You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum kewarisan Islam mendasarkan ketentuan pokoknya pada AlquranQS. An Nisaa’
ayat 12 dan 176. Hukum waris menduduki posisi yang pentingdalam hukum Islam. Hal ini dapat
dimengerti sebab masalah kewarisan pastidialami oleh setiap orang. Disamping itu hukum waris
tersebut langsungmenyangkut harta benda yang apabila tidak diberikan ketentuan yang pasti
makaakan dapat menimbulkan sengketa diantara para ahli waris. Dalam hukum warisyang diatur
adalah persoalan bagaimana harta peninggalan harus diperlakukan,kepada siapa saja harta itu
dipindahkan dan bagaimana cara perpindahan hartapeninggalan tersebut.1
Salah satu asas yang dianut dalam hukum kewarisan Islam adalah asas
compulsory, yaitu asas yang memberikan pengertian bahwa apabila seorang
meninggal dunia maka segala hak akan harta bendanya akan berpindah kepada ahliwarisnya,
dimana perpindahan harta benda tersebut tidak digantungkan padakeinginan maupun kehendak
ahliwarisnya.Begitupula dengan persoalan bagiandari tiap ahli waris juga telah ditentukan
dengan jelas sebagaimana dimuat dalamAlquran,QS An Nisaa’(4): 12dan QS An Nisaa’ (4):176.
Ketentuan mengenai bagian ahli waris tersebut tidak menimbulkanperbedaan pandangan
dikalangan para ulama mazhab karena telah jelaspembagiannya. Namun terhadap ketentuan yang
tidak diatur secara jelas sepertibagian untuk saudara kandung, saudara seayah/seibu dari
pewarismasih terdapatperbedaan pandangan diantara para ulama sehingga menimbulkan
beberapagolongan dalam system kewarisan Islam. Dalam hal ini muncul golongan denganajaran
Ahlussunnah, golongan dengan ajarah Hazairin dan ajaran yang kemudianditerapkan dalam
Kompilasi Hukum Islam. Golongan dengan ajaran Ahlussunnahmenitikberatkan pada sistem
patrilinial, sedangkan Prof. Hazairin lebih kepadasistem bilateral dan KHI mengabsorbsi kedua
ajaran ini dalam ketentuan pasal-pasalnya.
1 Ahmad Azhar Basyir., Hukum Waris Islam, UII Press, Yogyakarta
Secara eksplisit dapat disimpulkan bahwa pada sistem patrilinial, pihaklaki-laki lebih
utama tampil sebagai ahli waris, sedangkan pada sistem bilateralnyaProf. Hazairin, pihak laki-
laki dan pihak perempuan mempunyai kedudukan danhak yang sama sebagai ahli waris.
Perbedaan pandangan tersebut pada akhirnya akan berpengaruh terhadappenentuan
ahli waris beserta bagian-bagiannya. Banyak literatur yang menyorotiperbedaan tersebut. Hal
yang menonjol adalah mengenai bagian ahliwaris cucu.
Menurut sistem kewarisan yang dikembangkan oleh golongan Ahlussunah,(patrilinial),
ada perbedaan kedudukan antara cucu dari anak laki-laki dan cucu darianak perempuan. Kedua
cucu dari garis yang berbeda ini tidak mungkin mewarissecara bersama-sama. Hal ini karena
menurut ajaran Ahlussunah bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki menutup kemungkinan cucu
dari anak perempuan untukmenjadi ahli waris. Cucu laki-laki dari anak laki-laki berkedudukan
sebagai ahliwaris dzul faraid atau ashobah, semantara cucu laki-laki dari anak
perempuanberkedudukan sebagai ahli waris dzul arham. Ketentuannya adalah bahwa ahliwaris
dzul arham baru dapat mewaris apabila tidak ada ahli waris dzul faraid atauashobah. Demikian
hal tersebut dengan ketentuan apabila pewaris tidakmempunyai anak laki-laki lain.
Sedangkan dalam sistem kewarisan yang dikembangkan oleh Prof. Hazairindengan
sistem bilateralnya tidak membedakan kedudukan diantara para cucu sertamengenal adanya
pranata pergantian tempat (plaatsvervulling).Cucu dari anaklaki-laki dan cucu dari anak
perempuan dapat menggantikan kedudukanorangtuanya yang sudah meninggal terlebih dahulu,
meskipun pewaris mempunyaianak laki-laki lain. Pendapat beliau berdasarkan penafsiran
mengenai ayat 33 suratAn Nisa yang berbunyi “Wa likullin ja’alnaa mawaaliya mimma taraka’l-
waalidaani wa’l-aqrabuuna”2
KHI sebagai pengembangan dari hukum kewarisan Islam membuka pintupilihan yang
dipergunakan dalam pembagian warisan dengan mempertimbangkankemaslahatan para ahli
waris. Hukum Islam membuka pintu ahli waris untukmelakukan perdamaian dalam rangka
menentukan perolehan masing-masingberdasarkan kerelaan, keikhlasan dan kekeluargaan setelah
masing-masing ahliwarismenyadari bagiannya, seperti yang diatur dalam pasal 183 KHI.
2 Ahmad Azhar Basyir,. Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum Indonesia,UII Press,
Yogyakarta
Tahun1993, hal.137.
2

Ada anggota keluarga dari pewaris yang tidak termasuk golongan ahli warisyang
menurut istilah fiqh disebut dzawil arham, tetapi menurut KHI mereka dapatdiberi bagian waris
atas nama kerabat (pasal 171 huruf e KHI). Sistem pergantiantempat bagi ahli waris diatur dalam
pasal 183 KHI, tetapi tidak dijelaskan apakahmengikuti pendapat Ahlussunah atau mengikuti
pendapat Prof. Hazairin.
Terjadinya pluralisme kesadaran umat Islam terhadap hukum Islam
disebabkan oleh
beberapa hal yang melatarbelakangi adanya pluralismepemahaman
tersebut. Bahwa Islam datang ke Indonesia melalui Negara yang telahmempunyai budaya yang
diwarnai oleh agama setempat seperti melalui NegaraPersi, India, Cina dan sebagainya . Agama
Islam masuk ke Indonesia dimanaagama Hindu, Budha dan Kepercayaan telah ada di Indonesia
dan bahwa prosesperpindahan dari agama Hindu/Budha ke Islam berjalan secara evolutif
yangmemakan waktu lama, sehingga batas-batasnya sangat bias, terutama dilihat
daripengalaman masyarakat.
Dengan kenyataan yang demikian itu maka penerimaan dan penghayatanpenduduk
Indonesia terhadap agama dan hukum Islam berbeda-beda bahkan yangmenyangkut aqidah.
Wajar kalau di Indonesia terdapat kelompok abangan, yangpengetahuannya tentang hukum
agama sangat mengambang, terbatas pada waktusunat, kawin dan meninggal. Kelompok lain
disebut dengan mutian, adalahkelompok yang sadar sebagai pengikut suatu agama, mereka
berusaha untukmengetahui dan mendalami ajaran agamanya serta mengamalkannya. Ada
jugayang menerima Islam hanya pada hal-hal yang sesuai dengan adat kebiasaansetempat,
dengan mengurangi /menambah ketentuan yang sudah baku dalam syari’at.3
Kebagkitan dunia Islam diabad ke-19 memberi angin segar bagikebangkitan umat Islam
di Indonesia. Berdirinya perguruan-perguruantinggiIslam baik negeri maupun swasta
mempercepat proses pemahaman umat Islamakan agama dan hukum yang dikandungnya.
Namun demikian hasil yangdiharapkan belumlah maksimal, hal ini berkaitan dengan persoalan
bahwa belumsemua umat Islam dapat terjangkau oleh gerakan ini.
Dengan melihat perkembangan Islam dalam masyarakat Indonesia tersebut
maka dapatlah dipahami terjadinya pluralisme dalam pelaksanaan hukum Islam
3 Ibid,. Hal 13.
3
yang dalam hal ini hukum waris Islamnya. Masih banyak masyarakat yangmenerapkan hukum
waris Islam dengan mengadopsi unsur-unsur hukum adatyangcenderung bercorak bilateral dalam
hal kedudukan dan jumlah bagian ahli waris.
B. Permasalahan.
Dari latar belakang masalah tersebut, permasalahan yang kemudian muncul
adalah:Bagaimana kedudukan saudara kandung sebagai ahli waris dalam
kewarisan Islam menurut Ahlussunah, Hazairin dan KHI ?
BAB II
PEMBAHASAN
4

A.Unsur-Unsur Kewarisan Islam


Dalam ketentuan pasal 171 KHI ditegaskan bahwa yang dimaksud denganhukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikanharta peninggalan
pewaris, siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan besarbagian dari tiap-tiap ahli waris
tersebut. Dengan demikian dapatlah dilihat bahwadalam pewarisan tersebut terdapat unsur-unsur:
a.Pewaris, adalah orang yang meninggal atau yang dinyatakan meninggal olehputusan pengadilan,
beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan hartapeninggalan.
b.Ahli waris, adalah orang yang pada saat pewaris meninggal dunia mempunyaihubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islamdan tidak terhalang oleh hukum untuk
menjadi pewaris.
c.Harta warisan, adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersamasetelah dikurangi dengan
keperluan pewaris dari sakitnya hingga meninggal,biaya jenazah, pembayaran hutang dan
pemberian untuk kerabat.
B.Hijab dalam kewarisan Islam
Secara terminologi hijab adalah melindungi orang-orang tertentu untukmenerima pusaka
semuanya atau sebagian karena ada seseorang lain. Actorterhijabnya seorang ahli waris untuk
menerima bagian harta warisan erat kaitannyadengan adanya ahli waris lain yang mendapatkan
keutamaan karena jarakhubungan kekerabatanyang lebih dekat kepada pewaris.4
Seorang saudara dari pewaris karena lebih jauh hubungannya denganpewaris
dibandingkandengan bapak pewaris, maka ia akan terhijab oleh bapak.Begitupula dengan
saudara seayah atau seibu saja terhalang oleh saudara kandungkarena lebih lemah hubungannya
dengan pewaris.5
Berdasarkan uraian diatas maka hijab dapat dibagi menjadi dua macam
hijab yaitu:
a. Hijab Hirman, adalah terhijabnya ahli waris dalam memperoleh seluruh
bagian akibat adanya ahli waris yang lain. Faturrahman membagi hijab hirman
ini dalam dua kelompok yaitu:
4 Abdul ghofur Anshori, SH.MH., Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Eksistensi dan
adabtabilitas,
Econisia, 2002. hal
1.Ahli waris yang tidak dapat terhijab hirman sama sekali, walaupunkadangkala dapat terhijab
Nuqsan. Kelompok ini adalah anak laki-laki,ayah, suami,anak perempuan, ibu dan istri
( kelompok enam ).
2.Ahli waris yang dalam suatu keadaan dapat menjadi ahli waris tetapidalam keadaan lain terhijab
hirman. Kelompok ini adalah yang selainenam orang diatas. Dalam hal ini Amir Syarifuddin
menyebut sebanyak
12 orang atas dasar pendapat patrilinialisme ( ahlussunnah) yaitu:
-Cucu (laki/perempuan) tertutup anak.
-Kakek tertutup ayah
-Nenek tertutup ibu
-Saudara kandung oleh putra, cucu laki-laki atau bapak
- Saudara seayah oleh saudara kandung, putri, cucu perempuan,
putra cucu laki-laki dan bapak
-Saudara seibu tertutup oleh anak, cucu, ayah, kakek.
Yang tidak tertutup oleh saudara kandung atau seayah adalah:
- Anak saudara kandung/ponakan oleh saudara (laki-laki) seayah
dan tertutup oleh orang yang menutup saudara seayah
- Anak saudara seayah/ponakan oleh anak saudara kandungoleh
orang yang menutup saudara kandung.
- Paman kandung tertutup oleh ponakan seayah dan oleh yang
menutupnya.
- Paman seayah tertutup paman kandung dan oleh orang yang
menutuppaman kandung itu.
- Anak paman kandung oleh paman seayah dan oleh orang yang
menutup paman seayah itu.
-Anak paman seayah tertutup oleh anak paman kandung.
b. Hijab Nuqsan, adalah hijab sebagian yaitu berkurangnya bagian yang
semestinya diperoleh oleh ahli waris karena adanya ahli waris yang lain.
Dengan demikian ahli waris itu masih mendapatkan bagian waris, hanya
6
bagiannya yang berkurang atau menurun dari bagian yang semula. Mereka itu
adalah:
-Suami dari ½ menjadi ¼ karena ada anak.
-Istri dari ¼ menjadi 1/8 karena ada anak.
-Ibu dari 1/3 menjadi 1/6 karena ada anak pewaris
-Cucu perempuan dari putra dari ½ menjadi 1/6 sebagai pelengkap 2/3
karena ada putri kandung pewaris
-Saudari seayahdari ½ menjadi 1/6 penyempurnaan 2/3 karena ada saudara
kandung.
C. Kalalah
Dalam Al-Qur’an kalalah disebut dalam dua ayat yaitu dalam surat An-
Nisaa’ ayat 12 dan ayat 176.
Dalam ayat ke 12 surat An-Nisaa’ dinyatakan bahwa:
“ Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidakmeninggalkan ayah dan
tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyaiseorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara ituseperenam
harta. Tetapi bila saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu…”
Dalam ayat ke 176 Surat An- Nisaa’ dinyatakan bahwa:
“Mereka meminta fatwa kepadamu ( tentang kalalah). Katakanlah: ‘ Allahmemberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): Jika seorang meninggaldunia dan ia tidak mempunyai anak
dan mempunyai saudara perempuan,maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari
harta yangditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh hartasaudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudaraperempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya duapertigadari harta yangditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka
(ahli waris itu terdiridari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan maka bagian seorangsaudara
laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan…”
Rasulullah tidak menjelaskan pengertian kalalah secara detail, sehinggapara sahabat dan
ulama pernah berbeda pendapat tentangnya. Ulama Ahlussunnahberpendapat bahwa kalalah
adalah apabila seseorang meninggal dunia tidak7

meninggalkan ayah maupun anak. Anak dalam pengertian ini adalah anak laki-lakiatau cucu
laki-laki yang menghijab hak waris dari saudara pewaris, sedangkananak perempuan tidak
menghijab hak waris dari saudara pewaris.6
Prof. Hazairin yang terkenal dengan sistem bilateralnya berpendapat bahwakalalah adalah
apabila seorang yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak.Maksud dari walad atau anak
mengandungarti yang umum yaitu laki-lakimaupun perempuan. Pengertian anak ini masih dapat
diperluas lagi denganketentuan setiap orang dalam garis keturunan kebawahmelalui laki-laki
maupunperempuan. Dengan demikian menurut Prof. Hazairin pengertian kalalah adalahorang
yang mati tidak mempunyai keturunan.7
Perbedaan pandangan mengenai kalalah ini mengakibatkan terjadinyaperbedaan dalam
menentukan kedudukan hak waris dari saudara pewaris.Didalamketentuan pasal 176 KHI,
pengertian anak menimbulkan beberapa pendapatdiakalangan para ulama. Kalangan yang
berpendapat bahwa kata “anak” hanyamenunjuk pada anak laki-laki saja mempunyai
konsekuensi bahwa selama adaanak laki-laki dari pewaris, maka saudara kandung dari pewaris
akan terhijab darihak atas bagian waris. Tetapi apabila pewaris hanya mempunyai anak
perempuansaja maka tidaklah menghijab hak waris dari saudara kandung pewaris. Hal inisesuai
dengan ijma’ para ulama yang menyatakan bahwa anak laki-laki daripewaris menghijab bagian
waris dari saudara kandung laki-laki dan atauperempuan dari pewaris.8
Jadi dengan demikian maka pengertian kalalah adalah apabila seorangpewaris tidak
meninggalkan atau mempunyai anak dalam pengertian tidakmempunyai anak laki-laki maupun
anak perempuan dan keturunannya.
D.Hak Waris Saudara Kandung Menurut Imam Syafii Dan Ahlussunnah.
Bagian waris dari saudara (laki-laki/perempuan) kandung menurut beliau
Imam syafii dengan, dapat terhijab oleh ahli waris lain yang mempunyai
6 Budiono.A.Rachmad, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung,
1999. hal. 44
7ibid
8 Rachmad.A. Budiono., embaharuan hukum Kewarisan Islam di Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti,
Bandung . 1999. hal 32
8

hubungan yang lebih dekat dengan pewaris dalam garis keturunan vertikal keatas
dan kebawah sebagai berikut:9
a. Saudara perempuan kandung terhijab oleh Ayah, anak laki-laki dan cucu
laki-laki dari anak laki-laki.
-½apabila ia sendiri tanpa ada saudara laki-laki kandung pewaris.
-2/3 apabila dua orang atau lebih tanpa bersama saudara laki-laki kandung
-Ashobal bil ghoir apabila sendiri atau banyak, mewaris bersama saudaralaki-laki kandung dengan
perbandingan 2:1, ia juga mendapatushubahketika bersama-samaseorang atau lebih anak
perempuan, seorang ataulebih cucu perempuan dari anak laki-laki tanpa saudara laki-laki
kandung.
-Menghijab bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki terhadap saudara
laki-laki/perempuan seayah, anak laki-laki saudarakandung dan seayah, paman kandung dan
seayah dan sekalian anak turunmereka.
-Seorang saudari perempuan tidak dapat menghijab saudara perempuan
sebapak kecuali ia berbilang, dua orang atau lebih.
b. Saudara laki-laki kandung dapat terhijab oleh anak laki-laki atau cucu laki-
laki pancar laki-laki dan Ayah.
-Ashobah baik sendirian atau berbilang atau bersama saudara perempuannyayang sekandung
dengan cara berbagi 1:1 antar laki-laki dan 2:1 antara laki-laki dan perempuan. Hal ini terjadi
selama tidak ada kakek dan ahli warisyang menghijabnya.
-Dapat menghijab Saudara laki-laki seayah, anak laki-laki saudara laki-lakisekandung maupun
seayah, paman sekandung maupun paman seayah sertaanak laki-laki paman sekandung/seayah.
E.Hak Waris Saudara Kandung Menurut Prof. Hazairin.
Menurut Prof. Hazairin, saudara kandung laki-laki dan atau perempuandari pewaris
selamanya tidak dapat mewaris bersama dengan anak laki-laki danatau anak perempuan dan
anak-anak dari mereka (cucu), baik laki-laki maupun
9 A. Sukris Sarmadi, Transendensi KeadilanHukum Wari
perempuan dalam garis lurus kebawah tanpa disyaratkan tidak adanya ayah daripewaris. Menurut
beliau bahwa kesejajaran kedudukan anak dari pewaris dan ayahdari pewarisyang tampak dalam
QS. An-Nisaa’ ayat 11 tidak berlaku penuh. Halini didasarkan pada jumlah bagian waris anak
yang lebih besar daripada jumlahbagian waris dari ayah.
Hal lain yang menjadi pertimbangan beliau adalah bahwa jumlah bagianwaris dari suami
atau istri dipengaruhi oleh bagian waris anak tetapi tidakdipengaruhi oleh bagian dari ayah
pewaris. Dengan demikian kedudukan anakpewaris tidak dapat digantikan oleh ayah pewaris.
Bahwa ayah sebagaiashobahapabila pewaris tidak mempunyai anaksebagaimana yang terdapat
dalah hadistyang diriwayatkan oleh HR. Bukhari dan Muslim, yang artinya “ berikanlah harta
pusaka kepada orang-orang yang berhak sesudah itu sisanya untuk orang laki-
laki yang lebih utama “ tidak dapat dijadikan dasar terhijabnya saudara kandung
oleh ayah.10
Prof. Hazairin tidak membedakan antara saudara kandung dengan saudaraseayah atau
saudara seibu dalam memahami isi dari QS. An-Nisaa’ ayat 12 danayat 176, sebab pengkhususan
seperti itu tidak ada dasar hukumnya yang kuat,oleh karena itu harus ditafsirkan secara umum
untuk semua jenis saudara tanpapembedaan seperti pengertianwalad atau anak. Menurut Prof.
Hazairin, kalanganahlussunah sendiri mengakui adanya keumuman pengertian saudara dalam
suratAn-Nisaa’ ayat 11, dalam hal kewarisan antara ibu bersama dengan saudara.
Dengan demikian maka Prof. Hazairin mengatakan bahwa selama pewarismasih
mempunyai anak dan atau keturunan dalam garis lurus kebawah, makaselamanya saudara tidak
dapat mewaris bersama dengan anak dan atau keturunandari pewaris tersebut.11
Dari pemahaman tersebut maka beliau mengatakan bahwa saudara kandungdengan
saudara seayah dan saudara seibu mempunyai kedudukan yang samadalam hal mewaris, dan
tidak saling menghijab
.
F.Hak Waris Saudara Kandung Menurut KHI
Di dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam kedudukan saudara sebagaiahli waris diatur
dalam pasal 181 dan pasal 182 KHI. Pasal 181 KHI mengaturmengenai kedudukan saudara seibu
dari pewaris, sedangkan dalam pasal 182 KHIdiatur mengenai kedudukan saudara kandung dan
saudara sebapak dari pewaris.
10 Hazairin,. Hukum Kewarisan Bilateral MenurutAl-Quran dan Hadist, Tintamas Indonesia,
Jakarta,
1964, hal 35.
11Ibid.
10
Dari ketentuan pasal 181 dan pasal 182 KHI ini tersirat bahwa dalam konsep KHIcenderung
mengikuti pendapat Ahlussunah yang membuat pembagian saudaramenjadi saudara kandung,
saudara seayah dan saudara seibu,daripada pendapatProf. Hazairin yang mengkhususkan
pengertian saudara tanpa membedakansaudara kandung, saudara seayah dan saudara seibu. Pasal
181 KHI menyebutkanbahwa:
“Bila seorang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan ayah, makasaudara laki-laki dan
saudara perempuan seibu masing-masing mendapatseperenam bagian. Bila mereka itu dua orang
atau lebih maka merekabersama-sama mendapat sepertiga bagian”.
Sedangkan dalam pasal 182 KHI disebutkan bahwa:
“Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak sedang iamempunyai seorang
saudara perempuan kandungatau seayah maka iamendapat separuh bagian waris.Bila saudara
perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang
atau lebihmaka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian waris. Bilasaudara
perempuan tadi bersama-sama dengan saudara laki-lakikandungatau seayah, maka saudara laki-
laki adalah dua berbanding satu dengansaudara perempuan”
Pasal 182 KHI dapat ditafsirkan sebagai berikut:
1.Jika hanya ada satu saudara perempuan kandung maka ia mendapatkan
setengah bagian waris.
2.Jika hanya ada satu saudara perempuan sebapak maka ia mendapatkan
setengah bagian waris.
3.Jika ada dua atau lebih saudara perempuan kandung dan atau saudaraperempuan sebapak baik
mereka itu terdiri dari (a) seluruhnya saudaraperempuan kandung (b)seluruhnya saudara
perempuan sebapak (c)saudara perempuan kandung dan saudara perempuan sebapak;
makamereka memperoleh dua per tiga bagian waris.
4.Saudara laki-laki kandung menjadikan saudara perempuan kandung
sebagai ashobahdengan ketentuan 2:1 dengaa saudara perempuan.
5.Saudara laki-laki sebapak menjadikan saudara perempuan sebapaksebagai ashobah dengan
ketentuan 2:1 dengan saudara perempuansebapak tersebut
G. Hak Waris Saudara Kandung Menurut Pendapat Kelompok
Dari berbagai pendapat dan pandangan yang dikemukakan oleh banyakkalangan ahli
seperti diuraikan diatas maka kami berpendapat bahwa konsep KHIyang sebagian besar merujuk
pada pendapat ahlussunah dan Imam Syafii relatiftelah diterima oleh banyak kalangan. Adanya
pembedaan saudara antara saudarakandung, saudara seayah dan saudara seibu seperti terlihat
dalam ketentuan pasal181 dan 182 KHI dapat dipakai sebagai pedoman pembagian waris
dikalangansaudara pewaris, meskipun dalam ketentuan pasal 185 KHI mengisyaratkanadanya
pranata pergantian tempat yang tidak dikenal dikalangan ahlussunah danImam Syafii.
Apabila saudara dari pewaris tersebut baru dapat mewaris apabila pewarismeninggal
dalam keadaan kalalah, maka pengertian “anak” sebaiknya diartikansecara umum yaitu meliputi
anak laki-laki dan anak perempuan danketurunannya. Apabila mengikuti KHI maka yang
dimaksud dengan kalalahadalah apabila seorang mati tidak meninggalkan anak keturunan tanpa
disyaratkantidak adanya ayah. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 177 KHI.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa saudara kandung dapat mewarisbersama dengan
ayah apabila pewaris mati dalam keadaan tanpa anak keturunan.Oleh karena itu ada tidaknya
ayah hanya akan mempengaruhi besar kecilnyabagian waris yang akan diterima oleh saudara dari
pewaris. Namun demikianapabila memperhatikan ketentuan dari pasal 181 dan pasal 182 KHI,
maka bagianwaris dari saudara kandung pewaris relatif lebih besar daripada bagianwarisdaridara
seayah atau saudara seibu dari pewaris. Hal ini tentulah dapatdipahami dengan melihat
kedekatan hubungannya dengan pewaris.12
Ada dua persoalan yang berkaitan dengan ketentuan pasal 182 KHI yaitudapat tidaknya
saudara laki-laki sebapak menarik saudara perempuan sekandungmenjadiashobah. Menurut
pendapat dari Rachmad Budiono sesuai dengankeumuman asas didalam hukum kewarisan Islam,
maka saudara laki-laki sebapaktidak dapat menjadikan saudara perempuan kandung
sebagaiashobah. Apabilamereka mewaris bersama-sama maka saudara perempuan sebagai dzul
faraid,sedangkan saudara laki-laki sebapak sebagaiashobah. Meskipun merekabersaing/bersama-
sama dalam mewaris tetapi tidak dengan sendirinya saudaralaki-laki sebapak menjadikan saudara
perempuan kandung menjadi ashobah.
12 Ahmad Azhar Basyir, opcit hal. 198
12
Asas umum ditariknya seorang perempuan menjadiashobah oleh seoranglaki-laki adalah
bahwa mereka berada dalam kesetaraan kedudukan. Hal ini dapatdilihat misalnya antara sesama
anak kandung, sesama saudara kandung, sesamacucu. KHI menerima konsep bahwa antara
saudara kandung dan saudaraseayah/seibutidak saling menghijab hirman, tetapi hal ini tidak
menjadikanmereka berderajat sama.
Kelompok kami berpendapat bahwa apabila antara saudara kandung dansaudara
seayah/seibu tidak salingmenghijab maka mereka dianggap berderajatsama, oleh karena itu
saudara laki-laki seayah dapat menjadikan saudaraperempuan kandung sebagaiashobah. Berbeda
halnya apabila saudara kandungdapat menghijab hirman saudara seayah/seibu, sebagaimana
konsep anak
menghijab hirman ayah atau ibu, maka yang membedakan mereka adalah besar
kecilnya bagian warisnya dan dengan demikian maka saudara laki-laki seayah
tidak dapat menarik saudara perempuan kandung sebagaiashobah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kalanganahlussunah mengatakan bahwa saudara dibedakan menjadi
saudara kandung, saudara seayah dan saudara seibu. Bahwa para saudara dari
pewaris ini baru dapat mewarisi harta warisan apabila pewaris meninggal secarakalalah, dengan
pegertian tidak mempunyai anak dan ayah. Saudara kandungpewaris inimenghijab saudara
seayah dan atau saudara seibu dari pewaris.
Prof. Hazairin mengartikan saudara dengan pengertian yang umum, tidakmengadakan
pembedaan pengertian saudara dengan saudara kandung, saudaraseayah/seibu. Bahwa beliau
juga berpendapat bahwa tidak disyaratkan tidakadanya ayah dalam halkalalah. Bahwa
kedudukan saudara pewaris adalah sejajardalam hal mewaris dan tidak saling menghijab diantara
mereka.
KHI tidak mengadakan pembedaan kedudukan antara saudara pewarisdengan pengertian
saudara kandung, saudara seayah dan saudara seibu.Pembedaan hanya terjadi pada besar
kecilnya bagian dari masing-masing jenissaudara tersebutHal ini dapat dilihat pada ketentuan
pasal 181 dan pasal 182KHI. Dalam KHI juga dinyatakan bahwa saudara-saudara dari pewaris
itu barudapat mewaris apabila pewaris meninggal dalam keadaankalalah, denganpengertian
pewaris meninggal tanpa adanya anak dan ayah. KHI juga menegaskanbahwa diantara saudara
kandung, saudara seayah dan saudara seibu tidak saling
mengijab.
B. Saran
Bahwa kewarisan Islam dalam KHI yang berkenaan denganbagian warisdiantara saudara
kandung, saudara seayah, saudara seibu masih menyisakanpersoalan yang belum diperoleh
pemecahannya secara menyeluruh. Untuk itumasih diperlukan adanya pemikiran bersama dan
atauijtihad untukmenyelesaikan persoalan tersebut secara menyeluruh, meskipun dalam
keumumanasas hukum waris Islam dikenal dengan adanya istilah perdamaian
sebagaimanatertuang dalam ketentuan pasal 183 KHI, namun sangat penting artinya
untukmenetapkan posisi dan besar bagian dari ahli waris antara saudara kandungdengan saudara
seyah/seibu secara definitif dan limitatif dalam KHI.
DAFTAR PUSTAKA
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum waris Islam, Ekonesia Fakultas Hukum UII,
Yogyakarta 1999.
Budiono.A.Rachmad, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
14
Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya, Proyek Penerbit Kitab Suci
Al-Quran, Jakarta, 1971.
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadist, Tintamas,
Jakarta, 1964.
Sarmadi.A.Sukris, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta,1997.

Sumber : Kedudukan
Saudara Kandung Dalam
Hukum Waris Islam
Tulisan ini adalah paper penulis (Raimond Flora Lamandasa) 

You might also like