat.
7) Amorfrn (orang tak berbentuk): orang-orang yang tidak aktif, tidak emosional dan fungsi
sekundernya lemah.
c. Menurut Spranger
Berdasarkan kuat lemahnya nilai-nilai dalam diri seseorang, R. Spranger membagi
watak/kepribadian manusia menjadi 6 tipe, yaitu:
1) Manusia teori
Orang-orang ini berpendapat ilmu pengetahuan paling penting, berada di atas segala-galanya.
2) Manusia Ekonomi
Nilai yang paling penting bagi orang ini ialah uang (ekonomi)
3) Manusia sosial
Bagi orang ini, nilai-nilai sosial paling mempengaruhi jiwanya.
4) Manusia politik
Nilai yang terpenting bagi orang ini ialah politik
5) Manusia seni
Jiwa orang ini selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai kesenian
6) Manusia saleh
Orang ini pecinta nilai-nilai agama
MENGUKUR KEPRIBADIAN
Cara mengukur.menyelidiki kepribadian ada bermacam-macam antara lain:
1) Observasi
Menilai kepribadian dengan observasi yaitu dengan cara mengamati/memperhatikan langsung
tingkah laku serta kegiatan yang dilakukan oleh yang bersangkutan terutama sikapnya, caranya,
bicara, kerja dan juga hasilnya.
2) Wawancara (interview)
Menilai kepribadian dengan wawancara, berarti mengadakan tatap muka dan berbicara dari hati-
hati dengan orang yang dinilai.
3) Inventory
Inventory adalah sejenis kuesiner (pertanyaan tertulis) yang harus dijawab oleh responden secara
ringkas, biasanya mengisi kolom jawaban dengan tanda cek.
4) Teknik Proyektif
Cara lain mengukur/menilai kepribadian dengan menggunakan teknik proyektif. Si anak/orang
yang dinilai akan memproyeksikan pribadinya melalui gambar atau hal-hal lain yang
dilakukannya.
5) Biografi dan Autobiografi
Riwayat hidup yang ditulis orang lain (biografi) dan ditulis sendiri (autobiografi) dapat juga
digunakan untuk menilai kepribadian
6) Catatan Harian
Catatan harian seseorang berisikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan sehari-hari, dapat juga
dianalisis dan dijadikan bahan penelitian kepribadian seseorang.
3. ASPEK-ASPEK KEPRIBADIAN
Tingkah laku manusia dianalisis ke dalam tiga spek atau fungsi yaitu:
a) Aspek kognitif (pengenalan) yaitu pemikiran, ingatan hayalan, daya bayang, inisiatif,
kreativitas, pengamatan dan penginderaan. Fungsi aspek kognitif adalah menunjukkan jalan,
mengarahkan dan mengendalikan tingkah laku.
b) Aspek afektif yaitu bagian kejiwaan yang berhubungan dengan kehidupan alam perasaan atau
emosi, sedangkan hasrat, kehendak, kemauan, keinginan, kebutuhan, dorongan, dan elemen
motivasi lainnya disebut aspek konatif atau psi-motorik (kecenderungan atau niat tidak) yang
tidak dapat dipisahkan dengan aspek afektif.
c) Aspek motorik yaitu berfungsi sebagai pelaksana tingkah laku manusia seperti perbuatan dan
gerakan jasmaniah lainnya.
OBJEK PENELITIAN
Saya mengetahui bahwa dilingkungan sekitar saya ada seorang anak yang prilakunya bandal jadi
orang tuanya nggak perhatian sama dia karena sibuk kerja.
Jadi dia terpengaruh oleh lingkungannya namanya : Adi dia mengikut tingkah laku temannya
sehingga orang tuanyapun nggak peduli lagi sama dia berulang-ulang dinasehati dia nggak mau
dengarin nasehat orang tuanya mungkin kepribadiannya belum menuju arah kebaikan
Konsep Diri
Ditulis oleh Rizki Mulya Rahman
Rabu, 17 Juni 2009 22:00
Pengertian Konsep Diri
Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau
penilaian seseorang terhadap dirinya. Menurut Rogers konsep diri merupakan
konseptual yang terorganisasi dan konsisten yang terdiri dari persepsi-persepsi
tentang sifat-sifat dari ’diri subjek’ atau ’diri objek’ dan persepsi-persepsi tentang
hubungan-hubungan antar ’diri subjek’ diri objek’ dengan orang lain dan dengan
berbagai aspek kehidupan beserta nilai-nilai yang melekat pada persepsi-perseepsi ini
(Lindzey & Hall, 1993;201).
Jika manusia mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberi arti dan penilaian serta
membentuk abstraksi pada dirinya sendiri, hal ini menunjukan suatu kesadaran diri dan
kemampuan untuk keluar dari dirinya untuk melihat dirinya sebaimana ia lakukan terhadap
objek-objek lain. Diri yang dilihat, dihayati, dialami ini disebut sebagai konsep diri (Fitts, dalam
Agustiani, 2006:139).
Menurut Hurlock (1978:237), pemahaman atau gambaran seseorang mengenai dirinya dapat
dilihat dari dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek psikologis. Gambaran fisik diri menurut
Hurlock, terjadi dari konsep yang dimiliki individu tentang penampilannya, kesesuaian dengan
seksnya, arti penting tubuhnya dalam hubungan dengan perilakunya, dan gengsi yang diberikan
tubuhnya di mata orang lain. Sedangkan gambaran psikis diri atau psikologis terdiri dari konsep
individu tentang kemampuan dan ketidakmampuannya, harga dirinya dan hubungannya dengan
orang lain.
Menurut Hurlock (1978:238), konsep diri yang positif akan berkembang jika seseorang
mengembangkan sifat-sifat yang berkaitan dengan ‘good self esteem’, ‘good self confidence’, dan
kemampuan melihat diri secara realistik. Sifat-sifat ini memungkinkan seseorang untuk
berhubungan dengan orang lain secara akurat dan mengarah pada penyesuaian diri yang baik.
Seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat optimis, penuh percaya diri dan selalu
bersikap positip terhadap segala sesuatu.
Sebaliknya konsep diri yang negatif menurut Hurlock (1978:238) akan muncul jika seseorang
mengembangkan perasaan rendah diri, merasa ragu, kurang pasti serta kurang percaya diri.
Seseorang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa
dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak
menarik, tidak disukai dan tidak memiliki daya tarik terhadap hidup.
Jadi konsep diri merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya secara menyeluruh. Konsep diri
penting dalam mengarahkan interaksi seseorang dengan lingkungannya mempengaruhi
pembentukan konsep diri orang tersebut.
Konsep diri tidak dibawa sejak lahir tetapi secara bertahap sedikit demi sedikit timbul sejalan
dengan berkembangnya kemampuan persepsi individu. Konsep diri manusia terbentuk melalui
proses belajar sejak masa pertumbuhan seseorang dari kecil hingga dewasa. Bayi yang baru lahir
tidak memiliki konsep diri karena mereka tidak dapat membedakan antara dirinya dengan
lingkungannya. Menurut Allport (dalam Skripsi Darmayekti, 2006:21) bayi yang baru lahir tidak
mengetahuui tentang dirinya.
Rahmat (2000: 100), menjelaskan bahwa konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif,
tapi juga penilaian diri anda tentang diri anda. Jadi konsep diri meliputi apa yang anda pikirkan
dan apa yang anda rasakan tentang diri anda. Adanya proses perkembangan konsep diri
menunjukan bahwa konsep diri seseorang tidak langsung dan menetap, tetapi merupakan suatu
keadaan yang mempunyai proses pembentukan dan masih dapat berubah.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan konsep diri, antara
lain:
a. Usia
Konsep diri terbentuk seiring dengan bertambahnya usia, dimana perbedaan ini lebih banyak
berhubungan dengan tugas-tugas perkembangan. Pada masa kanak-kanak, konsep diri seseorang
menyangkut hal-hal disekitar diri dan keluarganya. Pada masa remaja, konsep diri sangat
dipengaruhi oleh teman sebaya dan orang yang dipujanya. Sedangkan remaja yang
kematangannya terlambat, yang diperlakukan seperti anak-anak, merasa tidak dipahami sehingga
cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri. Sedangkan masa dewasa konsep dirinya
sangat dipengaruhi oleh status sosial dan pekerjaan, dan pada usia tua konsep dirinya lebih
banyak dipengaruhi oleh keadaan fisik, perubahan mental maupun sosial (Syaiful, 2008).
b. Inteligensi
Inteligensi mempengaruhi penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungannya, orang lain dan
dirinya sendiri. Semakin tinggi taraf intreligensinya semakain baik penyesuaian dirinya dan lebih
mampu bereaksi terhadap rangsangan lingkungan atau orang lain dengan cara yang dapat
diterima. Hal ini jelas akan meningkatkan konsep dirinya, demikian pula sebaliknya (Syaiful,
2008).
c. Pendidikan
Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi akan meningkatkan prestisenya. Jika
prestisenya meningkat maka konsep dirinya akan berubah (Syaiful, 2008).
Hal ini didukung oleh penelitian Rosenberg terhadap anak-anak dari ekonomi sosial tinggi
menunjukkan bahwa mereka memiliki konsep diri yang tinggi dibandingkan dengan anak-anak
yang berasal dari status ekonomi rendah. Hasilnya adalah 51 % anak dari ekonomi tinggi
mempunyai konsep diri yang tinggi. Dan hanya 38 % anak dari tingkat ekonomi rendah memiliki
tingkat konsep diri yang tinggi (dalam Skripsi Darmayekti, 2006:21).
Hamachek (dalam Rahmat, 2000: 106) menyebutkan 11 karakteristik orang yang mempunyai
konsep diri positif:
1. Meyakini betul nilai-nilai dan prinsip-psinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya,
walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat. Tapi ia juga merasa dirinya cukup tangguh
untuk mengubah prinsip-prinsip itu bila pengalaman dan bukti-bukti baru menunjukkan ia salah.
2. Mampu bertindak berdasarkan penelitian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebih-
lebihan, atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya.
3. Tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang akan terjadi
besok, apa yang telah terjadi waktu yang lalu, dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang.
4. Memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia
menghadapi kagagalan atau kemunduran.
5. Merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat
perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga, atau sikap orang lain
terhadapnya.
6. Sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, paling
tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabatnya.
7. Dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa
merasa bersalah.
9. Sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan
keinginan, dari perasaan marah sampai cinta, dari sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang
mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula.
10. Mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan,
permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan, atau sekedar mengisi waktu.
11. Peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima, dan terutama
sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain.
* Penulis adalah mahasiswa fakultas psikologi UIN Jakarta. Saat ini beliau menjabat sebagai
Ketua Komisariat Fakultas Psikologi(Komfapsi) PMII Cabang Ciputat.
Memahami Konsep Diri
Beberapa Terminologi Penting tentang
Konsep Diri
K onsep diri berkaitan erat dengan individu termasuk ide, pikiran, kepercayaan serta
keyakinan yang diketahui dan dipahami oleh individu tentang dirinya. Hal ini akan
mempengaruhi kemampuan individu dalam membina hubungan dengan orang lain. Setiap
orang akan mendasarkan, membanding, merepon dan bentuk perlaku sesuai dengan
konsep dirinya. Konsep diri terbentuk melalui proses yang terjadi sejak lahir kemudian
secara bertahap mengalami perubahan seiring dengan tingkat pertumbuhan dan
perkembanga individu. Pembentukan konsep diri sangat dipengaruhi oleh lingkungan.
Konsep diri juga akan dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain
termasuk berbagai tekanan yang dialami individu. Hal ini akan membentuk persepsi individu
terhadap dirinya sendiri dan penilaian terhadap pengalaman akan situasi tertentu. Berikut
ini beberapa pengertian yang yang perlu dipahami berkaitan dengan konsep diri dan hal-hal
yang berkaitan dengannya.
... Apa Konsep Diri itu?
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu
tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart
dan Sudeen, 1998). Hal ini temasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuan, interaksi
dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek,
tujuan serta keinginannya. Beck, Willian dan Rawlin (1986) menyatakan bahwa konsep diri
merupakan cara individu memandang dirinya secara utuh, baik fisik, emosional intelektual,
sosial dan spiritual.
Konsep diri merupakan suatu ukuran kualitas yang memungkinkan seseorang dianggap dan
dikenali sebagai individu yang berbeda dengan individu lainnya. Kualitas yang membuat
seseorang memiliki keunikan sendiri sebagai manusia, tumbuh dan berkembang melalui
interaksi sosial, yaitu berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan orang lain. Individu
tidak dilahirkan dengan membawa kepribadian tetapi dipengaruhi oleh lingkungan
disekitarnya. Pengalaman dalam kehidupan akan membentuk diri (kepribadian), tetapi
setiap orang juga harus menyadari apa yang sedang terjadi dan apa yang telah terjadi pada
diri pribadinya. Kesadaran terhadap diri pribadi merupakan suatu proses persepsi yang
ditujukan pada dirinya sendiri.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Perkembangan
Konsep diri bukan bawaan (hereditas) sejak lahir, tetapi berkembang melalui tahapan
tertentu karena interaksi dengan lingkungan. Sejak lahir seseorang mulai mengenal dan
membedakan dirinya dengan orang lain. Dengan demikian pembentukan konsep diri melalui
suatu proses belajar. Dalam melakukan kegiatannya seseorang memiliki batasan diri yang
terpisah dari lingkungan dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi lingkungan,
penggunaan bahasa, suara, pengalaman atau pengenalan tubuh, nama panggilan,
pangalaman budaya, interaksi sosia, hubungan interpersonal, kemampuan dalam bidang
terntentu yang dinilai oleh diri, kelompok atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan
merealisasikan potensi yang dimilikinya.
Orang terpenting atau yang Terdekat (Significant Other) Pembentukan konsep diri
terjadi melalui kedekatan dan hubungan personal dengan orang terdekat disekitarnya. Hal
ini dipelajari melalui kontak dan pengalaman pribadi dengan orang lain. Belajar melalui
cermin orang lain dengan cara pandangan diri merupakan interprestasi diri atas pandangan
orang lain erhadap dirinya. Ketika anak mulai tumbuh dewasa akan sangat dipengaruhi
oleh orang tua (ayah dan ibunya), dimana perilakunya akan banyak dibentuk dengan
ukuran dan interpretasi dengan tindakan—perilaku orang tuanya. Demikian halnya, pada
saat remaja dipengaruhi oleh teman di lingkungan bermain, sekolah, atau orang lain yang
dekat dengan dirinya, pengaruh orang dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup,
pengaruh budaya
dan sosialisasi akan membentuk konsep diri seseorang.
Persepsi Terhadap Diri Pribadi (Self-Perception)
Proses psikologis diasosiasikan dengan interpretasi dan pemberian makna terhadap orang
atau objek tertentu yang dikenal dengan persepsi. Menurut Fisher, persepsi didefenisikan
sebagi interpretasi terhadap berbagai sensasi sebagai representasi dari objek eksternal.
Dengan demikian persepsi merupakan pengetahuan yang dapat ditangkap oleh panca
indera. Oleh karena itu. persepsi mensyaratkan: (a) adanya objek eksternal yang dapat
ditangkap oleh indera, (b) adanya informasi untuk diinterpretasikan, dan (c) menyangkut
sifat representatif dari penginderaan. Karenanya persepsi tidak lebih dari sekedar
pengetahuan mengenai apa yang tampak sebagai realitas seseorang. Realitas yang
dipersepsikan seringkali sesuatu yang jelas, bersifat pribadi, penting, utama dan dapat
dipercaya. Sementara indera manusia mempunyai keterbatasan, karenanya bisa jadi
pengetahuan yang disimpulkan bukanlah suatu kenyataan yang sebenarnya.
Fisher menyebutkan ada beberapa elemen dari kesadaran diri, yaitu konsep diri,
self-esteem, dan multiple selves.
1. Konsep diri merupakan cara pandang tentang diri sendiri. Umumnya orang
menggolongkan diri sendiri dalam tiga kategori;
Karakteristik atau sifat pribadi atau sifat yang dimiliki, seperti fisik (lakilaki,
perempuan, tinggi, rendah, cantik, tampan, gemuk, dsb). Atau kemampuan tertentu
(pandai, pendiam, rajin, cermat dsb)
Karakteristik atau sifat sosial, misalnya introvert atau ekstrovert, ramah atau ketus,
periang atau pendiam.
Peran sosial, contohnya ayah, ibu, guru, militer, polisi dan lain-lain.
2. Self esteem, merupakan bagian yang inherent dari konsep diri. Self esteem kita adalah
bagian dari interpretasi atau penyimpulan dari persepsi diri. Self-esteem berpengaruh
pada perilaku komunikasi. Jika self-esteem tinggi, biasanya akan lebih percaya diri,
mandiri dan merasa kompeten.
3. Multiselves mencakup pengertian bahwa setiap orang terkadang memiliki identitas yang
berbeda dalam berbagai situasi atau kondisi. Misalnya di kelas sebagai guru, di rumah
ebagai ayah, dan di kantor sebagai manajer.
Identitas diri terus berkembang sejak masa kanak-kanak bersamaan dengan perkembangan
konsep diri. Hal yang penting dalam identitas adalah jenis kelamin (Keliat,1992). Identitas
jenis kelamin berkembang sejak lahir secara bertahap dimulai dengan konsep laki-laki dan
wanita banyak dipengaruhi oleh pandangan dan perlakuan masyarakat terhadap masing-
masing jenis kelamin tersebut. Perasaan dan perilaku yang kuat akan identitas diri individu
dapat ditandai dengan:
Memandang dirinya secara unik.
Merasakan dirinya berbeda dengan orang lain.
Merasakan otonomi: menghargai diri, percaya diri, mampu diri, menerima diri dan
mampu mengontrol diri.
Mempunyai persepsi tentang gambaran diri, peran dan konsep diri.
... Pembentukan Konsep Diri
Wuryanano (2007) menguraikan bagaimana membentuk konsep diri menjadi lebih baik,
maka terlebih dahulu Anda harus mengetahui hal-hal yang mempengaruhi Konsep Diri,
yaitu: (a) cita-cita diri, (b) citra diri, dan (c) harga diri.
Cita-cita diri adalah keinginan untuk mencapai sesuatu tujuan, harapan, dan
keinginan pribadi yang dipengaruhi oleh lingkungan disekitarnya seperti, orang tua,
teman atau tetangga. Hal ini biasanya sangat kuat mempengaruhi kehidupan seseorang
di masa depan. Seringkali terjadi cita-cita diri bukanlah harapan pribadi, tetapi sudah
terjadi dan dijalani saat ini, tidaklah mungkin mengubah secara fisik apa yang saat ini
sudah terjadi. Misalnya, Anda tidak bercita-cita untuk menjadi seorang guru, tetapi
karena orang tua sangat menginginkan punya anak seorang guru, maka akhirnya di
dalam perjalanan pendidikan Anda sudah terarah untuk menjadi pendidik. Hal ini secara
fisik sangat sulit untuk dirubah. Seseorang akan tetap menjadi seorang guru, dokter,
insinyur atau pengacara. Hal ini sebenarnya tidak begitu berpengaruh pada kehidupan
pribadi. Tetapi yang penting di pahami, bahwa kehidupan pribadi sangat dipengaruhi
oleh sesuatu yang lebih prinsip, sesuatu dari dalam diri yang diyakini, yaitu citra diri.
Citra Diri merupakan suatu produk dari pengalaman masa lalu beserta sukses dan
kegagalannya. Citra diri dibangun oleh sebuah gambaran tentang diri yang menurut
keyakinan dianggap benar. Citra Diri sebenarnya muncul sebagai "Konsepsi diri
mengenai seperti apakah diri Anda sebenarnya". Seringkali keyakinan tentang diri tidak
tepat atau memang salah. Tetapi yang sering terjadi seseorang menganggap hal itu
sesuatu yang sesungguhya. Seseorang bisa menjadikan pengalaman hidup dan
aktualisasi dirinya sebagai sebuah kisah sukses, atau sebaliknya suatu kisah penuh
kegagalan, keburukan, keterpurukan, dan kesulitan. Semuanya tergantung pada apa
yang akan dilakukan terhadap citra dalam dirinya. Dengan kata lain citra diri merupakan
alat penting untuk mencapai kebaikan atau keburukan. Upaya mengubah, memperbaiki
dan meningkatkan citra diri harus menggunakan kekuatan pikiran super, bekerja keras
dengan sebuah wawasan—cara pandang dan berfikir baru.
Semua tindakan dan emosi akan selalu konsisten dengan citra diri. Anda akan
bertindak sesuai dengan diri yang menurut pikiran menunjukkan keberadaan dirinya.
Anda tidak bisa bertindak selain dari itu, meskipun mungkin melatih seluruh daya
kemampuannya. Jika orang berpikir dengan keyakinan bahwa dirinya sebagai "tipe
orang gagal", maka dirinya akan menemukan cara untuk mendekati kegagalan; biarpun
dia sudah berusaha keras sekali agar berhasil. Orang yang berpikir dirinya "tidak
beruntung" seperti itu akan mendapatkan bukti bahwa dia memang selalu ditimpa
kemalangan dalam hidupnya, meskipun dia selalu mencoba berusaha agar berhasil. Hal
penting yang perlu ditekankan bahwa citra diri sebagai landasan sekaligus pilar yang
menyangga seluruh kepribadian seseorang. Hal ini menandakan bahwa citra diri dapat
dirubah atau masih mungkin untuk diperbaiki sesuai kehendak dirinya.
Harga diri merupakan penilaian diri terhadap hasil yang dicapai dengan
menganalisis seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri (Stuart and Sundeen, 1991).
Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri
yang tinggi. Jika individu sering gagal, maka cenderung harga diri rendah. Harga diri
diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah di cintai dan menerima
penghargaan dari orang lain (Keliat, 1992). Biasanya harga diri sangat rentan terganggu
pada saat remaja dan usia lanjut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah
kesehatan fisik mengakibatkan harga diri rendah. Harga Diri merupakan ukuran seberapa
besar seseorang bisa memberikan penghargaan terhadap diri sendiri akan menentukan
seberapa tinggi harga dirinya. Jika seseorang kerapkali tidak mampu menghargai diri
sendiri, menganggap remeh dirinya, maka orang lainpun dipastikan tidak akan
menghargai dirinya sebagaimana mestinya. Citra Diri juga sangat kuat pengaruhnya
terhadap harga diri. Oleh karena itu, langkah awal yang harus diperhatikan bagaimana
membentuk citra diri lebih baik, sehingga menentukan tingkat harga diri yang
diharapkan.
Satu hal yang mendasar bahwa citra diri dapat diubah. Orang tidak pernah terlalu
muda atau terlalu tua untuk bisa mengubah citra dirinya. Individu memulai hidup baru
secara lebih produktif, kreatif, inovatif serta berani mengambil risiko. Seseorang
memungkinkan untuk mengubah citra dirinya. Kebanyakan orang kurang menyadari
bahwa kesulitan terletak pada penilaian atas diri sendiri. Begitu banyak di antara kita
yang kurang menghargai diri sendiri. Keberhasilan seseorang dalam memperbaiki atau
membentuk kembali konsep diri yang benar sesuai keinginan, sangat ditentukan oleh
sikap pribadinya. Sikap tidak lebih dari kebiasaan berpikir dan kebiasaan yang dapat
dibentuk dan dipelajari. Sikap yang sehat secara pasti akan membimbing menuju
kesuksesan. Sikap yang sehat harus terus menerus dipupuk dan dibiasakan dalam
kehidupan sehari-hari.
Hasil penelitian yang dilakukan di Amerika oleh Dr. Eli Ginzberg beserta timnya
yang melibatkan 342 subyek penelitian yang merupakan lulusan dari berbagai disiplin
ilmu. Subyek penelitian ini mahasiswa yang berhasil mendapatkan beasiswa dari
Colombia University. Dr. Ginzberg dan timnya meneliti seberapa sukses 342 mahasiswa
itu dalam hidup mereka, lima belas tahun setelah mereka menyelesaikan studi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa subjek penelitian yang lulus dengan mendapat
penghargaan (predikat memuaskan, cum laude atau summa cum laude), mereka yang
mendapatkan penghargaan atas prestasi akademiknya, mereka yang berhasil masuk
dalam Phi Beta Kappa ternyata lebih cenderung berprestasi biasa-biasa saja—tidak
istimewa. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan langsung antara
keberhasilan akademik dan keberhasilan hidup atau kesuksesan. Lalu faktor apa yang
menjadi kunci keberhasilan atau kesuksesan seseorang.
Dengan demikian, disimpulkan bahwa kunci keberhasilan hidup adalah konsep diri
positif. Konsep diri memainkan peran yang sangat besar dalam menentukan keberhasilan
hidup seseorang, karena konsep diri dapat dianalogikan sebagai suatu “operating
system” yang menjalankan suatu komputer. Terlepas sebaik apapun perangkat keras
komputer dan program yang di-install, apabila sistem operasinya tidak baik dan banyak
kesalahan, maka komputer tidak dapat bekerja dengan maksimal. Hal yang sama
berlaku bagi manusia. Konsep diri merupakan sistem operasi yang menjalankan
komputer mental, yang mempengaruhi kemampuan berpikir seseorang. Konsep diri
setelah terinstall akan masuk di pikiran bawah sadar dan mempunyai bobot pengaruh
sebesar 88% terhadap tingkat kesadaran seseorang dalam suatu saat. Semakin baik
konsep diri, maka akan semakin mudah seseorang untuk berhasil .
Anna Mariana
Guru TPA Al-Hanif Cihanjung, Cimahi, Jabar
Betapa tidak, sederet tindakan 'amoral' hampir setiap hari kita dengar bahkan kita saksikan.
Ironisnya, itu semua terjadi dilakukan oleh orang-orang yang pernah atau sedang bergelut
dengan bangku sekolah. Kesannya, pendidikan seolah justru melahirkan permasalahan bukan
memberikan solusi. Padahal seharusnya, pendidikan menjadi kekuatan untuk mengubah
ketidakberaturan ke arah keteraturan, kebobrokan moral menuju makarimal akhlak, kekeringan
spiritualkearahpower of spiritualism dan seterusnya.
Karena itu, patut kita ambil hikmah untuk kemudian mencarikan solusinya. Salah satu
tawarannya adalah, dengan mengoptimalkan kegiatan pembelajaran yang mampu mendorong
pada pembentukan karakter (character building) siswa. Mata pelajaran agama pada khususnya
dan umumnya pelajaran yang lain jangan sampai terjebak pada orientasi nilai-nilai angka semata
tanpa diimbangi perubahan karakter pada diri siswa.
Dalam khazanah Islam, kita kenal kalimat mutiara : ''Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan
hidup pada zaman yang berbeda dari zaman-mu''. Artinya, anak didik kita hari ini adalah calon
pemimpin yang akan datang. Oleh karena itu, salah satu hikmahnya adalah bagaimana kita
mampu menanamkan konsep diri pada anak didik kita dalam rangka menghasilkan anak didik
yang berkarakter (berakhlak) dan kelak mampu menjadi generasi yang mampu memimpin
bangsa ini dengan peradaban yang tinggi dan dihiasi oleh kemuliaan akhlaknya (karakter yang
luhur).
Menurut William Kitpatrick (1992), sebuah karakter akan tercipta dalam pribadi seseorang
memerlukan tiga komponen (components of good character). Yaitu pengetahuan tentang
kebaikan (moral knowing), perasaan tentang moral atau kebaikan (moral feeling), dan aplikasi
kebaikan (moral action).
Oleh karena itu, optimalisasi pembinaan semacam ini harus continue dan efektif, terlebih saat ini
virus-virus zaman semakin marak merongrong moralitas anak melalui berbagai media.
Karenanya, sekolah sebagai salah satu persinggahan sekaligus 'kawah candra di muka' bagi anak,
harus mampu tampil menangkap fenomena dewasaini.
Dalam diri anak harus tertanam konsep diri yang kuat. Karenanya sekolah sebagai lembaga
pendidikan kedua setelah di keluarga, harus mampu membentengi diri anak dari berbagai ekses
negatif lingkungan, baik yang datang melalui media ataupun pergaulan langsung dalam
kehidupan sehari-hari. Pembentukan karakter (character building) melalui penguatan konsep diri
merupakan salah satu solusi yang efektif. Ikhtiar tersebut dapat dilakukan di antaranya melalui
beberapa hal berikut ini.
Pertama, mempermudah pujian dan penghargaan yang proporsional sebagai upaya membangun
afirmasi positif pada pikiran dan jiwa anak yang diharapkan dapat menghembuskan semangat
yang positif. Kedua, memfasilitasi akses dengan orang yang potensial menjadi idola. Artinya,
para pendidik harus mampu menggiring siswa untuk mengidolakan sosok yang baik, dan sebagai
umat Islam, Rasulullah SAW adalah teladan utama.
Ketiga, mengadakan kunjungan kepada orang yang keadaannya jauh di bawah ataupun yang
lebih maju. Hal ini bertujuan untuk membangun semangat bersyukur, empati, simpati dan
rangsangan positif. Keempat, membangun semangat berlomba sehingga terbangun jiwa yang
kompetitif dalam kehidupan. Kelima, pembinaan iman dan taqwa dalam bentuk pembiasaan
shalat berjamaah, pelaksanaan shalat sunah tahajud dan dhuha, ataupun dzikir asmaul husna
sebelum belajar.
Bila itu semua telah mampu ditanamkan, maka ada faktor yang tidak bisa ditinggalkan yakni
keteladanan. Guru adalah orang yang digugu dan ditiru. Oleh karenanya, pastikan diri kita
menjadi tokoh panutan bagi siswa. Mustahil suatu karakter yang mulia akan terjadi dengan baik,
manakala keteladanan tidak tampak dalam diri kita sebagai guru.