Professional Documents
Culture Documents
Pembentukan BPUPKI
Pada tahun 1944 Saipan jatuh ke tangan sekutu. Demikian juga dengan pasukan jepang
di Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Kepulauan Marshall yang berhasil dipukul mundur
oleh pasukan sekutu. Dalam situasi kritis tersebut, pada tanggal 1 Maret 1945 Letnan Jendral
Kumakici Harada, pimpinan pemerintah pendudukan jepang di jawa, mengumumkan
pembentukan Badan Penyelidik Usaha - Usaha Persiapan Kemerdekan Indonesia (Dokuritsu
Junbi Cosakai ). Tujuannya adalah untuk menyelidiki hal-hal penting menyangkut pembentukan
negara Indonesia merdeka. Pengangkatan pengurus ini diumumkan pada tanggal 29 April 1945.
dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat diangkat sebagai (kaico), sedangkan yang duduk sebagai
ketua muda (fuku kico) pertama di jabat oleh seorang Jepang yang bernama Icibangase. R.P.
Suroso diangkat sebagai kepala sekretariat dengan dibantu oleh Toyohito Masuda dan Mr. A.G.
Pringodigdo.
1) Peri Kebangsaan
2) Peri Kemusiaan
3) Peri Ketuhanan
4) Peri Kerakyataan
5) Kesejahteraan Rakyat
Pada tanggal 31 mei 1945 prof. Dr.Mr Soepomo mengajukan Dasar Negara
Indonesia Merdeka yaitu sebagai berikut :
1) Persatuan
2) Kekeluargaan
3) Keseimbangan
4) Musyawarah
5) Keadilan Sosial
b. Piagam Jakarta
Pada tanggal 22 Juni 1945, BPUPKI membentuk panitia kecil yang beranggotakan
dengan 9 orang. Oleh karena itu, panitia ini disebut juga sebagai Panitia Sembilan.
Anggotanya berjumlah 9 orang, yaitu sebagai berikut:
1) Ir. Soekarno
2) Drs. Moh. Hatta
3) Mr. Muh. Yamin
4) Mr. Ahmad Soebardjo
5) Mr. A.A. Maramis
6) Abdul Kadir Muzakir
7) K.H. Wachid Hasyim
8) K.H. Agus Salim
9) Abikusno Tjokrosujoso
Mr. Muh. Yamin menamakan rumusan tersebut Piagam Jakarta atau Jakarta
Charter. Rumusan rancangan dasar negara Indonesia Merdeka itu adalah sebagai berikut :
c. Rancangan UUD
Pada tanggal 10 Juli 1945 dibahas Rencana UUD, termasuk soal pembukaan atau
preambule-nya oleh sebuah Panitia Perancang UUD dengan suara bulat menyetujui isi
preambule (pembukaan) yang di ambil dari Piagam Jakarta. Hasil perumusan panitia kecil
ini kemudian disempurnakan bahasanya oleh Panitia Penghalus Bahasa yang terdiri dari
Husein Djajadiningrat, H. Agus Salim, dan Prof. Dr. Mr. Supomo.
Persidangan ke-2 BPUPKI dilaksanakan pada tanggal 14 Juli 1945 dalam rangka
menerima laporan panitia perancang UUD. Ir. Soekarno, selaku ketua panitia melaporkan
3 hasil yaitu :
Gerakan ini merupakan gerakan rakyat yang baru dimana gerakan ini dibentuk
berdasarkan hasil sidang ke-8 Cuo Sangiin. Susunan pengurus pusat organisasi ini terdiri
dari 80 orang. Anggotanya terdiri atas Penduduk Asli Indonesia dan Bangsa Jepang
golongan Cina, golongan Arab dan golongan Peranakan Eropa.
4. Pembentukan PPKI
Pada tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan sebagai penggantinya,
pemerintah pendudukan Jepang membentuk PPKI. Ir. Soekarno sebagai ketua PPKI dan
Drs. Moh. Hatta ditunjuk sebagai wakil ketuanya, sedangkan Mr. Ahmad Soerbadjo
ditunjuk sebagai penasehatnya. Kepada para anggota PPKI, Gunseikan Mayor jenderal
Yamamoto menegaskan bahwa para anggota PPKI bukan hanya dipilih oleh pejabat di
lingkungan Tentara Ke-16, tetapi juga oleh Jenderal Besar Terauci yang menjadi
penguasa tertinggi di seluruh Asia Tenggara.
Peristiwa Rengasdengklok
Peristiwa Rengasdengklok adalah peristiwa dimulai dari "penculikan" yang dilakukan oleh
sejumlah pemuda (a.l. Adam Malik dan Chaerul Saleh dari Menteng 31 terhadap Soekarno dan
Hatta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.30. WIB, Soekarno dan Hatta
dibawa atau lebih tepatnya diamankan ke Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian didesak
agar mempercepat proklamasi) sampai dengan terjadinya kesepakatan antara golongan tua
yang diwakili Soekarno dan Hatta serta Mr. Akhmad Subardjo dengan golongan muda tentang
kapan proklamasi akan dilaksanakan.
Menghadapi desakan tersebut, Soekarno dan Hatta tetap tidak berubah pendirian.
Sementara itu di Jakarta, Chairul dan kawan-kawan telah menyusun rencana untuk merebut
kekuasaan. Tetapi apa yang telah direncanakan tidak berhasil dijalankan karena tidak semua
anggota PETA mendukung rencana tersebut.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia rencananya akan dibacakan Bung Karno dan
Bung Hatta pada hari Kamis, 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok, di rumah Djiaw Kie Siong.
Naskah teks proklamasi sudah ditulis di rumah itu. Bendera Merah Putih sudah dikibarkan para
pejuang Rengasdengklok pada Rabu tanggal 15 Agustus, karena mereka tahu esok harinya
Indonesia akan merdeka.
Karena tidak mendapat berita dari Jakarta, maka Jusuf Kunto dikirim untuk berunding
dengan pemuda-pemuda yang ada di Jakarta. Namun sesampainya di Jakarta, Kunto hanya
menemui Mr. Achmad Soebardjo, kemudian Kunto dan Achmad Soebardjo ke Rangasdengklok
untuk menjemput Soekarno, Hatta, Fatmawati dan Guntur. Achmad Soebardjo mengundang
Bung Karno dan Hatta berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan
Timur 56. Pada tanggal 16 tengah malam rombongan tersebut sampai di Jakarta.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh
konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda
Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut
kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil
menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang
dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan
Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan
Proklamasi Kemerdekaan.
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro
Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan
militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno Hatta yang diantar
oleh Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen
Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut.
Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima
perintah dari Tokio bahwa Jepang harus menjaga Status quo, tidak dapat memberi ijin untuk
mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh
Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam.Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan
menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji
agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan
menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang
panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh
Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira
penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya
wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan
Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks
Proklamasi. Setelahmenyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalka berdebat dengan Nishimura,
Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh
Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, BM Diah, Sudiro (Mbah)
dan Sajuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan
penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalim dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia
ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan
itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa
pemindahan kekuasaan itu berarti "tranfer of power". Bung Hatta, Subardjo, BM Diah, Sukarni,
Sudiro dan Sayuti Melik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa
kalangan klaim Nisjijima masih didengungkan.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut. Pada
awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan
keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di
ruang makan di kediaman Soekarno, Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Para penyusun teks
proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks
proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik,
Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu
adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi
Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno,
Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo,
Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh
Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah
dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota
Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan
pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah
Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut.
Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang
Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera
berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut
masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang
dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat
mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan
Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil
keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara
Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah
Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan
di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang
akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari otto iskandardinata dan persetujuan
dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan
wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Soekarno/Hatta
Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605.
Naskah Otentik
Teks diatas merupakan hasil ketikan dari Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang
tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.
Proklamasi
Pada tanggal 10 Juli 1945 dibahas tentang rancangan UUD termasuk soal pembukaan atau
preambule-nya yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Pada saat persidangan kedua BPUPKI
dilaksanakan pada tanggal 14 Juli 1945 Ir. Soekarno melaporkan tiga hasil untuk dimuat dalam
UUD’45 yaitu :
Setelah itu pada rapat PPKI yang pertama dibahas juga tentang pasal-pasal dalam RUUD.
Pembahasan itu menghasilkan perubahan-perubahan kecil pada pasal-pasal dalam batang
tubuh. Dan di dalam UUD’45 itu juga memuat tentang Pancasila. Sidang PPKI Tanggal 19 Agustus
1945 dihasilkan keputusan mengenai pembagian wilayah Indonesia yang mana wilyah Indonesia
dibagi menjadi 8 provinsi dengan dua daerah istimewa dan menetapkan Kementrian dalam
Lingkungan Pemerintahan.
Sidang PPKI Tanggal 22 Agustus 1945 memiliki agenda utama membahas Komite nasional
Indonesia Pusat (KNIP), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Pembentukan Badan Keamanan
Rakyat (BKR).
Berikut ini adalah susunan kementrian pada saat kabinet presidential pertama:
KNIP sebelum terbentuknya MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan GBHN
Pekerjaan KNIP sehari-hari berhubung gentingnya keadaan dijalankan oleh suatu
badan pekerja yang dipilih diantara mereka dan bertanggung jawab kepada Komite
Nasional Pusat.
Dalam rangka pembentukan partai politik dalam rangka penyaluran aspirasi masyarakat
dikeluarkanlah Maklumat Presiden tanggal 3 November 1945 yang berisi tentang “ Presiden
menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai politik itulah
dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat”.
Setelah itu pemerintah pun mengelurkan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945
dalam rangka menyetujui usulan BP-KNIP untuk mengubah kabinet presidential ke kabinet
parlementer, isi maklumat tersebut adalah “Pemerintah Republik Indonesia setelah mengalami
ujian-ujian yang hebat dengan selamat, dalam tingkatan pertamanya dalam usaha menegakkan
diri, merasa bahwa saat sekarang sudah tepat untuk menjalankan macam-macam tindakan
daruat guna menyempurnakan tata usaha Negara kepada susunan demokrasi. Yang terpenting
dalam perubahan susunan kabinet baru ialah, tanggung jawab adalah ditangan mentri”.
A. Pembentukan BKR
BKR bertugas menjaga keamanan umum di daerah-daerah di bawah koordinasi KNI
daerah. Sebagian golongan muda menyambut dengan kecewa pidato presiden tersebut
karena mereka menghendaki agar pemerintah segera membentuk tentara nasional, bukan
sekedar BKR.
Pembentukan BKR pusat dilakukan oleh bekas tentara Peta di Jakarta. Terpilih sebagai
ketua ialah Kasman Singodimendjo. Namun setelah beliau diangkat menjadi Ketua KNIP,
susunan organisasi BKR menjadi sebagai berikut.
Ketua : Kaprawi
Ketua I : Sutalaksana
Susunan organisasi ini dibantu oleh Arifin Abdurachman, Mahmud, dan Sulkifli.
D. Pembentukan TNI
Melihat tindakan provokatif bahan agresif dari tentara Sekutu, pemerintah
kemudian memanggil pensiunan KNIL Mayor Oerip Soemohardjo untuk segera
membentuk tentara nasional.
Karena Soeprijadi sebagai pemimpin TKR tidak pernah ada di posnya, maka diadakan
pemilihan pemimpin tertinggi TKR yang baru. Terpilihlah Kolonel Soedirman yang saat
itu sedang memimpi pertempuran di Ambarawa. Pada 18 Desember 1945 beliau dilantik
sebagai Panglima TKR dengan pangkat jenderal.
Masa kepemimpinan Jendral Soedirman, TKR mengalami dua kali pergantian nama,
menjadi Tentara Keselamatan Rakyat kemudian menjadi Tentara Republik Indonesia. TRI
berkembang dengan memiliki AL (Angkatan Laut) dan AU (Angkatan Udara).
Sementara itu, badan-badan perjuangan lain yang tergabung dalam Komite van Aksi
maupun badan perjuangan daerah lain, pada 10 November 1945 mengadakan Kongres
Pemuda Seluruh Indonesia di Yogyakarta. Kongres ini berhasil membentuk Badan
Kongres Pemuda Indonesia (BKMI).
Pada tanggal 5 Mei 1947 dikeluarkan Penetapan Presiden yang intinya untuk
mempersatukan badan-badan perjuangan dalam satu wadah yaitu TRI. Setelah dibentuk
panitia yang dipimpin oleh presiden, hasil kerja panitia itu adalah Penetapan Presiden
tanggal 7 Juni 1947 yang menyatakan bahwa sejak tanggal 3 Juni 1947 pemerintah
mengesahkan berdirinya Tentara Republik Indonesia sebagai satu-satunya wadah
perjuangan bersenjata.
TNI memiliki pimpinan kolektif yang berasal dari TRI dan badan-badan perjuangan.
Namun, keduanya tetap dibawah satu pimpinan tertinggi, yaitu Jendral Soedirman.