You are on page 1of 15

MAKALAH TENTANG PERLAKUAN PAJAK

PENGHASILAN TERHADAP JASA FREIGHT


FORWARDING

Disusun Oleh

Teddy Dunggio
10.10.0114

Surabaya
2011
MAKALAH TENTANG PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN
TERHADAP JASA FREIGHT FORWARDING

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menjelang bangkitnya pemulihan ekonomi dunia sejak resesi global pada akhir
tahun 2008, hal ini berdampak baik bagi kawasan Asia, khususnya di Indonesia
hal ini dapat dilihat pada pertumbuhan ekonomi dari tahun 2009 hingga tahun
2010 yang makin meningkat.

Bank Pembangunan Asia memperkirakan akan mencapai 7% - 8% pada jangka


menengah. Hal ini dapat dilihat pada pada kesepakatan pada akhir tahun 2010
kemarin, antara pemerintah dan DPR-RI, yang menargetkan bahwa pertumbuhan
Indonesia adalah 5.8%. Bahkan Menteri Keuangan RI, Agus Martowarodojo,
menyatakan bahwa pada tahun 2011, Indonesia bahkan akan mencapai
pertumbuhan ekonomi 6.3%.

Seperti kita ketahui bahwa pertumbuhan ekonomi di suatu negara, khususnya


negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia, ditunjang oleh berbagai macam
aspek. Khusus untuk Negara berkembang pertumbuhan ekonomi sangat
tergantung pada arus modal investor asing maupun investor lokal dan juga
bergantung pada perkembangan infrastruktur dari suatu negara tersebut.
Kontribusi infrasturktur terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) adalah 25%, hal
ini menurut Menteri Keuangan tergolong tinggi, jadi jika ingin mencapai
pertumbuhan ekonomi mencapai 6.3% haruslah dipertahankan kontribusi
infrastruktur tsb.

Pertumbuhan ekonomi yang digambarkan di atas tersebut, dapat dilihat dengan


peluang bisnis di Indonesia yang masih baik, khususnya untuk peluang bisnis
logistik. Hal ini ditandai dengan makin banyaknya perusahaan nasional maupun
multinasional menggunakan pihak ketiga untuk menangani aktivitas logistiknya.
Pertimbangan efisiensi dan produktivitas yang tinggi menjadi alasan utama
perusahaan untuk menggunakan pihak ketiga untuk menangani aktivitas
logistiknya.
Pasar bisnis logistic di Indonesia selalu meningkat, hal ini dibuktikan pada tahun
2010 meningkat USD 1.2 miliar melebihi tahun sebelumnya, dan diprediksi setiap
tahun meningkat sebesar 12%.

Kondisi ini memicu persaingan yang sangat ketat dengan banyaknya pemain di
bidang logistic dan forwarding, dimana per tahun 2010 terdapat kurang lebih 300
perusahaan logistic dan forwarding yang berada di Jakarta (berdasarkan daftar di
Asosiasi Logistik Indonesia).

Dilihat dari trend yang selalu naik, untuk itu pemerintah telah berusaha untuk
meningkatkan pertumbuhan disetiap industri, termasuk di industri logistik dan
forwarding. Tetapi perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah apakah
memberikan dampak yang positif kepada industri di bidang forwarding?

Khususnya pajak penghasilan yang diterapkan di perusahaan forwarding masih


menimbulkan kesimpang-siuran dalam penerapannya, bahkan penerapannya
disinyalir tidak merata tergantung persepsi tiap perusahaan atas perusahaan freight
forwarding tersebut. Hal ini sesuai dengan persepsi umum bahwa peraturan
perpajakan di Indonesia masih Grey Area.

Idealnya, peraturan yang baik - termasuk peraturan pajak - adalah peraturan yang
tidak mengandung grey area. Namun demikian, hal itu tidak mungkin dicapai
karena manusia pasti mempunyai kelemahan dan pasti memiliki perbedaan dalam
kepentingan antara satu pihak dengan pihak yang lain.
Grey area perpajakan adalah sebuah keadaan, transaksi atau kejadian yang
dicurigai berat terekspos oleh aturan pajak, akan tetapi tidak ada aturan pajak yang
berlaku sekarang yang bisa diterapkan terhadap hal tersebut.
Maka dalam konteks perpajakan, Grey area adalah:

• Keadaan atau transaksi yang sebenarnya terekspos pajak, akan tetapi tidak
ada aturan yang mengaturnya;
• Ada aturannya tapi tidak jelas karena tidak lengkap, tidak implementatif,
tidak informatif, memunculkan multi tafsir, berbeda antara aturan dan
praktek dan sebagainya;
• Ada aturannya, akan tetapi jumlahnya lebih dari satu sehingga
mengakibatkan terjadinya kesimpangsiuran peraturan, tarik-menarik, saling
berkontradiksi dan sebagainya.
Grey Area dalam perpajakan muncul karena banyak sebab, diantaranya adalah:

• Ketiadaan ketentuan yang semestinya mengatur suatu permasalahan,


sehingga memunculkan berbagai persepsi atau interpretasi dan penafsiran;
• Pengaturan yang ada tidak jelas dan tidak pasti;
• Pengaturan yang ada berlebih atau saling tumpang tindih;
• Perbedaan kepentingan dan penafsiran antara pembayar pajak dan otoritas
pajak;
• Perbedaan kepentingan dan penafsiran di antara pembayar pajak;
• Perbedaan kepentingan dan penafsiran di antara berbagai pihak di dalam
otoritas pajak.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pertumbuhan ekonomi yang disebutkan di atas, khususnya di bidang


forwarding serta sangat ketatnya persaingan di industri forwarding, untuk itu
kebijaksanaan peraturan pajak penghasilan yang ditetapkan pemerintah
memberikan dampak yang baik atau bahkan memberikan dampak yang buruk
untuk industri forwarding di Indonesia.

Seperti yang diketahui secara umum, bahwa peraturan perpajakan di Indonesia


banyak menimbulkan persepsi yang berbeda-beda bahkan ada beberapa peraturan
perpajakan yang saling bertolak belakang. Berdasarkan hal itu, jasa freight
forwarding yang ditetapkan oleh peraturan perpajakan, khususnya pajak
penghasilan, tidak secara gamblang/harfiah disebutkan sebagai salah satu pajak
yang dikenakan pajak atau tidak dikenakan pajak penghasilan. Hal ini
dikarenakan penafsiran yang berbeda-beda bagi setiap orang yang membaca atas
peraturan pajak penghasilan yang ada.

Adapun yang menjadi penyebab lainnya Grey Area tersebut adalah timbul dari
penafsiran-penafsiran yang berbeda karena banyak yang tidak mengetahui dengan
jelas inti kegiatan-kegiatan yang ada dalam cakupan aktivitas jasa freight
forwarding.

C. Tujuan Penulisan

Diharapkan dengan adanya pembahasan yang lebih mendalam terhadap pajak


penghasilan terhadap jasa freight forwarding, maka orang-orang yang bergerak di
bidang industri freight forwarding dapat lebih mengerti mengenai pengenaan pajak
penghasilan pada jasa freight forwarding.
Kemudian dapat dilihat bahwa pengenaan pajak penghasilan pada jasa freight
forwarding ini dapat memberikan efek yang significant pada pertumbuhan atau
perkembangan bisnis di industri freight forwarding, bukan sebaliknya yaitu
melumpuhkan bisnis industri freight forwarding.
BAB II

PEMBAHASAN

Dalam makalah ini ada 3 (tiga) hal yang mendasar yang akan dibahas, yaitu
pengertian/definisi dari jasa freight forwarding, peraturan pajak penghasilan yang
berhubungan dengan pajak penghasilan, dan implikasi peraturan pajak penghasilan
tersebut.

A. Definisi Jasa Freight Forwarding

Pengertian Jasa Freight Forwarding pernah didefinisikan dalam PER-178/PJ/2006


(yang kemudian dicabut dengan terbitnya PER-70/PJ/2007) yaitu mengacu pada
Keputusan Menteri Perhubungan No. KM/10 Tahun 1988 tentang Jasa Pengurusan
Transportasi. Berdasarkan SK Menhub tersebut, yang dimaksud dengan Jasa
Freight Forwarding adalah sebagai berikut:

usaha yang ditujukan untuk mewakili kepentingan Pemilik Barang, untuk


mengurus semua kegiatan yang diperlukan bagi terlaksananya pengiriman dan
penerimaan barang melalui transportasi darat, laut dan udara yang dapat
mencakup kegiatan penerimaan, penyimpanan, sortasi, pengepakan, penandaan
pengukuran, penimbangan, pengurusan penyelesaian dokumen, penerbitan
dokumen angkutan, klaim asuransi, atas pengiriman barang serta penyelesaian
tagihandan biaya-biaya lainnya berkenan dengan pengiriman barang-barang
tersebut sampai dengan diterimanya barang oleh yang berhak menerimanya.

Dari definisi tersebut terlihat bahwa jasa Freight Forwarding mencakup rangkaian
beberapa kegiatan yang perlu dilakukan hingga diterimanya barang oleh pihak
yang berhak. Setelah itu barulah perusahaan Freight Forwarding akan menerima
uang jasa dari Pemilik Barang. Hal ini dapat dibedakan dengan Cargo Broker yang
bertindak hanya sebagai perantara (broker) yang kegiatannya sebatas
mempertemukan pihak perusahaan pengangkutan (pelayaran) dengan pihak
pemilik barang dan tidak melakukan rangkaian kegiatan sebagaimana dilakukan
oleh perusahaan jasa Freight Forwarding.

GAFEKSI (INFA) adalah singkatan dari Gabungan Forwarder dan Ekspedisi


Indonesia atau Indonesian Forwarders Association. Adapun pengertian Ekspedisi
ataupun forwader dapat dilihat pada pengertian sebagai berikut:
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) Bagian ke-II tentang
Ekspedisi:

Pasal – 86
Ekspedisi adalah orang yang pekerjaannya menjadi tukang menyuruhkan kepada
orang lain untuk menyelenggarakan pengangkutan barang-barang dagangan dan
lainnya, melalui daratan atau perairan.
Ia diwajibkan membuat catatan-catatan dalam sebuah register harian berturut-turut
tentang macam dan jumlah barang-barang dagangan dan lainnya yang harus
diangkut, seperti harganya, manakala yang belakangan dianggap perlu.

Pasal – 87
Ia harus menanggung, bahwa pengiriman barang dagangan dan lainnya yang untuk
itu diterimanya, akan mendapatkan penyelenggaraannya dengan rapid an selekas-
lekasnya, pula dengan mengindahkan segala upaya, yang sanggup menjamin
keselamatan barang-barang yang diangkutnya.

Pasal – 88
Iapun setelah barang-barang dagangan dan lainnya itu dikirimkannya, harus
menanggung segala kerusakan atau hilangnya barang-barang itu, yang mana dapat
dipersebabkan karena kesalahan atau kurang ati-atinya.

Pasal – 89
Ia harus menanggung pula segala ekspeditur antara yang dipakainya.

Pasal - 90
Surat angkutan merupakan persetujuan antar si pengirim atau eksepditur pada
pihak satu dan pengangkut atau juragan perahu pada pihak lain. Surat itu memuat
selain apa yang kiranya telah disetujui oleh kedua belah pihak, seperti misalnya
mengenai waktu dalam mana pengangkutan telah harus selesai dikerjakan dan
mengenai pergantian rugi dalam hal keterlambatan, memuat juga :
1. Nama dan berat atau ukuran barang-barang yang diangkut, begitupun
merek dan bilangannya
2. Nama orang kepada siapa barang-barang dikirimkannya
3. Nama dan tempat si pengangkut atau juragan perahu
4. Jumlah upahan pengangkutan
5. Tanggal
6. Tanda tangan si pengeirim atau ekspeditur
Surat angkutan itu, ekspeditur harus membukukannya dalam register hariannya.
Menurut Ensiklopedi umum terbitan Yayasan Kanisius tahun 1973:

Ekspedisi (Belanda – Expeditie): Pengiriman barang-barang; Perusahaan


Pengangkutan dan pengiriman barang; juga perlawatan barang; perlawatan
kelompok penyelidik ke suatu daerah yang belum dikenal.

Menurut undang-undang Ekspeditur adalah seorang perantara yang kerjanya


mengurus pengangkutan barang (dalam bahasa Inggris disebut Forwarding Agent
atau Shipping Agent).

Dalam prakteknya pekerjaan ekspedisi tidak terbatas pada mengurus


pengangkutan saja, selain mengambil dari dan mengantarkannya ke tempat
pengangkutan, ekspeditur juga menjadi pengusaha pengangkutan transporter (ada
yang memiliki alat-alat transport sendiri), bahkan ada yang menyelenggarakan
pekerjaan pergudangan (memiliki gudang sendiri) dan menjadi agen-agen
perusahaan asuransi.

Menurut Training Manual on Operation Aspects of Multimodal Transport United


Nation Economic and Social Commission for Asia and the Pasific (UN ESCAP)
edisi 2002 (1.2):

There are no internationally accepted definition of the term “freight forwarder”.


Forwarder are known by different names in different countries such as customs
house agent, clearing agent, customs broker, shipping and forwarding agent, and
in some case acts as a principal carrier that is, the main carrier. But me aspect of
their activities which is common to all of them, what ever the name they use, is
that they all see their service only.

Menurut Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.10 Tahun 1988, tanggal


26 Februari 1988, tentang Jasa Pengurusan Transportasi, Bab I Ketentuan
Umum Pasal – 1 :

“Yang dimaksud dengan Jasa Pengurusan Transportasi (Freight Forwarder) dalam


keputusan ini adalah usaha yang ditujukan untuk mewakili kepentingan pemilik
barang untuk mengurus semua kegiatan yang diperlukan bagi terlaksananya
pengiriman dan peneraimaan barang melalui transportasi darat, laut atau udara
yang dapat mencakup kegiatan penerimaan, penyimpanan, sortasi, pengepakan,
penandaan, pengukuran, penimbangan, pengurusan penyelesaian dokumen,
penerbitan dokumen angkutan, perhitungan biaya angkutan, klaim asuransi atas
pengiriman barang serta penyelesaian tagihan dan biaya-biaya lainnya berkenaan
dengan pegniriman barang-barang tersebut sampai dengan diterimanya barang
oleh yang berhak menerimanya.
Dilihat dari semua pengertian/definisi Jasa Freight Forwarding yang telah
disebutkan di atas kiranya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa:
1. Jasa Freight forwarding suatu jasa yang merupakan suatu rangkaian
kegiatan (bukan satu kegiatan saja).
2. Istilah Jasa Pengurusan Transportasi = Jasa Ekspedisi (termasuk EMKL) =
Jasa Freight Forwarder.
3. Jasa freight forwarding adalah macam-macam jasa yang terkait dengan
pengiriman barang dimana perusahaan freight forwarding
bertanggungjawab atas keselamatan barang, sama-sama menerbitkan
dokumen angkutan.

B. Peraturan Pajak Penghasilan

Pengertian Jasa Freight Forwarding pernah didefinisikan dalam PER-178/PJ/2006


(yang kemudian dicabut dengan terbitnya PER-70/PJ/2007) yaitu mengacu pada
Keputusan Menteri Perhubungan No. KM/10 Tahun 1988 tentang Jasa Pengurusan
Transportasi. Berdasarkan SK Menhub tersebut terlihat bahwa jasa Freight
Forwarding mencakup rangkaian beberapa kegiatan yang perlu dilakukan hingga
diterimanya barang oleh pihak yang berhak. Setelah itu barulah perusahaan
Freight Forwarding akan menerima uang jasa dari Pemilik Barang.

PER-70/PJ/2007 merupakan positive list yang berarti bahwa hanya jasa-jasa yang
tercantumlah yang dianggap sebagai jasa-jasa lain yang merupakan obyek
pemotongan PPh pasal 23 sebagaimana di maksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf c
UU PPh. Jasa Freight Forwarding tidak tercantum dalam PER-70/PJ/2007,
sehingga dapat dikatakan tidak termasuk yang dikenakan pemotongan PPh pasal
23.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008, jasa


freight forwarding bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23. Bahkan
sebelumnya, dengan Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor: S-785/PJ.032/2007
ditegaskan pula bahwa freight forwarding bukanlah jasa perantara.

Akan tetapi, jasa freight forwarding tidak bebas sepenuhnya dari pemotongan PPh,
sebab, jika dalam tagihan freight forwarding terdapat unsur sewa harta dan atau
jasa-jasa yang menjadi Objek PPh Pasal 23, maka tagihan freight forwarding dapat
dipotong PPh.
C. Implikasi Peraturan Pajak Penghasilan Pada Industri Freight Forwarding

Inilah yang harus dipahami oleh mereka yang dalam kegiatan usahanya terkait
dengan bisnis freight forwarding, terutama shipper yang menurut peraturan pajak
diembani dengan kewajiban memotong PPh Pasal 23, agar terhindar dari sanksi-
sanksi perpajakan tersebut harus memahami apa saja jenis jasa yang disediakan
oleh freight forwarder dan bagaimana cara penagihan (invoicing) yang dilakukan.
Karena bisa jadi jasa-jasa yang disediakan freight forwarding tadi merupakan
objek pemotongan PPh Pasal 23.

Kegiatan operasional freight forwarding mencakup kegiatan penerimaan,


penyimpanan, fumigasi (penyemprotan anti hama sebelum barang dimuat dalam
kontainer), sortasi, pengepakan, penandaan, pengukuran, dan penimbangan. Selain
itu, freight forwarder juga bertugas melakukan pengurusan penyelesaian dokumen,
penerbitan dokumen, perhitungan biaya angkutan, klaim asuransi, serta
penyelesaian tagihan dan biaya-biaya lainnya berkenaan dengan pengiriman
barang tersebut.

Dalam praktik, sebagian dari kegiatan-kegiatan operasional tersebut ada yang


dilakukan sendiri oleh freight forwarder (dengan menggunakan sarana dan
prasarana milik sendiri atau sewaan) dan ada pula yang menggunakan jasa-jasa
dari pihak ketiga yang memiliki sarana dan prasarana yang lebih lengkap dan
memadai.

Apabila tagihan (invoice) atas imbalan kegiatan operasional tersebut dilakukan


secara menyatu (misalnya dengan menggunakan nama akun imbalan jasa
forwarder’s fee atau handling fee), maka seluruh imbalan atas jasa-jasa
operasional tersebut semestinya tidak dipotong PPh Pasal 23.

Akan tetapi, jika tagihannya dilakukan secara terpisah (di-breakdown), dan ini
yang biasanya terjadi, maka sebagian dari tagihan tersebut dapat menjadi objek
pemotongan PPh Pasal 23 secara pasti, seperti jasa pengepakan atau jasa fumigasi
(jasa pembasmian hama terhadap barang-barang yang akan dimasukan ke
kontainer) yang ditagih secara terpisah, maka imbalan jasa tersebut akan menjadi
objek pemotongan PPh Pasal 23

Sementara sebagian lagi dapat masuk ke dalam wilayah remang-remang (grey


area), seperti jasa penyimpanan-yang merupakan salah satu rangkaian dari jasa-
jasa freight forwarding dalam proses pengiriman barang—dilakukan sendiri oleh
freight forwarder, baik dengan menggunakan gudang milik sendiri atau gudang
yang disewa dari pihak ketiga.
Dalam hal ini, grey area akan ada jika seandainya imbalan atas jasa penyimpanan
tersebut ditagih secara terpisah. Di sini muncul pertanyaan, apakah jasa tersebut
termasuk sebagai jasa penyimpanan atau jasa sewa gudang (sewa tanah dan atau
bangunan)? Sebab dalam peraturan pajak tidak dijelaskan batasan dan perbedaan
dari kedua jenis jasa tersebut. Begitu juga dengan jasa pengangkutan, termasuk
sewa (charter) atau bukan.

Dalam praktik, memang tidak banyak perusahaan freight forwarding yang


menyediakan sendiri semua jasa-jasa yang diperlukan dalam proses pengiriman
barang. Sebab, semua kegiatan tersebut membutuhkan modal yang tidak sedikit
dan beberapa di antaranya membutuhkan izin usaha dan sertifikasi yang khusus
seperti misalnya jasa fumigasi. Artinya, dalam hal ini perusahaan freight
forwarding biasanya akan memanfaatkan pihak ketiga penyedia jasa.

Bagi shipper agar terhindar dari sanksi-sanksi perpajakan, sebaiknya meyakini


bahwa apabila terdapat obyek PPh Pasal 23 dalam tagihan jasa forwarding
tersebut, pajaknya telah dipotong oleh pengusaha jasa forwarding dengan meminta
foto copy bukti potong dan SPT Masa-nya.

Reimbursement dalam Jasa Freight Forwarding

Reimbursment merupakan suatu jumlah yang ditagih oleh Pemberi Jasa kepada
Penerima Jasa yang berasal dari tagihan Pihak Ketiga (Supplier). Dengan
demikian, Pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi reimbursment adalah Pemberi
Jasa selaku pihak yang menyerahkan jasa kepada konsumen (Penerima Jasa),
Penerima Jasa, dan Pihak Ketiga selaku pihak yang dilibatkan oleh Pemberi Jasa
dalam melakukan penyerahan jasa kepada konsumen (Penerima Jasa).

Transaksi Reimbursment ini umumnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan jasa


yang bekerjasama dengan pihak ketiga dalam melakukan kegiatan pemberian jasa
kepada konsumen (penerima jasa) antara lain perusahaan yang bergerak di bidang
usaha jasa freight forwarding yang dalam kegiatan operasionalnya bekerjasama
dengan Pihak Ketiga antara lain perusahaan pengangkutan / pengiriman barang.
Tagihan biaya yang di-Reimburs antara lain : Freight, THC, Document Fee, D/O,
Cleaning Container, Lift on/off Container, shipping line, Airline.

Dalam hal terjadi transaksi Reimbursment, Tagihan dari Pihak Ketiga akan
diteruskan oleh Pemberi Jasa kepada Penerima Jasa dengan atau tanpa ditambah
imbalan (Mark Up). Selanjutnya pembayaran dari Penerima Jasa akan diteruskan
oleh Pemberi Jasa kepada Pihak Ketiga tersebut setelah dikurangi dengan imbalan
mark up. Jumlah penerimaan yang akan dicatat sebagai penghasilan/pendapatan
oleh Pemberi Jasa adalah jumlah pembayaran dari Penerima Jasa dikurangi dengan
Reimbursment. Oleh karena itu, dokumen tagihan oleh Pihak Ketiga seharusnya
dibuat langsung atas nama Penerima Jasa (bukan Pemberi Jasa)

Ketentuan yang mengatur tentang pengakuan pendapatan dan biaya dalam hal
terdapat transaksi reimbursment, belum diatur secara khusus. Namun sesuai
dengan penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP menyatakan bahwa pembukuan
harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia
misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan kecuali peraturan perundang-
undangan perpajakan menentukan lain. Dengan demikian, sepanjang peraturan
perundang-undangan perpajakan tidak menentukan secara khusus, maka
pengakuan pendapatan dan biaya dalam hal terdapat transaksi reimbursment harus
menggunakan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia yaitu Standar
Akuntansi Keuangan Indonesia.

Di atas telah disampaikan bahwa dalam transaksi reimbursment dokumen invoice


tagihan oleh Pihak Ketiga dibuat langsung atas nama Penerima Jasa. Menurut
kelaziman akuntansi di Indonesia, dokumen/invoice tagihan yang akan diakui
sebagai pendapatan Pemberi Jasa adalah dokumen tagihan/invoice yang dibuat
atas nama Pemberi Jasa yang bersangkutan. Dengan demikian, atas pembayaran
(Reimbursment) yang diterima dari Penerima Jasa atas tagihan invoice dimaksud
tidak akan diakui sebagai penghasilan/pendapatan oleh Pemberi Jasa. Demikian
pula pembayaran oleh Pemberi Jasa kepada Pihak Ketiga tidak boleh diakui /
dicatat sebagai biaya (pengurang penghasilan bruto).

Pengakuan Pendapatan dan Biaya ini juga telah selaras dengan penghitungan
peredaran usaha (Dasar Pengenaan Pajak) menurut ketentuan PPN. Seperti telah
diuraikan di atas, dalam ketentuan PPN diatur bahwa reimbursment dikurangkan
dari Dasar Pengenaan Pajak PPN, sehingga penerimaan pembayaran reimbursment
dari Penerima Jasa juga seharusnya tidak dicatat/diakui sebagai pendapatan.
Dengan demikian, peredaran usaha menurut PPN akan sama (equal) dengan
peredaran usaha menurut PPh.
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Jasa Freight


Forwarding bukanlah merupakan objek pajak PPh 23, hal ini tertera jelas dalam
PER-70/PJ/2007 (isinya merupakan jasa-jasa yang dikenakan PPh 23/positif list),
dimana jasa Freight Forwarding tidak termasuk di dalam positif list tersebut.
Kemudian dipertegas dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
244/PMK.03/2008, jasa freight forwarding bukan merupakan objek pemotongan
PPh Pasal 23. Bahkan sebelumnya, dengan Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor:
S-785/PJ.032/2007 ditegaskan pula bahwa freight forwarding bukanlah jasa
perantara.

Tetapi jika jasa freight forwarding di-break down menjadi aktivitas-aktivitas yang
di dalamnya terdapat aktivitas/kegiatan yang merupakan objek pajak, maka jasa-
jasa tersebut yang akan menjadi objek PPh 23, misalnya: jasa pengepakan atau
jasa fumigasi.

Grey area pengenaan PPh 23 di dalam aktivitas-aktivitas yang membentuk jasa


freight forwarding tidak dapat dihindarkan, hal ini terjadi juga di beberapa jasa
lainnya, misalnya: jasa pengangkutan dianggap sebagai jasa charter atau tidak.
Tetapi diharapkan kita mengetahui arti inti dari kegiatan/jasa tersebut sehingga
kita dapat menilai pajak penghasilan yang mengatur atau mendekati mengatur atas
aktivitas tersebut.

Reimbursable banyak dilakukan di perusahaan freight forwarding, dan peraturan


mengenai hal ini masih belum diatur secara jelas/khusus di dalam peraturan
perpajakan, tetapi transaksi reimbursable ini harus mengikuti ketentuan sebagai
berikut:
1. Tagihan dari pihak ke 3 yang diteruskan kepada pihak penerima
jasa, tidak boleh di-mark up nilainya
2. Tagihan dari pihak ke 3 yang diteruskan kepada pihak penerima jasa, harus
ditujukan/atas nama pihak penerima jasa
3. Tagihan/transaksi reimbursable ini tidak dapat menjadi bagian dari
pendapatan usaha ataupun beban usaha dari perusahaan tersebut.

Sejauh ini semua peraturan perpajakan untuk jasa freight forwarding di industri
Freight Forwarding/Jasa Pengurusan Transportasi/EMKL/Ekspedisi, masih perlu
diperjelas, karena salah satu cara untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan
adalah adanya peraturan perpajakan yang jelas, sehingga semua wajib pajak yang
bergerak dalam bidang industri freight forwarding menjadi lebih jelas dalam
mengikuti/mematuhi peraturan yang ada, dan petugas pajak akan menjadi lebih
jelas dalam menegakkan peraturan yang ada.

Sekarang ini ada kecenderungan pada petugas pajak dalam menegakkan peraturan
yang ada dengan cara tebang-pilih, hal ini menjadi image yang sangat jelek bagi
petugas pajak itu sendiri, bahkan investor-investor asing yang ingin membuka
usahanya di industri freight forwarding pun akan mengurungkan niatnya jika
semua peraturan yang ada masih grey area dan penegakkannya pun bersifat
subjektif/tebang pilih. Hal inilah yang harus dihindari dan harus dilihat oleh
pemerintah jika ingin meningkatkan pertumbuhan industri.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perpajakan Dirjen Pajak

KUHD Bagian II tentang Ekspedisi

Ramitha, Vina, Peluang Bisnis Ekspedisi, www.inilah.com, Jakarta, Juli 2008.

Basuki, Orin, Kompas “Ekonomi Tumbuh 7-8% Bukan Mimpi, Jakarta, Agustus 2010.

Majalah Swa ”Mereka Yang Unggul Di Bisnis Logistik”, Jakarta, Oktober 2008.

You might also like