You are on page 1of 10

TAFSIR MANAR

A. Pendahuluan
Tafsir al-Manar merupakan salah satu kitab tafsir popular di kalangan para
peminat studi al-Quran. Majalah al-Manar, yang memulai tafsir ini secara berkala pada
awal abad ke-20 tersebar luas ke seluruh penjuru dunia Islam dam memiliki peranan yang
tidak kecil dalam pencerahan pemikiran serta penyuluhan agama.
Tokoh utama dalam penafsiran ini serta yang berjasa meletakan dasar-dasarnya
adalah Syaikh Muhammad Abduh, yang kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus
sahabatnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.
B. Biografi
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4
km dari Tripoli, Lebanon, pada tanggal 27 Jumadil ‘Ula 1282 H. dia adalah seorang
bangsawan arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putra
Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putra Rasullulah saw.
Gelar “Sayyid” pada permulaan namanya adalah gelar yang biasa diberikan kepada
semua yang mempunyai garis keturunan tersebut. Keluarga beliau dikenal oleh
lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu
agama, sehingga mereka juga dikenal dengan sebutan “Syaikh”.
Salah seorang kakek beliau, yaitu Sayyid Syaikh Ahmad, sedemikian patuh dan
wara’-nya sehingga seluruh waktunya hanya digunakan untuk membaca dan beribadah,
serta tidak menerima tamu kecuali sahabat-sahabat dekat dan ulama, itu pun pada waktu-
waktu tertentu, yaitu antara Ashar dan Magrib. Ketika Ridha mencapai umur remaja,
ayahnya telah mewarisi kedudukan, wibawa serta ilmu sang nenek moyang,sehingga
banyak terpengaruh oleh ajaran-ajaran tersebut.1
Disamping belajar kepada ayahnya sendiri, beliau belajar juga kepada sekian
banyak guru. Dimasa kecil beliau belajar di taman-taman pendidikan dikampungnya yang
ketika itu dinamai Al-Kuttab, di sana diajarkan membaca al-Qur’an, menulis dan dasar-
dasar berhitung.
Setelah tamat, beliau dikirim oleh orangtuanya ke Tripoli (Lebanon) untuk belajar
di Madrasah Ibtidaiyah yang mengajarkan Nahwu, Sharaf, Aqidah, Fiqh, Berhitung dan
Ilmu Bumi. Bahasa pengantar yang digunakan di sekolah adalah bahasa Turki, mengingat

1
. M Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hal.59.

1
Lebanon pada waktu itu dibawah kekuasaan kerajaan Usmaniyah. Mereka yang belajar
disana di persiapkan untuk menjadi pegawai-pegawai pemerintah.
Karena itu, beliau tidak tertarik untuk terus belajar disana. Setahun kemudian, yaitu
pada tahun 1299 H/ 1822 M, beliau pindah ke Sekolah Islam Negeri yang merupakan
sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa Arab sebagai kata pengantar, disamping itu
diajarkan pula bahasa Turki dan Peracis. Sekolah ini didirikan dan dipimpin oleh ulama
besar Syam ketika itu, yakni Syaik Husain al-Jisr. Syaik inilah yang kelak mempunyai
andil sangat besar terhadap perkembangan pemikiran beliau, karena hubungan antara
keduanya tidak terputus walaupun kemudian sekolah itu ditutup oleh pemerintah turki.
Syaikh Husain al-Jisr juga lah yang memberi kesempatan kepada beliau untuk menulis di
beberapa surat kabar di Tripoli.
Pada tahun 1314 H/ 1897 M, Syaikh Muhammad al-Jisr memberikan ijasah kepada
beliau dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa, dan filsafat. Disamping guru tersebut,
beliau juga belajar pada guru-guru yang lain seperti, Syaikh Muhammad Nasyabah (ahli
dalam bidang hadist), Syaikh Muhammad al-Qawijiy (ahli dalam bidang hadist), Syaikh
Abdul Gani ar-Rafi (pengajar kitab hadist Nail al-Authar), al-Ustadz Muhammad al-
Husaini, dan Syaikh Muhammad Kamil ar-Rafi.2
Pada saat beliau memulai perjuangan di kampung halamannya, baik melalui
pengajian-pengajian untuk kaum pria dan wanita maupun tulisan-tulisannya di media
masa, Muhammad Abduh memimpin pula gerakan pembaharu di mesir.
Majalah al-Urwah al-Wustqa yang diterbitkan oleh jamaluddin al-Afghani dan
Muhammad Abduh di Paris, yang tersebar ke seluruh dunia islam, ikut dibaca pula oleh
beliau dan memberi pengaruh yang sangat besar pada jiwanya, sehingga mengubah sikap
pemuda yang berjiwa sufi ini menjadi seorang pemuda yang penuh semangat.
Kalau semula usaha-usaha beliau hanya terbatas pada usaha perbaikan aqidah dan
syariah masyarakatnya serta menjauhkan dari kemawahan duniawi dengan melakukan
zuhud, maka dengan membaca majalah tersebut beliau beralih kepada usaha-usaha
membangkitkan semangat kaum muslimin untuk melaksanakan ajaran agama secara utuh
serta membela dan membangun Negara dengan ilmu pengetahuan dan industri.
Setelah itu, beliau menetap di Mesir, dan menjadi murid khusus sekaligus sebagai
sahabat (kolega) utama Muhammad Abduh. Sepanjang hidupnya beliau mengagumi
ikhwal tingkahlaku Muhammad Abduh dan menganggapnya guru Islam paling Agung.

2
Ibid, hal. 61.

2
Beliau wafat dalam perjalanan pulang dari kota Suez di mesir, setelah mengantar
Pangeran Saud al-Faisal (yang kemudian menjadi raja Saudi Arabia), dikarenakan mobil
yang dikendarainya mengalami kecelakaan dan beliau mengalami gegar otak. Selama
dalam perjalanan beliau hanya membaca al-Qur’an, Walaupun beliau telah sekian kali
muntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh orang-orang yang
menyertainya beliau wafat dengan wajah yang sangat cerah dengan disertai senyuma,
beliau wafat pada tanggal 23 Jumadil ‘Ula 1345/ 22 Agustus 1935 M.3
C. Latar belakang penulisan
Tafsir al-Manar pada dasarnya merupakan hasil karya tiga orang tokoh islam, yaitu
Sayyaid Jamaluddin al-Afghani, Syaikh Muhammad abduh, dan Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha.
Tokoh pertama menanamkan gagasan-gagasan perbaikan masyarakat kepada
sahabat dan muridnya, Syaikh Muhammad Abduh. Oleh tokoh kedua ini, gagasan-gagasan
itu dicerna, diterima dan diolah, kemudian disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat al-
Qur’an. Dan diterima antara lain, oleh tokoh ketiga ,yang kemudian menulis semua yang
disampaikan oleh sahabat dan gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan.
Tafsir ini bersumber dari perkuliahan Muhammad Abduh tentang Tafsir al-
Qur’an yang disampaikan di Universitas al-Azhar, yang disusun setelah ia wafat (tahun
1905) oleh Muhammad Rashid Ridha dengan judul Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Namun
kemudian, kitab ini lebih populer dengan sebutan Tafsir al-Manar yang pernah diterbitkan
secara serial dan periodik.4
Al-Manar terbit pertama kali pada 22 Syawal 1315 H atau 17 Maret 1898 M,
dilatarbelakangi oleh keinginan Rasyid Ridha untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang
mengolah masalah-masalah sosial-budaya dan agama, sebulan setelah pertemuannya yang
ketiga dengan Muhammad Abduh. Awalnya berupa mingguan sebanyak delapan halaman
dan ternyata mendapat sambutan hangat, bukan hanya di Mesir atau Negara-negara Arab
sekitarnya, juga sampai ke Eropa dan Indonesia.
Kitab ini terdiri dari 12 juz pertama dari al-Qur’an, yaitu surat al-Fatihah sampai
dengan ayat 53 surat Yusuf. Penafsiran dari awal sampai ayat 126 surat An-Nisa’ diambil
dari pemikiran tafsir Muhammad Abduh, selebihnya dilakukan oleh Rasyid Ridha dengan
mengikuti metode yang digunakan Abduh. Karena itu tafsir al-Manar yang terdiri atas 12

3
. Ibid, hal,66.
4
Ignaz Goldziher, , Mazahib Tafsir dari Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: Penerbit Elsaq Press,
2010), hal.396.

3
jilid itu lebih wajar untuk dinisbatkan kepada Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, sebab
disamping lebih banyak yang ditulis oleh beliau-baik dalam segi segi jumlah ayat maupun
dari segi jumlah halamannya- juga karena dalam penafsiran ayat-ayat surat al-Fatihah, al-
Baqarah dan juga surat an-Nisa ditemui pula pendapat-pendapat Rasyid Ridha yang
ditandai olehnya dengan menulis kata Aqulu sebelum menguraikan pendapatnya.5
D. Bentuk, metode dan corak
Ada bermacam-macam metode dan corak penafsiran al-Qur’an. Dr. Abdullah
Farmawi membagi metode-metode yang dikenal selama ini menjadi empat yaitu, analisis
(tahlili), komparatif (muqorin), global (ijmali) dan tematik (maudhui). Metode analisis
bermacam-macam coraknya, salah satu diantaranya adalah corak adabi ijtima’i (budaya
kemasyarakatan). Corak ini menitikberatkan penjelasan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-
Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, dimana hampir dari setiap
ayat-ayat al-Quran yang ditafsirkan menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan
hukum-hukum alam yang berlaku di masyarakat dan pembangunan dunia tanpa
menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu kecuali dalam batas-batas yang diperlukan.
Disamping itu, beliau sangat memperhatikan segi-segi ketelitian redaksinya, dengan
penyusunan kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dan dengan
penekanan pada tujuan utama turunnya Al-Qur’an, yakni memberikan petunjuk bagi
kehidupan manusia, dan merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum
alam yang berlaku dalam masyarakat dan kemajuan peradaban manusia.6
Dengan pandangannya terhadap keutamaan akal dalam Islam tersebut, beliau telah
memilih metode pena’wilan dalam menafsikan al-Quran. Menurutnya al-Quran menuntut
pembuktian secara akal mengenai klaim-klaim yang disampaikannya. Dan untuk
memenuhi hal ini metode pena’wilan merupakan metode yang paling tepat, karena metode
ini memberikan ruang untuk memperluas makna ayat.
Ar-Raghib al-Ashfahani, ketika membahas masalah perbedaan tafsir dan ta’wil,
beliau mengatakan bahwa tafsir lebih banyak dipergunakan dalam lafadz-lafadz,
sedangkan ta’wil dalam ma’ani (makna kalimat). Sedangkan Al-Alusi berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan ta’wil adalah isyarah kudsiah dan pengetahuan-pengetahuan yang
suci yang terungkap dari tabir perkataan atau keterangan bagi pencari jalan. Lebih lanjut
Dr. Muhammad Husein adz-Dzahabi, melihat bahwa pena’wilan cendrung untuk

5
. Ibid, hal 398.
6
. Darmu’in dan Rafi’udin, Konsep Integralistik Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an (Suatu Telaah
Penafsiran Syaikh Muhammad Abduh), (Semarang: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), hal. 24.

4
mengutamakan salah satu diantara kemungkinan-kemungkinan makna lafadz dengan dalil.
Dan pengutamaan sesuatu, bergantung kepada ijtihad, yaitu dengan mengetahui kosa kata
sebuah lafadz dan petunjuk-petunjuknya dalam bahasa Arab, dengan mempergunakannya
sesuai dengan susunan, dan dengan mengetahui metode (uslub) bahasa Arab, serta
istinbath (mengeluarkan) makna-makna darinya.7
E. Karakteristik
Pada dasarnya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengikuti metode dan ciri pokok
yang digunakan oleh gurunya, Sayyid Muhammad Abduh. Namun, seperti yang di akui
oleh Rasyid Ridha, terdapat beberapa perbedaan diantara keduanya setelah Rasyid Ridha
menulis tafsir al-Manar atas usahanya sendiri, perbedaan tersebut antara lain:8
1. Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadist-hadist Nabi
saw.
2. Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat lain
3. Penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang hal-hal yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat pada masanya, dengan tujuan mengantar kepada
penjelasan tentang petunjuk agama, baik yang menyangkut argumentasi keyakinan
maupun pemecahan problem yang berkembang
4. Keluasan pembahasan tentang arti mufrodhat, susunan redaksi, serta pengungkapan
Pendapat-pendapat ulama dibidang tersebut.
Persamaannya yaitu:
1. Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi
Ketika menafsirkan firman Allah dalam surat Ali Imran: 37:
       
Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati rizki di sisinya.

Muhammad Abduh menolak pendapat yang menyatakan bahwa “rizki” yang


dimaksud adalah buah-buahan musim dingin yang didapatnya di musim panas atau
sebaliknya, dengan alasan bahwa pengertian “rizki” tersebut tidak harus dikaitkan
dengan hal yang luar biasa. Pernyataan datangnya rizki dari Allah adalah suatu hal
yang wajar bagi kaum mukminin sejak dulu hingga masa kini. Walaupun rizki
tersebut diproleh dengan cara yang luar biasa.
2. Ayat Al-Qur’an bersifat umum

7
. Ibid, hal. 26.
8
. M Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an, (Jakarta, Lentera Hati, 2006), hal. 85.
5
Ketika menafsirkan kata “ya’muru” dalam firman Allah pada surat at-Taubah: 17 :
       
Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, ...
Rasyid Ridha tidak sependapat dengan para mufasir yang membatasi arti
“memakmurkan” dengan ibadah murni (mahdhoh) semata, atau dalam arti umrah ke
masjidil al-Haram dan sebagainya, tetapi “memakmurkan” mesjid menurutnya
adalah beribadah kepada Allah, apapun bentuknya, antara lain ibadah tertentu yang
dinamai umrah ke masjidi al-Haram, dan berada serta bertempat tinggal didalamnya
(i’tikaf) untuk tujuan mengurusnya, membangun dan lain sebagainya.
3. Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum
Sebagai contoh, penafsirannya terhadap surat al-Baqarah : 275 :
        
Dan barang siapa yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Rasyid Ridha menyatakan bahwa ancaman kekekslsn didalam api neraka


dalam ayat tersebut sama saja dengan ancaman yang ditemui terhadap orang yang
membunuh seorang mukmin dengan sengaja. Dalam ayat ini tidak ada sama sekali
suatu petunjuk yang menyatakan bahwa ia diturunkan bagi orang-orang yang riba,
maka tiada lagi ancaman yang ditujukan kepada mereka yang mengambil atau
memakan riba sambil mengakui bahwa riba adalah haram.
Pendapat ini bertentangan dengan sebagian ulama tafsir yang menyatakan
bahwa ancaman kekekalan di neraka pada ayat ini ditujukan bukan kepada siapa yang
memakan riba, tetapi siapa yang memakan disertai dengan keyakinan bahwa riba itu
halal, karena dengan menghalalkan dia telah keluar dari iman, sehingga wajar kekal
di neraka.
4. Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an
a. Kejadian Adam
Perintah sujud (sujud malaikat kepada Adam) dapat merupakan perintah
penugasan (amr taklif), dan dapat juga merupakan perintah pengadaan (amr
takwin) dan bahwa kisah tersebut adalah penjelasan tentang sifat manusia,
malaikat dan setan.
b. Sihir

6
Sebagaimana Muhammad Abduh, beliau juga menolah sihir, seperti yang di
pahami oleh masyarakat umum. Rasyid Ridha menanbahkan,bahwa hadist
bukhari yang menyangkut disihirnya Nabi saw. Ditolah oleh sementara ulama
karea yang meriwyatkan adalah “Hisyam” dari ayahnya kemudian Aisyah.
Sedangka Hisyam mendapat sorotan dari ulama al-Jarh-wa ta’dil.
c. Jin
Rasyid ridha menolak pendapat-pendapat ulama yang menyatakan bahwa
firman Allah tentang jin dalam surat al-Araf : 27 :
        
Sesungguhnya ia (jin) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat
yang kamu tidak bisa melihat mereka.

Menurut Rasyid Ridha orang yang mengaku melihat jin, maka hal tersebut
hanyalah akibat hayalannya saja. Semua hadist yang memberitakan tentang
penglihatan manusia terhadap jin adalah dhoif.
Namun, Rasyid Ridha menafsirkan firman Allahdalam surat al-Baqorah: 275 :
        
    
Orang-orang yang makan (mengambil) ribatidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila

Pendapatnya, bahwa benda-benda hidup yang tersembunyi dan yang


dikenal pada masa kini melalui mikroskop dengan nama bakteri, dapat
merupakan jenis dari jin, karena telah terbukti bahwa bakteri-bakterimerupakan
penyebab dari banyak penyakit.
d. Mukjizat
Rasyid Ridha berpendapat bahwa mukjizat rasulullah saw. Tiada lain
kecuali al-Qur’an, yang mengandung sekian banyak argumentasi,aqidah, ilmiah,
islahiyah, pemberitaan ghaib, dan sebagainya.
        
". Katakanlah: "Maha Suci Tuhanku, bukankah Aku Ini Hanya seorang manusia
yang menjadi rasul?"

7
Permintaan-permintaan itu tidak diperkenankan, karena Allah telah
memberikan mukjizat yang dmikian kepada Nabi-Nabi terdahulu, namun mereka
tidak beriman sehingga Alah punahkan mereka. Kalau Allah memperkenankan
permintaan itu, mereka punakan binasa sehingga punah, sedangkan Allah tidak
menghendakikepunahan mereka. Demikian penafsiran Rasyid Ridha tentang ayat
59 surah al-isra’.
Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari, Tirmidzi dan Ahmad, dari Abu
Hurairah;
“Tidak seorang Nabi pun kecuali diberikan bukti atau mukjizat (yang dijangkau
oleh panca indera, sehingga atas dasarnya orang percaya padanya. Tetapi yang
diwahyukan kepadaku adalah wahyu yang diwahyukan Allah sehingga aku
berharap bahwa akulah yang terbanyak pengikutnya di hari kemudian.”
Atas dasar inilah Rasyid Ridha menyatakan bahwa mukjizat Nabi tiada
lain hanya al-Quran.
5. Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi saw.
Sebagaimana halnya gurunya, Rasyid Ridha tidak juga menerima semua
Hadist-hadist Nabi walau hadist tersebut ditemukan dalam Sahih Bukhari atau
Muslim.
6. Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat.
Sebagaimana halnya gurunya, Rasyid Ridha sangat berhati-hati terhadap
riwayat-riwayat yang mengemukakan pendapat-pendapat sahabat Nabi saw. Ulama-
ulama tafsir mengakui bahwa banyak sekali riwayat-riwayat yang mengemukakan
pendapat-pendapat sahabat yang nilainya jauh dari predikat Shahih.
F. Kesimpulan
Al-Manar adalah salah satu kita tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan
kemasyarakatan yaitu suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat Al-
Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-
ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya Al-
Qur’an yakni membawa petunjuk dalam kehidupan kemudian merangkaikan pengertian
ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan
pembangunan dunia.
Dua tokoh Tafsir Al-Manar yaitu Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid
Ridha, karena dari Muhammad Abduh bahwa gagasan dari gurunya yaitu Jamaluddin al-
Afghani itu dicerna, diterima dan diolah yang disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat
8
al-Qur'an dan dari Muhammad Rasyid Ridha inilah kemudian menulis semua yang
disampaikan sahabat dan gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan.

Daftar pustaka

Darmu’in dan Rafi’udin, Konsep Integralistik Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an (Suatu
Telaah Penafsiran Syaikh Muhammad Abduh), Semarang: PT. Mutiara Sumber
Widya, 2001

Goldziher, Ignaz, Mazahib Tafsir dari Klasik Hingga Modern, Yogyakarta: Penerbit Elsaq
Press, 2010.

Quraish Shihab, M, Rasionalitas al-Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, 2006

Quraish Shihab, M, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994

Rasyid Ridha, Muhammad dan Abduh, Muhammad, Tafsir al-Manar, Qohiro, Darul
Manar, 1947.

9
10

You might also like