You are on page 1of 11

Oleh Dokter Muda Nurul Mahirah Binti Meor Halil

030.04.267
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta 2011
BAB I
ISI

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat
pada semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita.
Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan
usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut.
Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5%-2%. Di Indonesia penelitian epidemiologi
tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun bila dipakai angka prevalensi yang
dikemukakan seperti dalam rujukan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk
Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta penderita
penyandang epilepsi. Sedangkan dari semua wanita hamil didapatkan antara 0,3%-
0,5% penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi.
A. Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang
muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas
muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal
dengan berbagai macam etiologi. Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang
dikenal dengan nama epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan
berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok
sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut
(“unprovoked”).
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan
sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung
untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi
dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif),
gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan perubahan
tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus epileptogenesis
atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenallah bermacam-macam
jenis epilepsi.
B. Etiologi
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak.
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai
epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi
simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai
simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan
Lennox Gastaut syndrome.
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4%
anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan
anaknya epilepsi menjadi 20%-30%. Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi
serangan epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid)
meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron,
ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya
serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya
mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam
masa haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat
mempengaruhi frekwensi serangan epilepsi.
C. Klasifikasi
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada tahun
1981 dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981
menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):
1. Serangan parsial
a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
- Dengan gejala motorik
- Dengan gejala sensorik
- Dengan gejala otonom
- Dengan gejala psikis
b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
- Gangguan kesadaran saat awal serangan
c. Serangan umum sederhana
- Parsial sederhana menjadi tonik-klonik
- Parsial kompleks menjadi tonik-klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik
2. Serangan umum
a. Absans (Lena)
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Atonik (Astatik)
f. Tonik-klonik
3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang lengkap).
Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para klinisi
karena hanya ada dua kategori utama, yaitu
- Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang
terlokalisir di otak.
- Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas
pada kedua belahan otak.
Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989 adalah :
1. Berkaitan dengan letak fokus
a. Idiopatik
- Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsy with centro temporal spike)
- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
b. Simptomatik
- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus parietalis
- Lobus oksipitalis
2. Umum
a. Idiopatik
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonatus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi Absans pada anak
- Epilepsi Absans pada remaja
- Epilepsi mioklonik pada remaja
- Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga
- Epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak
b. Simptomatik
- Sindroma West (spasmus infantil)
- Sindroma Lennox Gastaut
3. Berkaitan dengan lokasi dan epilepsi umum (campuran 1 dan 2)
- Serangan neonatal
4. Epilepsi yang berkaitan dengan situasi
- Kejang demam
- Berkaitan dengan alkohol
- Berkaitan dengan obat-obatan
- Eklampsia
- Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (refleks epilepsi)
Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinya
serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter,
sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun
alloanamnesis yang baik dan akurat sulit didapatkan, karena gejala yang diceritakan
oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas, sedangkan
penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali bahwa ia baru saja mendapat serangan
epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis
penderita epilepsi adalah rekaman elektroensefalografi (EEG).
D. Patofisiologi
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan
bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan
normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila
mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan
breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara
abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah:
- Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter
- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s inhibitory
neurotransmitter.
Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan
asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin,
dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan
epilepsi belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut. Epileptic seizure apapun
jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak yang tidak mengikuti
pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron
yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi
yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi
inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis
serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu :
- Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang
optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,
disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata
memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus
oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post
sinaptik.
- Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat
normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini
ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita
epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.
- Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk
mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga
kejadian yang saling terkait :
- Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsik dari sel untuk
menimbulkan bangkitan.
- Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.
- Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan
listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus
pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan
mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat
menimbulkan serangan kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak,
stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu
fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan
menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia,
hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain. Serangan epilepsi
dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus epileptogenesis, mula-mula
ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak
dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan serentak dalam waktu sesaat
menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses
inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang secara intermiten
menghambat discharge epileptiknya.
Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi
spike and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap
berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan
glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa
terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion. Pada keadaan tertentu (hipoglikemia
otak, hipoksia otak, asidosis metabolik) depolarisasi impuls dapat berlanjut terus
sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status
epileptikus.
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Kejang kaku bersama kejutan-kejutan ritmis dari anggota badan dan
hilangnya kesadaran untuk sementara. Penderita kadang-kadang menggigit
lidahnya sendiri dan juga dapat terjadi inkontinensia urin atau feses.
2. Serangan yang singkat seperti pada petit mal, biasanya antara beberapa
detik sampai setengah menit dengan penurunan kesadaran ringan tanpa kejang-
kejang. Gejalanya berupa keadaan termangu-mangu (pikiran kosong, kehilangan
respon sesaat), muka pucat, pembicaraan terpotong-potong atau mendadak
berhenti mendadak.
3. Pada serangan parsial, kesadaran dapat menurun hanya untuk sebagian
tanpa diikuti hilangnya ingatan. Penderita memperlihatkan kelakuan tidak
sengaja tertentu seperti gerakan menelan atau berjalan dalam lingkaran.
F. DIAGNOSIS
Cara terbaik untuk menilai epilepsi adalah dengan memantau gelombang otak
dan detak jantung saat terjadi serangan, pemeriksaan fisik, riwayat pengobatan,
gejala-gejala, penyakit, riwayatt trauma, riwayat keluarga yang mengidap epilepsi
serta faktor-faktor lain yang berkaitan.
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk menilai keadaan keseluruhan
kesehatan seseorang individu dan mengesankan keadaan-keadaan lain yang mungkin
bertanggungjawab atas kejadian epilepsi yang berulang. Elektroensefalogram (EEG)
digunakan untuk merekam aktivitas elektrik otak. EEG saat serangan epilepsi berlaku
untuk melihat corak aktivitas otak yang tidak normal. MRI lebih jelas menunjukkan
bagian yang rusak atau berparut di otak dengan jenis-jenis epilepsi yang tertentu.
Hasil MRI dapat membantu menentukan diperlukannya pembedahan atau tidak.
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan pada penderita epilepsi adalah :
• Menghindari kerusakan sel-sel otak
• Mengurangi beban sosial dan psikologi pasien maupun keluarganya.
• Profilaksis / pencegahan sehingga jumlah serangan berkurang
Pemberian obat anti epilepsi selalu dimulai dengan dosis rendah dinaikkan bertahap
sampai epilepsi terkendali. Pemutusan obat secara mendadak harus dihindari
terutama untuk golongan barbiturat dan benzodiazepin karena dapat memicu
kambuhnya serangan. Tindakan non medis yang dilakukan pada penderita epilepsi
saat ini adalah menghilangkan penyebab penyakit setelah dilakukan operasi otak serta
menjauhkan dari segala faktor penyebab (stress, alkohol dll.).
Obat saraf golongan antikonvulsan atau obat epilepsi terbagi dalam 8 golongan yaitu :
1. Golongan Hidantoin: Fenitoin, Mefenotoin, Etotoin.
Fenitoin/Phenytoin biasa dalam bentuk garamnya yaitu Phenytoin Na dengan
sediaan kapsul 50 mg dan 100 mg, serta ampul untuk suntik 100mg/2 ml.
2. Golongan Barbiturat: Fenobarbital, Primidon.
Fenobarbital atau Phenobarbital tersedia dalam bentuk garamnya untuk
sediaan suntik dengan kemasan ampul 200 mg / 2 ml. Juga ada yang
dikombinasi dengan golongan hidantoin (Diphenylhidantoin) tersedia dalam
bentuk tablet.
3. Golongan Oksazolidindion: Trimetadion.
4. Golongan Suksinimid: Etosuksimid, Karbamazepin, Ox Carbazepine
5. Golongan Benzodiazepin: Diazepam, Klonazepam, Nitrazepam,
Levetiracetam
6. Golongan Asam Valproat dan garamnya (Divalproex Na)
7. Golongan Phenyltriazine; Lamotrigine
Lamotrigine dapat menyebabakan ruam yang berakibat fatal sehingga
menimbulkan cacat atau kematian. Beritahu dokter anda kalau anda minum
juga obat golongan asam valproat, karena obat golongan ini dapat
meningkatkan efek samping Lamotrigine. Selain sebagai obat epilepsi juga
digunakan untuk memperpanjang periode serangan pada penderita depresi,
mania dan perasaan yang abnormal lainnya pada penderita bipolar.
8. Golongan Gabapentin dan turunannya (Pregabalin)
Pregabalin digunakan untuk mengontrol serangan epilepsi. Obat epilepsi ini
tidak menyembuhkan epilepsi dan hanya akan bekerja untuk mengontrol
serangan epilepsi sepanjang minum obat epilepsi ini. Obat ini juga digunakan
untuk nyeri syaraf yang disebabkan penyakit herpes (post herpetic neuralgia)
dan nyeri akibat kerusakan syaraf karena diabetes. Pregabalin baru tersedia
dalam bentuk kapsul 75 mg.
9. Lainnya: Fenasemid, Topiramate
Topiramate merupakan obat epilepsi baru dengan sediaan tablet 25 mg, 50 mg
dan 100 mg juga dalam bentuk kapsul sprinkle 15 mg, 25 mg dan 50 mg.
Diminum sebelum atau sesudah makan dengan air segelas penuh.
Obat Jenis epilepsi Efek samping yg mungkin terjadi
Jumlah sel darah putih & sel darah merah
Karbamazepin Generalisata, parsial
berkurang
Jumlah sel darah putih & sel darah merah
Etoksimid Petit mal
berkurang
Gabapentin Parsial Tenang
Lamotrigin Generalisata, parsial Ruam kulit
Fenobarbital Generalisata, parsial Tenang
Fenitoin Generalisata, parsial Pembengkakan gusi
Primidon Generalisata, parsial Tenang
Kejang infantil, petit
Valproat Penambahan berat badan, rambut rontok
mal
Tabel. Obat epilepsi dan efek sampingnya
Ada dua mekanisme obat epilepsi yang penting yaitu dengan mencegah
timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dan dengan mencegah
terjadinya letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus
epilepsi. Obat epilepsi digunakan terutama untuk mencegah dan mengobati bangkitan
epilepsi (epileptic seizure). Golongan obat ini lebih tepat dinamakan antiepilepsi
sebab obat ini jarang digunakan untuk gejala kejang/konvulsi penyakit lain. Pasien
perlu berobat secara teratur. Pasien atau keluarganya dianjurkan untuk membuat
catatan tentang datangnya waktu bangkitan epilepsi.
Pemeriksaan neurologik disertai EEG perlu dilakukan secara berkala. Di
samping itu perlu berbagai pemeriksaan lain untuk mendeteksi timbulnya efek
samping sedini mungkin yang dapat merugikan, antara lain pemeriksaan darah, kimia
darah, maupun kadar obat dalam darah. Fenitoin dan karbamazepin merupakan obat
pilihan utama untuk pengobatan epilepsi kecuali terhadap epilepsi petit mal.
Dibawah ini merupakan salah satu contoh daftar obat generik, indikasi, kontra
indikasi, dan efek samping :
1. Fenitoin
Indikasi Semua jenis epilepsi, kecuali petit mal, status
epileptikus
kontra indikasi Gangguan hati, hamil, menyusui
Efek samping Gangguan saluran cerna, pusing nyeri kepala
tremor, insomnia dll
sediaan Phenytoin (generik) kapsul 100 mg, 300 mg
2. Penobarbital
Indikasi Semua jenis epilepsi kecuali petit mal, status
epileptikus
Kontra indikasi Depresi pernafasan berat, porfiria
Efek samping Mengantuk, Letargi, depresi mental dll
Sediaan Phenobarbital (generik) tabl. 30 lmg, 50 mg
cairan inj. 100 mg/ml
3. Karbamazepin
Indikasi Epilepsi semua jenis kecuali petit mal
neuralgia trigeminus
Kontra indikasi Gangguan hati dan ginjal, riwayat depresi
sumsum tulang
Efek samping Mual, muntah, pusing, mengantuk, ataksia,
bingung.
Sediaan Karbamazepine (generik) tablet 200 mg
4. Klobazam
Indikasi Terapi tambahan pada epilepsi penggunaan
jangka pendek untuk ansietas
Kontra indikasi Depresi pernafasan
Efek samping Mengantuk, pandangan kabur, bingung,
amnesia ketergantungan kadang-kadang nyeri
kepala, vertigo hipotensi
Sediaan Clobazam (generik) tablet 10 mg
5. Diazepam
Indikasi Status epileptikus, konvulsi akibat keracunan
Kontra indikasi Depresi pernafasan
Efek samping Mengantuk, pandangan kabur, bingung,
ataksia, amnesia, ketergantungan, kadang
nyeri kepala, vertigo
Sediaan Diazepam (generik) tablet 2 mg. 5 mg

H. ILUSTRASI KASUS
Tn. B, 23 tahun datang ke instalasi gawat darurat RSUD Kanjuruhan dengan
keluhan kurang lebih 1 jam yang lalu pasien tiba-tiba kejang selama 20 menit, dan
seluruh badanya kaku. Setelah kejang pasien pingsan sejenak, kemudian saat dibawa
ke IGD pasien sadar dan sudah tidak kejang. Menurut keluarga kejang dialami
mendadak dan diduga karena pasien lupa meminum obat rutinnya.
I. PENULISAN RESEP
Rina Anggraini S.Ked
NIM 205.12.1.0019
Perum Tata surya jln.venus no 12 malang
Praktek setiap hari pagi jam 06.00-08.00

Malang, 21 november 2010

R/ Ditalin 100 mg tab No XXX


S 3dd tab I
Ra #
R/ vitamin B 1 50 mg tab No XX
S 2 dd tab I
Ra
Pro : Tn. B
Umur : 23 tahun
Alamat : Malang

DAFTAR PUSTAKA

Janz D. The teratogenic risk of antiepileptic drugs. Epilepsia, 1975; 16: 159-169
Obat epilepsi. 2010. http//www.medicastore.com. Diakses 21 november 2010
Yerby MS. Epilepsy. Epilepsia, 1991 ; 32: S51-9

You might also like