Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah keadaan dimana terjadi penurunan fungsi ginjal secara
progresif, terdiri dari GGK ringan, sedang, berat sampai gagal ginjal terminal atau tahap akhir.
Penurunan fungsi ginjal terjadi sesuai dengan penurunan jumlah dari massa ginjal (tabel 1).
Fungsi ginjal dinyatakan sebagai laju filtrasi glomerulus (LFG) (1)
Dikutip dari Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children. In Webb N,
Postlethwaite Eds. Clinical paediatric nephrology 3rd ed. Oxford University Press New York., 2003 : 428
ANGKA KEJADIAN
Angka kejadian gagal ginjal kronik sulit ditentukan secara pasti. Pada tahun 1999, di United
Kingdom diperoleh data 53,4 per 1 juta anak mengalami terapi pengganti ginjal di mana 2,4%
terjadi pada umur kurang dari 2 tahun, 6,4% pada umur 2-5 tahun, 20,5% pada umur 5-10 tahun,
41,2% pada umur 10-15 tahun dan 29,5% pada umur 15-18 tahun (1). Data GGK di Indonesia
belum diketahui secara pasti. Di RSCM Jakarta dilaporkan 21 dari 252 anak yang menderita
penyakit ginjal kronik (2).
PENYEBAB
Penyebab terjadinya GGK bermacam-macam. Namun terdapat tiga penyebab utama GGK pada
anak yaitu kelainan kongenital, kelainan herediter, dan glomerulonefritis. Macam macam
penyebab GGK adalah sebagai berikut : kelainan kongenital, kelainan herediter,
glomerulonefritis, penyakit multisistem (lupus eritematosus, henoch schoenlein, hemolitic urmic
syndrome), misscelaneous (penyakit neuromuskuler, tumor ginjal, syndroma drash). (1)
PATOFISIOLOGI
Ginjal mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu menghasilkan hormon-hormon misalnya
eritropoitin, vitamin D3 aktif, membersihkan toksin hasil metabolisme dalam darah,
mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa, serta memegang peranan untuk
mengontrol tekanan darah(3). Pada gagal ginjal kronik, ginjal tidak mampu menjalankan beberapa
atau semua fungsi tersebut di atas. Penyebab utama gangguan fungsi ginjal tersebut oleh karena
berkurangnya massa ginjal oleh karena kerusakan akibat proses imunologis yang terus
berlangsung, hiperfiltrasi hemodinamik dalam mempertahankan glomerulus, diet protein dan
fosfat, proteinuria persisten serta hipertensi sistemik(3). Berkurangnya massa ginjal akibat
kerusakan tersebut, akan menyebabkan terjadinya hipertrofi dan hiperfiltrasi dari massa ginjal
yang tersisa. Akibatnya akan terjadi hipertensi pada massa ginjal tersebut yang dapat
menyebabkan sklerosis glomerulus serta fibrosis dari jaringan interstitial(3,4).
Ginjal mempunyai kemampuan yang besar untuk melakukan kompensasi. Bila massa ginjal
berkurang 50%, maka gejala-gejala pada GGK masih belum terlihat. Gejala-gejala GGK mulai
tampak bila massa ginjal berkurang 50% sampai 80% misalnya uremia(3).
Uremia merupakan kumpulan gejala akibat terganggunya beberapa sistem organ sebagai akibat
penimbunan toksin dari metabolisme protein(3). Tanda-tanda terjadinya gagal ginjal kronik yaitu
adanya ginjal yang mengecil dari foto X-Ray, osteodistrofi ginjal, neuropati perifer serta
terjadinya uremia(3).
Terjadinya osteodistrofi ginjal sebagai akibat terjadinya hiperparatiroid sekunder. Pada GGK
terjadi penurunan LFG, akibatnya terjadi hiperfosfatemia yang akan merangsang kelenjar
paratiroid untuk memproduksi hormon paratiroid. Di samping itu pada GGK terjadi penurunan
aktifitas enzim 1 α-hidroxylase akan menyebabkan terjadinya hipokalsemia dan hiperfosfatemia.
Keadaan ini juga akan merangsang kelenjar paratiroid untuk memproduksi hormon paratiroid.
Ada dua macam bentuk osteodistrofi ginjal yaitu osteitis fibrosa cystica yang ditandai dengan
peningkatan aktifitas osteoclast atau osteomalacia yang ditandai dengan penurunan aktifitas
mineralisasi tulang (3).
Neuropati yang terjadi lebih bersifat sensoris dengan gejala timbulnya paraesthesia serta
“sindroma restless leg”. Pada GGK terjadi anemia normokromik normositik, akibat penurunan
produksi eritropoitin yang dalam keadaan normal diproduksi di endotel kapiler peritubular (3).
Pada gagal ginjal terminal merupakan fase akhir progresifitas dari gagal ginjal kronik. Penderita
mengalami kerusakan massa ginjal dalam jumlah sangat besar sehingga untuk mempertahankan
fungsi ginjal memerlukan terapi pengganti ginjal baik dialisis atau transplantasi (3).
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis pada GGK dapat disebabkan oleh penyakit yang mendasari maupun akibat dari
GGK sendiri yaitu : (1,2,5,6,7,8)
DIAGNOSIS (1,6)
Untuk menegakkan diagnosa GGK, anamnesis merupakan petunjuk yang sangat penting
untuk mengetahui penyakit yang mendasari. Namun demikian pada beberapa keadaan
memerlukan pemeriksaan-pemeriksaan khusus. Pemeriksaan yang diperlukan untuk mengetahui
beratnya GGK adalah sebagai berikut :
Darah lengkap : hemoglobin, leukosit, trombosit, differential count, hapusan darah.
o Serum elektrolit (K, Na, Ca, P, Cl), ureum, kreatinin, serum albumin, total protein, asam
urat.
Laju Filtrasi Glomerulus, dapat ditentukan dengan menggunakan rumus Haycock-Schwartz
LFG = ( K x h )
Foto tangan kiri dan pelvis untuk mengetahui bone age serta terjadinya osteodistrofi
ginjal.
Thorax foto, elektrokardiografi (EKG) dan echocardiografi untuk mengetahui terjadinya
hipertrofi ventrikel.
Pemeriksaan khusus yang diperlukan sesuai dengan penyakit yang mendasari :
o Ultrasonografi ginjal
o Voidingcystourography
o Radioisotop-Scans
o Antegrade pressure flow studies
o Intravenous urogram
o Urinalisis
o Pemeriksaan mikroskop urin, kultur
o Komplemen C3, C4, antinuklear antibodi, anti DNA antibodi, anti GBN
antibodies, ANCA
o Biopsi ginjal
PENGOBATAN (1,2,3,4,6,9)
a) Pengobatan secara simptomatis, yaitu mengurangi gejala uremia seperti mual,
muntah
e) Mempersiapkan penderita dan keluarga untuk menjalani terapi pengganti ginjal
misalnya dialisis, transplantasi ginjal
B. Pemberian nutrisi
a) Kalori yang adekuat mengacu pada recommended daily allowance (RDA) Tabel2.
b) Protein yang diberikan harus cukup untuk pertumbuhan namun tidak memperberat
keadaan uremia. Tabel2.
c) Pemberian diet yang mengandung fosfat harus dibatasi untuk mencegah terjadinya
hiperparatiroidism sekunder. Dianjurkan mempergunakan kalsium karbonat untuk
mengikat fosfat.
Tabel 2. Kebutuhan kalori dan protein yang direkomendasikan untuk anak
dengan gagal ginjal kronik
0-12 bulan
55 120/kg 2,2/kg 0,4 0,2
C. Pemberian cairan dan elektrolit
Pengaturan cairan pada penderita GGK harus mengacu pada status hidrasi penderita.
Dilakukan evaluasi turgor kulit, tekanan darah, dan berat badan. Pada penderita GGK
dengan poliuria pemberian cairan harus cukup adekuat untuk menghindari terjadinya
dehidrasi. Harus ada keseimbangan antara jumlah cairan yang dikeluarkan (urin, muntah,
dan lain-lain) dengan cairan yang masuk. Pemberian cairan juga harus memperhitungkan
insensible water loss. Pembatasan cairan biasanya tidak diperlukan, sampai penderita
mencapai gagal ginjal tahap akhir atau terminal.
D. Koreksi asidosis dengan pemberian NaHCO3 1-2 mmol/kg/hari peroral dalam dosis
terbagi. Keadaan asidosis yang berlangsung lama akan mengganggu pertumbuhan.
Pengobatan asidosis harus dimonitor. Dosis harus disesuaikan dengan analisis gas darah.
Pada asidosis berat dilakukan koreksi dengan dosis 0,3 kgBB x (12 - HCO3- serum)
mEq/L iv. Satu tablet NaHCO3 500 mg = 6 Meq HCO3-.
E. Osteodistrofi ginjal
Osteodistrofi ginjal dapat dicegah dengan pemberian kalsium, pengikat fosfat serta
vitamin D. Dosis kalsium yang sering digunakan 100-300 mg/m2/hari. Vitamin D yang
sering digunakan 1,25 OHvitD3 (rocatrol) dengan dosis 0,25 μg/hari (15-40
ng/kgBB/hari).
F. Hipertensi
G. Anemia
H. Gangguan jantung
Bila terjadi gagal jantung dan hipertensi, maka pengobatan diberikan furosemide secara
oral atau intravena dan pemberian calcium channel blocker. Bila terjadi perikarditis dan
uremia berat adalah indikasi dilakukan dialisis.
I. Gangguan pertumbuhan
Penanganan penderita dengan gagal ginjal terminal dengan melakukan terapi pengganti ginjal
meliputi transplantasi ginjal dan dialisis.
a) Transplantasi ginjal merupakan pilihan utama pada GGT. Namun sebelum dilakukan
transplantasi ginjal sering penderita GGT harus menjalani dialisis terlebih dahulu.
Transplantasi ginjal yang dilakukan tanpa dialisis disebut pre-emptive transplantation (1).
Hemodialisis
Pada anak peritoneal dialisis lebih disukai daripada hemodialisis. Saat ini tindakan
dialisis cenderung dilakukan lebih awal yaitu bila LFG kurang dari 15 mL/menit/1,73 m2
luas permukaan tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children. In Webb N,
Postlethwaite Eds. Clinical Paediatric Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003;
427-46.
2. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal Ginjal Kronik. Dalam Alatas H, Tambunan
T, Trihono PP, Pardede SO Eds. Buku Ajar Nefrologi Anak 2nd ed. Bali penerbit FKUI
Jakarta, 2002; 509-30.
3. Fogo AB, Kon V. Pathophysiology of progressive renal disease. In Avner ED, Harmon WE,
Niaudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1269-85.
4. Kei-Chiu TN, Chiu MC. Pre-Renal Replacement Program : Conservative Management of
Chronic Kidney Disease. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Paediatric Nephrology.
Medcom Limited Hongkong, 2005; 247-52.
5. Yap HK. Anemia, Renal Osteodystrophy, Growth Failure in Chronic Renal Failure. In Chiu
MC, Yap HK Eds. Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005;
253-61.
6. Winearls CG. Clinical Evaluation and Manifestation of chronic Renal Failure. In Johnson
RJ, Feecally J Eds. Comprehensive Clinical Nephrology. Harcourt Publishers Limited
London, 2000; section 14. 68 : 1-14.
7. Fine RN, Whyte DA, Baydstrun II. Conservative management of chronic renal insufficiency.
In Avner ED, Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams &
Wilkins USA, 2004; 1291-305.
8. Kuizon BD, Sausky IB. Renal Osteodistrophy. In Avner ED, Harmon WE, Naudet P Eds.
Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1291-305.
9. Goonasekera CDA, Dillon MJ. Thhe child with hypertension. In Webb N, Postlethwaite Eds.
Clinical Paediatric Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 151-61.
BAB I
PENDAHULUAN
A. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia pada dasarnya menginginkan dirinya selalu dalam kondisi yang sehat, baik secara fisik
maupun secara psikis, karena hanya dalam kondisi yang sehatlah manusia akan dapat
melakukan segala sesuatu secara optimal. Tetapi pada kenyataannya selama rentang
kehidupannya, manusia selalu dihadapkan pada permasalahan kesehatan dan salah satunya
berupa penyakit yang diderita (Patricia, 2005).
Syamsuddin (2009) memaparkan bahwa jenis penyakit yang diderita bentuknya beraneka
ragam, ada yang tergolong penyakit ringan dimana dalam proses pengobatannya relatif mudah
dan tidak terlalu menimbulkan tekanan psikologis pada penderita. Tetapi, ada juga penyakit
yang berbahaya dan dapat menganggu kondisi emosional salah satunya yaitu penyakit gagal
ginjal kronik.
Prosedur pengobatan yang digunakan untuk memperbaiki keadaan tersebut adalah melalui
hemodialisis atau transplantasi ginjal, tetapi karena mahalnya biaya operasi transplantasi ginjal
dan susahnya pencarian donor ginjal, maka cara terbanyak yang digunakan yaitu hemodialisis
(Iskandarsyah, 2006).
Sampai saat ini penderita penyakit gagal ginjal tergolong banyak, menurut data dari Yayasan
Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI) pada tahun 2001 di seluruh dunia terdapat 1,1 juta orang
menjalani dialisis kronik, serta diproyeksikan pada tahun 2010 menjadi lebih dari 2 juta orang. Di
Indonesia sendiri, angka kejadian gagal ginjal terminal berada pada 100 pasien baru setiap 1 juta
penduduk per tahun.
Di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar, jumlah kunjungan rawat jalan dengan diagnosa gagal
ginjal pada tahun 2006 sebanyak 3413 kunjungan, tahun 2007 sebanyak 3333 kunjungan, tahun
2008 sebanyak 2567 kunjungan, dan pada tahun 2009 (Januari – maret) jumlah kunjungan
sebanyak 1078 kunjungan (Rekam Medik RS. Labuang Baji Makassar, 2009).
Rumah Sakit Labuang Baji Makassar merupakan salah satu dari beberapa Rumah Sakit di Kota
Makassar yang menyediakan pelayanan hemodialisis, dan sampai Juli 2009 jumlah pasien yang
menjalani terapi hemodialisis berjumlah 35 Pasien.
Clinar S, Barlas GU, Alpha SE (2009) melakukan penelitian dengan judul Stressors and coping
strategies in hemodilysis patients, mendapatkan 24 stressor yang dapat muncul pada pasien
hemodilaisis, diantaranya keterbatasan, kelemahan, ketidakpastian masa depan, keterbatasan
aktifitas, dan ketergantungan hidup terhadap mesin hemodialisis.
Penyakit ginjal menyebabkan pasien mengalami permasalahan-permasalahan yang bersifat fisik,
psikologis, dan sosial yang dirasakan sebabagi kondisi yang menekan. Dan permasalahan
psikologis yang dialami pasien gagal ginjal kronik ditunjukkan dari sejak pertama kali pasien
divonis mengalami gagal ginjal kronik (Iskandarsyah, 2006).
Dari observasi awal serta wawancara singkat dengan kepala ruangan hemodialisis di ruang
hemodialisis RS. Labuang Baji Makassar, didapatkan perubahan fisik yang terjadi pada mereka
yang menjalani hemodialisis yaitu pruritus (gatal-gatal pada kulit), kering, dan belang yang
merupakan efek dari proses hemodialisis.
Berdasarkan fenomena-fenomena diatas, maka penulis ingin mengetahui gambaran mekanisme
koping pada pasien yang menjalani hemodialisis di ruang hemodialisis RS. Labuang Baji
Makassar.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut diatas, penulis dapat merumuskan masalah penelitian yaitu “Bagaimanakah
mekanisme koping pada pasien hemodialisis di ruang hemodialisis RS. Labuang Baji Makassar?”
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambaran mekanisme koping pada pasien hemodialisis di ruang
hemodialisis RS. Labuang Baji Makassar.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi jenis mekanisme koping pasien hemodialisis di ruang hemodialisis RS.
Labuang Baji Makassar
D. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan ilmiah bagi peningkatan ilmu
pengetahuan, terutama yang terkait dengan mekanisme koping pasien hemodialisis.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada perawat ruang
hemodialisis tentang mekanisme koping yang digunakan oleh pasein yang menjalani terapi
hemodialisis.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada keluarga yang memiliki
anggota keluarga yang sedang menjalani terapi hemodialisis.
4. Sebagai bahan bacaan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti berikutnya.
5. Sebagai latihan dan pengalaman berharga bagi peneliti untuk mengetahui mekanisme koping
yang digunakan oleh pasien hemodialisis dan dapat menerapkannya dilapangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Gagal Ginjal Kronik
1. Definisi
Smeltzer (2002) menjelaskan gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan
ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen
lain dalam darah).
Penyakit gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir (end-stage ginjal disease, ERDS)
adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan penurunan fungsi ginjal yang diakibatkan oleh
proses kerusakan ireversibel (Patricia, 2006).
Gagal ginjal kronik menurut Corwin (2006) yaitu destruksi struktur ginjal yang progresif dan
terus menerus.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal kronik merupakan penurunan fungsi
ginjal perlahan yang mengakibatkan kemampuan ginjal untuk mengeluarkan hasil-hasil
metabolisme tubuh terganggu. Hal ini terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak
nefron ginjal yang lebih lanjut akan dibahas pada etiologi gagal ginjal kronik.
2. Etiologi
Price & Wilson (2006) mengklasifikasikan sebab-sebab gagal ginjal kronik dalam tabel berikut.
Tabel 2.1. Klasifikasi sebab-sebab gagal ginjal kronik
Klasifikasi Penyakit Penyakit
- Infeksi
- Penyakit peradangan
- Penyakit vascular hipersensitif
- Penyakit metabolik
- Nefropati toksik
4. Stadium
Seperti pada pembahasan sebelumnya, penurunan fungsi ginjal tidak berlangsung secara
sekaligus, melainkan berlangsung seiring berjalannya waktu.
Apabila masalah pada ginjal dapat dideteksi sedini mungkin maka terapi untuk memperlambat
penurunan fungsi ginjal dapat dilakukan dengan cepat untuk sebisa mungkin penurunan fungsi
ginjal tersebut tidak mencapai stadium akhir. Untuk itu penting bagi penderita mengetahui pada
stadium berapa penyakit ginjal kronik yang dideritanya agar tim medis dapat memberikan terapi
yang tepat (Hartono, 2008).
Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI) (2008) membagi 5 stadium penyakit gagal ginjal kronik
yang ditentukan melalui penghitungan nilai glumelular filtration rate (GFR)
a. Stadium 1, dengan GFR normal (>90 ml/min)
b. Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
c. Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat (30 s/d 59 ml/min)
d. Stadium 4, dengan penurunan GFR parah (15 s/d 29 ml/min)
e. Stadium 5, penyakit gagal ginjal stadium akhir / terminal (>15 ml/min)
5. Penatalaksanaan
Smeltzer (2002) memaparkan bahwa tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan
fungsi ginjal dan homeostatis selama mungkin.
Fakultas kedokteran Universitas Indonesia (2006) menjelaskan bahwa penatalaksanaan tahapan
gagal ginjal kronik dapat dibagi menurut beberapa cara, antara lain dengan memperhatikan faal
ginjal yang masih tersisa, bila faal ginjal yang masih tersisa sudah minimal sehingga usaha-usaha
pengobatan konservasif yang berupa diet, pembatasan minum, obat dan lain-lain tidak memberi
pertolongan yang diharapkan lagi, keadaan tersebut diberi nama Gagal Ginjal Terminal (GGT).
Prosedur pengobatan yang digunakan untuk memperbaiki keadaan tersebut adalah melalui
hemodialisis atau transplantasi ginjal, tetapi karena mahalnya biaya operasi transplantasi ginjal
dan susahnya pencarian donor ginjal, maka cara terbanyak yang digunakan yaitu hemodialisis
(Iskandarsyah, 2006).
Secara umum FKUI (2006) dalam Buku ajar ilmu penyakit dalam membagi jenis terapi pengganti
menjadi :
Tabel 2.3. Berbagai Jenis Terapi Pengganti
I. Dialisis
A. Dialisis
- DP intermiten (DP)
- DP mandiri berkesinambungan (DPMB)
- DP dialirkan berkesinambungan (DPDB)
- DP noktural (DPN)
B. Hemodialisis (HD)
II. Transplantasi ginjal (TG)
TG donor hidup (TGDH)
TG donor jenazah (TGDJ)
FKUI (2006) membahas bahwa terapi hemodialisis dibutuhkan apabila fungsi ginjal seseorang
telah mencapai tingkatan terakhir (stadium 5) atau lebih lazim dengan gagal ginjal terminal dan
pada keadaan ini hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah kedalam suatu tabung ginjal
buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Hemodialisis akan
dipaparkan secara jelas pada pembahasan selanjutnya.
Smeltzer (2002) menjelaskan ada 3 prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu :
a. Difusi, toksik dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah
(konsentrasi tinggi) ke cairan dialisat (konsentrasi rendah).
b. Osmosis, air yang berlebih dikeluarkan melalui proses osmosis, pengeluaran air dikendalikan
dengan menciptakan gradien tekanan ; air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih
tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat).
c. Ultrafiltrasi, gradien dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal
sebagai untrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai
kekuatan pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air.
Patricia (2006) menjelaskan proses hemodialisis dilakukan dengan menggunakan sebuah mesin
yang dilengkapi dengan membran penyaring semipermeabel (ginjal buatan) yang memindahkan
produk limbah yang terakumulasi dari darah ke dalam mesin dialisis. Pada mesin tersebut,
cairan dialisat dipompa melalui salah satu sisi membran filter, sementara darah klien keluar dari
sisi yang lain.
4. Komplikasi
Smeltzer (2002) Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada hemodialisis yaitu :
a. Hipotensi, dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.
b. Emboli udara, merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat terjadi jika udara memasuki
sistem vaskuler pasien.
c. Nyeri dada, dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah
di luar tubuh
d. Pruritus, dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan
kulit
e. Gangguan keseimbangan dialisis, terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul
sebagai serangan kejang.
f. Kram otot yang nyeri, terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan ruang
ekstrasel
5. Perubahan yang terjadi pada pasien hemodialisis
Orang dengan penyakit kronis menghadapi perubahan permanen dalam gaya hidupnya,
ancaman, martabat dan harga diri, gangguan transisi hidup normal dan penurunan sumber-
sumber. Hal ini diperkuat dengan hasil survey, pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis lebih dari 4 tahun maka ia telah mulai dapat menyesuaikan diri dengan
penyakitnya (Iskandarsyah, 2006).
YDGI (2008) menjelaskan perubahan yang terjadi pada pasien hemodialisis antara lain :
a. Problem kulit, seperti gatal-gatal (pruritus), kulit kering (xerosis), kulit belang (skin
discoloration).
b. Rasa mual dan lelah.
c. Masalah tidur, gangguan tidur dialami sekitar 50-80% pasien yang menjalani terapi
hemodialisis.
Lubis (2006) terjadinya perubahan dan gangguan pada fungsi tubuh pasien hemodialisis,
menyebabkan pasien harus melakukan penyesuaian diri secara terus menerus selama sisa
hidupnya. Penyesuaian ini mencakup keterbatasan dalam memanfaatkan kemampuan fisik dan
motorik, penyesuaian terhadap perubahaan fisik dan pola hidup, ketergantungan secara fisik
dan ekonomi pada orang lain serta ketergantungan pada mesin dialisa selama sisa hidup. Untuk
lebih jelasnya, pada bagian selanjutnya akan dibahas tentang mekanisme koping.
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
A. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teoritis yang telah dikemukakan pada tinjauan pustaka, maka kerangka
konsep penelitian ini sebagai berikut :
Hemodialisis
Stres
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitan deskriptif adalah penelitian yang bertujuan melakukan deskripsi mengenai fenomena
yang ditemukan, baik berupa faktor risiko maupun efek atau hasil. Data yang dihasilkan disajikan
apa adanya & tidak dianalisis mengapa fenomena itu terjadi, karena itu penelitian deskriptif
tidak dipelukan hipotesis (Sastroasmoro, 2008).
Rancangan penelitian deskriptif bertujuan untuk menerangkan atau menggambarkan masalah
penelitian yang terjadi berdasarkan karakteristik tempat, waktu, umur, jenis kelamin, sosial,
ekonomi, pekerjaan, status perkawina, cara hidup (pola hidup) dan lain-lain (Hidayat, 2007).
Penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional bersifat deskriptif yang bertujuan
memperoleh gambaran tentang mekanisme koping yang digunakan pasien hemodialisis diruang
hemodialisis Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.
D. Alur Penelitian
Dalam penelitian ini proses pengambilan dan pengumpulan data diperoleh setelah sebelumnya
mendapat izin dari pihak terkait dalam hal ini Rumah Sakit Labuang Baji Makassar. Sebagai
langkah awal penelitian, peneliti akan menyeleksi responden dengan berpedoman pada kriteria
inklusi yang telah ditentukan. Setelah mendapatkan responden maka langkah berikutnya
meminta persetujuan dari responden dengan memberikan surat persetujuan menjadi
responden (informed concent).
Setelah mendapatkan persetujuan responden, kuesioner dibagikan kepada responden yang
berkaitan dengan gambaran mekanisme koping dengan terlebih dahulu menjelaskan cara
pengisiannya, kemudian kuesioner dikumpulkan untuk dilakukan pengolahan data sesuai urutan
pengolahan data, setelah dilakukan analisa dan penyajian data hasil penelitian. Penjelasan akan
disederhanakan pada skema berikut.
G. Instrumen Penelitian
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner adalah self report
informasi form yang disusun untuk mendapatkan informasi yang diharapkan dari responden
sesuai dengan pernyataan (Nursalam & Pariani, 2006).
Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu, untuk pengumpulan data tentang lamanya
pemberian terapi hemodialisis didapatkan dengan observasi, dan untuk pengumpulan data
tentang mekanisme koping yang digunakan pasien hemodialisis menggunakan kuesioner dengan
skala Likert dengan empat tipe pilihan, dimana kuisoner terdiri dari ; Mekanisme koping adaptif
terdiri dari 12 item pernyataan serta mekanisme koping mal adaptif yang terdiri dari 12 item
pernyataan, dengan penilaian :
Selalu (S) : 4
Sering (SR) : 3
Kadang-kadang (KK) : 2
Tidak pernah (TP) : 1
Tipe jawaban seperti ini disebut juga dengan fixed alternative, dimana alternatif jawabannya
telah ditetapkan oleh peneliti, dan responden diharapkan untuk memberikan respon jawaban
dari pilihan yang tersedia (Lubis, 2006).
H. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya rekomendasi dari pihak institusi
atas pihak lain dengan mengajukan permohonan izin kepada instansi tempat penelitian dalam
hal ini Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.
Setelah mendapat persetujuan barulah dilakukan penelitian dengan menekankan masalah etika
penelitian yang meliputi :
1. Informed consent
Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi kriteria
inklusi dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian. Bila subjek menolak maka peneliti
tidak akan memaksakan kehendak dan tetap menghormati hak-hak subjek.
2. Anonimity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama responden, tetapi lembar
tersebut diberikan kode.
3. Confidentiality
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu yang
akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.
http://perawatberseni.blogspot.com/2009/11/gambaran-mekanisme-koping-pada-pasien.html