You are on page 1of 11

Penyusun:

Oleh Dokter Muda Nurul Mahirah Binti Meor Halil

030.04.267

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti


Jakarta 2011

1
Antidepresan untuk Profilaksis Migrain

Christian Lampl dan Christine Schweiger

Afiliasi: Departemen Kedokteran Neurologi dan Nyeri, Konvent hospital Barmherzige Bru¨der Linz, Linz,

Austria

Abstrak

Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk memberikan analisis kritis yang komprehensif dari
beberapa laporan penelitian uji coba terkontrol secara acak terkait penggunaan antidepresan
untuk mengurangi nyeri kepala di kalangan orang dewasa dengan migrain, serta untuk
menentukan apakah adanya variasi hasil pengobatan sesuai dengan karakteristik lain pasien
yang penting, seperti depresi. Mekanisme dimana amitriptyline dan antidepresan lain
menghasilkan efek analgesik masih belum diketahui, namun blokade serotonin dan
norepinefrin-serapan kembali telah diduga memainkan peran penting. Mengenai
amitriptyline, ada beberapa bukti bahwa antidepresan trisiklik ini mungkin bermanfaat dalam
profilaksis migrain di beberapa pasien. Untuk inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI) dan
inhibitor serotonin reuptake norepinefrin (SNRIs), efek menguntungkan setara dengan yang
terlihat pada kelompok plasebo dalam waktu 2 bulan terapi. Sebagai kesimpulan, ada bukti
yang terbatas untuk menyatakan keunggulan klinis amitriptyline dan SSRI berbanding
pengobatan lain dengan ß-blocker, antikonvulsan, atau penghambat saluran kalsium dalam
mencegah migrain. Antidepresan pada migrain harus dipertimbangkan jika obat lini pertama
atau kedua tidak mengurangi jumlah serangan bulanan atau jika terjadi depresi secara
bersamaan. Oleh karena itu, antidepresan merupakan agen profilaksis yang kedua atau
(bahkan) ketiga pada pasien dengan migrain saja.

Kata kunci: Migrain, antidepresan, pengobatan profilaksis, SSRI, SNRIs

Korespondensi: Christian Lampl, Departemen Kedokteran Neurologi dan Nyeri, Konventhospital Barmherzige
Bru¨der Linz, Linz, Austria Tel: (43)-732-780-625320; Fax: (43)-732-780-625398;

e-mail: christian.lampl@bblinz.at

2
PENDAHULUAN

Migrain merupakan salah satu masalah neurologis yang sering diteliti di pusat
kesehatan primer. Migren yang rekuren dapat merugikan, dan akibat dari absensi kerja serta
penurunan kinerja yang berhubungan dengan migrain melebihi biaya intervensi medis secara
langsung.

Di negara-negara barat, penelitian prevalensi migrain berbasis masyarakat yang


menggunakan kriteria diagnostik standar estimasi prevalensi 1 tahun, sekitar 10-12% [1, 2],
dengan tingkat tertinggi dilaporkan dalam rentang usia 25-55 tahun; wanita sebagai mayoritas
pasien dengan migrain [3].

Tanpa mengabaikan manajemen yang tepat untuk migrain akut, terapi pencegahan
dapat mengurangi frekuensi migrain sebesar 50% atau lebih, dan pasien harus dievaluasi
untuk memulai terapi pencegahan. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan untuk
mendapat terapi pencegahan dengan segera termasuk penurunan kualitas hidup yang berat,
beban pekerjaan, kehadiran di sekolah, frekuensi serangan per bulan, pengobatan migren akut
yang tidak responsif, atau disertai aura yang berlangsung lama, berulang dan tidak nyaman
[4]. Agen lini pertama untuk profilaksis migren termasuk betablocker non-selektif
propranolol [5, 6] dan betablocker beta-1-selektif metoprolol [7]. Bisoprolol berkemungkinan
efektif, tetapi hanya diteliti dalam dua studi [8, 9]. Dari kelompok antagonis kalsium, hanya
flunarizine telah dipastikan efektif [10-12]. Dosis 5 mg berkemungkinan sama efektif dengan
10 mg [13]. Dalam beberapa penelitian prospektif, antikonvulsif asam valproik telah terbukti
efektif [14-16]. Topiramate memiliki sifat profilaksis migrain yang dikonfirmasi dalam tiga
studi plasebo-terkontrol yang besar [17-19]. Kecuali untuk bisoprolol, semua obat yang
disebutkan di atas direkomendasikan (obat pilihan pertama) untuk pengobatan profilaksis
migrain [4].

ANTIDEPRESAN-PENDEKATAN KRITIS

Sebagaimana mekanisme yang mendasari migrain masih tidak sepenuhnya dipahami,


berbagai jenis obat telah digunakan untuk profilaksis migrain sejauh ini. Penelitian baru
tentang patofisiologi migrain telah membawa konsep baru untuk pencegahan migrain.
Mekanisme untuk meringankan nyeri migrain dianggap karena adanya penghambatan
serapan kembali serotonin dan norepinefrin dalam kornu dorsal, namun, mekanisme lain yang
mungkin termasuk blokade alfa-adrenergik, efek saluran natrium, dan antagonis reseptor

3
asam N-metil-D-aspartat (NMDA). Oleh karena itu, obat yang terlibat harus berada
terutama pada dua sasaran: inhibisi pada eksitasi kortikal serta restorasi pada dismodulasi
nosiseptif. Antiepileptik, penghambat saluran kalsium seperti verapamil, dan inhibitor depresi
penyebaran kortikal adalah beberapa contoh obat yang mengurangi hipereksitabilitas saraf.
Di sisi lain, modulator sistem serotonergik dan adrenergik serta obat perangsang kolinergik
dapat mengembalikan efek penghambat nosiseptif yang menurun dan berperan dalam
pencegahan migrain.

Namun demikian, pemberian semua obat lain, kecuali ß-blockers dan antikonvulsan,
lebih didasarkan pada data empiris daripada konsep patofisiologi yang terbukti. Oleh karena
saat ini migrain dianggap sebagai gangguan neurovaskular dengan komponen utama sistem
saraf pusat (SSP), upaya kini fokus pada percobaan untuk mencegah serangan migrain
dengan memodulasi sistem neurotransmiter daripada mengubah tonus vaskuler intrakranial
[20].

Lance dan Curran [21], pada tahun 1964, sebagai bagian dari penelitian eksplorasi,
pertama menunjukkan amitriptyline yang memiliki efek profilaksis pada sakit kepala tipe
tegang pada kelompok 27 pasien dengan sakit kepala. Selama dekade terakhir, penelitian
selanjutnya menunjukkan terdapat beberapa golongan obat antidepresan yang efektif dalam
mencegah sakit kepala kronis. Sebagai akibatnya, terapi tersebut telah diterima untuk
perawatan pasien [22, 23], meskipun tidak disetujui untuk indikasi tersebut di AS atau Eropa.

Namun demikian, hasil studi obat antidepresan untuk profilaksis pengobatan sakit
kepala harus disikapi dengan hati-hati. Dalam meta-analisis yang dipublikasikan 38 studi,
para penulis menyimpulkan bahwa penggunaan antidepresan dalam sakit kepala kronis
harus didukung [24]. Berkenaan dengan migrain, hanya enam
penelitian menggunakan kriteria International Headache Society (IHS) tahun1988
[25], sedangkan rekomendasi Klasifikasi Headaches dari Komite Ad Hoc 1962 [26]
digunakan dalam 11 studi. 23 studi lain menggunakan berbagai definisi, dan tidak ada dua
studi memberikan hasil masing-masing dengan cara yang sama. Dalam meta-analisis di atas,
adalah tidak mungkin untuk membedakan apakah efek obat obat antidepresan
pada migrain adalah independen dari pengaruhnya terhadap depresi. Hal ini jelas karena
pasien yang depresi mengalami perbaikan dalam keluhan somatik karena depresi yang
mendasari berhasil diobati dan, apalagi, pasien dengan depresi memiliki sakit kepala yang
lebih berat. Dalam penelitian longitudinal, bukti lebih jauh mendukung hubungan dua arah

4
antara migrain dan depresi, dengan masing-masing gangguan meningkatkan risiko [27]
lainnya. Ini jelas mendukung bahwa obat antidepresan mungkin memiliki manfaat bagi
pasien sakit kepala kronis.

Pertanyaan utama yang harus diajukan adalah apakah keberhasilan antidepresan


bervariasi sesuai dengan diagnosis sakit kepala tertentu atau potensinya tergantung
karakteristik pasien, seperti depresi; apakah antidepresan sama efektif untuk
pasien non-depresi, dan apakah mencapai efek analgesik langsung selain untuk mengobati
depresi secara bersamaan.

Secara umum, harus dinyatakan bahwa analisis pencegahan terapi migrain dengan
antidepresan mempunyai beberapa isu-isu metodologi yang perlu difokuskan pada: definisi
dan kriteria diagnostik migrain (percobaan sebelum dan sesudah 1988); kualitas uji coba;
definisi parameter hasil primer (migrain skor tertentu vs pengurangan frekuensi migrain);
populasi pasien inklusi (pasien US vs Eropa perbandingan antara populasi penelitian); serta
informasi terhadap kualitas hidup dan komorbiditas (misalnya, depresi dan ansietas).

Paling utama, kriteria diagnostik migrain harus sesuai dengan IHS [28]. Perihal
kualitas dari percobaan, Clinical Trials Subcommittee dari IHS mempublikasikan
pedoman percobaan terkontrol untuk obat migrain edisi pertamanya pada tahun 1991. Dengan
adanya tren percobaan multinasional besar-besaran saat ini, ada kebutuhan untuk
meningkatkan kesadaran para peneliti tentang isu-isu metodologis dalam uji klinis obat untuk
migrain. Oleh karena itu, pedoman baru dikembangkan untuk meningkatkan kualitas
uji klinis terkendali pada migrain, karena hanya percobaan berkualitas yang dapat
membentuk dasar bagi kerjasama internasional terapi obat [29].

Kedua, sakit kepala dengan intensitas sedang atau berat, migrain harian, atau
frekuensi episode migrain harus menjadi ukuran keberhasilan utama. Evaluasi keberhasilan
harus didasarkan pada buku harian sakit kepala, yang mengandung kunci penilaian untuk
masing-masing studi.

Untuk mengevaluasi dampak sakit kepala dan terapinya pada penderita individu, hasil
penelitian muncul sebagai alat penting. Yang tidak kalah penting adalah dampak dari
pengukuran klinis pada persepsi pasien terhadap kualitas kehidupan termasuk komorbiditas,
prestasi kerja, dan ekonomi. Kualitas kesehatan yang berhubungan dengan kehidupan
(HRQOL) mewakili efek bersih pengaruh penyakit dan terapi dengan persepsi pasien

5
terhadap kemampuannya untuk hidup yang penuh bermakna [30]. HRQOL dapat diukur
dengan berbagai kuesioner generik dan spesifik seperti angket Migraine Disability
Assessment (MIDAS), yang telah digunakan dalam satu ujicoba[31] dan terbukti bermanfaat.

AMITRIPTYLINE

Manfaat dari penggunaan amitriptyline pada migrain dilaporkan pada akhir tahun
1960 oleh Friedman [32] dan [33] Mahloudji. Salah satu penelitian klinis awal yang
dilakukan oleh Gomersall dan Stuart pada tahun 1973 [34] menunjukkan keampuhan
amitriptyline sebagai pengobatan profilaksis untuk migrain pada orang 26 pasien. Jumlah
serangan berkurang lebih dari 50% pada sekitar setengah dari subyek, dan lebih dari 70%
pada seperempat dari mereka. Jumlah serangan berkurang sebesar 42%, yang signifikan
secara statistik (P, 0,001).

Pada tahun 1979, Couch dan Hassanein [35] menunjukkan bahwa amitriptyline 75 mg
menurunkan skor migrain tertentu (mencerminkan frekuensi, keparahan, dan durasi serangan)
lebih dari 50% dalam 55% pasien yang diobati amitriptyline, dibandingkan dengan 34%
pasien yang diobati dengan plasebo. Keuntungan terapi dalam studi tersebut adalah 21%.
Namun, data frekuensi migrain tidak disajikan, dan pasien dengan komorbiditas depresi tidak
dieklusikan.

Sepuluh tahun kemudian, Ziegler et al [36] mempresentasikan hasil


uji coba terkontrol dengan placebo untuk membandingkan amitriptyline dan propranolol.
Mereka menyimpulkan bahwa amitriptyline, serta propranolol, efektif dalam mengurangi
skor sakit kepala yang spesifik serta hasil positif dari amitriptyline tidak terkait dengan
depresi. Semua uji coba awal menggunakan kriteria longgar untuk mendefinisikan
migrain, mereka tidak mengeksklusikan pasien dengan komorbiditas kecemasan
dan depresi dan mempunyai keterbatasan evaluasi klinis secara global, dan tidak dipilih
catatan harian sakit kepala untuk menilai hasil.

Rafieian-Kopaei et al [37] melaporkan penurunan yang signifikan dalam


frekuensi migrain, durasi, dan intensitas bila menggunakan amitriptyline. Bagaimanapun,
amitriptyline menurunkan frekuensi serangan migren selama pengobatan; setelah
penghentian, efek rebound lebih tinggi daripada di kelompok kontrol.

Dua penelitian diterbitkan baru-baru ini membandingkan antara amitriptyline dengan


topiramate. Studi pertama meneliti kemanjuran profilaksis gabungan antara amitriptyline dan

6
topiramate pada pasien dengan episode migrain 3-12 kali, dibandingkan dengan monoterapi
dengan masing-masing obat [38]. Kedua pengobatan menunjukkan hasil perbaikan yang
signifikan tetapi, sekali lagi, pasien dengan depresi ringan hingga sedang tidak dieksklusikan.

Studi kedua dilakukan oleh Dodick dan rekan [39]. Dalam studi multicenter, jangka
panjang, acak, doubleblind, double-dummy, kelompok paralel, non-inferiority ini,
hasil efikasi primer adalah perubahan dalam jumlah rata-rata dari baseline episode migrain
bulanan. Populasi yang ingin diobati termasuk 331 subyek, dan perubahan dari jumlah
rata-rata baseline dalam episode migren bulanan tidak berbeda secara signifikan antara
kelompok topiramate dan amitriptyline. Para penulis menyimpulkan bahwa topiramate
setidaknya sama efektif dengan amitriptyline dalam hal mengurangi tingkat rata-rata episode
migrain bulanan dan efek sekunder lain seperti yang telah diharapkan sebelumnya.
Topiramate dikaitkan dengan perbaikan dalam beberapa indikator kualitas hidup
dibandingkan dengan amitriptyline dan juga dikaitkan dengan penurunan berat badan dan
kepuasan terhadap status berat badan.

Kami melakukan uji coba untuk menguji manfaat profilaksis dua dosis amitriptyline
extended release (ER) selama periode 6 bulan dengan pengamatan tanpa plasebo dalam
kehidupan nyata [40]. Hipotesis penelitian adalah amitriptyline efektif dalam mencegah
serangan migrain dan bahwa amitriptyline 50 mg ER lebih efektif dari amitriptyline 25 mg
ER. Selain itu, kami tertarik untuk menentukan adanya kemungkin faktor prediktif yang
berpengaruh terhadap respons terapeutik. Perubahan jumlah rata-rata hari migrain dari awal
sampai akhir periode pengobatan dalam jangka waktu 6 bulan dianggap sebagai pengukuran
keberhasilan yang utama. Penurunan signifikan secara statistik pada hari migrain rata-rata
ditemukan antara bulan awal, 3 dan 6. Akan tetapi, tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam keberhasilan pengobatan yang diamati antara pengobatan dengan amitriptyline 25 mg
lepas lambat / hari dibandingkan dengan amitriptyline 50 mg lepas lambat / hari pada setiap
periode waktu. Berbeda dengan penelitian serupa lainnya, yang menggunakan jumlah hari
serangan sakit kepala sebagai hasil efikasi primer, seperti “jumlah serangan dalam 4
minggu”, karena dianggap jumlah hari sakit kepala sebagai parameter lebih kuat dan
konservatif. Ketika melihat hasil pengukuran sekunder, hari migrain dapat dikurangi sebesar
> 30% pada 39% pasien di akhir penelitian. Ketika melihat hasil pengukuran sekunder, jumlah
hari serangan migrain dapat dikurangi sebesar > 30% pada 39% pasien di akhir penelitian. Akan
tetapi, hanya 14% dari pasien studi mengalami pengurangan > 50% dalam hari serangan
migrain, sedangkan tidak ada pasien yang mendapat keuntungan lebih dari 70%. Studi ini

7
menunjukkan bahwa amitriptyline mungkin tidak efektif dalam dosis hingga 50 mg, Efek
profilaksis terlihat pada studi tidak melampaui respon placebo yang mencapai pengurangan
lebih 20-30%.

Dapat disimpulkan, ada beberapa bukti bahwa amitriptyline mungkin bermanfaat


dalam profilaksis migren pada beberapa pasien. Laporan sebelumnya, secara eksklusif dari
Amerika Serikat, telah menunjukkan bahwa pasien migrain dapat berespon terhadap
amitriptyline yang digunakan sebagai terapi profilaksis. Sebagian besar dari studi ini kurang
berkualitas secara ilmiah. Sebagian besar penelitian yang dibahas dalam tulisan ini
mempunyai ukuran sampel yang terbatas (median 50 pasien acak, dengan tingkat rata-rata
drop-out sebesar 20%), yang meninggalkan temuan kurang jelas untuk banyak hasil ukuran.
Lama tindak-lanjut sering terlalu singkat (lama rata-rata, 12 minggu; direkomendasikan,
24 minggu), dan pengukuran hasil klinis (skala atau indeks) sering tidak rasional dan tidak
dinyatakan sebelumnya. Ketepatan analisis statistik adalah bagian yang sering menjadi
perhatian, khususnya dalam perbandingan beberapa terapi, pengulangan pengukuran
dari waktu ke waktu, dan analisis subkelompok.

Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan antara migrain dan depresi telah
digambarkan dalam kedua populasi klinik dan komunitas. Banyak peneliti mengatakan
bahwa migren kronis dapat menimbulkan depresi reaktif yang menjadi lebih jelas jika rasa
sakit tersebut semakin kronis. Untuk menjelaskan perkembangan dari migrain sampai
depresi, hipotesis bahwa serangan rasa sakit parah yang tak terduga mungkin menyebabkan
kegelisahan dan depresi. Dalam studi longitudinal, terdapat bukti yang mendukung hubungan
dua arah antara migrain dan depresi, dengan masing-masing gangguan meningkatan risiko
yang satunya [27, 41]. Dalam kasus seperti ini, amitriptyline dapat memberikan manfaat yang
lebih berbanding obat lain. Namun demikian, pendekatan ini tidak berhasil pada semua
pasien migrain, dan cara penentuan untuk mengidentifikasi pasien yang berespon terhadap
amitriptyline sebaiknya menjadi tujuan penelitian prioritas tinggi.

Dalam beberapa kasus, manfaat yang diperoleh harus melebihi risiko. Efek samping
yang paling penting adalah mengantuk dan gejala antikolinergik seperti mulut kering,
sembelit, dan takikardi. Peningkatan berat badan terjadi pada sebagian besar pasien bersama
dengan peningkatan kadar leptin, insulin, dan C peptida [42], dan dapat menjadi faktor
penghambat yang menyebabkan gangguan kepatuhan dan pengunduran diri. Terkadang,
amitriptyline dapat menimbulkan glaukoma, perpanjangan PQ dan QT interval pada

8
elektrokardiogram (EKG), serta hipertrofi prostat jinak, yang harus dieksklusikan sebelum
terapi. Amitriptyline dimetabolisme oleh isoenzim sitokrom P450 (CYP), khususnya
CYP2D6, yang bertanggung jawab untuk beberapa interaksi (misalnya, antiaritmia kelas Ia
dan IIIa, warfarin, opiat, propranolol, diuretik, insulin). Oleh karena itu, penggunaannya turut
dibatasi oleh usia.

INHIBITOR SERAPAN KEMBALI SEROTONIN SELEKTIF (SSRIS)

SSRI saat ini digunakan pada migrain terdiri dari citalopram, escitalopram, fluoxetine,
fluvoxamine, paroxetine, dan sertraline. Bila dibandingkan dengan plasebo, SSRI tidak
menunjukkan kelebihan pada pasien dengan migrain. Bila dibandingkan dengan pengobatan
aktif lainnya, khususnya antidepresan trisiklik, SSRI tidak lebih unggul dalam migrain[43].
Ada beberapa bukti bahwa SSRI lebih baik ditoleransi daripada pengobatan aktif lain
sehubungan dengan efek samping yang kecil. Tolerabilitas ini tidak berdampak pada jumlah
pasien yang menarik diri sebagai akibat dari efek samping [44]. Pasien yang memakai
antidepresan trisiklik untuk sakit kepala berkemungkinan untuk melanjutkan
mengambil trisiklik sama seperti pasien yang diobati dengan SSRI akan terus
melanjutkan mengambil SSRI. Masalah pengobatan jangka panjang (0,3 bulan) dengan
memperhatikan keberhasilan dan tolerabilitas masih harus dibahas, dalam kondisi kehidupan
nyata.

Fluoxetine hampir pasti merupakan SSRI paling ekstensif dipelajari pada


pencegahan migrain. Gangguan visual pada pasien migrain di hihilangkan dengan fluoxetine
20 mg / hari, di samping itu, frekuensi serangan migrain berkurang secara signifikan [45].
Dalam sebuah penelitian prospektif oleh Krymchantowski et al [46] pada pasien dengan
transformed migraine, amitriptyline 40 mg ditemukan sama-sama efektif seperti kombinasi
amitriptyline dan fluoxetine. Tidak ada efek yang signifikan bagi fluoxetine 20-40 mg sehari
dibandingkan dengan plasebo setelah dikonsumsi 3 bulan pada skala sakit kepala yang dinilai
sendiri, atau jumlah hari sakit kepala berat per minggu[47]..

Sebagai kesimpulan, saat ini data tentang penggunaan SSRI pada pencegahan migrain
mendukung penggunaan fluoxetine. Namun demikian, harus dipertimbangkan bahwa
sebagian dari studi-studi ini tidak konsisten dan memiliki kekurangan dalam jumlah pasien.
Tinjauan Cochrane [44] mengungkapkan bahwa efek menguntungkan dari SSRI adalah
setara dengan yang terlihat pada kelompok plasebo dalam waktu 2 bulan terapi.

9
INHIBITOR SERAPAN KEMBALI SEROTONIN NORADRENALIN (SNRIS)

Duloxetine dan venlafaxine telah dikatakan sebagai obat yang sangat berguna dalam
migrain dan depresi. Dalam migrain, analisis retrospektif terhadap 65 pasien migrain yang
menerima 30-60 mg sehari selama minimal 2 bulan memberikan hasil pengurangan serangan
yang signifikan per bulan. Yang menarik adalah dalam analisis subkelompok, pasien
dengan komorbiditas depresi tidak mendapat manfaat signifikan, sedangkan mereka yang
memiliki komorbiditas gangguan kecemasan mendapat manfaat yang lebih besar daripada
semua 65 pasien migrain secara bersamaan[49].

Bagi venlafaxine, empat studi diterbitkan, tetapi hasil positif yang dilaporkan dibatasi
oleh prosedur open-label [50], desain retrospektif, fakta bahwa profilaksis migrain secara
bersaan diperblehkan, atau bahwa mayoritas pasien menderita sakit kepala tension tipe tegang
[51]. Dalam uji coba crossover, acak, double-blind, pasien migrain dengan dan tanpa aura
menerima baik amitriptyline atau venlafaxine ER. Jumlah serangan per bulan serta durasi dan
intensitas serangan berkurang secara signifikan dengan kedua obat [52]. Namun demikian,
jumlah pasien yang kecil di setiap kelompok membatasi dampak dari hasil ini.

KESIMPULAN

Dalam uji coba plasebo terkontrol yang terdahulu, hasil positif dapat
ditampilkan untuk amitriptyline dalam pengobatan profilaksis migrain. Hasil penelitian yang
membandingkan amitriptyline dengan propranolol menyatakan propranolol lebih efektif pada
pasien dengan migrain tunggal, sedangkan amitriptyline adalah lebih menguntungkan untuk
pasien dengan migrain campuran dan sakit kepala tipe tegang. Dibandingkan dengan
topiramate, amitriptyline sama efektifnya dalam hal mengurangi angka kejadian rata-rata
episode migrain bulanan. Namun demikian, topiramate dikaitkan dengan peningkatan pada
beberapa indikator kualitas hidup dibandingkan dengan amitriptyline serta dikaitkan dengan
efek samping yang lebih sedikit.

SSRI tidak menunjukkan keunggulan pada pasien dengan migrain, bila dibandingkan
dengan plasebo. Bila dibandingkan dengan pengobatan aktif lainnya, khususnya antidepresan
trisiklik, SSRI tidak lebih unggul dalam profilaksis migrain. Selain itu, ada bukti yang
terbatas untuk menyatakan keunggulan klinis amitriptyline dan SSRI berbanding pengobatan
lain dengan ß-blocker, antikonvulsan, atau penghambat saluran kalsium dalam mencegah
migrain.

10
Oleh karena itu, antidepresan pada migrain harus didiskusikan dengan pasien jika obat
lain (beta-blocker, flunarizine, valproat, dan topiramate) tidak mengurangi jumlah serangan
bulanan, terbatas karena beberapa memiliki efek samping, atau jika pada waktu bersamaan
menderita depresi (atau penyakit kejiwaan lainnya). Antidepresan dapat dipertimbangkan
sebagai agen profilaksis yang kedua (amitriptyline) atau ketiga (SSRIs, SNRIs) pada pasien
dengan migrain saja. Kewaspadaan penulis dalam merekomendasi penggunaan antidepresan
mencerminkan masih kurangnya data tentang obat-obat yang disebutkan. Penelitian di masa
akan datang harus menerapkan standar yang lebih tinggi dalam hal desain dan
pelaporan dengan menggunakan kriteria diagnostik International Headache Society
untuk mengklasifikasikan nyeri pasien dalam bentuk kronis baik migrain dan / atau sakit
kepala tipe tegang. Menurut Task Force of the International Headache Society Clinical
Trials Subcommittee, sakit kepala dengan intensitas sedang atau berat, migrain harian, atau
frekuensi episode migrain harus menjadi ukuran keberhasilan utama [29]. Heterogenitas lain
adalah fakta bahwa beberapa penelitian yang didiskusikan meneliti efektifitas pencegahan
migrain hanya pada pasien tanpa depresi secara bersamaan, sedangkan pada penelitian lain
sebaliknya. Saat ini, beberapa panduan mengadopsi pendekatan yang ketat yang hanya
merekomendasikan antidepresan untuk profilaksis migrain [3], sedangkan panduan lain,
seperti Akademi Neurologi AS, merekomendasikan obat-obatan lain, meskipun telah
menekankan kurangnya bukti berkualitas yang mendukung obat tersebut [53].

11

You might also like